BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dunia ini tidak hidup sendiri, selalu ada bersama-sama dan berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang dalam kesehariannya berada bersama manusia lain di sekitarnya. Sejak lahir manusia sudah berhubungan dengan orang tua dan semakin bertambah usia maka akan bertambah luas pergaulannya dengan manusia yang lain di dalam masyarakat (Hurlock, 1990). Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode pranatal hingga lanjut usia. Semua individu mengikuti pola perkembangan dengan pasti dan dapat diramalkan. Setiap masa yang dilalui merupakan tahapan-tahapan yang saling berkait dan tidak dapat diulang kembali. Yang terjadi di masa awal perkembangan individu akan memberikan pengaruh terhadap tahap-tahap selanjutnya. Salah satu tahap yang akan dilalui individu adalah masa dewasa awal (Hurlock, 1990). Individu yang berada dalam tahapan dewasa awal, dalam perkembangan psikososial, menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain (Erikson dalam Santrock, 2003). Kebutuhan akan intimasi adalah suatu hal yang universal dan sudah menetap pada diri setiap manusia sepanjang hidupnya. Intimasi merupakan unsur pokok dalam kepuasan suatu hubungan. Melalui percakapan dan beraktivitas bersama, individu akan mendapatkan keuntungan untuk memenuhi tingkat kebutuhannya terhadap
Universitas Sumatera Utara
intimasi pada sutu hubungan (Weiten & Llyod, 2006). Keintiman menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) merupakan kemampuan individu untuk membangun hubungan yang akrab dengan orang lain. Menurut Erikson, keintiman merupakan salah satu krisis dalam hidup, yaitu intimacy versus isolation, yang dikembangkan pada usia dewasa awal. Apabila individu dewasa awal dapat membentuk persahabatan yang sehat dan hubungan dekat yang intim dengan individu lain, maka intimasi akan tercapai Namun, jika individu tidak berhasil mengembangkan intimasinya, maka individu tersebut akan mengalami isolasi, merasakan loneliness dan krisis keterasingan. Individu tersebut akan menarik diri dari berbagai aktivitas sosial dan hanya memiliki sedikit atau tidak ada sama sekali ikatan dengan individu sesama jenis atau lawan jenis (Orlofsky dalam Santrock, 2003). Sullivan (dalam Brehm et al, 2002) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu perasaan yang sangat tidak menyenangkan dan menimbulkan pengalaman yang berhubungan dengan tidak terpenuhinya dan terhambatnya kebutuhan atas intimasi manusia yang diperlukan untuk intimasi interpersonal. Weiten & Llyod (2006) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan suatu keadaan ketika individu memiliki lebih sedikit hubungan interpersonal dibandingkan yang diharapkannya atau ketika hubungan tersebut tidak memuaskan seperti yang diharapkannya. Weiss (dalam Weiten & Llyod, 2006) mengungkapkan bahwa loneliness tidak hanya disebabkan karena kesendirian, tetapi karena tidak adanya hubungan tertentu yang diharapkan. Loneliness selalu muncul sebagai respon terhadap
Universitas Sumatera Utara
ketidakhadiran beberapa atau tipe-tipe hubungan khusus atau lebih tepatnya sebuah respon terhadap ketidakadaan suatu hubungan yang diharapkan. Loneliness mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan seseorang ketika beberapa kriteria penting dari hubungan sosial terhambat atau tidak terpenuhi. Kekurangan tersebut dapat bersifat kuantitatif seperti tidak memiliki teman seperti yang diinginkan dan bersifat kualitatif seperti merasa bahwa hubungan sosial yang dibinanya bersifat seadanya atau kurang memuaskan (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000). Ketika mengalami loneliness, individu akan merasa dissatified (tidak puas), deprivied (kehilangan), dan distressed (menderita). Hal ini tidak berarti bahwa loneliness tersebut sama di setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja memiliki perasaan loneliness yang berbeda pada situasi yang berbeda pula (Lopata, 1969 dalam Brehm et al, 2002). Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm et al, 2002) mengungkapkan bahwa individu yang mengalami loneliness menunjukkan beberapa reaksi untuk menghadapi loneliness yang dialaminya, diantaranya melakukan kegiatan aktif (seperti belajar, bekerja, melakukan hobi, membaca), membuat kontak sosial (seperti menelepon atau mengunjungi seseorang), melakukan kegiatan pasif (seperti menangis, tidur, tidak melakukan apapun), dan melakukan kegiatan selingan yang kurang membangun (seperti menghabiskan uang dan berbelanja). Saat ini internet dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi loneliness, meskipun pendekatan ini sendiri dianggap dapat menjadi pedang yang bermata dua (McKenna & Bargh dalam Weiten & Llyod, 2006). Internet telah
