BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) yang diikuti Indonesia pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida Meksiko bersama 137 negara lainnya menjadi bukti awal komitmen Indonesia untuk memperbaiki diri melalui pemberantasan korupsi. Dengan ikutsertanya Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 21 maret 2006 yang kemudian diikuti dengan disyahkannya UU no. 7 tahun 2006, menunjukkan kesungguhan Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan konvensi ini. Adanya dukungan internasional yang kuat melalui konvensi ini diharapkan oleh pemerintah Indonesia dapat mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah berubah 5 kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak memadai karena belum secara khusus membahas tentang kerjasama internasional dalam hal pengembalian aset1. Disyahkannya UNCAC juga tidak begitu saja sanggup mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan banyak usaha dan kesungguhan tidak hanya dari institusi penegak hukum namun juga dari seluruh elemen masyarakat, karena pelaksanaan UNCAC tidak hanya tanggung jawab pemerintah namun juga menuntut peran aktif dari sektor swasta dan masyarakat madani (civil society). Pemberantasan korupsi sebenarnya telah menjadi perhatian Indonesia terutama setelah berakhirnya era orde baru yang jatuh karena ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah yang korup. Telah banyak terobosan yang dilakukan terutama dengan disyahkannya UU no.31 tahun 1999 jo UU no. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU no. 30 tahun 2002 tentang pembentukan KPK (Korupsi Pemberantasan Korupsi) sebagai “state auxiliary body” yang khusus menangani korupsi. Dibentuknya KPK sebagai jalan keluar untuk mempercepat pemberantasan korupsi yang dianggap masih berjalan tersendat selama ini. Sebagai institusi yang mempunyai peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi ini, maka KPK mempunyai kewajiban untuk memastikan terimplementasinya UNCAC tersebut. Langkah awal untuk implementasi UNCAC adalah menyelaraskan undang-undang tindak pidana korupsi dan peraturan perundang-undangan yang lain dengan sejumlah ketentuan yang tercantum dalam UNCAC. Untuk itu KPK berinisiatif untuk melakukan gap analysis UNCAC dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Harapannya, dengan adanya gap analysis ini akan memudahkan proses harmonisasi sejumlah peraturan perundangan terhadap ketentuan konvensi. Tentunya implementasi UNCAC tidak harus menunggu hingga seluruh peraturan perundangan terharmonisasi dengan UNCAC, karena sebenarnya telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengarah pada pemberantasan dan pencegahan korupsi secara masif seperti halnya yang diperintahkan oleh konvensi. Untuk itu studi ini berusaha mengidentifikasi kegiatan dan peraturan yang telah dikerjakan Indonesia yang sejalan dengan amanat UNCAC. Meskipun hasil dari berbagai program/kegiatan tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal, yang dibuktikan dengan masih terpuruknya Indonesia akibat Korupsi, namun setidaknya hasil studi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi proses harmonisasi perundangan yang sedang berlangsung. Program atau kegiatan yang berhubungan dengan ranah pemberantasan korupsi tidak hanya berpusat pada kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan penindakan (penyidikan dan penuntutan) namun termasuk kegiatan yang berhubungan dengan ranah pencegahan korupsi. Luasnya pemberantasan korupsi yang diharapkan oleh UNCAC ini mengandung arti pentingnya peran serta semua pihak, terutama pemerintah 1 Penjelasan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption
untuk mensukseskan pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah menjadi penting mengingat pemerintah adalah subyek dan obyek dalam UNCAC ini. Terkait dengan UNCAC, komitmen pemerintah seharusnya dititikberatkan pada usaha pengembalian aset dan bantuan timbal balik. Karena konvensi ini mengikat banyak negara untuk secara aktif membuka peluang dalam pengembalian hasil kejahatan korupsi yang tentunya akan banyak menguntungkan bagi Indonesia. Studi ini juga menitikberatkan hasil yang sudah dicapai dan rencana Indonesia terhadap 8 pasal yang menjadi prioritas dan focus percontohan dari UNCAC. Ke-8 pasal tersebut antara lain pasal 5 (kebijakan dan praktek pencegahan anti korupsi), pasal 15 (penyuapan pejabat publik nasional), pasal 16 (penyuapan pejabat publik asing dan pejabat dari organisasi Internasional), pasal 17 (Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik), pasal 25 (Perbuatan menghalang-halangi proses peradilan), pasal 46 (Bantuan timbal balik dalam masalah pidana), pasal 52 ( Pencegahan dan Pelacakan pengalihan aset perolehan hasil kejahatan), dan pasal 53 (Tindakan-tindakan untuk pengembalian Aset secara langsung) Proses pengumpulan data/informasi mengenai kemajuan pelaksanaan UNCAC menjadi salah satu elemen penting dari konvensi UNCAC, untuk itu studi ini diharapkan dapat melengkapi gambaran mengenai proses implementasi UNCAC di Indonesia. 1.2. Tujuan Studi 1. Memantau kesungguhan Indonesia dalam melaksanakan pasal-pasal UNCAC yang sudah terdapat pada peraturan perundangan di Indonesia 2. Memantau harmonisasi peraturan perundangan Indonesia terhadap pasal-pasal UNCAC 1.3. Manfaat Studi 1. Sebagai bahan pelengkap laporan tahunan pelaksanaan UNCAC di Indonesia 2. Sebagai bahan bagi kelanjutan proses harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan UNCAC 1.4. Metodologi
Studi ini merupakan studi literatur yang dilengkapi dengan pendapat para ahli dan stakeholder yang relevan. Hasil studi dilaporkan secara deskriptif dengan menitikberatkan pada kajian terhadap data-data yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Sumber data/informasi yang digunakan dalam studi ini berasal dari publikasi, pelaporan dan catatan yang diperoleh dari berbagai media termasuk institusi terkait. Penulisan dalam tiap babnya tidak dilakukan dalam bentuk matriks, hal ini untuk memberikan informasi yang lebih lebih kaya baik dalam bentuk diagram/gambar atau tabel yang relevan.
