Tedjo Soeprapto
Peran Kelompok Etnis dalam Kepemimpinan pada Pemda Provinsi Papua Tedjo Soeprapto Pemerintah Daerah Provinsi Papua Abstract: Policies that are not in line with the Special Autonomy under Law No. 21 of 2001 still runs in Papua. Empowerment is still very limited, while the culture of having a dialogue and restructuring policy formats has not been started-up so that the goal to build New Papua New which is more fair, more dignified, and more prosperous cannot be achieved yet. The purpose of this study is to determine the cultural elements of a number of ethnic groups that play a role in the bureaucratic leadership of the Papua Provincial Government. Qualitative method which is symbolic interactionism uses phenomenological perspective to understand this observation. Selected 10 key informants from Papuan leaders consist of 4 (four) senior bureaucrats, 2 (two) researchers and 4 (four) intellectual. From with ten key informants, the researcher explores their opinions and experiences; besides, participant observation, personal experience of the researcher in the government bureaucracy, and review of literature enriches the depth of this research. The results of this study contribute to the theory of Capacity Building of Government Bureaucracy. The propositions generated are 1. ”The more we care about the ethnic groups in Papua and understand their culture, then togetherness and unity can be achieved”. 2. ”The stronger the role of traditional leaders on formal leadership, the implementation of the tasks will be ineffective and inefficient”. 3. As more leaders do not understand their task and do not understand the culture of the ethnic groups in their environment, it results in the misconduct of their behavior and causes organizational management not well-run. 4. ”If the leaders obey rules and organizational norms as well as concern on the cultural communities, the organization governance can run effectively and efficiently.” Keywords: culture, mutual respect, effective leadership and capacity building efficient bureaucracy Abstrak: Kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan Otonomi Khusus berdasarkan Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 masih terus berlangsung di tanah Papua, pemberdayaan masyarakat masih sangat terbatas, sementara dialog budaya, restrukturisasi format-format kebijakan tidak kunjung dilakukan sehingga tujuan untuk membangun Papua Baru yang lebih adil, lebih bermartabat dan lebih sejahtera belum dapat diwujudkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejumlah unsur budaya kelompok-kelompok etnis yang berperan dalam kepemimpinan birokrasi pada Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Metode Kualitatif yaitu interaksionis simbolik menggunakan perspektif fenomenologis digunakan untuk memahami penelitian ini. Dipilih 10 orang informan kunci dari tokoh-tokoh Papua yang terdiri dari 4 (empat) orang birokrat senior, 2 (dua) orang peneliti dan 4 (empat) orang intelektual. Bersama informan kunci tersebut dikaji pendapat, pengalaman mereka. Selain itu observasi dan pengalaman pribadi peneliti dalam birokrasi pemerintah dan studi kepustakaan memperkaya penelitian ini. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi pada teori Peningkatan Kapasitas Birokrasi Pemerintah. Proposisi yang dihasilkan yaitu 1. ”Semakin peduli terhadap kelompok etnis di Papua dan memahami budayanya, maka kebersamaan dan kesatuan dapat diwujudkan”. 2. ”Semakin kuat peran pemimpin tradisional kedalam kepemimpinan formal, maka pelaksanaan tugas menjadi tidak efektif dan efisien”. 3. Semakin pemimpin tidak memahami tugas dan tidak memahami budaya kelompok etnis dilingkungannya, maka muncul perilaku menyimpang dan manajemen organisasi tidak berjalan baik”. 4. ”Jika pemimpin mentaati peraturan, norma-norma organisasi, memperhatikan budaya kelompok masyarakat, maka tata kelola manajemen organisasi dapat berjalan secara efektif dan efisien”. Kata Kunci: budaya, kesehargaan, kepemimpinan efektif efisien dan penguatan kapasitas birokrasi Alamat Korespondensi: Tedjo Soeprapto, Pemerintah Daerah Provinsi Papua
306
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME306 11 | NOMOR 2 | JUNI 2013
Peran Kelompok Etnis dalam Kepemimpinan pada Pemda Provinsi Papua
Masyarakat Papua merupakan masyarakat yang multi etnis baik dari kelompok etnis pendatang maupun dari kelompok etnis asli Papua. Kelompok-kelompok etnis dimaksud terbagi dalam 3 (tiga) kelompok besar. Giay, (1996) membagi kelompok pertama adalah kelompok pendatang baru yang berasal dari pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Madura. Kelompok kedua adalah mereka yang datang dari pulaupulau Indonesia bagian timur seperti Tanimbar, Kei, Maluku dan Sangir Talaud. Kelompok ketiga adalah masyarakat asli Papua yang terdiri dari ratusan etnis yang tinggal di daerah pesisir, pedalaman dan pegunungan. Kelompok-kelompok etnis di Papua mempunyai budaya yang berbeda-beda, perbedaan budaya semakin terlihat nyata antara kelompok etnis pendatang dengan etnis Papua. Hubungan kelompok etnis pendatang dengan etnis Papua secara komunal tidak terlalu kondusif. Sujito et al. (2009), menjelaskan ada dinamika konflik yang semakin berkembang antara penduduk asli Papua dengan pendatang yang dikatakan sebagai konflik budaya yang berbeda. Dengan kebijakan afirmatif sesuai amanat Otonomi Khusus peran orang Papua semakin nyata, di bidang pemerintahan jabatan-jabatan pemimpin daerah dari Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Walikota dan Jabatan satuan kerja serta jabatan Camat telah banyak yang dipegang oleh orang Papua. Sekalipun jabatan yang ada telah dipegang oleh orang Papua namun etnis pendatang tetaplah mempunyai peran yang cukup signifikan dalam organisasi pemerintah.
