BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perdarahan pada saluran cerna bagian bawah terjadi sekitar 20% dari semua
kasus perdarahan gastrointestinal. Lower gastrointestinal bledding (LGIB) didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi pada bagian distal dari ligamentum Treitz. Perdarahan gastrointestinal dibagi menjadi tiga yaitu perdarahan bagian atas, tengah dan bawah. LGIB juga dapat didefinisikan sebagai hilangnya darah secara akut atau kronis yang bersumber dari kolon atau rektum. LGIB akut terjadi kurang dari 3 hari dan mungkin mengakibatkan ketidakstabilan tanda-tanda vital, anemia dan kadang-kadang sampai memerlukan tranfusi darah. LGIB kronis terjadi beberapa hari atau dalam jangka waktu yang lama. Pasien dengan perdarahan kronis dapat menunjukkan gejala darah samar pada feses, anemia defisiensi besi, melena, hematochezia atau maroon stool (Barnert dan Messmann, 2009). Kejadian LGIB di AS berkisar antara 20-27 kasus per 100.000 orang dewasa. Di Belanda, kejadian keseluruhan 9/100.000 per tahun. LGIB banyak terjadi pada usia 63-77 tahun, lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita. Perdarahan kolon memerlukan tranfusi darah lebih sedikit dibandingkan dengan perdarahan usus halus. Perdarahan akut pada saluran pencernaan bagian bawah berhenti secara spontan pada 80-85% pasien. Secara keseluruhan angka mortalitas berkisar antara 2-4% (Barnert dan Messmann, 2009).
1
2
Penyebab paling sering terjadinya perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah inflammatory bowel disease, divertikel mekel, polip, neoplasma dan angiodisplasia (Bhasin dan Rana, 2011). Dikatakan bahwa kebanyakan kanker kolorektal berasal dari polip adenomatus dan membutuhkan waktu sekitar 10 tahun bagi polip dengan ukuran <1cm untuk berkembang menjadi kanker kolorektal invasif. Hal ini menunjukkan bahwa polip adenomatus merupakan suatu prekusor kanker dan baik polip maupun stadium awal kanker bersifat asimptomatik (Lieberman dan Weiss, 2001). Beberapa faktor risiko telah menunjukkan peningkatan kecenderungan menderita kanker kolorektal. Faktor risiko yang dimaksud antara lain: riwayat keluarga dengan kanker kolorektal atau adenoma, diet tinggi lemak dan rendah serat, riwayat polip adenomatous atau kanker kolorektal, inflammatory bowel disease, riwayat radiasi daerah pinggul dan specific hereditary cancer syndromes. Tidak satupun dari faktor risiko diatas terbukti lebih dominan pada kaum wanita dan kemungkinan kemunculan polip sama antara kedua jenis kelamin (Byers, et al., 1997). Deteksi dini berupa skrining untuk mengetahui kanker kolorektal sebelum timbul gejala dapat membantu ditemukannya penyakit ini pada stadium awal. Bila polip ditemukan dan segera diangkat, maka akan dapat mencegah terjadinya kanker kolorektal. Begitu juga pengobatan pada kanker kolorektal akan lebih efektif bila dilakukan pada stadium dini (Ginting, 2009). Saat ini, dikenal 5 macam metode skrining kanker kolorektal: Fecal Occult Blood Test (FOBT), fleksibel sigmoidoskopi, kolonoskopi, double contrast
3
barium enema, dan rectal toucher (RT) atau digital rectal examinations. Kebanyakan pedoman skrining kanker kolorektal yang dianut saat ini, merekomendasikan bahwa tidak ada satu skrining kanker kolorektalpun yang ternyata lebih baik dari yang lain. Namun, Fecal Occult Blood Test (FOBT) tetap menjadi uji skrining yang paling direkomendasikan oleh United States Preventive Services Task Force and the Institute of Medicine, sebagai program skrining kanker kolorektal (Kamakshi dan Goodin, 2001; Allison, 2007). Ada 2 jenis test skrining feses yang sering dipakai yaitu gFOBT dan FIT. Guaiac Fecal Occult Blood Test (gFOBT) sudah mulai ditinggalkan karena hasilnya sangat tergantung dari persiapan diet pasien. Fecal Immunochemical Test (FIT) saat ini lebih direkomendasikan karena lebih mudah, tidak diperlukan persiapan diet sebelum dilakukan test. Beberapa penelitian menunjukkan sensitifitas dari FIT ini cukup baik. Seperti penelitian yang dilakukan di Jepang, didapatkan sensitivitas FIT sebesar 90,8%, spesifisitas 92,1% (Nakama, et al., 1997). Penelitian yang dilakukan di Australia didapatkan hasil sensitivitas 82% dan spesifisitas 95% (Young, 2004). Sudoyo (2010), dari Persatuan Ahli Peyakit Dalam Indonesia (PAPDI), menyatakan bahwa kebanyakan pasien di Indonesia datang dengan kanker kolorektal stadium II. Berdasarkan sudut pandang diatas, maka peneliti mempunyai asumsi bahwa penelitian uji validitas FIT ini akan mendapatkan sensitifitas yang lebih tinggi daripada penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.
4
1.2
Rumusan Masalah Apakah FIT mempunyai sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi yang baik dalam mendeteksi adanya perdarahan pada saluran cerna bagian bawah di RSUP Sanglah Denpasar Bali?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Mengetahui validitas FIT untuk mendeteksi adanya perdarahan pada
saluran cerna bagian bawah di RSUP Sanglah Denpasar Bali. 1.3.2
Tujuan khusus 1. Mengetahui sensitivitas FIT dalam mendeteksi adanya perdarahan pada saluran cerna bagian bawah di RSUP Sanglah Denpasar Bali. 2.
Mengetahui spesifisitas FIT dalam mendeteksi adanya perdarahan pada saluran cerna bagian bawah di RSUP Sanglah Denpasar Bali.
3.
Mengetahui nilai prediksi positif FIT dalam mendeteksi
adanya
perdarahan pada saluran cerna bagian bawah di RSUP Sanglah Denpasar Bali. 4.
Mengetahui akurasi FIT dalam mendeteksi adanya perdarahan pada saluran cerna bagian bawah di RSUP Sanglah Denpasar Bali.
5
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Akademik Memberikan informasi validitas FIT dalam mendeteksi adanya perdarahan
pada saluran cerna bagian bawah di RSUP Sanglah Denpasar Bali. 1.4.2
Manfaat Praktis 1. Sebagai data dasar pertimbangan dilakukannya pemeriksaan FIT yang nantinya dapat digunakan sebagai uji skrining deteksi dini kanker kolorektal, sehingga dapat ditangani sedini mungkin dan meningkatkan survival rate. 2. Data dari penelitian ini dapat menjadi data sub bagian bedah digestif dan dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya.