BAB I PENDAHULUAN
Bab I membahas permasalahan yang melatarbelakangi penelitian, pertanyaan penelitian yang diajukan, motivasi peneliti dan kontribusi yang peneliti harapkan dengan dilakukannya penelitian ini. Bab ini juga menjelaskan tahapan tahapan yang peneliti lakukan selama penelitian dilakukan. 1.1.
Latar Belakang Masalah Organisasi sektor publik khususnya organisasi pemerintah sering
digambarkan sebagai organisasi dengan produktivitas rendah dan tidak efisien jika dibandingkan dengan sektor privat. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan haknya sebagai warga negara, tuntutan untuk mereformasi pemerintah semakin menguat. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah mengapa
organisasi
pemerintah
tidak
mampu
memberikan
pelayanan
sebagaimana organisasi privat memberikan pelayanan kepada konsumennya padahal pemerintah memiliki sumber daya yang jauh lebih besar dari perusahaan perusahaan yang ada. Berangkat dari tuntutan tersebut, beberapa negara mulai mengembangkan konsep yang dikenal dengan New Public Management (NPM). NPM berangkat dari anggapan bahwa manajemen sektor privat adalah lebih baik dari manajemen yang saat ini dipakai dalam sektor publik. Oleh karena itu konsep NPM dibentuk dengan mengadopsi best practices pada sektor sektor privat dengan beberapa
1
2
penyesuaian sesuai dengan karakteristik sektor publik dan disesuaikan dengan kondisi masing masing negara yang mengadopsinya. Konsep NPM dikenal dengan beberapa nama misalnya post bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992) atau entrepreneurial government (Osborne, 1992). Kesemua istilah tersebut umumnya bermuara pada pandangan umum yang serupa seperti pergeseran model administrasi publik tradisional menjadi sistem manajemen
publik
modern,
peningkatan
efisiensi,
pengadopsian
sistem
pengukuran kinerja, pembentukan organisasi yang lebih fleksibel, dan pengurangan beberapa fungsi pemerintah melalui privatisasi. 1.1.1. Reformasi Birokrasi di Indonesia Reformasi birokrasi merupakan bagian penting dari reformasi politik di Indonesia pada tahun 1998 yang ditandai dengan mundurnya mantan presiden Soeharto dari kursi kekuasaan. Reformasi birokrasi diawali dengan reformasi keuangan negara yang ditandai dengan terbitnya paket undang undang keuangan negara yang terdiri dari Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Bentuk reformasi birokrasi semakin jelas dengan diterbitkannya Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Perpres tersebut berisi acuan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam melakukan reformasi birokrasi di instansi masing masing. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB)
3
menetapkan aturan untuk melaksanakan Perpres tersebut yang dituangkan dalam road map reformasi birokrasi yang ditetapkan setiap lima tahun oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Tahap pertama implementasi reformasi birokrasi diatur dalam Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014. 1.1.2. Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Salah upaya reformasi birokrasi yang dilakukan adalah dengan mewujudkan akuntabilitas dan transparansi keuangan dan kinerja di lingkungan pemerintah. Oleh karena itu setiap pengelola keuangan negara diwajibkan menyusun laporan pertanggung jawaban pengelolaan keuangan negara. Laporan pertanggungjawaban tersebut dikelompokan menjadi dua bagian yaitu laporan keuangan dan laporan kinerja. Laporan keuangan pemerintah terdiri dari neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan sedangkan laporan kinerja berupa laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) sebagaimana diatur dalam PP nomor 8 tahun 2006 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah. LAKIP tersebut kemudian disampaikan
secara
terbuka
kepada
masyarakat
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban pemerintah dan merupakan objek audit Badan Pemeriksa Keuangan. Kewajiban menyusun LAKIP bagi semua instansi pemerintah diharapkan semakin memotivasi instansi tersebut semakin fokus pada peningkatan hasil (outcome) bukan sekedar tercapainya keluaran (output) atau bahkan masukan (input). Untuk itu diperlukan suatu sistem pengukuran kinerja yang dapat
4
memberikan nilai terhadap pencapaian hasil dari setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintah. 1.1.3. Pengelolaan Kinerja di Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan mulai menggunakan Balanced Scorecard (BSC) dalam pengelolaan kinerja sejak tahun 2007 meskipun implementasinya berjalan efektif mulai tahun 2012 dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 454/KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. Peraturan tersebut mengatur pengelolaan kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan hingga ke level individu. Direktorat Jenderal Perbedaharaan menindaklanjuti PMK tersebut dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan (Kepdirjen) Nomor Kep-107/PB/2012 Tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai dasar pengelolaan kinerja di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 1.2.
