BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis
pada abad ke-18 (delapan belas), memunculkan gagasan dari para pakar hukum dan negarawan untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan dalam suatu negara. Upaya untuk melakukan pembatasan kekuasaan dalam negara, dilakukan melalui pemisahaan kekuasaan dalam negara. Menurut Montesquieu, dalam bukunya berjudul “L’Esprit des Lois” (1748), “Kekuasaan negara dibagi dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat UndangUndang, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana Undang-Undang, serta kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif”.1 Cabang-cabang kekuasaan negara harus memiliki independensi masingmasing
dalam
menjalankan
kewenangan
dan
kekuasaannya.
Dalam
perkembangannya, John Adler berpandangan bahwa, “The Principle of separation of powers is particularly important for the judiciary”.2 Apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia memiliki makna bahwa, prinsip pemisahan kekuasaan terutama sangat penting bagi kekuasaan kehakiman. Prinsip pemisahan kekuasaan mengharuskan kekuasaan kehakiman yang bebas dan terlepas dari campur tangan kekuasaan lain agar dapat efektif dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.
1
2
O. Hood Phillips, et al., 2001, Constitutional and Administrative Law, Sweet & Maxwell, London, hlm. 10-11. Seperti dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, 2012, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Keempat, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 283. John Alder, 1989, Constitutional and Administrative Law, Macmillan, London, hlm. 267. Seperti dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, 2012, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cetakan Keempat, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 310.
2
Menurut Jimly Asshiddiqie, “Prinsip pemisahan kekuasaan sangat terkait erat dengan independensi penyelenggaraan peradilan, dimana hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif.”3 Setiap hakim harus bersikap adil dan seimbang dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, agar dapat memberikan rasa keadilan serta menjadi penjaga sistem hukum dalam suatu Negara Hukum. Oleh sebab itu juga, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (demokratische rechstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitusional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial).4 Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), “Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum.”5 Negara Republik Indonesia sebagai salah satu negara hukum yang juga menjunjung tinggi demokrasi, sudah seharusnya memberikan jaminan bagi independensi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa, “Kekuasaan
Kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”6 UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi di Negara Republik Indonesia, pada dasarnya memberikan jaminan kemerdekaan kepada penyelenggara kekuasaan kehakiman
3 4 5 6
Jimly Asshiddiqie, 2012, Op.Cit., hlm. 311. Ibid., hlm. 313. Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
untuk menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen serta bebas dari intervensi. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen (UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen), “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.”7 Setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945, terjadi pergeseran dalam ranah kekuasaan kehakiman dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta oleh Mahkamah Konstitusi. 8 Pemikiran tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong oleh pemikiran untuk melindungi hak asasi manusia serta menegakkan konstitusi yang menjadi salah satu tuntutan dalam reformasi nasional di Indonesia. Pembentukan
Mahkamah
Konstitusi
juga
didorong
oleh
gagasan
pembentukan lembaga yang memiliki kewenangan judicial review, yang berkembang dan menyebar ke seluruh Eropa, setelah perang dunia kedua berakhir.9 Selain itu, permasalahan teknis mengenai banyaknya perkara yang belum diselesaikan oleh Mahkamah Agung, menjadikan salah satu bahan pertimbangan untuk membentuk lembaga yang terpisah dari Mahkamah Agung,
7
8 9
Lihat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen. Lihat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Abdul Latif, et al., 2009, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Total Media, Yogyakarta, hlm. 3.
4
dalam menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.10 Berdasarkan catatan Mahkamah Agung pada tanggal 1 November 2000, jumlah perkara yang tersisa dan belum diputus oleh Mahkamah Agung mencapai 12.870 perkara, baik perkara perdata, pidana, militer, agama, niaga maupun tata usaha negara. 11 Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat.12 Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK 2003) dikatakan bahwa:13 Salah satu substansi penting perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah keberadaaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi. Pembentuk
Undang-Undang
menyadari
bahwa
pembentukan
Mahkamah
Konstitusi tidak terlepas dari pengaruh kehidupan ketatanegaraan sebelumnya, yang kurang konsisten dalam menafsirkan hukum dalam konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menjaga konstitusi sesuai dengan cita-cita demokrasi.
10
11
12
13
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Buku IV Kekuasaan Kehakiman), Sekretariat Jenderal MK-RI, Jakarta, hlm. 372. Henry P. Pangabean, 2001, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Rev.Ed., Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. xxix. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi, sebagai Insitutsi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MK-RI, Jakarta, hlm. iv. Lihat Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
5
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan hasil pemilihan umum.14 Selain kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden.15 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat umum dan mengikat terhadap seluruh aspek kehidupan bernegara, terutama dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Salah satunya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan oleh Antasari Azhar sebagai terpidana dalam Perkara Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel dan telah memiliki kekuataan hukum tetap dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2009 yang telah dimohonkan oleh Ida Laksmiwaty dan Ajeng Oktarifka Antasari Putri selaku keluarga dari terpidana Antasari Azhar. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat menimbulkan potensi konflik antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. 14 15
Lihat Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6
Pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang mengatur bahwa, “Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali”16 bertentangan terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.17 Alasan Pemohon mengajukan permohonan karena merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar dengan berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Pelanggaran hak konstitusional yang dimaksud oleh Pemohon adalah ketika Mahkamah Agung memutuskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 117PK/Pid/2011 yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Pemohon. Berdasarkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Pemohon tidak memiliki upaya hukum lain jika suatu saat terdapat bukti baru yang yang berbeda dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel., yang mana telah memiliki kekuataan hukum tetap dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2009, sehingga Pemohon tidak dapat memperjuangkan hak keadilan di depan hukum sebagai Warga Negara Indonesia.18 Pemohon memohon petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan, “Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, apabila tidak 16
17
18
Lihat Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 13. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 6.
