1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perlindungan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia telah diakomodir dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Dalam undang-undang Keimigrasian yang baru ini diatur bahwa orang asing yang kawin dengan warga negara Indonesia diberikan kesempatan untuk bekerja dan berusaha di Indonesia. Ketentuan ini merupakan ketentuan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi Manusia
(HAM),
sejalan
dengan
kebijakan
dalam
Undang-Undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 dimana dalam Pasal 19 ayat 1 ditentukan bahwa warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat. Hal ini memberikan peluang dan kesempatan kepada setiap orang baik laki-laki ataupun perempuan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena asas penyatuan keluarga atau karena perkawinan dan berhak untuk hidup layak di Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Pasal 61 menentukan bahwa Pemegang Izin Tinggal Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e dan huruf f dan pemegang Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan huruf d dapat melakukan pekerjaan
2
dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau keluarganya. Adapun bunyi Pasal 52 huruf e dan f adalah bahwa Izin Tinggal Terbatas diberikan kepada orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia atau anak dari orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia. Demikian juga dalam Pasal 54 huruf (b) dan (d) ditentukan bahwa Izin Tinggal Tetap dapat diberikan kepada keluarga karena perkawinan campuran dan kepada orang asing eks warga negara Indonesia dan eks subyek anak berkewarganegaraan ganda Republik Indonesia. Dari ketentuan diatas maka bagi orang asing pelaku kawin campur dan keluarganya bisa berusaha dan bekerja di Indonesia dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi dia dan keluarganya. Disisi lain bagi orang asing yang bekerja di Indonesia diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ditentukan syarat-syarat dan kewajiban Pemberi Kerja yang menggunakan TKA harus memperoleh izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (yang selanjutnya disingkat dengan RPTKA) , wajib melakukan penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping TKA serta kewajiban untuk memulangkan TKA ke negara asalnya jika hubungan kerja telah berakhir. Orang asing yang datang ke Indonesia dapat bekerja apabila ada yang mempekerjakan dan pekerjaan tersebut harus benar-benar sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki serta dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan atau
3
kegiatan yang ada di dalam negeri.1 Dengan demikian orang asing yang hanya memiliki kualifikasi yang dibutuhkan di pasar kerja dalam negerilah yang dapat diberikan izin masuk dan tinggal untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia, dengan kata lain hanya orang asing yang memiliki kualifikasi yang benar-benar dibutuhkan oleh pasar kerja di Indonesia yang bisa bekerja di Indonesia dan akan diberikan Visa Tinggal Terbatas untuk bekerja di Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (yang selanjutnya akan disingkat menjadi UUK) dan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Yang selanjutnya akan disingkat dengan Permennakertrans tentang TCPTKA) menentukan bahwa yang dimaksud dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Adapun prosedur orang asing yang akan bekerja sebagai TKA di Indonesia wajib memiliki penjamin di Indonesia yaitu Pemberi Kerja TKA seperti : instansi pemerintah, badan-badan internasional, perwakilan negara asing, kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing, kantor perwakitan berita asing, perusahaan swasta asing, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha asing yang terdaftar di instansi berwenang di Indonesia, lembaga sosial, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan serta usaha jasa impresariat.
1
Sumarprihatiningrum C, 2006, Penggunaan Tenaga Kerja Asing Di Indonesia, , Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia (HIPSMI), Jakarta , hal., 3
4
Bagi Pemberi Kerja TKA hanya dapat mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yaitu rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. RPTKA ini akan digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), karena setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Keharusan memiliki RPTKA dikecualikan bagi Pemberi Kerja TKA dari instansi pemerintah, badan-badan internasional, perwakilan negara asing (Pasal 5 ayat 2 Permennakertrans RI Nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA) dan Pemberi Kerja yang mempekerjakan TKA yang berstatus kawin campuran (Pasal 30 ayat 3 Permennakertrans RI Nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA), tetapi pengecualian tersebut hanyalah tidak perlu mengurus pengesahan RPTKA dan juga persetujuan Visa bekerja (TA-01) bagi TKA yang berstatus kawin campur. Menurut hasil penelitian Charles Christian bahwa Undang-Undang Keimigrasian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 memberikan kesempatan kepada orang asing pelaku kawin campur dengan sponsor istri atau suami untuk bekerja di Indonesia, bertentangan dengan peraturan ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mana masih mengharuskan setiap orang asing yang bekerja di Indonesia memiliki sponsor dari perusahaan tempat dimana mereka bekerja, sehingga terlihat kedua Undang-Undang tersebut
5
disharmoni dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi WNA khususnya orang asing pelaku kawin campur yang ingin bekerja di Indonesia.2 Namun disharmoni tersebut dihilangkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dalam Permennakertrans tersebut diatur ketentuan pengecualian bagi pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA yang berstatus kawin campur dalam tata cara permohonan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), dimana pengecualian tersebut Pemberi Kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA yang berstatus kawin campur tidak perlu mengurus pengesahan RPTKA dan juga persetujuan Visa bekerja (TA-01) bagi TKA yang berstatus kawin campur, karena mereka sudah tinggal di Indonesia dengan Visa Penyatuan Keluarga. Namun demikian bagi WNA pelaku perkawinan campuran jika akan bekerja sebagai TKA di Indonesia tetap perlu Penjamin selaku Pemberi Kerja yang akan mengurus RPTKA maupun
IMTA nya, dan Penjamin yang dalam hal ini
Korporasilah yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing selama berada di wilayah Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, dimana ditentukan bahwa Penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing yang dijamin selama tinggal di Wilayah Indonesia serta berkewajiban melaporkan setiap perubahan status sipil, status Keimigrasian, dan perubahan alamat,
namun
pengaturan tentang kaidah hukum yang menjelaskan konsepsi-konsepsi tanggung
2
Charles Christian , 2013, Politik Hukum Pemberian Izi Politik Hukum Pemberian Izin Tinggal Terbatas Bagi WNA Yang Bekerja Dan Atau Menikah Di Indonesia, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, http://hukum.ub.ac.id/wpcontent/upload/2013/04/jurnal-Charles.pdf, diakses 23 Desember 2013.
