BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perjalanan multidestinasi adalah jenis perjalanan yang sering dilakukan wisatawan dalam berkunjung ke kawasan yang memiliki banyak daya tarik wisata. Yogyakarta merupakan destinasi yang memiliki banyak daya tarik wisata yang berbeda karakteristiknya. Perbedaan karakteristik ini tersedia sebagai pilihan bagi wisatawan yang berkunjung sekaligus salah satu hal yang memotivasi perjalanan multidestinasi. Tren jumlah kunjungan wisatawan ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berubah dari tahun ke tahun. Jumlah keseluruhan wisatawan yang datang ke provinsi tersebut tahun 2010 sebanyak 1.456.980 yang berarti mengalami kenaikan sebesar 2,17% dibanding tahun 2009 sebanyak 1.426.057. Pada tahun 2011, kunjungan ke DIY kembali meningkat sebesar 12,74% atau sebanyak 1.607.694 wisatawan. Daya Tarik Wisata di provinsi seluas 3.185,80 km2 ini pada tahun 2011 tercatat sebanyak 84 buah. Keseluruhan Kunjungan Wisatawan ke Daya Tarik Wisata (DTW) di DIY pada tahun 2011 sebanyak 9.702.103 wisatawan yang terdiri dari 9.197.351 Wisatawan Nusantara dan 504.752 Wisatawan Mancanegara (Dinas Pariwisata DIY, 2012). Industri pariwisata di Provinsi DI Yogyakarta berkembang dengan baik. Tercatat sebanyak 381 Agen/Biro Perjalanan Wisata, Cabang Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalanan Wisata yang beroperasi di provinsi tersebut. Terdapat 36 Hotel Bintang dan 415 Hotel Melati di DIY pada tahun 2011 dengan Tingkat Hunian Kamar (RO) di Hotel Bintang mencapai 57,43% serta 33,24% untuk Hotel Melati (Dinas Pariwisata DIY, 2012). Banyaknya pilihan DTW di satu kawasan memungkinkan wiatawan mengunjungi beberapa lokasi secara berurutan selama waktu berwisata yang
1
dimilikinya. Banyak studi menyebut bahwa asumsi wisatawan hanya memilih satu destinasi pada sebuah perjalanan kadang merupakan asumsi yang keliru dan terlalu menyederhanakan (Wall, 1978; Lue, Crompton, dan Fesenmaier 1993). Lue, Crompton, dan Fesenmaier (1993) melaporkan bahwa, antara 30% hingga 50% dari keseluruhan perjalanan wisata adalah perjalanan multidestinasi. Dengan mengunjungi banyak destinasi yang menawarkan banyak kemungkinan konfigurasi, seorang wisatawan dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang susah didapatkan di satu destinasi saja (Lue, Crompton, and Stewart 1996). Tideswell dan Faulkner (1999) menyampaikan setidaknya terdapat 5 alasan wisatawan melakukan perjalanan multidestinasi. Kelima alasan tersebut adalah adanya pencarian selingan dan manfaat berganda, adanya pilihan yang heterogen, usaha mengurangi resiko dan ketidaktentuan, proses rasionalisasi ekonomi, dan kunjungan kepada teman dan kerabat di suatu kawasan. Dalam strategi pembangunan Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) yang diatur dalam undang-undang, diperlukan peran serta sektor-sektor yang terkait dengan pariwisata. Salah satu kriteria yang harus dipenuhi mengenai pembangunan perwilayahan DPN yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) Tahun 2010-2025 pasal 10 ayat 1 poin (b) yaitu, “memiliki Daya Tarik Wisata yang berkualitas dan dikenal secara luas secara nasional dan internasional, serta membentuk jejaring produk wisata dalam bentuk pola pemaketan produk dan pola kunjungan wisatawan.” Hal ini secara eksplisit menunjukkan bahwa pola pemaketan produk dan pola kunjungan wisatawan yang membentuk jejaring produk wisata yang baik merupakan salah satu poin krusial dalam usaha mensukseskan pembangunan kepariwisataan nasional.
