1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pendidikan yang semakin maju, menyadarkan manusia terhadap hakikat dan kegunanan matematika baik sebagai ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah, maupun sebagai ilmu terapan yang dapat digunakan seharihari. Hal ini sejalan dengan pernyataan: ”Kita harus menyadari bahwa matematika itu penting, baik sebagai ilmu (bagi ilmuan) sebagai pembimbing pola berpikir, maupun sebagai pembentuk sikap.” (Ruseffendi, 1979: 39). Hal tersebut sesuai dengan tujuan diberikannya pendidikan matematika di sekolah. Sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) bahwa diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan umum antara lain untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien serta mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematis dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pola pembelajaran matematika yang dikembangkan di Indonesia dewasa ini, menuntut keaktifan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar, juga menuntut keterampilan siswa untuk mengolah data yang diberikan guru. Keterampilan yang dimaksud dalam pembelajaran matematika tidak hanya
2
kemampuan berhitung, tetapi keterampilan yang mengembangkan kemampuan berpikir. Pola pembelajaran yang diharapkan seperti diatas sulit tercapai jika hanya mengandalkan pada pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran yang belum berpusat pada siswa. Pada kenyataannya di Indonesia pembelajaran konvensional masih banyak digunakan, sehingga untuk terciptanya pembelajaran yang menuntut keaktifan siswa dan menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran, perlu adanya inovasi dalam proses pembelajaran tersebut, sehingga dapat mencapai apa yang diinginkan selama proses pembelajaran berlangsung, yaitu keaktifan siswa dalam mengemukakan pendapat, merumuskan masalah dan membuat masalah. Salah satu inovasi dalam pembelajaran matematika yang dapat menuntut keaktifan siswa dalam proses pembelajaran (berani mengemukakan pendapat, merumuskan masalah dan membuat masalah) adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan Problem Posing. Problem Posing merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk membuat atau merumuskan masalah (soal) dengan bahasa sendiri agar dapat dimengerti. Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk membuat atau memodifikasi kondisi-kondisi dari suatu masalah yang telah diketahuinya. Suryanto (Mulia, 2009:12) mengemukakan bahwa Problem Posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah (soal)” atau “membuat masalah (soal).” Menurut Silver (Sutiarso, 2000) bahwa dalam pustaka pendidikan matematika, Problem Posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: pertama,
3
Problem Posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (Problem Posing sebagai salah satu langkah problem solving). Kedua, Problem Posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (sama dengan mengkaji kembali langkah problem solving yang telah dilakukan). Ketiga, Problem Posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan. Pada intinya, dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan Problem Posing, siswa dituntut untuk mengembangkan masalah baru dan merumuskan masalah kembali masalah yang diberikan. Dengan demikian pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing diharapkan siswa mempunyai kemampuan
untuk
menghadapi
permasalahan-permasalahan
khususnya
permasalahan matematika, dan lebih lanjut permasalahan dalam kehidupan nyata. Kemampuan tersebut dikenal dengan kemampuan Daya Matematis (Mathematical Power). Daya Matematis tersebut merupakan bagian dari tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum di Indonesia, yaitu: (1) Kemampuan pemecahan masalah (problem solving); (2) Kemampuan berargumentasi (reasonning); (3) Kemampuan berkomunikasi (communication); (4) Kemampuan membuat koneksi (connection) dan (5) Kemampuan representasi (representation). Kelima hal tersebut oleh NCTM (1999) dikenal dengan istilah standar proses daya matematis (Mathematical Power Proses Standards).
4
Dalam
aspek
pemecahan
masalah
matematis,
diperlukan
suatu
keterampilan, dalam hal ini keterampilan berpikir kritis untuk membuat atau merumuskan,
menafsirkan
dan
menyelesaikan
model
atau
perencanaan
pemecahan masalah. Keterampilan berpikir kritis tersebut meliputi memberikan penjelasan
sederhana,
membangun
keterampilan
dasar,
menyimpulkan,
memberikan penjelasan lanjut, mengatur strategi dan teknik. Berpikir kritis sebagai salah satu bentuk kemampuan berpikir, harus dimiliki oleh setiap orang termasuk siswa. Seorang pemikir kritis juga mampu mengomunikasikan apa yang diyakininya dengan jelas dan akurat (Ennis, 2000). Lebih lanjut Spliter (Sugiyarti, 2005:19) mengemukakan bahwa siswa yang berpikir kritis adalah siswa yang mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengkontruksi argumen serta mampu memecahkan masalah dengan tepat. Dengan demikian kemampuan berpikir kritis sangat perlu dimiliki oleh setiap siswa untuk memecahkan masalah dalam hal ini masalah matematis dengan tepat. Hasil studi Bank Dunia pada tahun 2005 (Rahmanto, 2009: 3), menyatakan bahwa siswa Indonesia kurang memiliki kemampuan berpikir kritis dibanding rekannya dari Jepang, Korea, Australia, Hong Kong dan Thailand. Berdasarkan data tersebut, perlu adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa di Indonesia, termasuk siswa SMP. Hasil penelitan lain menyatakan bahwa peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan pendekatan Problem Posing lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika secara konvensional (Mulia, 2009).
5
Berdasarakan uraian di atas perlu kiranya diteliti lebih lanjut, mengenai kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan Problem Posing. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis tertarik untuk mlakukan penelitian dengan judul ”Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP.”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Apakah
peningkatan
kemampuan
berpikir
kritis
siswa
yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan Problem Posing lebih baik daripada
peningkatan
kemampuan
berpikir
kritis
siswa
yang
pembelajarannya secara konvensional? 2.
Bagaimana respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing?
1.3 Batasan Masalah Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dikaji, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi, yaitu: 1.
Model Pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Problem Based Learning (PBL).
2.
Konsep yang diteliti hanya subpokok bahasan luas bangun datar segi empat pada pokok bahasan Poligon.
6
3.
Indikator berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator berpikir kritis menurut Ennis, yang telah dikelompokan menjadi lima besar aktivitas, yaitu: memberikan penjelasan sederhana (Elementary clarification),
membangun
keterampilan
dasar
(Basic
Support),
menyimpulkan (Inference), memberikan penjelasan lanjut (Advanced Clarification), mengatur strategi dan teknik (Strategy and Tactics).
1.4 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penilitian ini adalah: 1.
Mengetahui apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Problem Posing lebih baik daripada
peningkatan
kemampuan
berpikir
kritis
siswa
yang
pembelajarannya secara konvensional. 2.
Mengetahui respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu: 1.
Bagi Peneliti Sebagai wawasan tambahan. Karena pada penelitian ini, peneliti dapat mengaplikasikan segala pengetahuan yang didapat selama perkuliahan maupun di luar perkuliahan.
7
2.
Bagi Guru a. Sebagai bahan pertimbangan dan sumber data bagi guru dalam merumuskan pendekatan pembelajaran terbaik untuk siswanya. b. Memperluas wawasan mengenai teknik pembelajaran matematika dengan pendekatan Problem Posing.
3. Bagi siswa Melatih siswa untuk berpikir kritis dengan pendekatan Problem Posing. 4.
Bagi Sekolah Memiliki referensi tambahan tentang teknik pembelajaran yang diharapkan meningkatkan kualitas pembelajaran matematika.
1.6 Definisi Operasional 1.
Berpikir Kritis Berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional yang di arahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu.
2.
Problem Posing Problem Posing adalah perumusan soal atau pengajuan masalah dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah menyelesaikan suatu soal.
3.
Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran matematika yang dirancang oleh guru, dengan langkah-langkah tertentu sehingga guru berperan sebagai pusat dalam proses pembelajaran.