ABSTRAK
RICHARD STANFORD. Matchmaking projects with communities: Analysing whether livelihood improvement initiatives meet the needs and constraints of poor fishers in West Sumatra (Proyek-proyek terkait dengan kebutuhan masyarakat nelayan: Apakah kegiatan peningkatan mata pencaharian sesuai dengan kebutuhan nelayan miskin di Sumatra Barat?). Dibimbing oleh JOHN HALUAN, BUDY WIRYAWAN, DIETRIECH BENGEN and RUDI FEBRIAMANSYAH. Meskipun perekonomian yang tumbuh dengan pesat, namun banyak masyarakat Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan atau rentan untuk masuk kategori miskin. Perikanan merupakan sektor perekonomian yang berkaitan erat dengan kemiskinan dan telah ada sejumlah program-program untuk meningkatkan mata pencaharian di kalangan nelayan. Kekhawatiran akan kegagalan dari program-program itu tetap masih ada sehingga program itu tidak selalu tepat dengan kebutuhan mereka. Menanggapi kekhawatiran ini, penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Barat dengan melakukan wawancara di 25 desa nelayan, ditambah dengan data sekunder, untuk mengevaluasi 3 hal berikut; 1) kategori nelayan yang miskin dan apa hubungan antara kemiskinan dan perikanan, 2) faktor-faktor yang menolong atau menghambat mata pencaharian mereka dan 3) apakah program peningkatan mata pencaharian mengatasi faktorfaktor ini. Dari hasil analisis, nelayan miskin bertambah banyak jumlahnya, terutama buruh, pemilik perahu kecil dan pedagang. Kemiskinan tidak berkorelasi signifikan dengan ketergantungan pada sektor perikanan tetapi berkorelasi secara signifikan dengan kemiskinan di sektor pertanian. Memang tingkat kemiskinan di sektor perikanan tinggi dibandingkan sektor lain tetapi tingkat kemiskinan itu berkurang ketika sektor ekonomi lain meningkat misalnya layanan dan keuangan. Sebanyak 31 faktor penghambat dan pendorong diidentifikasi dan dikelompokkan menurut enam kategori sumberdaya. Wawancara dengan 151 rumah tangga dari berbagai sektor perikanan di dua komunitas nelayan yang dianalisis menggunakan skala multi-dimensi. Pemilik kapal memiliki sumberdaya buatan (physical capital), sumberdaya keuangan dan sumberdaya manusia lebih tinggi dari buruh tapi tidak ada perbedaan sumberdaya alam, sosial dan kelembagaan. Dukungan kelembagaan di semua sektor lemah. Untuk menjembatani celah antara buruh dan pemilik, program-program pemerintah terfokus pada sumberdaya buatan tanpa menguatkan sumberdaya keuangan dan manusia. Dalam kesimpulan penelitian ini empat rute yang berpotensi menjadi jalan keluar dari kemiskinan untuk nelayan dijelaskan bersama dengan rekomendasi bagaimana program peningkatan mata pencaharian masa depan bisa lebih dapat memenuhi kebutuhan dan kendala dari masyarakat miskin. Kata kunci: Pengentasan kemiskinan, Diversifikasi Mata Pencaharian, Perikanan skala kecil, Skala Muli-Dimensi (MDS)
ABSTRACT
RICHARD STANFORD. Matchmaking projects with communities: Analysing whether livelihood improvement initiatives meet the needs and constraints of poor fishers in West Sumatra (Proyek-proyek terkait dengan kebutuhan masyarakat nelayan: Apakah kegiatan peningkatan mata pencaharian sesuai dengan kebutuhan nelayan miskin di Sumatra Barat?). Dibimbing oleh JOHN HALUAN, BUDY WIRYAWAN, DIETRIECH BENGEN and RUDI FEBRIAMANSYAH. Despite a fast growing economy, many Indonesians still live in poverty or are vulnerable to falling into poverty. Fishing is an economic sector closely associated with poverty and there has been a range of initiatives aimed at improving livelihoods and reducing poverty amongst poor fishers. Concerns remain that these initiatives have failed to target the right people in the right way. In response to this concern, this research based in the province of West Sumatra uses interviews in 25 fishing communities, coupled with secondary data, to evaluate; 1) the sectors of the fishing industry that the poor operate in and what the relationship is between poverty and fishing, 2) the factors that enable or constrain their livelihoods and 3) whether livelihood improvement programs address these factors. The analysis highlights that poor fishers are growing in number and are mainly labourers, small boat owners and small-scale processors/traders. Poverty in fishing is not significantly correlated with fishing dependency but is significantly correlated with poverty in the agricultural sector. Fishing is a poor economic sector, but incidences of poverty are less when other economic sectors, for example the service and financial sector, are strong. Thirty one enabling and constraining factors were identified and grouped according to six asset categories. Interviews with 151 households from a variety of backgrounds in two fishing communities were analysed using multi-dimensional scaling. Vessel owners possess higher physical, financial and human capital than crew members but that there was no difference in the natural, social and institutional fields. Institutional support across all sectors scored poorly. Government programs tend to bridge the gap between crew members and owners by providing physical capital without necessarily addressing the underlying financial and human capital limitations that labourers face. The research concludes with an explanation of the main routes out of poverty for a poor fisher and recommendations and how future livelihood improvement programs can better address the needs and constraints of the poor. Keywords: Poverty alleviation, Alternative livelihoods, Small-scale fisheries, Multi-dimensional scaling (MDS)
