BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Permasalahan Perkembangan teknologi digital telah menghadirkan berbagai jenis permainan virtual, yang kini tampak mulai menjadi bagian dari kehidupan anakanak. Anak-anak yang lahir pada awal abad 21, sangat mungkin mengenal permainan komputer terutama video games, melebihi apa yang dialami oleh generasi sebelumnya. Pada tahun 1970-an, permainan komputer dimulai dengan hadirnya permainan elektronik Pong atau Pac Man, yang menyajikan konsep matriks digital sederhana. Namun demikian, sejak ditemukan teknologi pencitraan tiga dimensi dan efek khusus gambar yang mampu menyalin realitas asli, permainan video games menjadi permainan populer, khususnya bagi jutaan anakanak di dunia (Jon Cogburn and Marx Silcox, 2009:123). Riset yang pernah dilakukan Siti Murtiningsih (2004:12) terhadap anakanak Indonesia pada usia sekolah, berkesimpulan bahwa anak-anak sekarang lebih banyak waktunya habis untuk
bermain Play Station dan I-Box, dua jenis
permainan video games yang mampu menghadirkan dunia permainan sebagai suatu “dunia lain”, melalui teknologi digital yang mampu mengolah cerita dengan kecanggihan gambar dan suara. Dengan demikian, anak-anak kemudian berhadapan dengan suatu realitas virtual yang berbeda dengan realitas asli , dimana konsep ruang dan waktu menjadi tak terbatas. Permainan video games
1
2
online melaui internet, misalnya, bahkan mampu menghubungkan para anak yang sedang bermain di suatu tempat ke tempat lain, melintasi batas-batas daerah, negara dan bangsa. Sementara itu, data lembaga riset pemasaran MARS tahun 2004 memperlihatkan, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh anak-anak Indonesia untuk bermain games berkisar 4 jam sehari. Jumlah ini diperkirakan lebih banyak lagi, mengingat anak-anak pada masyarakat modern meluangkan jauh lebih banyak waktu di depan televisi, play station, internet, atau online game dibanding bersama dengan orangtuanya (Lie, 2004:35). Kenyataan ini bahkan kian menguat ketika kehadiran permainan ini semakin mendominasi kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, fakta memperlihatkan bahwa rata-rata anak-anak menghabiskan waktu selama 4 jam untuk bermain video games, seperti PlayStation. Waktu 4 jam ini bukanlah waktu yang sedikit bila dibandingkan dengan waktu yang harus dihabiskan anak untuk sekolah yakni 6-8 jam, tidur 4-6 jam dan menjalankan fungsi sosial maupun individual lainnya (Zillman, 2002:54). Johan Huizinga dalam bukunya berjudul Homo Ludens (1990: 190-203), membahas betapa pentingnya elemen permainan dalam budaya dan masyarakat. Permainan, bagi Huizinga, mengambil tempat penting dalam ruang konseptual, atau yang disebutnya sebagai “Lingkaran Magis” (the Magic Circle), bahwa berbagai macam aksi di dalam suatu permainan membutuhkan pemaknaan yang diatur khusus, dimana makna kegiatan itu tidak dapat diterima di luar konteks permainan.
3
Betapapun, tidaklah mudah menarik garis perbedaan tegas antara “Lingkaran Magis” dari suatu permainan (game) “virtual” dan cara ungkap simbolik lainnya sebagai perwujudan dunia “sebagaimana seharusnya”. Perbedaan yang jelas adalah bahwa suatu permainan akan selalu melekat dalam realitas dan ditafsirkan baik dari dalam maupun dari luar “ruang konseptual”nya. Permainan dapat juga dilihat sebagai kegiatan yang meniru kehidupan sebenarnya tapi dalam konteks yang lebih aman, misalnya permainan jenis perang-perangan. Bermain bukan hanya kegiatan khas manusia. Hewan pun juga mengenal kegiatan bermain. Permainan dalam kasus keduanya, digunakan sebagai pola pembelajaran bertingkah laku dan untuk berkomunikasi. Bermain dan permainan, tampaknya tidak dapat dipisahkan dari sikap kecerdasan menghadapi hidup. Relasi paling mendasar dari manusia, seperti cinta, kekerabatan, hirarki sosial, seperti atasan dengan bawahan, secara akrab terhubungkan oleh ritual permainan. Suatu perayaan tertentu, misalnya perkawinan, seringkali dimeriahkan dengan bermain, dan kadangkala juga menghadirkan permainan. Bermain, dengan kata lain, adalah salah satu ciri dari ritus perkawinan dan juga menjadi ciri dari berbagai perayaan yang lain. Permainan, di sisi lain, juga menjadi alat bagi transfer nilai dan pengetahuan. Pada titik ini, permainan juga menjadi bagian dari pendidikan. Lewat permainan, anak dihantarkan untuk mengenal “dunia”. Dengan demikian, jika dipahami bahwa permainan sebagai sebuah konseptualisasi tentang “dunia”, maka analisis tentang peran permainan dalam filsafat pendidikan akan mempertimbangkan fungsi epistemologi dan ontologi dari suatu permainan. Arti
4
penting epistemologis dari permainan dapat dikaji dari hubungan pembelajaran yang interaktif. Permainan komputer seperti video games, dalam hal ini, adalah alat sangat berpengaruh, yang akan mengubah cara pandang anak tentang dunia, dan anak sebagai agen di dalamnya. Dunia yang dihadirkan dalam video games adalah “sebuah sub-realitas”. Pakar video games, Jesper Juul, lebih jauh berpendapat bahwa permainan dalam video games adalah “separuh nyata” (Jon Cogburn dan Marx Silcox, 2009:234). Fenomena video games ini tampaknya dapat dikaji lebih kritis dengan pendekatan melihat hakikat realitas yang dihadirkan oleh teknologi digital itu. Permainan video games agaknya mewakili apa yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai simulasi atas realitas. Baudrillard, melalui bukunya Simulations (1985), mengatakan ciri khas masyarakat barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah masyarakat yang hidup dengan carut marut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte, 2001: 235). Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Manusia. dalam konteks perkembangan teknologi virtual, mengutip Baudrillard, dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Dalam dunia simulasi ini, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard, 1987: 17). Teknologi, kata Baudrillard (1987:20), bukan lagi sekedar perpanjangan tubuh atau sistem syaraf manusia. Prosesor komputer, memori card, DVD, video games atau internet, misalnya, telah mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan
5
nostalgia. Produk teknologi tersebut, telah mampu menciptakan realitas baru dengan citra buatan, menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan, serta melipat realitas ke dalam sebuah flashdisk atau bank memori. Realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Memahami hakikat permainan sebagai sebuah “Lingkaran Magis”, kemudian menelisik evolusi permainan anak kontemporer video games ini, maka menarik untuk melihat bagaimana video games menjadi alat transfer pengetahuan tentang realitas dalam praktik pendidikan anak. Setidaknya, secara epistemologis akan dilihat bagaimana realitas itu dikonstruksikan oleh video games sebagai bagian dari apa yang dikatakan Baudrilard sebagai dunia simulacra. Lalu, akan dilihat bagaimana dunia simulacra itu memberikan pemahaman ontologis, epistemologis dan aksiologis kepada anak-anak yang bermain dalam
“ruang
konseptual” video games itu. Proses transfer pengetahuan dan pengalaman lewat video games ini akan memunculkan persoalan penting dalam filsafat pendidikan, yaitu tentang masalah struktur dasar realitas yang diserap oleh anak, dan bagaimana anak-anak membangun dan memahami “dunia” permainan itu dalam video games. Berbeda dengan permainan tradisional yang mengandalkan kekuatan naratif, maka permainan video games bertumpu pada satu bangunan logika yang “separuh nyata” dimana konsep ruang dan waktu, serta eksistensi subjek yang bermain, mampu melewati batas “ruang konseptual” dengan berbagai kemungkinan logis yang tidak terbatas.
6
Dengan demikian, menarik menelisik lebih jauh mengenai struktur realitas bagaimanakah sebenarnya yang terbangun di dalam permainan video games. Kemudian struktur dasar realitas apa saja kiranya yang berubah dalam “ruang konseptual” permainan video games tersebut. Hal lain yang penting untuk dibahas lebih jauh adalah mengenai bagaimanakah konsekuensi atau implikasi struktur realitas permainan video games itu terhadap internalisasi nilai pada pendidikan anak. Jawaban terhadap persoalan ini akan memperlihatkan, bagaimanakah sebenarnya filsafat pendidikan yang dikonstruksikan dari modus realitas dalam permainan anak video games itu. Bagaimanakah realitas tata nilai pada filsafat pendidikan yang terbangun dalam permainan anak video games tersebut jika diteropong dari perspektif teori simulacra Jean Baudrillard. Penelitian ini mencoba untuk menelusuri permasalahan yang terjadi, serta mencari jalan keluar yang dapat dimanfaatkan bersama guna meningkatkan kinerja pendidikan untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas bangsa melalui alternatif perspektif teori simulacra Jean Baudrillad—sebuah perspektif
yang
diupayakan menjadi agenda pendidikan sehingga memungkinkan untuk menyiapkan generasi penerus bangsa menghadapi dunia di era simularkum yang menjadi ciri dunia postmodern, sebuah dunia hiper-realitas. 2. Rumusan Masalah Penelitian yang berjudul Video Games dalam Perspektif
Filsafat
Pendidikan Jean Baudrillard dan Kontribusinya bagi Pendidikan di Indonesia memiliki objek material berupa fenomena permainan anak video games. Penelitian ini mencoba menelisik tentang hakikat dan makna permainan anak
7
video games secara filososfis melalui perspektif teori simulacra filsuf Jean Baudrillard. Hal ini membawa konsekuensi permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan permainan anak modern video games? 2. Apa filsafat pendidikan yang tergambar dalam permainan anak video games menurut Jean Baudrillard? 3. Apa kontribusi filsafat pendidikan permainan anak video games menurut teori simulacra Jean Baudrillard tersebut bagi pendidikan di Indonesia? 3. Keaslian dan kedalaman penelitian Penelitian tentang pemikiran dan karya-karya Jean Baudrillard pernah dilakukan dan ditulis, yakni penelitian Nunung Qomariyah berjudul “Analisis Simulacra Jean Baudillard atas Iklan Lux Super Power dan Iklan Gudang Garam di Televisi”. Kemudian penelitian Ahmad Ghozi Nurul Islam, bertajuk “Analisis Pertarungan Konstruksi Citra Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf Kalla
vs
Megawati-Hasyim Muzadi pada Iklan Kampanye Pilpres 2004 dalam Teori Simulasi Jean Baudrillard”. Namun demikian, penelitian-penelitian yang ada tersebut lebih pada perspektif tinjauan filsafat komunikasi dan filsafat bahasa Adapun penelitian tentang Jean Baudrillard dalam kaitannya dengan tema filsafat pendidikan dan permainan anak video game, belum ada. Oleh karena itu, sejauh penelusuran dan pengetahuan peneliti, maka penelitian tentang Video Games menurut
Perspektif
Filsafat
Pendidikan
Kontribusinya bagi Pendidikan di Indonesia, kiranya menjadi layak untuk diteliti lebih lanjut.
