BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian ini membahas bahasa Angkola dengan menggunakan konsep teoretis Tata Bahasa Fungsional. Bahasa Angkola adalah salah satu bahasa daerah yang digunakan penuturnya sebagai alat komunikasi di daerah Tapanuli bagian Selatan dan sekitarnya. Setelah pemekaran wilayah penutur bahasa Angkola secara geografis tersebar di wilayah Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan Kabupaten Mandailing Natal. Bahasa Angkola menjadi salah satu alat interaksi sosial di wilayah ini selain penggunaan bahasa nasional Bahasa Indonesia. Dalam interaksi sosial manusia tidak dapat melepaskan diri dari bahasa untuk mengomunikasikan pikiran, perasaan, dan kebutuhannya kepada orang lain. Bahasa menjadi alat yang sangat penting sehingga selalu menarik untuk menjadi pusat kajian, meskipun banyak orang cenderung tidak tertarik menganalisis dan memperhatikan penggunaan bahasa itu dalam konteks sosial. Pada kenyataannya, bila merujuk kepada fakta di lapangan bahasa sering kali membuat kita berpikir, bergembira, sedih. Hal ini terjadi karena terdapat unsur-unsur pembentuk bahasa sehingga apa yang ingin disampaikan dapat dimaknai sedemikian rupa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa memiliki daya tarik yang luar biasa bagi orang-orang yang secara spesifik memerhatikan penggunaannya.
Universitas Sumatera Utara
Secara filosofis kita dapat melihat bahwa sebenarnya kajian terhadap bahasa masih merupakan hamparan yang sangat luas untuk dieksplorsi. Plato dalam Kaelan (1998: 34-35) telah memberikan dasar pijakan yang sangat jelas dalam pengembangan ilmu bahasa, yang menyatakan bahwa di dalam ungkapan yang disampaikan seseorang selalu terkandung ‘onomata’ dan ‘rhemata’. ‘Onomata’ (‘onoma’ dalam bentuk jamak) merupakan subjek dalam kaitan dengan subjek logis, sedangkan ‘rhemata’ (jamaknya ‘rhema’) merujuk kepada verba dalam tata bahasa dan predikat dalam hubungannya dengan makna logis. Ini berarti bahwa Plato telah memberikan dasar penganalisisan bahasa yang bermanfaat dalam perkembangan bahasa pada abad modern ini. Dengan demikian, kajian-kajian terhadap bahasa dari berbagai sudut pandang dan aliran dapat dilakukan secara komprehensif sehingga kajian tentang predikasi bahasa Angkola menempatkan dirinya pada salah satu ranah yang sangat strategis karena selain mencoba menerapkan teori-teori bahasa yang sudah ada, pada saat bersamaan, menjadi alat untuk mengangkat bahasa daerah ini ke permukaan dan mempertahankannya dalam gejolak persaingan pemakaian bahasa yang terjadi saat ini. Menurut sejarah linguistik, terdapat beragam aliran tentang bahasa yang secara komprehensif mendefinisikan, mendeskripsikan dan menjelaskan tentang bahasa sehingga berlaku bagi bahasa-bahasa di dunia. Aliran-aliran ini kemudian menghasilkan teori-teori dan aturan-aturan tentang bahasa. Sebut saja misalnya Traditional Grammar (Tata Bahasa Tradisional) yang mengkaji bahasa Latin dan kemudian mencoba menerapkan aturan-aturan itu ke bahasa-bahasa lainnya di dunia
Universitas Sumatera Utara
dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Kemudian, muncul aliran Formal Grammar (Tata Bahasa Formal) yang menekankan pada bentuk-bentuk atau strukturstruktur bahasa. Tata bahasa ini lalu menjadi dasar pengembangan Generative Grammar (Tata Bahasa Generatif) oleh Chomsky. Konsekuensi dari perkembangan kajian tata bahasa ini adalah munculnya berbagai teori-teori lainnya sebagai pengembangan lebih lanjut. Pada sisi lain, perkembangan ilmu bahasa beserta tata bahasa yang menyertainya tidak lagi terpaku pada bentuk dengan label-label yang disematkan ke bentuk-bentuk bahasa itu semata. Muncul pemikiran bahwa bahasa tidak bisa dianggap hanya sekedar bentuk tetapi pada kenyataannya berfungsi dan fungsi ini dikaitkan dengan konteks sosial. Cukup menarik melihat pernyataan Givon (1995) yang menganggap bahwa fungsionalisme dalam ilmu bahasa tidak dapat hanya dicari dari hasil karya para ilmuwan bahasa namun juga dari hasil karya ahli-ahli antropologi, psikologi, dan biologi. Bahkan ia menyatakan titik awal fungsionalisme itu ditemukan pada ilmu biologi, yang berkaitan dengan pemikiran Aristoteles yang berhasil mematahkan dominasi aliran-aliran strukturalis. Melalui pendekatan biologi ini muncul prinsip fungsionalisme, yaitu hubungan antara bentuk dan fungsi. Dengan pemikirannya ini, dapat dipahami bahwa bentuk dan fungsi tidak dapat dipisahkan sehingga dalam pendeskripsian dan penjelasan tentang tata bahasa sebuah bahasa harus ditelaah lebih jauh bagaimana bentuk itu dapat berfungsi dalam konteksnya. Aliran fungsional membawa perubahan tentang teori-teori bahasa. Aliran ini memberikan alternatif penjelasan yang lebih kuat karena bahasa sangat berkaitan erat
Universitas Sumatera Utara
dengan kehidupan manusia. Artinya, aspek-aspek kehidupan manusia seperti tertanam dalam ideologi, budaya, dan konteks situasi memegang peranan penting dalam menentukan fungsi apa yang dibawa oleh bentuk tertentu. Kerangka berpikir yang menyatakan bahasa merupakan seperangkat aturan digantikan dengan pendapat bahasa merupakan alat interaksi sosial. Dengan demikian, setiap komponenkomponen bahasa juga harus memiliki fungsi dalam konteksnya. Berbeda dengan tata bahasa transformasional generatif, tata bahasa fungsional tidak menganggap sintaksis sebagai sistem yang memiliki autonomi atau terpisah namun harus dihubungkan dengan semantik (Hoekstra 1983: 3). Jadi, fungsi-fungsi semantik memegang peranan penting dalam pendeskripsian struktur sintaksis yang pada akhirnya menentukan sebuah ekspresi. Predikasi merupakan wadah di mana seluruh komponen sintaksis bahasa disatukan. Artinya, predikasi ini mengandung unsur predikat dan argumen-argumen apa saja yang memungkinkan untuk muncul bagi predikat itu. Selain itu, terdapat pula unsur lain yang disebut sebagai satelit. (Dik: 1978). Dalam perkembangan selanjutnya, konsep-konsep ini diperluas lagi oleh Halliday (dalam Saragih: 2003) sehingga saat ini dikenal konsep-konsep seperti Proses, Partisipan, Sirkumstan. Selain itu, komponen-komponen bentuk dan fungsi meluas menjadi fungsi (arti), bentuk, dan ekspresi, yaitu, fungsi direalisasikan lewat bentuk (grammatika) dan selanjutnya bentuk ini direalisasikan lewat ekspresi (fonologi atau grafologi). Longacre (1983:77) mengatakan predikasi merupakan partikel-partikel atom. Sebagaimana yang dikatakan Dik (1978:25) dalam predikasi terdapat predikat yang
Universitas Sumatera Utara