RINGKASAN RICHARD STANFORD. Matchmaking projects with communities: Analysing whether livelihood improvement initiatives meet the needs and constraints of poor fishers in West Sumatra (Proyek-proyek terkait dengan kebutuhan masyarakat nelayan: Apakah kegiatan peningkatan mata pencaharian sesuai dengan kebutuhan nelayan miskin di Sumatra Barat?). Dibimbing oleh JOHN HALUAN, BUDY WIRYAWAN, DIETRIECH BENGEN and RUDI FEBRIAMANSYAH. Meskipun perekonomian yang tumbuh dengan pesat, namun banyak masyarakat Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan atau rentan untuk masuk kategori miskin. Perikanan merupakan sektor perekonomian yang berkaitan erat dengan kemiskinan dan telah ada sejumlah program-program untuk meningkatkan mata pencaharian dan mengurangi kemiskinan di kalangan nelayan. Kekhawatiran tetap ada bahwa program ini telah gagal untuk menargetkan orang yang tepat dengan cara yang benar. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab kekhawatiran itu melalui tiga tahap logis. Pertama (bab 4), dua indeks dibuat yang memetakan ketergantungan perikanan dan kemiskinan di tingkat kabupaten, kecamatan dan kelurahan. Menggunakan data sensus kerja dan kemiskinan di semua sektor ekonomi, kemiskinan nelayan dibandingkan dengan kemiskinan di sektor lain menggunakan matriks korelasi Kendall-Tau untuk menguji apakah perikanan skala kecil benar-benar berkorelasi kemiskinan (fisheries rhymes with poverty) dengan data empiris. Tahap ini mengidentifikasi tren berikut; 1) bahwa jumlah nelayan miskin bertambah banyak dan bahwa mereka sebagian besar adalah buruh bukan pemilik perahu, 2) perikanan bersama dengan pertanian tanaman pangan adalah dua sektor di mana tingkat kemiskinan terbesar, 3) tidak ada hubungan yang signifikan antara tinggi ketergantungan perikanan dan proporsi kemiskinan yang tinggi di antara nelayan, 4) terdapat hubungan yang signifikan antara ketergantungan pertanian dan jumlah persentase kemiskinan di masyarakat pesisir dan 5) ada korelasi terbalik antara kekuatan sektor ekonomi lainnya, misalnya sektor layanan dan keuangan, dan kemiskinan di sektor pertanian. Metodologi ini memiliki aplikasi penting untuk implementasi program tata ruang kelautan secara nasional. Kedua (bab 5), melalui wawancara dengan nelayan, tokoh masyarakat dan pegawai pemerintah di 25 desa nelayan di Sumatera Barat, 31 faktor penghambat dan pendorong mata pencaharian nelayan ditemukan dan dikelompokkan menurut enam kategori sumberdaya; yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, sumberdaya keuangan, sumberdaya buatan dan sumberdaya kelembagaan. Dalam bab 6, 43 atribut dibuat untuk mengukur posisi rumah tangga pada skala terbaik sampai terburuk untuk masing-masing faktor. Dua komunitas nelayan dipilih berdasarkan analisis kluster, Sungai Pinang, sebuah desa kecil yang terisolasi dengan ketergantungan yang tinggi pada alat tangkap tradisional, dan Ampang Pulai, pelabuhan yang memiliki kapal yang lebih besar dan konektivitas ke pasar yang baik. Wawancara dilakukan dengan 151 rumah tangga dari masyarakat tersebut dan dianalisis dengan menggunakan skala multidimensi. Rumah tangga ini termasuk baik pemilik, maupun buruh dan dipilih dari empat sektor industri perikanan yaitu, bagan, payang, sampan dan pukat tepi, serta
kelompok kelima 'lain' warga pesisir. Pemilik kapal memiliki sumberdaya buatan, keuangan dan manusia lebih tinggi dari buruh tetapi tidak ada perbedaan sumberdaya sosial dan kelembagaan. Dukungan kelembagaan memang lemah untuk semua sektor. Ketiga (bab 7), kompilasi jenis program peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui data sekunder dilakukan dan data tersebut dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan tiga studi kasus dipilih yang mengidentifikasikan praktek yang baik dan buruk, terkait isu-isu sosial, ekonomi dan kelembagaan di proyek pengembangan kesejahteraan. Program ditargetkan pada masyarakat miskin pesisir oleh DKP antara 2005-2009 menekankan peningkatan modal fisik melalui penyediaan alat tangkap, mesin dan peralatan pengolahan. Semua intervensi ini dapat bermanfaat bagi pemilik perahu kecil tapi banyak dari mereka tidak akan menguntungkan buruh. Program kontemporer GPEMP memiliki proporsi yang lebih besar dari intervensi di luar sektor perikanan, misalnya peternakan sapi, yang berpotensi membantu buruh, tetapi masih ada bias kuat terhadap intervensi sumberdaya buatan di sektor perikanan. Pendekatan ini yang berusaha menjembatani celah antara buruh dan pemilik dengan pemberian sumberdaya buatan tidak mengatasi keterbatasan sumberdaya keuangan dan manusia yang dihadapi oleh nelayan miskin. Tiga studi kasus menunjukkan bahwa aspek komponen sosial dan manusia dalam penanggulangan kemiskinan juga signifikan. Aspek-aspek koherensi kelompok, transparansi kepemimpinan, advokasi, administrasi, akuntabilitas dan dukungan kelembagaan tanpa henti adalah unsur-unsur kunci untuk menanggulangi kemiskinan di masyarakat pesisir. Sayangnya unsur-unsur itu tidak dapat terlihat, tidak terjadi secara instan, dan hanya memberikan sedikit dokumentasi dengan pemberian jaring atau mesin. Dalam kesimpulan penelitian ini (bab 8) empat rute yang berpotensi menjadi jalan keluar dari kemiskinan untuk nelayan dijelaskan bersama dengan rekomendasi bagaimana program peningkatan mata pencaharian masa depan bisa lebih dapat memenuhi kebutuhan dan kendala dari masyarakat miskin.
