BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sejarah bangsa Indonesia terus mencatat berbagai bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesenjangan sosial yang disebabkan antara lain oleh warisan konsepsi tradisional tentang hubungan feodalitas dan paternalistis antara pemerintah dan rakyat, belum konsistennya penjabaran penegakan hukum dengan norma-norma yang diletakkan para bapak pendiri negara (the founding fathers) dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, belum cukup tersebar luasnya wawasan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan belum kukuhnya masyarakat warga (civil society). Ringkasnya, masih belum cukup kondusifnya kondisi untuk melaksanakan dan meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM menimbulkan berbagai cara pandang, sikap, serta tindak yang tidak adil dan diskriminatif. Hal itu mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh negara (state actor) maupun yang dilakukan oleh masyarakat (non-state actor) 1. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
1
Lihat Laporan Tahunan 2003 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, hal 1-2.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya 2. Makin kuatnya kesadaran tentang perlunya penghormatan HAM di kalangan masyarakat Indonesia sendiri setelah runtuhnya rezim Orde Baru, yang otoriter dan represif, serta meningkatnya perhatian komunitas internasional terhadap pemajuan HAM di bagian dunia manapun, mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketetapan tersebut melampirkan antara lain, naskah Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang terpisah dari Ketetapan itu. Selain itu, ketetapan tersebut juga menentukan, antara lain, penugasan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Sementara itu, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditugaskan untuk mengesahkan berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
2
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. Hal 227.
Universitas Sumatera Utara
Ketetapan tersebut juga menentukan, bahwa pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian, dan mediasi tentang HAM dilakukan oleh suatu komisi nasional HAM yang ditetapkan dengan undang-undang. Menindaklanjuti amanat ketetapan MPR tersebut, pada 23 September 1999 disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain mengatur tentang HAM , undang-undang ini juga menetapkan keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), termasuk tujuan, fungsi, tugas dan wewenang, serta keanggotaannya. Berdasarkan Undang-undang tersebut, proses pemilihan anggota Komnas HAM tidak lagi dilakukan oleh Komnas HAM sendiri seperti halnya Komnas HAM menurut Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, melainkan melalui proses seleksi secara terbuka. Selanjutnya calon-calon hasil seleksi ini diserahkan kepada DPR untuk dipilih dan akhirnya diteruskan ke Presiden untuk diresmikan. Dengan telah ditingkatkan dasar hukum pembentukan Komnas HAM dari Keputusan Presiden menjadi undang-undang, diharapkan Komnas HAM dapat menjalankan fungsinya secara lebih optimal untuk mencapai tujuannya sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang. Berdasarkan undang-undang tersebut, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan memanggil seorang secara paksa (subpoena power) dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM. Wewenang Komnas HAM bertambah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh undangundang ini, Komnas HAM diberi mandat sebagai satu-satunya institusi yang
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM yang berat 3. Pelanggaran HAM dikelompokan dua bentuk yaitu: Pelanggaran HAM Berat dan Pelanggaran HAM Ringan. Pelanggaran HAM Berat meliputi kejahatan Genosida dan kejahatan Kemanusiaan (UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM Ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu 4. Dan juga terdapat berbagai macam Hak Asasi Manusia dapat dibedakan menjadi enam yaitu: (i) hak asasi pribadi (personal rights); (ii) hak asasi ekonomi (property rights); (iii) hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights of legal equality); (iv) hak asasi politik (political rights); (v) hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture rights); (vi) hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights) 5. Jika berbicara tentang pelanggaran HAM, telah banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia baik pelanggaran yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat. Salah satu pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia adalah Pelanggaran HAM Berat pada Tahun 1965-1966 yang terjadi setelah tragedi politik 1965, yaitu Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menggelar Operasi Kalong dan Operasi Trisula. Mereka menangkap, menahan, dan menginterogasi orang-orang yang dituduh PKI diberbagai tempat. 3
Lihat Laporan Tahunan 2003 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, hal 2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. Hal 227. 5 Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. Christine S.T. Kansil, S.H., M.H. 2003. Sekitar hak asasi manusia dewasa ini. Jakarta: Penerbit Djambatan. Hal 12-13. 4
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, tanpa proses pengadilan, orang-orang itu dibuang ke kamp penahanan. Tak hanya di Pulau Buru, mereka menjalani hidup sebagai tahanan politik di sejumlah penjara seperti di Gunung Sahari II (Jakarta), Pelantungan (Jawa Tengah), Jalan Gandhi (Medan), Pulau Kemaro (Palembang), dan Moncongloe (Sulawesi Selatan). Tempat-tempat itu adalah Guantanamo Indonesia. Di sana mereka mengalami berbagai bentuk penyiksaan, dari yang ringan hingga berat 6. Diperkirakan sekitar 500 ribu sampai 3 juta orang dibunuh oleh pemerintahan orde baru pada tahun 1965 sampai 1966 di Sumatera Utara. Namun hingga saat ini fakta ini di tutup-tutupi dan pelakunya tidak pernah diadili 7. Didalam film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer ini memuat kesaksian seorang yang pernah membunuh ratusan orang PKI di Medan. Setelah peristiwa Gerakan 30 September di Medan, Sumatera Utara ini merupakan harihari yang kelam bagi siapa pun yang di tuduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia dan organisasi yang bernaung di bawahnya. Rumah tahanan Gandhi yang berada di Jalan Gandhi, Medan merupakan salah satu lokasi penyiksaan, pengurungan, dan pemusnahan yang dilakukan oleh aparat negara 8. IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) merupakan wadah keluarga korban penghilangan paksa (orang hilang) yang menjadi korban praktek politik penghilangan paksa yang dilakukan negara terhadap mereka yang
6
Lihat Tempo. Pengakuan ALGOJO 1965. Edisi 1-7 Oktober 2012. Hal 91. http://www.tribunnews.com/regional/2012/05/04/ikohi-ungkap-pembantaian-massal-1966-di-sumut. Diakses pada tanggal 24 Januari 2014 pukul 14.26. 8 Lihat Tempo. Pengakuan ALGOJO 1965. Edisi 1-7 Oktober 2012. Hal 95. 7
Universitas Sumatera Utara
dianggap lawan politik negara dan orang-orang yang berusaha menegakkan dan mempertahankan hak politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan rakyat sebagai bentuk hak asasi manusia. Selain dari IKOHI, ada organisasi yang juga memperjuangkan pengungkapan pembenaran kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada Tahun 1965-1966 yaitu KontraS. Aksi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 65 Sumatera Utara yang dimana didalamnya terdapat beberapa organisasi yang tergabung yaitu KontraS, BAKUMSU, PBHI, PEC, dan JKLPK melakukan audiensi di Jakarta dengan beberapa lembaga Negara untuk menyampaikan aspirasi dan tuntuan bagi upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965. Pada audiensi tersebut mereka mendesak Presiden SBY untuk mengadili Soeharto selaku pihak yang sangat bertanggungjawab atas pembantaian jutaan rakyat Indonesia tahun 1965-1968. Kemudian mereka juga menuntut agar pemerintah memberikan rehabilitasi umum kepada seluruh korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Lalu meminta untuk mencabut UU KKR yang cacat, yang tidak akan mungkin sanggup mengemban tugas penyelidikan efektif atas pelaku pembantaian massal jutaan rakyat Indonesia tahun 1965-1968 maupun kejahatan HAM berat lainnya. Dan yang terakhir mereka menginginkan pemerintah untuk menghentikan proses Tim Seleksi anggota KKR yang tengah berlangsung saat ini, yaitu mencabut UU No. 27 Tahun 2004 dan mengantikannya dengan UU baru yang sungguh-sungguh berpihak pada kepentingan korban 9.
