BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peradilan merupakan lembaga negara yang memiliki fungsi dalam penegakan hukum di suatu negara. Lembaga Peradilan di Indonesia memiliki fungsi yudikatif dalam sistem kelembagaan negara, berdampingan jalannya dengan lembaga negara lainnya yang menjalankan fungsi Legislatif yaitu DPR dan fungsi Eksekutif yaitu Presiden. Pengadilan yang mandiri dan netral (tidak memihak), kompeten, transparan,
akuntabel
dan
berwibawa
yang
mampu
menegakkan
hukum,
pengayoman hukum, kepastian hukum, dan keadilan adalah persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan pada hukum. Pengadilan adalah pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. (Komisi Yudisial, 2008) Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara. Hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak.(Komisi Yudisial, 2008) Peradilan sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk menjaga dan menegakkan hukum, tentunya harus memiliki barisan penegak hukum yang kompeten dan memiliki integritas yang tinggi terhadap profesinya. Hakim telah lama
1
diakui sebagai profesi terhormat. Hakim berperan penting dalam menentukan baik atau buruknya potret penegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu profesi hakim diikat oleh rules of law dan rules of ethics yang bertujuan menjaga martabat dan keluhuran profesi hakim. (Gultom, 2012). Lebih lanjut, Gultom menambahkan kepatuhan dan keterikatan hakim pada rules of law dan rules of ethics ini kadang membuat profesi hakim disebut sebagai profesi yang kesepian, berada di atas menara gading, dan bahkan berumah di atas angin. Dalam konteks untuk menegakkan imparsialitas hakim serta menjaga martabat dan keluhuran hakim, penyebutan seerti itu ada benarnya, namun ini tidak berarti hakim harus secara total menutup diri atau menjauhkan diri dari interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial, hakim juga perlu melakukan komunikasi dan interaksi sosial. Tuntutan yang tinggi terhadap profesionalitas hakim merupakan salah satu pendorong adanya Reformasi Birokrasi di tubuh Mahkamah Agung RI. Tahun 2008. Mahkamah Agung sebagai rumah besar para hakim Indonesia telah mulai melakukan perbaikan kinerja para hakim dengan memberikan remunerasi dan perubahan beberapa sistem di lembaga peradilan. Remunerasi adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para hakim dengan memberikan tunjangan kinerja. Konsekuensi dari pemberian tunjangan ini adalah tuntutan yang semakin tinggi bagi hakim dalam bekerja. Upaya peningkatan kinerja melalui Remunerasi dan Reformasi Birokrasi tahun 2008 belum membuahkan hasil yang signifikan bagi kehidupan para hakim. Hal inilah yang kemudian memicu gerakan lain, yang terkesan lebih ekstrem seperti
2
ancaman mogok sidang pada awal tahun 2012. Lebih lanjut dikutip dariEditorial Media Indonesia, tertanggal 4 April 2012: HAKIM ialah pejabat negara. Namun, sadar atau tidak, pemerintah sesungguhnya tidak memperlakukan 7.000 hakim sebagai pejabat negara meski mereka disapa Yang Mulia dalam ruang sidang.Dalam hal gaji, misalnya, hakim dihargai hampir setara dengan upah minimum regional buruh. Upah minimum regional buruh untuk wilayah Jakarta pada 2012 sebesar Rp1.529.150 per bulan. Bandingkan dengan gaji pokok seorang hakim pengadilan negeri yang cuma sekitar Rp1,9 juta per bulan. Jumlah itu juga lebih rendah jika dibandingkan dengan pegawai negeri sipil golongan III A dengan masa kerja nol tahun yang digaji Rp2 juta. Benarlah bahwa sejak 2008 negara memberi remunerasi atau tunjangan khusus hakim pengadilan negeri sebesar Rp4,2 juta per bulan. Akan tetapi, sampai saat ini mereka hanya dipanjar 70% atau sekitar Rp2,9 juta. Padahal, pada saat bersamaan di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementerian Keuangan remunerasi diberikan penuh.Diskriminasi pendapatan juga terjadi antarhakim. Tunjangan untuk hakim ad hoc di pengadilan hubungan industrial tingkat pertama Rp5,5 juta dan tingkat kasasi Rp12 juta. Uang kehormatan hakim pada pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama Rp13 juta, tingkat banding Rp16 juta, dan tingkat kasasi Rp22 juta. Selain itu, hakim pengadilan tindak pidana korupsi masih diberi tunjangan perumahan Rp25 juta per bulan. Perlakuan diskriminatif itulah yang memicu hakim pengadilan negeri dan pengadilan hubungan industrial berniat mogok sidang. Apalagi, sudah empat tahun ini gaji mereka tak kunjung naik dan sudah 11 tahun tunjangan tidak pernah meningkat. Mogok sidang semula direncanakan pada 1 April, tapi niat itu urung karena pada waktu bersamaan terjadi unjuk rasa menolak penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Mogok sidang diundur hingga pertengahan Mei. Harus tegas dikatakan bahwa negara tidak akan bangkrut bila memprioritaskan pemberian 30% remunerasi hakim yang belum terbayar dan kemudian menaikkan gaji mereka.(Media Indonesia, 2012)