7
dimaknai dikecualikan terhadap adanya novum”.19 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
34/PUU-XI/2013
mengabulkan
permohonan
Pemohon
dengan
membatalkan secara keseluruhan berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP, bahwa PK yang merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Agung dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dengan persyaratan tertentu. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dianggap telah mengabaikan asas hukum yang berlaku secara universal, yaitu asas nemo judex in causa sua, yang menentang hakim memutuskan perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan/atau yang berkaitan dengan lembaga peradilan.20 Berdasarkan Latar Belakang tersebut di atas, Peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung sehingga terjadi keselarasan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah ruang lingkup kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung? 2. Bagaimanakah implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung selaku pemegang kekuasaan kehakiman?
19 20
Ibid. Moh. Mahfud MD., 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hlm. 98-99. Seperti dikutip oleh Feri Amsari, 2013, Perubahan UUD 1945 (Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi), Rev. Ed., Cetakan Kedua, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 185-186.
8
C.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam melakukan penelitian ini terbagi ke
dalam tujuan subjektif dan tujuan objektif, yaitu: 1.
Tujuan Subjektif Penelitian dilakukan sebagai salah satu persyaratan akademis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
2.
Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penelitian mengenai implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung adalah: a. Untuk mengetahui, memahami, menelaah, dan menganalisis ruang lingkup kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang melekat pada Mahkamah Agung, sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia. b. Untuk mengetahui, memahami, menelaah, dan menganalisis implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan Mahkamah Agung, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia.
9
D.
Keaslian Penelitian Sejauh pengamatan dan pengetahuan Peneliti, berdasarkan hasil penelusuran
kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada serta melalui internet, belum ada penulisan hukum yang meneliti atau mengkaji mengenai implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung. Namun, ada penulisan yang memiliki kajian yang berkaitan dengan objek kajian yang akan diteliti, yaitu: 1.
Karya Akhyaroni Fuadah dengan judul “Implikasi Asas Nemo Judex In Causa Sua dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi terhadap Konsepsi Negara Hukum di Indonesia”, yang berasal dari Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2014. Perumusan masalah dalam tulisan tersebut terdiri dari: Pertama, Bagaimanakah penerapan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi? Kedua, Bagaimanakah Implikasi penerapan asas nemo judex in causa sua terhadap konsepsi negara hukum di Indonesia?21 Dalam penulisan karya Akhyaroni Fuadah, objek kajian terfokus pada penerapan dan implikasi asas nemo judex in causa sua dalam hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi secara umum sejak pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Selain itu, pada saat penulisan karya Akhyaroni Fuadah dilakukan, Mahkamah Konstitusi belum memutuskan perkara Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian KUHAP.
21
Akhyaroni Fuadah, 2014, Implikasi Asas Nemo Judex In Causa Sua dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi terhadap Konsepsi Negara Hukum di Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8.
10
Penulisan Peneliti lebih terfokus pada Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung, dengan menganalisa prinsip-prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang melekat pada Mahkamah Agung, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. 2.
Karya Muhamad Rudi dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 terhadap Sistem Pengangkatan Hakim Agung” yang berasal dari Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2014. Perumusan masalah dalam tulisan tersebut terdiri dari: Pertama, Bagaimanakah sistem pengangkatan hakim agung sebelum dan sesudah Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
27/PUU-XI/2013?
Kedua,
Bagaimanakah implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUXI/2013 terhadap sistem pengangkatan hakim agung?22 Dalam penulisan karya Muhamad Rudi, objek kajian terfokus pada implikasi atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 berkaitan dengan yang mengubah kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menjadi hanya memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Penulisan Peneliti lebih terfokus pada implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung, dengan menganalisis prinsip-prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman
22
Muhamad Rudi, 2014, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 terhadap Sistem Pengangkatan Hakim Agung, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm 9.
11
yang melekat pada Mahkamah Agung, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. 3.
Karya Rifian Ernando Lukmantara dengan judul “Tinjauan Yuridis Kewenangan Mahkamah Agung dalam Judicial Review terhadap Peraturan Menteri” yang berasal dari Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2012. Perumusan masalah dalam tulisan tersebut terdiri dari: Pertama, Bagaimanakah kedudukan hukum Peraturan Menteri dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia? Kedua, Apakah Mahkamah Agung berwenang melakukan pengujian peraturan Menteri baik secara formil maupun materiil? Ketiga, Apakah Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Menteri terhadap peraturan perundangundangan selain Undang-Undang yang secdaara hierarkis lebih tinggi kedudukannya?23 Dalam penulisan karya Rifian Ernando Lukmantara, objek kajian terfokus pada kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian Peraturan Menteri, baik secara formil maupun materiil, terutama mengenai Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01 Tahun 1998 serta implikasinya terhadap kebebasan pers pada saat itu. Penulisan Peneliti lebih terfokus pada implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung, dengan menganalisis prinsip-prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang melekat pada Mahkamah Agung, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.
23
Rifian Ernando Lukmantara, 2012, Tinjauan Yuridis Kewenangan dalam Judicial Review terhadap Peraturan Menteri, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 13.
12
E.
Kegunaan Penelitian
1.
Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
Ilmu Pengetahuan Hukum, khususnya dalam bidang ketatanegaraan, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung. Selain itu, temuan-temuan dalam penulisan ini, diharapkan dapat berguna sebagai dasar terciptanya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan. 2.
Bagi Praktik Ketatanegaraan Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat untuk dapat
mewujudkan sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, baik pada Mahkamah Agung maupun pada Mahkamah Konstitusi, yang merdeka dan bebas dari intervensi pihak manapun sejalan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga akan melahirkan putusan-putusan yang dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.