mengikat komponen-komponen lainnya sehingga ungkapan itu bermakna. Misalnya sebuah gedung yang terbuat dari batu bata, batu bata merupakan partikel-partikel yang membangun gedung itu. Ini dapat disamakan dengan predikasi. Givon (1984:102) secara gamblang menyamakan predikasi dengan jenis-jenis kata yang digunakan dalam bahasa, predikasi bukan hanya konsep semantis tetapi juga konsep sintaksis. Kebaharuan ide dan perlakuan terhadap bahasa secara lebih baik serta respon positif yang telah ditunjukkan oleh ahli-ahli bahasa di dunia menarik perhatian penulis untuk membuat kajian dengan berpijak pada aliran linguistik fungsional. Penulis meyakini bahwa kerangka predikat sebagai dasar dari tata bahasa fungsional adalah konsep utama bagi pendeskripsian dan penjelasan tentang aturan-aturan bahasa sehingga dapat ditemukan bagaimana bahasa itu tersusun dengan dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada disekitar penggunanya. Di dalam realita kehidupan sosial, kita akan selalu bertitik tolak pada predikat sebagai awal sebuah aktivitas bahasabahasa tertentu. Penyusunan rencana aktivitas akan dimulai dengan apa yang akan dikerjakan, dan kemudian baru memutuskan siapa yang terlibat dan di mana atau dengan cara apa dilakukan. Sebagai contoh, kita akan memulai dengan kegiatan membangun, baru kemudian berpikir tentang siapa saja yang terlibat dalam pembangunan itu atau di mana aktivitas itu akan berlangsung. Sehingga membangun menjadi ide awal dalam kalimat Kami akan membangun rumah di desa. Dalam konteks ini, verba membangun menempati posisi sebagai predikat sedangkan kami, rumah, dan di desa adalah terma-termanya.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, analogi konteks sosial tersebut akan sangat relevan dengan kenyataan linguistik yang akan dikaji dalam disertasi ini. Sebuah pengayaan terhadap ilmu kebahasaan akan dapat diperoleh dengan dilakukannya penelitian ini. Meskipun telah banyak penelitian-penelitian yang dilakukan pada predikasi, namun penulis berkeyakinan terdapat perbedaan nyata di dalam hasil penelitian ini nantinya. Pendapat Warouw (1997:15) predikasi sebelumnya dianggap sebagai sebuah konsep semantis saja namun, seiring perkembangan ilmu kebahasaan, konsep ini menjadi salah satu konsep sintaksis. Dengan demikian sebagai sebuah konsep sintaksis predikasi memiliki peran yang sangat signifikan dalam struktur sebuah bahasa. Pada kenyataannya fokus utama predikasi adalah pada predikat. Konsep ini sangat penting untuk dikaji karena setiap bahasa secara semantis dan sintaksis sangat mungkin memiliki pola predikasi yang berbeda-beda. Predikat dalam bahasa Angkola selalu terdapat di awal kalimat atau predikat
mendahului subjek (VSO), yang juga
merupakan sebuah fenomena untuk dikaji lebih mendalam. Penelitian bahasa daerah merupakan salah satu sumber kajian bahasa daerah yang sangat baik untuk kepentingan peningkatan keilmuan. Kajian ini akan dilakukan pada sebuah bahasa daerah yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, yaitu bahasa Angkola. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara dengan kekayaan linguistik yang sangat luar biasa karena memiliki jumlah bahasa daerah yang sangat banyak. Menurut sebuah sumber, Indonesia memiliki setidaknya 726 bahasa daerah (Sugono: 2005), sebuah jumlah yang sangat fantastis. Kepemilikan kita terhadap bahasa-bahasa daerah sudah jelas dan tercatat
Universitas Sumatera Utara
sebagai keberuntungan tersendiri
dalam menjaga terpeliharanya kelangsungan
kehidupan budaya daerah yang merupakan kekayaan nasional (Halim:1981). Budaya suatu masyarakat akan turut hilang bersamaan dengan hilangnya bahasa. Oleh karena itu, rakyat harus memelihara bahasanya sehingga bahasa itu akan dihormati dan dipelihara oleh Negara (Alwasilah, 1985: 157).