Perencanaan studi
Penetapan rencana kerja Penentuan metode pengumpulan data, dan persiapan FGD Mengkomunikasikan kegiatan Studi dengan pihak terkait (internal dan eksternal) Menyiapkan kelengkapan administrasi untuk kebutuhan Studi
Pelaksanaan studi
Melakukan studi literatur: Pelaksanaan Focus Group Discussion Wawancara mendalam dengan para pakar stakeholder yang relevan
Analisa dan penulisan laporan Memproses dan menganalisa data Menyiapkan laporan dan presentasi
Bab II Komitmen Implementasi UNCAC di Indonesia 2.1. UNCAC : Deskripsi dan Perkembangannya Dalam globalisasi ekonomi saat ini, korupsi telah menjadi masalah internasional yang membutuhkan kerjasama dan komitmen dari seluruh negara untuk mengatasinya. Kerjasama, keterbukaan dan komitmen baik dari negara berkembang maupun negara maju dibutuhkan untuk memutuskan rantai korupsi ini. Karenanya dibutuhkan suatu konvensi yang bisa diterima dan dipatuhi oleh seluruh negara tanpa terkecuali. Dalam Resolusi 55/61 pada tanggal 4 desember 2000, sidang umum PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) menegaskan bahwa dibutuhkan sebuah perangkat hukum yang efektif untuk memerangi korupsi. Melalui resolusi 55/61 dibentuk sebuah panitia ad-hoc untuk mengembangkan dan mengkaji draft UNCAC. Melalui 7 kegiatan yang terselenggara selama kurun waktu 21 januari 2002 hingga 1 Oktober 2003 draft konvensi ini berhasil diselesaikan oleh panitia adhoc untuk diserahkan dalam sidang umum PBB. Berdasarkan resolusi 58/4 pada tanggal 31 oktober 2003 konvensi ini diadopsi oleh PBB untuk ditawarkan agar ditandatangani dalam konferensi di Merida Meksiko pada tanggal 9 – 11 desember 2003, maupun setelahnya hingga 9 desember 2005 di markas besar PBB di New York. Pada tanggal 9-11 desember tercatat 99 negara menandatangani konvensi ini di Merida, Mexico. Hingga juni 2007, tercatat 140 negara yang telah menandatangani konvensi ini dan 93 negara telah meratifikasinya (Untuk data negara yang menandatangani dan yang meratifikasi dapat dilihat dalam lampiran 1) Di dalam 8 bab dan 71 pasal yang terdapat dalam UNCAC, mewajibkan negara peserta untuk menerapkan aksi/program anti korupsi secara luas dan detil yang bahkan dapat menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dalam peraturan perundangan tiap negara yang mengadopsinya. Program anti korupsi yang ada dalam pasal-pasal UNCAC ditujukan untuk mendukung dan memastikan terselenggaranya praktek-praktek pencegahan secara masif, mengatur proses deteksi dan sanksi dari tindak pidana korupsi termasuk mengatur hubungan dan kerjasama antar negara peserta dalam pemberantasan korupsi. Untuk memonitor agar konvensi ini benar-benar dijalankan oleh negara peserta konvensi, maka pasal 63 dari UNCAC mengatur mekanisme pelaksanaannya melalui penyelenggaraan konferensi negara-negara peserta. Tujuan diadakannya konferensi secara berkala antara lain untuk (i) Menyepakati berbagai aktifitas, prosedur dan metode kerja demi tercapainya tujuan konvensi, (ii) Memfasilitasi pertukaran informasi pelaksanaan UNCAC antar negara (iii) Mengkaji ulang secara periodik pelaksanaan konvensi untuk negara peserta, termasuk hambatan yang dialami oleh tiap negara (iv) Bekerjasama dengan masyarakat madani melalui organisasi internasional atau regional termasuk lembaga swadaya masyarakat untuk memonitoring pelaksanaan konvensi. Konferensi pertama negara peserta UNCAC telah dilaksanakan di Jordan, pada 10-14 Desember 2006. Terdapat beberapa hal yang diputuskan dalam konvensi tersebut, diantaranya menentukan tempat dan waku pelaksanaan konferesi kedua yakni di Bali pada tanggal 28 januari- 1 februari 2008. Ditetapkannya Indonesia sebagai tuan rumah dalam penyelenggaraan konferensi sekali lagi menunjukkan kesungguhan pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi aktif mensukseskan pelaksanaan konvensi ini. 2.2. Konferensi I Negara-Negara Peserta Konvensi UNCAC Konferensi I di Jordan pada tanggal 10 hingga 14 Desember 2006 dihadiri oleh 54 negara peserta, 33 negara penandatanganan sekaligus observer dan 3 negara observer. Berbagai organsasi Internasional maupun regional dan lembaga swadaya masyarakat juga turut berpartispasi dalam konferensi di Jordan ini. Selain konferensi pokok, diselenggarakan pula 3 forum lain (side event forum) sebagai pendamping yakni; Forum masyarakat sipil dan sektor swasta; Forum Lembaga anti korupsi, dan forum untuk parlemen. Side events forum ini disiapkan sebagai platform bagi berbagai stakeholder untuk mengeekspresikan harapan mereka terhadap implementasi UNCAC di tiap negara peserta, serta memperjelas peran para masyarakat sipil dalam memonitor dan
berperan serta dalam pelaksanaan UNCAC ini. Terdapat beberapa resolusi dan keputusan yang disepakati dari pelaksanaan konferensi I di Jordan ini, yakni mengenai : 1. Review dari Implementasi UNCAC ✔ Konferensi menyetujui dibentuknya sebuah badan/lembaga untuk membantu terimplementasinya UNCAC secara efektif di negara peserta ✔ Konferensi menyadari bahwa implementasi dari UNCAC merupakan suatu proses yang berjenjang dan terus berjalan ✔ Meminta UNODC untuk membantu negara peserta yang membutuhkan bantuan dalam mengumpulkan informasi dan melakukan analisa untuk pembuatan pelaporan yang harus dilakukan negara tersebut terhadap hasil implementasi UNCAC di negaranya. Hasil pelaporan tersebut nantinya akan dijadikan sebagai bahan laporan dalam konferensi ke -dua di Bali ✔ Menegaskan bahwa mekanisme review harus: (a) Transparan, efisien, inklusif dan tidak memihak; (b) Tidak menghasilkan rangking; (c) Membuka peluang bagi negara peserta untuk berbagi pengalaman dan kesempatan; (d) Melengkapi mekanisme review yang telah ada dan bekerja sama dengan institusi internasional/regional yang telah melakukan review serta , menghindari terjadinya duplikasi dalam kegiatan review tersebut. 2. Mekanisme pengumpulan data, dimana Konferensi : ✔ Memutuskan bahwa penilaian sendiri (self assessment checklist) digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi tersedianya data/informasi mengenai implementasi UNCAC yang akan dilaporkan dalam konferensi ke 2 di Bali ✔ Mendorong negara peserta untuk segera menyelesaikan dan mengembalikan hasil check list yang telah diisi ke sekertariat UNCAC ✔ Meminta kepada sekertariat untuk mengumpulkan dan menganalisa informasi dan data yang dikumpulkan oleh negara-negara peserta dan mempublikasikan hasil analisa tersebut dalam konferensi ke 2 di Bali 3. Himbauan untuk mengadopsi UNCAC dan untuk mengharmonisasikan UNCAC ke dalam peraturan atau perundang-undangan negara peserta, dimana konferensi ini juga; ✔ Menghimbau negara peserta untuk mengadopsi pasal-pasal kriminalisasi dalam UNCAC ke dalam peraturan perundang-undangan negara peserta. Pasal-pasal yang dimaksud adalah pasal 15 (penyuapan pejabat,pejabat publik nasional), 16 (Penyuapan pejabatpejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi Internasional publik), 17(Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik), 23 (Pencucian hasil kejahatan) dan 25 (Perbuatan menghalang-halangi proses peradilan) ✔ Meminta negara peserta untuk menjelaskan dalam konferensi ke dua di Bali mengenai kemajuan pelaksanaan UNCAC mengacu pada pasal 63 paragraf 5 dan 6 4. Membentuk Kelompok Kerja antar Negara untuk Pengembalian Aset ✔ Menekankan pentingnya negara peserta konvensi untuk bekerja sama dan bertukar informasi mengenai hasil-hasil yang telah mereka capai di tingkat nasional terutama yang berkaitan dengan aliran keuangan hasil korupsi, penelusuran aset hasil korupsi dan pengembalian sejumlah aset tersebut ✔ Memutuskan untuk membentuk kelompok kerja terbuka antar negara sehubungan dengan pasal 63 paragraf 4 untuk membantu dan memberikan saran terhadap implementasi UNCAC terutama saran dalam mekanisme pengembalian aset hasil korupsi ✔ Memutuskan bahwa kelompok kerja mempunyai fungsi sbb : (a) Membantu konferensi dalam meningkatkan pengetahuan mengenai pengembalian aset terutama implementasi dari pasal 52-58 dari UNCAC (b) Membantu konferensi dalam meningkatkan kerjasama dan inisiatif bilateral dan multilateral antar (c )negara peserta untuk berkontribusi dalam mengimplementasikan UNCAC Memfasilitasi pertukaran informasi antar negara peserta dengan mengidentifikasi dan menyebarkan good practices (praktek-praktek yang berjalan baik) dari negara-negara tersebut agar dapat diikuti untuk memperkuat kerangka kerja di tingkat nasional dalam
