Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik …
FUNGSI DAN KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Tambah Sembiring Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Environmental problems have been emerged in parallel with the economical and industrial development. Indonesia as a developing country cannot avoid negative effects of the destruction and pollution in environment. One of efforts has been made is by criminalizing the acts of polluting and destroying environment. However in reality, law enforcement on environmental criminal acts always faces difficulties concerning the technical aspects, especially in the process of providing evidence before the court. Therefore, the presence of investigating officers from civil servant is needed, because they have a special expertise and trained to commit criminal acts investigations. Kata Kunci: Pejabat Pegawai Negeri Sipil, Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 butir 1 UU No. 23 Than 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan hidup dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Pembangunan pada hakikatnya merupakan proses perubahan lingkungan yaitu mengurangi resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat lingkungan. Permasalahan lingkungan hidup telah menjadi isu global. Dewasa ini, sejalan dengan pembangunan ekonomi di Indonesia maka terjadinya pencemaran lingkungan tidak dapat terhindari. Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari segi menurunnya kualitas lingkungan yang menyangkut nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan dan keteraman manusia. (Hamzah, 2005: 7) Penegakan hukum di bidang hukum lingkungan mutlak diperlukan untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan di masa yang akan datang. Penegakan hukum ini melibatkan berbagai instansi pemerintah, salah satunya yaitu pihak kepolisian yang bertugas melakukan penyidikan atas tindak pidana lingkungan yang terjadi. Tindak pidana lingkungan hidup menyangkut aspek yang sering bersifat teknis yang memerlukan keahlian tertentu dalam mengumpulkan bukti yang sangat dibutuhkan dalam pembuktian di pengadilan. Untuk itu sangatlah wajar apabila instansi yang berwenang melakukan penyidikan ini mempunyai kemampuan yang baik dan handal. Untuk itu kemampuan ini sangat didukung oleh penguasaan di yang disidik. Dalam Pasal 6 KUHAP ditentukan bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Dari 76
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 ketentuan Pasal 6 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa pejabat penyidik di Indonesia adalah Pejabat Polri dan Pegawai Negeri Sipil tertentu. Dalam proses penyelsaian penegakan hukum di bidang lingkungan hidup khususnya terhadap pelaku tindak pidana dilakukan melalui suatu sistem yang dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam sistem peradilan pidana ini terdapat 4 (empat) komponen lembaga/instansi yang terkait di dalamnya, Lepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan, di mana bekerjanya keempat komponen tersebut dalam sistem peradilan pidana satu dengan lainnya saling terkait. Sehubungan dengan fakta dan problematika yang dikemukakan dalam tulisan ini dikemukakan dua permasalahan yang akan menjadi acuan dalam analisis selanjutnya, sebagai berikut: 1) Bagaimana peranan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. 2) Apa hambatan yang dihadapi oleh PPNS dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Hukum lingkungan kepidanaan jika dibandingkan dari sudut hukum pidana, maka titik berat adanya suatu tindak pidana akan terkait dengan asas legalitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan yang tercela adalah adanya suatu ketentuan dalam Undang-Undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan sanksi terhadapnya. Berdasarkan Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tindak pidana lingkungan yaitu berupa: 1) melakukan perbuatan yang mengakibatkan: a. pencemaran, dan atau; b. perusakan lingkungan hidup. 2) melakukan perbuatan yang mengakibatkan: pencemaran, dan atau perusakan lingkungan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. 3) melakukan perbuatan melanggar ketentuan perUndang-Undangan berupa: a. melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan; b. impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum (Pasal 43 Ayat (1) dan Psl 44 Ayat (1)UUPLH). 4) melakukan perbuatan berupa: a. memberikan informasi palsu, atau; b. menghilangkan informasi, atau; c. menyembunyikan informasi, atau; d.merusak informasi, yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain. 5) melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat (Pasal 43 Ayat (3) dan Pasal 44 Ayat (2) UUPLH). Dalam rumusan Pasal 41 tersebut tidak dipersoalkan apa unsur maksud di pelaku dan dengan cara apa si pelaku melakukan tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup itu. Yang dituntut sebagai prasyarat terhadap Pasal ini adalah akibat adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menjadi sebab terjadinya tindak pidana itu. Oleh sebab itu, untuk dapat dipertanggungjawabkan pidananya menurut Pasal ini, ialah harus dibuktikan benarbenar tentang telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan terhadap lingkungan hidup. Sedangkan pada Pasal 41 Ayat (2) adalah merupakan tindak pidana pokok yang ditambah dengan unsur pemberatan (dikualifikasikan). Pasal ini menuntut, selain adanya akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, juga dipersyaratkan adanya akibat orang menjadi mati atau luka berat sebagai bagian dari pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup itu. Yang dipersoalkan di sini yang menjadi sebab adalah kesengajaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang mati atau luka berat tersebut. Dalam Pasal 42 UU Nomor 23 Tahun 1997, seskipun unsur melawan 77
Universitas Sumatera Utara
Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik …
hukumnya dalam Pasal ini tidak dinyatakan secara tegas, namun yang harus dibuktikan ialah tindakan si pelaku yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Yang dipersoalkan menjadi sebab tindakan ini ialah kealpaannya yang menimbulkan akibat yang dimaksud. Kealpaan diartikan apabila si pelaku secara sadar mengetahui bahwa tindakannya pasti akan mendatangkan bahaya, baik dalam bentuk konkret maupun abstrak, akan terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam Pasal 42 Ayat (2) merupakan unsur pemberatan dari pidana pokok (dikualifikasikan), terhadap tindakan yang dilakukan sebagai sebab kealpaannya sehingga menimbulkan akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (Sunarso, 2005: 166). Berdasarkan Pasa1 43 UU No. 23 Tahun 1997, PP Nomor Tahun 1999, PP Nomor 19 Tahun 1994 jo PP Nomor 12 Tahun 1995 yang mengatur ketentuan tentang pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun masuk di atas, atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan berbahaya, menjalankan instalasi yang berbahaya. Dalam Pasal ini dipersyaratkan adalah si pembuat telah melanggar hukum, dengan ancaman sanksi pidana. Akibat dari sebab si pembuat melakukan perbuatan tersebut, telah menimbulkan akibat, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Tindakan ini, dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya atas akibat tersebut, yang berakibat pula terhadap kesehatan umum dan nyawa orang lain. Dalam Pasal 43 Ayat (2) yang dipersalahkan dan dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, ialah sebab memberikan informasi palsu, atau menghilangkan, menyembunyikan atau merusak informasi, yang diperlukan dalam kaitan dengan melepaskan, membuang zat, energi, komponen lain yang berbahaya, serta melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan berbahaya tersebut, dan menjalankan instalasi yang berbahaya. Apabila si pelaku tidak melakukan perbuatan yang menjadi sebab sebagaimana ditentukan di atas, kemungkinan pihak instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup dapat mencegah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Elemen sebab, dari si pelaku yang melanggar aturan perUndang-Undangan tersebut sehingga menimbulkan akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tersebut, maka si pelaku dapat dituntut pertanggungjawaban pidana, terhadap ketentuan hukum yang mengancam hukuman dengan sanksi pidana. Pada Pasal 43 Ayat (3) adalah elemen yang memberatkan dari pidana pokok (dikualifikasikan) dari sebab melanggar ketentuan perUndang-Undangan atau sengaja memberikan informasi palsu, menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi, yang menimbulkan akibat orang mati atau luka berat, sehingga si pelaku dituntut pertanggungjawaban pidananya. PEJABAT PENYIDIK Pasal 1 butir 1 KUHAP menyebutkan: "Penyidik adalah pejabat negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang oleh UndangUndang untuk melakukan penyidikan". Kemudian dalam Pasal 6 KUHAP diperinci lagi sebagai berikut: 1) Penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia ; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. 2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud KUHAP sebagai peraturan pelaksana adalah peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik sekurangkurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi, atau yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua, ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Di samping pejabat 78