2
Yogyakarta sebagai salah satu dari 50 kawasan DPN di Indonesia memiliki pola pemaketan produk dan pola kunjungan wisatawan yang spesifik.
Pola
pemaketan
wisata
yang
ada
di
Kluster
Yogyakarta
menyertakan DTW yang berada di luar kawasan administrasi Provinsi DI Yogyakarta, seperti Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sebagai destinasi utama. Paket-paket wisata tersebut dipromosikan kepada calon wisatawan melalui berbagai media, salah satunya dengan media internet. Menurut laman yogyes.com (2012) terdapat 17 biro perjalanan lokal dan nasional yang menawarkan paket wisata di Kawasan Yogyakarta melalui situs tersebut. Keseluruhan variasi paket wisata yang menyertakan Yogyakarta sebagai bagian dari rute (itinerary) yang ditawarkan mencapai 85 paket. Paket-paket tersebut memiliki harga, durasi, rute, dan segmen wisatawan yang bervariasi. Paket wisata yang ditawarkan berada di kisaran harga antara Rp 170.000,- hingga Rp 7.800.000,-. Durasi paket yang ditawarkan bervariasi mulai dari perjalanan sekitar 8 jam, perjalanan 1 hari (1 day trip), hingga rangkaian perjalanan selama 10 hari – 9 malam. Jaringan rute DTW yang ditawarkan pun membentang hingga Jakarta dan Bandung di sebelah barat, serta sejauh Surabaya dan Pulau Bali di sebelah timur. Pasar wisatawan yang disasar oleh biro travel tersebut juga bervariasi mulai dari segmen wisatawan individu, pasangan pengantin baru (honey-moon-ers), keluarga, dan berkelompok (group tours), wisatawan domestik dan mancanegara, hingga wisatawan minat khusus (religi dan budaya). Dengan merujuk data yang diolah dari pencarian di situs yang sama, diketahui pula beberapa DTW yang sering diikutsertakan ke dalam rute paket wisata di Kawasan Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi jumlah paket yang mengikutsertakan DTW tersebut di rutenya. 10 DTW yang paling sering diikutsertakan dalam paket wisata adalah Kraton Yogyakarta (74 paket), Candi Boroboudur (72 paket), Kompleks Candi Prambanan (64
3
paket), Kerajinan Perak Kotagede (56 paket), kawasan Istana Air Tamansari dan Pasar Ngasem (55 paket), Kompleks Candi Mendut-Pawon dan sekitarnya (35 paket), Batik Home Industry di sekitar Yogyakarta (33 paket), kawasan Jalan Malioboro (21 paket), Kota Solo dan sekitarnya (20 paket), serta Pantai Parangtritis (18 paket) (yogyes.com, 2012). Dari data ini pula dapat disimpulkan bahwa paket wisata yang paling banyak ditawarkan adalah paket yang mengikutsertakan DTW utama seperti Komplek Kraton Yogyakarta, Candi Prambanan, Candi Borobudur, dan Malioboro. Sedangkan DTW lain selain beberapa tempat tersebut masih belum banyak diikutsertakan dalam itinerary paket wisata yang ada. Meskipun mencakup kawasan yang luas dan memiliki variasi yang beragam,
pola
pemaketan
wisata
di
kawasan
Yogyakarta
belum
dimanfaatkan secara maksimal, bahkan ditenggarai mengalami penurunan oleh para stakeholder pariwisata. Menurut Listiyanto (dalam Asdhiana, 2013) selaku Sekjen Asita Chapter Yogyakarta, daya saing pariwisata DIY mulai menurun dan bukan lagi yang kedua terbesar setelah Bali. Hal ini disebabkan tingginya harga paket wisata di kawasan Yogyakarta sehingga kesulitan bersaing dengan paket wisata di Bandung yang dinilai lebih murah. Himna (dalam Hernasari, 2013) menyebutkan bahwa mahalnya paket ini salah satunya disebabkan oleh tingginya harga tiket DTW di kawasan Yogyakarta seperti yang terjadi di Borobudur. Selain hal tersebut, sebagaimana kawasan lain yang mengandalkan pariwisata massal, Yogyakarta dewasa ini juga menghadapi berbagai permasalahan sebagai akibat dari tingginya kunjungan di DTW utama seperti Kawasan Jalan Malioboro. Tingginya kunjungan di DTW utama, yang juga merupakan magnet bagi paket wisata di Yogyakarta, menyebabkan banyak permasalahan yang dapat mengurangi kepuasan wisatawan. Hal ini jika dibiarkan dapat membawa dampak buruk bagi pariwisata di kawasan tersebut termasuk keengganan wisatawan untuk datang.
