BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki angka yang tidak sedikit. Data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial (Kemensos) menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2010 penyandang disabilitas di Indonesia mencapai angka 11.580.117 jiwa atau sekitar 4,8% dari jumlah populasi seluruh masyarakat Indonesia dan sekitar 1.852.866 jiwa merupakan penyandang tuna daksa (www.republika.co.id). Tuna daksa berasal dari dua suku kata yaitu “tuna” yang berarti kurang dan “daksa” yang berarti tubuh. Departemen Kesehatan Indonesia (Depkes) mendefinisikan tuna daksa sebagai ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitas gerak normal yang disebabkan karena adanya kelainan neuro-maskuler atau struktur tulang (www.depkes.go.id). Seseorang dapat menjadi penyandang disabilitas disebabkan karena beberapa hal, diantaranya kelainan bawaan, kondisi perinatal, penyakit dan kecelakaan (kecelakaan kendaraan bermotor, kebakaran, perang dan penyebab eksternal lain termasuk faktor alam dan lingkungan). Di Indonesia, salah satu penyebab banyaknya jumlah penyandang tuna daksa yaitu karena tingginya angka kecelakaan dan juga kejadian bencana alam. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO), Indonesia menempati urutan kelima dengan tingkat kecelakaan lalu lintas tertinggi di dunia (www.republika.co.id). Individu yang awalnya normal lalu mengalami disabilitas karena kecelakaan atau bencana alam tentu memerlukan upaya yang lebih besar untuk dapat menerima kondisi disabilitas. Hal tersebut disebabkan karena mereka terlahir sebagai seseorang yang memiliki anggota tubuh lengkap, namun karena kecelakaan atau bencana alam, mengakibatkan 1
2 individu tersebut harus melakukan adaptasi dengan kondisi barunya. Hasil wawancara yang terdapat dalam sebuah surat kabar menjelaskan bahwa kehilangan salah satu anggota tubuh dapat menyebabkan seseorang menjadi depresi bahkan memutuskan untuk bunuh diri. “Banyak dari mereka, kata Dadan, yang mengalami depresi lantaran kehilangan kaki atau tangannya. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang berusaha mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.” (www.republika.com) Kekurangan anggota tubuh tentu saja dapat menimbulkan tekanan pada diri penyandang tuna daksa, terutama dalam hal mobilitas karena adanya keterbatasan pada fungsi organ tubuh yang tidak sempurna. Stres tersebut seharusnya dapat di kurangi dengan adanya sarana serta fasilitas yang ramah terhadap kondisi mereka. Namun kenyataannya, fasilitas dan sarana umum yang seharusnya dapat memudahkan penyandang tuna daksa untuk dapat hidup secara mandiri saat ini dapat dikatakan belum ramah terhadap penyandang tuna daksa. Patut disayangkan bahwa peningkatan jumlah penyandang tuna daksa tersebut tidak di imbangi dengan fasilitas kesehatan serta sosial yang memadai. Berikut ini merupakan beberapa kutipan dari media internet yang membahas mengenai kurangnya fasilitas yang kurang ramah terhadap penyandang disabilitas sehingga menghambat penyandang disabilitas untuk dapat beraktivitas secara mandiri. “Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) Kabupaten Sleman, Nurbandi mengakui terdapat fasilitas umum yang tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Fasilitas yang tidak ramah disabilitas tersebut diketahui sejak adanya laporan dari penyandang disabilitas sendiri.” (www.republika.com) “Beraktivitas menggunakan moda transportasi kereta api bagi kebanyakan orang terlihat sepele. Namun bagi penyandang keterbatasan fisik atau kaum difabel, menggunakan kereta api di Stasiun Solo Balapan bisa jadi masalah bagi mereka. Belum tersedianya peron tinggi di semua jalur kereta membuat rombongan penyandang difabel yang akan berangkat ke Yogyakarta menggunakan kereta Prambanan Ekspres ini kesulitan. Mereka yang menggunakan tongkat harus bersusah payah naik tangga, sedang yang berkursi roda harus diangkat sejumlah petugas agar bisa masuk ke dalam gerbong. Padahal bila prasarana bagi penyandang keterbatasan fisik di stasiun lengkap, mereka tidak perlu meminta bantuan petugas dan bisa mandiri seperti penumpang lainnya dan menikmati menggunakan transportasi kereta dengan nyaman.” (www.tv.liputan6.com)