9
http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=57. Diakses pada tanggal 20 Mei 2014 pukul 17.15.
Universitas Sumatera Utara
IKOHI Sumatera Utara adalah salah satu organisasi yang memperjuangkan pengungkapan pembenaran kasus yang terjadi pada Tahun 1965-1966 adalah Pelanggaran HAM yang Berat. IKOHI bertujuan mengungkap kasus ini secara transparan dan di publikasikan secara luas dan diproses secara adil. Berdasarkan pernyataan tersebut maka peneliti tertarik dalam melihat pergerakan yang telah dilakukan oleh IKOHI dalam menyikapi masalah pelanggaran HAM Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara. Maka dalam hal ini peneliti mengangkat judul penelitian Pergerakan IKOHI Sumatera Utara (Studi Deskripstif : Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara).
B. Rumusan Masalah Dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia telah terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM, setelah runtuhnya rezim Orde Baru timbul kesadaran bangsa Indonesia dalam menyikapi permasalahan HAM yang terjadi dan telah mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam mengeluarkan ketetapan MPR tentang Hak Asasi Manusia dan juga di bentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Salah satu pelanggaran HAM yang diangkat adalah pelanggaran HAM Berat Tahun 1965-1966 yang sampai saat ini faktanya masih belum terungkap dan belum ada penyelesaian sehingga menimbulkan gerakan dari IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) Sumatera Utara yang ingin mengungkapkan pembenaran kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965-1966.
Universitas Sumatera Utara
Dari pemaparan pada latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Pergerakan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) Sumatera Utara tentang Pelanggaran HAM Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah 1. Untuk mendeskripsikan pergerakan dari IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) Sumatera Utara. 2. Untuk menganalisis hasil dari pergerakan yang dilakukan oleh Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia dalam memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia Berat pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir dalam melakukan sebuah penelitian dan menulis suatu karya ilmiah serta memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri. 2. Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang politik khususnya dalam kajian studi Hak Asasi Manusia dan diharapkan dapat menjadi referensi/kepustakaan
Universitas Sumatera Utara
bagi departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 3. Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat mendeskripsikan tentang pelanggaran HAM Berat pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.
E. Kerangka Teori E.1. Teori Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia (HAM) adalah standar dasar yang merupakan anugerah Tuhan, yang tidak boleh dicabut siapapun. Dan, tanpanya, manusia tidak dapat hidup sesuai martabat atau fitrahnya sebagai manusia. HAM adalah landasan dari kebebasan, keadilan dan kedamaian. HAM mencakup semua yang dibutuhkan manusia untuk tetap menjadi manusia, dari segi kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya 10. Jika ditilik dari konteks sejarah Barat, maka ide HAM itu bermula dari Inggris, yang pada kurun waktu abad ke-17 sudah mempunyai tradisi perlawanan terhadap kekuasaan raja yang mutlak. Bahkan, pada tahun 1215, para bangsawan sudah mampu memaksa raja untuk memberikan Magna Charta Libertatun yang melarang penahanan, penghukuman dan perampasan benda dengan sewenangwenang. Kemudian di tahun 1679 muncul apa yang dinamakan Habeas Corpus, 10
Mansour Fakih,dkk. 2003. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan Untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia.. Yogyakarta: Insist Press. Hal 40.
Universitas Sumatera Utara
suatu dokumen keberadaan hukum bersejarah yang menetapkan najwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan. Pernyataan ini menjadi dasar hukum bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim. Dalam tahun 1689, muncul apa yang biasa dinamakan dengan Bill of Rights, yang mana Inggris secara jelas mengakui semua hak-hak parlemen. Sebenarnya itu semua sangat dipengaruhi oleh orang yang bernama John Locke, yang mengemukakan ide toleransi (waktu itu antara orang Katolik dan atheis), juga mengemukakan bahwa semua orang itu diciptakan sama dan memiliki hakhak alamiah yang tak dapat dilepaskan. Hak-hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan. Pemikiran John Locke ini sangat berpengaruh pada wilayah jajahan Inggris seperti Amerika, sedangkan pemikir, yaitu Jean-Jacques Rousseau menjadi inspirasi bagi warga perancis untuk memperjuangkan kebebasan. Dalam revolusi Perancis terkenal apa yang dinamakan dengan Declaration des roits de’lhomme et du citoyen (Deklarasi mengenai Hak Manusia dan Warga Negara). Atau dalam ungkapan yang populer, Revolusi Perancis menghadirkan pernyataan kebebasan (liberte), kesamaan (egalite) dan ketidaksetiakawanan (fraternite). Melalui Revolusi Perancis itu pula muncul hak warga negara untuk menentukan undang-undang 11. Dalam perkembangan berikutnya terjadi perubahan dalam pemikiran mengenai hak asasi, antara lain karena terjadinya depresi besar (the Great
11
Ibid. Hal 42-43.
Universitas Sumatera Utara
Depression) sekitar tahun 1929 hingga 1934, yang melanda sebagian besar dunia. Depresi ini, yang mulai di Amerika kemudian menjalar ke hampir seluruh dunia, berdampak luas. Sebagian besar masyarakat tiba-tiba ditimpa pengangguran dan kemiskinan. Di luar Amerika pun dampaknya cukup dahsyat. Di Jerman, depresi turut berakibat timbulnya Nazisme yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Perkembangan ini menyebabkan banyak orang bermigrasi ke Amerika dan negara-negara demokrasi lainnya. Jutaan orang Yahudi yang tidak sempat meninggalkan Jerman, ditahan dan dibunuh dalam berbagai kamp konsentrasi (Holocaust). Dalam suasana itu Presiden Amerika Serikat, Roosevelt pada 1941 merumuskan Empat Kebebasan (The Four Freedoms), yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari ketakutan (freedom from fear), dan kebebasan dari kemiskinan (freedom from want). Sementara itu dibelahan Timur Eropa telah terjadi perubahan besar yang dampaknya terasa diseluruh Eropa dan Amerika. Di Rusia pada 1917 telah terjadi revolusi menetang kekuasaan Tsar. Dengan dipimpin oleh Lenin (1870-1924) golongan komunis berhasil mendirikan negara baru berdasarkan ideologi Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Revolusi ini membawa penderitaan besar khususnya bagi kalangan atas. Terutama dibawah pimpinan Stalin (1879-1953) yang mengambil alih tampuk pimpinan pada 1924, orang yang dianggap “antirevolusioner” dibunuh atau ditawan dalam kamp konsentrasi. Seusai Perang
Universitas Sumatera Utara
Dunia II Uni Soviet berhasil menjadi saingan bagi Amerika Serikat sebagai negara adidaya, sampai pada akhir tahun 1989, Uni Soviet runtuh sebagai nation state, dan terpecah menjadi beberapa negara. Hilang pula Uni Soviet sebagai simbol komunisme, dan pendekar dunia kedua. Pada tahap pertama berdirinya, Uni Soviet berusaha keras untuk mentransformasikan dari negara agraris menjadi negara industri. Akan tetapi pembangunan industri berat terlalu diprioritaskan, sehingga menimbulkan penderitaan besar bagi kalangan rakyat. Hal itu berubah saat keadaan sosial ekonomi ditingkatkan melalui penyediaan kesempatan kerja, perumahan, serta pendidikan. Hak ekonomi dianggap lebih substantif dari hak politik yang dicap “borjuis” dan bersifat prosedural saja. Dalam UUD 1936 hak ekonomi sangat ditonjolkan dan kemudian forum PBB dengan gigih diperjuangkan. Bahkan hak politik dianggap dapat menganggu usaha mengonsolidasi komunisme sebagai ideologi tunggal. Hak ini tidak berarti bahwa hak politik secara resmi tidak diakui. Dalam UUD 1936 (Pasal 125) ada empat hak politik yang dijamin asal “sesuai dengan kepentingan rakyat pekerja dan memperkuat dan mengembangkan sistem sosialis.” Dalam UUD 1977 hal itu diulang kembali dalam Pasal 50 dan ditambah dengan ketentuan dalam Pasal 39 bahwa semua hak yang dijamin dalam UUD. Dengan kata lain, jika suatu hak dianggap sebagai ancaman terhadap ideologi komunisme, maka hak itu tidak memperoleh perlindungan. Dengan demikian bobot hak asasi sangat terbatas maknanya. Sebagai akibat Uni Soviet
Universitas Sumatera Utara
pada masa lalu selalu dikecam sebagai negara pelanggar hak asasi yang termasuk paling besar. Pandangan ini berubah secara radikal sesudah terjadinya perpecahan dalam dunia komunis di Eropa Timur pada akhir 1989. Dewasa ini negara-negara Eropa Timur yang tadinya berdasarkan sistem komunis, berada dalam transisi ke arah demokrasi dan mendekatkan diri dengan negara-negara Barat, berikut pandangan mengenai hak asasi 12.
a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Seusai Perang Dunia II timbulah keinginan untuk merumuskan hak asasi yang diakui seluruh dunia sebagai standar universal bagi perilaku manusia. Usaha pertama ke arah standar setting ini dimulai oleh Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) yang didirikan oleh PBB pada tahun 1946. Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia, kedua jenis hak asasi manusia dimasukkan sebagai hasil kompromi antara negara-negara Barat dan negaranegara lain, sekalipun hak politik masih lebih dominan. Pada 1948 hasil pekerjaan Komisi ini, Universal Declaration of Human Rights, diterima oleh 48 negara
12
Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 215-218.
Universitas Sumatera Utara
dengan catatan bahwa delapan negara, antara lain Uni Soviet, Arab Saudi, dan Afrika Selatan tidak memberikan suaranya atau abstain 13. Hasil gemilang ini tercapai hanya dalam dua tahun, karena momentum memang menguntungkan. Negara-negara Sekutu (termasuk Uni Soviet) baru saja memenangkan perang dan ingin menciptakan suatu tatanan hidup baru yang lebih aman. Sebab lain mengapa Deklarasi Universal agak cepat dapat dirumuskan adalah sifatnya yang “tidak mengikat secara yuridis” sesuai usul beberapa negara, antara lain Uni Soviet. Deklarasi Universal dimaksud sebagai pedoman sekaligus standar minimum yang dicita-citakan oleh seluruh umat manusia. Maka dari itu berbagai hak dan kebebasan dirumuskan secara sangat luas, seolah-olah bebas tanpa batas. Satu-satunya pembatasan tercantum dalam pasal terakhir, yakni No. 29 bahwa: Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya dan bahwa dalam pelaksanaan hak-hak dan kekuasaan-kekuasaanya setiap orang hanya dapat dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dalam rangka memenuhi persyaratan-persyaratan yang adil dalam hal moralitas, kesusilaan, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.
Sekalipun sifatnya tidak mengikat secara yuridis, namun Deklarasi ternyata mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada taranya. Sebagai lambang “komitmen moral” dunia internasional pada perlindungan hak
13
Geoffrey Robertson. 1991. Crimes Against Humanity: The Struggle for Global Justice. New York: The New Press. Hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
asasi manusia Deklarasi menjadi acuan di banyak negara dalam undang-undang dasar, undang-undang, serta putusan-putusan hakim 14.
b. Dua Kovenan Internasional Tahap kedua yang ditempuh oleh Komisi Hak Asasi PBB adalah menyusun “sesuatu yang lebih mengikat daripada Deklarasi belaka (something more legally binding than a mere declaration),” dalam bentuk perjanjian (covenant). Ditentukan pula bahwa setiap hak akan dijabarkan, dan prosedur serta aparatur pelaksanaan dan pengawasan dirumuskan secara rinci. Juga diputuskan untuk menyusun dua perjanjian (kovenan) yakni, yang pertama mencakup hak politik dan sipil, dan yang kedua meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, setiap negara memperoleh kesempatan memilih salah satu atau kedua-duanya. Ternyata masih diperlukan delapan belas tahun (dari 1948 sampai 1966), untuk mencapai konsensus agar Sidang Umum PBB menerima baik Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Economic, Social and Cultural Rights), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant Civil and Political Rights), serta tentang pengaduan perorangan (Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights). Selain itu, diperlukan sepuluh tahun lagi (dari 1966 sampai 1976) sebelum dua Kovenan PBB beserta Optional Protocol dinyatakan berlaku, sesudah
14
Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 218-219.