Tentu saja, akan banyak sekali
penelitian yang dapat dilakukan dengan bahasa-bahasa itu, penelitian yang secara umum akan memberikan sumbangsih besar bagi pengayaan teori bahasa di dunia. Kecil sekali kemungkinannya bahwa semua bahasa daerah itu telah diteliti karena literatur yang ada di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai akibat dari intervensi bahasa Indonesia di wilayah pemekaran akibat otonomi daerah, bahasa daerah semakin hari kian tersudut, dan tentu saja dari sudut pandang linguistik dan budaya hal ini sangat mengecewakan. Padahal, bahasa daerah adalah salah satu warisan sejati yang dapat diturunkan kepada generasi penerus sebuah suku bangsa. Tidak dipungkiri bahwa terjadinya perkawinan antar etnis juga secara perlahan membuat tersisihnya bahasa daerah di antara generasi yang ada saat ini. Akhir-akhir ini, balai-balai bahasa di Indonesia mulai mencoba menelaah dan menyadarkan khalayak umum akan gejala-gejala tertinggalkannya bahasa daerah. Dalam rangka memperingati Hari Bahasa Internasional yang jatuh pada tanggal 21 Februari, penulis mencatat sejumlah Kepala Balai Bahasa di Indonesia menuliskan tentang keberadaan dan posisi bahasa daerah saat ini. Saragih (2010) dalam http://waspadamedan.com menyebutkan bahwa bahasa Batak di Sumatera Utara saat ini berada pada skala tiga, yaitu (1) Mulai terancam. Bahasa Angkola berada dalam
Universitas Sumatera Utara
satu rumpun dengan Bahasa Batak, (2) Mulai dilanda krisis ketahanan atau secara perlahan, (3) Mengalami degradasi frekuensi dan kualitas pemakaian. Di belahan Indonesia lainnya (sebagai fakta eksternal), Kadapi (2009) mengutip dari Ethnologue dalam http://www.ahmadheryawan.com menyatakan bahwa dari ratusan jumlah bahasa daerah di Indonesia, terdapat bahasa yang hampir mengalami kepunahan yang didasarkan pada jumlah penutur yang tersisa. Sebagai contoh, bahasa Amahai hanya menyisakan 50 orang penuturnya, bahasa Hoti 10 orang, bahasa Hukamina 1 orang, bahasa Ibu 35 orang, bahasa Kamarian 10 orang dan seterusnya. Tentu sangat miris melihat kondisi ini, namun bahasa daerah apapun dapat mengalami kecenderungan yang sama bila proses penurunan penggunaannya terus berlanjut. Fakta-fakta ini menjadi alasan lain mengapa penulis memutuskan untuk membuat kajian lebih mendalam tentang bahasa daerah. Sebagai salah seorang keturunan suku Angkola, penulis khawatir dengan mulai tergesernya bahasa Angkola bahkan di wilayah geografisnya sendiri. Menurut Nasution (1994 : 12) suatu bahasa hilang karena tidak dikembangkan oleh generasi penerusnya. Di daerah Angkola saat ini atas dasar kebangsaan dan kepentingan nasional bahasa Indonesia telah banyak dipergunakan dan mulai menggantikan bahasa Angkola. Baumi (1984), bahkan menyatakan bahwa pemakaian Bahasa Nasional Indonesia adalah sebuah kewajiban karena bahasa itu merupakan alat komunikasi nasional. Contohnya, dalam bidang pendidikan bahasa Angkola diganti kedudukannya oleh bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari
Universitas Sumatera Utara
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Dengan demikian pengaruh bahasa Indonesia terhadap pemakai bahasa Angkola di lingkungan pelajar sangat besar. Meskipun penulis berkeyakinan bahwa bahasa Angkola tidak akan hilang dan digantikan oleh bahasa lain, seiring berjalannya waktu dan semakin tingginya intensitas penggunaan bahasa Indonesia sudah tentu hal ini merupakan ancaman serius bagi kelangsungan bahasa Angkola. Bertahannya sebuah bahasa tidak akan dapat terwujud tanpa adanya upaya dari penuturnya sendiri. Boleh jadi ada pihak-pihak lain yang melakukan kajian terhadap keberadaan bahasa itu, tetapi tujuannya tentu akan berbeda yaitu hanya untuk keperluan dokumentasi. Dalam hal ini penulis berpikir bahwa akan jauh