Jean
Baudrillard
dan
belum pernah dilakukan dan
8
4. Manfaat penelitian Penelitian ini penting dilakukan karena memberi manfaat sebagai berikut: a. Bagi ilmu pengetahuan, memberikan kontribusi terhadap pengembangan model
pendidikan
yang
berpijak
pada
perkembangan
teknologi
kontemporer. b. Bagi ilmu filsafat, memberikan sumbangan pemikiran tentang konstruksi filsafat pendidikan yang kontekstual dengan persoalan aktual yang ada. c. Bagi pembangunan Indonesia, penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan kritis bagi pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. B. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan hakikat dan makna permainan anak “video games” 2. Menganalisis secara kritis dan menemukan konstruksi filsafat pendidikan yang tercermin di dalam struktur realitas permainan anak video games menurut teori simulacra Jean Baudrillard. 3. Mengevaluasi secara kritis filsafat pendidikan yang tercermin di dalam permainan anak video games menurut teori simulacra Jean Baudrillard tersebut dengan mencari sumbangannya bagi pengembangan kritik pendidikan di Indonesia dewasa ini.
9
C. Tinjauan Pustaka Merebaknya pertumbuhan dan perkembangan teknologi di dunia virtual kini tidak lagi merupakan konsumsi orang dewasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak kecil di seluruh dunia mulai dapat mengikuti perkembangan teknologi ini melalui hadirnya berbagai macam komputer games, terutama permainan video games. Video game sesungguhnya bukan sekadar narasi, permainan, atau fiksi. Lantas, apakah sesungguhnya yang disebut video game itu? Dalam definisi perdebatan, sejumlah filsuf masa kini berpendapat bahwa modus definisi esensialis bukanlah satu-satunya definisi atas video game: karena ada pula definisi disjungtif (pemisah atau penjarak) (Davies, 2004; Dutton, 2006). Definisi disjungtif adalah definisi yang setidaknya menyertakan satu klausa disjungtif (baik.../maupun)
diantara kondisi-kondisinya. Untuk sederhananya, dapat
dinyatakan bahwa X adalah seni jika, dan hanya jika, X memiliki sifat A atau sifat B (Tosca, S.P., 2008:34). Dalam kasus ini, satu kumpulan sifat boleh jadi, secara individual atau secara kolektif, sudah memungkinkan X untuk menjadi sebuah video game, tapi tidak ditegaskan bahwa sifat-sifat itu secara individual diperlukan bagi X untuk menjadi video game. Dalam kasus teori-teori seni, definisi semacam itu sering kali dimaksudkan untuk menangkap intuisi tentang kemungkinan adanya lebih dari satu cara untuk menjadi dapat disebut sebagai seni (Dutton, 2006). Untuk meninjau kembali definisi seni permainan, dapatlah didefinisikan seni sebagai sesuatu yang melibatkan penggambaran atau pengungkapan emosi: sebagian
10
karya seni mungkin tidak memiliki penggambaran, namun tetap dianggap sebagai seni lantaran adanya pengungkapan emosi. Demikian juga, ada lebih dari satu cara khusus agar sesuatu itu disebut sebuah video game. Dikemukakan oleh pakar video game, Jesper Juul, bahwa memiliki intuisi menjadi faktor penting sebagai sifat campuran atau sifat pemisah pada video game. Definisi pemisah dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana—meski tidak dapat memiliki satu kumpulan sifat yang perlu dan cukup—video game dapat tetap didefinisikan. Hal ini tentunya akan menjadi cara untuk mempertemukan perbedaan teoretis antara kalangan ludolog, naratolog, dan teoretisi video game yang berupa fiksi interaktif, sembari mempertahankan kontribusi berharga yang diberikan oleh para teoretisi ini bagi pemahaman tentang video game. Meskipun tidak menjabarkan sebagian aspek dari video game yang dapat dikembangkan menjadi definisi yang bagus, setiap sisi pandang teoretis mengisolir sebuah karakteristik yang secara murni ada dalam video game (Tavinor, 2009:41) Dengan demikian, video game dapat didefinisikan sangat bagus dengan menetapkan sejumlah kondisi, yang tidak semuanya diperlukan secara individual, namun, ketika dikombinasikan secara tepat, sebuah definisi diperlukan bagi sebuah artifak untuk disebut sebagai video game (Tavinor, 2008:45): “X adalah sebuah video game jika X merupakan suatu artifak dari sebuah media digital visual, yang dimaksudkan sebagai objek hiburan, dan ditujukan untuk memberikan hiburan melalui penggunaan satu atau kedua mode keterlibatan berikut: aturan dan gameplay objektif atau fiksi interaktif”.
11
Definisi ini berbeda dari definisi yang murni disjungtif karena setidaknya ada dua kondisi yang diperlukan untuk membedakan video game dari preseden dan kerabat konseptualnya: sebagai artifak dalam sebuah media digital visual, dan sebagai objek yang ditujukan untuk hiburan. Ditemukannya komputer, termasuk unsur tampilan visualnya yang krusial, menjadi prasyarat historis bagi video gaming, dan adanya gaming merupakan pemanfaatan teknologi untuk tujuan hiburan. Tidak disangkal bahwa video game juga menggunakan sarana representasi non-visual, namun tampilan visual sepertinya selalu dominan atau merupakan intinya. Salah satu dari game paling awal, Tennis for Two karya Willy Higinbotham, berjalan pada sebuah komputer analog dan menggunakan osiloskop sebagai penampil visual. Game-nya Higinbotham dikembangkan pada tahun 1958 untuk menghibur para pengunjung Brookhaven National Laboratory di mana Higinbotham bekerja. Game-game modern untungnya sudah meninggalkan osiloskop, seperti misalnya game pada Playstation 3 yang terhubung dengan televisi LCD 32-inch. Namun prototipe dasarnya—yaitu hiburan dalam seting digital visual—sudah dapat dilihat pada game Tennis for Two (Cogburn, J., 2009:66). Terlepas dari kejelasannya, kondisi berbasis-media perlu disertakan dalam definisi, karena sejumlah video game secara struktural sangat serupa dengan nonvideo game, bedanya hanya pada media penggambarannya. Demikian halnya dengan game-game transmedia yang telah berpindah ke dalam lingkungan digital—yang merupakan hal yang sebelumnya sudah disinggung pada versi video game catur, video game kartu, dan sudoku. Permainan ini dapat menjadi video
12
game karena ditransfer ke dalam media digital, tanpa kondisi yang diperlukan yang menentukan media komputasi dan visual video game, definisi di atas juga diterapkan pada game-game ini dalam bentuk non-digital (Castronova, 2007:21). Acuan kepada penggambaran visual itu, secara khusus, diperlukan karena bila tidak begitu akan ada bermacam mainan dan game elektronik yang masuk ke dalam definisi ini. Computer Battleship—yang merupakan permainan pena-dankertas versi Milto Bradley 1980-an—adalah sebuah contoh dari game elektronik yang tidak masuk kategori video game karena tidak memiliki tampilan visual komputer; justru, pemainnya sendiri menampilkan keadaan game dengan model kapal kecil dan pasak pada lembar kisi-kisi plastik. Namun demikian, video game ada sebagai sebuah spesies dalam golongan game elektronik yang lebih luas, yang memungkinkan siapa saja untuk memahami hubungan antara jenis-jenis yang berkaitan erat. Versi video game dari Computer Battleship
telah diproduksi,
memberi tambahan bagi game-game elektronik sebagai penggambaran visual tentang keadaan permainan, termasuk animasi pertempurannya. Game-game itu juga menambah kemungkinan untuk bermain dengan komputer lawan (Cogburn, J., 2009:68). Diperlukan suatu penjelasan bahwa media visual dalam video game selalu bergambar. Memang hampir semua video game masa kini menampilkan gambar—bahkan kini penggambaran 3D sudah dapat dibilang wajib—namun kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak video game awal seperti Hunt the Wumpus dan Colossal Cave Adventure yang merupakan game berbasis-teks (Egenfeld, dkk., 2008:54). Pada game-game ini, layar visualnya digunakan untuk
13
menampilkan teks, dan interaksi pemain dengan game biasanya menggunakan teks ketika pemain mengetikkan langkah sebagai perintah menggunakan keyboard. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa game-game berbasis teks ini, karena dapat dimainkan dalam lingkup non-komputer, sama sekali bukan video game, dan bahwa video game yang sebenarnya adalah yang melibatkan manipulasi representasi gambar. Namun menarik simpulan seperti ini sama halnya mengecualikan jenis video game awal yang penting yang memiliki pengaruh kuat dalam bentuk aspek-aspek tekstual yang masih ada dalam game-game sekarang. Jadi, video game berbasis-teks ini memiliki bentuk-bentuk transmedia yang potensial dalam media non-digital (Egenfeld, dkk., 2008:60). Dengan kondisi media visual inilah aspek nominal dari definisi ini tampak sangat nyata. Kondisi visual ini sepertinya nyaris ditentukan oleh fakta bahwa hanya ada varian nominal yang mengacu kepada video game atau komputer game atau elektronik game karena sifat-sifat visualnya. Salah satu kemungkinan bantahan terhadap definisi ini ialah bahwa definisi ini mengesampingkan gamegame yang tanpa unsur tampilan visual. Metris merupakan game komputer yang secara struktur sama dengan Tetris, namun menggunakan nada musik dan frase sedangkan Tetris menggunakan bentuk-bentuk geometris. Dapat dinyatakan bahwa Metris merupakan sebuah video game hanya saja game ini tidak memiliki satu syarat yang diperlukan untuk definisi di atas, yang dengan sendirinya membantah pernyataan itu. Bantahan yang jelas terhadapnya ialah dengan menyangkal bahwa Tetris adalah sebuah video game, meski merupakan jenis yang
