BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” (Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945)
Penyandang disabilitas atau difabel banyak yang merasakan selama ini mereka seolah-olah hanya menjadi warga negara “kelas dua” di Indonesia. Akibat adanya stigmatisasi atau “pelabelan” yang selama ini berkembang di masyarakat, para penyandang disabilitas banyak yang merasa hanya dianggap sebagai orang yang membutuhkan perhatian khusus berupa rasa “belas kasih” untuk menjalankan berbagai aspek kehidupannya dari berbagai pihak.Berkembangnya persepsi yang menyudutkan seperti ini membuat mereka masih harus berjuang untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara seutuhnya. Kecilnya jumlah dan ketidaktahuan cara untuk menyuarakan haknya sebagai warga negara, mengakibatkan mereka termarginalkan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagian dari mereka bahkan berasal dari masyarakat yang secara ekonomi tergolong miskin hingga akhirnya tidak berdaya untuk mengakses hak-haknya. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti di Indonesia, hingga saat ini terkesan masih rendahnya kepedulian masyarakat secara umum terhadap para penyandang disabilitas ini. Namun, hal itu juga
bukan
sepenuhnya
kesalahan
masyarakat
1
di
tingkat grass
root.
Bagaimanapun, dalam koridor sebuah pemerintahan, pemerintahlah yang paling memegang peran penting dalam pemenuhan hak dasar warga negaranya. Sejak tahun 1977, Indonesia telah memiliki instrumen hukum yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas terutama hak dasar, yaitu hak kesehatan dan hak pendidikan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1977 tentang Penyandang Cacat atau difabel. Terlebih adanya upaya ratifikasi yang dilakukan pemerintah dengan disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas belumlah sepenuhnya berdampak besar terhadap perbaikan kehidupan para penyandang disabilitas saat ini. Hal ini dapat terlihat bahwa pada praktiknyaupaya pemenuhan terhadap hakhak dasar tersebut masih belum terimplementasi sesuai tujuan dan cita-cita peraturan yang ada, terlebih bagi kelompok penyandang disabilitas dari keluarga miskin. Harus disadari bersama bahwa salah satu permasalahan pemenuhan hak dasar yang paling krusial adalah mengenai pemenuhan hak terhadap pelayanan kesehatan. Penjaminan terhadap pelayanan kesehatan merupakan hak dasar bagi setiap warga negara. Artinya, dalam kondisi dimana seorang warga negara tidak mampu mengupayakannya, maka sudah menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Saat ini telah ada beberapa skema penjaminan kesehatan yang diselenggarakan untuk rakyat seperti Jamkesmas, Jamkessos, Jamkesdaatau yang saat ini penyebutannya telah berubah menjadiJKN dan KIS. Namun, dari pengalaman yang dirasakan oleh para penyandang disabilitas, jaminan-jaminan kesehatan tersebut ternyata masih belum mampu menjawab kebutuhan
2
pelayanankesehatan mereka. Salah satu permasalahnya adalah terbatasnya jenis obat dan treatment yang ditanggung, serta kejelasan mengenai kriteria penerima jaminan kesehatan tersebut yang menimbulkan perdebatan1. Sejak 1 Januari 2014 berdasarkan peraturan yang berlaku yakni Undangundang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, peserta jaminan kesehatan adalah keluarga yang terdaftar sebagai keluarga miskin berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Sementara menurut kriteria BPS sebagai contoh bahwa orang yang memiliki kendaraan bermotor, baik itu roda empat maupun roda dua dikategorikan sebagai keluarga mampu. Padahal bagi sebagian besar para penyandang disabilitas, alat transportasi tersebut merupakan kebutuhan pokok untuk mereka yang diperlukan untuk mempermudah mobilitas mereka dalam melakukan kegiatan dan keperluan sehari-harinya. Selain itu ketentuan ini juga menjelaskan bahwa kelompok masyarakat penderita penyakit kronis tidak termasuk penerimaJKN. Sementara penyandang disabilitas jenis SCI,Paraplegia, dan Cerebral Palsy dimasukan sebagai penyakit kronis2. Padahal menurut Perda DIY No. 4 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas yang juga merupakan turunan dari UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, menyebutkan bahwa ketiga jenis gangguan ini termasuk dalam kategori jenis disabilitas yang harus dijamin pemenuhan hak-haknya.Cerebral palsy(CP) sendiri merupakan suatu jenis dari kelainan disabilitas yang mengganggu fungsi otak dan jaringan syaraf, yang dapat 1
Dikutip dari http://www.solider.or.id/2013/09/21/jaminan-kesehatan-masih-jadi-barang-mewahbagi-difabel, diakses 11 Oktober 2014, pukul 20.00 Wib 2 Dikutip dari http://www.solider.or.id/2013/09/21/jaminan-kesehatan-masih-jadi-barang-mewahbagi-difabel, diakses 11 Oktober 2014, pukul 20.00 Wib
3
mengganggu kemampuan penyandangnya untuk melakukan aktivitas sehariharinya secara normal. Selain itu, para penyandang CP juga sangat rentan menderita penyakit lainnya. Banyak penyandang CP yang juga mengalami penyakit seperti gangguan mental, kejang (epilepsi), gangguan pertumbuhan, gangguan pengelihatan dan pendengaran, serta kesensitifan yang abnormal terhadap
sentuhan3. Kelainan CP ini tidak dapat disembuhkan, serta