Rumusan Permasalahan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPB) dan
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) yang berkedudukan di Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Tugas dan fungsi KPPN adalah melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan bendahara umum negara sedangkan Kanwil DJPB menjalankan fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan KPPN yang berada dalam wilayah kerjanya. KPPN memiliki peran yang sangat strategis mengingat salah satu fungsi perbendaharaan negara adalah
5
melakukan pembayaran atas beban APBN. KPPN juga bertugas melakukan penatausahaan dan pengeluaran anggaran melalui dan dari kas negara. Fungsi pembayaran atas beban APBN yang dimiliki KPPN tentu berpengaruh terhadap kinerja instansi pemerintah yang berada dalam lingkup KPPN. Kinerja KPPN dalam menyalurkan dana APBN yang optimal diharapkan mampu mendorong pelaksanaan fungsi unit-unit organisasi pemerintah yang mendapat alokasi dana dari APBN dengan optimal. Oleh karena itu sistem pengukuran kinerja pada KPPN perlu menjadi perhatian untuk mendorong peningkatan kinerja KPPN Sesuai dengan PMK Nomor 454/KMK.01/2011 saat ini Kanwil DJPB dan KPPN menggunakan pendekatan BSC dalam menyusun rencana strategis sekaligus sebagai alat untuk mengukur kinerja organisasi dan individu. Pengukuran kinerja tersebut diharapkan dapat menjadi barometer pencapaian tujuan organisasi sekaligus sebagai pendorong peningkatan kinerja organisasi dan individu melalui mekanisme pemberian hukuman atau penghargaan. Rencana strategis KPPN terdiri dari beberapa sasaran strategis yang merupakan turunan (cascading) dari sasaran strategis DJPB. Masing masing sasaran strategis diukur dengan beberapa indikator kinerja utama (IKU). Indikator tersebut yang kemudian dijadikan tolak ukur pengukuran kinerja KPPN baik kinerja organisasi maupun kinerja individu. Untuk memastikan indikator-indikator yang digunakan telah benar benar mengukur sasaran strategis yang ditetapkan maka perlu dilakukan evaluasi ketepatan indikator mengukur pencapaian sasaran strategis.
6
Pada kenyataannya implementasi BSC sebagai sistem pengukuran kinerja dirasakan belum optimal. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa beberapa pegawai menganggap pengukuran kinerja yang baru hanya menambah beban pekerjaan saja disamping pengukuran kinerja yang selama ini berjalan melalui formulir DP3. Terlebih lagi laporan informasi kinerja yang baru dilakukan melalui aplikasi komputer yang bagi sebagian pegawai cukup membingungkan. Sebagian lagi merasa bahwa pengisian laporan kinerja hanya bersifat formalitas karena dalam pelaksanaanya pengisian indikator kinerja sebagian besar tidak didasarkan bukti yang nyata dan bersifat estimasi. Informasi kinerja BSC juga dirasakan belum memberikan manfaat yang optimal bagi organisasi. Penyusunan anggaran kegiatan sebagian besar masih bersifat inkremental (incremental) dan belum menggunakan informasi kinerja sebagai bahan pertimbangan penyusunan program dan kegiatan sebagaimana yang diharapkan dari sistem pengukuran kinerja yang baik. 1.3.