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu berkaitan dengan budaya di Papua telah dilakukan oleh Mansoben (1995), Boelars (1984), Erary (2006), Solossa (2006) dan Sujito (2009), dalam penelitian tentang budaya dimaksud belum ada penelitian budaya yang terkait perannya dalam kepemimpinan pada pemerintah daerah Provinsi Papua. Budaya Etnis Papua. Van Den Broek (1984), mengangkat beberapa unsur budaya dari sejumlah suku-suku di Papua meliputi pengertian tentang pekerjaan, pengertian tentang irama kerja, pengertian tentang motivasi, pengertian tentang waktu, pengertian tentang rasa tanggungjawab dan pengertian tentang perencanaan jangka panjang. Pengertian-pengertian
dimaksud mempunyai ciri khas yang sangat berbeda dengan pengertiannya dengan etnis pendatang. 2) Otonomi Khusus, melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus di Papua terdapat hal-hal yang mendasar yang hanya berlaku bagi Provinsi Papua dan hal yang berlaku di Provinsi lain tidak diberlakukan di Papua. 3) Perubahan Sosial. Perubahan sosial terjadi karena tiga hal; Pertama, adanya ideas yaitu pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai; Kedua, adanya tokoh-tokoh besar (great individuals) dan Ketiga, karena munculnya gerakan sosial (social movement). 4) Kepemimpinan. Kepemimpinan menurut Stogdill dalam Yulk Gary (1988) dikutip dari Ambar (2008) menjelaskan bahwa definisi kepemimpinan terlalu banyak sama banyaknya dengan pihak yang membuat definisi. Mengenai teori kepemimpinan dalam Ambar (2008), dijelaskan antara lain melalui Teori Sifat, Teori Perilaku, Teori Kontinum, Teori Kontigensi, Teori Situasional, Teori Jalan Tujuan dan Teori Managerial Grid.
METODE Jenis/Design Penelitian Jenis/design penelitian yang digunakan adalah penelitian fenomenologis untuk menjelaskan pengalaman-pengalaman informan yang terkait dengan peran budaya kelompok-kelompok etnis kedalam kepemimpinan birokrasi pemerintah. Tujuan dari kerangka penelitian fenomenologis adalah untuk menggambarkan apa yang dialamai informan terkait dengan pengalaman yang mereka miliki terhadap penemuan yang ada.
Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk melaksanakan penelitian yaitu di lingkungan Pemda Tingkat Provinsi Papua, Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Memberamo Raya dan Kabupaten Jayawijaya. Informan sebanyak 10 orang mereka terdiri dari 3 orang brikorat yang masih aktif menduduki jabatan pada pemerintah Provinsi dan Kabupaten, 2 orang intelektual, 2 orang peneliti dan 3 orang tokoh masyarakat yang sekaligus mewakili etnis tertentu.
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang dilakukan melalui tahaptahap tertentu yaitu melihat fenomena yang muncul
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
307
Tedjo Soeprapto
di lapangan, memilih informan, minta kesediaan informan untuk diwawancarai dan mengajukan daftar pertanyaan. Sebagaimana Sims dan Cahlil (1988), kesediaan informan menyediakan waktu adalah penting yang meliputi 4 bagian yaitu disclosure, ccompetence, comprehension dan voluntariness.
Analisa Data Analisa data yang dipakai menggunakan model dari Milles dan Huberman (1984), yaitu mereduksi (data reduction), data display, dan conclution verification. Mengenai tingkat kepercayaan dalam penelitian dilakukan dengan triangulasi, ketekunan pengamatan, menganalisa kasus negatif, pemeriksaan melalui diskusi, member cheks, referensi berupa hasil rekaman, buku-buku yang mendasari uraian dan perpanjangan waktu penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara berupa jawaban dari informan menghasilkan 3 bahasan pokok yaitu; 1) Pertemuan berbagai budaya kelompok etnis di Papua. 2) Peran budaya kelompok etnis melalui kepemimpinan tradisional dan 3) Peran unsur budaya lainnya.
Gambaran pertemuan berbagai budaya Pertemuan berbagai budaya kelompok etnis di Papua bukan saja pertemuan antara budaya kelompok etnis pendatang dengan kelompok etnis Papua, tetapi juga pertemuan antara berbagai etnis asli Papua sendiri. Sebagaimana diketahui Papua telah dikunjungi para saudagar dari kerajaan Sriwijaya pada abad ke 7 untuk keperluan mencari burung cenderawasih. Pada abad-abad selanjutnya datang pula saudagar dari India dan China yang disusul para pelaut dari Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris mereka melihat Papua sebagai daerah baru. Bahkan Spanyol dan Inggris secara simbolis menyatakan Papua sebagai wilayah baru mereka. Tahun 1814 sesuai keputusan konvensi Wina, Hindia Belanda termasuk Papua dikuasai oleh Belanda. Dalam tahun 1927 dibuat kamp/rumah tahanan Boven Digul tempat pembuangan 930 orang tahanan politik dari Indonesia. Dengan upaya-upaya penginjilan masuk di Papua yang diawali tahun 1885, 308
terjadilah awal pertemuan budaya secara lebih terbuka, labih-lebih lagi setelah tahun 1962 Papua memasuki era baru dimana terjadi proses perjumpaan dengan budaya Melayu. Perjumpaan itu dimulai lebih intensif ketika gelombang transmigrasi masuk Papua pada tahun 1975. Dalam hubungannya dengan pertemuan budaya ini Mansoben (2011), berpendapat perlunya pemahaman terhadap budaya Papua dengan tidak memaksakan budaya dari luar.
Pertemuan budaya kelompok etnis yang terjadi pada lingkungan Pemerintah Daerah tidak jauh berbeda dengan pertemuan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan dengan kepemimpinan, kelompok etnis pendatang pada masa awal peralihan kekuasaan tidak banyak memerankan orang Papua, sekalipun banyak orang Papua yang berpengalaman sebagai pegawai pamong praja.