membutuhkan terapi dan konsumsi obat-obatan sepanjang hidupnya. Kebutuhan akan obat-obatan dan terapi yang dilakukanpun hanya ditujukan untuk menjaga kondisi agar tetap stabil dan memperbaiki kapabilitasnya agar penyandangnya dapat hidup mendekati kehidupan normal selama hidupnya 4. Meski di Indonesia belum ada suatu penelitian mengenai tingkat kerawanan kesehatan bagi penyandang disabilitas, namun diyakini bahwa pada tingkat disabilitas tertemtu, tingkat kerawanannya akan jauh lebih tinggi dibanding yang non difabel. Sebagai contoh para penyandang Cerebral Palsyini, setiap bulannya bahkan per harinya mereka membutuhkan perawatan kesehatan dan biaya-biaya medis yang tidak bisa ditangguhkan. Artinya, jika dengan penghasilan yang menurut kategori yang berlaku mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat miskin, tetapi setelah dikurangi dengan biaya-biaya kesehatan yang rutin harus mereka keluarkan, bisa jadi penghasilan mereka tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
3
Suharso Darto, Cerebral Palsy : Diagnosis dan Tatalaksana, Kelompok Studi NeuroDevelopmental Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya, 2006, hlm. 11 4 Hasil wawancara dengan Ibu Anis sebagai ketua WKCP, tanggal 12 Januari 2015, bertempat di kediaman ibu Anis di Gendeng, GK 4 no. 451, Baciro, Yogyakarta
4
Melihat permasalahan di atas, jelas bahwa penjaminan terhadap pelayanan kesehatan yang sudah ada belum dirasa mampu menjawab kebutuhan penyandang disabilitas akan pelayanan kesehatan, dan untuk itu perlu dikembangkan sebuah mekanisme penjaminan kesehatan yang sensitive difabel dan mampu menjawab kebutuhan rakyat akan jaminan kesehatan. Pemahaman pemerintah terkait pemberian
jaminan
terhadap
pelayanan
kesehatan
sudah
seharusnya
memperhatikan 2 (dua) aspek yakni, pembiayaan kesehatan yang “affordable” dan pelayanan kesehatan yang “accessible”5. Pembiayaan kesehatan yang “affordable” adalah mekanisme pembiayaan kesehatan yang terjangkau oleh semua orang dan dengan cara yang memudahkan semua. Sehingga bagi masyarakat yang tidak mempunyai uang untuk membayar biaya kesehatannya maka akan dibiayai oleh pemerintah sebagai penanggung jawab dengan kemudahan proses dan efisiensi waktu (termasuk diantaranya adalah adanya informasi serta kemudahan mengakses pembiayaan yang disediakan oleh pemerintah bagi orang yang mengalami hambatan mobilitas, komunikasi dan mental, ditingkat Badan pembiayaan ataupun pemberi layanan kesehatan). Termasuk diantaranya adalah mengakses pembiayaan kesehatan “diluar” coverage jaminan umum, berupa tindakan medis ataupun formularium, serta alat bantu kesehatan yang menjadi kebutuhan difabel karena kecacatannya. Selanjutnya mengenai pelayanan kesehatan yang “accessibel” adalah bahwa pelayanan kesehatan baik secara fisik maupun non fisik juga harus ditingkatkan dan dievaluasi secara berkala. Fisik dalam hal ini adalah fasilitas bangunan 5
Dikutip dari http://www.sapdajogja.org/index.php/news/51-jaminan-kesehatan-dan-kelompokrentan, dakses tanggal 11 Oktober 2014, pukul 20.30 Wib
5
gedung serta sarana prasarana di Pusat layanan kesehatan baik Puskesmas, RS Negeri dan swasta yang ada. Aksesibilitas non fisik dalam layanan kesehatan adalah pemberian layanan oleh petugas dari petugas jaga, medis, adminstrasi yang mampu berkomunikasi aktif dan memahami kebutuhan penyandang disabilitas, dalam hal ini apabila mendapatkan dukungan ataupun informasi yang memudahkan untuk melakukan aktivitas dalam mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan. Melihat permasalahan tersebut penelitian ini hendak mengkaji strategi advokasi yang dilakukan oleh NGO Perhimpunan Ohana terkait upaya pemenuhan hak warga negara penyandang disabilitas jenis Cerebral Palsy dan termasuk
penyandang
disabilitas
lainnya
dalam
mendapatkanjaminan
terhadappelayanan kesehatan dari negara.Hal ini dikarenakan Perhimpunan Ohana ini sebagai salah satu lembaga non pemerintah yang sangat menaruh perhatian besar terhadap perjuangan pemenuhan hak-hak bagi kaum minoritas, utamanya para penyandang disabilitas yang salah satunya adalah para penyandang Cerebral Palsy. Peneliti tertarik untuk mengambil topik ini dikarenakan peneliti menganggap penelitian ini akan menarik nantinya dikarenakan akan menyajikan sebuah strategi advokasi yang dilakukan oleh sebuah ornop yang bisa dikatakan masih baru karena baru terbentuk pada tahun 2012, namun sudah memiliki jaringan advokasi yang sangat luas bahkan hingga level internasional, dalam mengadvokasikan sebuah isu yang bisa dikatakan belum populer bagi para pemangku kebijakan. Selain itu alasan peneliti memilih topik ini sebagai topik kajian
dikarenakan
penyandang
disabilitas
6
jenis
Cerebral
Palsy
ini
merupakanjenis disabilitas yang belum banyak diketahui oleh banyak kalangan, selain itu kebutuhan sertapermasalahan yang meliputi para penyandangnya sedikit berbeda dengan penyandang disabilitas jenis lainnya danpermasalahan yang meliputi penyandangnya tidak bisa dikatakan sebagai permasalahan yang kecil. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, adapun pertanyaan
kunci
yang
adalah“Bagaimana
berusaha
strategi
untuk advokasi
dijawab yang
dalam
penelitian
dilakukan
ini oleh
