BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan permasalahan, hipotesis, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, cakupan dan batasan yang dipakai dalam penelitian ini.
1.1 Latar Belakang Perkembangan jaman yang semakin maju turut membawa pengaruh negatif berupa meningkatnya tindak kriminalitas di masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Hal ini terlihat dari data yang dilaporkan oleh Kapolda Metro Jaya yang menyatakan bahwa terdapat sekitar 7.307 tindak kriminal di Jabodetabek dalam kurun waktu dua bulan terakhir di tahun 2010, yang artinya setiap 11 menit 49 detik terjadi satu tindak kriminal di Jabodetabek (Wiwoho, 2010). Menurut Blackburn (2001) tindak kriminal merupakan segala perbuatan yang dianggap melanggar hukum berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dan diatur oleh pemerintah atau negara. Berbagai macam tindak kriminal yang sering terjadi diantaranya adalah pencopetan, pencurian, penjambretan, perampokan dan kerusuhan antar kelompok (Wiwoho, 2010). Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum, diantaranya adalah faktor ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran; faktor sosial seperti kepadatan penduduk; faktor pengaruh budaya seperti kenakalan remaja dan pergaulan bebas di kalangan remaja. Seiring dengan perkembangan jaman berkembang pula jenis pelanggaran hukum dan pelaku pelanggaran hukum. Dewasa
1
ini, pelanggaran hukum tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa namun juga banyak dilakukan oleh anak-anak atau remaja (Joewono, 2011). Hal ini dapat terlihat dengan semakin meningkatnya jumlah tahanan anak atau remaja yang menghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas). Pada tahun 2006 tercatat sejumlah 978 anak dan remaja yang menghuni lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia, dan pada tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 1.135 anak dan remaja (Ditjen Pemasyarakatan, 2008). Dariyo mengatakan hal-hal yang dapat mempengaruhi kehidupan atau pertumbuhan seorang remaja yang kemudian dapat melatarbelakangi tindak kriminal yang dilakukannya antara lain kemiskinan, pendidikan yang rendah, keluarga yang bermasalah serta lingkungan pergaulan yang negatif. Di Indonesia masih terdapat banyak remaja yang tinggal di daerah kumuh yang diantaranya harus berjuang keras mencari nafkah untuk membantu keluarga (Dariyo, 2004). Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional (2009) terdapat setidaknya 1,5 juta anak berusia 13 hingga 18 tahun yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah setiap tahunnya, yang pada umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi. Kondisi ini menyebabkan sebagian dari mereka harus ikut membantu mencari nafkah bersama orang tuanya, menjadi gelandangan dan pengemis, atau bahkan jatuh ke dalam berbagai bentuk tindak kriminal. Pencurian kendaraan bermotor, mengkonsumsi dan mengedarkan narkoba merupakan contoh dari tindak kriminal yang banyak dilakukan oleh para remaja di Indonesia sehingga mengakibatkan mereka harus mendiami lapas (Farabi, 2011). Gunarsa (2009) mengatakan kurangnya kontrol emosi oleh remaja dapat berakibat pada perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain dan dapat mendorong para remaja untuk terlibat dalam kenakalan atau tindak kriminal. Remaja yang kurang dapat mengendalikan emosinya, cenderung bertindak tidak rasional dan
2
menunjukkan perilaku-perilaku yang disertai luapan emosi yang negatif. Menurut Desmita (2009) perubahan emosi yang terjadi pada remaja juga dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya serta kegiatan yang dilakukan oleh remaja dalam kehidupannya sehari-hari yang menuntut para remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya sehingga tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku. Stein (2010) mengatakan perilaku pelanggaran norma sosial dan norma hukum yang dilakukan oleh para remaja menunjukkan rendahnya kecerdasan emosi mereka. Remaja yang memiliki tingkat kecerdasan emosi yang rendah tidak dapat merasakan perasaan-perasaan yang dialaminya dan mengekspresikan dengan cara yang benar, tidak memiliki kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri, tidak memiliki kemampuan untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan orang lain serta tidak memiliki kemampuan memecahkan masalah secara efektif. Akibatnya, para remaja cenderung berperilaku yang tidak sesuai bahkan melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat. Setiap remaja memiliki karakteristik dan potensi masing-masing serta tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Menurut Tridhonanto (2010) kecerdasan merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Sedangkan Wechsler (1939) mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan dapat menghadapi lingkungan secara efektif (dalam Tridhonanto, 2010). Stein (2010) mengatakan secara umum terdapat tiga jenis kecerdasan pada manusia yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Menurut Segal (2001) kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual dalam melakukan analisa, berpikir secara logis dan menggunakan rasio. Kecerdasan intelektual
