BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak
yang terbentuk melalui sebuah lembaga perkawinan. Menurut Soerjono Soekanto, perkawinan adalah lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi, antara lain: sebagai pengatur perilaku seksual suami-istri; sebagai wadah bagi penanaman hak dan kewajiban anggota keluarga; untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kawan hidup, benda materiil, dan prestise; serta untuk memelihara interaksi antar kelompok sosial.1 Berdasarkan bentuknya, perkawinan dapat dibedakan menjadi beberapa macam.2 Salah satu diantaranya adalah poligami.3 Poligami merupakan sebuah bentuk perkawinan yang telah ada, dan dipraktikkan oleh sebagian kaum laki-laki di dunia dari sejak dulu hingga sekarang.4 Poligami adalah sebuah isu sosial, atau lebih tepatnya, sebuah fenomena sosial keagamaan yang hingga kini keberadaannya terus menjadi bahan perdebatan pada banyak kalangan, termasuk
1
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 232-233. 2 Bentuk perkawinan dapat dibedakan menjadi beberapa macam; Pertama, bentuk perkawinan berdasarkan jumlah istri/suami (monogami, poligami). Kedua, bentuk perkawinan berdasarkan asal istri/suami (Endogami, eksogami), dan Ketiga, bentuk perkawinan berdasarkan hubungan kekerabatan persepupuan (Cross Cousin, Paralel Cousin). Pengertian mengenai monogami, poligami, endogami dan eksogami, dapat dilihat pada Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). 3 Mengenai konsep poligami dapat dilihat pada bagian penjelasan konsep. 4 Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara teks, konteks dan praktek, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008), 16-18.
1
didalamnya adalah para feminis Muslim.5 Budaya patriarki dan ajaran agama merupakan dua hal yang disinyalir ikut berperan cukup besar dalam melegitimasi terjadinya perkawinan poligami tersebut.6 Permulaan munculnya poligami tidak diketahui secara pasti, namun diduga muncul bersamaan dengan keberadaan umat manusia di dunia.7 Farida, dalam hal ini menyitir Sayid Amir Ali, menyatakan bahwa sebelum kedatangan Islam, poligami telah menjadi sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh semua bangsa di dunia. Kebiasaan raja-raja pada masa lalu yang melembagakan perkawinan dengan jumlah istri lebih dari satu, telah menjadi dukungan legitimasi bagi keberadaan poligami kala itu.8
5
Mengenai pernyataan poligami sebagai isu sosial, Lihat, Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Sri Suhandjati Sukri (ed.), Bias Jender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 68. 6 Patriarki merupakan sistem dominasi yang menempatkan keberadaan kaum perempuan di bawah kepemilikan, kontrol dan kuasa kaum laki-laki. Dalam patriarki melekat ideologi, seperti; superioritas laki-laki, kepemilikan dan sekaligus kontrol laki-laki atas perempuan. Konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat patriarki dibangun di atas kontrol laki-laki terhadap perempuan, dan laki-laki memiliki kuasa penuh untuk mengendalikan hal tersebut. Lihat, Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender & Inferioritas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 93-94. Disini, penulis menyimpulkan bahwa budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan posisi dan kedudukan kaum laki-laki diatas kaum perempuan. Perempuan menjadi makhluk nomor dua dibawah kekuasaan laki-laki. Pada budaya patriarki ini, seorang perempuan harus tunduk pada kemauan laki-laki, termasuk ketika hendak dipoligami. Sementara itu, yang dimaksud dengan ajaran agama pada tesis ini adalah hasil ijtihad manusia yang berupa penafsiran para ulama baik fukaha maupun mufasir terhadap Q.S. an-Nisa’/4:3 tentang poligami. Fukaha adalah sebutan untuk ahli hukum Islam (ahli fikih). http://kbbi.web.id/fukaha, diakses pada Kamis tanggal 4 Pebruari 2016 pukul 11.55 WIB. Adapun, mufassir/mufasir diartikan sebagai penafsir, atau ahli tafsir Alquran. Tim Penyusun Pustaka-Azet Jakarta, Leksikon Islam, (Jakarta: PT. Penerbit Pustazet Perkasa, tt), 488. 7 Lihat, Nasaruddin Umar dalam prawacana buku karangan Farida, Menimbang Dalil Poligami, xi. 8 Farida, Menimbang Dalil Poligami, 17. Seorang raja Cina, disebut ada yang memiliki istri sebanyak 30.000 orang. Selanjutnya Raja Sulaiman, atau yang lebih dikenal dengan Nabi Sulaiman a.s. disebut memiliki 700 orang istri merdeka dan 300 orang istri berasal dari budak. Lihat, Leli Nurohmah, “Poligami Saatnya Melihat Realitas” dalam Menimbang Poligami, Jurnal Perempuan, No. 31/2003, h. 34.