4
DTW utama seperti yang disebutkan di atas adalah potensi yang dimiliki Yogyakarta dibanding daerah lain. Potensi tersebut secara ideal, seharusnya dapat menarik wisatawan untuk berkunjung dan secara gradual mampu memajukan pariwisata di kawasan tersebut. Namun, menurut Tazbir (dalam Azkapradhani, 2013), selaku Kepala Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, keuntungan yang dimiliki tersebut tidak lantas memajukan pariwisata Yogyakarta. Menurutnya, pariwisata Yogyakarta masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang menuntut perbaikan. Beberapa perkerjaan rumah yang disampaikan Tazbir (dalam Azkapradhani, 2013) antara lain, Malioboro masih kotor, kebersihan belum bagus,
permasalahan
kenyamanan,
transportasi
belum
mudah,
dan
wisatawan masih harus membayar mahal jika akan ke destinasi wisata. Meskipun demikian, menurutnya, wisatawan mancanegara sudah mulai menikmati untuk berwisata dengan bus kota. Kawasan Jalan Malioboro sebagai pusat Kota Yogyakarta sekaligus DTW utama adalah kawasan yang terimbas paling parah dari pariwisata massal di kota tersebut. Jumlah kunjungan yang tinggi menyebabkan permasalahan kepadatan manusia dan kendaraan pada musim libur dan akhir pekan. Menurut Teguh (dalam Luhur, 2014) selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro, volume kendaraan di ruas Jalan Malioboro mulai mendekati ambang batas titik jenuh. Menurutnya, jika ambang batas titik jenuh volume kendaraan di Malioboro berada di angka satu, maka saat ini kondisi yang ada sudah mencapai angka 0,8. Artinya, Malioboro di ambang kemacetan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya sehubungan dengan permasalahan tersebut. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X (dalam Prabowo, 2014) menyampaikan bahwa studi penelitian untuk mengurai kemacetan di Yogyakarta masih dikaji.
5
Diantaranya adalah perlu tidaknya membuat terowongan-terowongan atau jalan layang di titik-titik kepadatan. Menurut HB X (dalam Prabowo, 2014), tidak sedikit wisatawan yang merasa wajib mengunjungi Malioboro. Padahal, infrastruktur Malioboro statis dan tidak bisa dilakukan pelebaran atau diubah. Oleh sebab itu, pandangan wisatawan dari luar Yogyakarta juga harus diubah karena masih banyak tempat wisata lain di Yogyakarta. Hal yang sama juga disampaikan Tazbir (dalam Azkapradhani, 2013) mengenai solusi mengurai kemacetan Malioboro. Menurutnya, pembangunan objek wisata baru sepatutnya dipusatkan di pinggir Kota Yogyakarta, tidak hanya menumpuk di kawasan Malioboro karena kawasan tersebut sudah melewati kapasitas kenyamanan. Kondisi tersebut di atas perlu menjadi perhatian semua pelaku pariwisata di Yogyakarta. Usaha untuk mengurangi keramaian dengan memecah kunjungan wisatawan ke DTW lain di luar Malioboro perlu dilakukan sehingga penciptaan paket-paket wisata “Beyond Malioboro” (Di Luar Malioboro) dapat menjadi salah satu solusi yang dapat ditawarkan kepada wisatawan. Hal ini dapat bermanfaat untuk mengurangi kepadatan dan untuk menghindari kejenuhan di DTW utama. Tentu saja, pemaketan tersebut hendaknya perlu ditawarkan dengan harga yang sesuai pula. Harga hanyalah salah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi wisatawan dalam mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan wisata. Saat akan memutuskan untuk membeli suatu produk atau paket wisata ke suatu destinasi, terjadi proses yang kompleks di dalam diri wisatawan. Proses ini dikenal juga sebagai Proses Keputusan Pembelian (The Buying Decision Process). Keseluruhan tahapan proses tersebut terentang dari sebelum wisatawan tergerak untuk melakukan perjalanan wisata, selama di destinasi, hingga kembali lagi ke tempat asalnya (Cooper, et al., 2005).