Universitas Sumatera Utara
diratifikasi oleh 35 negara. Jadi, proses mulai dari Deklarasi memerlukan seluruhnya waktu dua puluh delapan tahun (1948-1976). Kemudian pada tahun 1989 Optional Protocol II (bertujuan penghapusan hukuman mati) diterima oleh Sidang Umum PBB (1989). Naskah-naskah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dua Kovenan serta dua Optional Protocol dianggap sebagai suatu kesatuan, yang dinamakan Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia (International Bill of Human Rights). Undang-Undang Internasional HAM (International Bill of Human Rights) mencakup 15: 1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). 2. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966/1976) 3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966/1976) 4. Optional Protocol dari Kovenan Internasinoal Hak Sipil dan Politik (mengenai pengaduan perseorangan) (1966/1976) 5. Optional Protocol II dari Kovenan Internsional Hak Sipil dan Politik yang bertujuan menghapuskan hukuman mati (1989) Dalam sejarah Republik Indonesia sendiri selain dalam Pancasila dan UUD 1945 kita sudah pernah mengenal berbagai dokumen konstitusional dan peraturan perundang-undangan yang banyak memuat norma perlindungan dan peneggakan HAM, seperti Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang Undang Dasar Sementara 1950, rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
15
Ibid. Hal 219-220.
Universitas Sumatera Utara
Rakyat tentang Hak Asasi Manusia 16, Kitab Undang-undang Acara Pidana, Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara ataupun Undang-undang Perkawinan. Mengingat masih tersebarnya materi perlindungan dan penegakan HAM tersebut dalam berbagai dokumen, dalam tahun 1993 pernah diajukan gagasan tentang perlunya suatu dokumen yang lebih utuh, yang dapat disebut sebagai Deklarasi Indonesia tentang Hak Asasi Manusia 17. Instrumen HAM sedunia tidak hanya memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, tetapi juga menetapkan sasaran serta tolok ukur yang ingin dicapai dengan perlindungan HAM tersebut. Hal ini perlu agar supaya seluruh kiprah mengenai HAM ini mempunyai makna positif serta dapat direncanakan perwujudannya dengan tertib dalam keseluruhan struktur negara nasional. Beberapa instrumen yang mengandung kaidah tentang sasaran dan tolok ukur pembangunan HAM antara lain adalah: a. Declaration on the Rights of People to Peace (Deklarasi tentang Hak Masyarakat untuk Memperoleh Kedamaian dan Perdamaian), 1984. b. Declaration on the Rights to Development (Deklarasi tentang Hak untuk Pembangunan), 1986. c. The Vienna Declaration and Programme of Action (Deklarasi dan Program Aksi Wina), 1993. 16 Salinan dari Rancangann Ketetapan MPRS mengenai Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara ini dapat dibaca dalam buku Paul S. Baut dan Beny Harman K, 1988, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, hal 235-259. 17 Lihat Drs. Saafroedin Bahar, “Visi Indonesia tentang Hak-hak Asasi Manusia” dalam Persepsi No. 01/1993, h.29.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya instrumen HAM sedunia tersebut di atas melindungi seluruh umat manusia. Namun ada yang mendapatkan perhatian secara khusus, yaitu kelompok-kelompok rentan yang lazimnya tidak mampu melindungi hak asasinya sendiri, seperti: Kanak-kanak; Kaum wanita; Kaum pekerja; Minoritas; Penyandang cacat; Penduduk Asli atau Suku Terbelakang (inidigenous people); Tersangka, tahanan dan tawanan; Budak; Korban Kejahatan; Pengungsi; Mereka yang tidak berkewarganegaraan (stateless) 18. Terdapat macam-macam Hak asasi Manusia dapat dibagi atau dibedakan sebagai berikut 19: 1. Hak-hak asasi pribadi atau personal rights yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak dan sebagainya. 2. Hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjualnya serta memanfaatkannya. 3. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau yang biasa disebut rights of legal equality. 4. Hak-hak asasi politik atau political rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik dan sebagainya,
18
Saafroedin Bahar. 1996. Hak Asasi Manusia: Analisis Komnas HAM dan Jajaran HANKAM/ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal 20. 19 Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. Christine S.T. Kansil, S.H., M.H. 2003. Sekitar hak asasi manusia dewasa ini. Jakarta: Penerbit Djambatan. Hal 12-13.
Universitas Sumatera Utara
5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights, misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya. 6. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights, misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan, dan sebagainya. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pelanggaran HAM di kelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu: Pelanggaran HAM Berat dan Pelanggaran HAM Ringan. Pelanggaran HAM Berat meliputi kejahatan Genosida dan kejahatan Kemanusiaan. Sedangkan bentuk Pelanggaran HAM Ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM Berat itu. Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan Genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anakanak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM).
Universitas Sumatera Utara
Sementara kejahatan Kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asasasas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid 20. Mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori berat seperti genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang sebagaimana tercantum dalam pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan 20
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. Hal 227-229.
Universitas Sumatera Utara
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi manusia itu sendiri berdasar pasal 28 J ayat (2) UndangUndang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang ini mengatur pula tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutuskan pekara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasar peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan Pengadilan Umum. Di samping adanya Pengadilan HAM ad hoc, Undang-undang ini menyebutkan juga keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR-RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan undang-undang sebagai lembaga ekstra-yudisial yang ditetapkan dengan undang-undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa 21.
21
Ibid. Hal 229-230.