Peran budaya etnis dalam kepemimpinan Dalam sistem organisasi sosial kemasyarakatan di Papua dikenal ada 4 sistem kepemimpinan, pertama sistem kepemimpinan pria berwibawa yang dicapai melalui kemampuan berdagang (bigman trade), dan kepemimpinan pria berwibawa yang dicapai melalui kemampuan berperang (big manwar), kedua kepemimpinan ondoafi (chief man), ketiga kepemimpinan campuran dan keempat kepemimpinan Raja. Kepemimpinan pria berwibawa berdasar kemampuan berdagang (big man trade) terdapat pada orang Me, orang Muyu dan orang Maybrat. Dalam penelitian ini hanya dilakukan penelitian pada orang Maybrat, karena keberadaan etnis ini merata dalam jumlah yang cukup besar disetiap kabupaten dan kota. Orang Maybrat yang dapat menjadi pemimpin politik adalah orang yang pandai berdagang, mempunyai kekayaan, kemampuan memimpin dan murah hati. Di dalam sistem kepemimpinan pada pemerintah Daerah Provinsi Papua banyak dari kalangan bobot menjadi pemimpin. Mengenai peran kepemimpinan pria berwibawa berdasarkan kemampuan berperang (big man war), dalam penelitian dilakukan pada suku Dani di daerah Jayawijaya dan sekitarnya. Sistem politik big man war muncul karena kelompok etnis tertentu mendu-
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 11 | NOMOR 2 | JUNI 2013
Peran Kelompok Etnis dalam Kepemimpinan pada Pemda Provinsi Papua
kung sistem ini sebagai fokus kebudayaannya, sehinga dimunculkanlah orang-orang tertentu yang memiliki keberanian untuk tampil sebagai pemimpin. Keberanian diwujudkan dalam bentuk membunuh orang pada saat berperang melawan musuh. Orang Dani tidak mengenal kepemimpinan yang bercirikan hirarkhis, birokratis dan pewarisan kekuasaan. Sejalan dengan banyaknya pemekaran kabupaten peran kepemimpinan big man war semakin nyata. Kepemimpinan yang kedua adalah kepemimpinan Ondoafi (chief man). Orang Papua mengenal sistem kekuasaan politik yang bersifat pewarisan yang dikenal dengan sistem kepemimpinan ondoafi. Kepemimpinan ondoafi meliputi 9 suku yaitu suku Skou, Arso, Waris, Ormu, Tobati, Sentani, Moi, Nimboran dan Muris, sekalipun penyebutan namanama kepala suku mereka bertbeda-beda di setiap daer ah. Kepemimpinan yang ketiga adalah kepemimpinan Raja. Peran kepemimpinan raja sudah hampir tidak ada, kecuali di Provinsi Papua Barat masih terdapat beberapa dari keturunan raja yang menjadi pemimpin dalam jabatan birokrasi pemerintah. Bupati, anggota DPRD dan pemimpin pada satuan kerja. Kepemimpinan yang keempat adalah kepemimpinan campuran. Kepemimpinan campuran terdapat di kawasan Teluk Cenderawasih, seperti di Biak, Yapen dan Waropen. Tipe yang bersifat campuran yaitu antara tipe kepemimpinan pria berwibawa, tipe kepemimpinan raja dan tipe kepemimpinan klen. Tipe kepemimpinan ini muncul dari individu-individu yang tampil sebagai pemimpin atas dasar kemampuannya sendiri, atau atas dasar keturunan. Tipe kepemimpinan pria berwibawa di Biak Numfor terdapat orang-orang yang tampil sebagai pemimpin politik karena berhasil memimpin perang. Pemimpin perang ini disebut Mambri atau panglima perang. Bentuk kepemimpinan lain melalui kepemimpinan berdagang yang dikenal dengan Manibob atau pertemanan. Baik Mambri maupun Nanibab mampu menarik banyak pengikut. Bentuk kepemimpinan yang berdasarkan warisan, sebagaimana raja atau klen pemimpinnya bisa disebut Manseren Mnu atau tuan tanah sebagai klen senior keturunan moyang pendiri kampung. Selain peran kepemimpinan tradisional, terdapat pula peran kepemimpinan dari etnis pendatang. Kelompok pendatang terlihat keberadaannya dalam
wadah ikatan, kerukunan dan paguyuban. Sebelum masa otonomi khusus peran kepemimpinan pendatang sangat dominan. Sejalan dengan menurunnya peran kepemimpinan pendatang, maka yang terlihat hanya perannya dalam memberikan dukungan politik disaat pelaksanaan pemilihan kepala daerah, karena jumlah pendatang cukup banyak sehingga dapat menjadi alat tawar yang kuat.