bantuan timbal balik di bidang kriminalisasi, pencegahan dan pemberantasan korupsi serta pengembalian aset hasil korupsi (d) Membangun kepercayaan dan meningkatkan kerjasama antara negara peminta dan pemberi bantuan dan seluruh intitusi dan stakeholder anti korupsi yang kompeten di negara peserta untuk berperang melawan korupsi dan berjuang mengembalikan aset hasil korupsi (e) Memfasilitasi pertukaran ide antara negara peserta untuk mempercepat pengembalian aset, termasuk ide mengenai rencana menyediakan bantuan teknis dan legal untuk menindak lanjuti prosedur hukum internasional dalam pengembalian aset (f) Membantu konferensi untuk mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kapasitas dan kebutuhan jangka panjang negara peserta dalam mencegah, mendeteksi terjadinya transfer hasil korupsi ataupun uang/keuntungan yang diperoleh sebagai turunan dari hasil korupsi tersebut ✔ Memutuskan bahwa kelompok kerja harus mengumpulkan laporan semua kegiatan dari tugasnya tersebut ke konferensi 5. Bantuan Teknis ✔ Membentuk kelompok kerja untuk memberikan saran dan pertimbangan untuk kepentingan bantuan teknis ✔ Fungsi dari kelompok kerja bimbingan teknis ini antara lain adalah : a. Mereview bantuan teknis yang dibutuhkan untuk membantu negara peserta konferensi berdasarkan laporan yang dibuat oleh negara peserta b. Menyediakan pedoman prioritas berdasarkan program-program yang disetujui oleh konferensi c. Mempertimbangkan informasi yang dikumpulkan melalui self assessment checklist yang telah disetujui dalam konferensi d. Melakukan koordinasi agar tidak terjadi duplikasi dalam pemberian bantuan teknis ✔ Sekertariat diminta untuk membantu tercapainya kinerja dan fungsi dari kelompok kerja ini 6. Menyelenggarakan workshop Kerjasama Internasional untuk Bantuan Teknis bagi Implementasi UNCAC ✔ Merekomendasikan diselenggarakannya workhop yang dihadiri para ahli/praktisi yang relevan baik dari lembaga donor maupun negara peserta. Workshop diselenggarakan 6 bulan setelah pelaksanaan konferensi pertama. Tujuan utama dari Workshop ini adalah memberikan pengertian timbal balik bagi para ahli dan menjadi wadah berdiskusi terkait best practices dan koordinasi antar negara peserta ✔ Sekertariat diminta untuk berkolaborasi dengan peserta yang tertarik dan bersedia menyediakan anggaran dan sumber daya untuk memfasilitasi pengorganisasian workshop ini 7. Memperhatikan terjadinya penyuapan terhadap pejabat-pejabat dari organisasi publik internasional ✔ Meminta UNODC untuk mengundang organisasi internasional publik untuk berpartisipasi dalam dialog terbuka mengenai keistimewaan dan imunitas dari organisasi internasional publik tersebut dalam konferensi UNCAC yang kedua ✔ Memerintahkan UNODC untuk mendorong organisasi internasional untuk mengikuti prinsip-prinsip dalam UNCAC 8. Best Practices dalam pemberantasan korupsi ✔ Dalam konferensi UNCAC yang kedua, best practices mengenai beberapa program pemberantasan korupsi dipresentasikan dan didiskusikan ✔ Memutuskan untuk mengundang negara peserta untuk membuat proposal sehubungan dengan best practices dari pasal-pasal UNCAC yang menjadi prioritas ✔ Mengundang lembaga swadaya masyarakat dengan status sebagai observer untuk memberikan saran terhadap best practices yang ada Seperti yang disebutkan dalam resolusi dari konferensi pertama tersebut, dibentuklah tiga kelompok kerja yang bertanggung jawab memaksimalkan tercapainya tujuan konvensi. Pembentukan kelompok kerja ini disesuaikan dengan dengan menimbang kondisi, tantangan dan hambatan dalam implementasi UNCAC. Kelompok kerja tersebut adalah kelompok kerja implementation review yang bertugas melakukan review terhadap implementasi UNCAC, kelompok kerja technical assistance yang bertanggung jawab memberikan bantuan teknis
terhadap negara peserta yang membutuhkannya dan kelompok kerja pengembalian asset yang memfokuskan pada dikembalikannya hasil korupsi ke negara asalnya. Tiap kelompok kerja tersebut mempunyai agenda masing-masing yang hasilnya disosialisasikan dan dipertanggung jawabkan dalam konferensi ke dua di Bali. Dalam pertemuan kelompok kerja Sebagai tuan rumah konferensi kedua, tentunya Indonesia berkomitmen untuk mensukseskan penyelenggaraan konferensi ke dua di Bali pada tahun 2008. Sebagai perhelatan negara, instansi yang menjadi penyelenggara utama dan panitia inti adalah Departemen Luar Negeri yang dibantu oleh istansi terkait lainnya. Jika dalam konferensi yang pertama di Jordan, salah satu bentuk persiapan yang dilakukan Indonesia adalah mempersiapkan gap analysis UNCAC dengan peraturan dan perundangan, maka saat ini Indonesia menyiapkan Bali arrangement yang akan dipresentasikan dalam konferensi kedua di Bali nanti. Bali arrangement adalah .................................................... 2. Komitmen Indonesia dalam Implementasi UNCAC Sebagai negara peserta ratifikasi UNCAC sekaligus tuan rumah rumah konferensi ke dua negara peserta UNCAC, Indonesia secara serius mempersiapkan diri dan secara konsisten berusaha mengimplementasikan tujuan UNCAC ini. Indonesia termasuk negara yang cukup yakin dalam implementasi UNCAC, dibandingkan dengan beberapa negara lain yang mengajukan beberapa eksepsi terhadap implementasi UNCAC. Tidak lama setelah menandatangani UNCAC, presiden Susilo Bambang Yudoyono, mengeluarkan Instruksi Presiden mengenai percepatan pemberantasan Korupsi yang merupakan salah satu program utama dalam pemerintahannya. Instruksi presiden ini merupakan hal yang mendukung dan sinergi dalam upaya pengimplementasian UNCAC. Dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi, muncullah beberapa bentuk kegiatan/program yang diprakarsai oleh institusi-institusi terkait. Turunnya Instruksi Presiden dalam waktu yang bersamaan dengan ditanda tanganinya konferensi UNCAC itu berimplikasi pada kegiatan yang dilaksanakan diarahkan sekaligus untuk mencapai tujuan UNCAC. Dalam instruksi presiden tersebut, Bappenas sebagai badan yang ditunjuk oleh presiden diinstruksikan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK). Dalam penyusunannya RAN PK ini juga diarahkan sekaligus untuk mencapai tujuan UNCAC. RAN PK disusun dalam bentuk matriks yang mencakup dua area kerja pemberantasaan korupsi yakni matriks bidang pencegahan dan matriks bidang penindakan. Disusun dalam bentuk matriks untuk memudahkan dalam implementasi maupun monitoringnya karena telah ditetapkan, target, keluaran, waktu pelaksanaan, pelaksana dan pembiayaannya. Matriks bidang pencegahan terdiri dari berbagai rencana kegiatan seputar penyempurnaan sistem layanan publik, sistem manajemen keuangan negara, sistem pembinaan aparatur negara dan seputar peningkatan kinerja lembaga pemerintahan dan lembaga layanan publik. Matriks bidang penindakan terdiri dari percepatan penanganan dan eksekusi tindak pidana korupsi, dukungan terhadap lembaga penegak hukum, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, dan pengembangan sistem pengawasan lembaga penegakan hukum. Jika isi dari matriks RAN PK tersebut dilaksanakan dengan baik dan konsiten, sebenarnya juga merupakan salah satu perwujudan tujuan dari UNCAC dalam hal pencegahan dan kriminalisasi. Untuk mensinergikan kegiatan pelaksanaan RAN PK ini dengan implementasi UNCAC, maka Bappenas sebagai institusi yang terlibat aktif alam penyusunan RAN PK berperan mengorganisir terbentuknya working group implementasi UNCAC di Indonesia.
