BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Seseorang yang memiliki keterbatasan dalam melihat biasa disebut dengan tunanetra, tetapi penulis lebih memilih memanggilnya sebagai penyandang disabilitas netra, karena ketunaan yang berarti cacat akan menyakiti perasaan mereka, oleh karena itu mereka sangat menghargai apabila dipanggil dengan sebutan difabel atau penyandang disabilitas netra. Penyandang disabilitas netra merupakan bagian dari komponen masyarakat yang masih mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Penyandang disabilitas netra sebagai manusia yang memiliki keterbatasan visual memiliki kekurangan besar dalam penerimaan informasi, karena sebagian informasi yang diterima oleh manusia didapat dari indera penglihatan. Namun sebagai manusia, penyandang disabilitas netra tentunya memiliki kebutuhan hidup yang tidak dapat dibedakan. Permasalahan penglihatan yang dialami kaum disabilitas netra menyebabkan terbatasnya kegiatan bagi mereka, tidak hanya dikarenakan ketidakmampuan dalam melihat namun juga dikarenakan sikap masyarakat luas yang masih menganggap penyandang disabilitas netra sebagai aib dan diremehkan dalam kehidupan sosialnya. Adapun penyandang disabilitas netra telah memiliki berbagai lembaga sosial yang menampung mereka dalam pemecahan permasalahan yang mereka hadapi baik yang dikelola oleh pemerintah, swasta ataupun lembaga-lambaga
16
swadaya masyarakat yang perduli terhadap kehidupan sosial. Dikarenakan keterbatasan visual tersebut, para penyandang disabilitas netra hanya bisa mengandalkan lembaga-lembaga sosial tersebut untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan akan kegiatan dan mencari lapangan kerja. Penyandang disabilitas netra hingga saat ini masih mendapatkan pandangan sebelah mata di masyarakat. Mereka terlahir tidak seperti orang-orang kebanyakan, melainkan dengan segala macam keterbatasan baik itu fisik maupun mental. Banyak diantara mereka ini yang mendapatkan perlakuan berbeda atau diskriminasi hingga akhirnya disisihkan dari lingkungan terdekat mereka sendiri. Ini pun berlaku dalam dunia kerja pada umumnya, para pencari kerja yang menderita keterbatasan fisik seperti penyandang disabilitas netra kesulitan untuk mencari pekerjaan. Hai inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang penyandang disabilitas netra dan lapangan kerja. Ide ini di mulai ketika peneliti berkunjung ke salah satu panti sosial bagi penyandang disabilitas netra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. Adapun Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung yang merupakan panti binaan Kementerian Sosial yang memperoleh tanggung jawab untuk memberikan keterampilan kepada para penyandang disabilitas netra agar mereka bisa siap dan mandiri terjun di masyarakat. Ide ini beranjak dari yang sudah dijelaskan dalam UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat namun implementasinya masih jauh dari harapan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa harus ada kuota satu persen dari keseluruhan pekerja bagi penyandang
17
disabilitas di perusahaan atau lembaga pemerintahan yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Negara sebagai pihak yang bertanggungjawab menangani masalah penyandang disabilitas terkait pelaksanaan undang-undang ini salah satunya menunjuk Kementrian Sosial melalui sebuah lembaga salah satunya Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung untuk memfasilitasi penyandang disabilitas khususnya penyandang disabilitas netra untuk mampu kembali berkegiatan dan memiliki peluang untuk bersosialisasi dan berkarya di lingkungan sosialnya. Pembinaan dan pemberian keterampilan bagi para penyandang disabilitas netra seharusnya juga dibarengi dengan kesiapan pemerintah daerah dengan penyediaan lapangan kerja. Dengan demikian, para penyandang disabilitas netra yang telah lulus tidak kesulitan dalam mencari pekerjaan. 1. Orisinalitas Penelitian dengan tema penyandang disabilitas netra sudah banyak dan ditemui dan dilakukan oleh peneliti lain dari berbagai bidang, baik pendidikan, aksebilitas, ekonomi, budaya, maupun sosial. Sebagai contoh penelitian dari Dr. Ishartiwi, M.pd pada tahun 2008 yang berjudul “Tunanetra dan Intervensi Pendidikannya”. Penelitian ini lebih berfokus pada bagaimana peranan lembaga pendidikan dalam memberikan kesempatan pendidikan bagi penyandang disabilitas netra di lembaga pendidikan atau sekolah umum dengan menyertakan sistem pendidikan luar biasa di sekolah-sekolah umum, adapun penelitian mengacu pada tumbuh kembang siswa penyandang disabilitas netra
18
di lingkungan sekolah umum. Adapun penelitian lain yang dilakukan oleh Mila Karlina pada tahun 2012 mengenai “Dampak Program Pelatihan Outbond Terhadap Peningkatan Kepercayaan diri Bagi para Tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna”. Pada penelitian ini lebih mengemukakan pada permasalahan kurangnya perhatian pada penyandang disabilitas netra baik dari pemerintah ataupun lembaga-lembaga terkait mengenai kesulitan penyandang disabilitas netra untuk dapat mengaktualisasi diri di masyarakat sehingga penyandang disabilitas netra diberi kesempatan untuk menjalani outbound. Selain daripada itu penelitian ini pun menyorot kepada pelatihan outbound di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna untuk meningkatkan kepercayaan diri penyandang disabilitas netra. Mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya terkait penyandang disabilitas netra, peneliti merasa belum cukup banyak penelitian tentang pelatihan pembekalan keterampilan bagi penyandang disabilitas netra guna memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas netra untuk memasuki dunia kerja. Oleh karena itu peneliti telah melakukan penelitian dengan tema “PELATIHAN KETERAMPILAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS NETRA DALAM MENGHADAPI DUNIA KERJA (Studi di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung)”. Fokus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana program pembekalan keterampilan yang dilakukan oleh Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung untuk mempersiapkan penyandang disabilitas netra untuk terjun ke masyarakat. Adapun penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih 19