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 penyidik dari instansi Kepolisian, dari ketentuan Pasal 6 Ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang, dapat diangkat sebagai pejabat penyidik. Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "penyidik dalam Ayat ini " adalah misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi da.n pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberi oleh Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing. Dari penjelasan Pasal 7 Ayat (1) KUHAP memang secara tegas ditunjuk siapa pegawai negeri sipil dimaksud, yaitu pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan. Akan tetapi apakah pegawai negeri sipil tertentu yang dimaksudkan oleh Pasal 6 Ayat (1) KUHAP terbatas kepada ketiga instansi pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) KUHAP, masih belum jelas. Dalam Pasal 6 Ayat (1) KUHAP disebut bahwa pegawai negeri sipil tertentu yang dimaksud mempunyai lingkup yang lebih luas dibanding dengan penjelasan yang diberikan oleh Pasal 7 Ayat (2) KUHAP. Hanya saja perkembangannya diserahkan kepada perkembangan perUndang-Undangan yang muncul di kemudian hari, di mana dalam perUndang-Undangan itu ditentukan dan ditunjuk suatu instansi pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus penyidikan pada bidang-bidang tertentu. Selain mengenai siapa pegawai negeri sipil tertentu yang dimaksud dalam 6 Ayat (1) KUHAP kurang jelas, dalam KUHAP juga kurang jelas bagaimana kepangkatan dari pegawai negeri sipil tersebut yang dianggap berwenang diangkat sebagai penyidik. Dalam Ayat (2) Pasal 6 KUHAP hanya disebut bahwa Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 27 Tahun 1983, yang dalam Pasal 2 diatur perihal: a. Pegawai Negeri Sipil tersebut sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (II/b) atau yang disamakan; b. Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul dari Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut. Tembusan usul disampaikan kepada Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, guna kepentingan pembuatan rekomendasi. c. Wewenang kepangkatan tersebut sudah dilimpahkan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman. Berdasar Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.06-06.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pelimpahan Wewenang Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Menurut Bambang Waluyo, “tidak semua Pegawai Negeri Sipil dapat menjadi Penyidik dan tidak semua Undang-Undang ada klausul yang berkaitan dengan penyidikan”(Waluyo, 2000: 52) Sedangkan M. Yahya Harahap mengatakan bahwa "penyidik pegawai negeri sipil yang dimaksud oleh Pasal 6 Ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai Fungsi dan wewenang sebagai penyidik”. (Harahap, 1988: 111) PENYIDIKAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN OLEH PEJABAT PEGAWAI NEGERI SIPIL Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan bahwa, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terkadi dan guna menemukan tersangkanya”. Apabila ketentuan Pasal tersebut diperhatikan dapat disimpulkan beberapa pengertian dari penyidik yaitu serangkaian tindakan penyidik yang dilakukan untuk mencari dan sekaligus mengumpulkan bukti dari suatu tindak pidana. Bukti yang dikumpulkan tersebut akan digunakan untuk mengungkap suatu tindak pidana yang terjadi sehingga dapat diketahui pelaku dari tindak pidana yang bersangkutan. Kemampuan penyidik dalam kasus tindak pidana lingkungan mempunyai peran dalam keberhasilanya menangani kasus tersebut. Pengajuan alat bukti dalam kasus tindak pidana lingkungan bukan hal yang mudah, karena pencemaran maupun kerusakan lingkungan sering 79
Universitas Sumatera Utara
Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik …
terjadi dalam keadaan kumulatif, dengan banyak faktor yang berperan sehingga sulit untuk membuktikan sumber dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan tersebut. Berdasarkan petunjuk teknis Bapelda tentang penyidikan tindak pidana perusakan lingkungan hidup, maka yang dimaksud dengan tindak pidana perusakan lingkungan hidup adalah perbuatan yang dapat diancam hukuman sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk kesempurnaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana perusakan lingkungan hidup diperlukan adanya: saksi, laporan, dan tempat terjadinya perkara (TKP). Hal ini akan memudahkan untuk melakukan pemeriksaan, meminta keterangan saksi, dan keterangan ahli, serta penyelesaian dan penyerahan berkas perkara ke penuntut umum untuk diajukan ke proses peradilan selanjutnya. SUBSTANSI PENYIDIKAN Fokus penyidikan terhadap setiap penyidikan tindak pidana lingkungan dalam melakukan tugasnya harus selalu terfokus pada pemenuhan unsur tindak pidana perusakan lingkungan hidup, yaitu: Barang siapa (sebagai unsur pelaku): (a) Yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya adalah "orang" yaitu seperti yang dianut oleh KUHP yang sekarang berlaku. (b) Yang dapat melakukan tindak pidana adalah "orang" dan/atau "badan hukum". Artinya ialah, bahwa apabila yang melakukan tindak pidana itu adalah badan hukum maka yang bertanggungjawab adalah anggota pengurusnya. (c) Yang dapat melakukan tindak pidana, dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah "orang" dan badan hukum. (1) Dengan sengaja atau karena kelalaiannya (sebagai unsur niat yang berkaitan dengan pemberatan hukuman). Yang dimaksud dengan kesengajaan ialah perbuatan yang diinsyafi, dimengerti, dan diketahui sebagai demikian, sehingga tidak ada unsur salah sangka atau salah paham. Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaian ialah delik yang dilakukan dengan kealpaan (akan kewajiban-kewajiban) atas perbuatan yang dilakukan itu tidak diinsyafi, dimengerti dan diketahui (akan berakibat) demikian. Untuk adanya kesalahan (sengaja atau lalai) harus ada hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya. (2) Melakukan perbuatan (sebagai unsur modus operandi). (3) Yang menyebabkan (sebagai unsur penyebab). (4) Rusaknya lingkungan hidup (sebagai unsur akibat). (5) Orang mengalami kematian atau luka berat (sebagai unsur akibat lebih lanjut/tidak langsung). (Harahap:215-216) Kriteria Ekologis Perusakan Lingkungan Dalam pembuktian bahwa lingkungan hidup telah rusak, harus memenuhi kriteria yuridis sesuai yang dimaksud dalam Pasa11 butir 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu bahwa perbuatan/ tindakan pelaku harus dapat memenuhi kriteria: (1) menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati hidup. Berubah sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup diketahui dengan cara mengukur dan membandingkan dengan kriteria baku kerusakan lingkungan. (2) mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.Untuk mengetahui bahwa lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan, harus dikaitkan dengan fungsi dan peruntukan ruang/lahan di mana lokasi peristiwa kerusakan lingkungan itu terjadi. Biasanya dilakukan melalui suatu kajian dan analisis yang dilakukan oleh seorang ahli konservasi lingkungan dan membandingkan dengan kriteria baku kerusakan lingkungan. Alat Bukti Kunci Alat bukti kunci telah terjadinya kerusakan lingkungan antara lain: 80
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 (1) Hasil penelitian di lapangan maupun hasil analisis barang bukti di laboratorium menunjukkantelah memenuhi "ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang" sesuai yang dimaksud pada Pasal l butir 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagai contoh: misalnya untuk kriteria kerusakan lingkungan hidup bagi usaha atau kegiatan pembangunan bahan galian C (jenis lepas di dataran), dapat dilihat pada Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-43/MEN LH/10/1996 tentang kriteria kerusakan lingkungan bagi usaha atau kegiatan pertambangan bahan galian "golongan C" jenis lepas di dataran. (2) Pendapat ahli yang berdasarkan keahliannya menyatakan bahwa lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Persyaratan Pertama; Ketentuan Hukum, Pasal pidana yang digunakan dasar penyidikan adalah: UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 