lebih baik orang yang memahami dengan baik budaya bahasa Angkolalah yang seharusnya mengambil sikap dan menjadi tokoh kunci untuk mempertahankan bahasa itu. Dengan demikian, penulis berharap dengan kajian ini, setidaknya sebagai upaya yang dilakukan untuk kembali mengangkat harkat dan martabat bahasa Angkola khususnya, dan bahasa daerah di Indonesia umumnya. Artinya, pemertahanan bahasa daerah di Indonesia dengan cara mengkaji lebih dalam tentang bahasa itu bukan sekedar sebuah slogan atau wacana saja, tetapi harus dengan suatu tindakan nyata. Ada beberapa penelitian dalam bentuk skripsi ditemukan membahas aspek mikro dan makro bahasa Angkola. Namun, penelitian-penelitian ini sangat terbatas dan bersifat umum. Oleh sebab itu, penelitian yang berfokus pada aspek yang lebih spesifik tentang bahasa Angkola sangat diperlukan. Misalnya penelitian ini menyoroti predikasi, sintaksis kategorial, fungsi partikel dan sebagainya. Di samping itu, bentuk
Universitas Sumatera Utara
lain yang ada yaitu literatur bahasa Angkola yang membahas dan menginventarisasi sejarah, kegiatan-kegiatan budaya dan kehidupan masyarakat saja seperti sejarah penduduk dan marga-marga, upacara perkawinan, upacara kematian, seni-seni termasuk seni sastra, dan sebagainya. Literatur-literatur itu hanya merupakan upaya untuk mempertahankan adat istiadat dan hukum-hukum yang berlaku di tengah masyarakat, bukan unsur bahasa secara spesifik. Untuk memahami lebih jauh tentang suku, bahasa dan wilayah geografis Angkola, bab berikutnya akan memberikan gambaran singkat, namun cukup memadai tentang unsur-unsur penting mengenai bahasa Angkola yang berkaitan dengan disertasi ini. Bab ini juga memberikan gambaran tentang cakupan wilayah penelitian disertasi ini. Bahasa Angkola tidak terpisahkan dari bahasa Mandailing karena kedekatan kultural dan geografisnya, meskipun Angkola juga berdekatan dengan daerah masyarakat Batak Toba. Sering sekali orang membedakan kedua bahasa ini hanya karena bahasa Angkola memiliki aksen yang lebih cenderung mendekati aksen Batak Toba, sebagaimana yang dinyatakan Sibarani (1997: 2) bahwa bahasa Batak Toba lebih dekat dengan bahasa Angkola. Hal ini menyiratkan bahwa secara linguistik bahasa Angkola cenderung mendekati bahasa Batak Toba dan bahasa Mandailing karena bahasa ini diapit oleh kedua bahasa itu. 1
1
Periksa juga http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Batak_Angkola, diakses 12 April 2008.
Universitas Sumatera Utara
Lubis dalam www.mandailing.org (2008) dengan tegas mengatakan bahwa bahasa Angkola harus dipisahkan dari bahasa Mandailing dan istilah bahasa Mandailing Angkola tidak pernah ada. Namun, ia mengakui bahwa banyak orang Angkola dan Mandailing yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan kedua suku itu adalah bahasa yang sama. Keadaan tidak dapat disatukannya bahasa Mandailing dan bahasa Angkola juga didasarkan pada pengelompokkan suku Batak yang dibuat oleh Susan Rogers Siregar dalam Lubis www.mandailing.org (2008). 2 Ia mengklasifikasikan suku Batak ke dalam suku Toba, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Dalam penggunaannya, pola kalimat bahasa Angkola lebih bervariasi. Subjek boleh mendahului predikat boleh juga setelah predikat, bahkan bahasa Angkola lebih sering menempatkan predikat pada awal kalimat mendahului subjek (Lubis:2009). Hal ini tentu berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang cenderung menempatkan predikat setelah subjek dan sering disertai dengan partikel-partikel tertentu (PART), seperti pada contoh-contoh percakapan singkat berikut: 1. A : Kehe au ku poken da. pergi aku ke pasar PART ‘Saya pergi ke pasar’ B : Olo, kehe ma. ya, pergi PART ‘Ya, pergilah’
2
http://www.mandailing.org/, diakses 12 April 2008.
