9
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.1 Penyidikan merupakan suatu tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan yang dimaksud dengan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang terbagi menjadi Pejabat penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu, serta Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang.2 Namun, dalam hal tertentu jaksa juga memiliki kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara / tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi.3 Selain itu berdasarkan Undang-Undang No.
1
Indonesia (a) ,Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981, LN. No.76 Tahun !981, TLN No. 3209, pasal 1 angka 2. 2
Ibid., pasal 1 angka 1 jo. Pasal 6 jo. pasal 10 Ibid., pasal 284 ayat (2) jo. Indonesia (b) , Undang-Undang Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004, LN. No. 67 Tahun 2004, TLN No. 4401, pasal 30 3
Universitas Sumatera Utara
10
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) disebutkan bahwa penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.4 Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah dilakukan proses penyelidikan pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertian penyelidikan adalah sebagai berikut : Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.5
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “ mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang
ayat (1), huruf d. Dalam penjelasan UU. No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan bahwa undang-undang tersebut mengatur dan menyempurnakan kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, hal ini dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dan UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4
Indonesia ( c ) , Undang-Undang Nomor 30 Tentang Komisi Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 LN. No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250 pasal 45. ( Selanjutnya Penulis akan menyebut dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK) 5
Indonesia (a), op. cit., pasal 1 angka 5.
Universitas Sumatera Utara
11
dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana.6 Sedangkan pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya (penyelidikan dan penyidikan), hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.7 Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Namun bagaimana halnya bila penyidikan berhenti ditengah jalan? Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Pasal 19 ayat (2) KUHAP menyatakan:8 Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut: 6
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan ( Edisi Kedua), ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal 101. 7
Ibid., hal 109.
8
Indonesia (a), Op. cit., pasal 109 ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
12
1. Karena tidak terdapat cukup bukti; 2. Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; 3. Penyidikan dihentikan demi hukum. Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat perintah Penghentian Penyidikan (SP3).9 Pemberian SP3 yang akan dibahas dalam penelitian ini bukanlah
pemberian
SP3
terhadap
tindak
pidana
biasa/umum,
seperti
pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya, melainkan hanyalah dikhususkan pada pemberian SP3 terhadap tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang dalam beberapa waktu belakangan ini mengundang kontroversi dan perdebatan serta menciptakan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja dan citra aparat penegak hukum, khususnya penyidik tindak pidana korupsi yang seringkali mengeluarkan SP3.10 Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak 9
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktis dan Permasalahannya,(Bandung: P.T. Alumni, 2007), hal 54. (Selanjutnya Penulis akan menyebut Surat Perintah Penghentian Penyidikan dengan SP3). 10
Tindak pidana Korupsi digolongkan oleh para ahli hukum sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa dikarenakan bukan hanya menyebabkan kerugian pada keuangan Negara dan menyengsarakan rakyat banyak, namun juga merusak moral dan karakter bangsa serta sendisendi kehidupan nasional. Oleh karena itu tindak pidana korupsi membutuhkan penanganan yang luar biasa pula.
Universitas Sumatera Utara
13
pidana korupsi yang terjadi di negara ini. Di mata masyarakat yang mengehendaki agar pelaku tindak pidana korupsi diproses secara hukum dan dikenai hukuman yang seadil-adilnya, pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang merusak harapan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.11 Dari ketiga alasan penghentian penyidikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang telah disebutkan diatas, alasan pertama yaitu karena tidak terdapat cukup bukti merupakan alasan yang paling sering digunakan oleh penyidik tindak pidana korupsi.12 Hal ini Penulis amati dari berbagai contoh perkara korupsi yang terjadi, di mana dilakukan penghentian penyidikan oleh penyidik dalam beberapa perkara tindak pidana korupsi yang dapat dikatakan besar.13 Berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga saat ini, tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah. Data tersebut diperoleh berdasarkan laporan media massa yang berhasil dihimpun selama 5 (lima) tahun terakhir ( 1999-2005). Pihak Kejaksaan selaku institusi yang melakukan penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi yang menerima SP3.14
11
Emerson Yuntho, “ Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi ”, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11608&cl=Kolom, diakses pada Jumat, 20 Agustus 2010, pukul 15:10:21 WIB 12
Ibid.