Universitas Sumatera Utara
E.2. Teori Gerakan Sosial Hak Asasi Manusia, selama ini lebih banyak dianggap dan diperlakukan sebagai urusan negara dengan pendekatan legalistik formal. Dengan pendekatan seperti itu, HAM menjadi hanya urusan pasal-pasal dan tidak pernah menjadi urusan rakyat jelata. Diperlukan suatu pendekatan yang berbeda, sebagai alternatif untuk memperjuangkan HAM. Kita harus membuat urusan HAM menjadi urusan rakyat. Mayoritas rakyat memerlukan kendaraan politik untuk memperjuangkan perlindungan HAM mereka. Sementara itu, parlemen dan partai politik sulit diharapkan untuk memberikan perlindungan HAM kepada rakyat kecil. Atas dasar itu, diperlukan suatu pendekatan alternatif, yakni dengan membangun gerakan HAM sebagai social movements. Gerakan sosial ini merupakan kendaraan kekuatan politik rakyat untuk menekankan perlunya negara mengindahkan HAM dan perlunya menepati komitmen perlindungan HAM terhadap rakyat dan mereka yang terpinggirkan. Gerakan sosial (social movements) adalah suatu gerakan spontan yang dikembangkan oleh para korban Pelanggaran HAM dan didukung oleh kelompokkelompok lain, seperti mahasiswa maupun kaum intelektual untuk memperjuangkan HAM oleh rakyat sendiri. Gerakan HAM selanjutnya merupakan suatu gerakan sosial yang membangun identitas kolektif sebagai korban Pelanggaran HAM.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, gerakan sosial dalam bentuk identitas kolektif sebagai kelompok yang dilanggar hak-hak asasi mereka, tidak akan muncul dengan sendirinya. Pada masa lalu, mereka membutuhkan seseorang. Jika suatu negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian (konvensi) HAM, maka negara harus melindungi, memproteksi HAM rakyat. Namun, dalam kenyataanya, perlindungan dan proteksi serta hak-hak rakyat tidak diberikan secara serta merta kepada rakyat. Dengan demikian, perlu usaha bagi rakyat untuk merebut apa yang seharusnya menjadi hak-hak rakyat, dan itulah HAM 22. Terdapat tiga Karakter Gerakan HAM: Pertama, gerakan HAM haruslah berwatak mandiri, bukan menjadi bagian dari partai politik tertentu, ataupun bagian dari program pemerintah. Gerakan HAM adalah gerakan yang dikembangkan oleh kelompok korban pelanggaran HAM. Kedua, gerakan HAM haruslah didasarkan pada kesadaran kritis dari korban HAM, serta gerakan yang mendasarkan kesadaran pada proses humanisasi dan perlindungan HAM. Karena banyak gerakan mobilisasi sosial yang bukan didasarkan pada kesadaran kritis melainkan oleh rasa dendam, kebencian pada kelompok etnis tertentu, maupun didasarkan pada kesadaran naif lainnya. Ketiga, gerakan HAM haruslah merupakan gerakan anti kekerasan, dimana kekerasan bukan dianggap sebagai cara untuk pencapaian tujuan. Namun persoalannya, gerakan HAM seringkali diprovokasi oleh mereka yang memiliki 22
Mansour Fakih, dkk. 2003. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Insist Press. Hal 112-114.
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan untuk melakukan defensi. Usaha untuk mempertahankan diri, bukanlah tindakan kekerasan 23. Secara kasar studi mengenai gerakan sosial dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama terdiri atas berbagai teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai masalah atau sebagai gejala penyakit kemasyarakatan. Herbele (1951), dalam bukunya Social Movements; An Introduction to Political Sociologi, mengkonsepkan bahwa gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk perilaku politik kolektif nonkelembagaan, yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang mapan. Sementara itu, Maslow (1962) mencoba menggabungkan analisis psikologis dan sktruktural. Ia melihat gerakan mahasiswa dan gerakan sosial lainnya sebagai wakil suatu generasi baru dengan kebutuhan yang lebih tinggi, yang tepatnya karena mereka muncul dalam kesenangan kelas menengah, berada dalam posisi mencari nilai-nilai pasca materi berkaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan diri sendiri, dan tujuan yang lebih altruistic yang berhubungan dengan kualitas hidup. Berbagai teori mengenai gerakan sosial tersebut sangat mengakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu ‘fungsionalisme struktural’. Karena penekanannya pada keperluan atau ‘kebutuhan sosial’ fungsional yang harus bertemu, jika sistem adalah untuk mempertahankan kelangsungan dan struktur yang saling berhubungan bertemu dengan kebutuhan-kebutuhan itu.
23
Ibid. Hal 115.
Universitas Sumatera Utara
Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan bekerjasama guna menciptakan keseimbangan. Dengan demikian, keseimbangan merupakan unsur kunci dalam fungsionalisme karena kebutuhan memperbaiki keseimbangan akan selalu ada reorganisasi. Itulah sebabnya penganut fungsionalisme condong melihat gerakan sosial sebagai alternative, yakni menimbulkan konflik yang akan mengganggu harmoni masyarakat. Meskipun fungsionalisme sebagai aliran pemikiran mengklaim dirinya sebagai teori perubahan, tetapi jika dilihat dari asumsi dasarnya maka sesungguhnya fungsionalisme bersandar kepada gagasan status quo. Fungsionalisme sebenarnya merupakan teori stabilitas sosial dan konsensus normatif. Doktrin ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat adalah bagian dari suatu sistem yang saling bergantung dan berkesuaian satu sama lain, atau sekurang-kurangnya dalam proses saling penyesuaian diri kembali yang berlangsung secara terus menerus. Dengan alasan ini fungsionalisme melihat konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari. Parsons, yang dikenal sebagai bapak fungsionalisme, dalam berbagai karya awalnya tentang perubahan sosial dengan jelas menekankan perlunya keseimbangan. Ia menyetujui perubahan didalam sistem dan bukan perubahan sistem sosial. Sesungguhnya, gagasan Parsons adalah tentang perubahan yang bersifat perlahan-lahan dan teratur yang senantiasa menyeimbangkan kembali, dan hal ini menghasilkan suatu keadaan semacam keseimbangan yang bergerak. Pada umumnya, Parsons mengartikan perubahan
Universitas Sumatera Utara
sosial dengan ‘penyimpangan’ dan ‘ketegangan’ yang harus dikendalikan demi alasan keseimbangan. Ia menggunakan istilah dengan konotasi negatif seperti ketidakseimbangan, mekanisme penguasaan, ketegangan dan kekacauan ketika membahas konflik dan perubahan 24. Pendekatan kedua adalah teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai fenomena positif, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, yang dikenal sebagai teori konflik . Teori konflik pada dasarnya menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar, dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya. Akhirnya, nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat. Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan kedua ini, yakni teori perubahan sosial yang nonreduksionis, khususnya teorinya mengenai hegemoni. Implikasi penggunaan teori hegemoni (hegemony theory) adalah bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolusioner. Gramsci membuka kemungkinan memasukkan kelompokkelompok baru yang menciptakan aliansi antar unsur kelas buruh. Ia juga membuat teorisasi tentang kemungkinan menciptakan aliansi antar unsur kelas buruh sandaran sebagai bagian proses revolusioner. Laclau dan Mouffe (1985)
24
Ibid. Hal 116-117.