Universitas Sumatera Utara
2. A : Na jegesan bagasmu. PART cantik rumahmu. ‘Rumahmu cantik’ B : Tarimo kasih da. terima kasih PART ‘Terima kasih’
3. A: Lehen-lehen ni koumta do on oleh-oleh family kita PART ini ‘Ini oleh-oleh family kita’ B:
Olo tarimo kasi da ya terima kasih PART ‘Terima kasih’
4. A:
Di ginjang ni amak lampisan di atas tikar yang berlapis ‘Di tikar yang berlapis’ Keempat contoh ini menunjukkan posisi predikat yang muncul mendahului
subjek. Contoh pertama menempatkan kata kerja sebagai predikat (verbal predicate), contoh kedua merupakan predikat ajektiva (adjectival predicate), contoh ketiga merupakan predikat nominal (nominal predicate), dan contoh keempat merupakan predikat preposisi (adposisional predicate). Sedangkan menurut daya ikatnya, kalimat-kalimat pada A mengikat satu partisipan saja, yaitu aku pada contoh pertama, dan rumah pada kalimat kedua, lehen-lehen pada kalimat ketiga, dan di ginjang pada kalimat keempat. Pada contoh kelima dapat dilihat kemampuan daya ikat predikat
Universitas Sumatera Utara
bahasa Angkola mengikat dua partisipan yaitu solomku dan ayamu, dan pada contoh keenam yaitu halai dan miak lilin. Pada contoh ketujuh dapat dilihat kemampuan predikat bahasa Angkola mengikat tiga partisipan yaitu alai, istri nia i dan tu dukunan. 5. Palalu jolo kirim solomku tu ayamu sampaikan dulu kirim salamku pada ayahmu ‘Sampaikan salamku pada ayahmu’
6. Dioban halai ma on miak lilin on dibawa mereka PART minyak lilin itu ‘Mereka membawa minyak lilin itu’
7. Kehema mulaki alai dohot istri nia i tu dukunan pergi PART kembali dia dan istrinya ke dukun itu ‘Dia dan istrinya pergi ke dukun itu lagi’
Daya ikat ini mungkin saja mengikat lebih dari tiga partisipan dengan predikatnya dalam bahasa Angkola, dan fenomena inilah yang salah satunya akan dikaji dalam penelitian ini. Contoh-contoh tersebut hanya sebagai data awal dan akan dilanjutkan dalam langkah-langkah penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah Proposisi dalam bahasa secara universal mengandung unsur utama yang disebut predikasi. Menurut Tata Bahasa Fungsional ujaran bahasa pun berawal dari
Universitas Sumatera Utara
konstruksi predikasi. Perbedaan antara satu bahasa dengan bahasa lainnya sering disebabkan oleh variasi dalam predikasi yang di antaranya meliputi unsur-unsur predikat, daya ikat predikat terhadap unsur-unsurnya. Masalah utama penelitian ini adalah “Bagaimanakah predikasi ini dalam bahasa Angkola menurut Tata Bahasa Fungsional?” Secara khusus, beberapa pertanyaan penelitian yang berhubungan dengan masalah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
unsur predikat dalam bahasa Angkola digambarkan
dengan menggunakan Tata Bahasa Fungsional? 2. Bagaimanakah kerangka predikat bahasa Angkola digambarkan dengan menggunakan Tata Bahasa Fungsional? 3. Bagaimanakah daya ikat predikat terhadap unsur-unsur lainnya dalam predikasi bahasa Angkola? 4. Bagaimanakah Tata Bahasa Fungsional memerikan predikasi bahasa Angkola? 5. Bagaimanakah Tata Bahasa Fungsional memerikan hubungan predikasi dengan Perikeadaan?