Perasaan cemas masyarakat Indonesia ketika mendengar adanya wacana para hakim akan mogok sidang karena hak konstitusionalnya diabaikan pemerintah menunjukkan dukungan masyarakat kepada para hakim sebagai pejabat negara untuk penegakan hukum yang berkeadilan. Sesungguhnya hakim itu bukanlah pengemis yang menuntut gaji atau kesejahteraannya dinaikkan, tetapi menuntut hak
3
konstitusionalnya sebagai pejabat negara, karena status pejabat negara tersebut telah diletakan presiden dalam suatu peraturan presiden tahun 2008. (Gultom, 2012) Gultom (2012) mengemukakan lebih lanjut, jabatan hakim memang merupakan jabatan strategis, sekalipun berat tetapi sangat mulia, karena ditangan hakimlah keadilan itu digantungkan. Sekarang, “Wakil Tuhan” di bumi ini tergolong “yang mulia” dan “terhormat” hanya dalam kiasan kata, namun sesungguhnya gaji mereka lebih rendah derajadnya dari pegawai negeri sipil. Didasarkan pada sejumlah fakta, Gultom menegaskan, jika para hakim sudah jenuh memperjuangkan hidupnya hingga dia rela berkorban mempertaruhkan nyawa, harta bendanya, dimutasi ke berbagai pelosok tanah air bahkan harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Harapan masyarakat yang besar untuk memiliki para hakim yang jujur dan adil, merupakan beban sekaligus tantangan yang tentunya tidak mudah untuk diwujudkan. Hakim tetaplah manusia biasa yang memiliki keterbatasan, keinginankeinginan dan harapan terhadap pekerjaan yang dijalaninya. Seorang hakim mungkin saja adalah seorang kepala keluarga, entah ia suami atau istri, dan orang tua dari anak – anaknya. Di satu sisi, hakim dituntut untuk menjadi manusia mulia yang harus menjaga harkat, martabat dan kewibawaannya. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan melalui profesi yang dijalankannya. Sebuah kutipan menarik berikut ini penulis ambil dari sebuah situs yang menyuarakan perjuangan hakim Indonesia pada tanggal 09 September 2012, menunjukkan bahwa hakim tetaplah manusia biasa yang ingin mencapai kebahagiaan dengan cara yang benar dan lurus, tanpa harus mengorbankan kewibawaannya.
4
“Tanpa hakim maka tidak ada kekuasaan Kehakiman dan karena Kekuasaan Kehakiman adalah salah satu pilar Negara, ketiadaannya akan menyebabkan rusaknya tatanan bernegara.” “Kami memperjuangkan Hak-hak Hakim sebagai pejabat negara yang telah diatur oleh Undang-undang. Bukan cuma rakyat aja yang bisa demo, tapi para hakim indonesia juga bisa aksi."Lebih Baik Mogok Daripada Terima Sogok".(Suara Hakim Indonesia, 2012) Hakim setara dengan pejabatnegara lainnya seperti menteri negara, yang harusnya mendapatkan jaminan kemananan dan kesejahteraan dari negara. Pada kenyataannya, jabatan yang melekat tidak sebanding dengan kenyataan yang ada di lapangan. Menurut studi pendahuluan yang penulis lakukan tahun 2011 yang lalu, hakim – hakim yang bertugas di tingkat peradilan negeri, bahkan bertugas di daerah –
daerah
terpencil
belum
merasakan
merasakan
jaminan
negara
akan
kesejahteraan dan keselamatan mereka dalam menjalankan tugas. Kisah – kisah kehidupan para hakim yang bertugas di daerah terpencil semakin banyak terkuak. Beberapa dari kisah – kisah tersebut mereka suarakan dalam sebuah situs yang dinamai Suara Hakim Indonesia, yang memuat beragam kisah hakim daerah dari berbagai sumber. Berikut penulis kutip tertanggal 02 April 2012:
Juply Pansariang berdesak-desakan dengan para penumpang dan barang di atas perahu yang tidak seberapa besar. Ombak Samudera Pasifik bergulung-gulung datang silih berganti. Juply yang juga hakim Pengadilan Negeri (PN) Tahuna, Sangir Talaud, Sulawesi Utara, terus menerjang gelombang menuju Pulau Awu. "Kami berangkat dari Pulau Tahuna pukul 08.00 WITA. Sampai Pulau Awu pukul 23.30 WITA. Besoknya baru sidang," kata Juply saat berbincang-bincang dengan detikcom. Juply bertugas di PN Tahuna 2007 silam. Saat pertama kali sampai yang harus dia kerjakan adalah membenahi rumah dinas. Dari atap seng yang berlobang, kaca pecah hingga membeli perabotan. "Kursi, kasur beli sendiri. Listrik pun bayar sendiri pakai uang gaji, tidak tidak ditanggung negara," papar lajang asal Manado ini.Luasnya Kepulauan Sangir Talaud menjadikan kebijakan pengadilan membuat tempat sidang terpencar di beberapa pulau. Hal ini semata-mata untuk mendekatkan pengadilan