14
jelas berkaitan: dan yang jelas Tetris merupakan sebuah game komputer (Salen, K. and Zimmerman, E., 2004:45). Dengan demikian, penjabaran kategori game komputer sepertinya lebih sukar dijabarkan ketimbang video game. Video game dalam hal ini hanyalah sebuah kategori nominal bahwa Metris dapat berfungsi sebagai contoh-bantahan untuk definisi yang sekarang merupakan kekeliruan dalam menempatkan kategori-kategori kultural tersebut dengan eksistensi riil yang tidak dimiliki oleh kategori-kategori itu (Crawford, C., 1982:33). Syarat hiburan pada definisi yang diusulkan itu diperlukan untuk membedakan game dari artifak serupa yang memiliki tujuan selain dari hiburan, dan yang otomatis tidak sesuai dengan klasifikasi video game. Contoh-contoh dari artifak yang memiliki media digital dan visual serupa dengan video game adalah simulator penerbangan militer dan sipil, museum virtual, dan aplikasi desktop komputer yang melibatkan aspek-aspek fiktif seperti karakter animasi yang dijelaskan sebelumnya yang memberikan saran— yang kemudian justru dianggap mengganggu—
dalam
beberapa
versi
Microsoft
Word.
Kemampuan
representasional komputer yang memberi potensi video game untuk menghibur juga memiliki banyak sekali fungsi yang lebih praktis. Simulasi merupakan alat khusus yang sangat berguna dalam pembelajaran dan pelatihan, lantaran mampu menyajikan secara virtual sebuah aktivitas yang jika dilakukan di dunia nyata akan sangat berbahaya. Unsur hiburan ini perlu diawali dengan kata “dimaksudkan”, karena sebagian artifak non-game terbukti menghibur atau digunakan untuk memberikan hiburan meski tidak dimaksudkan demikian, dan
15
karena sebagian game, meski dimaksudkan sebagai hiburan, justru sangat tidak menghibur karena memang sangat jelek (Caillois, R., 2001:23). Aspek-aspek disjungtif itu diperlukan agar mencakup cara-cara video game dalam memberikan hiburan secara khas. Dalam hal ini, teori Juul tentang video game sebagai campuran game-fiksi sangat menarik, dengan menggunakan game dan fiksi sebagai bentuk-bentuk hiburan penting. Hanya saja, syarat gameplay dan fiksi interaktif dalam definisi itu diperlukan untuk membedakan cara-cara penggunaan media visual digital untuk tujuan hiburan yang tidak berupa video game, yang contohnya adalah situs internet dan video, dan televisi digital. Artifakartifak ini memang menghibur dan memiliki kesamaan media dengan video game—dan karenanya memenuhi syarat yang diperlukan dalam definisi itu— namun berbeda cara dalam melibatkan khalayak penggunanya. Film-film digital boleh jadi melibatkan fiksi, namun tidak bersifat interaktif yang merupakan ciri video game. Situs-situs internet non-gaming juga bersifat interaktif, setidaknya dalam pengertian tertentu, namun tidak selalu melibatkan fiksi interaktif atau gameplay; bila melibatkan, game-game ini dapat digolongkan sebagai video game online. Sepertinya merupakan keniscayaan sejarah bahwa video game telah menggunakan salah satu atau kedua mode interaksi ini (Wolf, M.J.P., 2001:44). Disertakannya aturan dan gameplay objektif pada suatu artifak merupakan syarat yang cukup, mengingat adanya dua syarat yang diperlukan untuk definisi disjungtif ini, agar artifak itu dinyatakan sebagai video game. Tetris, Pong, PacMan dan game-game transmedia seperti catur dan permainan kartu digolongkan sebagai video game karena pemenuhan atas syarat ini (Cogburn, J., 2009:17).
16
Dengan demikian, sepertinya sudah jelas bahwa ada beberapa perbedaan penting antara game-game dalam seting video game dan non-video game. Khususnya, sifat aturan dalam video game sepertinya sangat tidak serupa dengan yang ada pada game-game tradisional, yang ada bukan sebagai formulasi linguistik eksplisit tentang gerakan dan tujuan yang absah, melainkan sebagai kemungkinan untuk berinteraksi dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Bahkan, banyak video game yang tidak memberitahu pemain tentang aturan dan tujuan game itu sendiri sebelum game dimainkan, dan itu baru dapat diketahui setelah game tersebut dimainkan (Sloan, Daniel, 2011:76) . Tidak semua video game melibatkan aturan dan gameplay objektif, dan karenanya cara khas kedua yang menjadikan hiburan interaktif sebagai video game adalah penggunaan fiksi interaktifnya. Fiksi saja tidaklah cukup, karena, seperti dikatakan, dalam kelas video game tercakup banyak video internet fiksional dan film dalam media digital. Karena itu, gagasan tentang interaktivitas memainkan peran sangat penting di dalam video game. Fiksi interaktif memiliki sejumlah bentuk—termasuk simulasi, fiksi petualangan dunia, atau pembentukandunia, dan narasi interaktif. Fiksi-fiksi ini tentunya merupakan salah satu daya tarik utama yang mesti dimiliki oleh video game, baik untuk memainkannya maupun untuk mengkajinya (Travinor, G., 2009: 34). Dengan demikian, video game dapat didefinisikan dengan sebuah konjungsi dua syarat yang diperlukan—syarat media digital atau visual dan syarat hiburan— dan sebuah disjungsi yang menjelaskan bagaimana syarat penting pertama mencontohnya syarat yang kedua: aturan dan game-play objektif, dan fiksi
17
interaktif. Motivasi penting untuk aspek disjungtif definisi video game ini ialah bahwa definisi ini menjelaskan sebagian kaitan yang dimiliki oleh video game terhadap bentuk-bentuk budaya sebelumnya, terutama game dan fiksi. Fitur-fitur ini terlihat jelas dalam media lain, dan kesamaan inilah yang mendorong para teoretisi game untuk mencirikan game berdasarkan bentuk-bentuk sebelumnya. Video gaming pada dasarnya merupakan cara penerapan bentuk-bentuk hiburan tradisional dalam media teknologi baru (Tavinor, G., 2009:15). Aspek disjungtif definisi itu memang diperlukan agar memungkinkan disertakannya video game yang tidak memiliki fiksi game atau fiksi interaktif (bukan tidak memiliki dua-duanya), namun yang jelas ialah bahwa mayoritas video game melibatkan kedua fitur disjungtif itu. Contoh-contoh video game tersebut diantaranya adalah The Elder Scrolls: Oblivion, Grand Theft Auto, dan Portal –tentunya mengandung fiksi dan game interaktif, sebagaimana banyak versi video game klasik seperti Pac-Man, Space Invaders, and Donkey Kong (Tavinor, G., 2009:23). Meskipun kurang cocok sebagai sebuah definisi, namun dapat dikatakan bahwa video game pada umumnya merupakan hiburan visual digital yang menggunakan permainan dalam lingkungan fiktif. Jadi, aspek disjungtif dari definisi ini—meski penting dari sudut pandang definisi karena memungkinkan definisi ini untuk mencakup sebuah kategori yang sepertinya tidak bersifat monolitik—barangkali tidak dapat sejauh itu dalam menjelaskan tentang game. Jadi, tidak ada salahnya membahas beberapa kemungkinan bantahan terhadap definisi ini. Dapat dikatakan bahwa definisi yang ditawarkan di sini
18
sangatlah inklusif. Apakah video game transmedia seperti catur dan Sudoku benar-benar merupakan video game, ataukah game biasa dalam lingkup video? Catur dapat dimainkan di atas papan menggunakan bidak-bidaknya, melalui komunikasi, dan pada komputer. Dapat dinyatakan juga bahwa berubahnya media catur tidaklah cukup untuk menyebut permainan catur sebagai video game. Video game yang sesungguhnya, seperti Tetris, tidak dapat dimainkan selain di media digital. Jika intuisi itu benar, yaitu bahwa peralihan media tidaklah cukup untuk menjadikan permainan non-video game seperti catur atau Sudoku sebagai video game, maka definisi yang diusulkan, mencakup artifak-artifak yang tidak murni video game. (Egenfeldt, dkk., 2008:22) Ada tanggapan yang jelas, yang dapat dikemukakan terhadap argumen ini. Pertama, ada kejelasan tidak terbantahkan bahwa non-video game dapat di adaptasi ke dalam video game, misalnya video game sepakbola atau cricket. Bermain video game sepakbola bukanlah sekadar bermain sepakbola di dalam lingkup video. Karena kurang dikenal akrab, game olahraga transmedia menjadikan efek penggolongan transposisi media kian jelas. Catur juga merupakan permainan yang minim representasi sehingga sangat mudah untuk berpindah-pindah media (termasuk ke dalam media yang murni bersifat mental atau linguistik, seperti pada pertandingan catur). Di sisi lain, video game sepakbola modern membutuhkan teknologi untuk mendukung grafik 3D sebelum dapat diciptakan, dan bahkan kini pun bentuk yang didapatkan hanya merupakan perkiraan umum dari pertandingan yang sebenarnya (Egenfeldt, dkk., 2008: 97).