PerhimpunanOHANAdalam upaya pemenuhan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatanbagi penyandangCerebral Palsy?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a) Mengkaji dan menganalisa strategi-strategi yang dijalankan oleh ornop Perhimpunan
Ohana
dalam
menjalankan
advokasisebagai
upaya
penegakan hak-hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi mereka yang menyandang Cerebral Palsy. b) Untuk mengetahui bagaimana strategi-strategi tersebut dijalankan dan bagaimana perkembangan yang ada serta hasil yang didapat dari penerapan strategi tersebut. c) Menganalisa untuk dapat dijadikan bahan refleksi bersama dalam upaya mewujudkan penegakan hak-hak bagi seluruh warga negara, yang dalam konteks ini hak untuk mendapatkanpelayanan kesehatan bagi para
7
penyandang disabilitas secara umum dan penyandang Cerebral Palsy secara khususnya. D. Kerangka Teori D. 1. Konsep Mengenai Hak dan Pemenuhan Hak Berbicara mengenai advokasi yang dilakukan oleh, Perhimpunan Ohana sesungguhnya berbicara mengenai penegakan hak-hak bagi para penyandang disabilitas pada umumnya. Seperti diketahui akar dari begitu banyaknya permasalahan
yang
mengelilingi
para
penyandang
disabilitas
adalah
ketidakjelasan dan ketidaktegasan mengenai penegakan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Untuk itu, konsep mengenai hak menjadi kemutlakan untuk dipaparkan disini. Hak adalah sesuatu yang harus diterima oleh individu yang memilikinya. Mengenai hak asasi manusia, Thomas Jefersson mengatakan bahwa “Semua manusia diciptakan sama, bahwa penciptanya telah menganugerahi mereka hakhak tertetu yang tidak dapat dicabut. Bahwa untuk menjamin hak-hak ini, orangorang mendirikan pemerintahan. Jadi setiap manusia, tidak terkecuali pada dasarnya memiliki hak yang telah dibawanya sejak lahir, yaitu hak yang dianugerahkan Tuhan sejak awal kehidupannya. Hak ini disebut sebagai hak asasi manusia. Dan untuk mendukung penegakan terhadap hak asasi ini maka dibentuklah sebuah pemerintahan. Artinya, peran negara disini adalah sebagai aktor sentral yang diberikan otoritas oleh individu untuk menjamin pemenuhan hak-hak tersebut. Dan ketika pelaksanaan terhadap fungsi itu tidak dilakukan dengan baik, maka rakyat berhak untuk menggugat negara.
8
Scott Davidson menyatakan bahwa “Hak asasi manusia tidak hanya berkaitan dengan proteksi individu dalam menghadapi pelaksanaan otoritas negara atau pemerintah dalam bagian-bagian tertentu kehidupan mereka tetapi yang mengarah pada penciptaan kondisi masyarakat oleh negara dimana individu dapat mengembangkan potensi mereka sepenuhnya” Deklarasi Universal hak asasi manusia menjadi standar penegakan hak asasi manusia. Pasal-pasal dalam deklarasi mengatur hak asasi yang meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu. Pasal 22 sampai 27 mengemukakan hak yang terkait dengan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial, pendidikan dan kesehatan. Hak-hak ini menegaskan bahwa sesungguhnya semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Secara lebih khusus di Indonesia, konsep hak asasi manusia telah secara tegas dan jelas diakui keberadaannya di dalam UUD 1945 dan dilaksanakan oleh negara di dalam masyarakat. Hak untuk memperoleh dan mendapatkan penjaminan kesehatan yang layak bagi setiap warga negara telah diakui keberadaannya dalam UUD 1945 dan merupakan hak konstitusional. Itu berarti negara tidak diperkenankan mengeluarkan kebijakan-kebijakan baik berupa undang-undang (legislative policy) maupun berupa peraturan-peraturan pelaksanaan (bureaucracy policy)yang dimaksudkan untuk mengurangi substansi dari hak konstitusional. Oleh karena itu, sebuah kemutlakan bagi negara untuk menciptakan sebuah kondisi dimana hak-hak seluruh individu dapat terpenuhi. Dan dalam implementasinya harus ada kesamaan dan keadilan dalam pemenuhan hak-hak
9
tersebut. Artinya pemenuhan terhadap hak adalah sesuatu yang harus didapatkan oleh semua warganya tanpa terkecuali dan tanpa memandang latar belakang atau faktor apapun sehingga yang menjadi titik tekan adalah adil menjadi sebuah kemutlakan. Justice Theory Rawl menegaskan sebuah konsep keadilan dalam pemenuhan hakhak individu. “Keadilan menolak argumen yang menyatakan bahwa hilangnya kebebasan sebagian orang atas dasar manfaat yang lebih besar yang dinikmati oleh orang-orang lain. Oleh sebab itu, dalam suatu masyarakat yang adil, kebebasan para warganegara yang sederajat tidak dapat berubah, hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik ataupun pertimbangan kepentingan sosial”
Mengadopsi konsep-konsep teori mengenai hak dan keadilan diatas dalam pemenuhan hak-hak dasar individu dalam permasalahan para penyandang disabilitas membawa kita pada suatu pemahaman bahwa sebagai individu, pada dasarnya penyandang disabilitas memiliki hak dasar yang sama dengan warga negara lainnya, termasuk hak-hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan secara utuh dari negara. Dan sebagai bagian dari warga negara, para penyandang disabilitas juga menyerahkan pelaksanaan atas hak-haknya kepada negara. Dan dalam implementasinya, prinsip keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik maupun kepentingan sosial menjadi sebuah keharusan yang juga sepenuhnya harus didapatkan oleh penyandang disabilitas6.
