BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara umum perikanan tangkap di Indonesia masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil. Menurut Hermawan (2005) cit. Rahmi,dkk (2013), hanya 15% usaha perikanan di Indonesia merupakan usaha perikanan skala besar dan sisanya (85%) adalah usaha perikanan skala kecil. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar, khususnya di Kabupaten Gunung kidul. Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2011 mencapai rata-rata 705,925 ton untuk 4 kuartal dan meningkat menjadi rata-rata sebesar 856,375 ton untuk 4 kuartal pada tahun 2012. Pantai di Gunung Kidul yang memberikan kontribusi hasil perikanan pada tahun 2012 antara lain Pantai Nampu, Pantai Siung, Pantai Ngandong, Pantai Gesing, Pantai Drini, Pantai Ngrenehan, Pantai Baron dan Pantai Sadeng. Hasil tangkapan paling banyak berasal dari Pantai Sadeng, hal ini disebabkan karena Pantai Sadeng sudah memiliki armada penangkapan yang lebih banyak dan sudah dilengkapi dengan TPI yang lebih besar. Semakin berkembangnya armada perikanan di Pantai Sadeng maka diharapkan nelayan semakin meningkatkan hasil tangkapannya (Anonim, 2012a).
1
Perkembangan data produksi dan nilai produksi untuk setiap kuartal pada nelayan Gunung kidul periode 2009 – 2012 dapat disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Perkembangan Data dan Nilai Produksi Tangkapan Nelayan Gunung Kidul Tahun 2009 – 2012 Tahun 2009
Kuartal
Produksi (ton)
Nilai Produksi (Rp. 1000)
I II III IV
510.5 680.7 850.9 1207.5
3.301.550 4.164.785 5.473.500 8.583.770
2010
Produksi (ton)
Nilai Produksi (Rp. 1000)
652,1 743,4 941,9 494
Total 3.249,6 21.523.605 2.834 Sumber : Data Statistik Diskanla DIY
2011
2012 Nilai Produksi (Rp. 1000)
Produksi (ton)
Nilai Produksi (Rp. 1000)
Produksi (ton)
6.003.062 5.531.089 5.927.585 4.185.871
652,1 743,4 934,1 494,1
5.599.568 6.393.505 7.154.658 9.430.687
535,1 642,7 179,4 2.068,3
6.160.230 666.505 412.767 4.573.800
21.647.607
2.823,7
28.578.418
3.425,5
11.813.302
Perkembangan data produksi tangkapan nelayan Gunung kidul dipengaruhi oleh jumlah trip yang dilakukan oleh nelayan. Jumlah trip untuk alat tangkap jaring insang (Gillnet) dan pancing (handline) mengalami fluktuasi dari tahun 2009 sampai 2012 (lihal Lampiran 1.). Data produksi perikanan tangkap di Gunung kidul mengalami fluktuasi dari tahun 2009-2012. Jumlah produksi terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 2.831,4 ton, sedangkan jumlah produksi tertinggi tejadi pada tahun 2012 sebesar 3.424,5 ton. Tinggi rendahnya jumlah produksi yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh jumlah trip tahun tersebut. Jumlah trip yang bertambah akan menambah pula hasil tangkapan yang diperoleh. Perkembangan nilai produksi perikanan tangkap di Gunung kidul juga mengalami fluktuasi. Nilai produksi terendah terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar Rp. 11.813.302 dan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar Rp. 28.578.418. Nilai produksi terendah pada tahun 2012 tidak seiring dengan tingginya jumlah 2
produksi pada tahun tersebut. Hal itu dapat disebabkan oleh meningkatnya jumlah trip tetapi harga ikan pada tahun tersebut mencapai titik terendah sehingga nilai produksi menjadi turun. Usaha perikanan yang ada di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng didominasi oleh usaha perikanan skala kecil. Sadeng merupakan salah satu daerah di Kabupaten Gunung Kidul .PPP Sadeng dibangun pada tahun 1991 dengan dana APBN Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian, pada waktu itu berstatus PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan). Peningkatan status dari PPI menjadi PPP ditetapkan dengan keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan nomor : KEP.10/MEN/2005 pada tanggal 13 Mei 2005. Pelabuhan perikanan di Pantai Sadeng memberikan banyak hasil laut, seperti ikan tuna, cakalang, tongkol, lemadang, layur dan lainnya. Hasil tangkapan yang didapatkan, selain dipasarkan di wilayah Kabupaten Gunungkidul, juga dikirim ke daerah lain, seperti Sleman, Semarang, Jepara bahkan sampai ke Surabaya. Usaha perikanan tangkap di Sadeng relatif baru mulai berkembang pada tahun 2000 dengan di datangkannya nelayan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sarana penangkapan ikan merupakan modal usaha utama dan mempunyai kontribusi serta wahana bagi peningkatan status sosial para nelayan. Permasalahan yang sering muncul dalam pengembangan potensi sumberdaya perikanan tangkap yaitu kemampuan nelayan dalam mengakses sumber permodalan dalam penyediaan alat-alat produksi serta penyediaan modal usaha untuk melakukan trip 3