2
Begitu pun yang terjadi pada Bangsa Arab pra-Islam.9 Pernikahan poligami juga telah menjadi sebuah tradisi yang mengakar pada kehidupan masyarakatnya. Bahkan, seorang perempuan yang memiliki suami lebih dari satu (poliandri), juga merupakan hal yang wajar kala itu.10
Selain poligami (Ar:
ta’addud al-zawjat), dalam masyarakat Arab pra Islam juga dikenal bentukbentuk perkawinan asli lainnya, seperti: zawaj al-mut’ah dan zawaj al-hibah.11 Menurut Farida, praktik poligami, dengan demikian, telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat luas di seluruh dunia. Kemudian Islam datang dengan membawa batasan mengenai dibolehkannya poligami, yakni: pertama, jumlah maksimal adalah 4 orang istri; kedua, mampu berlaku adil diantara istri-istrinya (Q.S. An-Nisa/4:3). Bagi Farida, batasan tentang dibolehankannya poligami tersebut merupakan sebuah revolusi dahsyat di dalam menegakkan hak dan meningkatkan derajat kaum perempuan kala itu.12 Sementara itu, bagi Engineer,
9
Disini penulis memilih konteks Arab karena sebagaimana yang peneliti pahami, Jazirah Arab adalah tempat dimana Nabi Muhammad saw dilahirkan, menerima wahyu, dan menyebarkan agama Islam. 10 Farida, Menimbang Dalil Poligami, 15. Dalam Hukum Islam, poliandri merupakan perihal yang dilarang. Pelarangan poliandri ini terdapat pada Q.S. 4:24, yang artinya: “Janganlah kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang sedang bersuami.” Mengenai hal ini, lihat Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 43. 11 Zawaj al-muth’ah adalah pernikahan sementara yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk keabsahan menikmati seks semata. Pernikahan model ini biasanya hanya berlaku dalam hitungan hari, sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan zawaj alhibah adalah pernikahan pengorbanan seorang perempuan terhadap laki-laki. Di sini, pihak perempuan akan berkata: “Aku menyerahkan diriku untukmu”. Seorang perempuan yang melakukan pernikahan model ini tidak mempunyai hak apapun dari pihak laki-laki. Termasuk bila sampai melahirkan anak, maka ayah tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap anaknya. Lihat, Nawal El-Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarkhi, (terj. Zulhilmiyasri), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 259. 12 Farida, Menimbang Dalil Poligami, 27. Menurut peneliti, pendapat Farida tentang revolusi dahsyat tersebut, baru dapat dipahami dengan melihat konteks sejarah yang ada pada masa itu. HAMKA, dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa ketika Nabi Muhammad lahir, masyarakat Arab adalah sebuah masyarakat berbentuk kabilah dengan sistem “perbapakan” (patriarkat). Bapak menjadi pusat segala-galanya, dan anak laki-laki menjadi kebanggaan setiap orang tua kala itu. Dalam kehidupan perkawinan, yang menjadi bahan pembicaraan adalah berapa
3
Q.S.4:3 merupakan bentuk peringatan keras terhadap laki-laki yang hendak melakukan poligami untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya.13 Seiring dengan perkembangan Islam, perihal mengenai diperbolehkannya poligami di dalam Q.S. An-Nisa’/4:3 tersebut, kemudian mendapat penafsiran yang beragam dari para mufasir, fukaha dan feminis Muslim.14 Terkait hal ini, Baroroh, menyatakan bahwa, meski pada umumnya para mufasir dan fukaha dalam membicarakan perihal poligami selalu mengacu pada Q.S. 4:3, tetapi pemahaman mereka sangat beragam dan terus berkembang seiring dengan perkembangan
zaman
dan
konteks
kehidupan.