6
Dilihat dari https://www.hrw.org/publications dalam Artikel Terkait Hak Asasi Manusia, Laporan Human Right Watch Organization. Diakses tanggal 4 November 2014 pukul 20.30 Wib.
10
D. 2. Konsep, Peranan dan Fungsi Organisasi Non Pemerintah (Ornop) Selanjutnya pembahasan pada penelitian ini akan dimulai dari pemahaman mengenai konsep ornop terlebih dahulu. Pemaparan konsep teori mengenai ornop ini menjadi sangat penting sebagai landasan bagi pembahasan lebih lanjut karena penelitian ini sendiri sangat bersinggunggan dengan peran dan fungsi ornop itu sendiri yang dalam hal ini Perhimpunan Ohana. Ornop merupakan organisasi yang dibentuk oleh kalangan yang bersifat mandiri. Organisasi seperti ini tidak menggantungkan diri pada pemerintah, pada negara, terutama dalam dukungan finansial dan sarana/prasarana7.Organisasi seperti ini dibentuk sebagai perwujudan dari komitmen sejumlah warga negara yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul, baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. Secara khusus di Indonesia, kehadiran ornop diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan. Munculnya ornop di Indonesia salah satunya dapat dikatakan sebagai cerminan kebangkitan kesadaran golongan masyarakat terhadap permasalahan kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan masalah hak asasi sebagai dampak program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Kehadiran Ornop dalam sebuah masyarakat merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dinafikkan. Hal ini terjadi karena bagaimanapun juga kapasitas dari pemerintah terbatas. Tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi oleh pemerintah apalagi di negara-negara yang sedang berkembang yang sedang membangun seperti Indonesia.Menurut Morris, Ornop di Indonesia dapat dikategorikan 7
Gaffar, Afan. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, 1999, hlm. 201
11
sebagai organisasi sektor non-profit. Ia melakukan teoritisasi terhadap fenomena ornop dengan mencirikan organisasi sektor non profit tersebut sebagai berikut8 : 1. Terorganisir (organized); terinstitusionalisasi dari sudut bentuk organisasi dan sistem operasinya. 2. Bukan negara (private); secara institusional bukan bagian dari negara atau pemerintah. 3. Tidak berorientasi profit (non-profit distributing); tidak berorientasi menghasilkan keuntungan bagi pemilik atau para direkturnya, tetapi mengembalikan pendapatannya untuk kepentingan misinya. 4. Swadaya (self-governing); mempunyai sistem untuk mengatur dirinya sendiri. 5. Kesukarelaan (voluntary); melibatkan partisipasi sukarela dalam operasi ataupun manajemen organisasi. Sedangkan Eldridge dalam Rustam Ibrahim mencatat bahwa Ornop Indonesia memiliki ciri-ciri umum yang sama, antara lain9 : 1.
Orientasi mereka kepada penguatan kelompok-kelompok komunitas sebagai basis dari masyarakat dan sebagai pengimbang bagi pemerintah. Hal ini berkaitan dengan satu pencarian kreatif bagi pola baru pembentukan kelompok untuk memenuhi perubahan kebutuhan sosial dan pembangkitan struktur dari yang tidak diuntungkan dan tidak berdaya;
8
Morris, S. Defining Non-profit Sector, Some Lesson from History, Voluntas. International Journal of Voluntary and Non-profit Organization. 2000, hlm. 8 9 Ibrahim, Rustam. Agenda LSM Menyongsong Tahun 2000. Jakarta: LP3ES. 1997. hlm. 196
12
2.
Pada umumnya ada komitmen yang kuat terhadap cita-cita partisipasi rakyat di dalam pengambilan keputusan;
3.
Adanya satu komunitas Ornop di Indonesia, dengan banyak hubungan silang antar pribadi dan kelembagaan yang saling mendukung, terdapat pertukaran gagasan dan sumber daya yang memberikan potensi pada satu front bersama pada berbagai tingkat.
Secara khusus dalam bidang advokasi, peran Ornop dalam menjalankan bidang advokasi pada dasarnya merupakan sebuah peran yang memang melekat pada kegiatan Ornop sendiri. Artinya, basis kegiatan Ornop sendiri memang sejak awal telah menyentuh bidang advokasi. Berikut adalah beberapa ciri dari kegiatan sebuah Ornop10: 1. Kegiatannya berkelanjutan dan tetap berpihak kepada masyarakat lemah 2. Tidak birokratis dan hierarkis, dibangun atas dasar kebersamaan 3. Kegiatannya didasarkan masalah dan kebutuhan masyarakat 4. Proses yang dilakukan adalah proses penyadaran Dari ciri-ciri diatas dapat dilihat sebuah gambaran bahwa Ornop pada dasarnya memfokuskan diri pada gerakan yang berpihak pada masyarakat lemah yang tidak menadapatkan perhatian cukup dari pemerintah. Peran advokasi yang dijalankan oleh Ornop sebenarnya sudah dilakukan sejak masa orde baru. Sejak tahun 1990an, semakin banyak Ornop yang bergerak melawan pemerintah sehingga citra Ornop kala itu semakin memburuk. Tuduhan 10
Morris, S. op.cit hlm. 13
13
utamannya adalah karena Ornop dianggap telah berlawanan dengan ideologi negara maupun kepentingan nasional. Akan tetapi faktor sebenarnya dari memburuknya hubungan tersebut adalah karena tumbuhnya generasi baru Ornop yang berorientasi radikal, yang menentang berbagai kebijakan pemerintah. Ornop telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Konfrontasi terbuka antara Pemerintah dan Ornop yang kala itu mencuat di publik adalah saat terjadi “insiden Brussel” di tahun 1989, yang dianggap Ornop telah menghina Presiden Soeharto dalam kunjungannya ke Brussel, Belgia sehingga menyebabkan pengejaran dan penangkapan atas aktivis-aktivis Ornop masa itu. Puncak kemarahan rezim adalah dengan ditutupnya IGGI oleh Soeharto pada April 1992. Akan tetapi sejak saat itu Ornop semakin berubah., dari membantu kaum miskin secara jangka pendek, kini mengarah ke tuntutan perubahan norma, nilai, struktur dan kelembagaan yang telah menyebabkan ketidakadilan dan penindasan.
Sejak
itu
Ornop
memperkuat
resistensi
mereka
dengan
mengedepankan aksi-aksi kolektif popular yang terkait dengan organisasiorganisasi dan kelompok-kelompok akar rumput11. Sejak saat itu dikalangan Ornop terjadi polarisasi antara Ornop yang bersifat pembangunan dengan Ornop yang bersifat gerakan. Pembeda antara kedua jenis Ornop ini didasarkan pada orientasinya yaitu dalam hal: a. Peran b. Falsafah Organisasi c. Misi dan tujuan 11
Bob S Hadiwinata, The Politics of NGOs di Indonesia: Developing Democracy dan Managing a Movement :2003, hlm. 97-100
14
d. Bidang kegiatan e. Pandangan atas kemiskinan f. Hubungan dengan kelompok sasaran g. Hubungan dengan pemerintah Selanjutnya, Gennie Rochman mendefinisikan Ornop advokasi sebagai “mereka yang kegiatannya bertujuan untuk adanya perubahan dalam kebijakankebijakan”. Ornop jenis ini juga selanjutnya banyak mengangkat isu-isu advokasi mereka lewat pembentukan opini publik di media massa12.Dengan banyaknya jenis peran dan fungsi yang menjadi tonggak pembeda antara Ornop-ornop yang ada, namun demikian penelitian ini akan secara khusus melihat mengenai peran dan fungsi Ornop dalam hal menjalankan advokasi. D. 3. Strategi Advokasi dan Tindakan Rasional Instrumental Dalam membahas mengenai makna dari konsep dari sebuah strategi advokasi, secara teoritis penulis akan menghubungkannya dengan membahas mengenai teori tindakan sosial (social action) menurut Max Weber yang dijadikan acuan sebagai grand theory dalam penelitian ini. Tindakan merupakan suatu perbuatan, perilaku, atau aksi yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya guna mencapai tujuan tertentu.Weber menyatakan bahwa tindakan sosial berkaitandengan interaksi sosial, sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika individutidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut13. Tindakan SosialWeber disini yaitu
12
Meuthia, Genie Rochman. An Uphill Struggle: Advocacy NGO’s Under Soeharto New Order. Lab Fisip UI. Depok : 2002, hlm. 13 13 Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I. PT. Gramedia. Jakarta : 1986, hlm. 219
15
tindakan yang melibatkan orang lain atau tindakan yangdilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain Selanjutnya menurut Weber,tindakan dikatakan terjadi bila para individu melekatkan makna-makna subjektif kepada tindakan mereka. Manusia melakukan sesuatu tindakan karena mereka memutuskan untuk melakukan itu untuk mencapai apa yang mereka kehendaki. Setelah memilih sasaran, mereka akan memperhitungkan
keadaan,
kemudian
akan
memilih
tindakan
yang
dilakukannya14. Weber berpendapat, memahami realitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan itu berarti menjelaskan mengapa manusia menentukan pilihan. Perhatian Weber pada teori-teori tindakan sosialnya berorientasi pada tujuan dan motivasi para pelakunya. Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan tindakan yang nonrasional. Klasifikasi tindakan sosial tersebut kemudian dibagi kedalam empat tipe tindakan yaitu 15: 1. Tindakan tradisional adalah tindakan yang ditentukan oleh carabertindak aktor
yang
biasa
dan
telah
lazim
dilakukan.