19
Kedua, jika catur semenjak awal dikembangkan sebagai game komputer dan kemudian dialihkan ke lingkup papan bidak, intuisi akan mengatakan bahwa sebuah video game telah menjadi sebuah board game. Bahkan, ada kasus di mana video game berpindah ke setting board game yang memiliki pengaruh kategori ini: seperti dikatakan oleh Juul (2005: 50), pada awal 1980-an Milton Bradley memproduksi sejumlah adaptasi video game populer, termasuk versi board game dari Pac-Man dan Frogger. Contoh ini menunjukkan bahwa transposisi media dapat menentukan apakah sesuatu itu video game ataukah board game. Untuk menjelaskan intuisi ini, dapat dikatakan bahwa di sini terdapat hubungan genus atau spesies, di mana board game dan video game menjadi contoh dari kategori penyederhana game yang lebih inklusif. Perpindahan dari board game ke video game bergantung pada perubahan pada media representasinya (dan karenanya menjelaskan perlunya syarat media untuk definisi yang diajukan di sini). Namun demikian, ada pemahaman riil tentang identitas game pada tingkat genus, sehingga video game dan board game catur atau Frogger dapat tetap dianggap sebagai game yang sama di dalam media berbeda (Egenfeldt, dkk., 2008:132) . Dapat dinyatakan bahwa definisi ini masih terlalu sempit karena mengesampingkan game-game yang memiliki fungsi lain selain hiburan. Mendefinisikan game sebagai sesuatu yang “dimaksudkan sebagai objek hiburan” sepertinya berarti mengesampingkan game yang digunakan dalam pembelajaran dan pengajaran, misalnya game matematika, game ejaan, atau yang digunakan dalam iklan atau fungsi hubungan masyarakat, seperti halnya game America’s Army, sebuah game FPS yang dimaksudkan untuk meningkatkan perekrutan
20
prajurit angkatan darat. Tentu saja, definisi yang diusulkan itu tidak akan memungkinkan kedua jenis kasus itu untuk dianggap sebagai sebuah video game karena masing-masing dimaksudkan untuk fungsi pendidikan dan hubungan masyarakat (Egenfeldt, dkk., 2008:205). Semua yang disebutkan di atas merupakan video game dengan fungsi yang luas. Artifak dapat memiliki sejumlah fungsi dan identitas kategorinya dapat berubah sesuai dengan fungsi mana yang diperhatikan: video game dan pembukakaleng sama-sama dapat berfungsi sebagai barang jualan, namun keduanya berada dalam kategori yang lebih sempit, yaitu sebagai video game dan sebagai pembuka kaleng, berdasarkan fungsi masing-masing—memberi hiburan dan membuka kaleng—yang melandasi daya tarik komersial masing-masing. America’s Army adalah sebuah video game yang memanfaatkan fungsi lokal sebagai objek hiburan, dan karenanya merupakan video game yang cocok untuk menjalangkan fungsi luas hubungan masyarakat. Jika America’s Army dari awalnya memang bukan video game, maka America’s Army tidak dapat memiliki fungsi lanjut ini (Egenfeldt, dkk., 2008:207). Contoh lain yang menunjukkan perlunya kriteria hiburan adalah artifak dalam media digital yang tujuan luasnya adalah pembelajaran atau pendidikan, namun bukan video game karena tidak menggunakan fungsi hiburan lokal untuk mencapai tujuan ini. Sebuah simulasi media yang ditujukan untuk pelatihan teknik laparoskopi dapat dijadikan contoh jika simulasi itu tidak dimaksudkan untuk mendorong dan memotivasi penggunanya melalui sarana hiburan. Adakalanya dinyatakan bahwa game Second Life—sebuah dunia virtual di mana partisipan
21
terlibat dalam kegiatan selain dari hiburan—bukanlah sebuah video game karena tidak memiliki syarat ini. Syarat hiburan pada definisi disjungtif—yang disusun dengan mengacu kepada fungsi lokal sebuah artifak—diperlukan untuk membedakan kasus-kasus semacam itu (Egenfeldt, dkk., 2008:156). Masalah potensial terakhir mengemuka ketika dipertanyakan apakah definisi disjungtif ini dapat disesuaikan menjadi definisi syarat yang perlu dan cukup dengan menggambarkan aspek disjungtif definisi secara lebih menyeluruh. Video game dapat didefinisikan sebagai hiburan digital visual interaktif, di mana kata interaktif dipandang sebagai istilah yang mencakup sifat fiksi interaktif dan bentuk
keterlibatan dalam gameplay. Sayangnya, kata interaktif tidak cocok
untuk tugas mendefinisikan video game karena pengertian interaksi yang cukup luas untuk mencakup fiksi interaktif dan gameplay akan membawa serta hal-hal lain. Jika kata interaktif dianggap mengacu kepada partisipasi pemirsanya, definisi itu barangkali dapat diperluas agar mencakup DVD interaktif, sistem televisi berdasarkan permintaan, berbagai aktivitas internet non-game, dan mainan dengan unsur tampilan digital dan visual. Jika pengertian interaktif ditetapkan secara lebih terbatas, agar mencakup bagaimana video game itu dinyatakan interaktif, namun juga untuk mengesampingkan artifak interaktif lain, maka tidaklah jelas apakah istilah itu dapat diperluas untuk hanya mencakup seluruh game karena interaksi yang ada dalam berbagai jenis video game tampaknya sangat beragam (Egenfeldt, dkk., 2008:157). Game Tetris itu interaktif karena memberi tantangan bagi kemampuan sensori-motorik yang disusun dalam kerangka yang terarah kepada tujuan.
22
Microsoft Flight Simulator itu interaktif dalam arti bahwa game ini memungkinkan pemain untuk mengeksplorasi dan berinteraksi dengan dunia fiksi melalui penerbangan yang disimulasikan. Tidaklah jelas bahwa kedua game ini memiliki kesamaan pengertian interaksi yang tidak dimiliki oleh aktivitas internet non-gaming atau media digital interaktif lain. Dengan demikian, manfaat potensial dari pendefinisian game adalah efek instrumentalnya terhadap teori video gaming dalam mengklarifikasi topik dan menetapkan cara baru pengkajian. Banyak di antara minat filosofis terhadap video gaming yang berasal dari bagaimana syarat-syarat ini berinteraksi untuk menghasilkan kemungkinan baru penciptaan seni, dan juga memunculkan pertentangan baru, mengingat bahwa karakteristik definisi tidak selalu bersesuaian dalam lingkungan barunya di dalam video game. Sekarang saatnya beranjak menuju penjelasan tentang video game. (Egenfeldt, dkk., 2008:169) Pendekatan-pendekatan begitu
menjanjikan
ketika
teoretis sebelumnya terhadap video game tidak dirumuskan
sebagai
definisi.