memberikan
individu
kemampuan
untuk
berhitung,
beranalogi, 3
berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Salovey & Sluyter (1997) mengatakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Menurut Zohar dan Marshall (2001) kecerdasan spiritual sendiri lebih berkaitan dengan pencerahan jiwa. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi mampu memaknai penderitaan hidup secara positif pada setiap peristiwa, masalah, serta penderitaan yang dialaminya. Menurut Zohar dan Marshall (2000) kecerdasan spiritual digunakan untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan kaidah dan nilai-nilai spiritual yang dapat membawa seseorang pada kemampuannya dalam menyeimbangkan antara
pekerjaan dan
keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta (dalam Zohar & Marshall, 2001). Prasetyono
(2010)
mengatakan
banyak
orang
yang
mengidentikkan
kecerdasan hanya dengan kecerdasan intelektual, padahal kedua istilah ini memiliki perbedaan arti. Kecerdasan intelektual adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan seperti misalnya tes WAIS dan WISC yang dikembangkan oleh David Wechsler dan tes Binet-Simon yang dikembangkan oleh Alfred Binet dan Theodor Simon (Segal, 2001). Dengan demikian, kecerdasan intelektual hanya mewakili sebagian dari kecerdasan seseorang. Goleman (2007) mengatakan bahwa anggapan masyarakat luas tentang kecerdasan intelektual sebagai hal yang lebih penting dari dua kecerdasan lainnya dalam meraih kesuksesan di masa depan merupakan anggapan yang salah, karena untuk seseorang meraih kesuksesan di masa depan ia tidak hanya perlu memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi saja tetapi juga harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Pendapat Goleman didukung oleh Tridhonanto (2010) yang juga mengatakan bahwa anggapan tersebut salah karena sebenarnya
4
dengan memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi saja tidak cukup membuat seorang individu itu sukses. Pada kenyataannya orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi terkadang dapat dikalahkan oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi (Tridhonanto, 2010). Kecerdasan spiritual memang diperlukan dalam kehidupan manusia untuk memaknai penderitaan hidup secara positif pada setiap masalah yang dialaminya namun untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya diperlukan adanya kecerdasan emosional (Zohar & Marshall, 2001). Dengan demikian kecerdasan emosional semakin perlu dipahami dan diperhatikan dalam perkembangannya seiring dengan kondisi kehidupan remaja yang semakin kompleks (Ali & Asrori, 2004). Gottman (2008) mengatakan penyebab dari seorang remaja berperilaku merugikan dirinya sendiri dan orang lain yang dapat mengarah kepada kenakalan atau tindak kriminal salah satunya yaitu karena remaja tidak memiliki kontrol emosi. Jika remaja memiliki kecerdasan emosional yang tinggi maka remaja akan mampu mengontrol emosinya dan memiliki resiko yang lebih kecil terhadap kenakalan atau tindak kriminal. Namun jika seorang remaja memiliki kecerdasan emosional yang rendah maka remaja tersebut tidak dapat mengontrol emosinya serta dengan mudahnya seorang remaja melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain seperti dalam bentuk pelanggaran hukum atau kenakalan remaja (dalam Gottman & DeClaire, 2008). Menurut Gunarsa (2009) dewasa ini, masalah kenakalan remaja tetap merupakan persoalan yang menyita banyak perhatian masyarakat luas hampir di semua negara di dunia termasuk Indonesia. Banyak pemikiran yang dicurahkan terhadap masalah ini baik dalam bentuk diskusi maupun seminar yang sering diadakan oleh instansi pemerintah maupun organisasi independen seperti LSM
5
(Lembaga Swadaya Masyarakat) yang erat hubungannya dengan masalah ini. Definisi dari kenakalan remaja adalah segala bentuk perbuatan remaja yang melanggar norma baik norma hukum maupun norma sosial (Gunarsa, 2009). Kenakalan remaja terbagi dua golongan yaitu kenakalan remaja yang melanggar norma sosial dan kenakalan remaja yang melanggar norma hukum. Remaja yang melanggar norma sosial berarti telah melakukan tindakan yang tidak harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat dimana tindakan tersebut dilakukan, sedangkan remaja yang melanggar norma hukum berarti telah melakukan perbuatan yang dianggap melanggar hukum berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dan diatur oleh pemerintah atau negara (Kemen. Kum & HAM, 2010). Indonesia merupakan negara hukum, setiap warga negaranya memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan barangsiapa yang melanggar hukum akan mendapat konsekuensi hukum sesuai dengan pelanggaran hukum yang dilakukannya (Departemen
