BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dilakukan pembahasan mengenai latar belakang, rumusan permasalahan, manfaat penelitian, definisi terminologi, serta cakupan dan batasan yang terdapat pada penelitian ini.
1.1
Latar Belakang Peningkatan jumlah perokok remaja perempuan merupakan fenomena yang
secara umum ditemukan di Indonesia (AN, 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), diketahui bahwa pada tahun 1995 terdapat 1.439.837 remaja perokok di Indonesia dan mengalami peningkatan secara pesat, sehingga pada tahun 2007 jumlahnya mencapai 4.227.601 orang (Anna, 2010). Di samping itu, sebuah data menyatakan bahwa peningkatan pesat terjadi, terutama pada jumlah perokok remaja perempuan berusia 15-19 tahun di Indonesia, yakni 9,5 kali lipat dari tahun 2001, dimana persentase awal adalah 0,2 % menjadi 1,9% di tahun 2004 (Bekti, 2010). Berdasarkan data prevalensi merokok yang dirilis oleh Lembaga Demografis Universitas Indonesia pada tahun 2008 dalam harian Republika (Raharjo, 2010) jumlah perokok di Jakarta mencapai 3 juta dari 9.057.000 orang penduduk Jakarta, dan dari 3 juta perokok tersebut, terdapat sekitar 8% (240 ribu orang) perokok perempuan yang 4% (9600 orang) diantaranya berasal dari kalangan remaja. WHO
1
(World Health Organization) Indonesia dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia menyebutkan remaja perempuan yang merokok di Jakarta berada pada rentang usia 15-19 tahun (Suprihadi, 2010). Pemberitaan dalam Kompas (Rachmawati, 2008) menyebutkan bahwa pada umumnya remaja di Indonesia menjadi adiksi terhadap rokok disebabkan oleh keinginan mereka untuk menunjukkan lambang kedewasaan, rasa percaya diri dan gengsi, bahkan pada remaja dengan kelas sosial ekonomi ke bawah, merokok dikatakan dapat menghilangkan kebosanan dan dapat menghindari stres yang dihadapi di rumah. Sebanyak 80 persen remaja kelas sosial ekonomi ke bawah mengatakan bahwa merokok merupakan cara untuk meningkatkan harga diri. Meskipun menghisap batang rokok untuk pertama kali terasa tidak menyenangkan, namun saat menghisap batang keempat dan seterusnya, dapat membuat mereka menikmatinya, kemudian menjadi adiksi terhadap rokok (Rachmawati dalam Kompas, 2008). Sarafino (2008) menjelaskan bahwa remaja mulai merokok disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain orang tua dan teman yang merokok, peniruan terhadap seseorang yang diidolakan seperti bintang film, atau artis yang merokok (Distefan dkk., 1999), dan remaja mencoba menghisap rokok untuk pertama kalinya untuk menyesuaikan diri atau berkonformitas terhadap teman sebaya (Leventhal, Prohaska, & Hirschman, 1985). Konformitas merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengubah sikap dan tingkah laku agar sesuai dengan norma sosial yang berlaku dengan tujuan agar mendapatkan penerimaan oleh kelompok sosial (Baron & Byrne, 2005). Konformitas 2
terdiri dari dua dimensi (Baron & Byrne, 2005), yaitu normative social influence dan informational social influence. Normative social influence adalah konformitas yang didasarkan pada keinginan individu untuk disukai dan diterima oleh orang lain dengan tujuan menghindari penolakan dan mendapatkan penerimaan, dapat dilihat dari perilaku seperti mengerjakan tugas dalam kelompok agar dianggap dapat bekerja sama dengan baik. Normative social influence didasari oleh beberapa hal, antara lain keinginan untuk disukai, rasa takut terhadap penolakan dan melakukan apa yang dianggap pantas oleh orang lain. Informational social influence merupakan konformitas yang didasarkan pada keinginan individu untuk menjadi benar, misalnya saja di saat kebanyakan orang menilai buruk jika laki-laki menggunakan antinganting dalam jumlah banyak, individu cenderung ikut menilai buruk jika laki-laki menggunakan anting-anting dalam jumlah banyak. Informational social influence didasari oleh beberapa hal, antara lain opini dan tindakan orang lain dijadikan acuan untuk berperilaku dan berpendapat, bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi, terjadi saat seseorang merasa tidak pasti mengenai apa yang tepat untuk dilakukan dalam suatu situasi, dan berperilaku seperti orang lain agar merasa benar. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi konformitas (Baron & Byrne, 2005) antara lain kohesivitas atau derajat ketertarikan yang dimiliki oleh individu terhadap suatu kelompok; ukuran kelompok yang semakin besar akan meningkatkan konformitas seseorang terhadap kelompok tersebut; norma sosial deskriptif, merupakan norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian besar orang lain lakukan dalam sebuah situasi tertentu; dan norma injungtif atau perintah yang