Sementara
itu,
dengan
memperhitungkan konteks, para feminis Muslim telah melarang poligami dengan sebuah alasan bahwa persyaratan keadilan yang ditetapkan di dalam Alquran mustahil dapat dipenuhi.15 Terkait adanya kontroversi poligami dalam Islam, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa poligami telah menjadi bahan kontroversi, baik dalam tataran
jumlah anak dan cucu (laki-laki) yang dimilikinya, bukan berapa jumlah istri atau gundik yang dimilikinya. Baca, Haji AbdulMalik AbdulKarim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar Juzu’ IV, (Yayasan Nurul Islam, 1981), 270. Adapun menurut Engineer, disebutkan bahwa, dalam kehidupan masyarakat Arab pra Islam (jahiliyah) belum dikenal adanya norma dan hukum yang pasti. Posisi perempuan begitu rendah. Anak lelaki bahkan dapat mewarisi janda dari bapaknya (berarti: mengawini ibu kandungnya sendiri). Seorang laki-laki juga dapat mengawini sebanyak mungkin perempuan yang ia sukai dan dapat menceraikannya kapan saja tanpa ada kewajiban memberi nafkah. Selain itu, kaum lelaki juga dapat melakukan kawin kontrak secara temporer (kawin mut’ah). Baca, Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (terj. Agus Nuryatno), (Yogyakarta: Lkis, 2007), 39-40. Dari konteks sejarah tersebut dapat dipahami bahwa perempuan Arab pra Islam berada dalam posisi yang begitu rendah dibawah kekuasaan laki-laki. Selain itu, perempuan juga mengalami kerentanan di dalam kehidupan pernikahannya, karena perempuan dapat saja dimadu dengan jumlah yang tak terhingga, dan dapat dicerai kapan saja tanpa diberi nafkah, serta dapat diwariskan kepada anak lelakinya. Dengan adanya Q.S. 4:3, berarti kedudukan perempuan mengalami sebuah revolusi dahsyat sebagaimana dinyatakan oleh Farida. 13 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, 51-52. 14 Dalam penulisan tesis ini, Q.S. An-Nisa’/4:3 selanjutnya akan sering ditulis dengan Q.S. 4:3. 15 Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Sri Suhandjati Sukri (ed.), Bias Jender dalam Pemahaman Islam, 78.
4
konsep maupun tataran penerapan. Pada tataran konsep, bahwa ambiguitas dari ayat Alquran mengenai perihal poligami, telah menyebabkan terjadinya perbedaan penafsiran dan juga pemahaman diantara umat Islam mengenai perihal diperbolehankannya poligami. Sementara itu, dalam tataran penerapan, disebutkan bahwa tidak semua negara Muslim memperkenankan praktik poligami di dalam perundangan yang berlaku di negaranya. Ada negara yang secara tegas memperkenankannya di dalam undang-undang, ada negara yang membatasinya melalui syarat yang berat dan ketat, serta ada pula negara yang melarangnya dengan tegas, bahkan disertai adanya ancaman sanksi yang berat.16 Dalam
konteks
Indonesia,
poligami
merupakan
perihal
yang
diperkenankan oleh negara. Dalam hal ini, poligami diatur pelaksanaanya di dalam hukum positif tentang perkawinan, diantaranya adalah: Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (terdapat dalam pasal 3, 4 dan 5) dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI, yang mengatur perkawinan di kalangan umat Islam (terdapat dalam pasal 55 s/d 59).17
16
Nasaruddin Umar, Prawacana “Konsep Poligami: Tinjauan Sejarah Agama-agama” dalam Farida, Menimbang Dalil Poligami, ix-x. Menurut penulis, yang dimaksud Umar dengan ambiguitas dari ayat Alquran tentang perihal poligami adalah menunjuk kepada Q.S. 4:3 dan Q.S. 4:129. Dalam Q.S. 4:3 dinyatakan bahwa poligami diperbolehkan dengan maksimal empat orang istri, dengan syarat suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun pada Q.S. 4:129, disebutkan bahwa seorang suami tidak mungkin dapat berlaku adil diantara istri-istrinya, meski ia sangat menginginkan hal tersebut. Selanjutnya, terkait dengan adanya penyebutan “negara Muslim” oleh Umar, di sini penulis berpendapat bahwa, negara Muslim disebut Umar, karena secara logika, semua Negara Muslim seharusnya mengizinkan praktik poligami di dalam perundangan negaranya. Tapi pada kenyataannya, tidak demikian. Musdah Mulia dalam hal ini mencontohkan Turki sebagai negara Muslim pertama yang melarang poligami secara mutlak melalui Civil Turki (1926). Lihat, Siti Musdah Mulia, “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara & Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), 308. 17 Hukum positif dalam KBBI diartikan sebagai hukum yang sedang berlaku. http://kbbi.web.id/hukum, diakses pada Selasa Tanggal 19 Januari 2016 Pukul 14.23 WIB.