Kehakiman & Hak Asasi Manusia, 2003). Menurut Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (2010), negara memberikan landasan hukum yang berskala nasional bagi generasi muda melalui tatanan peradilan khusus bagi anak– anak dan remaja yang melakukan pelanggaran hukum. Peradilan khusus bagi anak dan remaja bertujuan untuk memberikan pengayoman dalam upaya pemantapan landasan hukum sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada anak–anak dan remaja Indonesia yang melakukan pelanggaran hukum. Dalam pelaksanaannya lapas anak memiliki dua kategori untuk anak dan remaja yang menghuni lapas anak seluruh Indonesia yaitu anak sipil negara dan anak didik pemasyarakatan. Anak sipil negara merupakan anak atau remaja yang atas permintaan orangtua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di lapas anak sedangkan anak didik pemasyarakatan merupakan anak atau remaja yang berdasarkan putusan pengadilan
6
menjalani pidana di lapas anak untuk dididik (Kemen. Kum & HAM, 2010). Menurut Dr. Saharjo (1963) tujuan dari pemenjaraan selain untuk menimbulkan rasa derita pada narapidana agar bertobat, penjara juga bertujuan untuk mendidik pelaku tindak pidana agar menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Istilah penjara mengalami perubahan menjadi lembaga pemasyarakatan oleh Dr. Saharjo pada tahun 1963. Istilah lembaga pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misinya untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Dalam sistem pemasyarakatan, tujuan akhirnya adalah reintegrasi dan rehabilitasi sosial, dimana ketika pelaku tindak pidana kembali ke lingkungan masyarakat, mereka tidak lagi dianggap sebagai seseorang yang melakukan pelanggaran hukum dan tindak kriminal. Para pelaku tindak pidana atau warga binaan diposisikan sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang membutuhkan bimbingan secara bertahap dan terencana, baik bimbingan mental, spiritual, keterampilan maupun bimbingan sosial kemasyarakatan (dalam Dep. Kehakiman & HAM, 2003). Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya (dalam Dep. Kehakiman & HAM, 2003). Pemasyarakatan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia memiliki tanggung jawab dalam bidang pembinaan dan pengamanan warga binaan pemasyarakatan, termasuk bagi anak atau remaja yang berada dalam lembaga
7
pemasyarakatan. Petugas pemasyarakatan diharapkan dapat meningkatkan kualitas dari tahanan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan agar menyadari kesalahannya, bersedia memperbaiki diri dan tidak melakukan kembali tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab pada saat tahanan bebas dari lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan (Ditjen Pemasyarakatan, 2009). Salah satu lembaga pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan terhadap anak dan remaja yang melanggar hukum adalah Lapas Anak Tangerang. Lapas Anak Tangerang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1925 dengan kapasitas hunian 220 anak. Secara historis sejak tahun 1934 pengelolaan diserahkan kepada Pro Juventute yang merupakan lembaga yang dimiliki oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk mengasingkan anak keturunan Belanda yang terlibat kenakalan. Pada tahun 1945 Pro Juventute diubah menjadi Markas Resimen IV Tangerang. Pada tahun 1957 sampai dengan 1961 namanya diubah menjadi Pendidikan Negara oleh pejabat penjara dan kemudian pada tahun 1964 diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan namanya diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang sampai saat ini (Kemen. Kum & HAM, 2010). Pembinaan lembaga pemasyarakatan anak bertujuan untuk merubah tingkah laku tahanan anak dan remaja agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum lagi (Kemen. Kum & HAM, 2010). Dalam rangka mendukung tujuan dari pembinaan lembaga pemasyarakatan yaitu meningkatkan kualitas dari tahanan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan agar menyadari kesalahannya, bersedia memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak kriminal sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
8
masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab, maka Lapas Anak Tangerang menyelenggarakan
program
“Pengenalan
dan
Pengaplikasian
Kecerdasan
Emosional” yang diikuti oleh remaja yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang dengan kriteria tertentu yaitu usia sudah memasuki usia remaja dan dengan periode pembebasan dari bulan April hingga September 2011. Program tersebut memperkenalkan macam-macam kecerdasan emosional dan cara-cara yang diperlukan untuk melatih kecerdasan emosional. Program ini dilaksanakan kurang lebih selama 2 bulan (Febuari-Maret 2011) yang akan berlanjut setiap 6 bulan sekali, dan diikuti oleh 35 orang remaja berusia 12-22 tahun dengan tujuan agar remaja yang akan bebas mengerti pentingnya kecerdasan emosional dan diharapkan akan memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi, dengan demikian tahanan remaja akan mampu mengontrol luapan emosinya dan dapat berinteraksi dengan baik dengan masyarakat serta tidak mengulangi tindak kriminal yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat signifikansi perbedaan kecerdasan emosional pada remaja yang mengikuti program kecerdasan emosional dan yang tidak mengikuti program kecerdasan emosional di Lapas Anak Tangerang. Oleh karena itu penulis mengangkat tema “PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL
ANTARA
REMAJA
YANG
MENGIKUTI
PROGRAM
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN REMAJA YANG TIDAK MENGIKUTI PROGRAM KECERDASAN EMOSIONAL DI LAPAS ANAK TANGERANG”.