41, Pasa142, Pasa143, Pasal 44, Pasal 45, serta Pasal 1 butir 13 dan 14. Kedua; Sumber Informasi, Sumber informasi yang menerangkan adanya kejadian yang patut diduga merupakan tindak pidana perusakan lingkungan hidup, antara lain dapat bersumber dari: laporan masyarakat, laporan resmi LSM, liputan media masa, temuan pada waktu pemantauan atau pengawasan oleh petugas dari instansi berwenang, temuan langsung petugas PNS lingkungan hidup maupun penyidik Polri, laporan dari instansi Bapedal maupun Polri. (Harahap, 1988:218) Ketiga; Pentahapan Tindakan, Tindakan oleh PPNS lingkungan hidup, ialah mengambil tindakan yakni menerima informasi laporan, memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengumpulkan bahan keterangan, mencari dan menemukan barang bukti dan saksi. Dalam rangka tindakan ini, bila diperlukan dapat melakukan tindakan penyitaan baik terhadap benda maupun surat. Apabila diyakini telah terdapat cukup bukti untuk dilakukannya penyidikan, maka PPNS lingkungan hidup menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penyidik Polri. Selanjutnya PPNS melakukan pemeriksaan terhadap saksi, saksi ahli, maupun tersangka. Hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan ditandatangani oleh yang diperiksa dan yang memeriksa. Sejak melakukan pemeriksaan TKP sampai dengan pembuatan BAP, PPNS lingkungan hidup dapat meminta bantuan ahli. Hasil pembuatan BAP disampaikan kepada penyidik Polri untuk selanjutnya diteruskan ke penuntut umum. Dalam setiap tindakan yang dilakukan PPNS lingkungan hidup harus mengacu kepada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tindakan oleh penyidik Polri adalah melakukan penyidikan oleh reserse, melakukan penindakan, dan pemeriksaan serta pemberkasan untuk penyelesaian perkara dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Pelaksanaan Pertama; Pengumpulan bahan keterangan oleh PPNS lingkungan hidup atau Penyidik Polri, informasi yang diperoleh mengenai dugaan terjadinya tindak pidana lingkungan hidup oleh PPNS lingkungan atau Polri untuk dipelajari dan dikaji. Setelah informasi itu dipelajari selanjutnya dilakukan pengecekan atas kebenaran laporan tersebut, kemudian dilakukan pengumpulan bahan keterangan atau penyelidikan terhadap adanya peristiwa perusakan lingkungan sesuai informasi yang didapat dengan mengoptimalkan jalur-jalur koordinasi yang ada, baik internal sektoral maupun lintas sektoral. Pada tahap kegiatan ini fokusnya adalah mendapatkan data kualitas lingkungan dan data kegiatan atau proses produksi. Data tersebut bisa diperoleh dari data sekunder hasil monitoring rutin/berkala atau dari data primer dengan melakukan pengukuran pengambilan sampel dan 81
Universitas Sumatera Utara
Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik …
menganalisisnya. Selain itu juga perlu dikumpulkan berbagai keterangan yang dapat memperjelas peristiwa perusakan lingkungan yang terjadi. Pada kesempatan pertama, hasil pengumpulan bahan keterangan atau hasil penyelidikan tersebut segera dipaparkan dalam bentuk gelar perkara, yaitu dengan menghadirkan pejabat sektoral yang terkait atau yang dipandang perlu. Tujuannya ialah untuk mendapatkan masukan, saran tindak, dan agar di dalam pelaksanaan penyidikan tidak terjadi hambatan. Apabila dirasakan cukup petunjuk, maka dari berbagai masukan yang didapat selanjutnya dituangkan dalam laporan polisi/laporan resmi PPNS. Kedua; Persiapan, a) Koordinasi, dalam pelaksanaan koordinasi perlu adanya pos komando sebagai tempat pertemuan dan pusat lalulintas informasi mengenai kasus yang tengah disidik. Pada prinsipnya instansi sektoral yang terkait patut diajak berkoordinasi, akan tetapi disesuaikan dengan konteks permasalahannya (misalnya: kasus perusakan lingkungan yang disebabkan oleh penambangan maka instansi di bawah jajaran departemen pertambangan dan energi harus dilibatkan). Dalam pelaksanaan koordinasi setidak-tidaknya unsure-unsur di bawah ini terwakili, yakni: unsur penyidik (penyidik Polri dan PPNS lingkungan hidup), unsur laboratorium, unsur pemerintah daerah, departemen teknis atau departemen sektoral terkait, dan kelompok ahli. b) Pembentukan Tim, Pembentukan ini dimaksudkan sebagai pembagian tugas dan tidak berarti bahwa masing-masing tim bekerja sendiri-sendiri, melainkan tetap terintegrasi. Keanggotaan pada masing-masing tim disesuaikan dengan kebutuhannya, yang meliputi tim yang