Universitas Sumatera Utara
memperluas teori Gramsci dengan menganggap ‘gerakan sosial buruh’ sebagai model dalam pencarian alternatif atas kemacetan pendekatan Marxisme tradisional 25. Bagaimana mengembangkan gerakan HAM dibutuhkan aktor-aktor penggerakan dan pengorganisasian gerakan. Perlu diingat bahwa apa yang disebut sebagai ‘community organizer’ atau pengorganisasian gerakan bukanlah tindakan mobilisasi sosial. Perbedaan antara mobilisasi dan pengorganisasian adalah bahwa mobilisasi merupakan proses yang membutuhkan pemimpin yang inspirasional atau provokator untuk dapat menghimpun dan menggerakkan banyak orang untuk bergabung dalam gerakan atau terlibat dalam suatu aksi gerakan tertentu, sementara pengorganisasian gerakan adalah tindakan ‘organizing’ yang merupakan kegiatan yang lebih berjangka panjang dan merupakan proses yang berkelanjutan, dimana masa rakyat yang bergabung dengan gerakan memahami secara kritis dan mendalam visi dan tujuan dari gerakan dimana mereka terlibat, serta suatu pemahaman yang didasarkan pada analisis kritis secara kolektif tentang permasalahan HAM. Bergabung dalam gerakan merupakan usaha untuk memberdayakan mereka dan tetap melanjutkan gerakan untuk mencapai tujuan bersama tersebut 26. Terdapat dua strategi gerakan HAM yaitu: 1. Langkah langkah pengorganisasian gerakan HAM yaitu: Integrasi, penyidikan sosial, melakukan percobaan, landasan kerja, pertemuan teratur, bermain 25
Ibid. Hal 117-119. Ibid. Hal 135.
26
Universitas Sumatera Utara
peran, mobilisasi atau aksi, evaluasi, refleksi dan terbentuknya organisasi rakyat 27. 2. Proses Pengorganisasian Masyarakat yaitu: teknik dan strategi, mengorganisir pikiran,
membangun
kesepakatan
dan
tatanan,
terwujudnya
sistem
kelembagaan 28.
E.3. Teori Civil Society Wacana civil society harus diakui tidak hanya berkembang disebagian besar negara berkembang yang berbasis kekuasaan otoritarian saja, namun juga di negara-negara maju seperti di Barat yang mapan dari segi ekonomi dan politik. Kemungkinan yang membedakan tema pembicaraan di kedua wilayah ini adalah, apabila di Barat wacana akan lebih mengarah kepada penataan struktur masyarakatnya yang dihantui ketakutan penyimpangan dari rel etika demokrasi dan ancaman integrasi sosial. Sedangkan dinegara-negara berkembang gugatan akan lebih diarahkan pada eksistensi negara sebagai aktor yang berdiri amat kokoh dalam mempertahankan supremasi atas civil society. Gerakan penguatan civil society yang muncul di negara berkembang lebih dirasakan sebagai reaksi atas tuntutan pluralisasi kehidupan sosial politik, yaitu kondisi-kondisi yang
27
Diadaptasi dan dirangkum dari Building Peoples Organization, editor: Denis Murphy, Asian Community for People Organization. 28 Mansour Fakih, dkk. 2003. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Insist Press. Hal 136.
Universitas Sumatera Utara
ditandai perjuangan kekuatan-kekuatan civil society untuk memperoleh otonomi terhadap negara 29. Konsep civil society sebagai sebuah gagasan, muncul dari tradisi pemikiran barat yang bisa dilacak keberadaanya dari zaman Yunani kuno. Versi awal dari konsep ini bersumber dari gagasan
Aristoteles mengenai politike
koinonia yang menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis, dimana warga negara di dalam berkedudukan sama didepan hukum. Dalam bahasa Latin politike koinonia disebut juga societas civilis, yang berarti masyarakat politik atau komunitas politik. Istilah komunitas politik ini merujuk pada polis, dan dipahami sebagai tujuan (telos) atau kodrat manusia sebagai mahluk politik (political animal/zoon politicon) 30. Meski gagasan Aristotelian tentang zoon politicon secara esensial ditanggap elit, ide ini merupakan suatu bentuk awal dari masyarakat sipil karena ada ruang sisa untuk orang-orang yang tidak berperan sebagai zoon politicon. Dalam formula selanjutnya, konstruksi masyarakat sipil dipahami sebagai ruang untuk kewarganegaraan itu sendiri bukan lagi sisa masyarakat politik tetapi sentral aktivitas politik itu sendiri 31.
a. Gagasan Hegel tentang Civil Society Civil society menurut Hegel adalah konsep yang kompleks, yang terdiri dari keseluruhan cakupan proses. Semua proses tersebut terlokasikan secara 29
Eddi Wibowo, dkk. 2004. Kebijakan Publik Pro Civil Society. Yogyakarta: YPAPI. Hal 19. Adi Suryadi Culla. 2002. Masyarakat Madani, Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 47. 31 Nerra Chandoke. 2001. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Institut Tafsir Wacana. Hal 116. 30
Universitas Sumatera Utara
historis, sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat borjuis. Oleh karena itu, civil society adalah suatu paket hubungan sosial yang terpenetrasi oleh logika ekonomi kapitalis 32. Bagi Hegel, civil society tidak dapat diberikan sebagaimana adanya, harus diorganisasi atau dengan kata lain memerlukan kontrol. Civil society memerlukan pembatasan dan penyatuan dengan negara melalui kontrol hukum, administratif, dan politik. Jika dirunut lebih jauh, pendapat Hegel ini merupakan reaksi terhadap gerakan politik pada zamannya yang ingin menempatkan civil society sebagai antithesis dari negara, dan karena itu civil society oleh Hegel ditempatkan sebagai elemen politik dibawah supremasi negara. Pandangan Hegel ini juga menyamakan civil society dengan kelas borjuasi atau buegerliche gesellschaft. 33
b. Gagasan Marx tentang Civil Society Dalam uraiannya, Marx memulai dengan premis Hegelian tetapi menghancurkan
logika
analisa
dan
menghancurkan
kesimpulan
yang
mengikutinya. Marx memperbaiki keutamaan civil society dan menghasilkan subordinasi negara terhadap lingkungan. Civil society dalam formulasi Marx menjadi tahap dimana terjadi dialetika antara sosial dan politik, antara dominasi dan resistensi, antara opresi dan emansipasi. Menurut Marx, karena civil society adalah teater sejarah, civil society harus mencari cara penyelamatan, aktor yang
32 33
Ibid. Hal 188. Eddi Wibowo, dkk. 2004. Kebijakan Publik Pro Civil Society. Yogyakarta: YPAPI. Hal 22.