Justru,
untuk
mendefinisikan video game, perlu dilihat kemungkinan-kemungkinan formal definisi itu sendiri, dan menyusun sebuah definisi yang memberi kemungkinan bahwa boleh jadi ada lebih dari satu cara agar sesuatu itu dapat disebut sebagai video game. Jadi, X adalah sebuah video game jika, dan hanya jika, X merupakan sebuah artifak dalam sebuah media digital visual, dimaksudkan sebagai objek hiburan, dan dimaksudkan untuk memberikan hiburan tersebut melalui penggunaan aturan dan gameplay objektif atau fiksi interaktif. Dengan demikian,
23
hal ini menggambarkan kontinuitas antara video game dan bentuk-bentuk budaya sebelumnya (Tavinor, 2007:26). Dapat diterima bahwa video game merupakan fiksi atau menggambarkan unsur-unsur fiksi. Banyaknya goblin yang pemain perankan ketika memainkan game Oblivion, misalnya, hanya memiliki eksistensi yang terbayangkan. Namun demikian, fiksi video game sepertinya berbeda dengan jenis fiksi lain karena memungkinkan pemain untuk menggunakan peran fiksional dan berinteraksi dengan dunia fiksi. Dengan demikian perlu berpijak pada literatur filsafat tentang fiksi, untuk menjelaskan sifat dari fiksi game, dan juga untuk mengeksplorasi makna virtualitas dan imersi (keterlibatan pikiran secara mendalam), dan bagaimana keduanya berkait dengan fiksi. Video game, karena media digitalnya yang kuat dan andal, merupakan fiksi interaktif dalam dua pengertian: propertinya melibatkan pemain dalam interaksi fisik yang tengah berlangsung, dan memungkinkan pemain untuk secara fiksional memasuki dunia imajiner (Tavinor, 2007:35). Berkaitan dengan pengertian dan pemahaman video game tersebut, lima puluh
persen dari
semua
orang
di dunia
ini bermain
video
game
(Entertainment Software Asscociation, 2005). Jadi sesungguhnya, diperlukan pemahaman dan pengertian definisi apakah yang dimaksud dengan video game tersebut. Ketika teknologi semakin terkonvergensi, game yang sama dapat dimainkan dalam platform yang lebih banyak. Myst, contohnya, awalnya adalah game komputer yang digunakan untuk komputer Macintosh, kemudian untuk PC dari
24
IBM, lalu driver CD-ROM eksternal, kemudian konsol video game seperti PlayStation. Sekarang, game ini dapat dimainkan secara online. Versi permainan Donkey Kong dapat dimainkan pada mesin permainan dan konsol, lewat internet, pada komputer Mac atau PC, dan juga pada alat permainan genggam. Q-bert dapat dimainkan pada mesin permainan dan juga pada jam tangan Nelsonic pada pergelangan tangan pemain. Untuk pengertian ini, game disebut sebagai video game ketika aksi dalam game terjadi secara interaktif lewat layar. Dengan definisi ini, game online berbasis teks seperti MUD, atau multi-user dimension, yang tidak memiliki gambar bergerak, dapat disebut sebagai video game, namun game Trivial Pursuit versi rumahan, yang menggunakan DVD dalam memberikan petunjuk yang direkam untuk yang memainkan versi tradisionalnya (board game), bukanlah video game (Tavinor, 2007:40). Hal di atas menjawab basis teknologi setengah dari kata video game, yaitu kata video, namun apa yang dimaksud dengan video game? Berdasarkan pengertian ini, video game adalah sebuah permainan yang dimainkan oleh pemain yang memiliki keterlibatan langsung dalam tindakan pada layar untuk memberikan suatu hasil yang diharapkan. Contohnya pada MUD, pemain menggunakan
teks
--kata-kata—untuk
menciptakan
suatu
kepribadian,
lingkungan, bahkan dunia yang di dalamnya game berinteraksi dengan pemain lain untuk mencapai tujuan yang spesifik. Itulah yang dimaksud dengan game. Akan tetapi, bagaimana dengan permainan
Mario Teaches Typing, sebuah
bantuan belajar dengan menggunakan kaset ROM? Walaupun tujuannya adalah mengajar, karena permainan ini memiliki fitur menyerupai game (dalam hal ini,
25
Super Mario yang terkenal dan manipulasi tindakan pada layar untuk mencapai tujuan tertentu), ini juga adalah game (Tavinor, 2007:49).. Sebuah permainan adalah sebuah sistem dimana pemain terlibat dalam konflik buatan, disini pemain berinteraksi dengan sistem dan konflik dalam permainan merupakan rekayasa atau buatan, dalam permainan terdapat peraturan yang bertujuan untuk membatasi perilaku pemain dan menentukan permainan. Permainan merupakan bagian dari bermain dan bermain juga bagian dari permainan keduanya saling berhubungan. Permainan adalah kegiatan yang kompleks yang didalamnya terdapat peraturan, aspek bermain dan budaya (Tavinor, 2007:54). Game bertujuan untuk menghibur, biasanya game banyak disukai oleh anak hingga orang dewasa. Game sebenarnya penting untuk perkembangan otak, untuk meningkatkan konsentrasi dan melatih untuk memecahkan masalah dengan tepat dan cepat karena dalam game terdapat berbagai konflik atau masalah yang menuntut pemain untuk menyelesaikannya dengan cepat dan tepat. Tetapi game juga dapat merugikan karena apabila sudah membuat kecanduan game sehingga lupa waktu dan akan mengganggu kegiatan atau aktifitas. Seorang
sosiolog
Perancis,
Roger
Caillois
(Prawira,
2009,
16),
mendefinisikan game sebagai sebuah aktivitas yang harus memenuhi beberapa karakteristik, yaitu: fun (sebuah aktivitas yang memberikan kesenangan dan tidak menyakitkan hati; separate (terpisah secara ruang dan waktu); uncertain (hasil luaran dari aktivitas ini sulit untuk dilihat); non-productive; governed by rules
26
(memiliki aturan main yang berbeda dengan kehidupan nyata); fictitious (diciptakan sebagai dimensi kehidupan yang berbeda dengan kenyataan). Istilah game sendiri muncul sesungguhnya pertamakali pada tahun 1947 di mana game didesain untuk dimainkan dengan layar CRT (cathode ray tube). Game sederhana ini dirancang oleh Thomas T. Goldsmith Jr. dan Estle Ray Mann. Aplikasi ini dipatenkan pada tanggal 14 Desember 1948. Sistem yang dibuatnya terdiri dari 8 vacum tubes dan mensimulasikan peluru ditembakkan pada target, ide ini berasal dari display radar pada Perang Dunia II. Beberapa knop disediakan untuk mengatur kurva dan kecepatan titik yang mewakili peluru. Karena pada waktu itu grafik belum dapat dibuat, target penembakan digambarkan pada sebuah lapisan yang kemudian ditempelkan pada CRT. Hal ini adalah sistem pertama yang secara spesifik didesain untuk game pada layar CRT. Banyak yang menyebutkan bahwa penemu video game adalah William Higinbotham (Tavinor, 2007:62). Pada tahun 1952, A.S. Douglas membuat OXO, game grafis noughts and crosses atau nol dan silang, di University of Cambridge untuk mendemonstrasikan tesisnya tentang interaksi komputer dan manusia. Permainan ini bekerja pada komputer besar yang menggunakan CRT display. Perangkat game portable genggam yang pertama dibuat adalah Tic Tac Toe di tahun 1972 oleh Waco Company. Tahun 1958 menciptakan game Tennis for Two pada osiloskop. Game ini menampilkan lapangan tenis sederhana dipandang dari samping. Bola seakan dipengaruhi oleh gravitasi dan harus melewati net atau jaring. Dengan dua kontrol yang masing-masing dilengkapi knop untuk mengarahkan bola dan sebuah tombol
27
untuk memukul bola sampai melewati net. Tahun 1972 dirilis perangkat video game pertama untuk pasar rumahan, Magnavox Odyssey, dihubungkan dengan televisi. Meski tidak sukses besar, perusahaan lain dengan produk yang sama harus membayar lisensi. Namun demikian, kesuksesan menjemput sejak Atari meluncurkan Pong, sebuah video game ping-pong pada 29 November 1972. Berangkat dari sini, video dan komputer game menjadi populer dan hobi baru di saat PC (personal computer) baru saja mulai dikenal dan dipakai secara luas oleh masyarakat (Tavinor, 2007:68). Mistery House, rancangan ibu rumah tangga, Roberta Williams dipercaya sebagai game petualangan pertama dengan grafis pada Apple II. Meski interface untuk input perintah masih berupa teks, ilustrasi grafik hitam putih sebuah rumah bergaya viktoria merupakan gebrakan baru di masa itu. Game ini begitu populer dan mendorong Roberta Williams mendirikan Sierra On-Line bersama suaminya dan terus memproduksi game khususnya petualangan (Tavinor, 2007:72). Pada awal tahun 1980-an ditandai oleh Nintendo. Kesuksesan LCD genggam ini menciptakan banyak pengikut untuk membuat yang sama dengan mengadopsi game-game popular, awal tahun 1980-an juga ditandai dengan hadirnya media penyimpan CD-ROM yang dalam waktu singkat menjadi populer. Era game 3 dimensi (3D) dengan perspektif orang pertama dan multi player game mulai muncul di era ini. Suara dan musik semakin berkembang di pertengahan 1980-an seiring dengan hadirnya produk sound card. Jadi, memang terasa bahwa pasar game komputer semakin berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi pendukungnya (Tavinor, 2007:75).
28
Board Games (Permainan Papan) Game pada katagori ini membutuhkan suatu papan yang terbagi dalam sektor-sektor tertentu (dengan garis-garis) dan didalamnya terdapat sejumlah alat main yang dapat digerakkan, yang termasuk game dalam katagori ini adalah catur. Dalam permainan ini dua pemain akan saling berhadapan dan saling mengadu strategi untuk mempertahankan daerah sendiri dan mengalahkan lawan. Card Games (Permainan Kartu), game ini akan memanfaatkan simbol dari 52 kartu yang terbagi dalam dua faktor : suit (4 nilai) dan rank (13 nilai). Sejumlah ketentuan dibuat untuk mengatur bagaimana caracara untuk membuat kombinasi tersebut, yang termasuk game dalam katagori ini adalah permainan kartu bridge atau truf (Tavinor, 2007:78). Permainan game Athletic Games (Permainan Atletik) jenis ini lebih cenderung pada penggunaan fisik. Peraturan game mewajibkan pemain untuk melakukan aksi tertentu. Kekuatan badan, kecepatan, ketepatan dan kerjasama menjadi bagian utama dari game atletik. Children Games (Permainan Anak) adalah contoh dari game anak; anak seperti berlari, sembunyi, melempar dan menangkap. Pada umumnya game ini menekankan pada aktifitas kelompok sebagai latihan untuk berkehidupan sosial. Permainan Computer Games (Permainan Komputer) ini dimainkan lewat bantuan alat komputer. Terdapat 5 alat yang dapat dikategorikan sebagai game komputer (Egenfeldt, dkk., 2008, 188) yaitu : 1. Expensive dedicated machine, mesin dengan cara memasukkan koin untuk memainkankannya.