penangkapan serta penguasaan pasar oleh kelompok-kelompok pemilik modal. Adanya penguasaan sumber permodalan dan penguasaan pasar akan menimbulkan suatu hubungan antara pemilik modal (juragan darat dan atau Pengambak) dengan nelayan yang menjalankan aktivitas penangkapan. Hubungan tersebut biasa disebut dengan hubungan Patron Klien baik dalam penyediaan modal usaha maupun dalam modal sosial. Kuatnya ikatan Patron Klien merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan Patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola Patron Klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi nelayan. Ikatan Patron Klien tersebut merupakan suatu bentuk modal sosial yang tercermin dari kegiatan penangkapan. Pemilik modal atau juragan darat tidak selalu terlibat langsung dengan kegiatan di laut. Untuk keperluan usaha penangkapan ikan, juragan darat dapat memberikan kuasa kepada orang lain yang selanjutnya dikenal dengan istilah juragan laut atau juru mudi yang bertugas menjalankan unit penangkapan yang dimiliki juragan darat. Juragan laut dengan atau tanpa persetujuan majikan dapat memilih sendiri Anak Buah Kapal (ABK) yang akan menjadi anak buah perahunya. Antara juragan dengan juru mudi dan ABK selalu terdapat kepentingan yang saling berbeda namun melalui kerjasama antara kedua belah pihak tersebut 4
dapat saling memenuhi kepentingan masing-masing. Berpadunya dua kepentingan yang berbeda tersebut merupakan awal terjalinnya hubungan kerja yang sesungguhnya didasari oleh salah satu bentuk hubungan Patron Klien. Meskipun penggambaran Scott (1975), merupakan hasil kajiannya berdasarkan konteks sosial agraris, gambarannya tentang hubungan Patron Klien masih dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi masyarakat pesisir. Berdasarkan tata hubungan tersebut, jelas bahwa hubungan antara nelayan dengan Patron yang menguasai sumberdaya tidak sama. Artinya, Patron menguasai sumber modal jauh lebih besar daripada nelayan yang mengoperasikan alat-alat produksi milik Patron. Secara struktural, kegiatan penangkapan ikan terbentuk dalam suatu jalinan hubungan sosial ekonomis antara orang-orang yang berbeda status atau posisi dan peranan. Status atau posisi nelayan dalam kegiatan penangkapan sangat ditentukan oleh berapa besar nilai barang modal (seperangkat unit penangkapan) yang terlibat langsung demi kelancaran kegiatan penangkapan tersebut. Pemilik suatu unit penangkapan ikan dipandang menempati status atau posisi atas di mata nelayan. Pemilik alat atau juragan darat berkuasa untuk menentukan jumlah ABK (anak buah kapal) yang diperlukan dan dapat memberhentikannya apabila kegiatan penangkapan berkurang karena sedang tidak musim ikan. Dalam mengelola kegiatan penangkapan, seorang juragan darat merasa wajib menyediakan segala keperluan juru mudi dan ABK dengan harapan supaya kegiatan penangkapan ikan yang dikelolanya dapat berjalan dengan lancar. Dengan demikian, seorang juragan 5
darat bukan hanya berperan sebagai pemilik tetapi dapat memberikan perlindungan khususnya mengenai kesulitan ekonomi yang dialami juru mudi dan ABK yang bekerja padanya. Dalam kegiatan penangkapan yang ada di Sadeng, hubungan sosial ekonomi yang tampak yaitu antara juragan darat sebagai pemilik modal berupa kapal dan alat tangkap (Patron) dengan juragan laut atau juru mudi kapal dan ABK sebagai nelayan (Klien). Keterbatasan modal yang dimiliki oleh Klien mengharuskan mereka menjalin kerjasama dengan pemilik modal dalam menjalankan aktivitas penangkapan. Dalam kegiatan tersebut terdapat suatu bentuk kerjasama yang dipengaruhi pula oleh modal sosial berupa kepercayaan, norma dan jaringan sosial di mana modal sosial merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang maksimal maka akan memperoleh pendapatan yang besar, di mana pendapatan tersebut diberikan sesuai dengan sistem bagi hasil sesuai kesepakatan ketiga pihak. Sistem bagi hasil yang diterapkan oleh masing-masing juragan darat memiliki perbedaan yang didasarkan atas kesepakatan. Oleh karena itu, dengan adanya sistem bagi hasil ini akan tercipta suatu hubungan kerja dan hubungan sosial antara juru mudi kapal dan ABK dengan juragan darat sebagai pemilik modal (alat-alat produksi).