Working group implementasi UNCAC di Indonesia saat ini adalah working group pencegahan, kriminalisasi, asset recovery, dan working group bantuan hukum. Tiap working group terdiri dari berbagai institusi yang terkait dengan area kegiatan working group tersebut. Sepertihalnya pelaksanaan RAN PK, kegiatan working group UNCAC ini juga dikomunikasikan dan dimonitoring secara berkala kepada seluruh instansi yang terlibat KPK sebagai institusi utama dan focal point dalam pemberantasaan korupsi di Indonesia terlibat dalam seluruh kegiatan working group tersebut. 2. Gap analysis dan Usaha Harmonisasi Peraturan dan Perundangan Indonesia terhadap UNCAC Hal penting dalam memastikan terselenggaranya percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia dalam mendukung UNCAC adalah memastikan perangkat hukum dan peraturanperaturan yang ada saat ini sesuai dengan tujuan UNCAC. Untuk itu KPK dibantu oleh donor, berinisiatif melakukan gap analysis pasal-pasal dalam UNCAC dengan peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia. Kajian gap analysis ini dilakukan oleh pakar-pakar hukum Indonesia dan Internasional yang berpengalaman dan kompeten dibidangnya1. Dalam kajian gap analysis tersebut dipaparkan relevansi tiap pasal UNCAC dengan kondisi di Indonesia dan rekomendasi agar harmonisasi dapat terjadi. Berdasarkan hasil kajian tersebut diperlukan cukup banyak perubahan dan percepatan perubahan peraturan yang harus segera dilakukan demi terciptanya harmonisasi dengan UNCAC. Masalah koordinasi antar lembaga dan jalinan peraturan/perundangan yang kurang harmonis merupakan salah satu masalah penting yang menjadi “tugas” berat bagi pemerintah Indonesia selanjutnya. Namun dalam beberapa hal terdapat beberapa pasal UNCAC yang sudah diimplentasikan oleh Indonesia, untuk area pencegahan contohnya adalah pasal 6 UNCAC yang mewajibkan negara peserta untuk membentuk suatu lembaga independen yang secara aktif terlibat dalam pencegahan. Untuk Indonesia melalui UU 30 tahun 2002, KPK dibentuk dengan salah satu tugasnya untuk aktif dalam pencegahan korupsi. Hal ini merupakan bukti diimplentasikannya pasal 6 UNCAC secara aktif di Indonesia. Kajian gap analysis yang dilakukan Indonesia ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh negara peserta UNCAC. Tentunya komitmen Indonesia ini tidak hanya berhenti begitu saja, berbagai upaya terciptanya harmonisasi ini perlu terus dilanjutkan kedalam hal yang lebih nyata. 2.2.3. Indonesia sebagai Pilot Project Implementasi UNCAC Mengingat persiapan dan kesungguhan Indonesia dalam pemberantasan korupsi dan implementasi UNCAC, maka Indonesia terpilih sebagai salah satu negara yang dijadikan Pilot Project dalam implementasi, dimana Indonesia bersedia di review oleh negara lain. Dalam hal ini Indonesia bersedia di review oleh Belanda dan Jordania. Terdapat 8 pasal dalam UNCAC yang sepakat di review dan dinilai implementasinya. Ke -delapan pasal tersebut adalah pasal 5 (Kebijakan dan praktek pencegahan Anti Korupsi), pasal 15 (Penyuapan pejabat publik nasional), pasal 16 (penyuapan pejabat publik asing), pasal 17(penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik), pasal 25 (Perbuatan menghalang-halangi proses peradilan), pasal 46 (Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana), pasal 52 (Pencegahan dan pelacakan aset perolehan hasil kejahatan) dan pasal 53 (TindakanTindakan untuk pengembalian Aset secara langsung. Mengingat review yang dilakukan bersifat mutual atau timbal balik, maka Indonesia juga berhak mereview hasil yang dicapai kedua negara tersebut. Untuk kegiatan review ini berbagai 1 Hasil lengkap kajian gap analysis dalam versi bahasa Inggris dapat dilihat dalam web KPK http://www.kpk.go.id/modules/wmpdownloads/files/UNCAC_Gap.pdf
persiapan telah dilakukan oleh Deplu sebagai focal poin dengan bekerja sama dengan institusi terkait lainnya seperti Bappenas, Menpan, KPK, PPATK dan seluruh instansi yang terkait dengan kegiatan pencegahan dan pemberantasaan korupsi untuk materi mekanismpe pelaksanaannya diatur dalam pasal 63 dari konvensi ini melalui penyelenggaraan konferensi negara-negara angota konvensi yang diselenggarakan tiap tahun. Tujuan diadakannya konferensi ini untuk berbagai mekanisme telah diatur yakni melalui pengumpulan data dan review. Pengumpulan data hasil implementasi dilakukan melalui kuesioner check list, laporan yang disusun oleh negara peserta, self asessment, open source maupun kunjungan ke negara yang dimonitor (country visit). Terdapat dua mekanisme review yang dikembangkan yakni review oleh lembaga yang dianggap independen maupun melalui peer review. Peer review sendiri dapat dilakukan secara pleno atau melalui expert. Tiap mekanisme monitoring (baik pengumpulan data maupun review) memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing (untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam lampiran 2) Setelah informasi tersebut dikumpulkan, badan pelaksana dari UNCAC membutuhkan suatu mekanisme Pada awalnya . 2.2. Komitmen Indonesia dalam Implementasi UNCAC 2.2.1. Pembentukan working group UNCAC 2.2.2. Gap analysis dan Usaha Harmonisasi peraturan dan Perundangan Indonesia terhadap UNCAC 2.2.3. Indonesia sebagai Pilot Project Implementasi UNCAC
Gambaran singkat mengenai latar belakang lahirnya UNCAC, dan perkembangan UNCAC baik secara global maupun nasional (jumlah peserta, kelembagaan, dll) Ikhwal Indonesia terlibat sebagai negara peserta ratifikasi Konferensi I UNCAC di Jordan, mandat-mandatnya dan gambaran singkat pelaksanaan UNCAC II di Denpasar terbentuknya UU 7 tahun 2006 sebagai komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan UNCAC Bentuk komitmen instansi/otoritas terkait dalam implementasi UNCAC Pembentukan working group UNCAC sebagai wujud komitmen Indonesia harmonisasi RAN PK dengan implementasi UNCAC Komitmen KPK dalam implementasi UNCAC
Bab III Implementasi UNCAC di Indonesia : Pencegahan Pencegahan merupakan salah satu komponen penting dari pasal-pasal UNCAC. Pendekatan pencegahan yang cukup luas baik di sektor swasta maupun sektor publik membedakan konvensi ini dengan konvensi-konvensi anti korupsi yang telah ada sebelumnya1. Salah satu yang menjadi esensi dari pencegahan yang terdapat dalam konvensi ini adalah amanat konvensi bagi negara peserta untuk memiliki lembaga independen yang memiliki tugas untuk membangun, melaksanakan, mengkoordinasikan dan memonitoring kebijakan anti korupsi, termasuk praktek-praktek yang efektif dalam pencegahan korupsi. Keberadaan KPK sesuai amanah UU 30 tahun 2002, yang dilengkapi dengan perangkat dan sumberdaya yang cukup, memantapkan usaha Indonesia untuk mendukung usaha pencegahan dan pemberantasan yang komprehensif. Hal penting lain yang menjadi tugas cukup berat dalam usaha pencegahan korupsi di Indonesia adalah pencegahan korupsi di sektor swasta. Hal ini dikarenakan selama ini upaya pencegahan korupsi di Indonesia umumnya hanya menyangkut pencegahan korupsi terhadap instansi pemerintahan dan penyelenggara negara saja. Cukup banyak upaya pencegahan yang telah dilakukan di Indonesia yang sebenarnya dapat dimasukkan dalam implementasi UNCAC. Salah satu upaya penting Indonesia dalam memperbaiki sistem birokrasi yang termasuk sebagai sasaran pencegahan UNCAC juga terus diupayakan dengan terselesaikannya grand strategi reformasi birokrasi di Indonesia yang mulai dipraktekan di beberapa instansi yang telah siap seperti di lingkungan departemen keuangan Deskripsi praktek-praktek pencegahan yang telah dilakukan di Indonesia disesuaikan dengan pasal-pasal yang ada dalam UNCAC.
3.1. Kebijakan Pencegahan Korupsi di Indonesia : Pasal 5 Berdasarkan isi pasal 5 dari UNCAC yang mewajibkan negara untuk : 1. Membangun dan melaksanakan kebijakan anti korupsi yang terkoordinasi secara efektif yang meningkatkan keikutsertaan masyarakat; 2. meningkatkan praktek-praktek yang efektif dalam pencegahan korupsi; 3. Mengevaluasi hukum dan langkah-langkah administratif untuk menentukan kecukupan perangkat dalam pencegahan korupsi; 4. Bekerjasama dengan organisasi internasional atau regional dalam upaya pencegahan korupsi. Pentingnya memenuhi berbagai kewajiban ini disadari penuh oleh pemerintah Indonesia. Indonesia menyadari pencegahan korupsi sebagai bagian penting dari upaya pemberantasan korupsi. Sayangnya dasar hukum yang mencerminkan kebijakan pencegahan korupsi secara aktif hanya terdapat dalam UU 30 tahun 2002 tentang KPK. Mayoritas kebijakan pencegahan korupsi yang ada berupa pencegahan pasif seperti pengawasan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan pengelolaan keuangan negara, serta penerapan kode etik dan standar profesi. Sementara pencegahan yang aktif seperti mengkontrol dan memonitor penerapan good governance di daerah, melakukan kajian dan membenahi sistem yang dianggap “prone to corrupt” hanya ada dalam kewenangan KPK. Salah satu bentuk kepedulian pemerintah untuk memaksimalkan upaya pencegahan korupsi adalah melalui Inpres 5 tahun 20042. Melalui instruksi presiden no. 5 tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan kepada kepala daerah dan menteri-menteri terkait untuk melakukan praktek-praktek pencegahan secara kongkrit. Beberapa instruksi tersebut antara lain meningkatkan efektifitas dan pelaporan LHKPN, meningkatkan kualitas layanan publik, mewajibkan terbentuknya wilayah bebas korupsi, 1 Sebelum UNCAC, terdapat beberapa konvensi yang telah ada terlebih dahulu, diantaranya Inter-American
2
Convention Against Corruption tahun 1996, The OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transaction 1997, The Council of Europe Criminal and Civil Law Conventions, 1999, and The African Union Convention on Preventing and Combating Corruption, 2003. Isi dari Inpres 5 tahun 2004 dapat dilihat dalam lampiran 3.1
perbaikan sistem pengukuran kinerja dan perbaikan pengadaan barang dan jasa melalui penggunaan electronic procurement merupakan bentuk-bentuk kebijakan pencegahan korupsi yang pelaksanaannya terus diupayakan hingga saat ini. Sebagai salah satu lembaga yang memiliki kewenangan dan tugas pencegahan korupsi yang paling besar di negeri ini, mengharuskan KPK untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki untuk menciptakan kebijakan pencegahan korupsi yang efektif. Kewajiban yang tertera dalam pasal 5 UNCAC tersebut selaras dengan beberapa kewenangan pencegahan korupsi yang dimiliki KPK, sehingga terdapat beberapa program dan kegiatan pencegahan KPK yang dapat diidentifikasikan sebagai bagian dari pelaksanaan pasal 5 UNCAC. Secara garis besar kebijakan pencegahan KPK ditempuh berdasarkan kewenangan dan tugas pokok dan fungsi masing-masing direktorat yang ada dalam struktur organisasi KPK. Dalam pasal 6 UU 30 tahun 2002 wewenang pencegahan dilakukan KPK melalui ; a. Pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum f. Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, fungsi pencegahan yang secara tegas terdapat dalam peraturan perundangana yang berhubungan dengan lembaga hukum hanya terdapat dalam UU KPK. Dalam Undang-Undang Kepolisian, masalah pencegahan tindak pidana hanya ditempatkan secara umum berkenaan dengan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Sementara dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia masalah ini nyaris tidak disinggung.