6
jawab penjamin sebagai pemberi kerja atas keberadaan dan kegiatan orang asing masih kabur, dalam ketentuan umum belum dijelaskan secara jelas dan pasti, apa yang dimaksud pada kata “penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan dengan keberadaan dan kegiatan orang asing, mengingat ada dua pihak yang bertanggung jawab terhadap orang asing pelaku perkawinan campuran yang juga akan menjadi TKA, penanggung jawab yang dalam hal ini adalah suami/istri WNI, sementara jika orang asing pelaku perkawinan campuran akan menjadi TKA dia wajib memiliki penjamin sebagai Pemberi Kerja. Implementasi kebijakan pemerintah yang baru di bidang keimigrasian dan juga di bidang ketenagakerjaan terhadap orang asing pelaku kawin campur diberikan untuk bekerja dan berusaha di Indonesia menarik untuk diteliti, bagaimana pengawasan warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan, apakah peraturan yang ada telah menjamin kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia, mengingat ada kekaburan norma pasal 63 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, serta belum jelasnya bagi WNA pelaku perkawinan campuran jika bekerja disektor informal, punya usaha sendiri dan tidak berbadan hukum atau membantu istri atau suami WNI diperusahaan milik keluarga (berbentuk CV), apakah bisa bekerja dan apakah harus mengurus IMTA (Izin Mempekerjakan Tenaga Asing) masih ada ketidakjelasan dan kekaburan norma tentang hak memperoleh pekerjaan bagi warga negara asing pelaku perkawinan campuran dalam hal jika mereka akan bekerja atau berusaha di sektor informal, tidak diatur dengan jelas.
Pengaturan tentang ketenagakerjaan tersebut hanya mengatur tentang TKA yang formil namun bagi orang asing pelaku kawin campur yang bekerja non formil
7
untuk bisa bertahan hidup dan menafkahi keluarganya belum diatur dan masih belum jelas, mengingat keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang jabatan-jabatan tertentu yang dapat dan atau di larang diduduki oleh TKA hanya mengatur sektor formal pekerjaan yang berklasifikasi standar internasional. Berdasarkan hal tersebut diatas, terlihat masih adanya kekaburan norma dan pengaturan yang masih tidak jelas tentang hak tinggal dan hak bekerja dari WNA yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan, sehingga perlu dilakukan pengkajian tentang pengawasan hukum terhadap WNA yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan dan kepastian hukum atas hak WNA yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut : 1.2.1. Bagaimanakah pengawasan bagi warga negara asing yang kawin campur dan bekerja di Indonesia? 1.2.2. Bagaimana kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dan bekerja di Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam Penelitian ini pembahasan dibatasi mengenai Pengawasan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di
8
Indonesia dan Kepastian hukum atas Hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, adapun tujuan umum (het doel van het onderzoek) dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman dan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma ilmu sebagai proses (science as a process), dengan pandangan ini ilmu adalah sebagai suatu proses jadi ilmu secara nyata/khas merupakan suatu aktifitas manusia yakni melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia, dan ilmu tidak hanya aktifitas tunggal tetapi merupakan rangkaian aktifitas sehingga merupakan suatu proses. Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam proses penggaliannya atas suatu kebenaran dari obyeknya masing-masing. Tujuan Khusus (het doel in het onderzoek) mendalami permasalahan hukum yang dikaji dan dianalisis secara khusus dan dijabarkan dalam rumusan permasalahan dalam penelitian ini yaitu kajian dan analisis tentang pengawasan warga negara asing yang kawin campur dan hak memperoleh pekerjaan di Indonesia.3 1.4.1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menggali dan menganalisis agar ada kejelasan jaminan untuk bekerja dan pengawasan hukum terhadap warga
3
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013 , Pedoman Penulisan Usulan PenelitianTesis dan PenulisanTesis Program studi Magister(S2) ilmu hukumProgram Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal., 43
9
negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. 1.4.2. Tujuan Khusus Penelitian ini diharapkan mencapai tujuan yang lebih spesifik dan khusus yaitu : 1. Mengkaji Pengawasan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia. 2. Menganalisis kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia. Manfaat Penelitian 1.4.3. Manfaat Teoritis Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam penyusunan peraturan bagi WNA yang bekerja di Indonesia yang kawin campur dalam rangka pembuatan aturan pembaharuan yang lebih menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga kepastian hukum atas hak WNA yang kawin campur dan bekerja dapat dijamin dan diatur dengan lebih jelas sehingga tidak menimbulkan suatu kekeliruan dalam pemaknaannya. 1.4.4. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan sebagai masukan untuk bahan pertimbangan bagi instansi lintas sektoral dalam menyikapi persoalan orang asing yang bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan dalam rangka penyatuan keluarga bagi komunitas pelaku perkawinan campuran.
10
1.5. Orisinalitas Penelitian Tesis
ini
merupakan
karya
asli
Penulis,
sehingga
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Adapun tesis yang menyangkut tenaga kerja asing yakni : 1. Tesis dengan judul “Pembatasan Penggunaan Tenaga kerja Asing pada Perusahaan-perusahaan PMA di Jawa Tengah” ditulis oleh Sri Badi Purwaningsih, 2005, Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, diakses tanggal 22 Desember 2013 dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah
pelaksanaan
pembatasan
penggunaan
TKA
pada
perusahaan-perusahaan PMA di Jawa Tengah dan apa manfaat dari penggunaan TKA? b. Apa saja kebijakan-kebijakan yang dipergunakan untuk mengatur penggunaan TKA pada perusahaan PMA di Jawa Tengah ? Pada tesis ini dikaji mekanisme penggunaan TKA pada perusahaan PMA , manfaat dan kebijakan-kebijakan pengawasan penggunaan TKA pada perusahaan PMA, sedangkan usulan proposal ini mengkaji Pengawasan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia dan menganalisis kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia sehingga substansi usulan Proposal ini berbeda dengan tesis tersebut diatas. 2.