Universitas Sumatera Utara
ditempatkan di dalam civil society itu sendiri dan yang merubah masyarakat sipil. Masyarakat sipil tidak dapat diselamatkan oleh sistem yang dipaksakan 34. Marx berhasil membangun dua fakta dalam formulasi ini. Pertama, bahwa wilayah sipil tidak ditransformasi oleh revolusi borjuis. Bahkan kekuasaan yang tidak terbatas yang dimiliki oleh kaum borjuis telah meningkatkan opresif dalam lingkungan masyarakat sipil. Kedua, klaim negara atas universalitas adalah palsu. Semua yang terjadi adalah bahwa beberapa kekuasaan yang sebelumnya dilaksanakan oleh kekuasaan politik telah diprivatisasi, yaitu kekuasaan tersebut telah dilimpahkan kepada kelas yang memiliki properti. Logika yang sama yaitu logika eksploitasi kapitalisme terus mengatur kedua wilayah tersebut 35. Sebagaimana Hegel, Marx menganggap negara sebagai entitas yang terpisah dan berhadapan dengan civil society, tetapi titik tolak gagasan Marx tidak terletak pada paradigma idealistik seperti yang diasumsikan Hegel. Marx berpendapat bahwa posisi civil society terletak pada basis materill atau ekonomi, atau apa yang disebut dengan the realm of the needs and necessity dari hubungan produksi kapitalisme. Dan oleh karena itu, mengikuti Hegel maka civil society disamakan dengan burgerliche geselschaft 36.
c. Gagasan Antonio Gramsci mengenai Civil Society
34
Ibid. Hal 23. Nerra Chandoke. 2001. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Institut Tafsir Wacana. Hal 206-208. 36 Eddi Wibowo, dkk. 2004. Kebijakan Publik Pro Civil Society. Yogyakarta: YPAPI. Hal 24. 35
Universitas Sumatera Utara
Antonio Gramsci seorang pemikir dari Italia, memberikan konstribusi kepada teori politik sebuah gagasan berharga mengenai masyarakat sipil dan masyarakat politik, hegemoni dan peran intelektual. Hasilnya adalah ekspansi lapis tiga dalam teori politik Gramsci, yaitu sebuah ekspansi dalam teori negara, mengalir dari ekspansi ide tentang kekuasaan dan dominasi dan ekspansi konsep revolusi. Melalui konseptualisasi-konseptualisasi tersebut, muncul konsep tentang civil society. Dan ketiga ekspansi tersebut mulai dan berakhir pada penolakan yang berkaitan dengan strategi revolusioner. Dalam pandangan Gramsci, perbedaan antara civil society dan masyarakat politik juga merupakan perbedaan antara tempat dan bentuk kekuasaan. Masyarakat politik adalah wilayah dimana aparat koersif negara berkonsentrasi, seperti dipenjara, sistem peradilan, angkatan bersenjata, dan polisi. Civil society adalah wilayah dimana negara mengoperasikan bentuk-bentuk kekuasaan secara tidak nampak dan halus melalui sistem religi, pendidikan, budaya, serta institusi lain. Masyarakat politik mendisiplinkan fisik melalui peraturan-peraturan hukum dan penjara, sedangkan masyarakat sipil mendisiplinkan pikiran dan jiwa melalui institusi-institusi tersebut 37. Gramsci
menawarkan
sebuah
model
untuk
memahami
dan
mengelompokan negara melalui civil society. Menurut Gramsci semua negara merupakan struktur kekuasaan koersif, namun negara tanpa masyarakat sipil merupakan negara yang lemah. Properti dari negara borjuis adalah bahwa mereka
37
Ibid. Hal 24-25.
Universitas Sumatera Utara
tidak transparan karena memiliki civil society. Dan dinegara-negara itu, civil society bertindak sebagai filter yang protektif. Di Barat ada hubungan yang layak antara negara dan civil society ketika negara goyang, maka struktur kokoh civil society langsung menjadi terbuka. Negara hanya merupakan parit luar belakang berdirinya benteng dan sistem kerja dunia 38. Berbeda dengan Marx yang menempatkan secara rigid posisi civil society pada basis materiil, Gramsci justru melihat civil society sebagai proses suprastruktur dimana proses perebutan kekuasan terjadi. Gramsci menempatkan civil society dalam posisi bersama negara sebagai bagian dari suprastruktur, sedangkan infrastrukturnya adalah cara produksi ekonomi atau sistem ekonomi masyarakat. Bertolak dari konsep ini, civil society berdasarkan gagasan Gramsci dilihat memiliki sifat kemandirian dan politik 39.
d. Manifestasi Civil Society Tumbuhnya perkumpulan bebas dan asosiasi sebagai manifestasi otonomi akan tumbuh dengan pengertian civil society dalam realitas keseharian yang didefenisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganiasasi dan bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating) dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian yang tinggi terhadap negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yng diikuti oleh warganya. Manifestasi civil society dalam kehidupan adalah jaringan-jaringan, 38 Nerra Chandoke. 2001. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Institut Tafsir Wacana. Hal 225-227. 39 Eddi Wibowo, dkk. 2004. Kebijakan Publik Pro Civil Society. Yogyakarta: YPAPI. Hal 27.
Universitas Sumatera Utara
pengelompokan-pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga (household), organisasi-organisasi sukarela termasuk parpol, dan berbagai organisasi atau asosiasi sosial termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban, dan juga kelompokkelompok kepentingan (interest group) yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara (Hikam, 1997). Keterlibatan civil society dalam proses demokratisasi dan sebagai sebuah gagasan adalah lebih realistis untuk membangun masyarakat yang berdasar nilai demokrasi, dibandingkan dengan hanya menbangun demokrasi dalam konteks perangkat institusionalnya berdasar konsep yang ideal dan universal, untuk tidak menjadi sesuatu yang abstrak karena bukan hanya bersifat kosmetik. Ditambahkan oleh Gellner, civil society bukan hanya syarat penting atau prakondisi bagi demokrasi semata. Akan tetapi civil society juga merupakan syarat untuk dirinya sendiri, dengan kata lain apa yang disebut kebebasan dan kemandirian itu inheren sebagai kondisi civil society itu sendiri. Artinya, baik secara internal (sehubungan interaksi keanggotaan yang dikembangkan dalam lingkungan internal kelompok) maupun secara eksternal (dalam hubungannya dengan kehidupan politik terutama negara), kehadiran civil society merupakan cermin adanya kondisi demokrasi dan demokratisasi 40. Secara garis besar, pemaknaan civil society akan bermuara pada tiga aspek yaitu, aspek horizontal, aspek vertikal, dan gabungan dari kedua tersebut. Aspek
40
Ibid. Hal 17-19.