13
Ibid. (Yang dimaksud penulis dengan perkara korupsi besar adalah perkara korupsi yang cukup besar menarik perhatian masyarakat, baik dari segi jumlah maupun tersangkanya antara lain Perkara Dugaan Korupsi Technical Assistance Contract (TAC), Dugaan Korupsi Dana BLBI, dan Dugaan Korupsi Jamsostek). 14
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
14
Terdapat suatu kejanggalan apabila kita menilik kembali ke tahapan awal dari proses pemeriksaan suatu perkara pidana kemudian menghubungkannya dengan alasan dikeluarkannya SP3. Pnyelidikan merupakan suatu tindakan penyelidik yang bertujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindakan lanjutan penyidikan. Sehingga dengan adanya tahapan penyelidikan diharapkan tumbuh sikap hati-hati rasa tanggung jawab hukum yang bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak asasi yang merendahkan harkat dan martabat manusia.15 Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.16 Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap penyidikan , karena itu dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Hal ini tentu saja bertujuan untuk menjaga kredibilitas dan kewibawaan dari aparat penegak hukum itu sendiri agar tidak dinilai tergesa-gesa dalam melakukan rangkaian pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana. 15
M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 102
16
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
15
Dari berbagai contoh kasus yang ada, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa kasus tindak pidana korupsi yang dalam pemeriksaan di tahap penyidikan kemudian diterbitkan SP3 oleh penyidik yang adalah pihak kejaksaan dengan alasan yang dinilai kurang transparan dan tidak jelas. Dengan demikian yang menjadi persoalan adalah pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap perkara tindak pidana korupsi dimana dasar pemberian SP3 itu dinilai kurang transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku.17 Berbeda dengan Kejaksaan dan POLRI sebagai penyidik suatu tindak pidana, lembaga Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan sebuah institusi atau lembaga negara yang dibentuk dari Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan SP3 dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi, ” Komisi pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”18 Pernyataan dalam pasal tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yang pertama ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi. Sekilas, ketentuan dalam pasal tersebut tentu saja dinilai mengebiri hak asasi tersangka yang juga merupakan
17
Emerson Yuntho, Op. cit.
18
Indonesia (c), Op. cit., pasal 40.
Universitas Sumatera Utara
16
warga negara, sebab tanpa adanya SP3 , maka seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK seolah-olah tidak lagi memiliki kemungkinan untuk dipulihkan kehormatan dan martabatnya, padahal filosofi adanya SP3 adalah sebagai sebuah mekanisme koreksi dan instrumen untuk memulihkan martabat tersangka bila penyidik ternyata tidak memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat penuntutan. Maka tanpa adanya mekanisme SP3, KPK akan memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke level yang lebih tinggi yaitu penuntutan dan pengadilan.19 Adanya Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK ini juga berarti seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi, maka bagaimanapun juga kasusnya harus sampai ke pengadilan. Orang-orang KPK membenarkan hal ini dengan alasan untuk mencegah KPK menangkap orang secara sembarangan. Kalau benar seperti itu,maka maksud tersebut sungguh mulia sekali. Akan tetapi selain itu masih ada pembenaran lain yang tidak kalah mulianya, yaitu asas praduga tidak bersalah. Makna asas ini yang boleh menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak adalah pengadilan. Sebelum pengadilan memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak, bukanlah satu atau dua orang penyidik KPK yang penguasaan hukumnya sekuat majelis hakim. Dengan tidak dimilikinya wewenang pemberian SP3 itu oleh KPK, maka timbulah diskriminasi hukum terhadap warga negara. Disamping itu, terjadilah pula dualisme dalam sistem peradilan. Dalam hal ini, apabila ada dua orang yang disangka melakukan korupsi, maka mereka diadili dengan undang-
19
Suripto. “Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review)”www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/risalah_sidang_Perkara%20012.%20PUUIV.2006.pdf, diakses pada Senin, 23 Agustus 2010, pukul 16:25:09 WIB.