Tesis dengan judul “Politik Hukum Pemberian Izin tinggal Terbatas bagi WNA Yang Bekerja Dan Atau Menikah di Indonesia” ditulis oleh Charles
11
Christian, 2013, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang, diakses tanggal 23 Desember 2013, dibahas masalah Politik Hukum dibalik pemberian Izin Tinggal Terbatas terhadap WNA yang bekerja atau menikah dengan WNI. Pada Tesis ini dikaji tentang Politik hukum diberikannya ITAS terhadap warga negara asing yang bekerja atau menikah dengan warga negara Indonesia. Usulan penelitian ini membahas Pengawasan terhadap warga negara asing yang kawin campur dan bekerja di Indonesia serta mengkaji kepastian hukum atas hak warga negara asing tersebut sehubungan dengan adanya aturan baru berkaitkan dengan Ketenagakerjaan yaitu Tata Cara Penggunaan TKA. 3. Tesis dengan judul “ Analisis Hukum Perkawinan Campuran Dalam Status Kewarganegaraan menurut Undang-Undang nomor 12 tahun 2006”. Ditulis oleh Damerianti Purba, 2012, Universitas Simalungun, Pematang Siantar, diakses 22 Desember 2013, dengan rumusan masalah kedudukan hukum yang berbeda kewarganegaraan asing dalam suatu keluarga. Dalam tesis ke 3 ini menganalisis mengenai Hukum Perkawinan Campuran Dalam Status Kewarganegaraan menurut Undang-Undang nomor 12 tahun 2006. Sedangkan dalam usulan proposal ini dikaji pengawasan hukum bagi WNA yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di
Indonesia serta
bagaimana kepastian hukum atas hak WNA yang kawin campur melakukan pekerjaan di Indonesia. Berdasarkan ke 3 penelitian sebelumnya penelitian ini berbeda kajiannya baik secara substansial maupun judulnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
12
1.6. LandasanTeoritis Dalam landasan teori ini pula dilengkapi dengan pandangan-pandangan para sarjana. Pandangan-pandangan teoritik dimaksud untuk memberikan dasar ketentuan-Ketentuan
konstitusional,
peraturan
perundang-undangan,
dan
instrumen-instrumen hukum pemerintah, khususnya pengawasan pemerintah terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia dan mengkaji kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia. Berdasarkan atas hal-hal tersebut diatas maka Teori, Konsep yang digunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini adalah: 1). Konsep Negara Hukum 2). Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) 3). Asas Kepastian Hukum 4). Teori Kewenangan 5). Kebijakan Keimigrasian
1.7.1. Konsep Negara Hukum Konsep Negara hukum Indonesia pada hakekatnya sedikit banyak tidak lepas dari pengaruh perkembangan konsep Negara hukum di dunia, dimana dalam Konsep negara hukum modern dikenal dengan istilah “Rechtstaat”. Penggunaan istilah negara hukum selain rechtstaat juga dikenal dengan The Rule Of Law di
13
Inggris dan Government of law but not of man4. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of Law antara lain: (1) Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the law) yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; (2) Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the law) dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; (3) Terjaminnya hakhak manusia oleh undang-undang (di negera lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
5
Konsep negara hukum yang disebut dengan
“The Rule of Law”, menurut pendapat Hilaire Barnett bahwa “The essence of the rule of law is the sovereignty or supremacy of law over man”6 (esensi dari The Rule of Law adalah kedaulatan atau supremasi hukum atas manusia). Namun konsep negara hukum Indonesia memiliki karakter tersendiri yang membedakan dengan konsep rechtstaat. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam recshtstaat mengedepankan prinsip “Wet Matigheid” yang kemudian menjadi prinsip “Recht Matigheid” sedangkan negara hukum Indonesia yang menjadi titik sentralnya adalah keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat Indonesia, sebaiknya syarat umum rechtsstaat maupun the rule of law juga harus dipenuhi. Dengan demikian syarat dasar rechtsstaat maupun the rule of law juga harus dipenuhi sebagai syarat negara hukum. 4
Ni Matul Huda,2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta,
hal.73. 5
HR.Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.,3 Hilaire Barnett, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, Routledge, London and New York, hal. 52 6
14
Negara hukum rechtsstaat itu sendiri didasari oleh: a). Asas Legalitas, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan (wetelijke gronslag). b). Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. c). Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan UndangUndang. d). Pengawasan pengadilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah (rechtmatigheids toetsing). e). Negara hukum Indonesia dirumuskan dalam penjelasan Undang-Undang dasar, dan juga dalam pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat) sebagai Negara hukum, maka konsep atau pola tersebut disesuaikan dengan kondisi Indonesia, yaitu dengan menggunakan tolak ukur pandangan bangsa Indonesia ialah Pancasila.7 Dan rumusan yang hampir sama, yaitu pendapat H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip (rechtsstaat) antara lain : 1. Pemerintahan berdasarkan undang-undang 2. Pemerintah hanya memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh UUD atau UU lainnya; 3. Hak-hak asasi 7
. Noor MS. Bakry, 1985 Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta, hal., 91
15
Terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah; 4. Pembagian Kekuasaan Kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan pada satu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling mengawasi yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan; 5. Pengawasan lembaga kehakiman Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka.8 Menurut Mukthie Fadjar, bahwa elemen-elemen yang penting dari Negara hukum, yang merupakan ciri khas dan tidak boleh tidak ada (merupakan syarat mutlak), adalah : a). Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, b). Asas legalitas, c). Asas pembagian kekuasaan negara, d). Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, e). Asas kedaulatan rakyat, f). Asas demokrasi, dan g). Asas konstitusional.9) Terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwasannya dalam negara hukum terdapat asas legalitas dan kepastian hukum, asas legalitas digunakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah berdasarkan hukum, 8
H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1995, Hoofdstukken van Administratief Recht (Utrecht: Uitgeverij Lemma BV), hal., 41 9 Mukhtie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publishing, Malang, hal. 75
16
pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dan untuk mencegah agar penguasa tidak melanggar hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Relevan dengan hal ini maka pengawasan hukum oleh pemerintah terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam rangka penyatuan keluarga diberikan hak – hak dasarnya untuk melakukan pekerjaan atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai TKA, ini merupakan ketentuan yang menjamin kepastian hukum bagi WNA yang kawin campur yaitu hak memperoleh pekerjaan sebagai TKA. Hal ini ditentukan dalam UU Keimigrasian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian pasal 61 bahwa pemegang ITAS dan ITAP dapat melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan /atau keluarganya. Relevan dengan hal tersebut diatas menurut Diana Halim Koentjoro ada beberapa ciri negara yang dapat disebut sebagai negara hukum yaitu : a. Supremacy of the law; b. Equality before the law; c. Constitusional based on the human right.10 Bahwa dalam negara hukum diperlukan asas perlindungan, artinya dalam UUD ada ketentuan yang menjamin hak-hak asasi manusia, dimana asas yang mengandung makna perlindungan antara lain: a. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28) b. Berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27) 10