Universitas Sumatera Utara
‘horizontal” dari civil society lebih menekankan pemahamam pada aspek budaya. Civil society disini erat hubungannya dengan civility atau keberadaban dan fraternity. Para pemikir yang concern pada aspek ini, memberikan istilah civil society sebagai masyarakat madani atau madinah dan mencoba melihat relevansi konsep tersebut dan menekankan toleransi antar agama. Aspek kedua yaitu aspek ‘vertikal’, menekankan otonomi masyarakat terhadap negara dan erat kaitannya dengan aspek politik. Istilah civil disini akan lebih dekat kepada citizen dan liberty. Pembahasan pada kelompok aliran ini, intinya menekankan asosiasi yang terletak diantara individu (keluarga) dengan negara yang posisinya relatif otonom dan mandiri. Sedangkan aspek ketiga civil society, menawarkan pembahasan dan analisis yang lebih luas dengan menggabungkan kedua aspek baik ‘horizontal’ maupun ‘vertikal’. Indikator-indikator yang bisa diidentifikasikan dari ketiga aspek tersebut yang bisa dikemukakan adalah 41: a. Tingkat trust diantara civil society Trust diantara kelompok-kelompok sosial yang ada merefleksikan adanya aspek ‘horizontal’ dari sebuah civil society, yaitu aspek toleransi. b. Jumlah Civil society organization yang ada Pengukuran mengenai jumlah organisasi-organisasi civil society yang ada merefleksikan aspek vertikal dari pemaknaan civil society.
41
Ibid. Hal 33-35.
Universitas Sumatera Utara
c. Indikator yang selanjutnya memberikan penjelasan civil society dari aspek ketiga yaitu gabungan dari aspek horizontal dan vertikal dari pembahasan civil society. Mengikuti Helmut Anheier dari Center for Civil Society, London School of Economics yang merumuskan Index of civil society, yang mengakomodir baik aspek ‘horizontal’ dan ‘vertikal’ dari civil society, akan terdapat empat dimensi dari aspek ketiga ini, yaitu: Struktur (structure), Ruang (space), Nilai (values), Dampak (impact). Faktor-faktor
yang
Berpotensi
Menghambat
atau
Mendorong
Perkembangan Civil Society 42: 1. Budaya Politik 2. Tingkat Kesatuan dalam civil society yaitu Kesamaan Visi dan Misi dari komponen-komponen civil society, Jaringan kerja civil society, Partisipasi. 3. Dukungan Dana dari Luar Negeri.
F. Metodologi Penelitian F.1. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara yang ditempuh oleh peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah 43. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif sebagai penelitian yang menuturkan
42
Ibid. Hal 36-41. Dr. Saifuddin.2010.Metode Penelitian.Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hal 1.
43
Universitas Sumatera Utara
pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data, menganalisis, menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif 44.
F.2. Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian ini akan dilakukan di IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) Sumatera Utara Jalan Bridgen Katamso, GG Merdeka No 20A, Medan Maimon, Sumatera Utara.
F.3. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Dengan metode kualitatif, selain untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu hal yang baru dan sedikit diketahui, metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang suatu fenomena yang sulit diungkap oleh peneliti kuantitatif 45. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key informan). Key informan yang dipilih yaitu pengurus di dalam organisasi IKOHI, dan Korban dari Pelanggaran HAM Berat pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara adapun informan dalam penelitian ini ada tiga, yang pertama adalah Suwardi sebagai Ketua IKOHI, yang kedua adalah Astaman Hasibuan merupakan korban dari pelanggaran HAM Tahun 1965-1966 dan sekarang menjabat sebagai Sekretaris IKOHI, yang ketiga dalah Tengku Chairuman yang merupakan korban dari pelanggaran HAM 1965-1966 dan juga 44
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 44. Ansen Strauss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 5.
45
Universitas Sumatera Utara
sebagai Presidium IKOHI dengan daftar pertanyaan yang telah disusun. Peneliti akan melaksanakan wawancara secara langsung dan bertemu dengan informan yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihakpihak yang diwawancarai dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh. Penelitian kualitatif ini umumnya digunakan pada penelitian sosial 46.
F.4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan. Dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indepth-interview) yang dipandu dengan pedoman wawancara. Wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin. Dimana model wawancara bebas terpimpin yaitu diartikan sebagai wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (daftar pertanyaan) namun berupa kalimat-kalimat yang tidak permanen atau mengikat 47. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau pihak-pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.
46
Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian (Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal 113. 47 Iin Tri Rahayu dan Tristiadi Hardi. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayu Media Publishing. Hal 79.
Universitas Sumatera Utara
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun yang telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian.
F.5. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data kualitatif. Analisa data kualitatif memberikan hasil penelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan juga menganalis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut 48. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data-data primer dan data-data sekunder. Metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa hasil wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil wawancara akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing informan. Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian dilanjutkan dengan menganalis data secara deskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh kejelasan atas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.
48
Burhan Bungin. 2009. Penelitiian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana. Hal 153
Universitas Sumatera Utara
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapat gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini ke dalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Dalam BAB I ini berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II
PROFIL ORGANISASI IKATAN KELUARGA ORANG HILANG INDONESIA (IKOHI) SUMATERA UTARA Dalam BAB II ini akan mendeskripsikan Profil organisasi Ikatan Keluarga
Orang
Hilang
Indonesia
(IKOHI)
dari
sejarah
terbentuknya sampai kepada struktur organisasi dan juga peraturan organisasi (ADRT. Dimana penelitian ini berada di Kantor Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Sumatera Utara Jalan Bridgen Katamso, GG Merdeka No 20A, Medan Maimon Sumatera Utara. BAB III
ANALISIS
HASIL
DARI
DILAKUKAN
OLEH
IKATAN
HILANG
INDONESIA
PERGERAKAN
YANG
KELUARGA
ORANG
(IKOHI)
DALAM
Universitas Sumatera Utara
MEMPERJUANGKAN MANUSIA
BERAT
PENEGAKAN PADA
TAHUN
HAK
ASASI
1965-1966
DI
SUMATERA UTARA Pada BAB III ini akan lebih mendalam menganalisis pergerakan yang dilakukan oleh Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dalam memeperjuangkan Penegakan Hak Asasi Manusia Berat pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara. Dengan mengunakan teori-teori serta konsep-konsep yang sudah terdapat di kerangka teori, sekaligus dipaparkan hasil analisis data yang telah diperoleh dari lapangan untuk menjawab permasalahan penelitian. BAB IV
PENUTUP Pada BAB IV ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis pada pembahasan bab-bab sebelumnya serta berisi implikasi teoritis peneliti setelah melakukan penelitian dilapangan.
Universitas Sumatera Utara