Peran Unsur Budaya lain Dalam unsur budaya lain akan dikedepankan tentang sikap seseorang dalam menerima perubahan yang memunculkan perilaku menyimpang, mata pencaharian, religi, hukum adat dan kesukuan. Perilaku menyimpang dari kelompok pemimpin atau elit Papua ditengarai muncul sejak 10 tahun terakhir. Lebih lanjut Mansoben (2009) mengatakan: ”Perilaku menyimpang terjadi pada suku-suku yang baru mengenal modernisasi, suku-suku ini masih memegang nilai-nilai, norma-norma adatnya. Pandangan terhadap referensi nilai yang baru dan nilai yang dianutnya menimbulkan persepsi yang berbeda, salah satu wujudnya antara lain perilaku menyimpang.” Tentang mata pencaharian dalam penelitian ini yang diteliti adalah tentang Tiatiki. Tiatiki adalah suatu proses konservasi kawasan pesisir yang tertutup bagi kegiatan penangkapan ikan dalam kurun waktu tertentu di kawasan Depapre Kabupaten Jayapura. Pemerintah Kabupaten Jayapura telah mengusulkan kepada DPRD agar Tiatiki dapat ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Terkait religi baik berupa ajaran agama yang sesuai dengan ajaran yang dianut masing-masing pemeluknya, maupun yang diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara adat mempunyai pengaruh yang cukup berperan pada pemimpin-pemimpin di Papua. Religi menjadi pusat pemersatu kehidupan masyarakat untuk mewujudkan rasa damai tenteram dan hidup penuh kasih. Setiap pemimpin di Papua harus siap berkontribusi dengan sejumlah dana untuk pembangunan tempat-tempat ibadah yang dianggarkan pada APBD dalam jumlah yang cukup besar. Hukum adat masih sangat kuat pengaruhnya di Papua, menyebabkan hukum positif tidak sepenuhnya dapat menyelesaikan persoalan penegakan hukum. Sujito, et al. (2009) menjelaskan, bahwa lemahnya
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
309
Tedjo Soeprapto
penegakan hukum merupakan salah satu faktor yang memiliki kontribusi terhadap rendahnya pelayanan publik dan munculnya krisis tata pemerintahan. Dalam terjadinya pelanggaran hukum termasuk kasus korupsi, penanganan terhadap pelanggaran tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan secara adat dengan menetapkan jumlah denda berupa uang. Kesalahan perorangan dapat menjadi kesalahan bersama atau kesalahan institusi sehingga pelaku tidak dipenjarakan. Krisis tata pemerintahan di Papua lebih diperparah lagi dengan munculnya fenomena maraknya pimpinan kesukuan yang kontradiktif dengan azas tata kelola sistem pemerintahan modern dan demokratis. Putra daerah makin menyempit pengertiannya dengan anak adat, yang sangat lekat dengan nuansa etnis lokal dari penduduk asli suku tertentu dan berdomisili pada daerah tertentu. Dalam pemekaran kabupaten baru mereka berlomba-lomba memperebutkan jabatan pimpinan-pimpinan di daerahnya masing-masing. Sujito, et al. (2009) menjelaskan dengan kapasitas pendidikan formal yang terbatas manakala telah menjadi pemimpin maka gaya kepemimpinan dalam struktur organisasi pemerintahan modern menjadi tidak proporsional dan profesional. Selanjutnya akan dibahas peran budaya kelompok terhadap kinerja kepemimpinan dan organisasi. Tentang kinerja kepemimpinan Mansoben (2009) mengatakan: ”Sebagai orang Papua saya menilai kinerja kepimpinan dan pegawai belum betul, belum optimal. Sebagian besar mereka masih membawa kebiasaankebiasaan dari kampungnya ketempat kerja.” Cukup kuatnya peran kesukuan dengan mempraktekkan kerja berdasarkan klik-klik, kelompokkelompok yang menggeser fungsi organisasi, sehingga pemimpin dan pegawai tidak bekerja sesuai dengan ketentuan. Hambatan kinerja organisasi yang dimaksud Griapon antara lain memunculkan pengelolaan organisasi yang tidak efisien. Kinerja pemimpin yang tidak memadai akan mempengaruhi kinerja organisasi.
ANALISIS DATA/PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN PROPOSISI Adapun 10 tema pokok yang dihasilkan dari penelitian yaitu: 1) Budaya Papua tidak dipahami, 2) 310
Tanpa pemahaman budaya muncul konflik, 3) Pemahaman budaya mendukung kebersamaan, 4) Kepemimpinan birokrasi dari pemimpin adat, 5) Pemimpin birokrasi pemerintahan hak setiap orang, 6) Raja sebagai simbol, 7) Pemimpin pendatangnn kurang diminati, 8) Peran budaya dalam menerima perubahan, 9) Sukuisme, mata pencaharian, religi, hukum adat dan 10) Kinerja kepemimpinan dan organisasi. Dalam pembahasan ke 10 tema tersebut akan dibagi ke dalam 3 sub bab pembahasan, selain membahas tema-tema dijelaskan pula kontribusi temuan, (kontribusi teori dan kontribusi praktis) dan keterbatasan penelitian dalam 1 sub bab: Budaya etnis Papua tidak dipahami. Tanpa pemahaman budaya muncul konfik dan adanya Pemahaman Budaya mendukung kebersaman.
Budaya Papua tidak dipahami Tidak dipahaminya budaya Papua antara lain sebagaimana yang ditulis oleh Flassy (2006) dalam buku ”Pembagian Wilayah Adat di Papua” dijelaskan bahwa telah terjadi penyamarataan atau penyeragaman budaya dengan membagi Papua menurut zona ekologi, yang sama sekali tidak mengindahkan ciri khas masyarakat Papua. Menurut peneliti patutlah diperhatikan bahwa mulai saat integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia telah terjadi benturan nilai-nilai budaya di Papua, yaitu antara budaya lokal dengan budaya pendatang. Cultural gap atau jurang budaya yang terjadi hampir 50 tahun lamanya, sejak Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara politik telah terintegrasi tetapi secara budaya belum terjadi integrasi secara kongkrit. Pertemuan berbagai budaya etnis pada organisasi Pemerintah Daerah Provinsi Papua tidak jauh berbeda dengan gambaran terjadinya bauran berbagai budaya etnis di Provinsi Papua. Berbagai kebijakan pemerintah banyak yang tidak sejalan dengan kondisi obyektif berdasarkan budaya lokal. Kebijakan dibidang pemerintahan antara lain terlihat dari struktur pemerintahan dari tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa yang langsung dilaksanakan sama dengan wilayah Indonesia lainnya, padahal di Papua dikenal adanya pemerintahan
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 11 | NOMOR 2 | JUNI 2013
Peran Kelompok Etnis dalam Kepemimpinan pada Pemda Provinsi Papua
setingkat Kepala Pemerintahan Setempat (KPS), Distrik dan kampung yang kental dengan nuansa pengelompokan budaya. Peneliti melihat pula kebijakan dibidang pendidikan, terlihat bahwa dari kurikulum, setelah dasar sampai sekolah menengah seluruh kurikulum dan buku-buku panduan dipakai buku yang didesign berdasarkan pendidikan di luar Papua, tanpa mempedulikan bahwa ada nilai-nilai budaya setempat yang akan mempermudahkan proses belajar mengajar seperti bahasa lokal, nama-nama lokal, penampakan lokal dan sebagainya. Demikian pula kebijakan dibidang hukum (law enforcment) tidak memberi ruang yang positif untuk mempertimbangkan beberapa hukum adat yang seharusnya diberlakukan. Pola pikir yang menurut pandangan orang luar lebih baik namun belum tentu sesuai dengan kultur lokal. Hubungan masyarakat yang begitu melekat dengan tanah dihadapkan kepada UndangUndang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, sulit untuk dipahami terkait dengan tanah sebagai hak ulayat mereka turun temurun. Banyak penguasaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah tanpa menghargai hak ulayat masyarakat yang di belakang hari menimbulkan masalah antara masyarakat dengan pemilik tanah yang bersertifikat.