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan dihubungkannya komputer-komputer di belahan dunia tertentu dengan komputer-komputer lain di belahan dunia yang lain. Hal ini memungkinkan pula dihubungkannya individu yang satu dengan yang lain dari berbagai belahan dunia (Hidayat, 2003). Adanya komunikasi melalui internet terbuka kemungkinan bagi individu untuk bisa berdiskusi, mencari berita, melakukan bisnis, berhubungan dengan individu lain ataupun untuk mencari hiburan (Sopyan, 2003). Saat ini, internet telah memberikan kesempatan yang lebih luas sehingga orang dapat saling berkenalan dan mengembangkan hubungan melalui layangan hubungan secara online, e-mail, chat room, dan new group (Weiten & Llyod, 2006). Penggunaan internet pada individu yang mengalami loneliness, di satu sisi,
biasanya
mengembangkan
menimbulkan perasaan
keuntungan
mendapat
seperti
dukungan
mengurangi sosial,
dan
loneliness, membentuk
persahabatan secara online (Shaw & Gant; Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006). Di sisi lain, bila orang yang mengalami loneliness menghabiskan banyak waktu online di internet dan menghabiskan lebih banyak waktu sendirian di depan komputer di kantor dan rumahnya, maka orang tersebut akan menyediakan waktu yang lebih sedikit untuk hubungan tatap muka di dunia nyata dan mengurangi kesempatannya untuk berinteraksi tatap muka (Weiten & Llyod, 2006). Komunikasi tatap muka menggunakan kata-kata yang diucapkan, sedangkan komunikasi melalui internet menggunakan kata-kata tertulis. Hilangnya tanda-tanda nonverbal pada komunikasi melalui internet menyebabkan individu membutuhkan perhatian khusus agar orang lain dapat memahami arti
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksudkan. Berkurangnya tanda-tanda nonverbal dan lingkungan yang tidak dikenal dalam komunikasi melalui media komputer memiliki pengaruh penting untuk perkembangan suatu hubungan (Bargh & McKenna dalam Weiten & Llyod, 2006). Ketidakmampuan individu memahami menyebabkan individu tersebut semakin sulit membangun sebuah hubungan dengan orang lain. Situasi ini dapat menyebabkan individu mengalami loneliness. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Peplau & Perlman (dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) mengungkapkan bahwa loneliness merupakan hasil dari kurangnya atau terhambatnya hubungan sosialnya dengan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara terhadap KM (23 tahun), seorang karyawan sebuah perusahaan IT, yang mengatakan bahwa: ”....aku terbiasa menghabiskan banyak waktuku online di internet...selain memang karena tuntutan pekerjaan, aku rasa hanya itu yang bisa aku lakukan biar tetap bisa berkomunikasi dengan temantemanku. Jarang banget bisa ketemu langsung. Nggak cocok jadwalnya... sebenarnya kadang-kadang aku bosen juga, nggak enak kan gini-gini terus. Pengen ketemu langsung, makan atau jalan bareng. Jadi kerasa benarbenar ngobrol. Nggak cuma lewat tulisan aja. Sepi juga rasanya, yang dihadapin komputer melulu, nggak interaktif kayak sama temen sendiri....” (komunikasi personal, 23 Maret 2008). Penelitian lain menunjukkan individu yang mengalami loneliness yang aktif menggunakan internet lebih sering menyebabkan gangguan dalam fungsi kehidupan sehari-harinya (Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006) serta memicu timbulnya internet addiction (Nalwa & Anand dalam Weiten & Llyod, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Pandangan lain diungkapkan oleh EA (22 tahun), mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Medan, yang menunjukkan bahwa EA merasakan manfaat positif dari internet, seperti pernyataannya berikut ini: ”.....internet itu kayak kebutuhan sehari-hari buat orang seperti aku. Temen aku dikampus nggak banyak, tampang aku nakutin gini...hehehe...Biar nggak ngerasa sendirian ya aku chatting lah....Aku bisa chatting berjam-jam dengan identitas yang beda-beda. Terserah aku mau ngomong apa, yang jorok-jorok pun bisa...kan nggak ada yang kenal sama aku, nggak tau aku kayakmana sebenarnya....lagi berantem ma temen kampus misalnya, lampiasin aja pas lagi ngenet... tapi coba kalo pas dikampus aku gitu, makin nggak ada yang mau deket sama aku kan? Aku bisa ngobrol ma orang lain ya pas chatting, bisa deket ma orang...selain itu yang temenku terbatas kali...sehari nggak ngenet rasanya ada yang kurang aja...hehehe...” (komunikasi personal, 29 Februari 2008). Individu yang mengalami loneliness menganggap menggunakan internet memberikan manfaat positif pada dirinya, seperti mengurangi rasa malu dan rasa takut untuk dikenali orang lain seperti yang dialami saat di dunia nyata. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa internet telah menciptakan sebuah alam yang kondusif untuk pelarian dari ketegangan mental yang dialami, yang pada akhirnya dapat memperkuat ke arah pola perilaku internet addiction tersebut (dalam Rachamawati, dkk, 2002). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ivan (2007) bahwa addiction merupakan suatu hubungan emosional terhadap suatu objek atau kejadian, dimana individu yang mengalaminya mencoba untuk menemukan kebutuhannnya terhadap intimasi. Addiction (pada tingkat yang paling dasar) adalah sebuah usaha untuk mengontrol dan memenuhi keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Sehingga dapat dikatakan perilaku addiction individu
Universitas Sumatera Utara
terhadap internet tersebut merupakan upaya yang dilakukannya dalam memenuhi kebutuhannnya akan intimasi. Internet addiction oleh Young (1998) diungkapkan sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan merasa cemas, depresi, atau hampa saat tidak online di internet (Kandell dalam Weiten & Llyod, 2006). Penggunaan internetnya sangat berlebihan, sehingga pada akhirnya menganggu fungsinya dalam pekerjaan, di sekolah, atau di rumah, serta menyebabkan korbannya mulai menyembunyikan tingkat ketergantungannya terhadap internet tersebut. Penggunaan internet yang bersifat patologis dihubungkan dengan kerusakan yang signifikan terhadap bidang sosial, psikologis dan pekerjaannya (Young, 1997). Beberapa orang menunjukkan penggunaan internet secara patologis untuk satu tujuan tertentu, seperti layanan seks secara online atau perjudian secara online, sedangkan yang lainnya menunjukkan sesuatu yang bersifat lebih umum, yaitu keseluruhan bentuk internet addiction (Davis dalam Weiten & Llyod, 2006). Sulit untuk memperkirakan prevalensi pada internet addiction, tetapi sindrom ini tidak terlihat sebagai sesuatu yang aneh (Greenfield; Morahan-Martin & Schumacher dalam Weiten & Llyod, 2006). Para peneliti meyakini bahwa internet addiction tidak terbatas hanya pada orang yang pemalu dan pria yang ahli komputer saja sebagai orang-orang yang memiliki kemungkinan mengalaminya (Young dalam Weiten & Llyod, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara loneliness dengan internet addiction, sebagaimana yang diungkapkan oleh Nalwa & Anand (dalam Weiten & Llyod, 2006). Hal ini berarti individu yang mengalami loneliness dan menggunakan internet secara teratur memiliki kemungkinan mengalami internet addiction. Hal ini membuat peneliti merasa perlu meneliti sejauhmana pengaruh loneliness tersebut terhadap internet addiction pada pengguna internet. B. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana loneliness mempengaruhi internet addiction pada pengguna internet. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, khususnya mengenai sejauhmana pengaruh loneliness terhadap internet addiction. 2. Manfaat Praktis . a. Pengguna internet Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pengguna internet mengenai kemungkinan mengalami internet addiction dan loneliness, sehingga dapat dilakukan berbagai upaya pencegahan agar dapat meminimalkan efek negatif yang ditimbulkan internet addiction.
Universitas Sumatera Utara
b. Penelitian selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi penelitian selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan loneliness dan internet addiction.
D. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan loneliness dan internet addiction Bab III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan, uji validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode analisis data. Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian Bab ini memuat tentasng pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dari teori yang relevan.
Universitas Sumatera Utara
Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara