BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG Tesis ini
akan menguraikan tentang peran pemerintah daerah dalam
pembangunan perdamaian pasca konflik masyarakat Desa Lella Kecamatan Alor Selatan dan masyarakat Desa Lipang Kecamatan Alor Timur Laut di Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur. Peran dimaksud tidak saja berkaitan dengan peran pemda dalam melakukan intervensi konflik melalui peace making, peace keeping dan peace building tetapi juga bagaimana peran dan fungsi yang harus dilakukan oleh pemda agar konflik tidak tereskalasi kembali. Peran pemda dalam pembangunan perdamaian merupakan esensi dan hakekat dari good governance. Penulis juga dalam tesis ini, akan mendeskripsikan dinamika dan dampak konflik yang dialami kedua masyarakat melalui alat bantu penahapan konflik sehingga dapat diketahui dan diperoleh gambaran terkait penyebab dan pemicu konflik tersebut. Konflik antara masyarakat Desa Lella Kecamatan Alor Selatan dan masyarakat Desa Lipang Kecamatan Alor Timur Laut di Kabupaten Alor merupakan salah satu konflik dari beberapa konflik yang berpotensi untuk tereskalasi kembali.
1
Data yang dikeluarkan oleh Bagian Administrasi Pemerintahan Setda Kab. Alor tahun 2011, menyebutkan bahwa terdapat 4 (empat) konflik yang berpotensi rawan dan menjadi prioritas untuk diselesaikan yaitu antara lain : -
Konflik antara masyarakat Desa Lella Kec. Alsel dan masyarakat Desa Lipang Kec. ATL;
-
Konflik antara masyarakat Desa Waisika Kec. ATL dan masyarakat Desa Tuleng Kec. Lembur
-
Konflik antara masyarakat Desa Petleng Kec. ATU dan masyarakat Kel. Welai Timur Kec. Teluk Mutiara
-
Konflik antara masyarakat Kec. Pantar Barat dan Kec. Pantar Barat Laut Konflik antara masyarakat Desa Lella Kec. Alsel dan masyarakat Desa
Lipang Kec. ATL merupakan konflik yang berkepanjangan karena telah berlangsung semenjak tahun 1994 yang berawal dari kontradiksi terkait lokasi pembangunan SDI Lella yang kemudian tereskalasi ditahun 2008 yang juga terkait kontradiksi lokasi sumber mata air. Konflik tersebut kemudian tereskalasi kembali ditahun 2013, dan sampai tesis ini dibuat, konflik tersebut belum terselesaikan meskipun konflik sudah terdeeskalasi. Kontradiksi terkait lokasi sekolah dan sumber mata air yang melahirkan pertentangan pemahaman dan konfrontasi antara kedua masyarakat, kemudian berlanjut pada klaim kepemilikan terhadap kedua aset tersebut (sekolah dasar dan mata air) sebagai bagian dari wilayah administrasi pemerintahannya.
2
Pada satu sisi, masyarakat Desa Lipang mengklaim bahwa sekolah dan sumber mata air tersebut berada di wilayah Desa Lipang sementara di sisi yang lain, masyarakat Desa Lella mengklaim bahwa sekolah dan mata air tersebut berada di wilayah Desa Lella. Klaim kepemilikan subyektif terhadap kedua aset tersebut akhirnya berujung pada konflik antara kedua masyarakat. Konflik tersebut mengakibatkan 38 (tiga puluh delapan) buah rumah terbakar, 2 (dua) warga meninggal dunia, 5 (lima) warga terluka dan 26 (dua puluh enam) kepala keluarga mengungsi dari wilayah tersebut. Realitas konflik yang berkepanjangan dan belum terselesaikan inilah yang menantang dan menarik perhatian penulis untuk menyusun sebuah tesis yang berjudul “Good Governance and Peace Building (Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Perdamaian Pasca Konflik Masyarakat Desa Lella Kec. Alor Selatan dan Masyarakat Desa Lipang Kec. Alor Timur Laut di Kab. Alor Prov. NTT”
1.2.
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah penelitian yang diangkat
untuk diteliti yaitu sebagai berikut : 1. Apa yang menyebabkan konflik antara masyarakat Desa Lipang dan masyarakat Desa Lella ? 2. Bagaimanakah dinamika dan dampak konflik antara kedua masyarakat ? 3. Bagaimanakah Pembangunan
Peran
Pemerintah
Perdamaian
sebagai
menyelesaikan konflik tersebut?
3
Daerah esensi
Kabupaten Good
Alor
dalam
Governance
dalam
1.3.
TUJUAN Tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui dan memahami penyebab konflik serta dinamika dan dampak konflik antara masyarakat desa Lella dan masyarakat desa Lipang di Kab. Alor. 2. Untuk mengetahui peran yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam pembangunan perdamaian dalam menyelesaikan konflik masyarakat desa Lipang dan masyarakat desa Lella di Kab. Alor.
1.4.
MANFAAT Manfaat dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat bermanfaat dalam
memperkaya ilmu pengetahuan dibidang perdamaian dan resolusi konflik secara akademis, dan secara praktis dapat menjadi pedoman bagi pihak - pihak yang berkepentingan dalam pembangunan perdamaian pasca konflik.
1.5.
TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini akan mendeskripsikan tentang penelitian – penelitian yang
memiliki relevansi dengan tesis ini khususnya berkaitan dengan peran pemerintah dalam mengintervensi dan menyelesaikan konflik atau sengketa batas wilayah. Em Osykar (Osykar, 2014) dalam penelitiannya mendeskripsikan tentang upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam menyelesaikan Sengketa Batas Wilayah Gugusan Pulau Tujuh dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.
4
Sengketa dimaksud terkait dengan perebutan kawasan Pulau Tujuh dari perbatasan antara Pemprov Babel dan Kepri. Penelitian yang dilakukan Osykar tidak saja bertujuan menguraikan tetang akar, dinamika dan dampak berlarutlarutnya sengketa batas wilayah tetapi juga untuk menganalisis peran dan upaya Pemprov
Babel
dalam
menyelesaikan
sengketa
batas
wilayah
serta
mengidentifikasi faktor penyebab berlarut-larutnya sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh antara Pemprov Babel dan Kepri. Hasil akhir penelitian menunjukan bahwa sengketa batas wilayah kawasan Pulau Tujuh berawal dari pemekaran Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, pada 2003. Kebijakan pemekaran dari Kemendagri untuk Kabupaten Lingga yang memasukkan kawasan Pulau Tujuh sebagai bagian dari wilayah administratifnya melanggar UU No. 27/2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sengketa batas wilayah di gugusan Pulau Tujuh antara Pemprov Babel dan Kepri berkembang karena kawasan tersebut memiliki potensi sumberdaya alam strategis yang sangat besar, dan kedua belah pihak mengincar atau mempertahankan sumberdaya strategis yang terbatas tersebut. Jika Pemprov Babel sejak awal dapat bersikap lebih proaktif dalam mengusahakan penyelesaian masalah sengkata batas wilayah di kawasan ini dengan melihat potensi sumberdaya alam strategis yang besar tersebut untuk dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat setempat. Dinamika isu sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh cukup berlarut-larut karena berlangsung sampai lebih dari 10 tahun sejak 2000 sampai sekarang sehingga mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan dan tidak
5
memadainya
penyelenggaraan
kepentingan
publik
pada
wilayah
yang
disengketakan tersebut. Terkait peran pemerintah, Osykar mengatakan bahwa Pemprov Babel berupaya menyelesaikan sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh, dengan menganggarkan dana APBD untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Tetapi upaya tersebut lambat, formalistik, dan mengedepankan pendekatan musyawarah sehingga tidak membuahkan hasil dan kesannya bahwa sengketa batas wilayah hanya alasan menurunkan APBD demi kepentingan oknum birokrasi. Hal ini mendasari sengketa batas wilayah Pulau Tujuh berlarut-larut sampai lebih dari satu dekade. Selain tidak ada prakarsa penyelesaian sengketa batas wilayah yang jelas dari Pemprov Babel dan Kepri, tidak ada sikap proaktif dan lemahnya peran fasilitasi serta kapasitas negara yang direpresentasi pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, dalam memediasi resolusi konflik. Berlarut-larutnya sngketa batas wilayah di Pulau Tujuh disebabkan oleh pertama, faktor kurangnya koordinasi pemerintah pusat (Kemendagri), tidak tegas memberi solusi penyelesaian konflik dengan koordinasi antara Pemprov Babel dan Kepri; kedua, faktor pembiaran konflik tanpa kelola dimana pemerintah pusat dan daerah kurang intensif mengelola konflik sengketa batas wilayah Pulau Tujuh; dan ketiga, berkaitan dengan strategisnya sumberdaya alam di Pulau Tujuh, yaitu Pemprov Kepri dan Babel sama-sama memahami bahwa sumberdaya alam di kawasan Pulau Tujuh sangat strategis sehingga diperebutkan para pihak yang berkonflik, dan kedua belah pihak sama-sama bersikukuh untuk mengklaim hak penguasaan dan pengelolaan atas kawasan Pulau Tujuh.
6
Penelitian lainnya yang membahas tentang konflik batas wilayah, dilakukan oleh Nanang Kristiyono (Kristiyono, 2008) yang menganalisis tentang faktor-faktor penyebab dan dampak konflik dalam penegasan batas daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang. Kristiyono mengatakan bahwa sejak implementasi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti UU Nomor 32 tahun 2004, batas antar daerah menjadi hal yang sangat penting menjadi perhatian daerah. Arti penting batas daerah berkaitan dengan batas kewenangan daerah yang kemudian berimplikasi pada kewenangan pengelolaan sumber-sumber daya di daerah. Kenyataan ini seringkali menjadi biang konflik antar daerah. Salah satu kasus konflik adalah antagonisme yang terjadi dalam penegasan batas daerah antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang Prov. Jawa Tengah. Adapun faktor yang menyebabkan konflik tersebut banyak dimensi yang memiliki keterkaitan antara datu dengan lainnya. Faktor tersebut antara lain faktor-faktor yang bersifat struktural, faktor kepentingan, hubungan antar manusia dan konflik data, yang semuanya dapat dikategorikan menjadi faktor latar belakang, faktor pemicu konflik dan faktor akselelator. Faktor latar belakang yang dimaksud berupa faktor struktural (UU Pembentukan Daerah; kebijakan Mendagri dalam perluasan daerah Kota Magelang; faktor sejarah yang berkaitan dengan klaim wilayah berdasarkan sejarah
penguasaan
secara
de-facto
tanpa
penegasan
secara
yuridis;
Peraturan-peraturan yang berpengaruh pada eksistensi daerah; serta faktor kepentingan (kepentingan pengelolaan potensi sosial wilayah).
7
Faktor pemicu konflik terdiri atas faktor kepentingan yang berupa kepentingan terhadap eksistensi daerah, sehingga terjadi aksi – reaksi antara kedua belah pihak untuk memperoleh suatu wilayah tertentu. Faktor akselelator, meliputi: faktor kepentingan elit politik dan birokrasi di daerah; faktor hubungan antar manusia, terkait salah persepsi di kalangan elit dan adanya tingkah laku negatif elit yang berulang (suka memaksakan kehendak dan kecenderungan “money oriented” dalam pelaksanaan tugas); dan faktor data, yaitu adanya perbedaan data (peta wilayah) yang digunakan dan perbedaan argumen mengenai tingkat relevansi data serta kedua belah pihak menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda memakai tata cara pengkajian data yang berbeda. Konflik tersebut berdampak belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti antara kedua daerah tersebut baik secara administatif maupun fisik, yang selanjutnya berakibat pada timbulnya “dampak konflik” berupa terjadinya dualisme kewenangan pemberian data yuridis atas tanah-tanah tertentu pada sebagian proses pengurusan bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat) khususnya di tingkat desa /kelurahan yang batas wilayahnya tidak tegas. Disamping itu adanya ketidakpastian kewenangan dalam pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Rekomendasi untuk penyelesaian konflik yaitu dilakukan melalui konsiliasi dengan mediasi oleh tingkat pemerintah lebih atas (Gubernur dan jika perlu Mendagri) dengan didahului pihak berkonflik mengupayakan de-eskalasi konflik, dan terakhir didukung upaya elit politik yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan dalam kerangka NKRI.
8
Kedua penelitian tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis khususnya berkaitan dengan konflik yang disebabkan oleh batas wilayah administratif pemerintahan. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup sengketa/konflik batas wilayah, sumber daya yang diperebutkan diatas wilayah tersebut, sifat dan dampak konflik/sengketa serta strategi penyelesaian konflik/sengketa yang dilakukan oleh pemerintah. Bagian pertama, terkait
ruang lingkup, kedua
penelitian diatas
mendeskripsikan tentang konflik yang terjadi pada aras provinsi (Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Kepulauan Riau) dan aras kabupaten/kota (Kota Magelang dan Kabupaten Magelang) sedangkan penelitian yang dideskripsikan didalam tesis ini mengambil ruang lingkup pada aras desa. Bagian kedua, berkaitan dengan sumber daya yang diperebutkan diatas batas wilayah administrasi tersebut, konflik antara Pemerintah Prov. Babel dan Pemerintah Prov. Kepri yang ditulis Osykar, mendeskripsikan tentang perebutan kawasan Pulau Tujuh yang memiliki potensi sumberdaya alam yang strategis (mineral dan minyak bumi). Sementara konflik antara Pemerintah Kota Magelang dan Pemerintah Kabupaten Magelang sebagaimana
dideskripsikan oleh
Kristiyono, adalah berkaitan dengan perebutan wilayah perbatasan sebelah selatan (kompleks Kantor Pemerintah Kota Magelang yang posisinya berada di atas wilayah batas antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang). Sedangkan penelitian dalam tesis ini berkaitan dengan perebutan batas wilayah administrasi Desa Lipang dan Desa Lella di Kab. Alor Prov. NTT yang didalamnya terdapat SD Inpres dan sumber mata air.
9
Bagian ketiga terkait dengan sifat dan dampak konflik/sengketa tersebut. kedua penelitian awal, menguraikan sengketa tersebut berlangsung dalam nuansa nir kekerasan dan hanya berdampak secara administratif terhadap pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan sedangkan dalam tesis ini, konflik berlangsung dengan penggunaan kekerasan dan tidak saja berdampak administasi pemerintahan tetapi juga berdampak pada kerugian material, kerugian sosial dan kerugian jiwa raga. Bagian yang empat berkaitan dengan strategi penyelesaian konflik batas wilayah yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam tulisan Osykar, strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Prov. Bangka Belitung adalah dengan penyediaan alokasi anggaran untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui pendekatan musyawarah mufakat. Sementara dalam tulisan Kristiyono, merekomendasikan kepada Pemerintah Kota dan kabu. Magelang untuk menempuh pendekatan konsiliasi dalam penyelesain sengketa tersebut. Sedangkan dalam tesis ini, penulis mendeskripsikan peran pemerintah dalam aspek pembangunan perdamaian yang meliputi peace keeping, peace making dan peace building. Berangkat dari deskripsi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini memiliki perbedaan dalam aspek substansi maupun dalam aspek kajiaannya jika dikomparasi dengan kedua penelitian tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ruang lingkup penelitian, sumber daya yang diperebutkan diatas batas wilayah, sifat dan dampak serta peran pemerintah dalam menyelesaikan sebuah konflik/sengketa yang terjadi.