Tanpa pemahaman budaya muncul konflik Kelalaian awal dalam kebijakan pembangunan di Papua adalah tidak melihat kepada potensi manusia Papua tetapi hanya melihat kepada potensi alamnya saja karena manusia Papua dianggap masih primitif, terbelakang dan tertinggal. Kesan yang sampai hari ini terus melekat di hati orang Papua. Secara perlahan muncul ketidakpuasan dari pejabat-pejabat orang Papua, tetapi mereka lebih banyak diam, sementara dari pejabat etnis pendatang seperti tidak ada sesuatu yang perlu dipersoalkan. Dalam masa Otonomi Khusus Mansoben (2009) mengatakan ”selama Otonomi Khusus berlangsung justru kesenjangan sosial antara pendatang dan masyarakat Papua semakin melebar yang berpotensi memunculkan konflik.
Pemahaman Budaya Mendukung Kebersamaan Belum dipahaminya budaya Papua bukan berarti tidak ada hal-hal positif yang dapat dikembangkan
terkait dengan pertemuan budaya. Peneliti melihat bahwa secara terbatas ditemui orang pendatang yang dapat memasuki lingkaran kehidupan budaya orang Papua. Etnis pendatang tidak boleh dalam posisi menilai saja, tapi harus bisa menikmati bersama situasi yang terjadi, sebab dalam nilai-nilai tradisional budaya Papua sekalipun akan tetap mampu menjamin dan mewujudkan suatu kualitas hidup yang lebih baik daripada orang yang mengaku dirinya sebagai orang modern. Bagi orang non Papua sebagai orang pendatang yang telah lama tinggal di Papua yang telah hidup dari generasi ke generasi, keberadaan mereka sudah terlebur ke dalam budaya lokal dan telah menyatu ke dalam lingkungan dimana mereka berinteraksi setiap harinya. Sekalipun jumlah pendatang yang memahami hudaya etnis Papua masih terbatas tetapi dengan suatu niat yang tulus dan baik, secara perlahan dan pasti, pemahaman budaya akan dapat diwujudkan yang pada gilirannya akan mendukung kebersamaan.
Kepemimpinan Birokrasi dari Pemimpin Adat, Pemimpin Birokrasi hak setiap orang, Raja hanya sebagai symbol dan Pemimpin pendatang kurang diminati Peran Kepemimpinan big man trade Dalam kepemimpinan Big Man Trade bagi mereka yang bukan dari kalangan bobot dan kemudian terpilih menjadi Pemimpin dalam kepemimpinan formal akan sulit mewujudkan kemampuannya dan sulit untuk mengatur masyarakatnya secara penuh bahkan akan dipertanyakan dari kelompok bobot mana sehingga yang bersangkutan bisa menjadi Kepala Daerah. Mereka yang bukan dari kelompok bobot dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk mengatur masyarakatnya. Untuk menjadi calon pemimpin di Maybrat sudah ada kreteria yang ditetapkan dan disepakati oleh komunitas adat yaitu calon harus dari kelompok bobot. Flassy mengatakan bahwa ”Orang kebanyakan yang duduk sebagai pemimpin dalam birokrasi pemerintah yang datangnya bukan dari unsur kepemimpinan adat, biasanya akan menyepelekan unsur disiplin, kerja seenak perut dan menjauhi kewajibaan-kewajiban untuk memberikan pelayanan”. Ketika mantan Gubernur Sollosa memimpin Papua kesempatan menjadi lebih terbuka bagi sumber
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
311
Tedjo Soeprapto
daya manusia asal Maybrat yang memang sudah siap memperoleh kesempatan untuk menduduki jabatanjabatan penting di berbagai posisi banyak dari mereka adalah dari bigman trade. Saat itu muncul idiom SOS (Semua Orang Sorong). Peneliti berpendapat banyaknya orang-orang dari Maybrat yang dikemudian hari duduk dalam kepemimpinan birokrasi antara lain dikarenakan sumber daya manusia mereka memang sudah dipersiapkan sejak awal secara terencana yang didukung rasa kebersamaan untuk maju.
Peran kepemimpinan big man war Belakangan ini pada sebagian masyarakat pegunungan banyak yang mengaku sebagai pemimpin yang menyatakan dirinya sebagai ”Kepala Suku”. Alua (2007) menyebut mereka sebagai kepemimpinan gaya baru, karena ada gejala kepemimpinan didapatkan dari warisan (ascribed status). Kenyataan ini membawa persoalan besar yang membingungkan banyak pihak terutama pemerintah dan etnis pendatang lainnya. Pemerintah sering berhadapan dengan kepala suku gaya baru ini yang biasa berkeliling kota membawa map berisi proposal permohonan bantuan dengan mengatasnamakan masyarakat. Big man war yang ada dalam kehidupan birokrasi pemerintah terlihat antara lain pada figur Bupati/ Wakil Bupati di daerah pegunungan tengah. Sebagian dari Bupati yang terpilih di pegunungan tengah lahir dari persaingan yang ketat dari pemimpin-pemimpin tradisional baru yang cukup terdidik. Merekalah big man baru masa kini yang berpindah peran dari medan tradisional ke medan birokrat modern untuk perwujudan eksistensi dirinya. Peran big man war ini terlihat pula dalam persaingan memasuki pemilihan umum Kepala Daerah untuk Gubernur Provinsi Papua tahun 2012, sedikitnya ada enam big man war yang menjabat sebagai Pimpinan Daerah (Wakil Gubernur dan Bupati) dari Pegunungan Tengah yang siap maju untuk ikut pemilihan.
Peran Kepemimpinan Ondoafi Sejauhmana hubungan kepemimpinan adat (Ondoafi) berperan dalam kepemimpinan birokrasi pemerintah dapat dilihat dalam tiga jenis hubungan berdasarkan kuat lemahnya interaksi setiap kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang masih memegang hubungan interaksi yang cukup kuat antara 312
sistem birokrasi komunitas adat dengan kehidupan birokrasi pemerintah. Kelompok ini muncul antara tahun 1963 sampai dengan tahun 1970. Hubungan mereka dengan komunitas adatnya masih sangat kuat dan setiap fungsi yang berlaku dalam kehidupan asli masih dijalankan setiap hari bersamaan dengan peran dan fungsi dalam birokrasi pemerintah. Kelompok kedua adalah kelompok yang tidak tinggal dalam komunitas adatnya dan tidak dipengaruhi langsung oleh lingkungan komunitas adat mereka, tetapi fungsi adat tetap melekat berdasarkan keturunan. Generasi kedua ini muncul dari tahun 70–an. merupakan generasi urban yang sudah keluar dari komunitasnya. Kelompok kedua ini kurang begitu terikat kepada kelompok adatnya dan tidak begitu terikat pula kepada birokrasi pemerintah, namun demikian kelompok ini cukup terbuka untuk menawarkan alternatif-alternatif perubahan. Salah seorang dari kelompok generasi kedua penganut Chiefman adalah Bas Suebu yang sekarang menjadi Gubernur Papua. Kelompok ketiga adalah mereka yang tinggal di Jayapura dan sudah membaur dengan etnis lainnya. Mereka adalah generasi yang sudah terputus hubungannya dengan jabatan-jabatan struktural dan fungsional di dalam komunitas adatnya sehingga tidak banyak berperan dalam kepemimpinan formal. Mereka dari kelompok pertama, kedua maupun kelompok ketiga, apabila mereka seorang ondoafi atau keturunannya masuk ke dalam birokrasi pemerintah dan menjadi pegawai biasa akan sangat bertentangan dengan latar budaya mereka, karena dalam komunitas adat mereka adalah seorang pemimpin, tetapi dalam birokrasi menjadi bawahan. Dalam dirinya akan terjadi konflik batin.
Peran Kepemimpinan Raja Sekalipun peran kepemimpinan raja tidak berpengaruh banyak kedalam kepemimpinan birokrasi, namun setidaknya ada 4 (empat) pranata dari kekuasan raja-raja yang masih dipakai untuk mengatur masyarakat. Keempat pranata tersebut yaitu mitologi, kekerabatan, ekonomi dan agama (Mansoben, 1995). Menurut peneliti keempat pranata tersebut masih dipakai pula oleh pimpinan birokrasi saat ini, karena masyarakat menginginkan adanya hubungan kedekatan dengan pemimpinnya.
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 11 | NOMOR 2 | JUNI 2013
Peran Kelompok Etnis dalam Kepemimpinan pada Pemda Provinsi Papua
Peran Kepemimpinan Pendatang Etnis pendatang di masa awal integrasi dan berlanjut sampai dengan masa menjelang Otonomi Khusus banyak yang kurang disukai oleh etnis Papua dan mendesak kepada Gubernur, Bupati atau Walikota untuk mengganti mereka dengan etnis Papua. Rasa tidak senang muncul karena ada kebijakan sebelumnya yang tidak berpihak kepada orang Papua. Diantara orang pendatang ada yang sudah membaur dengan orang Papua dan terdapat keterbukaan satu sama lain dalam kebersamaan tugasnya seharihari. Menghargai budaya etnis Papua menjadi kunci penting dalam hubungan pergaulan dari hati ke hati yang harus dilakukan oleh orang pendatang.
Peran Budaya dalam menerima perubahan, Peran budaya lainnya (mata pencaharian, religi, hukum adat, sukuisme) Peran budaya dalam kinerja pemimpin Peran Budaya dalam menerima perubahan Peran budaya dalam menerima perubahan antara lain munculnya perilaku menyimpang. Perbuatan tidak disiplin dan korupsi adalah wujud dari perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang merupakan tindakantindakan yang tidak selaras dengan ketentuan, nilainilai dan norma dalam sistem pemerintahan modern, juga bertentangan dengan janji dan sumpah saat mereka dilantik. Dari sudut pandang masyarakat apa yang dilakukan sang pemimpin dengan memberikan bantuan justru merupakan sesuatu yang baik sangat diharapkan oleh masyarakat, karena itulah sebenarnya yang diharapkan masyarakat dengan dipilih atau tampilnya seseorang menjadi pemimpin. Tindakan memberikan bantuan kepada masyarakat merupakan kewajiban sebagai perwujudan pemimpin yang sejati karena dalam pemahaman budaya kepemimpinan salah satu prasyarat yang diperlukan adalah memiliki sifat mampu memberikan bantuan. Beberapa kasus korupsi di Papua diakibatkan antara lain karena perilaku menyimpang. Pandangan-pandangan masyarakat Papua yang memiliki pengalaman sejarah peradaban yang belum lama bersinggungan dengan budaya modern, mereka masih menggunakan nilai dan norma adatnya sebagai pedoman berperilaku meskipun mereka hidup pada
zaman sekarang. Inilah paradoks Papua yang tidak bisa kita langsung menilai sebagai hal yang salah.