29
2. Inexpensive dedicated machine, disebut juga dengan hand held machine. Alat game-watch termasuk dalam katagori ini. 3. Multiprogram home, mesin seperti Atari, Nintendo termasuk dalam kelompok komputer ini. 4. Personal computer 5. Mainframe computer Computer game berbeda dengan jenis game yang lain karena tidak ada pergerakan secara fisik atau interaksi langsung dengan objek kecuali lewat perantaraan komputer. Software yang dibuat harus dapat menangkap reaksi yang cepat dari interaksi yang dihasilkan dengan pemain dan juga harus bersifat real time. Kompleksitas game bergantung dari kemampuan menjelaskan aturan atau cara kerja game dan lingkungan game dalam program yang dibuat (Egenfeldt, dkk., 2008, 190) . Lain lagi tentang teknologi game online, yang berawal dari penemuan metode networking computer tahun 1970-an oleh militer Amerika. Pada game online ini pertama kali menggunakan jaringan LAN atau Local Area Network tetapi sesuai dengan perkembangan teknologi akhirnya game online menggunakan jaringan yang lebih luas lagi seperti www atau world wide web atau yang lebih dikenal dengan internet yang dapat diakses dengan menggunakan nirkabel. Untuk dapat memainkan game online, terlebih dahulu harus menginstal program game tersebut, dan untuk memulai game online terlebih dahulu harus register atau mendaftar dan setelah itu baru dapat langsung memainkannya. Bedanya dengan game offline, dalam bermain game online, orang tidak harus berpergian, pemain
30
hanya butuh duduk di depan komputer dan dapat langsung menikmati permainan. Perbedaan besar lainnya adalah bahwa karena menghubungkan dengan internet secara global, pemain dapat memiliki kesempatan untuk bersaing dengan dan mendapatkan teman dari seluruh dunia. Contoh game online adalah Ragnarok Online,
RF
Online,
Ayo
Dance,
Perfect
World,
Yugioh!
Online
(http://wikipedia.com/definisigame). Dengan demikian, video-game merupakan permainan yang melibatkan interaksi antara pemain dan mesin (system), dalam bentuk visual yang bersumber dari perangkat audio video. Kata video dalam video game mengacu pada mesin game yang memiliki sarana tampilan (Prawira, 2009;17). Memainkannya pun tidak lagi konvensional dengan mesin video game arcade, kali ini dengan computer maupun konsol (Wii, PS, Xbox) yang terkoneksi dengan internet, yang disebut dengan istilah online game. Dalam Prawira (2009:18) beberapa istilah yang umumnya digunakan dalam dunia video games adalah sebagai berikut: a.
platform : istilah “platform” merujuk kepada kombinasi khusus
dari perangkat keras dan lunak computer yang mengoperasikan video game. Personal computers merupakan platform yang popular dalam video game sebagai PC games. Console atau mesin adalah perangkat computer yang diciptakan khusus untuk mengoperasikan video game, biasanya disertai perangkat tambahan sebagai syarat pengoperasian. b.
Genre: video game, seperti halnya bentuk-bentuk media lainnya,
dikategorikan ke dalam jenis-jenis tertentu berdasarkan beberapa faktor,
31
diantaranya gameplay, tujuan permainan dan faktor lainnya. Genre kemudian diartikan sebagai varian atau tipe game. Industri game mengembangkan bentuk game yang mirip dengan kehidupan nyata, lengkap dengan kompleksitas jalan cerita dan kedalaman tampilan visual. Beberapa genre yang dikenal dalam perkembangan game saat ini adalah Maze Game, Board Game, Card Game, Battle Card Game, Quiz Game, Puzzle Game, Shoot Them Up, Side Scroller Game, Fighting Game, Racing Game, Turn Based Strategy Game, Real Time Strategy Game (RTS), SIM, First Person Shooter (FPS), First Person 3D Vehicle Based, Third Person 3D Games, Role Playing Game (RPG), Adenture Game, Educational and Edutainment Sports dan Simulation. c.
Types of video games: video game dikembangkan dengan tujuan
utama sebagai sarana hiburan. Namun demikian beberapa jenis video game dikembangkan untuk tujuan lainnya. Beberapa jenis yang dikenal luas yaitu adventure game, educational game, propaganda game (militainment) dan lainlain. Sebagian besar dari jenis games tersebut dikategorikan sebagai “game serius”. Albert Bandura melalui teori Social Learning yang populer pada dekade 1960-an memperlihatkan bahwa seiring dengan maraknya perkembangan video games, seperti PlayStation, maka lembaga ini berkesimpulan bahwa permainan video games menjelma sosoknya menjadi alternatif media belajar baru bagi masyarakat, terutama anak-anak (James Paul Gee, 2005:11). Kenyataan ini kian menguat ketika kehadiran permainan ini semakin mendominasi kehidupan masyarakat di seluruh dunia.
32
Fakta di Amerika Serikat, memperlihatkan bahwa rata-rata anak-anak menghabiskan waktu selama 4 jam bermain video games, seperti PlayStation—4 jam bukan waktu yang sedikit bila dibandingkan dengan waktu yang harus dihabiskan anak untuk sekolah (6-8 jam), tidur (4-6 jam) dan menjalankan fungsi sosial maupun individual lainnya (Zillman, 2002:13). Data lembaga riset pemasaran MARS tahun 2004 memperlihatkan, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh anak-anak Indonesia untuk bermain games berkisar 4 jam sehari. Jumlah ini diperkirakan lebih banyak lagi, mengingat anak-anak pada masyarakat modern meluangkan jauh lebih banyak waktu di depan televisi, play station, internet, atau online game dibanding bersama dengan orangtuanya (Lie, 2004:8). Inilah sebentuk tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia akibat dari perkembangan kemajuan teknologi permainan anak-anak. Idealisme pendidikan yang menawarkan nilai-nilai kultural dihadapkan pada saluran lain yang menawarkan ragam nilai lain, yang sayangnya, menyimpang jauh dari idealisme keluhuran budi pekerti dan intelektual. Permainan video games dengan sendirinya menawarkan hidden curriculum dengan agenda ekonomi politik: penguasaan kesadaran dan tingkat konsumsi tinggi. Fenomena ini diperparah lagi oleh kenyataan bahwa di tengah ruang yang bebas diisi oleh siapa saja dalam sistem yang demokratis seperti sekarang ini, video games justru hadir mendominasi ruang dan waktu anak-anak di seluruh dunia (Armando, A., 2011:89). Dalam konteks zaman sekarang, zaman yang terlalu hingar bingar dengan membanjirnya kultur besar (mayor dan dominan) ke dalam komunitas yang
33
berbasis kultur kecil (minor), hadirnya sebuah pemikiran yang mampu menjelaskan fenomena dunia hiperrealitas pada permainan anak video games tersebut secara jelas dan akademis sangat diperlukan. Gambaran-gambaran zaman yang nampak pada video games, adalah gambaran dunia yang dibentuk oleh “realitas” yang dipresentasikan oleh permainan tersebut yang menjembatani aliran arus budaya mayor ke budaya minor, sehingga pencitraan-pencitraan atas realitas juga mengikuti irama presentasi permainan itu (Piliang, Y.A., 2006: xxxv). Huizinga, dalam bukunya Homo Ludens (1990:23) mengatakan bahwa permainan bisa diibaratkan sebagai “lingkaran magis”, di dalamnya ada pergeseran tentang ruang, dari real menuju ke “ruang konseptual”. Sebagaimana banyak disinyalir banyak orang bahwa video games, dalam perkembangannya, menghadirkan realitas dengan cara berbeda. Dunia pada permainan teknologi modern ini hadir membius anak-anak di seluruh dunia ibarat sebagai simulasi. Dunia menjadi tak berjarak, antara yang real dengan yang tidak real (Piliang, Y.A., 2006:xxxvi). Hal ini lain lagi jika dilihat dari kacamata perspektif Kantian. Perspektif ini mengatakan bahwa fenomena permainan teknologi modern ini dapat dipahami dari fenomenologi realitas, bahwa realitas ini selalu menampakkan diri sebagai das ding an-sich, yang selalu terdiri dari dua distingsi realitas yakni realitas noumenon dan realitas fenomenon (dua distingsi realitas) (Hunnex, M.D., 2004:23). Sementara itu, pakar psikologi perkembangan anak, Jean Piaget (1977:34), mengatakan bahwa bermain adalah keadaan tidak seimbang dimana asimilasi
34
lebih dominan daripada akomodasi. Imitasi juga mencerminkan keadaan tidak seimbang karena akomodasi mendominasi asimilasi. Situasi yang tidak seimbang dengan sendirinya tidak menunjang proses belajar seorang anak, atau secara intelektual tidak adaptif. Saat bermain, menurut Piaget, seorang anak tidak sedang belajar sesuatu yang baru, namun mereka belajar mempraktekkan dan mengkonsolidasi ketrampilan yang baru diperoleh. Jadi, walaupun bermain bukan penentu utama untuk perkembangan kognisi, bermain memberi sumbangan penting. Contohnya, pada episode bermain peran yang dilakukan seorang anak bersama kawan-kawannya, terjadi beberapa transformasi simbolik seperti purapura menggunakan balok sebagai telur. Dari permainan itu, seorang anak tidak belajar ketrampilan baru, namun anak belajar mempraktekkan ketrampilan merepresentasikan apa saja yang telah dipelajari sebelumnya (yang telah diperolehnya dalam konteks bukan bermain) (Meyke, 2001:8). Situasi seperti ini akhirnya memunculkan pertanyaan bagaimana hendaknya dunia pendidikan mengantisipasi atau mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi teknologi permainan video games ini dalam kehidupan anak-anak Indonesia saat ini? Perspektif apa kiranya yang dapat diajukan untuk ‘menyelamatkan’ dunia pendidikan dari fenomena maraknya tenologi permainan video games yang mendominasi kehidupan anak-anak Indonesia? Memusuhi perkembangan teknologi permainan anak video games, berkompromi dengannya, menafikan dan menyingkirkannya, atau, adakah alternatif lain yang lebih reasonable? Penelitian ini mencoba untuk menelusuri permasalahan yang terjadi, serta mencari jalan keluar yang bisa dimanfaatkan bersama guna meningkatkan