3.2. Institusi dalam Pencegahan Korupsi : Pasal 6 3.2.1. Peran KPK dalam pencegahan Korupsi Berdasarkan pasal 6, UNCAC mewajibkan negara peserta untuk membentuk satu atau lebih institusi/lembaga independen yang bertugas untuk mencegah korupsi. Selain memiliki fungsi pencegahan, UNCAC juga mewajibkan lembaga tersebut untuk dilengkapi dengan sumberdaya yang memadai. Saat ini di Indonesia terdapat dua lembaga yang mempunyai tugas utama pencegahan, Komisi Ombudsman Nasional (KON) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebenarnya diluar ke dua lembaga tadi, terdapat beberapa institusi yang mempunyai fungsi yang dapat dikelompokkan sebagai pencegahan, karena menyangkut pengawasan dan pembinaan, misalnya MenegPAN, Depdagri, PPATK, dll. Secara umum untuk area pencegahan korupsi di Indonesia meliputi dua area, pencegahan aktif dan pencegahan pasif. Program-program yang berkaitan dengan pencegahan aktif dan pasif tersebut dapat berlaku secara internal maupun eksternal di institusinya masingmasing. Pencegahan aktif adalah secara langsung menerapkan berbagai kegiatan yang mampu mengurangi/menghilangkan bentuk kegiatan koruptif di lingkungan kerjanya ataupun di area/lingkungan yang lebih luas. Sementara pencegahan pasif merupakan hasil tercegahnya suatu resiko/upaya kegaiatan yang koruptif sebagai akibat dari terlaksananya tugas/program/fungsi dari suatu institusi. Terselenggaranya proses penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang adil dan profesional merupakan salah satu contoh fungsi pencegahan pasif dari kejaksaaan. Sementara pelaksanaan audit BPK secara baik dan bertanggung jawab terhadap pengeluaran uang
negara di suatu institusi memberikan dampak berkurangnya resiko terjadinya perilaku koruptif di institusi tersebut. Dalam hal ini BPK telah berperanserta melakukan pencegahan secara pasif di lingkungan eksternalnya. Melalui wewenangnya yang luas KPK dapat berperan aktif di area pencegahan korupsi. Memonitor pelaksanaan good governance di daerah dan memonitor terlaksananya perbaikan sistem di suatu instansi untuk kemudian dilaporkan perkembangannya ke Presiden merupakan peran aktif KPK di bidang pencegahan. Matriks berikut dapat menggambarkan fungsi pencegahan korupsi dan ruang lingkup pelaksanaan dari sejumlah instansi di Indonesia; Ruang Lingkup Jenis Pencegahan Pencegahan
Institusi/Lembaga
Internal
Pasif
Seluruh instansi yang diinstruksikan oleh Inpres 5/2004
Aktif
Seluruh instansi yang diinstruksikan oleh Inpres 5/2004
Pasif
KPK, MenegPAN, BPK, BPKP, PPATK, Komisi Judisial, Komisi
Aktif
KPK, KON
Eksternal
Berdasarkan matriks tersebut terlihat bahwa KPK merupakan lembaga yang berdasarkan undang-undang mempunyai wewenang pencegahan korupsi yang paling luas di Indonesia. Memang terdapat Komisi Ombudsman Nasional yang memiliki kewenangan pencegahan yang nyaris serupa dengan KPK, namun kewenangan ini tidak didukung oleh landasan hukum yang kuat dan dukungan sumberdaya yang memadai untuk lembaga ini. Berdasarkan dasar hukum dan dukungan finansial, KPK memiliki keuntungan dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar di bidang pencegahan dibandingkan KON. Perbandingan antara KPK dan KON dapat dilihat dalam tabel berikut; Tabel 1. Matriks perbandingan KPK dan KON Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Dasar Hukum Pembentukan
UU no. 30 tahun 2002 tentang Keputusan Presiden no. 44 tahun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana 2000, Korupsi
Tugas dan Fungsi pencegahan
Terdapat pada pasal 6 dan 13 UU.30/2002. Pasal 6 butir d : Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi. Pasal 13 : Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut; a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara b. Menerima laporan dan
Berdasarkan Kepres no.44/2000 pasal 3, Tujuan komisi ombudsman adalah : a. melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme b. Meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan lebih baik. Berdasarkan tujuan tersebut, maka tugas dari KON adalah; a. Menyebarluaskan pemahaman
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Ombudsman Nasional (KON)
menetapkan status gratifikasi c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum; f. Melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
mengenai ombudsman b. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan instansi pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, para ahli, praktisi, organisasi profesi dan lain laian. c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan, atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang Undang tentang Ombudsman Nasional
Jumlah Staf
450 orang (tahun 2007)
41 (tahun 2006)
Jumlah Anggaran
Tahun 2007 : APBN : Rp.247.660.200.000,Donor : Rp 96.916.705.000,00
Anggaran di bebankan pada anggaran belanja sekertariat negara Tahun 2006 : 13 milyar
Dari perbandingan antara KPK dan KON terlihat bahwa kewenangan KPK cukup lengkap untuk menuangkan suatu kebijakan pencegahan yang progresif dan berkala termasuk menindaklanjutinya. Dalam tugas monitoring KPK yang terdapat dalam pasal 14 UU 30 tahun 2002, disebutkan bahwa KPK berwenang untuk melapor ke Presiden RI, Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jika saran KPK mengenai usulan perubahan terhadap instansi atau lembaga pemerintah tidak diindahkan. Sementara KON tidak memiliki wewenang untuk memastikan laporan atau rekomendasinya dapat ditindaklanjuti oleh suatu instansi. Tingkat tindaklanjut rekomendasi yang rendah, ketua dan anggota yang tidak bekerja full time, dukungan fasilitas dan pendanaan yang lemah dari pemerintah semakin menipiskan harapan fungsi pencegahan korupsi dapat dilakukan secara penuh oleh lembaga ini. Adalah wajar jika perhatian terhadap keberhasilan pencegahan korupsi diarahkan ke KPK. Keluarnya Inpres 5 tahun 2004 mengenai percepatan pemberantasan korupsi juga menunjuk KPK untuk menkoordinir seluruh program terkait pencegahan korupsi yang pelaksanaannya melibatkan sejumlah instansi pemerintah dan seluruh daerah di Indonesia.