Peran Budaya Lainnya (Mata Pencahariaan, Religi, Hukum Adat dan Sukuisme) Mata Pencaharian Dalam penelitian ini dibahas tentang Tiatiki sebagai salah satu mata pencaharian. Tiatiki sebagai konservasi kawasan pesisir untuk pemeliharaan ikan dalam kurun waktu tertentu telah memberikan inspirasi budaya tersendiri sehingga perlu dipahami dalam penyelenggaraan pemerintahan dan perlu diperhatikan dalam berbagai kegiatan pembangunan. Bagi Kabupaten Jayapura untuk pelestarian melalui Tiatiki ini sejumlah satuan kerja menganggarkan dalam program kerjanya. Bukan hanya Tiatiki di kabupaten Jayapura, di daerah lain seperti di Lembah Balim dan di kabupaten Merauke terdapat kawasan hutan dan dusun-dusun sagu milik adat dari suku tertentu dimana pemerintah bukan hanya harus ikut bertanggung jawab untuk kelestariannya, tetapi pemerintah juga diminta untuk melindungi kawasan itu dari kemungkinan dijarah atau dimanfaatkan oleh suku lain. Pada akhir-akhir ini gerakan migrasi suku-suku berbeda wilayah ulayat yang telah memasuki suku lainnya menjadi masalah serius pemimpin pemerintah di daerah antara lain untuk mengatasi konflik yang mengklaim wilayah adatnya.
Religi Respon dari pemerintah terhadap sistem religi akan lebih menciptakan suasana yang kondusif di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat lebih mudah untuk diajak berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan yang bermuara pada rasa aman, namun sebaliknya tidak adanya perhatian terhadap kegiatan yang bernuansa religi akan muncul sejumlah masalah berupa ketidakpercayaan kepada pemerintah. Pemimpin di Papua sangat terkait perannya dengan keagamaan, sebab karir mereka antara lain didukung juga oleh aktivitas dan partisipasinya yang memungkinkan adanya dukungan dari tokoh-tokoh agama. Peran agama sangat kuat dalam kepemimpinan birokrasi pemerintah terlebih dahulu menyelesaikan, konflik yang sering terjadi Papua.
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
313
Tedjo Soeprapto
Hukum Adat Dipilihnya hukum adat daripada hukum positif dalam penyelesaian penanganan pelanggaran antara lain terkait faktor kebutuhan warga akan sejumlah dana maupun benda. Bila persoalan diselesaikan melalui hukum adat masyarakat akan mendapat ganti rugi dan bagi pelaku pengenaan hukum adat atas pelanggaran yang dilakukannya hukuman atau sanksinya lebih ringan dari hukum positif dan tidak dikenakan penahanan. Dalam banyak kasus sanksi dari hukum adat tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga pelaku tidak merasa takut untuk mengulangi perbuatannya. Banyak kasus di Papua yang melibatkan pejabat-pejabat dapat diselesaikan secara membayar, sehingga masyarakat tidak perlu melaporkan kepada institusi resmi seperti BPK, BPKP maupun KPK. Para pemimpin daerah pun tidak bisa menolak hukum adat ini, manakala pejabat bawahannya melakukan kesalahan dan masyarakat menuntut secara adat. Sekalipun demikian beberapa kasus yang telah diselesaikan secara adat ada juga yang masuk keranah hukum positif.
Sukuisme Munculnya fenomena pemimpin kesukuan yang kontradiktif dengan asas tata kelola pemerintahan modern mengakibatkan pemerintahan tidak dikelola secara profesional. Dalam prakteknya terdapat gaya kepemimpinan pada birokrasi pemerintahan oleh putera-putera daerah yang sama sekali tidak meninggalkan bentuk kepemimpinan yang selama ini ada dalam lingkungan adatnya. Kekuasaan yang dipegang bersifat otonom, dalam banyak hal tugas tidak terdistribusi melalui hirarkhi organisasi yang sudah ada, sehingga birokrasi menjadi tidak berfungsi. Keputusan yang dibuat lebih banyak yang bersifat top down tidak banyak melibatkan staf dan pembantu-pembantunya melalui sistem dan mekanisme yang seharusnya. Dengan pengaruh kepemimpinan seperti ini maka selalu ada upaya untuk menggoyang kedudukan seorang pemimpin yang sedang berkuasa melalui isuisu dan opini-opini negatif yang dilakukan oleh etnis yang berbeda. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan kita bisa melihat bahwa pemekaran beberapa kabupaten baru begitu kental diwarnai oleh pengkotakan etnis dari suku-suku tertentu pada wilayah tertentu 314
yang tidak puas dengan kepemimpinan Kepala Daerahnya.
Peran Budaya dalam kinerja kepemimpinan Perilaku pemimpin dalam organisasi agar dapat mendorong kinerja organisasi menjadi lebih baik antara lain dipengaruhi pula olah latar belakang pemimpin dari setiap etnis yang ada dalam suatu organisasi. Kita melihat orang Papua dari suku-suku yang bermata pencaharian sebagai peramu, lingkungan ditempat mereka hidup selalu dengan ramah menyediakan kebutuhan sehari-hari secara cukup. Oleh sebab itu pandangannya tentang suatu pekerjaan bukanlah menjadi kewajiban yang penting yang harus sibuk untuk menyelesaikannya.Etnis Papua pada umumnya kurang menyukai bekerja berlama-lama di kantor, tanpa suatu tugas yang jelas dan hasil yang nyata yang bisa diperoleh pada hari itu juga. Demikian juga dengan rapat-rapat, pertemuan, seminar-seminar yang memakan waktu lama, maka tidak jarang dari mereka meninggalkan pertemuan itu saat istirahat makan siang dan tidak kembali lagi untuk melanjutkan acara, hal seperti ini sering dianggap sebagai perilaku yang negatif. Kinerja, pemimpin dalam satuan kerja Pemerintah Daerah Provinsi Papua terlihat dari tampilan birokrasi yang bekerja secara tidak efisien. Akibat negatif dari cara kerja yang tidak efisien dalam aktivitas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak berjalan dengan maksimal dan tersendat. Fenomena rendahnya etos kerja birokrasi ini terlihat dalam sikap bekerja, dengan datang ke kantor sering terlambat kerja tanpa inisiatif dan menunggu diperintah, banyak pegawai yang menghindar dari pekerjaannya, kurang inisiatif mengembangkan kualitas diri dan profesionalisme berkait dengan tugasnya. Proposisi: Dari Analisa pada bab V, dimunculkan proposisi sebagai berikut: • ”Semakin peduli terhadap etnis Papua dan memahami budayanya, maka kebersamaan dan kesatuan dapat diwujudkan”. • ”Semakin kuat peran pemimpin tradisional ke dalam kepemimpinan formal, maka pelaksanaan tugas menjadi tidak efektif dan efisien”. • ”Semakin pemimpin tidak memahami tugas dan tidak menghargai budaya masyarakat lingkungan
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 11 | NOMOR 2 | JUNI 2013
Peran Kelompok Etnis dalam Kepemimpinan pada Pemda Provinsi Papua
maka muncul perilaku menyimpang dan manajemen organisasi tidak berjalan baik.