5
dengan masyarakat.(Suara Hakim Indonesia, Rubrik Cerita Hakim Daerah 2012) Penelitian pendahuluan yang penulis lakukan pada tahun 2011, diketahui hakim – hakim dalam pengabdiannya kepada negara, dari awal proses perekrutan telah menyatakan kesiapan untuk ditempatkan di semua wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para hakim ditempatkan hampir di semua kabupaten dan kota yang ada di Indonesia, bahkan hingga ke wilayah – wilayah yang merupakan pemekaran dari suatu kabupaten dan kota yang ada sebelumnya. Hal ini dapat dibayangkan, mereka harus meninggalkan kampung halaman dengan membawa keluarganya atau harus meninggalkan keluarganya di daerah asal. Kebanyakan wilayah penempatan para hakim bukanlah daerah yang nyaman dan lengkap infrastrukturnya, bahkan termasuk daerah konflik. Hakim yang membawa serta keluarga ataupun tidak, menjadi dilema tersendiri.Keikutsertaan keluarga berarti, mereka harus bertahan dengan segala kekurangan yang ada di wilayah tersebut. Beberapa pengadilan negeri di tingkat kota atau kabupaten bahkan tidak memiliki rumah dinas, sehingga hakim dan keluarganya harus mengontrak rumah dengan biaya yang sangat tinggi. Pilihan untuk meninggalkan keluarga di daerah asal, juga memberikan rasa tidak nyaman tersendiri, karena harus menjalani kehidupan berkeluarga jarak jauh. Dikalangan hakim, banyak bermunculan cerita – cerita ironi tentang profesi mereka, seperti kutipan wawancara berikut ini yang didapatkan penulis pada penelitian pendahuluan tahun 2011: “Hakim itu dituntut jadi wakil Tuhan di dunia…di persidangan dipanggil ‘Yang Mulia’..tetapi kehidupannya jauh dari istilah yang mulia. Hakim dituntut harus jujur, adil, independent dan bebas dari keberpihakan dalam memutus suatu
6
perkara…dilematis sekali..saat perut keroncongan kita harus menjadi jujur dan adil…terkadang kalau tidak kuat iman…biasa masuk juga ke kubangan Lumpur…”
Ditengah kondisi yang sulit, semua manusia pastilah tetap ingin hidup bahagia, demikian halnya hakim. Status mereka dimata masyarakat terkesan eksklusif dan sulit untuk dijangkau. Orang akan lebih mudah melihat mereka yang berprofesi sebagai guru, dosen, dokter, pejabat daerah, dan lainnya yang lazim ditemui lingkungan tempat tinggal mereka. Lain halnya dengan hakim, profesi ini cukup jarang terekspos media beberapa dekade yang lalu. Seiring dengan semangat reformasi bangsa Indonesia, profesi hakim mulai banyak disorot. Persidangan di pengadilan pun dapat disaksikan langsung melalui televisi, hakim yang bermasalah mulai disorot, kasus – kasus penting dan besar dibahas dengan seksama, dan putusan yang kontoversial bagi masyarakat menjadi bulan – bulanan media. Hakim juga diawasi ketat oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial atas perilakunya. Saat ini mulai banyak terdengar hakim yang diberhentikan secara tidak hormat, atau di non palukan. Masyarakat juga dapat dengan leluasa melaporkan hakim – hakim yang nakal pada lembaga berwenang, sebagai wujud besarnya perhatian masyarakat pada penegakan hukum di negeri ini. (Gultom, 2012). Di sisi lain, hakim harus menghadapi kenyataan sulit lainnya seperti minimnya pendapatan, kurangnya infrastruktur, jaminan keamanan yang belum memadai, dan kondisi wilayah geografis tempat tugas yang jauh dari kota bahkan terpencil. Keadaan ini terkadang dapat memicu tekanan atau stress, karena dapat timbul pemikiran jika dirinya tidak dapat menggapai kebahagiaan. Selain itu, membawa
7