mengacu kepada kesempatan kerja yang kemungkinan di dapat oleh penyandang disabilitas netra setelah lulus dari Panti Sosial Wyata Guna Bandung karena masalah penyandang disabilitas netra dan lapangan kerja masih dibatasi oleh stigma-stigma negatif tentang penyandang disabilitas netra, 2. Aktualitas Data yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004 menunjukkan bahwa secara global, pada tahun 2002 terdapat lebih dari 161 juta orang penyandang disabilitas netra, yang terdiri dari 124 juta orang penyandang low vision dan 37 juta orang penyandang disabilitas netra berat (Adinda, 2010:79). Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dimaksud penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental. Dalam undangundang tersebut juga telah mengatur adanya kuota 1 (satu) persen bagi penyandang cacat dalam ketenagakerjaan, artinya ada kewajiban bagi perusahaan untuk mempekerjakan 1 orang penyandang cacat untuk setiap 100 orang pegawai. Meskipun undang-undang tersebut telah mengatur tentang kesamaan hak dan
kedudukan
penyandang
disabilitas,
20
tetapi
dalam
kenyataannya
implementasi undang-undang tersebut masih mengalami berbagai hambatan. Beberapa hambatan yang dialami antara lain: sampai saat ini belum ada data representatif yang menggambarkan jumlah dan karakteristik penyandang disabilitas, adanya stigma negatif tentang penyandang disabilitas yang menganggap
mereka
sebagai
aib
atau
kutukan
keluarga,
sehingga
menyembunyikan keberadaan mereka. Dalam ketenagakerjaan masih banyak yang menganggap bahwa penyandang disabilitas sama dengan tidak sehat, sehingga tidak dapat diterima sebagai pekerja karena syarat untuk menjadi pekerja salah satunya adalah sehat jasmani dan rohani. 3. Relevansi
dengan
Disiplin
Ilmu
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan Fenomena penyandang disabilitas netra memasuki dunia kerja merupakan salah satu permasalahan sosial yang memerlukan pengkajian secara khusus karena tidak banyak penyandang disabilitas netra dapat bekerja di berbagai sektor baik non formal maupun informal di suatu wilayah terdapat kekhasan yang dipengaruhi oleh situasi, jenis pekerjaan dan peluang yang ada. Kondisi ini sangat ironis bagi penyandang disabilitas netra yang seharusnya mendapatkan hak akan pekerjaan yang layak tetapi dihadapkan pada situasi yang seakan memarginalkan mereka akibat kekurangan yang dimiliki.
21
Permasalahan mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas netra terhadap dunia kerja erat kaitannya dengan kajian dibidang pembangunan sosial yang merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan khususya kesejahteraan penyandang disabilitas. Selain itu, seiring dengan perkembangan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang mempunyai tiga fokus utama yaitu kebijakan sosial (Social Policy), pemberdayaan masyarakat (Community Development), dan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), maka tema dalam penelitian ini juga termasuk diantaranya yaitu kebijakan sosial yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk perlindungan dan kepedulian bagi penyandang difabilitas khususnya penyandang disabilitas netra. Adapun penelitian mencangkup kepada Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna sebagai pekerjaan sosial yang ditujuan kepada penyandang disabilitas netra yang berupa bentuk-bentuk rehabilitasi sosial. Adapun hal ini sangat berkaitan juga dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan karena pekerjaan sosial dan bentuk rehabilitasi sosial memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan individu atau kelompok yang dalam hal ini adalah penyandang disabilitas netra agar dapat melaksanaan tugas-tugas dan peran-perannya di lingkungan sosialnya. Serta hal ini pun bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas netra dan meningkatkan kualitan penyandang disabilitas netra agar setara dengan orang-orang normal pada umumnya.
22
B. LATAR BELAKANG Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dimaksud penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental. Dalam undang-undang tersebut juga telah mengatur adanya kuota 1 (satu) persen bagi penyandang cacat dalam ketenagakerjaan, artinya ada kewajiban bagi perusahaan untuk mempekerjakan 1 orang penyandang cacat untuk setiap 100 orang pegawai. Meskipun undang-undang tersebut telah mengatur tentang kesamaan hak dan kedudukan
penyandang
cacat
atau
disabilitas,
tetapi
dalam
kenyataannya
implementasi undang-undang tersebut masih mengalami berbagai hambatan. Beberapa hambatan yang dialami antara lain sampai saat ini belum ada data representatif yang menggambarkan jumlah dan karakteristik penyandang disabilitas, adanya stigma negatif tentang penyandang disabilitas yang menganggap mereka sebagai aib atau kutukan keluarga, sehingga menyembunyikan keberadaan mereka. Dalam ketenagakerjaan masih banyak yang menganggap bahwa penyandang disabilitas sama dengan tidak sehat, sehingga tidak dapat diterima sebagai pekerja karena syarat untuk menjadi pekerja salah satunya adalah sehat jasmani dan rohani. Selain itu, masalah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas juga masih rendah.
23
Banyak fasilitas umum yang belum ramah terhadap mereka, sehingga menghambat akses dan partisipasi mereka diberbagai bidang. Mereka juga rentan mengalami diskriminasi ganda, terutama penyandang disabilitas netra. Dalam upaya penyediaan data tentang penyandang disabilitas, Departemen Sosial telah melakukan survey/pendataan penyandang disabilitas. Dari hasil survey di 24 provinsi tercatat ada sebanyak 1.235.320 penyandang disabilitas, yang terdiri dari 687.020 penyandang disabilitas laki-laki dan 548.300 penyandang disabilitas perempuan. Sebagian besar dari mereka hanya berpendidikan tidak sekolah/tidak tamat SD sebesar 59,9 persen, berpendidikan SD 28,1 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya pendidikan penyandang disabilitas masih rendah. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar dari mereka tidak mempunyai keterampilan, sebanyak 1.099.007 orang (89 persen). Dengan pendidikan yang rendah dan ketiadaan keterampilan, membuat mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Ada sebanyak 921.036 orang penyandang disabilitas yang tidak bekerja (74,6persen)(sumber:http://menegpp.go.id/V2/index.php/datadaninformasi/kependud ukan?download=10%3Apenyandang-cacat di akses pada tanggal 12 Desember 2012 pukul 22.20) Adinda (2010:77) menguraikan data dari PBB, dimana setiap 10 orang penduduk sebuah Negara, 1 diantaranya adalah difabel. Data yang dilansir dari WHO menyebutkan bahwa penduduk Indonesia dalam kategori difabel berjumlah 10 juta. Adapun dari Kementrian kesehatan pada tahun 2010 menunjukan angka 6,7 juta dari
24
total penduduk 250 juta. Riwayat kebijakan yang memperhatikan eksistensi kelompok difabel terhitung masih muda. Satu bukti dari marjinalisasi penyandang disabilitas adalah berdasar dari angka yang ditetapkan oleh dinas sosial, terdapat 6.000.000 penyandang disabilitas, atau sekitar 3 persen dari kurang lebih 200.000.000 penduduk Indonesia. Sedang PBB berasumsi bahwa terdapat sekitar 10 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Perbedaan data ini karena memang masalah system pendataan yang kacau, juga karena banyak anggota difabel yang masih disembunyikan oleh keluarga mereka (Damartoto, 2005:3). Terminologi penyandang disabilitas sendiri diperkenalkan oleh PBB pada tahun 1998 meski wacana ini sudah bergulir, paling tidak sejak decade 70an di kalangan akademik. Perhatian PBB terhadap isu difabel ini baru terlihat dengan lahirnya Konvensi PBB pada tahun 2006 untuk perlindungan dan jaminan aksesibilitas bagi 650 juta penduduk difabel dunia. Ketiadaan akses dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang merupakan dua pilar pembangunan bagi kelompok marjinal telah berdampak langsung pada pengangguran dan kemiskinan. Merekalah korban utama ketidakadilan politik-ekonomi, Data Susenas 2002 menyodorkan fakta keras bahwa 80% dari penduduk menganggur adalah difabel (Adinda, 2010:79) Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut, maka upaya pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas harus terus dilakukan, antara lain dengan terus melakukan sosialisasi undang-undang dan berbagai kebijakan/program terkait penyandang disabilitas, pemberdayaan penyandang disabilitas dan yang tidak kalah
25
penting adalah mengubah persepsi negatif masyarakat tentang penyandang disabilitas. Jangan lagi menganggap mereka sebagai kelompok masyarakat yang hanya menjadi beban, tetapi mereka merupakan kelompok masyarakat yang harus terus diberdayakan. Dalam konteks sosiologi, perbedaan itu merupakan bentuk stratifikasi sosial yang mana terdapat konsep untuk menjelaskan perbedaan perlakuan kepada orang atau kelompok tertentu. Menurut Aguirre dan Baker (Stolley, 2005:131), stratifikasi merupakan semacam sistem sosial yang terbentuk secara historis dan sosial, dan berakar pada sebuah ideologi yang melegitimasi dan membenarkan praktik subordinasi terhadap kelompok tertentu. Terdapat beberapa istilah yang mengacu pada perlakuan semacam itu, misalnya rasisme, ageisme, sexisme, dan ableisme. Bentuk-bentuk “isme” menerangkan sebuah keyakinan bahwa satu kelompok secara natural inferior atau superior dari yang lain. Ini menegaskan perlakuan yang tidak seimbang pada kelompok tertentu, yang didasarkan pada karakter-karakternya (Nopita dkk., 2011:2) Adapun batasan-batasan sosial yang menghadang kelompok difabel pada umumnya
diabaikan.
Menurut
Vlachou-Balafouti
dalam
Nopita
(2011:3)
mengemukakan bahwa isu-isu posisi politik personal bukan terletak pada hal masyarakat mengabaikan kelompok difabel, melainkan bagaimana mereka dapat terlibat di dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Pada kenyataannya, kita tidak menemukan representasi kelompok disabilitas dalam penyusunan kebijakan
26
inklusif. Disabillitas adalah isu politis, yang dapat digunakan untuk menguak hubungan terselubungnya praktik-praktik kekuasaan dan ketimpangan hubunganhubungan sosial. Kita dapat melihat hubungan posisi dan kekuasaan diantara guru, dokter, peneliti, orang tua, non-disabled citizen (orang normal) berpengaruh terhadap hubungan-hubungan dengan kelompok difabel, yang mampu mereproduksi persepsi tentang disabilitas, bahkan diskriminasi. Isu tentang penyandang disabilitas ini pada khususnya penyandang disabilitas netra menjadi masalah yang amat perlu untuk di tanggapi. Banyaknya pengangguran yang diakibatkan oleh ketidakmampuan penyandang disabilitas netra untuk bersaing karena mendapatkan diskriminasi dan pandangan sebelah mata. Pengertian diskriminasi terhadap penyandang disabilitas netra lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para penyandang disabilitas netra secara berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi difabel yang dimiliki, mereka dianggap tidak mampu melakukan aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang disabilitas netra sebagai karyawan. Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang disabilitas netra tidak akan mampu melakukan pekerjan seefektif seperti karyawan lain yang bukan penyandang disabilitas. Sehingga bagi para penyedia lapangan kerja, memperkerjakan para penyandang disabilitas netra sama artinya dengan mendorong perusahaan dalam
27
kerugian karena harus menyediakan beberapa alat bantu bagi kemudahan para penyandang disabilitas netra dalam melakukan aktifitas pekerjaannya. Perlakuan yang diharapkan lebih positif untuk para penyandang disabilitas netra ini, masih belum terealisasi. Belum adanya respek positif dari pemerintah memberikan fasilitas untuk mensejahterakan mereka, terutama dalam hal-hal pekerjaan. Pemerintah cenderung menilai bahwa penyandang disabilitas netra tidak dapat melakukan pekerjaan secara layak serta tidak memenuhi kualifikasi sebagai tenaga kerja. Dalam isu penyandang disabilitas netra yang menjadi masalah bukanlah berapa jumlah penyandang disabilitas netra di Indonesia, tetapi keberadaan mereka berhak mendapatkan hak seperti orang lain pada umumnya. Sebagaimana manusia pada umumnya, mereka pun ingin memiliki kehidupan yang layak. Namun pada kenyataannya keinginan yang demikinan itu sangatlah berat. Stigma negatif dan perilaku masyarakat sekitar selalu membuat penyandang disabilitas netra sangat lemah dan hampir tidak dapat melakukan sesuatu. Penyandang disabilitas netra selalu dihadapkan dengan masalah sikap stereotype dan pandangan miring akan kemampuan mereka sampai saat ini. Dengan kondisi memiliki kekurangan fisik, masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas netra tidak bisa bekerja dengan baik, tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk memegang suatu pekerjaan, lebih banyak merepotkan,
28
dan menambah pengeluaran perusahaan karena harus mengeluarkan akomodasi dan fasilitas khusus. Adapun penyandang disabilitas netra lebih dianggap tidak mampu dibandingan penyandang disabilitas yang lain. Kehilangan indera penglihatan membuat kesempatan meraka untuk masuk dalam dunia kerja seakan sulit. Apabila dibandingkan dengan penyandang disabilitas yang lain, penyandang disabilitas daksa yang tidak memiliki kaki misalnya, mereka memiliki tangan yang akan lebih produktif karena ditunjang oleh indera penglihatan yang normal. Hal inilah yang sering membuat para pelamar yang kebetulan penyandang disabilitas netra gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukan kualifikasinya. Contoh dari tindakan tersebut adalah lamaran tidak ditanggapi, tidak dipanggil untuk tes, atau wawancara padahal sudah memenuhi ketentuan persyaratan kerja. Mereka kalah bersaing dengan rekan yang tidak cacat atau yang berbeda jenis kecacatannya meskipun secara akademis dan kemampuan penyandang disabilitas netra tersebut lebih unggul dari rekan rekannya. Seorang penyandang disabilitas netra sering mengalami penolakan baik dalam keluarga, lingkungan rumah, dan masyarakat. Mereka selalu menganggap penyandang disabilitas netra itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka pikir orang cacat seperti penyandang disabilitas netra hanya tinggal di rumah, menyusahkan, dan tidak tahu harus diapakan lagi untuk dapat hidup lebih baik. Apalagi banyak orang berpikir penyandang disabilitas netra tidak dapat melakukan pekerjaan, jangankan
29
untuk mengurus keperluan lain. Untuk mengurus dirinya sendiri pun mereka selalu dianggap tidak bisa. Penyandang disabilitas netra harus sadar akan hak-haknya seperti hak untuk mengecap pendidikan yang layak, ekonomi, kesehatan, pekerjaan, sosial dan politik. penyandang disabilitas netra harus diberi pemahaman bahwa mereka juga orangorang yang hebat. Menjadi penyandang disabilitas netra merupakan cobaan yang cukup berat, karena harus belajar lagi untuk menyesuaikan diri karena merasa berbeda dengan orang lain karena memiliki hambatan. Hambatan itu dapat disebabkan berbagai alasan, termasuk keterbatasan fisik dan psikis seperti yang dialami oleh penyandang disabilitas netra. Keterbatasan mereka akan penglihatan justru malah cenderung menutup pintu setiap kemungkinan untuk maju. Menanggapi masalah-masalah terhadap isu-isu penyandang disabilitas netra tersebut, Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung sebagai unit yang berada dibawah tanggung jawab langsung Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI mempunyai tugas memberikan bimbingan pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar pendidikan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan serta bimbingan lanjut bagi penyandang disabilitas netra agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan. Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna sendiri melaksanakan rehabilitasi sosial dengan menyertakan bimbingan-bimbingan, adapun bimbingan-bimbingan tersebut berupa bimbingan fisik
30
dan mental, bimbingan sosial seperti pembinaan untuk menumbuhan rasa tanggung jawab sosial serta penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Kemudian yang terakhir adalah bimbingan keterampilan. Mengacu pada data yang didapat saat observasi lapangan yang lalu, bimbingan keterampilan di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna ada bermacam-macam antara lain keterampilan dasar, massage, shiatsu, keterampilan bermusik, alquran braile, ilmu IT, dan kerajinan tangan. Dengan adanya pelatihan-pelatihan tersebut dapat membantu penyandang disabilitas netra untuk mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk dapat memperoleh pekerjaaan yang layak. Implementasi dari adanya pelatihan-pelatihan keterampilan tersebut seharusnya menjadi alat bagi penyandang disabilitas netra untuk memperoleh hak-haknya, tetapi sejauh ini masih banyak masalah yang dihadapi penyandang disabilitas netra untuk menuntut haknya terutama hak untuk diberikan kesempatan bekerja seperti orang lain. Berdasarkan fenomena tersebut, maka untuk efektivitas dari pelatihan-pelatihan tentang pemberian bekal keterampilan kerja bagi penyandang disabilitas netra perlu untuk diteliti. Untuk melihat efektivitas pemberian bekal keterampilan bagi penyandang disabilitas netra seperti sejauhmana peran masyarakat sebagai kontrol sosial yang melihat apakah pemberian keterampilan tersebut dapat dikatakan berhasil dan tepat sasaran serta memberikan perubahan yang positif bagi penyandang disabilitas netra. Adapun dapat melihat tingkat kesadaran hukum pimpinan perusahaan yang berpengaruh terhadap ketaatan/kepatuhannya terhadap peraturan, peran aparat/pejabat berwenang yang dapat mendukung
31
penerapan undang-undang tentang tenaga kerja difabel khususnya penyandang disabilitas netra. Karena hingga saat ini stigma negatif selalu melekat pada diri penyandang disabilitas netra, perlakuan buruk, pandangan miring seakan menjadi hal yang biasa. Dengan pelatihan pembekalan yang efektif disertai dengan rehabilitasi sosial yang berjalan efektif seharusnya memberikan kualifikasi lebih bagi penyandang disabilitas netra di masyarakat. Bagaimanapun juga pelatihan keterampilan ini bertujuan untuk menyiapkan diri penyandang disabilitas netra sebelum “dikembalikan” ke masyarakat dan siap untuk hidup di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu peneliti merasa perlu mengangkat akan isu mengenai penyandang disabilitas netra dan efektifitas pemberian program bekal keterampilan bagi penyandang disabilitas netra karena isu-isu mengenai kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas netra masih perlu diperhatikan. C. RUMUSAN MASALAH Sejauhmana efektifitas program pelatihan keterampilan Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung kepada penyandang disabilitas netra untuk memasuki dunia kerja? D. TUJUAN PENELITIAN Secara umum tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui peranan Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna dalam memberikan layanan kepada penyandang disabilitas netra dan sejauh mana kefektifan program pemberian bekal keterampilan
32
terhadap penyandang disabilitas netra serta mengetahui sejauh mana kebijakan pemerintah daerah memberikan perlindungan serta memfasilitasi lapangan kerja yang layak kepada pekerja penyandang disabilitas netra. E. MANFAAT PENELITIAN 1. Secara Teoritis a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian dan informasi terhadap ilmu pengetahuan mengenai faktor-faktor penyebab sulitnya penyandang disabilitas netra memasuki dunia kerja. b) Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pelatihan keterampilan bagi penyandang disabilitas netra khususnya penyandang disabilitas netra yang berada dalam naungan Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. 2. Secara Praktis a) Sebagai bahan kajian perumusan kebijakan yang berkaitan dengan penyandang disabilitas netra dalam upaya pemenuhan atas hak-hak anak sesuai UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. b) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk memberikan layanan pendidikan dan bimbingan mengenai bekal keterampilan yang lebih baik terhadap penyandang disabilitas netra untuk memasuki dunia kerja c) Hasil dari penelitian ini dapat menjadi acuan untuk monitoring dan evaluasi program yang telah dilaksanakan
33
F. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENYANDANG DISABILITAS NETRA a. Konsep Disabilitas Netra dan Karakteristiknya. Disabilitas Netra (visual impeirment) adalah seseorang yang hanya memiliki ketajaman penglihatannya 20/200 atau lebih kecil pada mata yang terbaik setelah dikoreksi dengan mempergunakan kacamata, atau ketajaman penglihatannya lebih baik dari 20/200 tetapi lantang pandangnya menyempit sedemikian rupa sehingga membentuk sudut pandang tidak lebih besar dari 20 derajat. Kondisi disabilitas netra dibedakan dua kategori, penyandang disabilitas netra (Sutjihati Somantri, 2006:65). Kondisi ini termasuk secara pengertian secara luas yang mencakup individu dengan gannguan pengelihatan dengan ciri-ciri kondisinya, yaitu: 1) Ketajaman pengelihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang ”dapat melihat secara awas”; 2) terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu, 3) posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak, 4) terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan pengelihatan.
34
Secara lebih mudah dipahami (Irham Hosni, 1995: 26), memaparkan ciri-ciri untuk mengenali disabilitas netra, yaitu: 1) seseorang yang hanya mengenal bentuk dan obyek (sedikit sisa pengelihatan); 2) hanya dapat mengitung jari dari berbagai jarak; 3) tidak dapat melihat tangan yang digerakan, 4) seseorang yang hanya dapat membedakan gelap, terang atau persepsi cahaya dan dapat menunjuk sumber cahaya; 5) dan seseorang yang tidak mempunyai persepsi cahaya (buta total). Dengan kata lain penyandang disabilitas netra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi dengan baik dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang normal. Mereka memiliki keterbatasan untuk melakukan berbagai aktivitas yang membutuhkan suatu penglihatan seperti melihat sekitar, menonton televisi, membaca, serta hal lainnya yang berkenaan dengan penglihatan. Adapun penyandang disabilitas netra disebabkan dari banyak faktor seperti yang dipaparkan oleh Sutjihati Somantri (2006:66) bahwa kepenyandang disabilitas netraan terdiri dari beberapa faktor. Faktor tersebut dari sudut pandang ilmiah, yaitu faktor internal: kondisi saat bayi dalam kandungan: gen, kondisi ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, serta faktor ekternal seperti saat atau sesudah kelahiran, kecalakaan, terkena penyakit mata, pengaruh alat bantu medis,
35
terkena virus, kurang gizi pada masa perkembangan, kurang vitamin, sakit panas tinggi, keracunan. Kondisi penyandang disabilitas netra tersbut dapat mengalami hambatan berbagai aspek perkembangan kognitif, motorik, emosi, sosial, kepribadian. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut penulis menyimpulkan bahwa tidak semua orang mempunyai kelainan pada indera penglihatan yang menghambat pelaksanaan kegiatan dan fungsi orang tersebut. Penyandang disabilitas netra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar, jadi, individu dengan kondisi penglihatan yang termasuk "setengah melihat", "low vision", atau rabun adalah bagian dari kelompok penyandang disabilitas netra. Berdasarkan acuan tersebut, penyandang disabilitas netra dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (Somantri, 2005:67): 1) Buta Dikatakan buta jika sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya = 0)
36
2) Low Vision Bila masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika hanya mampu membaca headline pada surat kabar. Kedua macam jenis penyandang disabilitas netra tersebut juga terdapat pada siswa-siswa atau klien PSBN Wyata Guna sebagai lokasi penelitian, dengan melihat dari perbedaan jenis tersebut kemungkinan terdapat perbedaan pula dalam cara dan metode rehabilitasi dan pemberian bekal keterampilan yang di berikan oleh pihak panti kepada kliennya. Selain daripada itu penyandang disabilitas netra pun dapat diklasifikasikan kedalam beberapa riteria. Adapun klasifikasi penyandang disabilitas netra secara garis besar yaitu berdasarkan waktu terjadinya kepenyandang disabilitas netraan : (a) Penyandang disabilitas netra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan. (b) Penyandang disabilitas netra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. (c) Penyandang disabilitas netra pada usia sekolah atau pada masa remaja;
mereka
telah
37
memiliki
kesan-kesan
visual
dan
meninggalkan
pengaruh
yang
mendalam
terhadap
proses
perkembangan pribadi. (d) Penyandang disabilitas netra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihanlatihan penyesuaian diri. (e) Penyandang disabilitas netra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri. Dengan pemaparan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa sebagian besar orang penyandang disabilitas netra pernah bergantung pada penglihatannya. Penyandang disabilitas netra yang terjadi mendadak memunculkan lebih banyak tantangan psikologis daripada kepenyandang disabilitas netraan yang terjadi sejak awal meraka lahir. Kehilangan penglihatan secara mendadak mungkin dapat mempengaruhi banyak kegiatan sehari-hari karena akan menjadi lebih sulit dilakukan. Hal ini mungkin yang mengakibatkan sering kali menimbulkan perasaan kecemasan dan kehilangan rasa percaya diri. Kehilangan penglihatan juga dapat mengakibatkan berbagai macam reaksi emosional, dari penerimaan dari lingkungan sekitar dan perasaan terasingkan, minder, kurang harapan, kesepian, kecemasan, dan depresi. Stigma negatif tersebut sudah tentu dapat mempengaruhi penerimaan masyarakat akan keberadaan penyandang disabilitas netra.
38
b. Faktor-faktor Penyebab Ketunnetraan Keterbatasan penglihatan seseorang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri individu (internal) ataupun faktor dari luar individu (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya kecelakaan, terkena penyakit yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis saat melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus.
c. Penyandang disabilitas netra dan Dampak Kepenyandang disabilitas netraannya di Masyarakat. Somantri dalam bukunya yang berjudul Psikologi Anak Luar biasa (2005:68) menuturkan mengenai bagaimana dampak kepenyandang disabilitas netraan di lingkungan masyarakat, dikatakan bahwa terdapat
39
beberapa hasil penelitian dari para ahli yang cukup menarik. Dari beberapa hasilpenelitian dapat ditarik kesimpulan, antara lain bahwa dalam pandangan orang berpenglihatan normal, penyandang disabilitas netra memiliki beberapa karakteristik, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Beberapa penilaian yang termasuk negatif menyatakan bahwa penyandang disabilitas netra pada umumnya memilikisikap tidak berdaya, sifat ketergantungan, memiliki tingkat kemampuan rendah dalam orientasi waktu, tak suka berenang, menikmati suara dari televisi, tidak pernah merasakan kebahagiaan, memiliki sifat kepribadian yang penuh dengan frustrasi-frustrasi,
kaku,
resisten
terhadap
perubahan-perubahan,
cenderung kaku dan cepat menarik tangan dari lawannya pada saat bersalaman, serta mudah mengalami kebingungan ketika memasuki lingkungan yang tidak familiar yang ditunjukkan dengan perilaku-perilaku yang tidak tepat. Dalam hal faktor penyebab, sebagian besar orang awam percaya bahwa kepenyandang disabilitas netraan disebabkan oleh hukuman atas dosa-dosa orangtuanya, namun kalangan yang lebih profesional memandang bahwa hal tersebut disebabkan oleh faktor keturunan atau terjadinya infeksi beberapa penyakit tertentu. Kelompok
penyandang
disabilitas
netra
merupakan
suatu
kelompok minoritas. Mereka yang memiliki penglihatan tak sempurna cenderung patuh atau tunduk dalam hubungan intrapersonal dengan orang
40
berpenglihatan normal. Namun demikian dalam pandangan orang berpenglihatan normal, orang penyandang disabilitas netra juga sering memiliki kelebihan yang sifatnya positif seperti kepekaan terhadap suara, perabaan, ingatan, keterampilan dalam memainkan alat musik, serta ketertarikan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama.Penyandang disabilitas netra seringkali dipandang sebagai individu yang memiliki ciri khas, diantaranya secara fisik penyandang disabilitas netra dapat dicirikan dengan tongkat, menggunakan kacamata gelap, dan ekspresi wajah tertentu yang datar. Secara sosiologis penyandang disabilitas netra juga sering dicirikan dengan mengikuti sekolah-sekolah khusus, jarang bekerja di lingkungan industri, dan secara ekonomis memiliki sifat ketergantungan yang tinggi. Sedangkan secara psikologis mereka sering dicirikan dengan pemilikan
indera
yang
superior
terutama
dalam
hal
perabaan,
pendengaran, dan daya ingatannya. Secara umum orang berpenglihatan normal juga berpendapat bahwa penyandang disabilitas netra memiliki masalah-masalah pribadi dan sosial yang lebih besar dibandingkan dengan orang berpenglihatan normal. d. Dasar Hukum Pemenuhan Hak Bagi Penyandang disabilitas netra Di Indonesia sendiri jaminan akses terhadap pemenuhan hak, kewajiban, dan peran bagi kelompok difabel dalam hal ini khususnya penyandang disabilitas netra. Hingga saat ini sarana dan upaya untuk
41
memberikan perlindungan hokum terhadap kedudukan, hak, kewajiban dan peran kelompok tersebut telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan,
yaitu
yang mengatur
masalah
ketenagakerjaan,
pendidikan, dan kesejahteraan. Ada beberapa landasan yang menjadi payung dalam pemenuhan hak kelompok difabel termasuk penyandang disabilitas netra, antara lain: a) Undang-Undang Dasar 1945, BAB X tentang Warga Negara (1) Pasal 27 ayat 2: Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (2) Pasal 28 D ayat 2: setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja b) UU no. 4 tahun 1997, TENTANG PENYANDANG CACAT (1) Pada BAB III mengenai hak dan kewajiban Pasal 5 yang berbunyi, Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. (2) Pada Pasal 6 menyebutkan bahwa. Setiap penyandang cacat berhak memperoleh: (a) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; 42
(c) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (d) aksebilitas dalam rangka kemandiriannya; (e) rehabilitasi,
bantuan
sosial,
dan
pemeliharaan
taraf
kesejahteraan sosial; (f) hak
yang
kemampuan,
sama
untuk
dan
menumbuhkembangkan
kehidupan
sosialnya,
terutama
bakat, bagi
penyandang cacat anak. dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. (3) Pada BAB IV tentang Kesamaan Kesempatan. Pasal 13: Setiap Penyandang Cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis derajat kecacatannya (4) Pasal 14: Perusahan Negara dan Swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan memperkerjakan penyandang cacat di perusahaannya dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan atau kualifikasi perusahaan c) UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan, pada BAB III tentang kesempatan dan perlakuan yang sama (1) Pasal 5: Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan 43
(2) Pasal 6: Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha (3) BAB V Pelatihan Kerja Pasal 19: Pelatihan kerja pada tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan (4) BAB VI Penempatan Tenaga Kerja Pasal 31: Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (5) BAB X tentang Perlindungan, pengupahan dan Kesejahteraan pasal 67: pengusaha
yang mempekerjakan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya yang mengacu pada peraturan Perundangan yang berlaku d) UU RI no. 39/1999 tentang HAM, Kesamaan hak dalam kehidupan e) Perpem No. 43/1998 tentang Upaya peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (1) BAB II Kesamaan Kesempatan Pasal 26: Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan
44
kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya (2) Pasal 27: Pengusaha wajib memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja penyandang cacat (3) Pasal 28: Perusahaan harus memperkerjakan sekurang-kurangnya 1(satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan
dan
perusahaannya
kualifikasi untuk
pekerjaan
setiap
sebagai
100(seratus)
pekerja orang
pada pekerja
perusahaannya. f) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat g) Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan. Dari pemaparan mengenai dasar-dasar hukum yang merujuk pada penyandang cacat yang dalam penelitian ini merupakan para penyandang disabilitas netra menyebutkan bahwa perlindungan tidak lagi sifatnya hanya bersifat bantuan tapi lebih kepada kesetaraan hak sama seperti orang normal pada umumnya. Realita di masyarakat, para penyandang disabilitas netra ini masih mengalami stigma negatif sehingga memiliki keterbatasan tambahan, keterbatasan dalam akses publik, informasi, maupun lapangan pekerjaan yang setara dengan yang lainnya. Undang-undang ini menjadi landasan untuk 45
peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas netra yang didsarkan atas prinsip kesetaraan akan pemberian kesempatan dan partisipasi penyandang disabilitas netra dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan. Penyandang disabilitas netra hanya memiliki kekurangan dari segi penglihatan. Di luar itu, mereka masih bisa berbicara, mendengar, berjalan, bahkan bersosialisasi. Mereka juga bisa membaca dan menulis. Hanya saja medianya sedikit berbeda dengan kita. 2. Tinjauan Tentang Pelatihan Keterampilan Kartono dan Gulo (2003:59) mengartikan pelatihan sebagai sejumlah instruksi, perlakuan atau manipulasi yang harus dijalani oleh seekor binatang atau seorang manusia agar dapat memahami atau sanggup melaksanakan tugas atau peranan tertentu. Menurut Utami dalam Kartono (2003:59) pelatihan adalah salah satu bentuk belajar yang efektif dimana individu dapat meningkatkan pengetahuan dan penguasaan ketrampilan
yang baik.
Sementara itu, menurut Truelave (Kartono, 2003:60) pelatihan adalah salah satu usaha untuk mengajarkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu. Memperhatikan dari pendapat-pendapat tersebut ketrampilan dapat dikatakan juga suatu perilaku yang mengarah atau mengacu kepada kemampuan seseorang yang berdasarkan bagaimana tingkat pengetahuan dan penguasaan seseorang dipandang cukup dalam bidang tertentu. Dalam
46
penelitian ini keterampilan mengacu pada pemberian bekal keterampilan yang diberikan PSBN Wyata Guna kepada penyandang disabilitas netra agar siap kembali kemasyarakat dan siap untuk berkompetitif di dunia kerja sesuai keterampilan yang di geluti dan dimiliki. 3. Aspek-aspek Ketrampilan Menurut Caldarella &Merrel (Merrel&Gimpel, 1998) dalam penelitian Nurhidayah (2010) ketrampilan yang telah dikembangkan untuk analisa dan ditinjau ulang diidentifikasi menjadi lima dimensi utama untuk anak-anak dan remaja yang meliputi: a) Peer relationship skills Dimensi ini terdiri dari karakteristik dan ketrampilan soial seorang individu untuk menjadikan orang lain sebagai panutan atau contoh model yang baik. Seorang penyandang disabilitas netra pun harus memiliki panutan atau model yang baik guna memacu semangat mereka untuk menjadi individu yang lebih baik lagi b) Self management skills Selfmanagement
merupakan
kemampuan
individu
dalam
mengendalikan kontrol diri atau perangainya untuk mengikuti aturan dan batasan tertentu, kemampuan dalam berkompromi dengan orang
47
lain, serta kemampuan dalam menerima kritikan orang lain secara baik. Hidup seorang penyandang disabilitas netra tidak akan jauh dari kritikan dan cemoohan dari orang lain, oleh karena itu perlu manajemen diri yang baik bagi mereka untuk dapat menerima, sabar, dan berbesar hati mengenai stigma negatif yang mereka terima di masyarakat. c) Academic skills Dimensi ketrampilan akademis banyak dihubungkan dengan pergaulan di lingkungan sosial, melalui kemampuan ini individu mencerminkan seorang remaja yang lebih produktif dan mandiri dibidangnya. Keterampilan ini yang nanti akan sangat berpengaruh bagi penyandang disabilitas netra di lingkungan PSBN Wyata Guna untuk mencari sebuah pekerjaan. Sebuah pekerjaan menuntut seseorang untuk memiliki kemampuan yang mumpuni dan mampu produktif di bidang yang akan digelutinya. d) Compliance skills Dimensi ini meliputi ketrampilan dan karakteristik individu dalam menjalin hubungan akrab dengan orang lain yang sewajarnya serta dapat mengikuti aturan dan harapan, penggunaan bebas waktu (menejemen waktu) dan sharing akan berbagai hal.
48
e) Assertion skills Merupakan kemampuan individu dalam memberikan suatu pernyataan secara extrovert (terbuka) dan ramah kepada orang lain sebagai sarana latih diri dan begitu juga dengan pernyataan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan diri. Sifat ini tentu dapat membantu penyandang disabilitas netra dalam lingkungan kerja. Keramahtamahan serta menjadi pribadi yang menyenangkan di mata orang lain tentu secara tidak langsung dapat mengurangi
kesulitan
mereka
sebagai
orang
yang
memiliki
kekurangan. 4. Tinjauan Tentang Efektivitas Efektivitas merupakan keadaan yang berpengaruh terhadap suatu hal yang berkesan, kemanjuran, keberhasilan usaha, tindakan ataupun hal yang berlakunya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Supriyono dalam bukunya “Sistem Pengendalian Manajemen” mendefiisikan pengertian efektivitas sebagai berikut: ”Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung wajab dengan sasaran yang mesti dicapai, semakin besar kontribusi daripada keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut, maka dapat dikatakan efektif pula unit tersebut” (Supriyono, 2000:29) Gibson juga berpendapat efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama (Ibnu, 2009). Berdasarkan berbagai
49
pengertian tersebut, ada empat hal yang merupakan unsur-unsur efektifitas yaitu sebagai berikut: a. Pencapaian tujuan, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. b. Ketepatan waktu, sesuatu yang dikatakan efektif apabila penyelesaian atau tercapainya tujuan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan. c. Manfaat, sesuatu yang dikatakan efektif apabila tujuan itu memberikan manfaat bagi masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. d. Hasil, sesuatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan itu memberikan hasil. Berdasarkan pemaparan para ahli tersebut penulis menyimpulkan bahawa masalah efektivitas biasanya berkaitan erat dengan tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun, serta harus mencerminkan hal lain selain tujuan dan perencaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan efektifitas adalah tercapainya tujuan yang telah di tetapkan. Adanya ketentuan waktu dalam memberikan pelayanan serta adanya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan padanya. Jadi tidak hanya akan membahas tentang input dan output suatu program dalam hal ini program pembekalan keterampilan bagi penyandang disabilitas netra tapi juga melihat dari keseluruhan sistem seperti lingkungan masyarakat
50
atau user-user yang nantinya akan memakai jasa dari penyandang disabilitas netra tersebut. Aswarni (2001:159) mengemukakan bahwa efektivitas suatu program dapat dilihat dari aspek-aspek antara lain: a. Aspek rencana atau program Jika seluruh rencana dapat dilaksanakan maka rencana atau program dikatakan efektif. Yang dimaksud dengan rencana program disini ialah rencana pemberian pembekalan keterampilan bagi penyandang disabilitas netra yang terprogram. Yaitu berupa metode ataupun materi yang terwujud dalam sebuah rencana yang telah ditetapkan b. Aspek ketentuan dan tujuan ideal Efektifitas suatu program juga dapat dilihat dari berfungsi atau tidaknya
aturan
yang
dibuat
dalam
rangka
menjaga
berlangsungnya proses pemberian keterampilan. Serta program dikatakan efektif apabila usaha tersebut mencapai tujuan dengan kondisi ideal yang diinginkan. Dalam penelitian ini dapat dilihat melalui aspek yang berhubungan dengan staf pengajar dan peserta didik atau klien di Wyata Guna. Jika aturan tersebut dilaksanakan dengan benar maka telah berlaku secara efektif serta penilaian aspek tujuan dapat dilihat dari prestasi yang dicapai klien. 51