5
Beralih kepada penelitian terdahulu yang membahas perihal poligami, sejauh ini, peneliti telah menemukan sejumlah penelitian yang mengkaji tentang poligami, baik menyangkut tentang praktik poligami, pemikiran para tokoh mengenai konsep keadilan dalam poligami, maupun poligami relevansinya terhadap keadilan jender. Penelitian tersebut adalah: a.
Penelitian Musdah Mulia dan Anik Farida, memperlihatkan bahwa dalam
praktik poligami, telah dilakukan beberapa model perkawinan, diantaranya: perkawinan sirri (di bawah tangan) dan pernikahan secara resmi dan tercatat di KUA, tetapi tanpa sepengetahuan atau izin istri pertama. Hal ini terjadi karena adanya pemalsuan identitas KTP yang dilakukan oleh suami.18 b.
Penelitian Ninik Lailiyah dalam skripsinya yang berjudul Studi Pemikiran
Asghar Ali Engineer tentang Poligami Relevansinya dengan Keadilan Jender. Kesimpulanya menyatakan bahwa, dengan melihat syarat keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Asghar Ali Engineer, yakni: Menjamin penggunaan harta anak yatim dan janda secara benar; Jaminan untuk memberikan keadilan secara materi kepada semua isteri; dan memberikan keadilan dalam hal cinta dan kasih sayang kepada semua isteri, maka poligami menjadi hal yang mustahil untuk dapat dilakukan. Bagi Engineer, esensi yang benar dari Alquran adalah monogami. Hanya dengan perkawinan monogami, keluarga sakinah dengan kasih sayang yang sempurna akan dapat terwujud.19 c.
Penelitian Attan Navaron dalam skripsinya yang berjudul Konsep Adil
dalam Poligami (Studi Analisis Pemikiran M. Quraish Shihab). Kesimpulannya, 18
Farida, Menimbang Dalil Poligami, 3-4. Ninik Lailiyah, “Studi Pemikiran Asghar Ali Engineer tentang Poligami Relevansinya dengan Keadilan Jender.”, Skripsi, 2003, IAIN Walisongo Semarang. 19
6
bahwa dengan didasarkan pada Q.S. An-Nisa/4:129, maka makna keadilan dalam poligami menurut Muhammad Quraish Shihab, lebih mengarah kepada keadilan yang sifatnya material dan terukur, bukan pada keadilan yang sifatnya immaterial, seperti halnya cinta dan kasih sayang.20 d.
Penelitian Bani Aziz Utomo dalam skripsinya yang berjudul Konsep Adil
dalam Poligami Perspektif KH. Husein Muhammad, yang dalam kesimpulannya menyatakan bahwa, dengan menggunakan pendekatan metode sosio-historis, KH. Husein Muhammad menafsirkan Q.S. An-Nisa/4:3, lebih kepada penjagaan terhadap anak-anak yatim, bukan sebagai seruan untuk melakukan poligami. Adapun terkait dengan konsep keadilan pada poligami, KH. Husein Muhammad berpendapat bahwa sifat adil dalam poligami terbagi menjadi dua, yakni keadilan materi dan immateri. Keadilan yang tercipta dalam keluarga poligami harus merupakan hasil negosiasi antara suami dan istri dengan landasan kebaikan sehingga tidak memiliki peluang terjadinya kezaliman.21 e.
Penelitian Zulaecha Nursalasah dalam skripsinya yang berjudul Analisis
Pendapat Siti Musdah Mulia tentang Keharaman Poligami pada Masa Sekarang. Dalam kesimpulannya, Nursalasah mendukung pendapat Siti Musdah Mulia yang menyatakan bahwa poligami pada hakekatnya merupakan selingkuh yang dilegalkan. Ada tiga alasan utama mengapa Siti Musdah Mulia mengharamkan poligami pada masa sekarang, yakni; Pertama, bahwa pada saat sekarang, praktik poligami telah banyak disalahgunakan. Poligami dilakukan hanya untuk mengejar
20
Attan Navaron, “Konsep Adil Dalam Poligami (Studi Analisis Pemikiran M. Quraish Shihab)”, Skripsi, 2010, IAIN Walisongo Semarang. 21 Bani Aziz Utomo, “Konsep Adil Dalam Poligami Perspektif KH. Husein Muhammad”, Skripsi, 2010, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
7
nafsu belaka; Kedua, bahwa saat ini kondisi masyarakat tidak dalam keadaan darurat maupun perang; Ketiga, banyak praktik poligami yang dijalankan pada saat sekarang tidak berlatar belakang pengembangan syi’ar Islam, tetapi lebih karena akibat perselingkuhan terselubung.22 Dari lima penelitian tersebut, menunjukkan bahwa, secara spesifik belum ada yang mengkaji poligami di dalam Islam ditinjau dari perspektif studi jender dan teori keadilan jender. Padahal, menurut penulis, poligami sebagai sebuah isu/fenomena sosial keagamaan, harus diungkap secara holistik dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk didalamnya adalah melalui pendekatan studi jender dan teori keadilan jender. 1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka pada tesis ini
dirumuskan dua pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Apa hakikat poligami di dalam pemahaman Islam?
2.
Bagaimana tinjauan kritis perspektif keadilan jender terhadap poligami di dalam Islam?
1.3.
Pembatasan Masalah Mengingat begitu luasnya cakupan tentang poligami dalam Islam, dan juga
adanya faktor keterbatasan dari peneliti, maka disini ada beberapa point penting yang perlu untuk digarisbawahi sehubungan dengan penulisan tesis ini, yaitu: 1.
Terkait dengan judul tesis. Bahwa, yang dimaksud dengan “poligami dalam Islam” pada tesis ini adalah poligami dalam kajian Islam secara 22
Zulaecha Nursalasah, “Analisis Pendapat Siti Musdah Mulia tentang Keharaman Poligami pada Masa Sekarang”, Skripsi, 2011, IAIN Walisongo Semarang.
8
umum (seperti: sejarah poligami dalam Islam, landasan teologis poligami, syarat keadilan dalam poligami, poligami dalam pandangan mufasir, fukaha dan feminis Muslim serta tafsir jender tentang poligami), dan juga penerapannya (disini penulis memilih konteks Indonesia). Alasan peneliti memilih konteks Indonesia adalah karena Indonesia merupakan salah satu negara yang dalam Undang-undang Perkawinan-nya, memperkenankan terjadinya praktik poligami. Dalam hal penerapan, penulis mengkaji tentang peraturan pelaksanaan poligami di dalam hukum positif Indonesia beserta data tentang poligami hasil penelitian pada LBH_APIK Jakarta. 2.
Dalam tesis ini digunakan istilah “jender” bukan “gender”. Terkait hal ini, penulis memiliki sebuah alasan, bahwa kata “jender” saat ini telah banyak digunakan di dalam sejumlah judul buku di Indonesia.23
3.