•
Poposisi Mayor: ”Jika pemimpin mentaati peraturan organisasi memperhatikan budaya kelompok etnis,maka tata kelola manajemen organisasi dapat berjalan efektif dan efisien.”
Saran •
Kontribusi Penelitian •
•
•
Kontribusi Teori Memberikan sumbangan untuk pengembangan teori kepemimpinan yang masuk pada grand theory Perilaku Organisasi, secara spesifik penelitian ini dalam teori kepemimpinan untuk lebih mendorong seorang pemimpin agar mampu menggerakkan organisasi, memotivasi pegawai untuk mendorong tercapainya tujuan organisasi. Kontribusi Praktis. Pentingnya kesadaran terhadap keberadaan masyarakat dan budayanya yang berada dalam lingkungan dan di sekitar organisasi, dan pentingnya pemahaman terhadap tugas sehingga perencanan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan dapat lebih fokus dan mencapai sasaran secara efektif dan efisien. Keterbatasan Penelitian. Kesibukan informan yang mempunyai banyak tugas dan sering tidak berada ditempat sehingga jawaban keluar dari konteks pertanyaan. Selain itu peneliti dianggap sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
Saran Penelitain selanjutnya Perlu dibentuk tim kecil yang dapat mendiskusikan secara lebih terbuka kepada informan sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih maksimal.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan • •
Pertemuan etnis pendatang dengan etnis Papua tidak berlangsung kondusif. Implementasi Otonomi Khusus tidak berjalan dengan baik, nilai-nilai dasar budaya Papua tidak dikedepankan.
Pemekaran wilayah berlangsung cepat, tidak diimbangi kesiapan sumber daya kepemimpinan, sehingga memunculkan peran-peran budaya etnis dalam kepemimpinan birokrasi pemerintah, yang tidak efektif dan efisien.
•
•
•
•
Perlu kesadaran untuk saling memahami dan menghargai berbagai budaya yang ada di Papua, melalui dialog, diskusi dan komunikasi yang lebih baik. Otonomi Khusus harus menjadi acuan setiap pemimpin di Papua. Nilai-nilai positif budaya etnis Papua dapat diangkat dalam Peraturan Daerah Khusus. Mempersiapkan kader-kader pemimpin melalui pendidikan formal, pendidikan penjenjangan dan sementara memakai konsultan dan pendamping dari luar untuk tugas-tugas teknis yang diperlukan, Pemimpin hendaknya dapat mempertimbangkan budaya dan perlu banyak belajar keluar. Papua memerlukan pemimpin dengan gaya pada teori sifat, yaitu pemimpin yang mempunyai sifatsifat positip yang dapat membawa visi dan misi organisasi. Secara rutin perlu diadakan diskusi terbuka pada level pimpinan untuk membahas topik-topik yang terkait dengan peran kepemimpinan.
DAFTAR RUJUKAN Alua, A.A. 2008. Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua, Biro Penelitian STFT, Jayapura. Ambar, T.S. 2008, Kepemimpinan Profesional. Yogyakarta: Penerbit Gaya Media. Boelaars, J. 1984. Sistem Nilai-nilai Budaya Berbagai Suku di Irian Jaya dalam Kaitannya dengan Pembangunan, Seminar PWI Pusat, Jakarta. Erary, K.P. 2006, Yubelium dan Pembebasan Menuju Papua Baru. Jakarta: Aksara Kurnia. Giay, B. 1996, Budaya dan Pembangunan Irian Jaya, Deyai Jayapura. Flassy, D.F. 2008, Pembagian Wilayah Adat di Papua, BIKDA Provinsi Papua. Milles, M.B., and Huberman, A.M. 1984. QualitativeData Analysis, 2nd Edition Beverly Hill, Sage Publication. Mansoben, J.R. 1995, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, Kerja sama LIPI dan Leiden University.
TERAKREDITASI SK DIRJEN DIKTI NO. 66b/DIKTI/KEP/2011
ISSN: 1693-5241
315
Tedjo Soeprapto
Mansoben, J.R. 2009. Membenagun Karakter Bangsa dan Prespektif Papua. Jakartra: Rajawali Pers. Sim, J., and Cahlil. 1988. Respect for Autonomy Issues in Erological Rehabilitation Clinical RFehabilitation 12(1) 3-10. Solossa, Yacobus, P. 2006. Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua dalam NKRI. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan
316
Sujito, Arie, dkk. 2009, Meretas Jalan Perdamaian di Tanah Papua. Yogyakarta: IRE. Van Den Broek, Theo. 1984. Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing yang Efektif ditinjau dari Aspek Pendekatan Sosial Budaya. Jakarta: Seminar PWI Pusat.
JURNAL APLIKASI Nama Orang MANAJEMEN | VOLUME 11 | NOMOR 2 | JUNI 2013