Pertanyaan Penelitian Dari latar belakang dan rumusan permasalahan di atas maka pertanyaan
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Apakah sistem pengukuran kinerja dengan pendekatan BSC di KPPN telah akurat dan memberikan manfaat bagi organisasi dan individu di KPPN? 2. Apakah indikator kinerja yang digunakan dalam pengukuran kinerja telah menggambarkan kinerja KPPN sebenarnya? 1.4.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk
7
1. Menilai keakuratan dan kemanfaatan sistem pengukuran kinerja pada KPPN 2. Menjelaskan kualitas indikator kinerja yang digunakan pada KPPN untuk mengukur kinerja organisasi dan individu. 1.5.
Motivasi Penelitian Penelitian ini dilandasi motivasi peneliti untuk memberikan sumbangsih
pemikiran secara ilmiah terkait dengan implementasi BSC dan penyusunan indikator kinerja pada KPPN khususnya KPPN Yogyakarta. 1.6.
Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kantor Pusat Ditjen
Perbendaharaan dalam merumuskan kebijakan pengukuran kinerja pada unit unit kerja yang ada khususnya unit vertikal KPPN. 1.7.
Proses Penelitian Penelitian yang dilakukan melalui lima tahapan proses penelitian sebagai
berikut: 1. Perumusan pertanyaan penelitian. Dalam tahapan ini peneliti merumuskan pertanyaan penelitian berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. 2. Tujuan penelitian. Tujuan penelitian menjawab apa yang akan dicapai oleh peneliti dalam investigasi di obyek penelitian berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian.
8
3. Landasan teoritikal penelitian studi kasus. Landasan teoritikal memberikan pondasi bagi peneliti untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang dihadapi. 4. Penyusunan metode penelitian studi kasus. Metode penelitian menentukan teknik yang digunakan penulis dalam melaksanakan tahapan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan studi kasus dalam melaksanakan penelitian. 5. Hasil penelitian yang diperoleh kemudian akan dianalisis lalu ditarik kesimpulan sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Dari kesimpulan tersebut penulis akan menyampaikan rekomendasi terkait atas kesimpulan yang dibuat. Proses penelitian studi kasus dapat dilihat pada gambar 1
2. Tujuan Penelitian
3. Pondasi Teoritikal Penelitian Studi kasus 1. Pertanyaan Penelitian
4. Metode Penelitian Kasus
5. Temuan dan Analisis
Gambar 1 Tahapan Penelitian Sumber: Pedoman Umum Penulisan Tesis Maksi FEB UGM 2014
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II membahas dasar teori yang melandasi pembahasan terkait pengukuran kinerja. Dasar teori tersebut meliputi teori model logis (logic models) dan penilaian indikator kinerja. Bab ini juga membahas teori Balanced Scorecard (BSC) sebagai suatu sistem pengukuran kinerja. 2.1.Model logis Salah satu alat yang dapat digunakan menyusun suatu perencanaan yang logis dan dapat dipahami oleh banyak orang adalah Model Logis. Knowlton & Phillips (2013) mendefinisikan Model logis sebagai suatu cara untuk untuk mengorganisasi informasi dan menggambarkan pemikiran secara visual. Model logis menjelaskan rencana tindakan dan hasil yang diharapkan akan terjadi dari tindakan tersebut. Model logis standar dapat diilustrasikan dengan gambar 2.
Masukan
Aktivitas
Keluaran
Hasil
Gambar 2 Model Logis Standar Sumber: Knowlton & Phillips (2013) Model logis dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu teori perubahan dan program model logis (Knowlton & Phillips, 2013). Teori perubahan merupakan gambaran perubahan apa yang diyakini akan terjadi sedangkan program model logis merupakan rincian sumber daya, aktivitas yang 9