Berkaitan dengan dua butir pertanyaan penelitian, yakni tentang hakikat poligami dalam pemahaman Islam dan tinjauan kritis perspektif keadilan jender. Bahwa, untuk memperoleh hakikat poligami dalam pemahaman Islam, disini penulis melakukan analisis deskriptif terhadap keragaman berbagai penafsiran tentang poligami di dalam Islam oleh para mufasir, fukaha dan feminis Muslim. Selain itu, penulis juga berupaya memetakan keragaman penafsiran poligami tersebut kedalam sebuah tipologi pemikiran Islam, yakni melalui kategori: fundamental, moderat dan liberal.
23
Judul buku yang dimaksud penulis, antara lain: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran (2010); Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir (2009); Sri Suhandjati Sukri, (ed.), Bias Jender dalam Pemahaman Islam (2002) dan Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar (ed.), Keadilan dan Kesetaraan Jender: Perspektif Islam (2001).
9
Selanjutnya, terkait dengan tinjauan kritis perspektif keadilan jender terhadap poligami di dalam Islam, disini penulis menggunakan perspektif studi jender dan teori keadilan jender Susan Moller Okin. Keduanya sengaja dipilih karena keduanya memuat kajian tentang keberadaan keluarga patriarkis dan juga tentang kesetaraan/keadilan jender. Poligami dalam Islam merupakan salah satu isu/fenomena sosial keagamaan yang secara langsung bersinggungan dengan perihal kesetaraan/keadilan jender di sebuah keluarga/pernikahan. 1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk melakukan analisis deskriptif mengenai apa hakikat poligami di dalam pemahaman Islam.
2.
Untuk melakukan tinjauan kritis perspektif keadilan jender terhadap poligami di dalam Islam.
1.5.
Kegunaan Penelitian
a.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana baru pada kajian teologi agama, khususnya terkait poligami dalam Islam.
b.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan mengenai hakikat poligami di dalam pemahaman Islam beserta tipologi pemikiran Islam tentang keragaman penafsiran terhadap poligami dalam Islam oleh para mufasir, fukaha dan feminis Muslim. Selain itu juga dapat diperoleh tinjauan kritis perspektif keadilan jender terhadap poligami di dalam Islam.
10
1.6.
Metode Penelitian
1.6.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Sesuai obyek dan tujuan penelitian, maka dalam penulisan ini digunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan deskriptif analitis dan tinjauan kritis. Menurut Ali, dalam paradigma alamiah penelitian kualitatif, setiap fenomena sosial harus diungkap secara holistik. Hal ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural saling terhubung satu dengan lainnya.24 Fenomena sosial keagamaan dalam penelitian kualitatif, dapat didekati melalui berbagai pendekatan,25 termasuk didalamnya adalah pendekatan studi jender. Selanjutnya, menurut Ali, bahwa penggunaan pendekatan deskriptif bertujuan untuk menguraikan sifat atau karakteristik atas suatu fenomena tertentu. Di sini peneliti tidak dituntut untuk membuat kesimpulan yang mendalam, jadi hanya bertugas mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara menyeluruh dan teliti, sesuai dengan persoalan yang akan dipecahkan.26 Sementara itu, menurut Sugiyono, salah satu alasan digunakannya metode kualitatif adalah untuk memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan pola, hipotesis, dan teori.27 Adapun, Basrowi dan Suwandi, dalam hal ini merujuk pada Miles dan Huberman menyatakan bahwa, metode kualitatif bertujuan untuk mengungkap berbagai keunikan pada individu, kelompok, masyarakat atau
24
Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori & Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 59. 25 Ali, Metodologi Penelitian Agama, 65. 26 Ali, Metodologi Penelitian Agama, 169. 27 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabet, 2011), 292.
11
organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dan dalam, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.28 1.6.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan memiliki kedudukan yang sangat penting karena menjadi dasar teori dan merupakan data utama. Melalui studi kepustakaan, peneliti mengkaji dan mempelajari bahan-bahan tertulis yang relevan dengan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Menurut Ali, pada prinsipnya teknik pengumpulan data, seperti halnya studi pustaka, digunakan untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan secara alamiah.29 Studi kepustakaan bersumber dari bacaan umum dan bacaan khusus. Teori dan konsep dapat diperoleh dari sumber bacaan umum, seperti; buku-buku teks, ensiklopedi, monograf dan lain-lain. Adapun generalisasi dapat ditarik dari sumber bacaan khusus, seperti; hasil-hasil penelitian terdahulu, jurnal, skripsi, tesis, disertasi dan lain-lain. Prinsip dasar dalam studi kepustakaan adalah selektif, mutakhir dan relevan.30 1.6.3. Teknik Analisis Data. Analisis data merupakan sebuah proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar untuk menemukan sebuah tema tertentu yang kemudian dapat menjadi rumusan hipotesis sebagaimana pesan
28
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),
29
Ali, Metodologi Penelitian Agama, 63. Ali, Metodologi Penelitian Agama, 157-158.
22. 30
12
dari data tersebut.31 Analisis data dalam penelitian ini, didasarkan pada model interaktif Sugiyono, yang dalam hal ini mengambil pemikiran dari Miles dan Huberman. Dalam model interaktif ini, analisis data kualitatif berupa serangkaian aktivitas yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas, hingga datanya jenuh. Aktivitas tersebut berupa: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan dan verifikasi (Conclusion Drawing/ verification).32 Reduksi
merupakan
bagian
dari
analisis
yang
berfungsi
untuk
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan, sehingga sampai kepada penarikan interpretasi baru. Dalam proses reduksi ini, data yang ada harus benar-benar valid. Penyajian data juga merupakan bagian dari analisis, dan sekaligus reduksi data. Dalam proses ini, peneliti mengelompokkan hal-hal yang serupa ke dalam sebuah kategori. Masingmasing kelompok menunjukkan tipologi sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah. Dalam penarikan kesimpulan, peneliti membuat rumusan proposisi dengan prinsip logika, kemudian mengangkatnya sebagai sebuah temuan baru penelitian.33
31
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), 103. 32 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, 246. Langkah-langkah analisa interaktif adalah sebagai berikut; Pertama adalah reduksi data. Reduksi data berarti memilih hal-hal pokok, fokus pada hal-hal penting, merangkum, dan mencari tema dan pola. Kedua, penyajian data. Penyajian data pada umumnya dilakukan dengan menggunakan teks yang bersifat naratif, selain itu juga dapat berupa matrik, grafik (chart), dan jejaring kerja (network). Ketiga, menarik kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif biasanya berupa temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Baca, Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, 247-253. 33 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, 209-210.
13
Menurut Kaelan, setelah melakukan reduksi data, tahap berikutnya yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah klasifikasi data. Klasifikasi data adalah mengelompokkan data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan objek formal dalam penelitian. Langkah dalam sebuah klasifikasi data adalah data diklasifikasi ke dalam kategori tertentu yang telah dirancang peneliti sesuai objek formal penelitian. Dalam membuat sebuah klasifikasi data, klasifikasi yang dirancang harus diarahkan sesuai dengan tujuan penelitian.34 1.7.
Penjelasan Konsep
1.7.1. Perkawinan Dalam Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 disebutkankan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Adapun dalam Bab II pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Dasar-dasar Perkawinan disebutkan bahwa “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” 1.7.2. Poligami Dalam Merriam_Webster Dictionary, poligami diartikan sebagai suatu keadaan atau praktik pernikahan seseorang terhadap lebih dari satu orang pada saat yang sama (polygamy is the state or practice of being married to more than one person at the same time), atau sebuah pernikahan di mana salah satu pihak 34
Kaelan, Metode Penelitian Agama: Kualitatif Interdisipliner, (Yogyakarta: Paradigma,
2010), 163.