3
menetapkan apa yang harus dilakukan (tingkah laku yang diterima atau tidak diterima pada sebuah situasi tertentu). Konformitas merupakan hal yang seringkali terjadi pada masa remaja, yaitu di saat remaja bergabung ke dalam sebuah kelompok teman sebaya untuk mendapatkan penerimaan dan pertemanan dalam menentukan identitas dirinya (Brown dalam Simons & Farhat, 2010). Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang berlangsung pada usia 10-20 tahun yang diperhadapkan dengan tahap perkembangan indentity versus identity confusion (Erickson, dalam Santrock 2003). Pada tahap perkembangan ini, karakteristik remaja ditandai dengan pembentukan identitas diri (siapa mereka, bagaimana diri mereka dan apa tujuan hidup mereka). Bila remaja dapat mengeksplorasi identitas diri dengan cara yang positif, maka akan terbentuk identitas diri yang positif, namun jika dipaksakan oleh orang tua dan tidak memiliki kelonggaran dari tuntutan orang tua maka remaja akan mengalami kekacauan indentitas diri (identity confusion) (Erickson, dalam Santrock 2003). Sebuah penelitian menyatakan bahwa remaja menghabiskan waktu dua kali lebih lama dengan teman sebaya dibandingkan dengan orangtuanya (Condry, Simon, & Bronffenbrenner, 1968 dalam Santrock, 2003). Frekuensi yang lebih tinggi bersama teman sebaya dapat dimungkinkan terjadi karena kelompok teman sebaya mampu memberikan umpan balik mengenai perilaku yang dimunculkan oleh remaja dalam kelompok. Hal tersebut sulit didapatkan di rumah karena remaja jarang menemukan teman yang seusia dengannya, biasanya anggota keluarga berusia lebih tua atau lebih muda sehingga dirasakan kurang dapat memiliki pemahaman dan cara
4
pandang yang sama dengan remaja (Santrock, 2003). Dengan frekuensi bertemu yang tinggi dengan teman sebaya, perilaku merokok merupakan salah satu hal yang seringkali terjadi pada kelompok remaja. Seorang remaja terkadang mengkonsumsi rokok karena pengaruh teman sebaya yang merokok. (Bronffenbrener, 1979 dalam Simons & Farhat, 2010). Setelah memutuskan untuk merokok, individu memiliki alasan psikologis untuk tetap merokok yaitu meningkatkan susasana hati (mood) dan mengurangi dampak negatif (misalnya stres), kemudian menjadi terbiasa mengkonsumsi rokok, sehingga
nikotin
yang
terdapat
pada
tembakau
akhirnya
menyebabkan
ketergantungan. Untuk berhenti dari ketergantungan nikotin, sama sulitnya dengan usaha untuk berhenti dari ketergantungan alkohol dan heroin (Albery & Munafo, 2007). Individu yang berketergantungan terhadap rokok merasa bahwa merokok merupakan hal yang menyenangkan, sehingga hal tersebut meningkat dan menyebabkan seseorang menjadi obsesif terhadapnya (Komalasari & Helmi, 2000). Obsesif merupakan pikiran yang berulang dan menetap sehingga dorongan-dorongan tersebut menyebabkan kecemasan jika tidak dilakukan (Davidson, Neale & Kring, 2006). Zat nikotin yang terdapat dalam tembakau merupakan elemen utama rokok (Albery & Munafo, 2007). Zat kimia lainnya yang terdapat dalam rokok antara lain Sianida (senyawa kimia yang mengandung kelompok cyano), benzene (sebagai benzol yang merupakan senyawa kimia organik yang mudah terbakar dan merupakan cairan tidak berwarna), cadmium (logam dan radio aktif yang ditemukan dalam
5
baterai), methanol (alkohol yang paling sederhana, juga dikenal sebagai metilalkohol), asetilena (senyawa kimia tak jenuh yang juga merupakan hidrokarbon; alkuna yang paling sederhana), ammonia (senyawa kimia mengandung racun yang banyak ditemukan di sekitar lingkungan dengan kombinasi unsur-unsur tertentu), formaldehida (senyawa kimia yang mengandung racun yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat), hydrogensianida (merupakan zat kimia yang terdiri dari bahan pembunuh semut dan zat untuk membuat plastik dan pestisida), arsenic (zat kimia yang terdapat dalam racun tikus) (Bahayamerokok.net, 2007). Jika dikonsumsi secara intensif dalam jangka panjang, nikotin dapat mempengaruhi susunan saraf otak dan meningkatkan kinerjanya dalam merasakan kebutuhan terhadap efek dari nikotin, sehingga orang yang mengkonsumsi rokok membutuhkan
kadar
nikotin
yang
semakin
tinggi.