10
Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai kerangka kerja oleh pemerintah atau para stake holders yang berkepentingan dalam upaya penyelesaian konflik batas wilayah. Bahwasanya penyelesaian konflik batas wilayah tidak saja dapat didekati melalui pendekatan musyawarah mufakat (mediasi, negosiasi dan konsiliasi) ataupun melalui pendekatan kebijakan politik anggaran tetapi juga melalui pendekatan perdamaian yang bertumpu pada peace keeping, peace making and peace building. Memang
disadari
bahwa
sebuah
sengketa/konflik
yang
belum
terselesaikan sangat berpotensi untuk tereskalasi baik dengan menggunakan kekerasan atau tanpa kekerasan sehingga dibutuhkan konsepsi-konsepsi dan strategi-strategi yang konstruktif agar supaya konflik/sengketa dapat dicegah dan diminimalisasi dampak destruktifnya. Pada titik inilah sebenarnya substansi dan kontribusi pembangunan perdamaian sebagaimana diulas dalam tesis ini. Karena pembangunan perdamaian tidak saja memprioritaskan pola penyelesaian konflik melalui pendekatan peace keeping agar konflik tidak tereskalasi tetapi juga menggunakan pendekatan peace making
(mediasi,
negosiasi
maupun
konsiliasi)
dalam
mengelolah
konflik/sengketa yang terjadi sekaligus melakukan penyelesaian jangka panjang dan berkesinambungan melalui peace building.
11
1.6.
LANDASAN TEORI Ketiadaan batas wilayah administrasi desa merupakan penyebab konflik
antara masyarakat Desa Lella dan masyarakat Desa Lippang. Ketiadaan batas wilayah yang jelas tersebut menimbulkan pertentangan dan perlawanan antara kedua masyarakat dalam memperebutkan batas wilayah yang didalamnya terdapat asset-aset pembangunan dan sumber daya yang tersedia diwilayah tersebut. Aset pembangunan dimaksud adalah SD Inpres dan mata air yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan air bersih bagi masyarakat. Pada titik inilah pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab dalam menyelesaikan konflik tersebut. Pembangunan perdamaian merupakan alternatif intervensi konflik yang bisa dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan konflik kedua masyarakat. Pembangunan perdamaian merupakan salah satu esensi dari konsep good governance yang mewajibkan pemerintah untuk menyelesaikan persoalanpersoalan publik termasuk didalamnya persoalan konflik kedua masyarakat. Dalam kaitan dengan konflik kedua masyarakat, maka tesis ini akan menggunakan teori / konsep yang akan diuraikan sebagai berikut : 1.6.1. Konflik Batas Wilayah Administrasi Desa Wilmot & Hocker (2001), menjelaskan bahwa : Conflict is an expressed struggle between at least two interdependent parties who perceive incompatible goals, scare resources, and interference from others in archieving theirs goals.
Merujuk pengertian tersebut, maka konflik dalam tulisan ini merupakan bentuk ekpresi perlawanan yang terlihat dalam masyarakat Desa Lella dan masyarakat Desa Lipang.
12
Hal ini disebabkan karena klaim sepihak kedua masyarakat terhadap sekolah dan sumber mata air berada dalam wilayah administrasi pemerintahannya yang menurut Wilmot dan Hocker disebut sebagai perebutan sumber daya. Perbedaan persepsi terkait perebutan sumber daya tersebut, disebabkan kepentingan untuk menegaskan batas wilayah administrasi pemerintahaan yang didalamnya terdapatnya sumber daya tersebut. Ekspresi kedua belah pihak ini dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk memiliki sekolah dan sumber mata air tersebut sebagai bagian dari wilayah administrasi pemerintahannya. Padahal menurut Simon Fisher dkk (Simon Fisher et al, 2001), Konflik juga dapat dimaknai sebagai hubungan yang secara abstrak tidak terjalin dengan baik sebagai dampak dari permasalahan tersebut. Hal ini secara langsung mengeksplorasi potensi klaim sepihak terhadap batas wilayah secara administrasi. Asumsi ini pada akhirnya mengakibatkan kedua belah pihak menggunakan perilaku konflik yang menurut Otomar J. Bartos dan Paul Wehr (Susan, 2010) sebagai bentuk konfrontasi antara satu dengan yang lain sebagai upaya mencari jalan keluar dengan mengekspresikan naluri permusuhan sebagai bentuk perlawanan dari masing-masing pihak untuk mempertahankan batas wilayah yang telah diklaim sebelumnya yang dianggap memiliki sumber daya. Penulis menarik kesimpulan bahwa konflik antara masyarakat Desa Lella dan masyarakat Desa Lipang disebabkan karena ketiadaan batas wilayah administrasi pemerintahan yang jelas antara kedua desa.
13
Ketiadaan batas ini menjadi penyebab kedua masyarakat terlibat dalam klaim sepihak terhadap sekolah dan mata air tersebut berada didalam wilayah administasi pemerintahannya. Hal inilah yang menimbulkan konflik baik dalam tataran laten hingga terekplorasi menjadi konflik terbuka.