hal.,34
Diana Halim Kontjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
17
c. Kemerdekaan memeluk agama (Pasal 29) d. Berhak ikut mempertahankan negara (Pasal 30). Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa suatu negara hukum mempunyai ciri-ciri Pertama; adanya pembatasan kekuasaan negara (asas legalitas) sehingga tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum, Kedua; kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the law) dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat, Ketiga adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia (terjaminnya hakhak manusia oleh undang-undang), hal ini terkait dengan permasalahan penelitian pengawasan hukum terhadap WNA yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan, dimana semakin maraknya kawin campur di Indonesia maka untuk menjamin dan melindungi hak - hak mereka khususnya hak untuk memperoleh pekerjaan serta untuk menjamin kepastian hukum atas hak warga negara asing yang berdiam dan bertempat tinggal di Indonesia khususnya orang asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan maka pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir kepentingan tersebut dan menjamin hak memperoleh pekerjaan bagi warga negara asing yang kawin campur dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Asas legalitas digunakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah berdasarkan hukum, pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dan untuk mencegah agar penguasa tidak melanggar hak-hak dasar
18
yang merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Berbicara negara hukum tidak dapat dilepaskan dengan konsep rechtsstaat. Menurut P.H.M. Meuwissen ciri dari rechtsstaat adalah : 1. Adanya Undang-undang atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat. 2. Adanya
pembagian
kekuasaan negara,
yang meliputi
kekuasaan
pembuatan undang-undang yang ada di tangan parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas, juga antara penguasa dan rakyat dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur). 3. Diakui dan dilindungi hak kebebasan rakyat (vriheidsrechten van de burger)11 Menurut Philipus M Hadjon bahwa ciri tersebut diatas menunjukan bahwa titik sentral dari rechstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.12 Dimana relevan dengan permasalahan yang penulis teliti bahwasannya orang asing yang berdiam dan bertempat tinggal di Indonesia yang kawin campur diberikan kebebasan dalam berusaha dan bekerja sebagai TKA ketentuan ini merupakan ketentuan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Pasal 61.
11
Philipus M Hadjon, dkk 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Philipus M Hadjon I), hal. 130 12
Ibid., hal., 76
19
1.7.2. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan, maka pemerintah dalam menjalankan fungsinya perlu menggunakan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang baik sebagai pedoman dalam membuat keputusan maupun perbuatan nyata. Fungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) merupakan pedoman yang bersifat umum yang mempunyai nilai hukum atau minimal mempunyai nilai penentu dalam suatu tindakan pemerintahan. Asas-asas yang dimaksud bersifat tidak tertulis atau dalam arti tidak diatur tersendiri dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan, namun walaupun sifatnya tidak tertulis Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB ) tersebut hidup dan menjiwai dalam setiap bentuk tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, mengisi ketidaklengkapan dan ketidakjelasan serta kekosongan peraturan perundang-undangan, juga sekaligus sebagai pelengkap bagi keberadaan Negara hukum Indonesia, sehubungan dengan hal tersebut maka badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan seperti membuat keputusan (beschikking) yang materinya bersifat konkrit umum maupun konkrit individual, serta mengeluarkan Peraturan (regeling) merupakan perbuatan pemerintah dalam hukum publik, pengawasan yang bersifat umum abstrak dan dalam melakukan perbuatan nyata atau perbuatan materiil (Materiil Daad), yang dilakukan oleh pemerintah. Semua tindakan pemerintah harus berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
20
(AAUPB) baik yang formal maupun materiil sehingga keputusan tersebut benarbenar menurut hukum dan mencerminkan kepastian hukum. Selanjutnya maksud dirumuskannya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) adalah mewujudkan penyelenggaraan Negara yang mampu menjalankan fungsi
dan tugasnya
secara sungguh-sungguh dan penuh
tanggungjawab, menurut Ridwan HR Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) meliputi:13 1) Asas Kepastian Hukum : asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan Peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap tindakan pemyelenggara negara; 2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara: asas ini menjadi landasan keteraturan,
keserasian,
dan
keseimbangan
dalam
pengendalian
penyelenggaraan negara, asas ini menghendaki agar penggunaan wewenang oleh penyelenggaraan negara, tetap berdasarkan dan sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga terjaga keharmonisan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat; 3) Asas Kepentingan Umum: asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif. Akomodatif dan selektif. Asas ini mengharuskan administrasi Negara menjalankan kekuasaan untuk mencapai atau memenuhi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara; 4) Asas Keterbukaan: asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif 13
Ridwan.HR. Op.cit. hal 254-255
21
tentang penyelenggaraan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi manusia, golongan dan rahasia negara; 5) Asas Proporsionalitas: asas yang mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban penyelenggara negara; 6) Asas
Profesionalitas:
asas
yang
mengutamakan
keahlian
yang
berlandaskan kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas ini mengutamakan agar pembuatan peraturan oleh pemerintah didasarkan atas keahlian sehingga tepat dari segi aturan hukum yang diterapkan maupun dari segi prosedurnya; 7) Asas Akuntabilitas: asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari
kegiatan
penyelenggara
Negara
harus
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sudut masyarakat sebagai sasaran pengawasan, maka Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) tersebut hakekatnya adalah berkaitan dengan alasan mengajukan keberatan atau pun dapat pula sebagai alasan mengajukan gugatan apabila ternyata tindakan pemerintahan tersebut merugikan masyarakat. Mengingat bahwa tidak dapat dipungkiri antara masyarakat dengan pemerintah dapat terjadi perbedaan pendapat sehingga dirasakan menimbulkan kerugian, maka diperlukan penyelesaian.
22
Selain asas-asas tersebut diatas dapat dikemukakan pendapat Prof. Crince Ie Roi mengenai unsur-unsur dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai berikut :14 1. Asas kepastian hukum 2. Asas kesamaan 3. Asas Keseimbangan 4. Asas Kecermatan 5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah 6. Asas tidak menyalahkan wewenang 7. Asas permainan yang wajar 8. Asas keadilan atau kewajaran 9. Asas menanggapi harapan yang wajar 10. Asas peniadaan akibat keputusan yang batal 11. Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup Eksistensi 11 (sebelas) macam AAUPB diatas dapat dipakai sebagai patokan dan pegangan untuk menentukan suatu kebijakan, yang walaupun asas itu tidak memberikan patokan sanksi penjara, denda namun satu hal yang universal yaitu tanggung jawab moral karena asas ini tergolong sebagai “ code of conduct” dalam hidup bermasyarakat. Dan khusus bagi kalangan pejabat, baik di bidang legislatif maupun eksekutif dan yudikatif, AAUPB sebenarnya sudah terdapat baik secara eksplisit maupun implisit, hal ini dapat dilihat dari peraturan disiplin kerja,
14
M. Solly Lubis, 2002, Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung (Selanjutnya disebut M. Solly Lubis II) hal., 127-134
23
tatakrama sosial, Kolegialitas, standing order (tata tertib legislatif), peraturan kepegawaian serta berbagai pedoman, dan petunjuk kerja. 15 Dari pandangan tersebut diatas dapat dipahami bahwa asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) sangat penting fungsinya yakni sebagai pedoman atau patokan bagi badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal membuat keputusan, mewujudkan penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, khususnya dalam hal ini pemberian fasilitias keimigrasian berupa visa tinggal terbatas dan izin kerja bagi Tenaga kerja Asing yang akan bekerja di Indonesia diterapkan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) salahnya satunya yaitu asas kepastian hukum bagi orang asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia, mengingat asas kepastian hukum dalam Negara hukum mengutamakan landasan Peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap tindakan penyelenggara negara; serta melakukan perbuatan atau tindakan-tindakan nyata, jadi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara termasuk tindakan yang didasarkan pada wewenang diskresi dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Sehingga dengan telah dimuatnya asas-asas hukum ini dalam hukum positif kita maka secara normatif asas-asas ini dapat digunakan sebagai alasan gugatan oleh warga masyarakat dalam membela hak-haknya terhadap tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak layak dan tidak adil.
15
M. Solly Lubis I, hal.,62
24
1.7.3. Asas Kepastian Hukum Asas Kepastian hukum merupakan asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan Negara. Esensi Negara Hukum terdapat asas legalitas dan kepastian hukum, Asas Legalitas di ilhami atas pemikiran untuk membatasi kekuasaan penguasa dengan bersaranakan hukum. Pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah untuk ikut serta/campur tangan dalam kehidupan pribadi. Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah penguasa melanggar hak-hak individu, sedangkan sarana yang membatasi campur tangan Negara pada kehidupan individu diatur dalam undang-undang16. Dengan demikian maka dapat dikatakan undang-undang merupakan landasan keabsahan campur tangan negara dalam kehidupan pribadi, diluar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dianggap sebagai suatu pelanggaran dalam kehidupan pribadi. Selanjutnya tujuan utama dalam asas legalitas adalah menciptakan kepastian hukum agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang. Asas kepastian hukum merupakan asas yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan,
keadilan,
dalam
setiap
kebijakan
penyelenggaraan Negara. Sedangkan asas legalitas merupakan asas yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara
16
Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta hal. 32
25
hukum17, artinya setiap wewenang pemerintah atau badan-badan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Asas kepastian hukum diberlakukan untuk
jaminan
perlindungan
hukum
bagi
masyarakat
maupun
aparat
pemerintahan. Terciptanya suatu kepastian hukum dalam suatu peraturan hukum apabila dikaitkan dengan asas pembentukan peraturan Perundang-Undangan yang baik, maka asas kepastian hukum dapat dikaitkan dengan asas kejelasan rumusan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut penjelasan Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Jadi dalam hal ini kepastian hukum dapat diartikan bahwa suatu aturan hukum harus dirumuskan dan dibentuk secara jelas, sehingga dapat memberikan kepastian bagi pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum. begitu juga dalam hal pemberian visa C317 bagi WNA yang karena penyatuan keluarga terhadap mereka diberikan untuk melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan/atau keluarganya. Kebijakan ini dirumuskan secara jelas yaitu diatur dalam pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian sehingga tidak menimbulkan suatu kekeliruan dalam 17
Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hal. 83
26
pemaknaannya atau tidak bertentangan antara Pasal yang satu dengan yang lainnya, hal ini merupakan kebijakan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM), namun kita ketahui bahwa masalah ketenagakerjaan merupakan kewenangan Menakertrans dimana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mewajibkan bahwa TKA harus memiliki sponsor dari perusahaan tempat dia bekerja selaku Pemberi kerja tetapi disharmoni antara kedua
Undang-Undang
tersebut
dihilangkan
oleh
aturan
baru
yaitu
Permennakertrans nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA sehingga orang asing pelaku kawin campur dapat bekerja di Indonesia dapat memberikan suatu kepastian hukum.