6
Perlu penelusuran lebih dalam dari sisi wisatawan untuk mengetahui pandangan wisatawan mengenai produk atau paket wisata di DIY. Penelusuran tersebut penting bagi perbaikan jejaring produk wisata karena inti
dari
pariwisata
adalah
pelayanan
keramahtamahan
(hospitality).
Sedangkan pelayanan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun terkait pula banyak pihak yang bergerak, seperti pemerintah daerah, tour operator, travel agent, penyedia jasa akomodasi dan transportasi, dan lain sebagainya. Perlu adanya sinergi antara sisi wisatawan dan penyedia jasa wisata agar tercipta pariwisata yang dapat memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa tingginya harga paket wisata di kawasan Yogyakarta menyebabkan paket wisata di kawasan tersebut mengalami kesulitan bersaing dengan DTW di luar Yogyakarta. Namun, di sisi lain, peningkatan kunjungan tetap terjadi. Selain itu, meskipun Yogyakarta memiliki jumlah DTW yang banyak dan dengan karakteristik yang beragam, akan tetapi belum semua dapat terjual melalui paket wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Paket wisata yang ada selama ini hanya berfokus di beberapa DTW utama, seperti Malioboro, Candi Prambanan, Candi Borobudur, dan Kompleks Kraton Yogyakarta serta belum tersebar merata untuk DTW lain yang juga berpotensi untuk dijual. Padahal, banyaknya DTW yang tersebar ini sangat berpotensi untuk mengembangkan penyebaran jejaring produk dan pemaketan wisata yang berkualitas sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang. Akan tetapi, dalam kenyataannya, pemaketan wisata yang banyak ditawarkan masih berfokus di kawasan tertentu dan belum tersebar secara merata ke kawasan lain yang juga berpotensi menarik pengunjung.
7
Selain itu, jumlah kunjungan wisatawan yang terfokus di satu titik dapat memunculkan efek negatif, seperti kepadatan dan kemacetan, sebagaimana yang sudah mulai terjadi di kawasan Jalan Malioboro saat ini. Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi kepadatan adalah dengan menyebar hal tersebut ke kawasan lain yang masih belum padat. Namun, usaha menyebar kepadatan tersebut sangat bergantung minat wisatawan. Wisatawanlah yang berhak menentukan akan mengunjungi lokasi apa pada waktu liburan yang mereka miliki sehingga pemaketan wisata yang tidak mengikutsertakan Malioboro atau DTW utama lain dalam itinerary juga berpotensi untuk tidak bisa dilaksanakan jika wisatawan tidak berminat terhadap paket wisata serupa. Oleh karena hal tersebut, pemahaman mengenai keadaan paket wisata dari perspektif permintaan paket di Yogyakarta saat ini perlu diperdalam untuk mengetahui kondisi sebenarnya pemaketan wisata di kawasan tersebut. Pemahaman tersebut nantinya dapat digunakan sebagai strategi pemasaran yang dapat menjamin kepuasan wisatawan sehingga mampu mendorong wisatawan untuk melakukan kunjungan kembali melalui paket wisata ke Yogyakarta. Selain hal tersebut, dengan mengetahui kondisi paket wisata saat ini, pemaketan wisata di masa depan diharapkan akan dapat direncanakan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan dan perencanaan pariwisata yang baik akan sangat bermanfaat bagi Yogyakarta karena usaha masyarakat yang berhubungan
dengan
pariwisata
telah
menjadi
tulang
punggung
perekonomian di kawasan tersebut. Dengan perencanaan yang baik, wisatawan diharapkan akan melakukan kunjungan kembali sehingga dapat menggerakkan
perekonomian.