35
kinerja pendidikan untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas bangsa melalui alternatif perspektif teori simulacra Jean Baudrillad—sebuah perspektif
yang
diupayakan menjadi agenda pendidikan nasional sehingga memungkinkan untuk menyiapkan generasi penerus bangsa menghadapi dunia di era simulacra, dunia postmodernisme, sebuah dunia hiper-realitas. D. Landasan Teori Periode jaman sekarang boleh dikatakan sebagai periode teknologi modern. Fenomena paling mencolok akibat dari orde teknologi ini adalah berkembangnya teknologi permainan anak video games yang menciptakan virtual world bagi anak-anak di seluruh dunia. Situasi orde virtual world ini jauh-jauh hari telah disinyalir kuat oleh filsuf Perancis, Jean Baudrillard, dengan konsepnya tentang simulasi dan hiperrealitas. Jean Baudrillard adalah salah satu intelek yang peduli dengan keresahan zaman virtual world sekarang itu. Baudrillard, bernama lengkap Jean Baudrillard, lahir tahun 1929 dari pasangan petani kecil dan miskin dikota kecil Reims, Perancis. Pada masanya Baudrillard adalah orang pertama kali di lingkungan keluarga dan desanya yang menjadi mahasiswa. Pendidikannya banyak dipengaruhi oleh kondisi perang Aljazair tahun 1950-an, sehingga pemikiran kritis akan kondisikondisi sosiologis muncul dari iklim ini. Sebelum selesai kuliah, Baudrillard sudah mengampu Bahasa Jerman di Lycee. Di bawah bimbingan Henri Lefebvre, Baudrillard banyak menggeluti persoalan filsafat sosial dan budaya, dan dengan kecerdasan yang dimilikinya mulai September 1966 Baudrillard dipercaya oleh Lefebvre untuk mengasisteninya di Universitas Nanterre Paris X. Di samping itu,
36
Baudrillard juga berkolega dengan Roland Barthes, seorang pionir semiotis, sehingga karya pertamanya yang menguraikan analisis semiotik terhadap budaya, The System of Object (1968), banyak dipengaruhi oleh Barthes. Baudrillard dalam pemikiran sosiologinya, khususnya tentang budaya permainan teknologi modern ini, banyak dipengaruhi oleh Marshall McLuhan. Ketika tahun 1968 terjadi peristiwa demonstrasi besar oleh mahasiswa di universitasnya, Baudrillard bergabung dengan jurnal “kiri”, Utopie, yang dijadikan mediasi untuk menuangkan ide-idenya tentang kritik budaya dan kritik teknologi dari perspektif Struktural-Marxis dalam teori-teori tentang media. Tahun 1970 Baudrillard menjadi Maitre-assistant di Universitas Nanterre, dan tahun 1987 Baudrillard pensiun. Karier akademiknya juga dititinya di EGS (European Graduate School) di Saas-Fee, Swiss, dan di sini pula Baudrillard menjadi professor dalam filsafat budaya, pendidikan, dan kritik media. Tokoh-tokoh yang mempengaruhi analisis kritisnya tentang pendidikan, media dan teknologi, selain yang telah disebutkan di atas, adalah Marcel Mauss dalam objektivitas dan analisis sosio-linguistiknya, juga masuk dalam lini ini adalah strukturalisasi Levi-Staruss dan sosiologi Durkheimian. Kemudian Bataille, Sartre, Dostoyevsky, dan Nietzsche mengisi warna-warna situasionisme dan surealisme dalam analisisnya, sedangkan Freud dalam psikoanalisis. Sekalipun demikian pengaruh terbesar adalah Marxisme. Oleh karena itu pemikiran Baudrillard dibedakan dalam tiga fase: pertama, aktualisasi paradigma, strategi, tujuan dan penekanan analisis daripada muatan yakni era post-Marxisme (1968-1971); kedua, akurasi analisis sosio-linguistik dalam pemikirannya (1972-
37
1977); ketiga, kritisisasi budaya teknologis, media dan pendidikan populer, sehingga dalam fase ini Baudrillard dikenal dengan the prophet of the implosion of meaning that attends the postmodern condition. Baudrillard (1998:45) tampaknya mengikuti tradisi berfikir Claudé LeviStrauss dalam membuat relasi antara sosiologi dan semiotika; meskipun Baudrillard
jauh
melampaui
tradisi
sosiologi
itu
sendiri.
Baudrillard
mengkonsepkan masyarakat (society dalam sosiologi) dengan menggunakan mass (massa) yang merupakan konseptualisasi masyarakat yang telah terdeterminasi oleh “faktor” budaya yang berada dalam selubung gugusan simulacra. Di sinilah tampak sekali bahwa Baudrillard mengadopsi kritik situasionis dari Marxisme. Berkembangnya teknologi informasi seperti sekarang ini, yang diklaim sebagai wujud nyata dari modernitas, telah memposisikan realitas-realitas menjadi sebatas imaji yang dihasilkan oleh proses simulasi. Permainan anak modern, khususnya videogame, sekali lagi, telah menciptakan makna pesan yang dipublikasikan sebagai sesuatu yang terputus dari asal-usulnya, sehingga tidak salah kalau Baudrillard menyatakan bahwa konstruksi budaya dewasa ini mengikuti pola-pola simulasi, yakni penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul realitas, inilah yang disebutnya hyperreality. Jean Baudrillard, “Simulacra and Simulations”, dalam Jean Baudrillard, Selected Writings on the Modern Object and Its Destiny (London: Pluto Press, 1990:12), lebih lanjut menyatakan bahwa, “we must think of the media as if they were, in outer orbit, a sort of genetic code which controls the mutation of the real into the hyper-real" (1990:55). Selanjutnya, Baudrillard menegaskan bahwa, “The
38
hyper-real represents a much more advanced phase in the sense that even this contradiction between the real and the imaginary is effaced” (1990:142) . Jadi dapat dikatakan bahwa inti pemikiran Baudrillard adalah teori tentang hyper-reality dan simulation. Konsep ini sepenuhnya mengacu pada kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas-realitas itu mengungkung “manusia” dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang tidak sesungguhnya tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran manusia itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini tampil melalui media-media yang menjadi “kiblat” utama masyarakat massa. Melalui media, realitas-realitas dikonstruksikan dan ditampilkan dengan simulators, dan pada gilirannya menggugus menjadi gugusangugusan imaji yang “menuntun” manusia modern pada kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut, inilah yang disebut gugusan simulacra. Dunia simulacra ini mau tak mau berimplikasi terhadap proses pendidikan. Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini berkembang paradigma-paradigma pendidikan yang mengusung kebebasan dipunggungnya (Nel Doddings, 1998:20). Berbicara mengenai aliran-aliran dalam filsafat pendidikan, maka akan dikenal mazhab pendidikan kritis. Aliran ini dalam diskursus pendidikan biasa disebut critical pedagogy atau aliran kiri pendidikan, atau pendidikan radikal atau pendidikan revolusioner.
39
Sumber rujukan aliran ini meliputi teori kritis mazhab Frankfurt, Paulo Freire, dan Antonio Gramsci. Wacana postmodernisme dan feminisme juga ikut mewarnai aliran ini namun hanya saja sebatas dimaknai oleh critical pedagogy sebagai upaya untuk mengkonstruksi suatu bentuk pendidikan yang membebaskan dan mampu melahirkan language of critique dan language of possibility. Pendidikan dalam pengertian ini harus dapat menjadi medium bagi kritik sosial dan sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya democratic public spheres. Jadi, yang menjadi tekanan dalam mazhab pendidikan ini adalah self-empowerment dan self reflection sebagai titik tolak untuk melakukan transformasi sosial dengan berpihak kepada yang lemah (powerless) (Gutek, Gerald L., 1998:314). Tema yang dominan bagi pendidikan kritis adalah kapitalisme, karena pengaruhnya yang luar biasa dalam kehidupan manusia sehingga melahirkan apa yang disebut culture positivism dan rasionalitas teknokratik/instrumental (satu bentuk budaya dan model berpikir yang berpengaruh atas arah dan tujuan pendidikan). Budaya yang dihasilkan kapitalisme ini, dengan demikian menekankan
proses
pembelajaran
yang
ditekankan pada
upaya
untuk
mengakumulasi dan memiliki pengetahuan yang ditujukan untuk mengejar profit, untuk beradaptasi dengan masyarakat industri. Inilah yang kemudian dikritisi oleh mazhab pendidikan kritis. Dalam aliran ini, yang ditekankan dalam pembelajaran adalah bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya.