3.2.1. Peran Lembaga/organisasi lain dalam pencegahan Korupsi di Indonesia Menurut Inpres 5/2004, setiap instansi di Indonesia bertanggung jawab terhadap kegiatan pencegahan korupsi di instansinya. Kegiatan pencegahan tersebut harus dapat dipertangungjawabkan dengan menghasilkan keluaran yang harus diukur. Dalam hal ini KPK kembali berperan untuk memastikan terselenggaranya kebijakan yang pro pemberantasan korupsi melalui fungsi monitoringnya sesuai Pasal 6 huruf e dan pasal 14 UU no.30 tahun 2002. Selain KPK, terdapat beberapa institusi yang terkait erat dengan pencegahan korupsi, terutama instansi yang berhubungan dengan pengawasan dan pembinaan. Tabel berikut
menunjukkan peran beberapa instansi di Indonesia terkait dengan kebijakan pencegahan korupsi; Lembaga
Peran Pencegahan Praktek Pencegahan yang dilakukan
Lembaga Yudisial Kehakiman
Kepolisian
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di luar lingkungan kehakiman
menjatuhkan pidana yang tepat terhadap terdakwa tindak pidana korupsi
Pencegahan di lingkungan internal
Mulai melakukan reformasi birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung dengan memulainya melalui; a. Pengembangan SIMARI (Sistem Informasi Mahkamah Agung RI) b. Menetapkan kode perilaku hakim yang ditetapkan melalui SK Ketua Mahkamah Agung RI no 104A/SK/XII/2006. Pada tahun 2009 diharapkan 2000 hakim telah mendapatkan pelatihan mengenai kode perilaku ini, sehingga dapat berjalan lebih efektif c. Melakukan transparansi putusan melalui Peraturan Keterbukaan Informasi di Pengadilan telah disahkan melalui SK KMA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 yang mengatur diantaranya beberapa informasi yang dapat diakses oleh publik, yakni informasi tentang perkara, pengawasan, organisasi, administrasi, kepegawaian, dan keuangan Khusus mengenai putusan, maka publik dapat mengaksesnya melalui situs resmi Mahkamah Agung www.mahkamahagung.go.id pada bagian Direktori Putusan. Putusan juga dapat diakses langsung melalui situs www.putusan.net d. Mengatur PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang berada di lingkungan MA dengan menyusun peraturan-peraturan yang terkait e. menyusun manajemen remunerasi berbasis kinerja dan tanggung jawab dan perbaikan pengelolaan SDM
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di luar lingkungan kepolisian
Melakukan proses penyidikan tindak pidana korupsi dengan baik
Pencegahan di lingkungan Internal
Sejalan dengan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004, telah dikeluarjan Surat perintah Kapolri No. 2635/XII/2004 tanggal 21 Desember 2004 yang memprioritaskan untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri dengan melakukan kegiatan : a. Mengintensifkan arahan teknis-teknis keseluruh jajaran agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang b. Mengoptimalkan fungsi pengawasan umum dan pengamanan Polri c. Menerapkan tindakan tegas dan tuntas terhadap penyalahgunaan wewenang atau tindakan koruptif dengan penarapan hukum disiplin d. Menggalakkan kontrol sosial masyarakat terhadap
Lembaga
Peran Pencegahan Praktek Pencegahan yang dilakukan kinerja Polri dengan membuka akses yang luas bagi masyarakat untuk melaporkan penyimpangan yang dilakukan oleh anggota Polri
Kejaksaaan
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di luar lingkungan kejaksaan
Melakukan proses penuntutan tindak pidana korupsi dengan baik
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di luar lingkungan BPK
Sesuai UU no.15 tahun 2004 dan UU 15 tahun 2006 : (i) Melaporkan adanya dugaan tindakan kriminal termasuk dugaan TPK kepada kepolisian, kejaksaan dan KPK. Tahun 2005 : Menyampaikan 10 laporan dugaan TPK ke DPR dan penegak hukum dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 2,9 T dan US $ 4,2 juta Tahun 2006 : Menyampaikan 7 laporan dugaan TPK ke DPR dan penegak hukum dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 205,08 M dan US $ 32.980 juta (ii) Seluruh laporan yang disampaikan ke DPR/DPRD/DPD diumumkan melalui website agar dapat diakses ke masyarakat luas
Lembaga non Yudisial BPK
Peran pencegahan di A. Meningkatkan perbaikan akuntabilitas dengan : lingkungan internal (i) Meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan kode etik oleh majelis kode etik yang terdiri dari unsur profesi dan akademisi yang berasal dari luar BPK (ii) Memeriksakan anggaran yang digunakan oleh BPK yang dilakukan oleh kantor akuntan publik untuk kemudian diumumkan ke masyarakat luas B. Mulai menerapkan reformasi birokrasi di lingkungan internal dengan : (i) Memperbaiki sistem dan prosedur (ii) Memperbaiki struktur organisasi : organisasi dan tata kerja (iii) Memperbaiki sarana dan prasarana kerja (ii) Memperbaiki pengelolaan SDM melalui : reward n punishment, peningkatan profesionalitas dan integritas, perbaikan BPKP
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di luar lingkungan BPKP
(i) Sesuai keppres RI no. 103 tahun 2001 pasal 52, BPKP bertugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ii) Pengembangan fraud control plan (iii) Pendampingan proses pengadaan barang dan jasa (iv) Bantuan pengembangan sistem akuntansi keuangan daerah (v) MoU dengan lembaga penegak hukum, dan MoU dengan lembaga/kementrian dalam peningkatan implementasi good governance
Peran pencegahan di (i) Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lingkungan internal pengadaan barang dan jasa di lingkungan internal
Lembaga
Peran Pencegahan Praktek Pencegahan yang dilakukan menggunakan fasilitas e-announcement di website (ii) Menertibkan pelaporan LHKPN di kalangan pejabat yang mewajibkan (iii) Mengoptimalkan peran inspektorat jendral di BPKP
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Berdasarkan Peraturan Presiden no. 9 tahun 2005 tentang kedudukan, tugas, fungsi , susunan organisasi dan Tata kerja Kementerian Negara RI disebutkan bahwa Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara mempunyai tugas membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pendayagunaan aparatur negara dan pengawasan
- Untuk internal Meneg PAN terus berupaya melaksanakan instruksi umum dari Inpres 5/2004 - Dalam melaksanakan amanah UU no.28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, bekerja sama dengan KPK untuk : mendorong dan memantau pelaksanaan pelaporan LHKPN bagi penyelenggara negara - Mengeluarkan beberapa surat edaran menteri untuk eksternal diantaranya : SE Men.PAN no. 357/M.PAN/12/2001 tentang langkah-langkah efisiensi dan penghematan serta hidup sederhana di lingkungan aparatur negara SE Men. PAN no.37/M.PAN/2/2002 tentang pedoman umum pelaksanaan peningkatan efisiensi dan disiplin kinerja aparatur negara - Melaksanakan instruksi khusus Inpres 5/2204 untuk melakukan koordinasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan Inpres 5/2004 di seluruh instansi
Bank Indonesia
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di luar lingkungan BI
- Menerapkan prinsip KYC (know your customer) di sektor perbankan - Penerapan GCG (Good corporate governance) di sektor perbankan - Penerapan manajemen resiko dalam pengelolaan bank - Melakukan fit n proper test thd calon dan atau pemilik/pengurus/pejabat bank - Pembentukan forum kerjasama antara gubernur BI, Kapolri dan Jaksa Agung dalam penanganan tindak pidana di bidang perbankan baik di tingkat pusat atau daerah
Pencegahan internal
(i) Pelaksanaan Peraturan Disiplin Pegawai BI : Peraturan Dewan Gubernur no. 3/9/PDG tahun 2001 dan Surat Edaran Interen no.3/37Interen tahun 2001, didalamnya mencantumkan larangan KKN (ii) Pelaksanaan secara intensif peraturan Tata Tertib Pegawai (Peraturan dewan gubernur no. 4/7/PDG tahun 2002 dan Surat Edaran Intern no. 4/13/SE/Interen tahun 2002 (iii) Mencanangkan tahun 2006 sebagai tahun Kejujuran dengan mengedepankan 3K (Kejujuran, Kompetensi dan Komitmen)
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di luar lingkungan PPATK
UU no. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan kewenangan kepada PPATK untuk mengeluarkan peraturan di bidang pencegahan dan pemberantasan tindakan pidana pencucian uang - Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang secara ketat yang dilakukan PPATK diharapkan mampu menurunkan tingkat
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)
Lembaga
Peran Pencegahan Praktek Pencegahan yang dilakukan kejahatan termasuk tindak pidana korupsi dan memelihara stabilitas sistem keuangan - Mendorong Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan GCG
Depdagri
Komisi Yudisial
Civil society
Pencegahan internal
Menerapkan prinsip-prinsip GCG (Good corporate governance) dalam internal PPATK
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di luar lingkungan Depdagri (lingkungan pemerintah daerah)
Berdasarkan Keppres no.102 tahun 2001, salah satu fungsi dari departemen dalam negeri adalah melaksanakan pengawasan fungsional. Berdasarkan fungsi tersebut, kewenangan Depdagri untuk menjabarkan Inpres 5/2004 diwujudkan dalam penyusunan rancangan peraturan menteri dalam negeri : (i) Permendagri Nomor 23 tahun 2007 tentang pedoman tata cara pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah (ii) Permendagri No. 24 tahun 2007 tentang pedoman pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah (iii) Permendagri No. 25 tahun 2007 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Depdagri dan pemerintah daerah (iv) Permendagri No. 28 tahun 2007 tentang Norma pengawasan dan kode etik Pejabat Pengawasan Pemerintah Penyusunan pedoman penyelenggaraan Pelayanan Terpadu satu pintu, untuk dilaksanakan di daerah
Pencegahan internal
(i) Membuka kotak pos pengaduan masyarakat di lingkungan Depdagri (ii) Pelaporan secara berjenjang dari staf ke pimpinan
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di lingkungan kehakiman
Berdasarkan UU no.22 tahun 2004, Komisi yudisial berperan dalam menjaga kehormatan, martabat dan menjaga perilaku hakim. Mendorong hakim untuk berperilaku sesuai etika dan adil turut mengurangi perilaku koruptif di lingkungan peradilan.