1.6.2. Dinamika Konflik Dinamika
konflik
merupakan
kondisi
yang
menggambarkan
perkembangan yang terjadi dalam sebuah konflik termasuk didalamnya tahapantahapan konflik. Fisher dkk (2001), mengembangkan alat analisis konflik yang disebut penahapan konflik yang bisa digunakan untuk menganalisis sebuah konflik yang terjadi dalam hal ini konflik antara desa Lella dan desa Lipang. Alat bantu yang berbentuk sebuah grafik ini menggambarkan peningkatan dan penurunan intensitas konflik. Alat bantu ini tampak dalam grafik yang menunjukan skala waktu tertentu sebagai kerangka untuk menganalisis dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik. Menurut Fisher dkk (2001) tujuan penggunaan alat bantu penahapan konflik yaitu : 1. 2. 3.
4.
Untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik, Untuk membahas pada tahap mana situasinya sekarang berada. Untuk berusaha meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik di masa depan dengan tujuan untuk menghindari polapola itu terjadi Untuk mengidentifikasi periode waktu yang dianalisis dengan menggunakan alat-alat bantu lain.
14
Alat bantu dalam mengukur konflik yang terjadi antara desa Lella dan desa Lipang terbagi dalam beberapa tahapan yaitu sebagai berikut :
Tahap pra-konflik
Tahap terjadi ketidaksesuaian sasaran/tujuan diantara dua pihak atau lebih sehingga timbul konflik. Pada tahap ini konflik itu masih tersembunyi dari pandangan pihak lain meskipun pihak-pihak yang bersangkutan mengetahui bahwa ada masalah diantara mereka. Pada tahap ini sangat mungkin terjadi ketegangan hubungan diantara para pihak karena mereka saling menghindari kontak antara satu dengan yang lain. Tahap Konfrontasi Konflik menjadi semakin terbuka, jika hanya satu pihak saja yang merasakan adanya masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku lain untuk menunjukkan adanya konfrontasi. Kadang pertikaian atau kekerasan pada skala rendah terjadi diantara pihak-pihak. Masing-masing pihak mulai mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara pihak-pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi diantara para pendukung di masing-masing pihak. Tahap Krisis Merupakan puncak sebuah konflik dimana terjadi ketegangan dan atau kekerasan yang paling hebat terjadi. Dalam konflik berskala besar/massal, tahap ini bisa dikatakan sebagai periode perang dimana orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh, komunikasi biasa/normal diantara mereka putus. Pernyataan-pernyataan yang mereka keluarkan cenderung saling menuduh, menyalahkan dan menantang.
15
Tahap Akibat
Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin mengalahkan pihak lain atau malah melakukan gencatan senjata. Satu pihak mungkin menyerah atas desakan pihak lain. Kedua belah pihak mungkin setuju melakukan negosiasi dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga. Satu pihak yang mempunyai otoritas lebih tinggi atau pihak lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua belah pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaanya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.
Tahap Pasca Konflik
Pada tahap ini situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi. Kekerasan dan ketegangan berkurang dan hubungan mengarah menjadi lebih normal diantara pihak-pihak yang berkonflik. Akan tetapi jika persoalan dan masalah yang timbul karena tujuan para pihak saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, maka pada tahap ini seringkali kembali menjadi situasi prakonflik (re-eskalasi konflik).
1.6.3. Good Governance Istilah Good Governance sering disebut dalam berbagai kesempatan dan dimaknai secara berlainan bahkan menjadi konsep yang popular dalam banyak debat akademik dan politik kontemporer. Good governance diartikan sebagai tindakan/tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai nilai itu dalam tindakan dan kehidupan keseharian (Nawawi, 2012).
16
United Nations Development Programme (UNDP) memberikan beberapa karakteristik dari pelaksanaan Good Governance (Batubara, 2006) yang meliputi : (1). Participation; bermakna keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. (2). Rule of law. Yang menekankan pada kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. (3). Transparency. Bermakna bahwa transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi yang berkaitan dengan kepentingan public secara langsung yang dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. (4). Responsiveness; lembaga-lembaga publik harus cepat tanggap dalam melayani stake holders. (5). Consensus Orientation. berorientasi kepentingan masyarakat yang lebih luas. (5). Equity; Yang bermakna setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. (6). Efficiency and Effectiviness; pengelolaan sumber daya public dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). (7). Accountability; pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. (8). Strategic Vision; penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan. Penerapan Good Governance pada hakekatnya dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang solid, bertanggung jawab, efisien dan efektif dengan menjaga sinergi interaksi yang konstruktif antara negara, swasta dan masyarakat.1 1
Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum Pemerintahan Yang Baik, 2007. Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Hal. 9
17