Kondisi
inilah
yang
menggambarkan bahwa seseorang mengalami kecanduan terhadap rokok (Jamal, 2006 dalam PDPERSI, 2006). Sebuah penelitian menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kecanduan terhadap rokok akan mulai merasakan kebutuhan nikotin tiap selang waktu 3-4 jam (Hendricks dkk., 2006; Hughes dkk., 1994; Parrott dkk., 1996; Shiffman dkk., 2002 dalam Morrell, Cohen & Al’Absi, 2008). Dalam DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) (2000) terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkan seseorang mengalami kecanduan atau ketergantungan terhadap zat nikotin, yang terlihat dalam tiga atau lebih ciri-ciri berikut ini dalam kurun waktu 12 bulan. Beberapa ciri yang menunjukkan bahwa seseorang mengalami kecanduan nikotin diantaranya adalah (1) Toleransi: kebutuhan yang tinggi terhadap nikotin untuk mendapatkan efek yang 6
diinginkan, dan berkurangnya efek yang dirasakan jika terus-menerus menggunakan zat dalam dosis yang sama; (2) Withdrawal: penghentian atau pengurangan nikotin dalam 24 jam menyebabkan mood menurun drastis, sulit tidur, mudah marah, frustasi, cemas, sulit konsentrasi, tidak sabaran, gelisah, dan jantung berdebar; (3) Penggunaan nikotin secara tidak normal dimana dosis nikotin yang digunakan melebihi dosis yang diinginkan (melebihi penggunaan dalam batas normal); (4) Kesia-siaan dalam menghentikan atau mengurangi penggunaan nikotin; (5) waktu untuk mendapatkan rokok; (6) Berkurangnya aktivitas sosial karena aktivitas merokok; (7) Penggunaan secara terus menerus meskipun telah mengetahui bahayanya bagi kesehatan. Penggunaan nikotin memberi dampak yang buruk bagi kesehatan secara umum, antara lain meningkatnya resiko kanker paru-paru, kanker pada rongga mulut, dan kanker lainnya yang dapat menyerang jantung dan otak, serta gangguan kronis dan penyakit paru-paru, berborok, bernanah, komplikasi kehamilan dan janin, dan berbagai kondisi buruk lainnya (DSM-IV-TR, 2000). Walaupun telah dipaparkan dampak buruk penggunaan nikotin terhadap kesehatan secara umum, nikotin memberikan efek yang lebih berbahaya pada perempuan merokok, antara lain menjadi lebih rentan terhadap kanker paru-paru, kanker mulut rahim, dan penyumbatan pembuluh darah 10 kali lipat lebih beresiko daripada perempuan yang tidak merokok, ketidaksuburan sistem reproduksi dari masa pubertas sampai dewasa, gangguan siklus menstruasi, dan resiko mandul (Silviana, 2009). Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa konformitas terhadap tekanan teman sebaya merupakan salah satu hal yang menyebabkan remaja merokok (Prince, 1995;
7
Stanton & Silva, 1992 dalam Rice, 2008). Perilaku merokok pada remaja umumnya semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya frekuensi dan intensitas merokok yang sering mengakibatkan mereka mengalami adiksi rokok (Laventhal dan Cleary dalam Hasnida dan Kemala, 2005). Data dan hasil-hasil penelitian mengenai perilaku remaja perempuan merokok dalam kaitannya dengan penerimaan dalam kelompok teman sebayanya mendorong peneliti untuk melihat signifikansi hubungan antara konformitas dengan adiksi rokok pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta.
1.2
Rumusan Permasalahan Rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan
yang signifikan antara konformitas dengan adiksi rokok pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta.
1.3
Hipotesa
H0 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konformitas dengan adiksi rokok pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta. H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara konformitas dengan adiksi rokok pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta.
8
1.4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konformitas
dengan adiksi rokok pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta. 1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam memperkaya
bidang penelitian psikologi sosial dalam hal konformitas dan psikologi kesehatan mengenai adiksi rokok yang telah ada, terutama pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta.
1.5.2
Manfaat Praktis Memberikan referensi kepada masyarakat khususnya orangtua dan remaja
mengenai hubungan antara konformitas dengan adiksi rokok pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya mengenai hubungan antara konformitas dengan adiksi rokok pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta.
9
1.6
Definisi Terminologi 1. Adiksi : gangguan fisik dan psikologis yang bersifat kronis ditandai dengan perbuatan yang berulang-ulang, dilakukan untuk memuaskan diri pada aktivitas atau zat tertentu yang muncul dengan frekuensi yang tinggi (Soetjipto, 2007). 2. Adiksi rokok : Ketergantungan seseorang terhadap rokok dikarenakan zat nikotin yang terdapat dalam tembakau sebagai elemen utama dalam rokok (Albery & Munafo, 2007). 3. Remaja : fase perkembangan manusia pada usia 10 – 20 tahun, dan remaja memiliki karakteristik pembentukan identitas diri (siapa mereka, apa mereka sebenarnya dan apa tujuan hidup mereka) (Erickson dalam Santrock, 2003). 4. Konformitas : sebuah keadaan dimana seseorang mengubah sikap dan tingkah laku agar sesuai dengan norma sosial yang berlaku dengan tujuan agar diterima oleh kelompok sosial (Baron & Byrne, 2005).
10
1.7
Cakupan dan Batasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara konformitas
dengan adiksi rokok pada remaja perempuan usia 15-19 tahun di Jakarta. Responden penelitian penelitian ini adalah remaja perempuan usia 15-19 tahun yang adiksi rokok di Jakarta. Teori yang peneliti gunakan adalah teori konformitas (Baron & Byrne, 2005) dan pengukuran adiksi rokok berdasarkan teori adiksi nikotin (DSM-IV-TR, 2000).
11