seluruh anggota keluarga berkeliling Indonesia hingga ke pelosok daerah juga dengan sejumlah kekhawatiran, apakah terjamin fasilitas kesehatan di tempat tugas tersebut? Apakah ada hunian yang layak? Apakah anak bisa mendapatkan pendidikan yang baik?. Penelitian – penelitian tentang kepuasan kerja dan kepuasan hidup dalam perspektif subjective well beingtelah banyak dilakukan, namun hanya sedikit yang menaruh perhatian pada seting daerah terpencil (remote area). Sebuah penelitian tahun 2000 dilakukan oleh Iverson dan Maguire tentang Hubungan antara kepuasan kerja dan kepuasan hidup; sebuah kenyataan dari komunitas pekerja di daerah terpencil (remote area). Para peneliti ini mengabungkan variabel konteks pekerjaan, variabel personal, lingkungan geografis dan variabel komunitas lingkup pekerjaan. Penelitian ini melibatkan 286 karyawan laki – laki dari sebuah pertambangan batu bara di remote area Queensland, Australia. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa variabel komunitas seperti keberadaan keluarga dan perasaan terisolasi, serta dukungan kekerabatan memiliki dukungan yang kuat dan penuh baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi kepuasan hidup. (Iverson & Maguire, 2000) Nadkarni dan Stening (1989) mengembangkan penelitian di daerah terpencil dan terisolasi, menemukan daerah yang secara geografis terpencil, iklim yang ekstrim, kondisi demografi yang tidak seimbang, fasilitas fisik yang tidak memadai, menjadi faktor – faktor yang harus dipertimbangkan, karena dapat mempengaruhi kualitas kehidupan. Penelitian lainnya dilakukan Oeser pada tahun 1976 yang pertama kali menggunakan kerangka kerja dengan memadukan variabel ekologi dan
8
pendekatan psikologi dalam penelitian tentang komunitas remote area. (Oesher, 1976) Diener (1984) mencatat, bahwa kepuasan terhadap domain spesifik kehidupan seperti kepuasan akan gaya hidup, pendidikan, rekreasi, dan fasilitas kesehatan yang lengkap di suatu kota akan mempengaruhi kepuasan hidup seseorang. Kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya memiliki efek yang kuat terhadap kepuasan hidup, demikian juga sebaliknya (Iverson & Maguire, 2000). Diener (1984) kemudian menambahkan, bahwa kepuasan terhadap domain spesifik kehidupan secara konsisten digunakan dalam berbagai literatur tentang subjective well being, dimana domain – domain tersebut sangat dekat dengan kehidupan personal individu yang merupakan indikator terkuat dari kepuasan hidup. Drobnic, Beham, dan Prag (2010) melakukan penelitian tentang hubungan antara kondisi pekerjaan dan kualitas dan kepuasan hidup di Eropa pada tahun 2003. Pengaruh lingkungan dan kondisi pekerjaan terhadap kepuasan hidup tampak kuat di negara – negara Selatan dan Timur Eropa. Penelitian ini menunjukkan bahwa isu seperti keamanan, keberlangsungan pekerjaan dan pengupahan (gaji) secara total dikatakan sebagai keamanan ekonomi, adalah elemen terpenting yang akan mempengaruhi kepuasan dan kualitas hidup individu.Kondisi kehidupan sebagaimana yang dipahami individu dan penilaian subjektif mereka, merupakan akar dari kualitas kehidupannya (Veenhoven, 1996). Perasaan bahagia adalah hak setiap manusia, dimanapun mereka berada dan bagaimanapun kondisinya. Perasaan bahagia memang bersifat subjektif, akan berbeda antara individu satu dan lainnya. Pembahasan mengenai kebahagiaan
9
subjektif tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan bahasan mengenai kualitas kehidupan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup seseorang. Konsep kebahagiaan terkait dengan kualitas hidup, kepuasan hidup, dan kesejahteraan kehidupan yang ideal baik fisik maupun psikologis. Kepuasan hidup adalah kepuasan yang sifatnya menyeluruh dan sangat mendasar, serta subjektif pada bagaimana individu memandang dirinya dan kehidupannya. Hal tersebut akan terkait dengan perasaan sejahtera secara personal (Santrock, 2004). Kemampuan individu untuk berbahagia akan bersifat sangat personal, tergantung bagaimana individu tersebut memaknai kehidupannya. Fenomena tentang upaya para hakim untuk meningkatkan kesejahteraan dan bertahan di tempat tugas mereka, dinilai banyak pihak hanya sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan materi semata, alias gaji dan tunjangan. Pertanyaannya adalah, apakah uang dapat membeli kebahagiaan? Pertanyaan ini telah banyak dijawab oleh para peneliti tentang Kebahagiaan. Hasil penelitian Diener, Lucas dan Oishi (2005) menyatakan bahwa secara umum terdapat korelasi yang rendah namun signifikan antara imbalan atau pendapatan dengan kesejahteraan subjektif atau Subjective Well Being yang ditemukan pada sampel representatif di Amerika. Imbalan yang diterima juga berhubungan dengan kesejahteraan subjektif dalam suatu negara (Diener et al.,2005). Baker, Cahalm, Gerst dan Burr(2005) dan Kingdon dan Knight (2004), menunjukkan hasil temuannya bahwa imbalan kerja memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan kesejahteraan subjektif seseorang.
