BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit kusta merupakan penyakit yang menjadi problema di masyarakat. Hal ini terjadi karena masih banyak hal-hal yang belum terungkap dan kenyataannya penyakit ini juga merupakan suatu penyakit yang mempunyai sifat khusus, karena masalahnya berbeda dengan penyakit menular lain. Kekhususan tersebut adalah baik dari segi penderita, pengobatan dan segi penyakitnya serta sikap dari keluarga dan masyarakat sekitarnya (Depkes, 1990). Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan dari segi medis saja, tetapi meluas sampai pada masalah ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara miskin dan negara-negara sedang berkembang, sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara-negara itu dalam memberikan pelayanan sosial serta ekonomi kepada masyarakat (Depkes, 1995). Penyakit kusta di Indonesia masih menduduki peringkat keempat di dunia, setelah India, Brasil, dan Myanmar. Upaya lintas program maupun sektoral untuk menurunkan angka kecacatan dari 1,4 per 10.000 menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk belum bisa tercapai akibat krisis ekonomi.
1
2
Data dari Dinas Kesehatan Jawa Tengah, dinyatakan bahwa di Jawa Tengah ada tujuh kabupaten/kota endemis kusta, yaitu Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pekalongan, Rembang, Blora dan Kudus. Jumlah penderita di tujuh Kabupaten/ Kota di Jateng pada akhir tahun 2003 mencapai 1.114 orang, Sedangkan angka kesakitan atau prevalensi penyakit kusta tahun 2002 mencapai 0,57 per 10.000 penduduk. (www. Dinkes Jateng. Com, 24 Agustus 2004). Survey pendahuluan di Rumah Sakit Umum Tugurejo Daerah (RSUD) Semarang menunjukan bahwa 83 pasien yang tercatat dari bulan Juli - Desember 2006 bahwa sebagian besar penderita telah mengalami kecacatan tingkat 1 yaitu sebanyak 72 % Sedangkan yang mengalami kecacatan tingkat 2 sebanyak 18 % (Catatan medis RSUD Tugurejo Semarang, 2006). Sebagian besar masalah kecacatan terjadi disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi penderita baik oleh kuman maupun terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu terjadi reaksi. Kerusakan yang terjadi pada fungsi sensorik akan menyebabkan mati rasa dan bila mengenai kornea menyebabkan kurang/ hilangnya reflek berkedip. Sedangkan kerusakan yang terjadi pada fungsi motorik akan menyebabkan otot kaki dan tangan lemah/ lumpuh lalu atrofi atau terjadi kontraktur (Djuanda, dkk, 1997). Kecacatan tersebut sangat mendukung sebagai stressor pada setiap perubahan pada individu. Pada klien yang dirawat di Rumah Sakit Umum Tugurejo Daerah (RSUD) perubahan harga diri sangat mungkin terjadi jika ada stressor yang menyertai klien. Stressor tersebut adalah kecacatan yang dikarenakan terjadinya
3
perubahan struktur tubuh, perubahan bentuk tubuh, pemasangan alat pada tubuh, perubahan fungsi, keterbatasan gerak dan penampilan yang berubah. Seseorang dengan adanya perubahan struktur tubuh, bentuk tubuh, keterbatasan gerak kemungkinan besar menyebabkan individu tersebut kehilangan peran dalam kehidupannya. Hilangnya peran menjadikan individu merasa tidak berguna, mengucilkan diri dan pada akhirnya merasa dirinya tidak berharga. Dalam kehidupan selanjutnya masalah harga diri muncul kembali karena ada tantangan yang baru misalnya menopause, pengucilan diri, kehilangan pasangan dan ketidakmampuan fisik. Penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kesehatan fisik diri dan harga diri (Stuart and Sundeen, 1991). Secara aspek sosial penyakit ini disertai oleh stigma dan ketakutan. Keadaaan ini nampaknya berhubungan dengan kenyataan bahwa kusta menimbulkan kecacatan dan ketidakmampuan tetapi jarang mematikan, sehingga mereka yang cacat berat tingkat kehidupanya makin memburuk dan dapat dilihat oleh semua orang keadaan cacatnya (Depkes, 1990). Masalah terhadap diri pada penderita penyakit kusta pada umumnya merasa rendah diri, merasa tertekan batin, takut terhadap keluarga dan masyarakat sekitarnya, sehingga penderita cenderung untuk hidup sendiri, apatis (masa bodoh), bersikap ketergantungan pada orang lain, kehilangan peran di masyarakat (dikucilkan), kehilangan mata pencaharian, tidak mau sekolah (pada anak-anak), segan berobat karena malu pada masyarakat sekitarnya. Selain menjadi masalah bagi penderitanya, penyakit kusta juga menimbulkan masalah bagi keluarga dan masyarakat di sekitar penderita kusta, yaitu adanya perilaku keluarga dan
4
masyarakat yang cenderung mengucilkan atau menyingkirkan penderita kusta sehingga menyebabkan stress pada penderita kusta tersebut (Maramis, 1990). Citra tubuh menunjukan gambaran diri yang dimiliki setiap orang. Penyakit dan cedera serius dapat merusak konsep diri termasuk juga kecacatan. Mengadaptasi perilaku yang diakibatkan penyakit dapat mempengaruhi perasaan seseorang mengenai identitasnya. Kecacatan mayor bisa dianggap sebagai keterbatasan yang harus dihadapi. Ancaman terhadap citra tubuh dan juga harga diri, sering disertai perasaan malu, ketidakadekuatan dan rasa bersalah. Dalam lingkungan perawatan kesehatan, orang kadang harus menyesuaikan dengan berbagai situasi yang mengancam harga diri mereka (Brunner and Suddarth, 2001). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Santoso ( 2004), di Rumah Sakit Tugurejo Semarang menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecacatan dengan body image. Peneliti bermaksud meneliti bagaimana hubungan tingkat kecacatan dengan harga diri pada pasien kusta. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti ingin mengetahui sejauh mana hubungan antara tingkat kecacatan dengan harga diri pada pasien kusta di Rumah sakit Umum Daerah (RSUD) Tugurejo Semarang.
B. Masalah Penelitian Dari adanya kecacatan pada pasien kusta yang dapat menjadi stressor terhadap harga diri, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara tingkat kecacatan dengan harga diri pada pasien kusta di Rumah Sakit umum Daerah Tugurejo Semarang.
5
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat kecacatan dengan harga diri pada pasien kusta. 2. Tujuan Khusus a. Mendiskripsikan tingkat kecacatan pada pasien kusta. b. Mendiskripsikan harga diri pada pasien kusta. c. Mendiskripsikan hubungan tingkat kecacatan dengan harga diri pada pasien kusta.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi institusi pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi institusi pendidikan sebagai bahan masukan dalam mengembangkan program keperawatan terhadap cara peningkatan harga diri pada pasien kusta. 2. Bagi peneliti Sebagai proses belajar dalam mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di Program Studi Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang khususnya dalam bidang riset. 3. Bagi penelitian Sebagai dasar peneliti lain dalam melakukan penelitian berikutnya.
E. Bidang Ilmu Dari segi keilmuan, penelitian ini merupakan bidang kesehatan jiwa yang memfokuskan pada bidang keperawatan, khususnya dalam perawatan harga diri klien kusta yang telah mengalami kecacatan pada berbagai tingkat.
6
HUBUNGAN TINGKAT KECACATAN DENGAN HARGA DIRI PADA PASIEN KUSTA DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat Mencapai gelar sarjana keperawatan
Disusun Oleh: PARJO NIM: G2A205014
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2007