3 Peneliti juga melakukan wawancara pendahuluan dengan salah satu subjek yang menjadi penyandang tuna daksa karena mengalami kecelakaan ketika bekerja. Subjek menyebutkan bahwa hingga saat ini pun, subjek merasa masih banyak fasilitas umum yang belum memiliki akses yang dapat memudahkan dirinya untuk dapat beraktivitas secara mandiri. Subjek juga bercerita bahwa tekanan yang dialami penyandang tuna daksa selain dari kurangnya fasilitas juga berasal dari kondisi dan respon masyarakat terhadap penyandang tuna daksa. Kondisi tuna daksa pada sebagaian masyarakat masih dipandang sebagai sebuah aib dan cenderung dipandang sebelah mata. Penyandang tuna daksa di dalam masyarakat juga sering dipandang sebagai sosok yang tidak berdaya dan tidak dapat mengerjakan sesuatu yang berarti. Hal tersebut menyebabkan munculnya diskriminasi terhadap penyandang tuna daksa. Diskriminasi tersebut menyebabkan penyandang disabilitas terutama penyandang tuna daksa merasa tertekan, kurang percaya diri, rendah diri, minder dan merasa tidak berguna. Saat ini, diskriminasi yang dialami penyandang tuna daksa tidak hanya ketika berada di lingkungan masyarakat saja, namun meluas ke dalam lingkungan pendidikan serta lapangan pekerjaan. Kesempatan kerja dan pendidikan yang bisa mereka dapatkan menjadi lebih sempit. Banyak lapangan pekerjaan dan institusi pendidikan yang memberikan syarat untuk tidak menerima individu dengan kondisi tuna daksa. Hal tersebut dapat memberikan gambaran negatif mengenai kondisi yang harus dihadapi seorang penyandang tuna daksa yang memiliki keinginan untuk bekerja maupun menimba ilmu. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. "Tahun kemarin juga ada, tapi tidak semassif kali ini," kata Komisioner Ombudsman Budi Santoso di Jakarta, Selasa, 29 April 2014 (nasional.tempo.co) Beberapa bentuk diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas dapat dilihat dari kurangnya pemenuhan fasilitas dan akses-akses pendukung bagi penyandang disabilitas di tempat umum, penolakan secara halus maupun keras pada saat melamar pekerjaan, penolakan di bidang pendidikan seperti masih banyaknya sekolah dan perguruan tinggi yang menolak calon murid dan mahasiswa
4 penyandang disabilitas karena dirasa tidak mampu untuk menerima pelajaran yang diberikan. Padahal dalam Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1997 terdapat poin mengenai aksesibilitas yaitu kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. (www.kompasiana.com) Pada dasarnya penyandang tuna daksa mempunyai kebutuhan yang sama dengan individu normal, akan tetapi karena kekurangan yang ada pada fisiknya membuat mereka menemukan banyak kesulitan. Mereka dituntut untuk mampu menghadapi tantangan atau persaingan hidup sama seperti manusia normal lainnya. Padahal seharusnya penyandang tuna daksa mendapatkan hak khusus untuk hidup layak karena menurut UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang disabilitas menyebutkan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan, pekerjaan, penghidupan yang layak, perlakuan yang sama, rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaan kesejahteraan sosial, dan hal yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat/kemampuan dan kehidupan sosialnya. (www.kpai.go.id) Proses adaptasi dan respon terhadap kondisi yang mereka alami yang diperoleh dari masyarakat merupakan stressor yang dirasakan oleh penyandang tuna daksa. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya penyandang tuna daksa yang merasa stres dan akibatnya banyak dari mereka yang putus asa serta hanya memohon belas kasihan dari orang lain. Hal tersebut terlihat dari banyaknya tuna daksa yang hanya mengemis dan memohon belas kasihan dari orang lain untuk dapat bertahan hidup. Sebuah fakta menarik muncul dari fenomena tuna daksa ini. Ditengah kekurangan yang mereka miliki, ternyata terdapat kisah hidup penyandang tuna daksa yang mampu bangkit dan berjuang untuk menjadi lebih baik. Salah satu contoh seorang tuna daksa yang mampu sukses melawan keterbatasannya adalah SS. SS merupakan seorang tuna daksa yang berasal dari Kota Mojokerto. Ia menjadi penyandang tuna daksa karena mengalami kecelakaan motor dan mengakibatkan kaki kanannya harus diamputasi. SS mengalami kecelakaan ini ketika masih berada di bangku SMA. Awalnya ia merasa impian dan rasa