Universitas Sumatera Utara
17
undang yang sama, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Tetapi lembaga yang mengadilinya berbeda. Yang satu diadili oleh Peradilan Umum, sedangkan yang lain diadili oleh Pengadilan Tipikor. Tersangka yang diadili oleh Peradilan Umum dapat menikmati SP3, wujudnya adalah si tersangka bisa tidak ditahan. Kalau sudah ditahan pun masih mungkin dikenakan tahanan luar. Akan tetapi tersangka yang diadaili oleh pengadilan Tipikor, tidak akan diberikan SP3, sekaipun dia belum terbukti bersalah. Apakah UUD 1945 membolehkan negara melakukan diskriminasi terhadap warga negara? Jawabannya terang benderang ’tidak boleh’. Hal ini tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Begitu juga dengan Pasal 28 I ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.20 Akan tetapi berbeda halnya jika kita melihat dari sudut pandang lain, yaitu dari susut pandang latar belakang dibentuknya KPK yang berperan sebagai salah satu tonggak penegakan hukum dinegara Indonesia dalam usaha pemberantasan korupsi. Undang-Undang telah menggariskan KPK untuk selalu berada di luar cara-cara konvensional penegakan hukum karena tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang sering disebut dengan extra ordinary crime, dan oleh karena itulah dibutuhkan cara-cara khusus pula untuk
20
Indonesia., Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
Universitas Sumatera Utara
18
mengananinya.21 Hal ini tercermin dalam wewenang yang dimiliki KPK yang berada diluar sistem hukum material dan formal undang-undang hukum pidana yang konvensional. Contoh tindakan yang tergolong non-konvensional adalah penyadapan atau merekam pembicaraan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak yang merasa dirugikan oleh penerapan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ini, diantaranya mengajukan judicial review atau pengujian materil mengenai klausula apakah undang-undang tersebut bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain terpidana kasus korupsi Prof. Nazaruddin Syamsudin untuk perkara No. 016/PUU-IV/2006, serta Mulyana W. Kusumah dan Captain Tarcisius Walla untuk perkara No.012 dan 019/PUUIV/2006. Para pihak yang mengajukan judicial review tersebut berpendapat bahwa dengan adanya beberapa pengaturan kewenangan yang dimiliki KPK, seperti Pasal 40 dan Pasal 12 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, terhadap masalah ini juga pernah diajukan judicial review oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), namun MK menolak permohonan tersebut karena berpendirian bahwa pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Justru keberadaan pasal itu
21
Suara Pembaharuan, “Jadikan Korupsi Extra Ordinary Crime” http://www.prakarsarakyat.org./artikel/fokus/artikel.php?aid=29687, diakses pada Rabu 25 Agustus 2010, pukul 21: 20.31
Universitas Sumatera Utara
19
untuk menegakkan pesan konstitusi yaitu memberantas korupsi.22 Oleh karena itu, semuanya dikembalikan pada landasan sosiologis, yuridis dan filosofis undang-undang korupsi dan KPK itu sendiri yang berusaha mewujudkan clean government
dan tegaknya keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan
menyimpang.23 Dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Maka berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas, Penulis bermaksud menulis skripsi dengan judul ”ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS JUDICIAL REVIEW PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”
B. Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka disusun pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
22
Hukum Online, “UU KPK Terus Dipermasalahkan ke Mahkamah Konstitusi” http://www.hukumonline.com/detail/asp?id=15267&cl=Berita, diakses pada Jumat,27 Agustus 2010, pukul 21:45:09 WIB. 23
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
20
1. Bagaimana kewenangan Penyidik mengeluarkan SP3 pada perkara tindak pidana korupsi ? 2. Apakah latar belakang penetapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ? 3. Bagaimana penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan
yang hendak dicapai di dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui kewenangan penyidik dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara tindak pidana korupsi. 2. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang dalam penetapan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. 3. Untuk mengetahui penerapan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
21
C.2
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini terbagi atas dua yaitu secara teoritis
dan secara praktis, yaitu : 1. Secara Teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi, kontribusi pemikiran
dan
menambah
pengetahuan
pembaca
dalam
bidang
pengetahuan ilmu hukum pidana pada umumnya dan tentang kewenangan penyidik dalam mengeluarkan SP3 pada tindak pidana korupsi khususnya. Sehingga skripsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dan menjadi kajian ilmiah bagi para para mahasiswa hukum maupun praktisi hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia. 2. Secara Praktis a. Sebagai
pedoman
kewenangannya
dan
masukan
mengeluarkan
Surat
bagi
Penyidik
Perintah
dalam
Penghentian
Penyidikan (SP3) terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi dan dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. b. Sebagai
informasi
bagi
masyarakat
terhadap
akibat
dan
keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
22
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penulusuran studi literature dan bahan-bahan kepustakaan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini. Judul – judul yang ada tentang korupsi tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi yaitu tentang “Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (Tinjauan Pasal 40 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)” oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah. Bila ternyata terdapat judul dan penambahan yang sama dengan skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka Penulis bertanggung jawab sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan Pada penelitian ini dalam membahas permasalahannya akan diberikan batasan-batasan pengertian atau istilah. Pembatasan tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya multi tafsir maupun kerancuan definisi dan diharapkan akan dapat membantu dalam menjawab pokok permasalahan usulan penelitian ini. Beberapa pembatasan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
Universitas Sumatera Utara
23
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.24 2. Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.25 3. Penyidik Penyidik adalah pejabat polisi negara republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.26 Menurut
penjelasan Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan pada tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu berdasarkan pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK
dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi
merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi. Jadi dalam penelitian ini, penyidik adalah POLRI, Kejaksaan, dan KPK.
24
Indonesia, (a), Op. cit., pasal 1 angka 5
25
Ibid., pasal 1 angka 2
26
Ibid., pasal 1 angka 1
Universitas Sumatera Utara
24
4. Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi yang sebagaimana dimaksudkan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi, pasal 2-pasal 20 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.27 5. Penghentian Penyidikan Meskipun KUHAP tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan penghentian penghentian
penyidikan,
namun
penyidikan
dapat
merupkan
dirumuskan tindakan
bahwa penyidik
menghentikan penyidikan dengan berdasar pada alasan-alasan sebagai berikut :28 1) Tidak terdapat cukup bukti 2) Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana 3) Penyidikan dihentikan demi hukum 6. Surat Perintah Penghentian Penyidikan ( SP3 ) Surat Perintah Penghentian penyidikan adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh Penyidik sebagai bukti telah dihentikannya penyidikan suatu tindak pidana. 7. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
27
Lilik Mulyadi, Op. cit., hal. 79.
28
Indonesia (a), Op. cit., pasal 109 ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
25
KPK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UndangUndang No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun sehingga pembentukan komisi itu bertujaun meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.29 8. Extra Ordinary Crime Istilah extra ordinary crime berarti kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan yang laur biasa pula. Istilah ini muncul untuk menggambarkan kejahatan terhadap hak asasi manusia, seperti genosida. Karena tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu
meluas
dalam
masyarakat,
perkembangannya
terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi, kerugian keuangan negara, dan kualitas tindak pidananya, maka tindak pidana korupsi dapat diigolongkan sebagai extra ordinary crime.30 Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu
29
30
Indonesia (c), Op. cit., pasal 3.
Abdul Rahman www.arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Pinyuh&id=129619, Agustus 2010, pukul 20:19:08 WIB.
Saleh, diakses Sabtu, 28
Universitas Sumatera Utara
26
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.31
F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan ( library research) yang bersifat yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang yang terdapat dalam pearturan perundang-undangan, yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.32 Norma hukum yang menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur mengenai proses
pemeriksaan
perkara
pidana
miulai
dari
penyelidikan
hiingga
dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Selain itu juga digunakan norma hukum lain yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi serta undang-undang dan peraturan lainyang mengatur mengenai masalah kewenangan penyidik dalam proses penghentian penyidikan. Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini berasal dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.33 Bahan hukum primer adalah bahanbahan hukum yang mengikat sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer 31
Indonesia (d), Undang-Undang Tentang Perubahan Atasa Undang-Undang No. 31 athun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , UU No. 20 , LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150, konsiderans (a). 32
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta. 1979), hal 18. 33 Ibid., hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
27
dari seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah kewenangan penyidik dalam mengeluarkan SP3 serta kewenangan khusus yang dimiliki oleh KPK. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder yang diperoleh berasal dari buku, jurnal, artikel, skripsi, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum. Selain itu, untuk bahan hukum tertier digunakan ensiklopedia dan kamus hukum (black laws dictionary). Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data dan bahan bagi penelitian ini adalah bersifat empiris yuridis. Oleh karena itu, dengan perkataan lain penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan penelitian ini. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh data sekunder adaalh dengan wawancara narasumber, penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka, serta media elektronik (internet). Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasarkan sumbersumber hukum serta doktrin yang ada bukan dari segi kuantitas kesamaan data yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan penjelasan mengenai proses penyidikan, penghentian penyidikan oleh penyidik, serta pemaparan yang jelas mengenai ketentuan yang mengatur bahwa KPK tidak
Universitas Sumatera Utara
28
berwenang
mengeluarkan
SP3.
Kemudian
dianalisis
untuk
menemukan
permasalahan hukumnya serta jawaban dari permasalahan tesebut.
G. Sistematika Penulisan Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima Bab dengan beberapa sub-bab, dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut: BAB 1
:
PENDAHULUAN Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat
penelitian,
keaslian
penelitian,
tinjauan
kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB 2
:
KEWENANGAN
PENYIDIK
MENGELUARKAN
SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam bab ini akan diuraikan secara teoritis mengenai pengertian tindak pidana korupsi, peraturan perundangundangan mengenai korupsi setelah era reformasi yang berlaku di Indonesia berdasarkan undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang KPK, sejarah singkat, tugas dan kewenangan KPK, khususnya dalam proses penyidikan, proses pemeriksaan perkara dari mulai penyelidikan, penyidikan,alasan-alasan yang menjadi dasar penerbitan
Universitas Sumatera Utara
29
SP3 tersebut, serta instansi yang berwenang dan tidak berwenang mengeluarkan SP3. BAB 3
:
LATAR
BELAKANG
TERHADAP
PENETAPAN
PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam bab ini Penulis akan menguraikan mengenai Judicial Review terhadap Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK serta analisis hukumnya dan latar belakang penetapan pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK BAB 4
:
PENERAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN
2002
TENTANG
KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Bab
ini
membahas
penerapannya
dalam
proses
penyelidikan tindak pidana korupsi, serta kaitannya dengan asas praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana di Indonesia. BAB 5
:
PENUTUP Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta saran yang Penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat bermanfaat bagi para
Universitas Sumatera Utara
30
pembacadalam memahami topik yang telah dibahas yaitu mengenai Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK).
Universitas Sumatera Utara