6
B. Rumusan Masalah Nelayan Sadeng terdiri dari nelayan lokal dan nelayan pendatang yang sebagian besar berasal dari Jawa Tengah (Batang, Cilacap, Gombong, Kendal, Pekalongan, Pemalang) dan Jawa Timur (Banyuwangi, Jember, Malang, Prigi, Situbondo). Nelayan pendatang dari Jawa Tengah memiliki ketrampilan melaut yang lebih maju dari nelayan lokal, sedangkan nelayan dari Jawa Timur memiliki strategi yang lebih maju dalam memperoleh hasil tangkapan maksimal daripada nelayan lokal. Nelayan lokal belajar ketrampilan melaut dan strategi dalam memperoleh tangkapan dari nelayan pendatang. Nelayan di Sadeng memiliki interaksi yang baik antara satu dengan lainnya. Nelayan pendatang dan nelayan lokal bekerja sama dalam operasi penangkapan ikan dan berbagi ilmu melaut sehingga nelayan Sadeng semakin meningkat ketrampilan melautnya. Modal atau investasi merupakan pengeluaran atau modal awal yang digunakan untuk menjalankan suatu usaha penangkapan ikan. Investasi usaha per unit perahu motor yang digunakan berupa investasi kapal, alat tangkap dan mesin. Sedangkan biaya usaha adalah biaya yang dikeluarkan untuk melakukan operasi penangkapan. Biaya ini dibagi menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap meliputi biaya untuk penyusutan kapal, penyusutan mesin, dan penyusutan alat tangkap. Sedangkan biaya tidak tetap meliputi biaya yang digunakan untuk biaya operasional penangkapan yang terdiri dari kebutuhan bahan bakar, oli, perbekalan nelayan, es balok,
retribusi TPI, perawatan alat-alat
produksi dan bagi hasil. 7
Modal bagi nelayan merupakan faktor penting dalam menjalankan usaha penangkapan ikan. Modal yang dimiliki nelayan ada yang berasal dari nelayan itu sendiri tetapi ada juga nelayan yang meminjam modal dari Pengambak, yaitu pedagang besar yang memiliki sumberdaya (modal) yang lebih besar daripada nelayan (juragan darat dan atau juru mudi). Terkait dengan keterlibatan Pengambak dalam penyediaan modal untuk melaut, menyebabkan nelayan juragan memiliki ketergantungan tersendiri dalam menjual hasil tangkapan kepada mereka. Sedangkan bentuk ketergantungan lebih nyata tampak pada hubungan kerja yang terjalin antara juragan darat (pemilik ala-alat produksi) dengan juru mudi (nelayan yang mengoperasikan alat-alat produksi). Bentuk ikatan antara juragan darat dengan juru mudi biasa disebut dengan ikatan Patron Klien. Kuatnya ikatan Patron Klien merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan juragan daarat (Patron) merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola Patron Klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal tersebut terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi nelayan. Dalam usaha penangkapan ikan, sebagian besar nelayan tidak memiliki alat penangkapan sendiri karena keterbatasan modal. Usaha untuk mengatasi keterbatasan modal nelayan (juru mudi dan ABK) akan mengadakan kerjasama dengan pemilik peralatan (juragan darat) dengan cara ikatan kerja dalam kegiatan 8