Tindakan
ini
merupakantindakan yang tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karenakebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya ataumembuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akandigunakan.Jenis tindakan ini memperlihatkan perilaku 14
Pip, Jones. Pengantar Teori-Teori Sosial : Dari Fungsionalisme Sampai Post-Modernisme. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta : 2009, hlm. 114 15 Johnson, Doyle Paul, op. cit., hlm 220-221
16
tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. 2. Tindakan afektif adalah tindakan yang lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta,ketakutan, kemarahan, atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkanperasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif.Tindakan itu benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan yanglogis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya. 3. Tindakan rasionalitas nilai (Wertrationalitat) adalah adalah tindakan yang bersifat rasional dan memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuanyang hendak dicapai tidak terlalu dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanyaberanggapan bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam kriteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat disekitarnya. Rasionalitas nilai adalah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya. 4. Tindakan
rasionalitas
instrumental(Zweckkrationalitat)
adalah
tingkatrasionalitas yang paling tinggi, meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadaryang berhubungan dengan “tujuan” tindakan itu dan “alat” yang dipergunakanuntuk mencapainya atau dengan kata lain tindakan yang
17
dilakukan oleh seseorangdengan memperhitungkan ‘kesesuaian’ antara cara yang digunakan dengan tujuanyang akan dicapai. Rasionalitas saranatujuan adalah tindakan yang ditentukandengan harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain.
Bertolak dari penjelasan teoritik diatas, kegiatan advokasi dapat dikategorikan sebagai turunan dari tipe tindakan rasional instrumental menurut Webber, karena advokasi dilakukan atas dasar tujuan dan perencanaan yang jelas dan matang.Hal ini sebagai mana definisi advokasi menurut Mansour Faqih yang menyebutkan bahwa advokasi adalah media atau cara yang digunakan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Advokasi juga merupakan suatu usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju(incremental)16. Penelitian ini akan menggunakan poin tersebut sebagai landasan teoritik untuk membahas secara lebih dalam sebuah tindakan sosial, yang dalam hal ini diwujudkan dengan sebuah tindakan strategi advokasi yang dilakukan oleh Perhimpunan Ohana dalam upaya mendorong pemenuhan hak terhadap pelayanan kesehatan bagi penyanndang disabilitas cerebral palsy.Hal ini peneliti lakukan dikarenakan dalam studi ilmu politik, buku-buku terkait dengan advokasi yang dapat dijadikan rujukan teoritis sangatlah sulit untuk ditemukan. Kesulitan ini penulis alami dikarenakan studi tentang advokasi dalam ilmu politik tidaklah begitu populer, sehingga tidak banyak ilmuan politik yang membahasnya. Meskipun ada, kebanyakan buku-buku 16
Faqih, Mansour, dkk. Mengubah Kebijakan Publik. Insist Press. Yogyakarta : 2000. hlm. 18
18
atau tulisan-tulisan yang membahas mengenai sebuah advokasi sifatnya lebih kepada sebuah pentunjuk atau pedoman serta tata cara dalam melakukan sebuah advokasi. Penelitian ini akan menggunakan klasifikasi tidakan rasionalitas instrumental sebagai
acuannya,
yaitu
tindakan
yang
dilakukan
seseorang
dengan
memperhitungkan kesesuaian antaracara yang digunakannya dengan tujuan yang ingin dicapai atau bisa juga disebutrasionalitas alat-tujuan. Tindakan sosial hanya dapat dimengerti menurut arti subyektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan hal tersebut. Untuktindakan rasional, arti subyektif itu dapat ditangkap dengan skema ‘alat tujuan’. Teori tindakan ini mempunyai asumsi bahwa manusia pada umumnya rasional,sehingga mereka bertindak dengan mempertimbangkan bahwa hal tersebut adalahbaik bagi mereka. Namun, rasionalitas dalam jenis tindakan Weber ini tidak terbatas pada pengertian yang sempit untuk ‘memaksimalkan keuntungan’ sebagaimana ketika digunakan dalam teori ekonomi. Rasionalitas instrumental itu sendiri merupakan tingkat rasionalitas paling tinggi, meliputi pertimbangan danpilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya17. Sebagai individu, tentu manusia memiliki macam-macam tujuan yang diinginkannya, dan atas dasar suatu kriteria tertentu,individu menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersainganini. Individu lalu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapaitujuan yang dipilih tersebut. Dalam hal ini, mungkin mencakup 17
Johnson, Doyle Paul, op. cit., hlm. 220
19
pengumpulan informasi, mencatat kemungkinan-kemkungkinan serta hambatanhambatan yangterdapat dalam lingkungan, dan mencoba untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu. Akhirnya suatu pilihan dibuat atas alat yang dipergunakan yang kiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektivitasnya. Sesudah tindakan itu dilaksanakan, orang itu dapat menentukan secara obyektif sesuatu yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai. Weber menjelaskan: Tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri (zweckrational), apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasilhasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif18.