1.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian dari latar belakang, permasalahan yang ingin diangkat
9
dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kecerdasan emosional antara remaja yang mengikuti program kecerdasan emosional dengan remaja yang tidak mengikuti program kecerdasan emosional di Lapas Anak Tangerang? 1.3 Hipotesis Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ho: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kecerdasan emosional antara remaja yang mengikuti program kecerdasan emosional dengan remaja yang tidak mengikuti program kecerdasan emosional di Lapas Anak Tangerang. Ha: Terdapat perbedaan yang signifikan pada kecerdasan emosional antara remaja yang mengikuti program kecerdasan emosional dengan remaja yang tidak mengikuti program kecerdasan emosional di Lapas Anak Tangerang. 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui signifikansi perbedaan kecerdasan emosional antara remaja yang mengikuti program kecerdasan emosional dengan remaja yang tidak mengikuti program kecerdasan emosional di Lapas Anak Tangerang.
1.5 Manfaat Penelitian
10
Dalam penelitian ini, peneliti mengkategorikan dua jenis manfaat yang akan dipaparkan yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.5.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam perkembangan Psikologi Perkembangan dan Psikologi Pendidikan serta memperkaya penelitian di dalamnya melalui penelitian yang dilakukan mengenai kecerdasan emosional
1.5.2. Manfaat Praktis
1) Diharapkan agar penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi Lapas Anak Tangerang mengenai perbedaan kecerdasan emosional pada remaja yang mengikuti program kecerdasan emosional dan yang tidak mengikuti program kecerdasan emosional. 2) Agar penelitian ini dapat memperkaya wawasan peneliti lain serta dijadikan bahan tambahan bagi penelitian selanjutnya.
1.6 Definisi Terminologi 1.6.1 Kecerdasan Emosional Salovey & Sluyter (1997) mengatakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. 1.6.2 Remaja
11
World Health Organization (2007), remaja adalah individu yang berusia 12-22 tahun dimana masa anak-anak telah berakhir dan mengalami perubahan biologis, pertumbuhan tinggi dan berat badan yang cepat, perubahan proporsi badan dan bentuk tubuh pencapaian kematangan seksual, dan perkembangan psikologis sampai pada masa dewasa (dalam Sarwono, 2010). 1.6.3 Lembaga Pemasyarakatan Lembaga pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Lapas merupakan unit pemasyarakatan yang menampung, merawat, dan membina narapidana. Lembaga pemasyarakatan yaitu untuk memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat, dan makhluk Tuhan (Ditjen Pemasyarakatan, 2009). 1.6.4 Pelatihan Emosi Suatu upaya dalam meningkatkan kecerdasan emosional pada individu agar dapat mengerti pentingnya kecerdasan emosional dan memiliki kesempatan untuk melatih aspek-aspek dari kecerdasan emosional. Melalui upaya ini diharapkan kecerdasan emosional individu dapat lebih ditingkatkan, sehingga individu dapat lebih mampu mengontrol emosinya dan lebih dapat berinteraksi secara baik dengan masyarakat (Gottman, 2008). 1.7. Cakupan dan Batasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi perbedaan kecerdasan emosional antara remaja yang mengikuti program kecerdasan emosional dengan remaja yang tidak mengikuti program kecerdasan emosional di Lapas Anak
12
Tangerang. Penelitian ini memiliki keterbatasan sampel karena dilakukan di Lapas Anak Tangerang dan hanya mengambil subjek remaja yang menghuni Lapas Anak Tangerang. Penelitian ini terbatas pada penggunaan teori Kecerdasan Emosional dari Goleman (2007).
13