1.3. Tujuan Penelitian Bersesuaian dengan masalah seperti yang diuraikan pada pertanyaan penelitian di atas, dengan menggunakan kerangka teoretis Tata Bahasa Fungsional, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menemukan dan menganalisis unsur predikat dalam bahasa Angkola.
Universitas Sumatera Utara
2. Menentukan dan menganalisis kerangka predikat bahasa Angkola. 3. Menentukan daya ikat predikat terhadap unsur-unsur predikasi lainnya dalam bahasa Angkola. 4. Menganalisis predikasi bahasa Angkola. 5. Menganalisis hubungan predikasi dan prikeadaan.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat yang cukup besar dalam perkembangan dunia kebahasaan. Manfaat dibedakan menjadi manfaat teoritis dan praktis, yang masing-masing berhubungan dengan teori bahasa dan dengan penerapan hasil penelitian ini untuk kepentingan praktis. 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam beberapa aspek sebagai berikut: a. Perkembangan teori sintaksis bahasa, terutama dari pendekatan fungsional; hasil penelitian ini nantinya dapat memperkaya khazanah teori kebahasaan, khususnya yang berkaitan dengan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. b. Perkembangan minat pemerhati bahasa untuk melakukan kajian-kajian mendalam terhadap bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. c. Pemanfaatan bahasa daerah sebagai salah satu sumber kajian baik untuk kepentingan peningkatan keilmuan maupun upaya pelestarian. Dengan demikian, penelitian ini akan memberikan manfaat kepada penyusunan
Universitas Sumatera Utara
kerangka teoretis, langkah-langkah ataupun kebijakan pelestarian bahasa Angkola.
2. Manfaat Praktis Sementara itu, secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam beberapa aspek sebagai berikut: a. Dari segi keberadaan bahasa Angkola sebagai salah satu kekayaan Linguistik Indonesia khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya, penelitian ini merupakan salah satu dokumentasi bahasa Angkola yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut lagi untuk kepentingan lain. b. Pendeskripsian bahasa Angkola dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang pola tata bahasa, khususnya predikasi bahasa Angkola sehingga dapat dijadikan acuan bagi penelitian lanjut tentang bahasa Angkola. c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk pengembangan bahan ajar bahasa Angkola.
1.5 Organisasi Disertasi Disertasi ini disusun secara sistematis ke dalam beberapa bagian. Setiap bagian membahas topik yang khusus berdasarkan sistematika yang biasanya digunakan dalam penelitian disertasi. Bagian-bagian yang menyusun disertasi ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Bab I merupakan bagian pendahuluan yang membahas latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian. Bab ini ditutup dengan bagian yang menguraikan organisasi disertasi. Bab II memberikan gambaran umum daerah penelitian yang mencakup daerah adminstratif di mana Bahasa Angkola digunakan dan wilayah pemakaian Bahasa Angkola. Bagian ini juga mendaftarkan informan yang digunakan dalam penelitian ini. Bab III berkaitan dengan telaah kepustakaan yang membahas dan meninjau literatur yang berkaitan dengan paradigma dan teori Tata Bahasa Fungsional di tengah-tengah paradigma dan teori tata bahasa yang ada. Pada bagian ini juga dibahas secara singkat beberapa penelitian terdahulu yang sedikit banyaknya berkaitan dengan penelitian ini. Bab IV membahas metode penelitian yang digunakan dalam penelitian disertasi ini. Bagian ini mencakup sumber data dan model yang digunakan untuk analisis data. Bab V yang merupakan bab utama dalam penelitian ini membahas hasil penelitian. Hasil penelitian ini memaparkan temuan berdasarkan analisis data dan pembahasan terhadap semua temuan dalam hubungannya dengan pertanyaan penelitian yang diajukan sebelumnya, termasuk pembahasan tentang pembentukan sebuah penanda perikeadaan. Bab VI adalah bab terakhir yang isinya menyimpulkan hasil penelitian ini dan memberikan berbagai saran terkait dengan hasil penelitian yang diperoleh.
Universitas Sumatera Utara