Hal
ini
secara
berkelanjutan
dapat
mendatangkan keuntungan kepada masyarakat dan mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat di Yogyakarta.
8
1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Paket perjalanan wisata apa yang paling diminati oleh wisatawan di Yogyakarta? 2. Apa motivasi yang paling dominan dalam pengambilan keputusan wisatawan ketika akan membeli paket perjalanan wisata di Yogyakarta? 3. Bagaimanakah tingkat kepuasan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepuasan wisatawan setelah membeli paket perjalanan wisata di Yogyakarta?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Mengetahui paket perjalanan wisata yang paling diminati oleh wisatawan di Yogyakarta. 2. Mengetahui motivasi yang paling dominan dalam pengambilan keputusan wisatawan ketika akan membeli paket perjalanan wisata di Yogyakarta. 3. Mengetahui tingkat kepuasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan wisatawan setelah membeli paket perjalanan wisata di Yogyakarta.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat pariwisata Yogyakarta pada khususnya 2. Bagi institusi pendidikan
9
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi institusi
pendidikan sebagai usaha pengembangan khazanah ilmu pengetahuan dan referensi bagi ilmu pariwisata selanjutnya. 3. Bagi pengelola jasa Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola agen/biro perjalanan wisata sebagai masukan untuk mengkonfigurasi paket wisata yang sesuai dengan kecenderungan motivasi pengunjung dalam melakukan perjalanan multidestinasi. 4. Bagi Dinas Pariwisata Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta sebagai masukan untuk mendorong peningkatan kualitas produk wisata yang terdapat di Yogyakarta.
1.6. Keaslian Penelitian Tabel 1.01. Keaslian Penelitian Peneliti, Tahun
Judul Penelitian
Fokus
Pairan, 2010
Pengaruh Kualitas • Untuk mengidentifikasi Pelayanan Terhadap minat wisatawan dan Kepuasan tingkat kepuasan yang Wisatawan di Objek diharapkan Wisata Kota Tua • Untuk menemukan derajat keberhasilan pelayanan Sunda Kelapa, Jakarta museum yang diharapkan wisatawan
Inayatul Ilah N, 2011
Pengaruh Kualitas Produk Kuliner Terhadap Motivasi Kunjungan Wisatawan di Lesehan Malioboro, Yogyakarta
• Untuk mengetahui ada
tidaknya pengaruh signifikan antara kualitas produk kuliner terhadap motivasi kunjungan wisatawan
Lokus
Metode Penelitian
Kota Tua Sunda Kelapa, Jakarta
Deskriptif Kualitatif
Malioboro, Yogyakarta
Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif
10
Pratiwi Juniar Pengaruh Kualitas Achmad Produk Wisata Gani, 2012 Terhadap Kepuasan dan Motivasi Kunjungan Kembali Wisatawan Mancanegara di Kawasan Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba
M. Galieh Gunagama, 2014
Analisis Pemaketan Wisata Terhadap Kepuasan Wisatawan di Yogyakarta
Tanjung • Mengetahui seperti apa kualitas produk wisata yang Bira, Bulukumba tersedia • Untuk mengetahui sejauh mana kualitas produk memberikan pengaruh terhadap kepuasan wisatawan mancanegara di kawasan Tanjung Bira • Untuk mengetahui sejauh mana kualitas produk berpengaruh terhadap motivasi kunjungan kembali wisatawan di kawasan Tanjung Bira • Untuk mengetahui seperti apa pengaruh kepuasan wisatawan mancanegara terhadap motivasi kunjungan kembali wisatawan mancanegara di kawasan Tanjung Bira
Deskriptif Kuantitatif dan Kualitatif
Yogyakarta • Untuk mengetahui paket perjalanan wisata yang paling diminati oleh wisatawan di Yogyakarta. • Untuk mengetahui motivasi yang paling dominan dalam pengambilan keputusan wisatawan ketika akan membeli paket perjalanan wisata di Yogyakarta. • Untuk mengetahui tingkat kepuasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan wisatawan setelah membeli paket perjalanan wisata di Yogyakarta. Sumber: Analisis, 2014
Deskriptif Kuantitatif
11