10
Diener et al.(2005) kembali menegaskan bahwa pada level individual, dan level nasional, perubahan pendapatan sepanjang waktu memiliki efek yang kecil pada
kesejahteraan
subjektif.
Salah
satu
kemungkinannya
adalah
bahwa
pendapatan hanya mempengaruhi kesejahteraan subjektif pada tingkat yang lebih rendah, dimana kebutuhan dasar belum terpenuhi. Namun, jika kebutuhan dasar telah terpenuhi, maka peningkatan pendapatan atau kekayaan hanya sedikit berpengaruh terhadap kebahagiaan. Disimpulkan kemudian, uang memang tidak bisa memberikan kebahagiaan secara langsung. Kajian mengenai imbalan dalam organisasi menunjukkan bahwa: 1). kesejahteraan tercapai bila imbalan yang diterima sesuai atau dirasakan layak oleh karyawan, 2). perasaan kepuasan seseorang dipengaruhi oleh perbandingan antara imbalan yang diperoleh, dengan apa yang diperoleh oleh orang lain, 3). kepuasan dipengaruhi oleh seberapa puas karyawan terhadap imbalan intrinsik dan ekstrinsik yang diterimanya; 4). imbalan yang disukai beragam dari berbagai sisi karir seseorang, pada tingkatan umur dan berbagai situasi, dan 5). uang adalah imbalan yang mendorong sesuatu yang bersifat prestis, otonomi, keamanan, dan perlindungan. Imbalan atau penghargaan dapat diberikan oleh pimpinan, kelompok atau individu sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif para karyawan (Gibson, Ivancevish & Donnely, 2012). Uang atau imbalan menjadi tidak bermakna jikalau sudah terpenuhi semua kebutuhan dasar manusia seperti, makanan, pakaian, perumahan, kasih sayang, dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya. Namun, manakala sejumlah kebutuhan
11
dasar belum terpenuhi maka imbalan akan memegang peranan cukup penting untuk mencapai kebahagiaan seseorang. Penelitian yang dilakukan Ebuehi dan Campbell tahun 2011 tentang para pekerja medis yang bertugas di Nigeria menunjukkan tentang hal – hal yang dapat menarik minat seorang petugas medis untuk bertugas di daerahpinggiranNigeria. Hal – hal yang memotivasi mereka adalah kondisi lingkungan pekerjaan yang terjamin,
sistem
yang
mendukung
secara
efektif,kesempatan
untuk
mengembangkan karir, insentif finansial, dan dukungan keluarga. Sementara itu, hal – hal yang dapat menurunkan motivasi kerja mereka adalah infrastruktur yang tidak memadai. (Ebuehi & Campbell, 2011) Penelitian lainnya juga dilakukan tahun 2011 pada perawat – perawat yang bertugas di daerah pelosok Amerika. Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor – faktor apa saja yang dapat menarik perhatian seorang perawat untuk bersedia ditugaskan di daerah pelosok. Hasil penelitian menunjukkan, keputusan untuk bertugas di daerah pelosok akan sangat bergantung pada tipe daerah yang di akan dituju, keberadaan keluarga dekat, dan persepsi mereka akan gaya hidup masyarakat setempat. (Dotson, Dave, Cazier, Lischke, Freeman, & Herr, 2011). Penelitian – penelitian yang dilakukan pada remote area dengan subjek karyawan pertambangan dan petugas medis telah dilakukan oleh sejumlah peneliti. Ketertarikan sejumlah peneliti adalah tentang apa yang memotivasi mereka untuk bersedia bekerja di daerah terpencil yang jauh dari kenyamanan. Kesimpulan yang sama pada dua jenis pekerjaan tersebut menunjukkan pentingnya kelengkapan
12
infrastruktur, jaminan keamanan dan kesehatan, kondisi lingkungan geografis, insentif finansial, dan jaminan peningkatan karir. Penelitian pendahuluan penulis tentang kesejahteraan hakim menunjukkan, selain kemampuan adaptasi, kemampuan untuk selalu bersyukur atas semua situasi dan keadaan yang dialami menjadi faktor penentu kebahagiaan. Kekhawatiran hakim saat memulai tugas di tempat baru adalah sebuah perasaan yang wajar dan sangat manusiawi tentang apakah mereka dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Perasaan negatif ini sedikit banyak akan mempengaruhi kebahagiaan, atau menimbulkan keraguan dapat mencapai kebahagiaan. Berdamai dengan keadaan dan mencoba menjalani kehidupan sebagai seorang hakim adalah upaya yang dilakukan manakala tidak mampu merubah situasi. Kemampuan beradaptasi dan menerima keadaan dengan ikhlas pada akhirnya menjadi faktor yang sangat penting saat hakim harus mulai bertugas. Pernyataan tersebut didukung oleh temuan Santrock (2004), bahwa individu yang lebih dekat pada rasa syukur menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri, dan optimisme. Rasa syukur juga dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada individu dalam hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan penting dalam kehidupan, serta kemampuan untuk menerima kekurangan dalam dirinya. Warr (1990) menemukan, kombinasi antara individu dan pengaruh lingkungan dapat memfasilitasi dan membentuk kebahagiaan individual. Pengaruh lingkungan
seperti
kesempatan
untuk
melakukan
kontrol,
menggunakan
keterampilan yang dimiliki, pencapaian tujuan, mengembangkan hubungan sosial,
13
posisi sosial yang bernilai, kesempatan untuk mendapatkan uang dan keamanan fisik. Sejumlah penelitian telah menjelaskan hubungan antara subjective well being dengan kehidupan pekerjaan yang sukses. Sivanathan, Arnold, Turner dan Barling (2004) mendiskusikan faktor – faktor dari pekerjaan yang akan terkait dengan kebahagiaan sebagai pendorong kesehatan fisik dan psikologis pekerja, yang pada akhirnya berpengaruh pada kepuasan hidup secara umum. Tait, Padgett dan Baldwin (1989)dalam Compton (2005) menemukan, individu yang bahagia akan dilaporkan memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Dikarenakan hal tersebut, maka menjadi tantangan bagi semua organisasi untuk menciptakan lingkungan pekerjaan yang dapat meningkatkan kebahagiaan karyawan dan menumbuhkan perasaan memiliki, keterikatan karyawan dengan tempatnya bekerja (Pavot & Diener, 2004). Weiten, Lloyd, Dunn, danHammer (2009) menyimpulkan sejumlah penelitian tentang kebahagiaan dan subjective well being. Ada tiga poin penting terkait temuan sejumlah peneliti, yaitu 1). determinan dari kebahagiaan adalah sesuatu yang subjektif,2). realitas objektif tidak selalu lebih penting dibandingkan perasaan subjektif, 3). ketika sesuatu dikatakan sebagai kebahagiaan, maka sifatnya adalah relatif, 4).Individu secara mengejutkan menunjukkan kemampuan mereka yang buruk dalam memprediksi apa yang membuat mereka bahagia, 5). penelitian tentang subjective well being mengindikasikan bahwa individu memiliki kemampuan untuk berdaptasi dengan situasi dan kondisi kehidupan.
14
Keterbatasan dan keterpencilan lokasi hakim daerah dalam bertugas pada kenyataannya tidak selalu membuat para hakim menolak untuk ditugaskan atau dimutasikan. Kondisi tersebut juga tidak lantas membuat para hakim daerah malas bersidang atau melalaikan kewajibannya. Pada situasi sulit dan kurang perhatian negara akan kesejahteraan hakim, para hakim daerah tetap melaksanakan tugasnya hingga ke pelosok Indonesia. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Bandura (1997) dan Kanfer dan Ackerman (2005) yang menyebutkan performansi individual sama halnya dengan kualitas pribadi karyawan itu sendiri.Menunjukkan performansi yang tinggi dalam pelaksanaan tugas akan memberikan perasaan puas dan penguasaan yang tinggi atas materi pekerjaannya. Bekerja tidak semata terkait dengan penuntasan tugas atau in role, tetapi juga menuntut karyawan untuk siap melakukan tugas lain di luar deskripsi tugasnya dan tetap mendukung organisasi meski dalam situasi sulit dan penuh ketidakpastian (extra role). Hal inilah yang kemudian disebut sebagai performansi kontekstual dan performansi adaptif, yaitu tidak secara langsung berkontribusi terhadap performansi organisasi, namun mendukung organisasi, sosial, dan lingkungan psikologis (Sonnentag, Volmer & Spycala, 2010; Boman & Botowidlo, 1993) Performansi
adaptif,
atau
adaptabilitasdibutuhkan
karyawan
agar
mampu
menghadapi situasi dan lingkungan pekerjaan yang tidak menentu dan selalu berubah. Pulakos, Arad, Donovan dan Plamondon (2000) mengemukakan delapan dimensi dari perfomansi adaptif, yaitu: 1. Kemampuan menghadapi situasi darurat dan krisis 2. Kemampuan menghadapi tekanan pekerjaan
15
3. Menyelesaikan persoalan secara kreatif 4. Kesiapan menghadapi situasi kerja yang tidak menentu dan tidak dapat diprediksi 5. Kemampuan untuk senantiasa belajar, baik terkait tugas, perkembangan teknologi dan perubahan prosedur. 