1.7.4. Teori Kewenangan Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung hak dan kewajiban dalam
suatu
hubungan
hukum
publik.
Secara teoritis pemerintah memperoleh kewenangan dari tiga sumber yaitu, atribusi, delegasi dan mandat. Menurut Philipus M. Hadjon dalam tulisannya yang berjudul ”Tentang Wewenang Pemerintah (Bestuursbevoegheid)” membedakan cara administrasi negara (pemerintah) untuk mendapatkan kewenangan menjadi 3 yaitu secara atribusi, delegasi (sub delegasi), ataupun mandat.18
18
Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1, Januari 1998, (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II), hal., 91
27
a). Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi ini dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Mengenai kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan yang melibatkan peran serta rakyat sebagai pemegang asli kewenangan seperti UUD 1945, undang-undang maupun peraturan daerah. b). Delegasi adalah penyerahan kewennagan untuk membuat suatu keputusan oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Dalam penyerahan kewenangan ini terjadi perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegetaris). c). Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang melimpahkan kewenangan atau memberi mandat. Dalam mandat, tanggung jawab tidak berpindah kepada penerima mandat, sehingga semua akibat hukum yang timbul dari keputusan yang dikeluarkan penerima mandat menjadi tanggung jawab pemberi mandat. Dalam relevansinya dengan penelitian ini teori kewenangan diisyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah, tanpa kewenangan yang sah maka pejabat ataupun badan usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan, begitu pula dalam kaitannya dengan kewenangan pemberian visa bagi orang asing
28
yang kawin campur dalam rangka penyatuan keluarga merupakan kewenangan atribusi, kewenangan asli diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan yaitu UU nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian, dimana dalam hal ini Kewenangan atribusi ada pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusian RI yaitu kewenangan asli dalam memberikan izin Keimigrasian yaitu Visa Kunjungan dan Visa Tinggal Terbatas, kemudian adanya pendelegasian kepada Pejabat Dinas Luar Negeri di Perwakilan Republik Indonesia. Untuk selanjutnya Pelaksanaannya didaerah dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia merupakan bentuk sebagian urusan pemerintahan pusat yang dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, kemudian pelaksanaan pemberian izin tinggal di lakukan oleh Kepala Divisi Keimigrasian yang diberikan Mandat Untuk Menandatangani persetujuan pemberian Perpanjangan Izin Keimigrasian Atas nama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan untuk pemberian izin kerja kepada TKA adalah kewenangan atribusi dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam pemberian izin mempekerjakan TKA yang merupakan kewenangan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yaitu undangundang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Mengenai pelimpahan wewenang pemerintahan dalam bentuk delegasi, Philipus M. Hadjon memberikan pendapat bahwa delegasi harus memuat syaratsyarat sebagai berikut:19
19
Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Pers, hal., 104 - 105
29
1. Delegasi harus bersifat definitif, delegans tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang telah dilimpahkan. 2. Delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. 3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. Peraturan kebijakan (beleidstegel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Syarat-syarat yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan dengan cara delegasi hanya terbatas pada peringanan atas suatu beban kerja. Ini berarti penerima pendelegasian bertanggung jawab secara yuridis atas segala perbuatan hukum yang dilakukan. Sedangkan menurut F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, hanya ada 2 (dua) cara organ pemerintah untuk dapat memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi dimana Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, dan Delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, sehingga delegasi didahului oleh adanya atribusi. Mengenai mandat, beliau berpendapat bahwa pada mandat tidak dibicarakan penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan apapun, yang ada hanyalah hubungan internal, contohnya menteri kepada pegawainya. Menteri mempunyai
30
kewenangan dan melimpahkannya kepada pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organ kementerian, pegawai memutuskan secara factual, sedangkan Menteri secara yuridis.20 Demikian pula halnya dalam pemberian izin Keimigrasian bagi orang asing yang kawin campur merupakan kewenangan dari Direktorat Jenderal Imigrasi yang mendapatkan pelimpahan wewenang dari Menteri Hukum dan HAM RI sehingga dalam hal ini penerima pendelegasian bertanggung jawab secara yuridis atas segala perbuatan hukum yang dilakukan dan kemudian dalam pelaksanaan didaerah pemberian izin tinggal di lakukan oleh Kepala Divisi Keimigrasian yang diberikan Mandat Untuk Menandatangani persetujuan pemberian Perpanjangan Izin Keimigrasian Atas nama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Berdasarkan paparan diatas, maka harus dibedakan antara pembentuk wewenang yang diperoleh secara atributif dengan pembentuk wewenang yang diperoleh secara delegasi, dan pada setiap delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang. Dan setiap wewenang pemerintah di isyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah, tanpa adanya kewenangan yang sah maka pejabat ataupun badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah, sehingga pembentukan wewenang pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini
20
Ibid.,hal., 102-103
31
penting karena dengan mengetahui sumber kewenangan tersebut maka akan mempermudah pembagian tugas, koordinasi dan juga pengawasannya. Sehingga teori kewenangan dipergunakan disini karena baik Imigrasi maupun Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sama-sama mempunyai kewenangan dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya dalam relevansinya dengan keberadaan orang asing di Indonesia dimana untuk kewenangan Visa kerja merupakan domain Imigrasi dan pemberian izin kerja untuk Tenaga Kerja Asing merupakan wewenang dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik yang
bersumber
langsung
dari
perundang-undangan
(Atribusi)
ataupun
pelimpahan wewenang dari pemegang kewenangan asli (delegans). Pelimpahan wewenang dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk penerbitan IMTA (Izin Mermpekerjakan Tenaga Asing) yang baru dilimpahkan kepada Direktur dalam hal ini Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja, sedangkan untuk IMTA perpanjangan diterbitkan oleh Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diberikan Mandat oleh Direktur untuk penerbitan IMTA didaerah, dimana Kepala Dinas Provinsi berwenang untuk menerbitkan IMTA untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/Kota.