Berdasarkan asumsi ini, manusia merupakan makhluk rasional di mana tindakan-tindakannya apakah mampu memberikan keuntungan/manfaat atau sebaliknya senantiasa dikontrol oleh pertimbangan-pertimbangan rasionalnya. Inilah yang mendasari manusia menggunakan strategi untuk mencapai maksud dan tujuan yang diinginkannya yang dalam konteks penelitian ini adalah sebuah upaya strategi advokasi yang dilakukan oleh organisasi Perhimpunan Ohana untuk mencapai tujuannya yakni pemenuhan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi penyandang cerebral palsy.
18
Ibid., hlm. 220
20
E. Definisi Konseptual 1. Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara selayaknya. 2. Organisasi Non Pemerintah (Ornop) adalah organisasi yang dibentuk oleh kalangan yang bersifat mandiri yang dibentuk sebagai perwujudan dari komitmen sejumlah warga negara yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik. 3. Strategi Advokasi adalah berbagai teknik atau metode yang dirancang untuk menciptakan aksi strategis bagi terciptanya kebijakan publik yang bermanfaat bagi masyarakat dan mencegah kebijakan yang diperkirakan merugikan masyarakat. 4. Hak penyandang disabilitas adalah sesuatu yang seharusnya diterima dalam keberadaanya sebagai makhluk hidup, yakni meliputi hak asasi manusia. F. Definisi Operasional Dalam melihat strategi advokasi yang dilakukan oleh sebuah ornop guna mengadvokasi hak-hak penyandang disabilitas, untuk lebih mudahnya dapat dilihat dari bagaimana ornop tersebut menjalankan hal-hal sebagai berikut: 1. Melakukan upaya penegasan hak-hak penyandang disabilitas dan mensosialisasikan hak-hak penyandang disabilitas kepada masyarakat
21
pada umumnya dan pihak-pihak lain termasuk pemerintah, utamanya terkait kebutuhan kesehatan khusus bagi penyandang disabilitas. 2. Melakukan usaha-usaha yang menunjang pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, seperti perjuangan mengupayakan adanya peraturan hukum yang melindungi dan mengatur hak-hak penyandang disabilitas. 3. Menjalankan upaya advokasi dalam kasus-kasus pelanggaran hak-hak penyandang disabilitas.
G. Metodologi Penelitian G.1 Metode Penelitian Dalam menganalisa dan memahami strategi advokasi yang dilakukan terhadap para penyandang Cerebral Palsyyang dijalankan oleh Perhimpunan Ohana yakni meliputi strategi yang dijalankan dalam upaya advokasi tersebut dan sejauhmana keberhasilannya, maka metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian deskriptif-eksploratif. Fokus utama yang coba diteliti dalam penelitian ini sendiri yaitu terkait dengan strategi advokasi Perhimpunan Ohana dalam upaya pemenuhan hak-hak untuk mendapatkan jaminan terhadap akses pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah terhadap para penyandang cerebral palsydan penyandang disabilitas lain secara umumnya. Metode penelitian ini menurut peneliti sangatlah tepat dipakai dalam penelitian ini dikarenakan dapat menggambarkan aktivitas yang dilakukan oleh objek penelitian, yang dalam hal ini Perhimpunan Ohana dalam melakukan aktivitas advokasi terkait upaya pemenuhan hak-hak tersebut.