Efendi (2005), mengatakan bahwa governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelolah sumber daya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipasi dan kemitraan. Sedangkan Domai (2005) mengatakan bahwa secara implisit, kata governance dalam good governance mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama, nilai yang menjunjung tinggi kehendak rakyat dan nilai yang meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan kemandirian dan keadilan social. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. 2 Uraian dan penjelasan tentang good governance sebagaimana diuraikan diatas memberikan pemahaman bahwa good governance merupakan sebuah konsep sekaligus cita-cita yang melandasi setiap pemerintahan sesuai dengan tingkatannya dalam menjalankan setiap tugas dan tanggung jawab sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing dalam kerangka memenuhi dan menjawab persoalan-persoalan publik yang dihadapi oleh masyarakat demi menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Governing As Conflict Management (Zartman, 1997) William Zartman menjelaskan bahwa Governing adalah merupakan tata cara pengelolaan konflik jika dilihat dari fungsi dan peran pemerintah sebagai bagian integral dalam Good Governance, yang mewajibkan pemerintah untuk
2
Muhammad A. Siregar, 2008. Penerapan Tata Kepemerintahan Yang Baik Dalam penyelenggaraan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahan Provinsi Bengkulu, Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
18
menyelesaikan konflik batas wilayah administratif antara Desa Lella dan Desa Lipang. Efektivitas dan efisiensi pemerintah daerah dalam penyelesaian konfli kedua masyarakat menjadi salah satu indikator tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Hardjosoemantro (Hardjasoemantri, 2003), yang menguraikan tentang tugas negara (pemerintah sebagai eksekutor). Peran eksekutor pemerintah dalam memberi makna good governance dapat dilaksanakan melalui penciptakan kondisi politik; ekonomi dan sosial yang stabil; pembuatan peraturan yang efektif yang berkeadilan; Penyediakan public service yang efektif dan accountable; menegakan HAM; melindungi lingkungan hidup serta mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik. Oleh karenanya, peran pemerintah sebagai respon terhadap good governance
dalam manajemen konflik antara Desa Lella dan Desa Lipang
tentunya diarahkan dan diharapkan untuk menciptakan perdamaian. Penciptaan perdamaian merupakan amanat konstitusi (UUD 1945) yang mewajibkan pemerintah untuk memelihara perdamaian yang dilandasi dengan semangat keadilan sosial.
19
1.6.4. Pembangunan Perdamaian Selanjutnya, indikator keberhasilan perdamaian menurut Johan Galtung 3, terdiri dari 3 (tiga) entitas yaitu Peace Keeping, Peace Making, dan Peace Building. Ketiga
konsep ini
pada
hakekatnya
terpisah namun dalam
pelaksanaannya berkaitan antara satu dengan yang lain. Peace Keeping merupakan usaha yang dilakukan untuk menghentikan kekerasan yang sedang berlangsung, atau setidaknya meminimalisir hingga sekecil mungkin serta terus menerus dan cenderung bersifat reaktif dengan tujuan mengurangi situasi yang buruk dari konflik yang difokuskan pada akar masalah konflik. Pendekatan ini bertujuan mengendalikan para aktor yang berkonflik agar mereka berhenti menghancurkan segala sesuatu, sesama dan diri mereka sendiri melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Jika dikaitkan dengan tesis ini, maka peran pemerintah terkait peace keeping adalah dengan menggunakan institusi keamanan (Kodim 1622 Alor, Polres Alor dan Satuan Polisi Pamong Praja) yang bertugas untuk meminimalisir dan mengurangi konflik dan kekerasan serta perilaku-perilaku destruktif lainnya. Peran tersebut dilakukan melalui penjagaan, pengawalan, dan patroli untuk menjamin keamanan, ketertiban kedua masyarakat; pembinaan masyarakat Lella dan Lipang untuk meningkatkan partisipasi, kesadaran hukum serta ketaatan terhadap hukum; dan peran penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku
3
Jamil, Mukhsin. M. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai. Semarang: Walisongo Mediation Center.
20
kekerasan dalam konflik kedua masyarakat untuk diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4 Peace Making merupakan usaha nyata menyelesaikan konflik destruktif, dan lebih bersifat reaktif dan proaktif yang berfokus pada upaya menghilangkan dasar-dasar konflik. Pendekatan ini bertujuan untuk mempertemukan atau merekonsiliasi sikap dan strategi dari pihak yang bertikai agar tercipta konsensus dan kesepakatan diantara mereka untuk menyelesaikan konflik tersebut. Pemerintah dapat melakukan peran peace making melalui proses negoisasi, arbitrasi dan mediasi dengan menginisiasi dan mewadahi kedua masyarakat yang berkonflik untuk melakukan pertemuan dan dialog dalam kerangka menemukan akar persoalan konflik sekaligus merumuskan dan menyepakati strategi penyelesaian konflik tersebut. Pelaksanaan peran dimaksud dapat melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan/atau unsur masyarakat lainnya termasuk pranata adat dan/atau pranata sosial lainnya dengan tetap menghormati norma agama, norma kesusilaan, norma adat, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan Peace Building berkaitan dengan pengembangan dan pembangunan kondisi-kondisi yang mendukung keadilan sosial dan hubungan damai, menjadi sebuah proses proaktif yang bersifat jangka panjang dan memiliki dimensi kultural, politik, dan ekonomi yang lebih menekankan non-kekerasan atau prevensi kekerasan dan cenderung proaktif.