6. Menunjukkan kemampuan adaptasi interpersonal 7. Menunjukkan kemampuan adaptasi kultural 8. Ketahanan fisik yang baik Kemampuan para hakim daerah untuk bertahan dalam situasi sulit dan tidak nyaman karena minimnya kesejahteraan dan fasilitas penunjang pekerjaan, serta lokasi tugas yang terpencil pada akhirnya tidak lantas membuat para hakim menolak untuk bertugas. Mereka tetap menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari anggota organisasi sesuai dengan TUPOKSI hakim (Tugas Pokok dan Fungsi). Harapan di pundak para hakim sangatlah berat, di satu sisi dituntut untuk menjadi manusia mulia yang menegakkan keadilan, di sisi lain dihadapkan pada kenyataan bahwa negara tidak sepenuhnya memfasilitasi para hakim untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Hakim tetaplah manusia, mereka memiliki kebutuhan, harapan, dan cita – cita untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dalam perjalanan karirnya. Upaya para hakim yang bertugas di daerah terpencil untuk tetap bertahan dan menjalankan tugasnya dengan baik dalam situasi penuh tekanan, kondisi tempat tugas yang jauh di pedalaman, minimnya sarana dan prasarana penunjang kehidupan, dan kurangnya jaminan atas keselamatan dirinya
16
dan keluarga dalam bertugas, adalah fenomena menarik untuk mengetahui bagaimana mereka menjalani profesinya sebagai hakim. Kajian – kajian mengenai subjective well being memang telah banyak dilakukan, dan dari berbagai macam tinjauan. Namun, kajian tentang subjective well being pada profesi spesifik seperti hakim, dan dengan lokasi spesifik yaitu di daerah terpencil belum banyak dilakukan. Hingga kini, sepanjang pengetahuan penulis belum ada penelitian tentang efek – efek dari variabel kepribadian dan psikologi dalam profesi hakim. Hingga kadar tertentu, hal ini disebabkan oleh keengganan para hakim untuk membuka profesi mereka terhadap penelitian para psikolog (Ali & Heryani, 2012).Salah satu variabel psikologi yang menarik untuk didalami adalah tentang dinamika motivasi para hakim yang bekerja di daerah terpencil (remote area).
B. Pertanyaan Penelitian
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka penelitian ini berusaha menjawab permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran dinamika psikologis Subjective Well Beingpara hakim yang bertugas di daerah terpencil ? 2. Faktor – faktor apa saja yang dapat mempengaruhi Subjective Well Being para hakim yang bertugas di daerah terpencil?
17
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang subjective well being hakim yang bertugas di daerah terpencil, jika dilihat dari fenomena munculnya Isu Kesejahteraan pada Profesi Hakim. Penelitian ini diharapkan akan memiliki kemanfaatan sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis: Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu Psikologi, khususnya semangat Psikologi Positif dalam konteks Psikologi Industri dan Organisasi. Penelitian ini akan memperkaya kajian – kajian tentang subjective well being dari tinjauan profesi tertentu (hakim) dan lingkungan demografi spesifik yaitu, daerah terpencil (remote area). Kajian teoritis ini juga akan memberi kemanfaatan pada titik bahasan tentang faktor – faktor terkait kondisi dan lingkungan pekerjaan untuk peningkatan produktivitas pekerja dan performansi kerja. 2. Manfaat Praktis : Masukan bagi para pengambil kebijakan dan pra praktisi di bidang Psikologi Industri dan Organisasi, seperti praktisi di bidang sumber daya manusia dan manajemen. Penelitian ini akan menambah pemahaman lebih lanjut tentang isu kesejahteraan karyawan, produktivitas, performansi kerja, dan upaya untuk memodifikasi atau menciptakan lingkungan pekerjaan yang aman dan nyaman bagi para pekerja di daerah terpencil. Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan keilmuan yang berarti bagi peneliti yang memiliki ketertarikan
pada
isu
kepuasan
18
hidup
(life
satisfaction),
kebahagiaan(subjective well being), kepuasan kerja (work satisfaction), dan quality work of life.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian – penelitian terkait tema subjective well being telah banyak dilakukan. Sejumlah penelitian memberikan pemahaman dan wawasan baru akan kajian subjective well being. Terkait dengan sejumlah perdebatan yang masih ada di kalangan peneliti tentang perumusan subjective well being yang memang kompleks, namun beberapa penelitian berikut ini memiliki sejumlah kedekatan namun dalam nuansa yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Ringkasan penelitian – penelitian tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Gropel dan Kuhl pada tahun 2009 dengan judulWork Life Balance and subjective well being: the mediating role of need fullfillment. Penelitian ini memaparkan tentang adanya hubungan antara keseimbangan kehidupan kerja (work life balance) yaitu kecukupan yang dirasakan dari waktu yang tersedia untuk bekerja dan kehidupan sosial dan dibuktikan dengan kesejahteraan yang baik
2.