22
Metode penelitian Deskriptif sendiri adalah langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif terkait fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam permasalahan yang diteliti19. Lebih jauh, Hadari Nawawi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan cara menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang nampak sekarang20. Usaha mendeskripsikan fakta-fakta itu pada tahap permulaan tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala secara lengkap didalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan dan kondisinya. Penemuan gejala-gejala itu tidak berarti juga hanya sekedar menunjukan distribusinya, akan tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungannya antara satu dengan yang lain didalam aspek-aspek yang diselidiki itu. Pada tahap selanjutnya metode ini harus diberi bobot yang lebih tinggi, untuk itu pemikiran didalam metode ini perlu dikembangkan dengan memberikan penafsiran yang adequat terhadap fakta-fakta yang ditemukan. Dengan kata lain metode ini tidak terbatas sampai pada pengumpulan dan menyusun data, tetapi meliputi pula analisa dan interpretasi tentang arti data itu. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa metode deskriptif merupakan langkah-langkah representasi obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat didalam masalah yang diselidiki21. Metodedeskriptif ini kemudian dikombinasikan dengan teknikeksploratif, yaitu sebuah teknik penelitian yang bersifat menggali lebih jauh mengenai sebuah 19
Vredenburg, Jacob. 1984.Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Gramedia : Jakarta. hlm. 34 20 Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. hlm. 63 21 Nawawi, Hadari, loc. cit
23
permasalahan, namun masih bersifat terbuka dan masih mencari-cari.Jadi penelitian ini dilakukan dengan cara mencoba mengumpulkan gejala atau fakta yang terjadi dalam kasus yang telah dipilih oleh peneliti, kemudian mencoba menggambarkan gejala-gejala tersebut. Selanjutnya peneliti akan mencoba menghubungkan gejala-gejala yang telah terkumpul tersebut, sertadiakhiri dengan melakukan analisa dan interpretasi terhadap gejala atau fakta yang telah ditemukan yang dalam hal ini untuk mengetahui bagaimana Perhimpunan Ohana melakukan langkah-langkah upaya advokasi terhadap penderita Cerebral Palsy dan sejauhmana keberhasilan peran advokasi yang dijalankannya. G. 2Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Adapun data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber, dalam hal ini meliputi data dan informasi yang bersumber dari para pengurus lembaga Perhimpunan Ohana, keluarga dan orang tua penderita Cerebral Palsyyang tergabung kedalam komunitas WKCP Jogja (Wahana Keluarga Cerebral Palsy), termasuk pula data-data berupa surat–surat atau dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Ohana, WKCP dan Ornop
lain
yang
bergerak
dalam
bidang
pengadvokasian
terhadap
keberlangsungan hak-hak kesehatan para penderita difabel secara umum. Selain itu data-data primer tersebut juga akan dipekuat dengan data-data sekunder yang akan diperoleh peneliti dari dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan dan data-data Badan Pusat Statistikmengenai data para penyandang disabilitas serta peraturan-peraturan
24
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang mengatur mengenai pemenuhan pelayanan kesehatan bagi para penyandang disabilitas. Selain itu datadata sekunder lainnya juga akan digunakan oleh peneliti dari sumber-sumber seperti buletin, jurnal, koran, hasil penelitian yang pernah ada dan buku-buku yang relevan dengan penelitian ini. Proses pengumpulan dan pencarian datadalam penelitian ini sendiri dilakukan di Yogyakarta yaitu di sekertariat komunitas Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP) Jogja di Jalan Mutiara Selatan No. 012, RT. 39 RW. XI, Pengok PJKA Blok F7, Demangan dan juga kantor seketratian Perhimpunan Ohana yangberlokasi di Jongkang no.67F, RT 08 RW 36 Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Perencanaan teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Observasi Non Partisipan Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap programprogram yang dilakukan oleh Perhimpunan Ohana, kegiatan-kegiatan di lapangan, dan keseluruhan kegiatan yang dilakukan dalam upaya advokasi para penderita Celebral Parsy. b. Wawancara Peneliti melakukan penggalian data berupa paparan lisan dari proses tanya jawab terhadap beberapa informan diantaranya :
Direktur Perhimpunan Ohana Ibu Risnawati Utami
Dewan Penasehat Perhimpunan Ohana Bapak Buyung Ridwan Tandjung
25
Ketua Komunitas Wahana Keluarga Cerebral Palsy (WKCP) Ibu Anis Sri Lestari
Pengurus WKCP yakni Ibu
Reny Indrawati selaku Sekretaris
Komunitas WKCP
Anggota keluarga pennyandangCerebral Palsy
c. Dokumentasi dan Kepustakaan Guna memperoleh data secara lebih komprehensif, peneliti juga melakukan studi dokumentasi dan kepustakaan. Peneliti mencoba menggali lebih banyak data dari sumber tertulis seperti dokumen-dokumen Perhimpunan Ohana, WKCP, Dinas Kesehatan DIY, BPJS DIY, peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan Pemerintah, Surat Kabar, Majalah, Jurnal, hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan, dan sumber-sumber lain yang relevan. G. 3 Teknik Analisis Data Untuk melakukan analisa data, penelitian ini menggunakan metode analisa kualitatif. Analisa dilakukan terhadap data-data dokumentasi dan kepustakaan serta data-data hasil interview maupun obeservasi yang dijalankan terhadap kegiatan dan program-program advokasi yang dilakukan oleh Perhimpunan Ohana. Analisa dilakukan dimulai dari tahapan pengumpulan data, interpretasi terhadap data yang didapat dan pada akhirnya melakukan penyimpulan terhadap data-data yang telah didapat dan diinterpretasikan.
26
H. Sistematika Penulisan Penulisan mengenai penelitian Strategi Advokasi Perhimpunan Ohana Dalam Mendorong Pemenuhan Hak Kesehatan Bagi Penyandang Cerebral Palsyini akan dibagi kedalam 4 (empat) bab, yaitu : Bab I,merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, serta metodologi penelitian yang dilakukan. Bab II, berisikan pembahasan mengenai apa itu Cerebral Palsy, sertaprofil Perhimpunan Handicap Nusantara (OHANA) dan problematika yang selama ini menyelimuti penyandang disabilitas. Bab III, akan membahas mengenai lingkungan advokasi dan strategi advokasi yang dijalankan oleh Perhimpunan Ohana dalam upaya pemenuhan hak pelayanan kesehatan bagi penyandang Cerebral Palsy. Bab IV, akan memuat mengenai kesimpulan dan refleksi yang dapat dipelajari dari keseluruhan tulisan berdasarkan penelitian yang dilakukan.
27