1.7.5. Kebijakan Keimigrasian Menurut
Carl J Friedrich
bahwa kebijakan adalah serangkaian konsep
tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau kelompok orang atau pemerintah
32
dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Carl J Friedrich merinci apa-apa yang pokok dalam suatu kebijakan yaitu adanya: a) tujuan (goal), b) sasaran (objectives) dan c) kehendak (purpose).21 Sedangkan menurut Thomas R. Dye kebijakan sebagai suatu upaya untuk mengetahui “ what goverments do, why they do it and what difference it makes” (apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah, kenapa mereka melakukannya dan apa yang menyebabkan capaian hasilnya berbeda-beda”. 22 Jadi ada 3 konotasi terkait dengan kebijakan ini yaitu: (1) pemerintah, (2) masyarakat, (3) umum. Ini tercermin dalam dimensi subyek, obyek dan lingkungan dari kebijakan itu, dimana yang pertama, yaitu dimensi subyek, ditandai oleh adanya kebijakan dari pemerintah yang salah satu ciri kebijakan tersebut “what goverment do or not to do”. Sedangkan dimensi kedua adalah lingkungan masyarakat yang dikenai oleh kebijakan pemerintah itu, sedangkan dimensi yang ketiga yakni bersifat umum, kebijakan itu menurut strata atau tatanan berlakunya kebijakan, misalnya presiden membuat kebijakan yang bersifat umum, kemudian Menteri merumuskan kebijakan yang bersifat pelaksanaan kemudian para pejabat eselon I dan II menggariskan kebijakan teknis yang sering disebut petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis).23
21
Said Zainal Abidin, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur sawah, Jakarta, hal., 20-21 Solihin Abdul Wahab, 2008, Analisis Kebijakan Publik, UMM Press, Malang, hal., 4 23 M. Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, (Selanjutnya disebut M Solly lubis I) hal.,6 22
33
Dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan dalam bidang keimigrasian, khususnya mengenai pengawasan lalu lintas keimigrasian yang dilakukan oleh pemerintah bersumber dari Undang-undang No. 6 tahun 2011 mengatur hal-hal yang bersifat pokok yang kemudian secara operasional dijabarkan lebih lanjut, baik oleh peraturan pemerintah maupun keputusan-keputusan menteri, keputusan menteri ini merupakan kebijakan dalam bidang keimigrasian untuk mengatur lalu lintas orang, baik yang masuk maupun keluar Indonesia dalam bentuk keputusan pejabat keimigrasian dimana lapangan (obyek) dari Hukum Keimigrasian adalah lalu lintas dan pengawasan keimigrasian sedangkan Subyek hukum dari Hukum Keimigrasian adalah orang yang masuk atau keluar Wilayah Negara Republik Indonesia dan Orang Asing yang berada di Wilayah Negara Republik Indonesia. Kewenangan keimigrasian merupakan manifestasi dari kedaulatan negara yang dituangkan dalam bentuk Pengawasan Lalu-lintas Orang dan Pengawasan Orang Asing dalam Yurisdiksi Republik Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam bidang lalu lintas keimigrasian meliputi tiga aspek, yaitu: 1.
Dokumen perjalanan Republik Indonesia. Ketentuan pasal 24 UU No. 6 tahun 2011 tentang keimigrasian mengatur tentang paspor dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). Paspor terdiri atas paspor diplomatik, paspor dinas, dan paspor biasa. SPLP terdiri atas SPLP untuk WNI, SPLP untuk asing dan Surat Perjalanan Lintas Batas. (Namun berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi tanggal 09
34
Mei 2014 nomor IMI-1360.GR.01.01 tahun 2014, SPLP untuk WNI sudah tidak diterbitkan). 2. Visa, Tanda Masuk dan Ijin Tinggal : Visa terdiri atas Visa Diplomatik, Visa Dinas, Visa Kunjungan dan Visa Tinggal Terbatas diatur dalam pasal 34 UU No. 6 tahun 2011 tentang keimigrasian dan PP nomor 31 tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 tahun 2011 tentang keimigrasian serta
Peraturan Menteri
Hukum dan HAM RI Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Prosedur Teknis Pemberian, Perpanjangan, Penolakan, Pembatalan Dan Berakhirnya Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Terbatas Dan Izin Tinggal Tetap Serta Pengecualian Dari Kewajiban Memiliki Izin Tinggal. 3. Pemeriksaan masuk dan keluarnya orang asing maupun WNI (Warga Negara Indonesia) dilakukan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Hal itu diatur dalam Pasal 8 Undang-undang nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pemeriksaan dimaksud meliputi pemeriksaan dokumen perjalanan atau identitas diri yang sah, daftar awak alat angkut dan penumpang, daftar cekal, keadaan fisik (penyakit menular) dan mental (sakit /gila) dan khusus untuk orang asing pemeriksaan visa bagi yang wajib memiliki visa atau yang dibebaskan dari keharusan memiliki visa. TPI ada Bandar Udara, Pelabuhan laut dan pos perlintasan perbatasan.