Sukarsih dengan judulSubjective well being dosen indonesia yang mengajar di perguruan tinggi di malaysia pada tahun 2011. Peneliti melakukan penelitian kualitatif tentang dosen indonesia yang mengajar di perguruan tinggi Malaysia. Penelitian ini melibatkan 6 reponden yang berusia antara 40 – 60 tahun (dewasa madya), dengan keluarga tidak berada di malaysia, serta memiliki pengalaman kerja minimal 10 tahun. Penelitian ini mengungkap dinamika
19
psikologis dosen Indonesia yang mengajar di perguruan tinggiMalaysia. Dinamika psikologis yang diungkapkan terkait dengan afek positif dan afek negatif dari pengalaman para dosen tersebut selama menjadi dosen di perguruan tinggi Malaysia. 3.
Hartanti pada tahun 2011 meneliti tentang Faktor – faktor pendukung kesejahteraan subjektif pekerja. Penelitian ini untuk penulisan disertasi pada Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat efektifitas faktor – faktor individual (faktor instrinsik) termasuk didalamnya lima besar tipe kepribadian (big five personality), rasa humor, kepuasan, faktor – faktor situasional (faktor ekstrinsik) yang terdiri dari dukungan sosial, imbalan kerja, kondisi kerja terhadap kesejahteraan subjektif pekerja. Penelitian ini melibatkan 139 pekerja dan 56 supervisor melalui angket tertutup dan angket terbuka, observasi, wawancara, dan diskusi kelompok terarah. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian antara tipe – tipe kepribadian dengan tuntutan pekerjaan dan budaya perusahaan yang nantinya akan meningkatkan kesejahteraan subjektif pekerja. Temuan lain dari penelitian ini adalah, pada karyawan setingkat supervisor, imbalan kerja menjadi prediktor kesejahteraan subjektif. Imbalan kerja merupakan sarana untuk mendorong sesuatu yang bersifat prestis, otonomi, keamanan, dan perlindungan. Karyawan pada level supervisor yang memperoleh prestasi tinggi, akan diikuti dengan imbalan kerja yang tinggi pula. Hal ini berbeda dengan karyawan produksi, dimana imbalan kerja tidak menjadi prediktor kesejahteraan subjektif, karena prestasi kerja karyawan produksi, tidak diikuti dengan peningkatan imbalan
20
kerja. Selain imbalan, temuan lainnya adalah aspek rasa humor, rasa syukur, dan budaya kekeluargaan dapat menjadi penentu kesejahteraan subjektif pekerja. 4.
Penelitian Dewi dan Hidayat tahun 2011 tentang Job insecurity, socioeconomis status, social support and subjective well being among household head. Peneltian ini dilakukan di empat kota besar indonesia yaitu Tangerang, Medan, Samarinda, dan Makassar. Penelitian ini melibatkan sampel pegawai kontrak yang terlibat di sektor formal. Status pegawai kontrak penuh dengan ketidakpastian dan ambiguitas, yang mana dapat berakibat pada penundaan dalam pengambilan keputusan penting dalam hidup, dan pada akhirnya berpengaruh pada subjective well being pekerja kontrak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki hubungan antara job insecurity dan subjective well being pada kepala rumah tangga di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa job insecurity merupakan prediktor terhadap subjective well being. Pria dewasa yang sudah menikah merupakan golongan yang paling merasakan akibat dari job insecurity terhadap subjective well being. Kekayaan atau wealth terbukti mampu melemahkan hubungan antara job insecurity dan subjective well being. Sejumlah penelitian diatas meneliti tentang subjective well being pada titik
bahasannya masing – masing. Pada penelitian yang dilakukan Sukarsih, terdapat kemiripan pada tujuan penelitian, yaitu ingin mengetahui bagaimana dinamika psikologis dosen Indonesia yang mengajar di perguruan tinggi Malaysia. Namun, pembeda keempat menelitian diatas dengan penelitian penulis adalah objek dari
21
penelitian yaitu terkait dengan profesi hakim dan spesifikasi pada hakim yang bertugas dan pernah betugas di daerah terpencil. Individu yang berprofesi hakim belum banyak diteliti, terutama bagaimana kehidupan mereka baik kehidupan pribadi dan kehidupan pekerjaan. Hakim memang profesi yang dipandang cukup eksklusif, sehingga tidak mudah untuk menggali lebih jauh dan mendalam tentang pekerjaan ini mengingat profesi hakim adalah ‘pekerjaan yang diam’. Lain halnya dengan pengacara, jaksa, dan polisi yang akan lebih mudah ‘terlihat’ dan ‘terdengar’ di mata masyarakat. Perbedaan lainnya adalah fokus peneliti pada hakim – hakim yang bertugas dan pernah bertugas di daerah terpencil ( remote area ).
22