40
Mazhab pendidikan kritis memaknai pendidikan sebagai media liberasi. Untuk itu, fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan kesadaran kritis peserta didik. Hal ini atas dasar asumsi bahwa penindasan, dominasi, dan eksploitasi itu berlangsung karena terdegradasinya fakultas ini. Ciri utama pendidikan kritis adalah critical thinking/consciousness, yang berarti sebagai corak berpikir yang mampu mendeteksi fenomena-fenomena tersembunyi atau asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan (meminjam istilah Antonio Gramsci) “common sense” (Gutek, Gerald L., 1998:325). Mengembangkan
critical
thinking
tidaklah
dapat
dengan
cara
“didepositokan”, atau diberikan, tetapi harus dilahirkan melalui usaha yang kreatif dari peserta didik, dibangun melalui kesadaran diri peserta didik. Oleh karena itu, yang ditekankan dalam proses pendidikan bagi aliran pendidikan kritis ini adalah how to think secara kritis, bukan what to think. E. Metode Penelitian 1. Materi atau Bahan Penelitian a. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), oleh karena itu bahan utama penelitian ini meliputi buku tentang permainan anak “video games” , meliputi : 1. Simon Egenfeldt-Nielsen/Jonas Heide Smith/Susana Pajares Tosca, 2008, Understanding Video Games, New York & London: Routledge Taylor & Francis Group 2. Jon Cogburn and Mark Silcox, 2009, Philosophy Through Video Games, New York & London: Routledge Taylor & Francis Group
41
3. Grant Tavinor, 2009, The Art of Video Games, Wiley-Blackwell A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 4. Daniel Sloan, 2011, Playing to Wiin Nitindo and The Video Games Industry’s Greatest Comeback, John Wiley & Sons (Asia) Pte. Ltd 5. Castronova, Edward, 2007, Exodus to The Virtual World, Palgrave Macmillan Adapun subjek penelitian yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jenis permainan video games “PlayStation” dan “Wii Games”. Permainan ini diteliti,
bagaimana ruang
konseptual dalam permainan ini
ditransformasikan ke dalam logika video games, dengan demikian akan coba ditelusuri konstruksi realitas yang dibangun oleh video games tersebut sehingga akan ditemukan gambaran filsafat pendidikan yang terbangun di dalam permainan tersebut. b. Pustaka primer penelitian ini meliputi karya-karya Jean Baudrillard yang ada kaitannya dengan teorinya mengenai simulacra. Karya-karya tersebut meliputi: 1. The System of Objects (1968). 2. The Consumer Society (1970). 3. The Mirror of Production (1975). 4. For a Critique of the Political Economy of the Sign (1981). 5. In the Shadow of the Silent Majorities (1983). 6. Simulations (1983). 7. Simulacra and Simulation (1985).
42
8. The Revenge of the Crystal: Selected Writings on the Modern Object and Its Destiny 1968-1983” (1990). 9. The Consumer Society, Myths and Structures (1998). l0. The Vatal Illusion (2000). 11. Passwords (2003). 12. The Conspiracy of Art (2005). 13. The Intelligence of Evil or The Lucidity Pact (2005). 14. Utopia, Deferred Writings from Utopie: 1967-1978 (2006). 15. Exiles From Dialogue (2007). c. Pustaka sekunder berupa pustaka-pustaka dan artikel yang menelaah mengenai video games, baik analisis secara filsafati maupun aspek pedagogis dari permainan komputer itu. Juga karya-karya yang membahas tentang Jean Baudillard dalam kaitannya dengan analisis konstruksi realitas dalam masyarakat industri modern. d. Pustaka tertier berupa aneka ragam pustaka yang berbicara mengenai metodologi penelitian filsafat, sejarah filsafat barat, filsafat pendidikan, aliran-aliran dalam filsafat pendidikan ataupun filsafat kontemporer termasuk di dalamnya postmodernisme dan strukturalisme, juga pustaka lain yang terkait dengan subjek penelitian. 2. Jalan Penelitian Keseluruhan prosedur penelitian ini menempuh enam tahap yang secara garis besar sebagai berikut: a. Membuat desain penelitian
43
b. Pengumpulan data, meliputi studi pustaka dan observasi partisipan untuk mengidentifikasi bagaimana anak mencerap realitas yang disuguhkan oleh permainan video games dan “gambaran dunia” seperti apakah yang mereka tangkap dari permainan komputer itu. c. Kategorisasi data d. Analisis data e. Evaluasi hasil f. Penyusunan draft hasil penelitian g. Penulisan laporan hasil penelitian setelah terlebih dahulu diadakan revisi Jadi, pada tahap ini pada prinsipnya adalah tindakan pengumpulan data dan instrumentasi. Adapun teknik yang digunakan dalam tindakan ini meliputi diantaranya studi dokumentasi dan studi kepustakaan sebagai langkah pendukung guna kesempurnaan dan kejelasan analisis terhadap data yang sudah diperoleh. 3. Analisis Hasil Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan dengan metode hermeneutika filosofis. Adapun jika merujuk buku Metode Penelitian Filsafat maka model penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian mengenai masalah aktual dan penelitian historis faktual (Bakker, 1990:107). Data yang sudah diperoleh, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode hermeneutika filosofis. Langkah-langkah metodis yang dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut:
44
Langkah pertama : deskripsi status masalah, yaitu menyistematisasikan data yang diperoleh melalui studi pustaka maupun yang didapat melalui observasi partisipan sebagaimana disebut dalam bahan penelitian. Pengolahan data yang terkumpul ini masih bersifat deskriptif dan belum filosofis. Data-data yang relevan dicari untuk disusun secara sintesis induktif. Langkah kedua : mencari filsafat tersembunyi, yaitu diselidiki konsep filsafat tersembunyi dalam kasus perilaku, sikap dan pandangan yang ditemukan dalam permainan anak video games. Pada langkah ini belum dilakukan penilaian terhadap sikap dan perilaku objek penelitian. Filsafat yang muncul dikomparasikan dengan filsafat yang lain. Langkah ketiga : evaluasi kritis atas filsafat tersembunyi dengan melakukan refleksi kritis terhadap filsafat tersembunyi yang melatarbelakangi data. Langkah keempat : penyusunan konsepsi filosofis tandingan, dengan mengajukan konsep filosofis peneliti yang diasumsikan akan memberi jawaban atas persoalan yang muncul dengan memberikan perspektif yang lebih tepat dan menyeluruh. Langkah kelima : memberikan saran alternatif. Langkah keenam : penyimpulan hasil penelitian. Jadi pada tahap analisis terhadap data yang sudah diperoleh, akan dilakukan secara simultan dan jalin menjalin dengan proses pengamatan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar terlihat persamaan dan perbedaannya berkaitan dengan fenomena-fenomena yang diamati. Persamaan dan perbedaan ini akan memudahkan langkah untuk mengklasifikasikan berbagai fenomena yang
45
ditemukan untuk kemudian diadakan evaluasi secara kritis sebelum akhirnya ditarik sebuah kesimpulan darinya. Adapun unsur-unsur metodis yang dipakai dalam penelitian ini meliputi: 1. Deskripsi Langkah ini dimaksudkan untuk memaparkan sesuatu yang dimaksud sebagai permainan anak modern video games dan adanya filsafat pendidikan dalam permainan anak video games, kemudian mensistemastisasikan data yang telah diperoleh tersebut melalui studi pustaka, dengan terlebih dahulu melakukan kategorisasi data. Pengolahan data yang terkumpul masih bersifat deskriptif dan belum filosofis. Data-data yang relevan, disusun secara sintesis dan induktif. 2. Interpretasi Langkah ini dimaksudkan untuk menerobos data-data problematis tentang filsafat pendidikan dalam permainan anak video games untuk dapat menemukan filsafat tersembunyi di dalamnya. 3. Komparasi Langkah ini dimaksudkan untuk menganalisis secara filosofis data yang diperoleh dengan cara membandingkannya dengan data lain, situasi lain ataupun konsepsi filosofis lain yang dapat ditemukan. 4. Kesinambungan historis Langkah ini dimaksudkan untuk meletakkan situasi problem aktual yang diteliti dalam konteks historis, dari kemunculannya sampai perkembangannya, sehingga dapat ditemukan konsepsi-konsepsi yang mempengaruhinya.
46
5. Heuristika Langkah ini dimaksudkan untuk menemukan suatu pemahaman baru atas konsep yang berhasil ditemukan. 6. Refleksi kritis Langkah ini dimaksudkan untuk mengevaluasi filsafat tersembunyi yang berhasil ditemukan, kemudian disusunlah konsepsi secara menyeluruh. F. Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun berdasarkan atas sistematika sebagai berikut. Bab I meggambarkan tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang mencakup materi dan bahan penelitian, jalan penelitian, dan analisa data. Bab II mendeskripsikan biografi Jean Baudrillard. Pada bab ini berisikan riwayat hidup Baudrillard, dan tokoh tokoh yang mempengaruhi, seperti Roland Barthes, Marshall Mc Luhan, Marcel Mauss, dan Levi-Strauss. Bab ini juga menjelaskan tentang pokok pokok pikiran Jean Baudrillard terutama teori Baudrillard tentang simulacra, dan posisi Baudrillard di dalam peta filsafat pendidikan. Bab III menjelaskan tentang struktur realitas dalam permainan anak video games, meliputi sejarah perkembangan permainan dalam kebudayaan, revolusi dalam dunia permainan: sejarah kemunculan video games, konstruksi realitas dalam ruang konseptual video games, dan aspek-aspek pedagogis dalam permainan anak video games. Bab IV merumuskan filsafat pendidikan video games dan melihatnya dari perspektif pandangan Jean Baudrillard tentang teori simulacra. Oleh karena itu,
47
bab ini meliputi pemaparan mengenai landasan filosofis pemikiran Jean Baudrillard terhadap permainan anak video games dan dunia simulacra sebagai ruang konseptual dalam permainan anak video games, serta implikasi struktur realitas dalam dunia simulacra video games terhadap pendidikan anak. Bab V penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran untuk merumuskan filsafat pendidikan permainan anak video games menurut perspektif teori simulacra Jean Baudrillard.