penangkapan sehingga dapat memperoleh pendapatan sesuai dengan kesepakatan bagi hasil yang dibuat sebelumnya. Dengan adanya sistem bagi hasil ini akan terjadi suatu bentuk ketergantungan antara juru mudi dan ABK dengan juragan darat sebagai pemilik perahu dan alat tangkap sehingga terjalin suatu ikatan sosial. Masing-masing juragan darat juga mempunyai aturan sendiri dalam menerapkan sistem bagi hasil, karena selain bagi hasil yang diterima oleh juru mudi dan ABK, ada beberapa juragan darat yang memberikan uang makan dan lauk ikan setiap trip kepada juru mudi dan ABK. Adanya perbedaan tambahan aturan untuk setiap juragan darat maka akan mempengaruhi hubungan kerja dan hubungan sosial antara juru mudi dan ABK dengan juragan darat. Bentuk modal lain yang berperan penting dalam kegiatan penangkapan yaitu modal sosial, di mana modal sosial merupakan produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat nelayan. Namun demikian, modal sosial berbeda dengan modal usaha karena modal sosial bersifat kumulatif sehingga tidak akan habis jika dipergunakan. Coleman (1988) menyatakan bahwa, rusaknya modal sosial disebabkan karena tidak dipergunakan dengan baik karena modal sosial menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain. Oleh karena itu, Fukuyama (1995) mengatakan bahwa dengan bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama maka asosiasi antar manusia dapat menghasilkan kepercayaan yang akan memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur. 9
Modal usaha dan modal sosial pada dasarnya saling berkaitan di dalam melakukan kegiatan penangkapan. Hal tersebut disebabkan karena di dalam kegiatan penangkapan terdapat suatu ikatan kerja antara juragan darat (Patron) dan nelayan (Klien). Untuk mendapatkan modal usaha yang besar diperlukan modal sosial yang tinggi sehingga dalam melakukan kegiatan penangkapan dapat tercipta suatu kinerja yang baik demi tercapainya hasil tangkapan yang maksimal dan pada akhirnya diperoleh pendapatan yang besar. Dalam kegiatan penangkapan tersebut pasti diperlukan suatu manajemen usaha yang baik dalam mengkorelasikan antara modal usaha dengan modal sosial sehingga dapat menimbulkan beberapa pertanyaan terkait dengan penelitian yang dilakukan yaitu : 1. Bagaimana juragan darat, juru mudi dan ABK dalam menjalankan hak dan kewajiban yang telah disepakati sebelumnya. 2. Seberapa besar modal usaha yang diperlukan oleh juragan darat dalam kegiatan penangkapan setiap trip serta bagaimana manajemen usaha yang baik agar diperoleh hasil tangkapan yang maksimal termasuk sistem bagi hasil di dalamnya. 3. Seberapa besar pengaruh modal sosial dan modal non sosial terhadap hasil tangkapan yang diperoleh pada kegiatan penangkapan.
10
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kesesuaian hak dan kewajiban juragan darat, juru mudi dan ABK yang telah disepakati sebelumnya. 2. Mengetahui nilai investasi dan biaya operasional; pendapatan juragan darat, juru mudi dan ABK; sistem bagi hasil dan manajemen usaha penangkapan ikan di Sadeng. 3. Mengetahui pengaruh modal sosial (kepercayaan, norma, jaringan sosial) dan modal non sosial (pendidikan, umur, pengalaman) terhadap hasil tangkapan nelayan.
D. Manfaat Penelitian 1. Dapat memberikan informasi mengenai modal usaha dan modal sosial nelayan Sadeng menjalankan kegiatan penangkapan ikan. 2. Dapat memberikan masukan bagi nelayan dalam mengelola kegiatan penangkapan ikan di Sadeng melalui manajemen usaha penangkapan ikan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan. 3. Dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah setempat terkait dengan penambahan kapal bersubsidi bagi juru mudi agar terjadi peningkatan status bagi juru mudi sehingga usaha penangkapan ikan di Sadeng semakin berkembang.
11