4
Undang-Undang Republik Indonesia Kepolisian Negara Republik Indonesia
21
Nomor
2
Tahun 2002
Tentang
Peran tersebut dilakukan dengan mengatasi kondisi-kondisi yang mengakibatkan kontradiksi/pertentangan dan konflik dalam kehidupan kedua masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut bisa berupa ketiadaan lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan
dan kesejahteraan, diskriminasi, dendam,
prasangka, ketakutan dan kekuatiran serta berbagai dampak kerugian material, sosial dan psikologis yang dialami kedua masyarakat. Peran peace building yang dilakukan pemerintah adalah melalui melalui rekonsiliasi, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca konflik kedua masyarakat.
5
Rekonsiliasi diarahkan kepada kedua masyarakat untuk saling mengakui kesalahan dan memaafkan satu dengan lainnya dengan terlebih dahulu menginisiasi kedua masyarakat untuk merefleksikan konflik dan dampak yang telah mereka alami serta berupaya untuk mengembalikan sebagian masyarakat Lipang yang telah mengungsi dan meninggalkan wilayah konflik. Rehabilitasi diarahkan kepada upaya pemulihan psikologis korban konflik melalui konseling dan kegiatan-kegiatan untuk memperkuat relasi sosial kedua masyarakat dengan bersinergis dengan lembaga-lembaga keagamaan serta memprioritaskan kebijakan pembangunan terhadap daerah konflik. Sedangkan rekonstruksi dilakukan melalui penyediaan akses pendidikan, kesehatan dan mata pencaharian, perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi, perbaikan dan pemulihan fasilitas umum dan fasilitas warga serta pengembangan kapasitas masyarakat yang berkaitan dengan konflik dan perdamaian sehingga kedua
5
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial
22
masyarakat dapat mengelolah potensi dan kecenderungan konflik yang mungkin terjadi diwaktu yang akan datang. Ketiga pendekatan perdamaian (peace keeping, peace making dan peace building) merupakan transformasi konflik dan bersifat jangka panjang untuk melihat cara-cara yang dapat membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengamankan perdamaian hingga masa depan
yang mensyaratkan ketiadaan
kekerasan secara langsung dan juga terciptanya kondisi yang dipenuhi dengan keadilan sosial (David P. Barash dan Charles P. Webel, 2002) dalam penyelesaian konflik Desa Lella dan Desa Lipang. Membangun perdamaian diarahkan dengan membantu pihak-pihak yang bertikai untuk menemukan penyelesaian masalah-masalah sosial, ekonomi dan psikologi yang cenderung dapat memunculkan konflik pada masa yang akan datang (Safithri, 2011). Visualisasi konsepsi diatas dapat dilihat dalam kerangka berpikir dibawah ini :
23
Kerangka Berpikir Peran Pemerintah
Peace Keeping (Pendekatan Keamanan dan Ketertiban melalui Polres Alor, Kodim 1622 Alor dan Satpol. Pamong Praja
Peace Making
Peace Building
(Pendekatan Mediator untuk menyelesaikan konflik Lella dan Lipang
(Rekonsiliasi, Rehabilitasi dan Rekonstruksi )
Intervensi Konflik Lella dan Lipang
Negatif Peace dan Positif Peace
1.7.
ARGUMEN UTAMA
1. Konflik antara masyarakat Desa Lella dan masyarakat Desa Lipang merupakan konflik batas wilayah pemerintahan desa. Ketidakjelasan batas wilayah administratif kedua desa mengakibatkan terjadinya perebutan sekolah dan mata air yang berada di lokasi konflik tersebut. Perebutan tersebut tentunya dalam kerangka memiliki dan menguasai asset dan sumber daya tersebut sebagai bagian dari kepemilikan desa.
24
2. Konflik masyarakat Desa Lella dan masyarakat Desa Lipang di Kabupaten Alor, telah berlangsung dalam dinamika pra konflik, konfrontasi, krisis, akibat, pasca konflik dan kemudian tereskalasi kembali. Konflik tersebut telah memberikan berbagai dampak kerugian yang dialami kedua masyarakat yang berkonflik. 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Alor sebagai salah satu pilar good governance, telah melaksanakan peran dan fungsinya dalam pembangunan perdamaian.
1.8.
METODE PENELITIAN
1.8.1. Jenis dan Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang akan dianalisa dengan menggunakan metode yang bersifat deskriptif – kualitatif untuk memahami konflik masyarakat Lella dan Lipang berdasarkan perspektif penulis yang diarahkan untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan konflik masyarakat Desa Lella dan masyarakat Desa Lipang di Kabupaten Alor, dinamika dan dampak konflik yang dialami oleh kedua masyarakat serta peran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Alor dalam pembangunan perdamaian pasca konflik kedua masyarakat tersebut.
1.8.2. Lokasi dan Waktu Penelitian -
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Alor
khususnya di Desa Lella
Kecamatan Alor Selatan dan Desa Lipang Kecamatan Alor Timur Laut Kabupaten Alor.
25
-
Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan terhitung mulai bulan Juli
sampai dengan bulan September 2015.
1.8.3. -
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Data Primer Data yang langsung memberikan informasi berkaitan dengan penyebab
terjadinya konflik dan peran perdamaian yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembangunan perdamaian pasca konflik tersebut. Data ini diperoleh melalui observasi / pengamatan lapangan langsung terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan konflik masyarakat Lella dan masyarakat Lippang di Kabupaten Alor. Data ini juga diperoleh melalui wawancara yang dilakukan terhadap para responden yang telah ditetapkan untuk diwawancarai. Responden yang dimaksud adalah responden yang memiliki pengetahuan dan keterkaitan langsung dengan konflik yang terjadi tersebut. Responden yang dipilih berasal dari unsur pemerintah daerah, pemerintah kecamatan, pemerintah desa, aparat keamanan (Kapolres Alor), tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda maupun masyarakat setempat. -
Data Sekunder Data yang tidak langsung memberikan informasi, yang diperoleh melalui
studi pustaka antara lain melalui dokumen-dokumen pemerintah, teks tertulis dari jurnal, artikel, literature, naskah-naskah perdamaian, laporan-laporan tentang konflik, peraturan-peraturan pemerintah daerah, rencana-rencana pembangunan
26
jangka menengah (Kabupaten dan Desa), berita di surat kabar dan internet. Teknik pengumpulan data (observasi dan wawancara) dilakukan dalam bentuk dialogis dan bersifat informal terhadap para responden. Sedangkan responden yang tidak bisa ditemui secara langsung, penulis menggunakan komunikasi via hand phone dengan merekam percakapan tersebut. Hal ini dikarenakan situasi dan kondisi wilayah penelitian yang masih masih memiliki potensi / rawan konflik, kondisi geografis dan topografi wilayah yang menantang (berbukit/bergunung) sehingga penulis hanya melakukan wawancara dengan responden yang secara representatif mewakili masing-masing desa. Kendala lainnya yang dihadapi oleh penulis dalam pengumpulan data adalah berkaitan dengan proses mutasi yang terjadi sehingga penulis mengalami kesulitan untuk mendapatkan data-data secara tertulis maupun untuk kepentingan wawancara.
1.8.4. Teknis Analisis Data Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumen-dokumen kepustakaan lainnya sehingga memudahkan untuk dipahami. Data yang diperoleh tentunya berkaitan dengan persoalan yang diteliti. Analisis data dilakukan terhadap hasil observasi dan wawancara dengan pemerintah kabupaten/ kecamatan/ desa, tokoh agama, aparat keamanan (Kapolres Alor), tokoh pemuda dan masyarakat di lokasi penelitian maupun diluar lokasi penelitian. Analisis juga dilakukan terhadap dokumen-dokumen dan laporanlaporan konflik tersebut.
27
Analisis tersebut dimaksudkan untuk menyusun sebuah kronologis konflik tersebut, melakukan pemetaan konflik untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat dan hubungannya satu sama lain, mengetahui penyebab konflik kedua masyarakat dan peran pembangunan perdamaian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Alor sekaligus menyusun point-point rekomendasi dalam kerangka pembanguna perdamaian yang sesungguhnya.
1.8.5. Batasan Penelitian Luasnya ruang lingkup dan kompleksnya problematika konflik yang menjadi obyek penelitian ini, maka penelitian ini hanya memfokuskan pada : -
Konflik Batas Wilayah antara masyarakat Desa Lella dan masyarakat Desa Lipang.
-
Dinamika dan dampak konflik kedua masyarakat.
-
Peran pemerintah Kabupaten Alor dalam Pembangunan Perdamaian sebagai esensi good governance dalam menyelesaikan konflik masyarakat Desa Lella dan Desa Lipang. Peran dimaksud berkaitan dengan peace making, peace keeping dan peace building.
1.9.
Sistimatika Penulisan Tesis Adapun Sistimatika Penulisan Tesis ini adalah :
Bab Satu merupakan pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan, Manfaat, Landasan Teori, Argumen Penelitian, Metodologi Penelitian, Jenis dan Metode Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian, Sumber
28
dan Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Batasan Penelitian dan Sistematika Penulisan Tesis.
Bab Dua menggambarkan Gambaran Umum Lokasi Konflik (Kabupaten Alor, Desa Lella dan Desa Lipang), Dinamika dan Dampak Konflik Batas Wilayah Adiminstratif Desa Lella dan Masyarakat Desa Lippang di Kabupaten Alor. Pada bagian ini penulis akan menampilkan secara singkat wilayah terjadinya konflik, dinamika dan dampak konflik dengan menggunakan alat bantu penahapan konflik yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tahapan / proses konflik ini berlangsung sekaligus berbagai dampak kerugian yang dialami oleh kedua masyarakat yang berkonflik.
Bab Tiga Menggambarkan Tentang Strategi Pemerintah Daerah Kabupaten Alor Dalam Pembangunan Perdamaian Untuk Penyelesaian Konflik Batas Wilayah Administratif Desa. Bagian ini akan mendeskripsikan peran yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam pembangunan perdamaian pasca konflik kedua masyarakat.
Peran tersebut dikategorikan dalam ketiga konsep perdamaian yaitu Peace Keeping, Peace Making dan Peace Building yang bertujuan untuk menemukan sejauhmana peran pemerintah melakukan pembangunan perdamaian sebagai upaya penyelesaian konflik kedua masyarakat sebagai esensi good governance.
29
Bab Empat Menggambarkan Tentang Rekomendasi Pemikiran Pembangunan Perdamaian Pasca Konflik Masyarakat Desa Lella dan Desa Lippang dan Penutup Yang Berisi Kesimpulan dan Saran
30