14
memiliki lebih dari satu pasangan pada saat yang sama (Polygamy is marriage in which a spouse of either sex may have more than one mate at the same time).35 Adapun dalam Kamus Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sebuah sistem perkawinan di mana salah satu pihak menikahi beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan.36 1.7.3. Perspektif Keadilan Jender. Perspektif diartikan sebagai pandangan atau sudut pandang.37 Adapun mengenai konsep keadilan jender, hingga saat ini masih mendapat pengertian yang cukup beragam. Dari sejumlah literatur yang ada, peneliti menemukan bahwa konsep keadilan jender terkait erat dengan konsep kesetaraan jender. Kedua konsep tersebut terkadang didefinisikan secara bersamaan, dan terkadang didefinisikan secara terpisah. Dalam buku Keadilan dan Kesetaraan Jender: Perspektif Islam, kesetaraan dan keadilan jender didefinisikan secara bersamaan sebagai terciptanya suatu kondisi dimana laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk dapat berperan aktif di dalam pembangunan, serta menikmati hasil pembangunan.38 Sementara itu, dalam buku Jender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia, kesetaraan dan keadilan jender didefinisikan secara terpisah. Kesetaraan jender didefinisikan sebagai suatu kesamaan kondisi bagi
35
Lihat, http://www.merriam-webster.com/dictionary, diakses pada tanggal 14 Mei 2014. Lihat, http://kamusbahasaindonesia.org/poligami#ixzz31fFI9MWL, diakses pada tanggal 14 Mei 2014. 37 Lihat, http://kbbi.web.id/perspektif, diakses pada Rabu tanggal 30 Maret 2016 pukul 14.45 WIB. 38 Siti Musdah Mulia dan Marzani Anwar (ed.), Keadilan dan Kesetaraan Jender: Perspektif Islam, (Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001), 126. 36
15
laki-laki dan perempuan di dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya untuk berpartisipasi di dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Adapun keadilan jender didefinisikan sebagai suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki-laki dan perempuan di dalam pembangunan.39 Hal tersebut senada dengan pengertian mengenai kesetaraan dan keadilan jender pada lampiran Inpres No. 9 Tahun 2000, sebagai berikut; “Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan Nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.” “Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan.”
40
Dari beberapa pengertian mengenai kesetaraan/keadilan jender tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa kesetaraan/keadilan jender adalah terciptanya suatu kondisi yang berimbang dimana laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan hak dan kewajiban yang setara di dalam pembangunan. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan perspektif keadilan jender adalah suatu pandangan yang menitikberatkan pada pentingnya persamaan kedudukan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di dalam pembangunan, serta di dalam menikmati hasil pembangunan. 1.8.
Sistematika Penulisan Secara garis besar, tesis ini disusun ke dalam lima bab. Bab I berupa
pendahuluan, berisi tentang: latar belakang masalah, perumusan masalah,
39
Riant Nugroho, Jender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 29. 40 Lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 2000 mengenai Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang terdapat dalam Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan Instumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Edisi III, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 313.
16
pembatasan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penjelasan konsep dan sistematika penulisan. Bab II memuat tentang teori keadilan jender. Disini, konsep keadilan dibahas melalui perspektif studi jender dan perspektif Alquran. Adapun teori keadilan jender yang digunakan adalah teori keadilan humanis berbasis jender Susan Moller Okin. Secara keseluruhan, bab II berisi tentang: Studi Jender; Keadilan dalam Studi Jender; Konsep Keadilan dalam Alquran; Jender dalam Perspektif Alquran, Pentingnya Analisis Jender dalam Pembahasan Tafsir Keadilan, Keadilan dalam Masyarakat Patriarkat; dan Teori Keadilan Jender Susan Moller Okin. Bab III membahas tentang poligami dalam Islam. Bab ini berisi tentang: Pengertian/Hakikat, Rukun, Hikmah, Tujuan, dan Prinsip Perkawinan dalam Islam; Landasan Teologis Poligami dalam Islam; Sejarah Poligami ditinjau dari Konteks Turunnya Ayat tentang Poligami dalam Alquran; Keadilan sebagai Syarat Mutlak pada Poligami dalam Islam; Poligami dalam Pandangan Fukaha, Mufasir, dan Feminis Muslim; Tafsir Jender tentang Poligami: Metode dan Analisis Tafsir yang digunakan; Poligami dalam Hukum Positif di Indonesia; Poligami di Indonesia: antara Ajaran Agama dan Budaya Patriarki; Poligami dalam Data Penelitian LBH-APIK Jakarta; Tipologi Pemikiran Islam dalam Penafsiran Poligami. Bab IV berisi tentang Analisis Deskriptif dan Tinjauan Kritis Perspektif Keadilan Jender terhadap Poligami dalam Islam, adapun Bab V yaitu Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Rekomendasi.
17