35
1.7. Metode Penelitian : 1.7.1. Jenis Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi, Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson bahwa “Legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law” 24. (Penelitian hukum merupakan komponen penting dari praktek hukum. Ini adalah proses untuk menemukan hukum yang mengatur kegiatan dan bahan yang menjelaskan atau menganalisis hukum) Penelitian mengenai pengawasan hukum warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan merupakan jenis penelitian hukum normatif, dimana fokus penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder).25 Penelitian hukum normatif diteliti sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi, hal itu dapat ditinjau secara vertikal yakni apakah perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan bila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan, mengingat penelitian sebelumnya dianggap ada disharmoni norma antara UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Pasal 61 dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 42 tentang penggunaan tenaga kerja asing, namun disharmoni tersebut dihilangkan 24
Morris L. Cohen dan kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, Seventh Edition, ST. Paul, Minn, West Group, h. 1. 25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2005, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, hal., 13
36
dengan terbitnya Permennakertrans Nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA, sehubungan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk menggali dan menganalisis aturan baru tersebut, bagaimana Pengawasan Hukum Warga Negara Asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia dan kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur tersebut, mengingat masih ada kekaburan norma pada aturan yang baru tersebut, sehingga norma yang masih kabur tersebut bisa diinterpretasikan dengan baik dalam implementasinya dilapangan dan tidak menimbulkan suatu kekeliruan dalam pemaknaannya.
1.7.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Pendekatanpendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan UndangUndang (statute approach), Pendekatan Konseptual (conceptual approach) Pendekatan
Analitis
(Analytical
approach),
Pendekatan
Perbandingan
(comparative approach), Pendekatan historis (historical approach), pendekatan Filsafat (Philosophical approach), Pendekatan Kasus (case approach),
26
Sedangkan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a.
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meneliti peraturan perundang-undangan dan akan meneliti 26
Johnny Ibrahim, 2008, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif ,Edisi Revisi
Bayumedia Publising, Malang, hal.,300
37
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dari penelitian sehingga Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat Comprehensive yaitu norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu dengan lainnya secara logis, All inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum serta bersifat systematic yaitu bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkis. Peraturan Kebijakan yang berkaitan dengan Pengawasan Hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia antara lain Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaaan Tenaga Kerja Asing. Agar tidak terjadi multitafsir maka dalam mengidentifikasi aturan hukum dipakai metode interpretasi sistematis dan juga metode teleologis atau sosiologis. b. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual approach), merupakan suatu kerangka teoritis dan konseptual yang antara lain berisi tentang pengkajian terhadap teori-teori, definisi-definisi tertentu yang dipakai sebagai landasan pengertian dan landasan operasional dalam pelaksanaan
38
penelitian.27 Teori, Konsep dan Asas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kewenangan, Konsep Negara Hukum, Kebijakan Keimigrasian, Asas Kepastian Hukum, Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). c. Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum,
28
dalam artian yaitu dengan melakukan telaah kasus
untuk referensi bagi isu hukum tentang WNA Pelaku kawin campur dalam melakukan pekerjaan dan kepastian hukum atas hak WNA tersebut dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang digunakan berupa bahan Hukum Primer dan bahan hukum sekunder yaitu : a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar, yaitu pembukaan UUD negara RI 1945, Peraturan dasar meliputi Batang Tubuh UUD Negara RI 1945 dan Ketetapan MPR, Peraturann Perundang-undangan meliputi UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Kepres, KepMen dan Perda. Selain itu bahan hukum yang tidak dikodifikasikan dan yurisprusendi.
29
Dan Bahan
Hukum Primer yang relevan dengan penelitian ini adalah Undang – 27
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafindo, Jakarta,
hal.,30 28
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal., 321 Amiruddin dan Asikin Zainal, 2013, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,hal., 118 29
39
undang RI nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian dan peraturanperaturan
dalam
bidang
permasalahan seperti
Keimigrasian
yang
berkaitan
dengan
PP nomor 31 tahun 2013 tentang Peraturan
Pelaksanaan
Undang – undang RI nomor 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian,
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2006
Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, , Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaaan Tenaga Kerja Asing dan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan Hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum Primer yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, rancangan UU, hasil hasil Karya ilmiah Ahli Hukum, buku-buku dan majalah-majalah yang relevan dengan permasalahan yang diteliti sehingga bahan hukum sekunder ini dapat memberikan inspirasi dan petunjuk kearah mana peneliti 30
1.8.4.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode sistematis, dimana bahan hukum itu saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan dalam suatu
30
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum Edisi Revisi, KencanaPrenadamedia Group, Jakarta, hal., 196
40
sistem dan bahan kepustakaan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system)
31
,
pengumpulan bahan hukum dengan cara mengumpulkan dan menginventarisir bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pencatatan dengan menggunakan system kartu, dimana dilakukan suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi-informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Kartu-kartu itu sebagai alat pencatat secara rinci dan sistematis terhadap halhal yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Dengan pengklasifikasian tersebut diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Kartu tersebut dibedakan menjadi tiga macam yaitu kartu kutipan, kartu ikhtisar dan analisis. Kartu kutipan memuat isi dan bentuk karangan asli yang diperlukan, kartu ikhtisar memuat nomor, singkatan nama penulis buku, singkatan nama buku dan lain-lain yang dianggap perlu, kartu analisis memuat reaksi terhadap suatu sumber yang dikutip, dan reaksi tersebut bersifat menambah atau menjelaskan catatan, bacaan berupa kritik, kesimpulan, saran dan komentar.
31
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian hTesis dan Penulisan Tesis Program studi Magister(S2) ilmu hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal.,34
41
1.7.4. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan Hukum untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis yaitu: a. Teknik Deskripsi yaitu teknik dasar analisis berupa uraian apa adanya terhadap kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non hukum. dimana dalam penelitian ini menguraikan pengawasan hukum WNA yang kawin campur dalam bekerja dan ketentuan norma yang masih kabur disertai dengan fakta hukum yang ada (dari kasus-kasus). b. Teknik evaluasi yaitu penilaian, tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh penulis terhadap suatu pandangan atau proposisi, pernyataan rumusan norma baik itu bahan hukum Primer maupun Sekunder, yaitu dilakukan penilaian terhadap rumusan pasal-pasal tersebut dengan menggunakan teknik evaluasi. c. Teknik argumentasi yaitu penilaian yang dilakukan penulis atas dasar penalaran hukum. d. Teknik sistematisasi yaitu penulis berusaha mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.