5 percaya dirinya jatuh seketika. Namun keterbatasan yang dimilikinya tersebut tidak membuatnya menyerah, ia berusaha untuk bertahan hidup dengan bekerja di konstruksi bangunan. Pekerjaannya tersebut membuat kaki palsunya rusak dan SS tidak mampu untuk membeli kaki palsu yang baru sehingga ia berusaha untuk membuatnya sendiri. Berkali-kali SS menemukan kegagalan namun kerja keras dan kreativitas yang ia lakukan ternyata membuahkan hasil yang baik. SS tidak hanya menikmati hasil tersebut sendirian, ia berkeinginan untuk membantu teman-teman tuna daksa yang lainnya. Usahanya tersebut ternyata membuatnya di lirik oleh salah satu acara TV swasta, “Kick Andy”. Setelah SS di undang ke acara tersebut, tawaran demi tawaran untuk membuat kaki palsu tersebut terus berdatangan, bahkan SS dilibatkan dalam program “Gerakan 1000 Kaki Palsu” yang dicanangkan pemerintah. (www.kompasiana.com) Wawancara pendahuluan yang peneliti lakukan pada hari bulan Februari 2015 terhadap salah satu subjek juga menyebutkan bahwa walaupun awalnya subjek merasa tertekan karena kondisi yang ia alami, namun subjek memiliki keinginan untuk dapat terus belajar sehingga ia dapat menolong tuna daksa yang lain. Pada akhirnya subjek berhasil mendirikan sebuah yayasan yang bernama Yayasan Penyandang Cacat Mandiri dan sebuah lapangan kerja bagi penyandang tuna daksa yang bernama Mandiri Craft. Peneliti melihat bahwa walaupun awalnya mereka merasa impiannya hancur, namun akhirnya kekurangan yang mereka miliki tidak menjadi sebuah rintangan atau alasan yang membuat dirinya menjadi rendah diri dengan kondisi yang ia alami namun ia mampu bangkit dan melawan tekanan tersebut. Kemampuan untuk bangkit dan mengatasi pengalaman negatif, bahkan dapat menjadi lebih kuat daripada kondisi sebelumnya tersebut oleh Henderson dan Milstein (2003) dinamakan resiliensi. Menurut teori yang diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (2002) proses resiliensi dapat menciptakan dan mempertahankan sikap positif dari individu yang telah melewati masa-masa berat.
6 Pada dasarnya setiap manusia pasti memiliki kapasitas resiliensi di dalam dirinya. Resiliensi pada seseorang akan muncul jika individu tersebut mengalami suatu kondisi yang sangat menekan (stressor) dan individu tersebut mampu untuk beradaptasi serta bangkit dari tekanan yang dialaminya (Richardson, 2002). Seperti yang dikatakan oleh Earlino dan Ramirez (2007) bahwa resiliensi merupakan rasa untuk bangkit dan beradaptasi terhadap keadaan yang membuat seseorang terpaksa untuk berubah atau karena ada sesuatu yang menekan. Munculnya resiliensi dalam kehidupan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah karena adanya dukungan sosial dari keluarga maupun orang terdekat (Kumpfer, 1999). Kumpfer juga menjelaskan bahwa resiliensi pada seseorang juga dapat muncul karena adanya faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal individu seperti spiritual atau karakteristik motivasional, termasuk di dalamnya seperti kebermaknaan dalam hidup dan optimisme menyebabkan individu mampu menerima kondisi diri yang dialaminya sehingga ia tidak menjadikan kondisinya tersebut sebagai beban melainkan mampu mencari makna positif dari kondisinya. Ketidakmampuan kondisi fisik untuk melakukan fungsinya secara normal, kurangnya sarana dan fasilitas serta munculnya diskriminasi terhadap kondisi penyandang tuna daksa membuat penyandang tuna daksa merasa tertekan. Namun ditengah kondisi menekan yang dialami oleh penyandang tuna daksa ternyata terdapat individu yang mampu melawan keterbatasan dan bangkit dari pengalaman negatif tersebut. Peneliti ingin mengetahui bagaimana dan faktor apa saja yang dapat menyebabkan munculnya kemampuan yang dinamakan resiliensi tersebut, khususnya pada penyandang tuna daksa.
7 B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses terjadinya resiliensi pada penyandang tuna daksa. C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi penelitian psikologi klinis, khususnya mengenai psikologi positif yang berkaitan dengan resiliensi pada penyandang tuna daksa. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai resiliensi pada tuna daksa serta menjadi salah satu kontribusi atau masukan yang dapat dikembangkan oleh Yayasan Penyandang Disabilitas dan mengetahui hal-hal apa saja yang dapat membantu penyandang tuna daksa agar bisa menjadi seorang yang resilien.