SUMMARY RICHARD STANFORD. Matchmaking projects with communities: Analysing whether livelihood improvement initiatives meet the needs and constraints of poor fishers in West Sumatra (Proyek-proyek terkait dengan kebutuhan masyarakat nelayan: Apakah kegiatan peningkatan mata pencaharian sesuai dengan kebutuhan nelayan miskin di Sumatra Barat?). Dibimbing oleh JOHN HALUAN, BUDY WIRYAWAN, DIETRIECH BENGEN and RUDI FEBRIAMANSYAH. Despite a fast growing economy, many Indonesians still live in poverty or are vulnerable to falling into poverty. Fishing is an economic sector closely associated with poverty and there has been a range of initiatives aimed at improving livelihoods and reducing poverty amongst poor fishers. Concerns remain that these initiatives have failed to target the right people in the right way. This research attempts to address that concern and proceeds through three logical stages. Firstly in chapter 4, two indices are developed that map fishing dependency and poverty at multiple spatial scales. Using census data of employment and poverty across all economic sectors, fishing poverty is compared with poverty in other sectors using a Kendall-Tau correlation matrix to examine if ‘fishery truly rhymes with poverty’ using empirical data. This stage identified the following trends; 1) that the number of poor fishers is increasing and that they are predominantly labourers rather than boat owners, 2) fishing together with crop farming are the two sectors in which incidences of poverty are greatest, 3) there is no significant correlation between high fishing dependency and high proportions of poverty amongst fishers, 4) there is a significant correlation between agricultural dependence and total percentage poverty in coastal communities and 5) there are inverse correlations between the strength of other economic sectors and poverty in the agricultural sector. This methodology has important applications for the ongoing implementation of the national marine spatial planning program. Secondly in chapter 5, an analysis of interviews in twenty-five fishing communities in West Sumatra identified thirty one enabling and constraining factors, which were grouped according to six asset categories; natural, human, social, financial, physical and institutional. In chapter 6, forty three attributes were developed to score households on a scale of bad to good for each of these factors. Two fishing communities were selected on the basis of a cluster analysis, Sungai Pinang, a small, isolated community with a high dependency on traditional methods, and Ampang Pulai, a port with larger vessels and good connectivity to markets. Interviews conducted with 151 households from these communities were analysed using multi-dimensional scaling. These households incorporated both owners and crew from four sectors of the fishing industry, bagan, payang, sampan and pukat tepi, as well as a fifth ‘other’ group of coastal residents. Vessel owners possess higher physical, financial and human capital than crew members but there was no difference in the natural, social and institutional fields. Institutional support across all sectors scored poorly. Thirdly in chapter 7, secondary data sources on the types of livelihood improvement initiatives in coastal communities were collated and analysed using descriptive statistics and three cases studies were selected to demonstrate the
social, economic and institutional lessons learned that point both to best and worst practice. Empowerment programs targeted at the coastal poor by the DKP between 2005-2009 emphasized improving physical capital through providing fishing gear, machines and processing equipment. All of these initiatives could be valuable for small-boat owners but many of them would not benefit labourers. The contemporary program GPEMP had a greater proportion of non-fishing alternative livelihoods that could potentially help labourers, but still demonstrated an ongoing bias towards physical capital interventions in the fishing sector. This approach of bridging the gap between crew members and owners by providing physical capital fails to address the underlying financial and human capital limitations that poor fisher face. The three case studies demonstrate that aspects of leadership, trust, advocacy, administration, accountability and ongoing institutional support are key elements of successful livelihood improvement in coastal communities. The research concludes with an explanation of the main routes out of poverty for a poor fisher and recommendations for how future livelihood improvement programs can better address the needs and constraints of the poor (chapter 8).