mengolah TKP, tim yang menganalisis barang bukti, tim yang menangani pemeriksaan saksi ahli, korban, maupun tersangka, tim yang bertanggung jawab dalam menangani pengamanan TKP dan sebagainya, serta tim yang melaksanakan koordinasi antarsektoral. Ketiga; Pelaksanaan Penyidikan, a) Penyelidikan Resers, melakukan kegiatan penyelidikan terhadap penyebab atau sumber terjadinya perusakan lingkungan, mencari petunjuk tentang identitas pelaku, korban, saksisaksi, mengumpulkan barang bukti atau sampel untuk bahan penyitaan. Sebagai barang bukti, fakta dikuatkan dengan foto tentang situasi dan kondisi di lapangan untuk menentukan kerusakan lingkungan yang terjadi. b) Penindakan, Upaya melakukan tindakan hukum setelah diperoleh cukup bukti dan petunjuk dengan melakukan pemanggilan terhadap saksi, penangkapan, penahanan terhadap tersangka, melakukan penggeledahan serta penyitaan, dan kalau perlu dilakukan dengan penyegelan. Setiap tindakan yang dilakukan harus selalu berdasarkan ketentuan KUHAP. c) Pemeriksaan, Pemeriksaan terhadap para saksi, korban, maupun tersangka dilakukan sebagai upaya untuk mencari fakta untuk dapat menentukan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana perusakan lingkungan hidup. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah meliputi: BAP Pelapor, BAP Saksi Masyarakat, BAP Saksi Tokoh Masyarakat, BAP Saksi Pegawai Perusahaan, BAP Saksi Pejabat Instansi Pemerintah, BAP Saksi Pejabat Instansi Teknis terkait, BAP Saksi Ahli yang menjelaskan sirahayati lingkungan hidup, BAP Saksi Ahli yang akar, menjelaskan sifat fisik lingkungan hidup. Pengendalian Pengendalian penyidikan tindak pidana perusakan lingkungan hidup ini, dalam rangka menjamin efektivitas dan efisiensi kegiatan. Pengendalian ini dilakukan oleh Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup untuk di tingkat pusat, sedangkan untuk di tingkat daerah dilakukan oleh Kepala Bapelda. Berdasarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: MA/Kumdil/197.A/VI/K/2000 Tanggal 30 Juni 2000 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, bahwa dalam era reformasi yang melanda negara kita, telah membawa dampak yang sangat luas di segala aspek kehidupan bemegara, terutama di bidang ekonomi mengakibatkan kecenderungan meningkatnya kuantitas serta kualitas tindak pidana yang memerlukan 82
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Oleh karena itu, terhadap tindak pidana antara lain: ekonomi, korupsi, narkoba, perkosaan, pelanggaran HAM berat, lingkungan hidup, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguhsungguh setimpal dan berat, dilihat dari sifat tindak pidana tersebut, dan jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan dalam masyarakat. KEDUDUKAN DAN WEWENANG PENYIDIK PEJABAT PEGAWAI NEGERI SIPIL Dalam Pasal 1 butir 11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa yang dimaksud Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perUndang-Undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup UndangUndang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Menurut KUHAP dibedakan tugas, tujuan dan petugas penyelidik dengan penyidik. Penyelidik adalah pejabat POLRI yang diberi wewenang oleh KUHAP melakukan penyidikan berupa serangkaian tindakan (proses) penyidik yang bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa pidana yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Sedangkan penyidik adalah pejabat POLRI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang serangkaian tindakan (proses) penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam KUHAP yang bertujuan untuk dan mengumpulkan bukti sehingga perbuatan pidana menjadi terang guna menemukan tersangkanya. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan Undang-Undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu Pasalnya. Jadi di samping pejabat penyidik POLRI, Undang-Undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugasnya, sebagai berikut: a. penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah: koordinasi penyidik POLRI, dan di bawah pengawasan penyidik POLRI. a) untuk kepentingan penyidikan, penyidik POLRI memberikan petunjuk kepada pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 Ayat (1). b) penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidikan ini oleh penyidik pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 Ayat (2). c) apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik POLRI (Pasal 107 Ayat 3). d) apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik POLRI maka penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum sesuai dengan Pasal 109 Ayat (3). (Harahap,1988:113 – 114). Dengan demikian pegawai negeri sipil yang melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan, harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI. Tindak pidana di bidang lingkungan hidup menyangkut aspek yang sering bersifat teknis, sehingga memerlukan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan, yang sukar diharapkan dari para penyidik pejabat POLRI. Oleh karena itu diperlukan pejabat pegawai negeri sipil yang mengadakan penyidikan di bidang lingkungan hidup yang diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUHAP(Hardjasoemantri,2002:408).Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam tindak pidana khusus tadi. Wewenang pejabat penyidik diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) KUHAP sebagai berikut:a) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak 83
Universitas Sumatera Utara
Tambah Sembiring: Fungsi dan Kedudukan Pejabat Penyidik …
pidana, b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, c) menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang tersangka, d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang, g) memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara, i) mengadakan penghentian penyidikan. j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil dalam bidang lingkungan hidup diatur dalam Pasal 40 Ayat (2) UUPLH, sebagai berikut: a) Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; b) Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; c) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup; d) Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; f) Melakukan pemeriksaanm di tempat tertetu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup; g) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Kewenangan penyidik yang dimuat dalam Pasal 7 KUHAP, apabila dibandingkan dengan Pasal 40 Ayat (2) UUPLH, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup tidak mempunyai kewenangan dalam hal: a. Melakukan penangkapan dan penahanan; b. Melakukan pemeriksaan dan surat; c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; d. Mendatangkan seorang ahli; d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Para pejabat negeri sipil di bidang lingkungan hidup melaksanakan tugasnya setelah memperoleh pendidikan dan pelatihan dari POLRI. KESIMPULAN PPNS Bidang Lingkungan Hidup telah diatur dan diberi wewenang khusus dalam penanganan tindak pidana bidang lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam KUHAP 8 tahun 81 jo No. 23 Tahun 1997. Keberadaan PPNS tersebut sangat urgen karena kemampuan khusus dan pelatihan keterampilan teknis yang mereka miliki dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan hidup. Meskipun keberadaan PPNS Bidang LH telah mempunyai landasan hukum yang kuat dan mereka dibekali ilmu dan keterampilan yang bersifat teknis, namun keterbatasan fasilitas, dukungan personil maupun hambatan koordinasi dengan Penyidik Polri masih menjadi kendala yang patut diperhatikan. Bagi Polri sendiri memang mengakui akan perlunya Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan sehingga di bidang lingkungan hidup, namun selalu mengeluhkan bahwa pihak PPNS sendiri selalu berjalan sendiri tanpa adanya koordinasi yang tegas. DAFTAR PUSTAKA Harahap, M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Pustaka Kartini. Hardjasoemantri, Koesnadi. 2002. Hukum Lingkungan. Cetakan Ketujuh belas. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hamzah, Andi. 2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta. Sinar Grafika. Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Jakarta. Rineka Cipta. 84
Universitas Sumatera Utara
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006 Waluyo, Bambang. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta. Sinar Grafika. Republik Indonesia. 1983. Peraturan Pemerintah No.27. Peraturan Pelaksana Hukum Acara Pidana Republik Indonesia. 1983. Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M.06-06.UM.01.06. Pelimpahan Wewenang Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang No. 23. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
85
Universitas Sumatera Utara