Pencegahan internal
Melakukan pengawasan yang melekat dengan membentuk : a. Satuan pengawas intern untuk memastikan dipatuhinya ketentuan yang berlaku dalam pengelolaan anggaran komisi yudisial b. Tim untuk melakukan pengawasan dan penertiban administrasi, anggaran, peralatan, perkantoran, disiplin kerja dan kepegawaian Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000: “Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.” Saat ini cukup banyak LSM yang perhatian dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan
Lembaga
Peran Pencegahan Praktek Pencegahan yang dilakukan menjadi alat kontrol yang cukup efektif dalam mengawasi dan mencegah terjadinya korupsi di Indonesia. Beberapa LSM tersebut diantaranya : ICW (Indonesian Corruption Watch) MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) TII (Transparansi Internasional Indonesia) MAPPI (Masyarakat pemantau peradilan...) Dalam implementasinya, LSM mendapat peran yang cukup penting untuk mengawasi implementasi UNCAC di suatu negara.
Inspektorat Jenderal di tiap Departemen
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di lingkungan departemen terkait
Badan Pengawas Daerah
Peran yang berdampak pada pencegahan korupsi di lingkungan pemerintah daerah
(i) Mengawasi proses/ kegiatan di dalam suatu institusi agar sesuai dengan peraturan yang berlaku
Dengan terbentuknya UU KPK, adanya UNCAC dan Inpres 5/2004 memberikan tekanan bagi tiap instansi untuk menerapkan kebijakan anti korupsi, untuk dilaporkan dan dipertanggung jawabkan ke publik melalui berbagai mekanisme, diantaranya melalui pelaporan ke KPK setiap tahunnya.
3.3. Sektor Publik : Pasal 7 Dalam UNCAC, sektor publik diatur dalam pasal 7. Dalam pasal tujuh tersebut, hal pokok yang menjadi perhatian terkait dengan sektor publik adalah kewajiban negara untuk : 1. Memelihara dan memperkuat sistem rekruitmen, penggajian, pemeliharaan, promosi dan pensiun pegawai negeri dan, sejauh diperlukan, pejabat-pejabat publik lain 2. Merumuskan kriteria tentang pencalonan untuk dan pemilihan jabatan pemerintahan 3. Meningkatkan transparansi dalam mendanai pencalonan untuk jabatan publik yang dipilih dan dimana mungkin mendanai partai-partai politik 4. Mengadopsi, memelihara dan memperkuat sistem-sistem yang meningkatkan tranparansi dan mencegah konflik kepentingan. Implementasi keempat pokok bahasan tersebut, dibahas secara berurutan dalam pembahasan berikut; 3.3.1. Sistem Rekruitmen, Penggajian, Promosi dan Pensiun Pegawai Negeri di Indonesia Berdasarkan UNCAC, setiap negara peserta wajib mempunyai mekanisme yang didasarkan pada pinsip-prinsip efisiensi, transparansi dan obyektifitas dalam kewajiban negara peserta dalam mengelola sistem kepegawaiannya. Untuk Indonesia sendiri, saat ini pengelolaan sistem kepegawaian mengacu pada UU no.8/1974 jo UU 43/1999. Dalam pasal 17 ayat 2(dua) UU kepegawaian tersebut, mengenai pengangkatan atau rekruitment disebutkan bahwa ““Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat objektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan”
Undang-Undang Kepegawaian belum memasukkan prinsip efesiensi dan transparansi dalam perekrutan Pegawai Negeri Sipil. Sementra asas obyektifitas hanya dipahami
sebagai penilaian tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan, sedangkan masalah prestasi, kelayakan dan kecerdasan bukan sebagai bagian dari kriteria obyektif. Untuk masalah gaji sendiri, berdasarkan penjelasan UU no. 43 tahun 1999, sistem penggajian secara umum digolongkan kedalam 3 sistem yakni sistem skala tunggal, sistem skala ganda dan sistem skala gabungan. Sistem skala tunggal adalah sistem penggajian yang memberikan gaji yang sama kepada pegawai yang berpangkat sama dengan tidak atau kurang memperhatikan sifat pekerjaan dan beratnya tanggung jawab. Sistem skala ganda adalah sistem penggajian yang menentukan besarnya gaji tidak hanya berdasarkan pangkat namun juga didasarkan pada sifat pekerjaan, beratnya tanggung jawab dan prestasi kerja yang dicapai. Sistem skala gabungan merupakan perpaduan antara sistem penggajian skala tunggal dan ganda. Dalam sistem skala gabungan ini gaji pokok ditentukan sama antara pegawai negeri yang berpangkat sama. Untuk tunjangan lain yang ditambahkan didasarkan pada jabatan atau besarnya tanggung jawab, sifat pekerjaan dan prestasi kerja yang dicapai. Perhitungan penggajian sendiri dalam Undang Undang tersebut tidak dicantumkan bahwa tergantung dengan tingkat perekonomian negara. Untuk tahun 2008, prosentase peningkatan gaji direncanakan naik 15-20%3 Perbaikan Sistem renumerasi nasional menjadi bagian yang cukup penting dalam perbaikan sistem kepegawaian secara keseluruhan. Saat ini ada tiga tingkat dalam sistem renumerasi nasional dimana gaji terendah adalah Rp. 1,3 juta sementara gaji tertinggi hanya Rp. 2,4 juta. Di banyak negara lain, tingkatan dalam sistem penggajian bisa mencapai 22 tingkatan. Untuk itu target perbaikan renumerasi nasional kita adalah membuat tingkatan penggajian menjadi paling tidak 15 tingkatan. Namun perlu disadari bahwa menaikkan gaji butuh anggaran yang cukup besar. Jika gaji PNS semata-mata dinaikkan, demi mengejar tingkat kelayakan yang sesuai, maka anggaran negara akan membengkak 6 kali lipat dari yang biasa. Jumlah yang tidak mungkin untuk dicukupi oleh anggaran negara yang saat ini terbatas. Gaji besar hanya dapat diberikan jika pertumbuhan ekonomi tinggi. Pertumbuhan ekonomi dan kinerja ekonomi yang tinggi, hanya dapat diraih jika birokrat berkinerja baik. Karenanya tetap kinerja birokrasi di Indonesia harus terus didorong, selain dengan reward yang baik dibutuhkan pula sistem rekruitmen, promosi dan mutasi yang transparan dan obyektif. Masalah transparansi dari pegawai negeri sipil juga tidak diturunkan dalam peraturanperaturan kepegawaian. Berbagai PP di bidang kepegawaian seperti PP no. 9/2000 tentang kenaikan pangkat PNS dan PP no. 96/2000 tentang mutasi PNS, meskipun dibentuk setelah berlakunya UU no. 28/1999 yang mengatur tentang pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara juga belum mengaitkan antara sistem kepegawaian dengan kewajiban PN dalam melaporkan kekayaannya. Untuk Berbagai pertimbangan “promosi, rotasi, mutasi dan demosi” Pegawai Negeri Sipil tidak sepenuhnya langsung berkaitan dengan masalah pelanggaran pidana, termasuk tindak pidana korupsi. Pengaturan hanya meliputi pertimbangan “pemberhentian” Pegawai Negeri Sipil karena melakukan tindak pidana pada umumnya, dan tidak spesifik mengenai tindak pidana korupsi. Pemberhentian sementara Pegawai negeri Sipil yang tersangkut masalah pidana, hanya sebatas pada mereka yang dikenakan penahanan. Padahal untuk menjamin kualitas pelayanan kepada masyarakat, hal itu seharusnya diterapkan pada setiap Pegawai Negeri Sipil yang berstatus tersangka atau terdakwa, baik yang dikenakan penahanan maupun tidak dikenakan penahanan. Perlakuan yang sama juga seharusnya diterapkan terhadap penyelenggara negara yang dalam status tersangka atau terdakwa. Dapat saja hal ini berlaku khusus apabila yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi. Kemajuan yang cukup mendasar berkenaan pencegahan tindak pidana korupsi terdapat 3 “Rancangan Induk Reformasi Birokrasi Pemerintahan Tahun 2005-2025” papara Menteri Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Seminar nasional reformasi Birokrasi yang diselenggarakan KPK, 1 November 2007 di Jakarta.
dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yaitu berkenaan dengan pengangkatan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD. Dalam hal ini, pemberhentian pejabat publik tersebut dapat langsung dilakukan ketika yang bersangkutan diantaranya melanggar larangan melakukan tindak pidana korupsi. Meneledan pada ketentuan ini, mestinya demikian pula ketika hal itu terjadi terhadap jabatan publik lainnya, seperti menteri, baik yang memimpin departemen maupun yang tidak memimpin suatu departemen, dan kepala badan pemerintah non departemen, kepala/ketua lembaga negara dan lain sebagainya ataupun setiap Pegawai Negeri Sipil pada umumnya. Namun demikian, pemberhentian sementara terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah hanya dapat dilakukan ketika yang bersangkutan telah berstatus terdakwa. Padahal mestinya hal itu telah dilakukan sejak ketika berstatus tersangka (penyidikan). Pemberhentian sementara yang demikian itu harus sudah dilakukan demi menjaga integritas penegak hukum, maupun guna menjaga kualitas layanan kepada masyarakat yang menjadi tanggungjawab pejabat yang bersangkutan. Sementara itu, berkenaan dengan pencegahan tindak korupsi melalui tranparansi keuangan dan pendanaan dalam pemilihan jabatan-jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan umum telah cukup jelas diatur dalam Undang-Undang Partai Politik, UndangUndang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Selain perbaikan internal yang dilakukan dalam sistem organisasi dan perbaikan sistem sumberdaya manusia, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya pengaturan akses masyarakat tentang berbagai informasi publik, standar profesi dalam pelayanan publik, pengaturan internal profesi di setiap lingkungan pejabat, seperti kode etik profesi. Saat ini disadari bahwa sistem kepegawaian bagi pegawai negeri di Indonesia membentuk sistem birokrasi yang memiliki banyak kelemahan dimana kondisi SDM yang dianggap terlalu gemuk, distribusi pegawai yang tidak merata, etos kerja yang buruk dan kesejahteraan pegawai negeri yang rendah. Sementara secara kelembagaan, struktur organisasi yang ada dalam pemerintahan sendiri terlalu besar dan tidak proporsional. Hal yang lebih buruk lagi dengan struktur organisasi yang gemuk tersebut, banyak yang belum dilengkapi dengan business process atau ketatalaksanaan yang efisien atau SOP yang mencukupi. Kelemahan tersebut menyadarkan Indonesia untuk segera melakukan reformasi Birokrasi. Untuk itu berdasarkan UU 17/2007 tentang Rencana pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, grand design pelaksanaan reformasi birokrasi mulai dilaksanakan. Berdasarkan Lampiran UU no. 17/2007 tentang Rencana jangka Panjang Tahunan Nasional 2005-2025 Bab IV.1.2. Huruf E angka 35 menyatakan Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Saat ini grand strategi mengenai reformasi telah disiapkan. Secara konseptual reformasi birokrasi dilakukan melalui; (i) restrukturisasi organisasi pemerintahan; (ii) simplifikasi dan otomatisasi bisnis proses, (iii) Rasionalisasi dan realokasi SDM aparatur; dan (iv) Regulasi dan deregulasi. Untuk tahun 2007, beberapa instansi ditetapkan sebagai pilot project dari reformasi birokrasi. Sayangnya semangat untuk melakukan reformasi birokrasi ini lebih disorot dari sisi perbaikan renumerasinya saja. Peningkatan gaji yang dijadikan prasyarat dalam reformasi birokrasi ini menimbulkan banyak perdebatan sengit. Diakui untuk mencapai cita-cita mereform birokrasi di Indonesia ini dibutuhkan biaya yang cukup banyak baik dalam proses perencanaan maupun dalam proses pelaksanaannya.
Pilot Project Reformasi Birokrasi Pada dasarnya semua instansi pemerintah secara bertahap akan diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Namun akibat terbatasnya anggaran yang dimiliki negara perlu dilakukan pilot project terlebih dahulu, selain untuk dievaluasi dampaknya juga untuk dijadikan pembelajaran (lesson learn) bagi instansi lain yang akan direformasi. Dipilihnya keempat instansi tersebut didasarkan pada pengalaman pelaksanaan reformasi birokrasi oleh negara-negara di Asia, Amerika dan Australia. Dari pengalaman negaranegara tersebut diputuskan bahwa kriteria prioritas pilot project adalah : Lembaga yg mengelola keuangan (tidak seluruhnya tetapi yg rawan KKN), Lembaga yg menangani pemeriksaan keuangan dan penertiban aparatur dan Lembaga/aparat penegakan hukum. Cukup banyak tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan reformasi birokrasi disini jika diurutkan maka tiap instansi harus; (i) Melakukan Analisis Jabatan dan Evaluasi Jabatan dimanadidalamnya terdapat banyak kegiatan mulai dari penyusunan peta jabatan, job description, spesifikasi jabatan, pengukuran beban kerja, klasifikasi jabatan, persyaratan/kompetensi jabatan, job grading dan assesment pegawai; (ii) Review ketatalaksanaan (business process ) agar tersusun Standard Operating Procedure (SOP) yang lebih efisien dan efektif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi; (iii) Penilaian (assesment) status dan kebutuhan SDM (iv) Penetapan Key Performance Indicator(KPI) setiap jabatan atau unit kerja dan (v) Perumusan besaran remunerasi sesuai bobot tugas, wewenang dan tanggung jawab (nilai jabatan) dalam rangka penegakan reward & punishment Tentunya proses-proses tersebut menuntut kesiapan dan membutuh jangka waktu yang panjang. Hingga saat ini pengalaman reformasi birokrasi yang berjalan sesuai tahapan tersebut baru dimiliki oleh Departemen keuangan. Rezising dalam struktur organisasi dan golden shake hand bagi pegawai yang tidak lulus kompetensi merupakan beberapa kondisi yang terjadi di internal departemen keuangan. Peningkatan renumerasi yang kemudian diterima di departemen keuangan diikuti dengan perbaikan SOP dan peningkatan layanan dan juga peningkatan pengawasan. Karena seperti diakui sendiri oleh menteri keuangan, berapapun peningkatan gaji yang diterima oleh pegawai di departemen keuangan tetap belum cukup untuk menghalangi perilaku yang korup karena begitu banyaknya godaan-godaan ataupun tawaran-tawaran suap yang berpuluh bahkan beratus kali lebih besar daripada kenaikan gaji yang diterimanya. Namun setidaknya dengan kenaikan gaji tersebut tidak alasan bagi pegawai di departemen keuangan untuk melakukan korupsi akibat desakan ekonomi (Corruption by needs).
3.4. Kode Etik bagi Penyelenggara Negara : Pasal 8 Berdasarkan definisi yang terdapat dalam UU 31/1999, dan UU 28/1999, di Indonesia terdapat dua issue yang berhubungan dengan pasal 8 UNCAC ini yakni kode etik dan transparansi pejabat publik. Praktek penerapan kode etik dan transparansi pejabat publik ini akan dijelaskan secara terpisah dalam sub bab berikut; Hal penting dalam pemberantasan korupsi di suatu negara adalah perbaikan di sektor publik, dimana perbaikan terhadap penyelenggara negara merupakan bagian penting di dalamnya. Pemerintahan yang bersih hanya dapat terjadi jika para penyelenggara negaranya bersih. Salah satu pintu agar tercipta penyelenggara negara yang bersih adalah melalui penerapan code of conduct yang konsisten. UNCAC sangat menekankan pentingnya pelaksanaan kode etik yang konsisten bagi penyelenggara negara, berdasarkan pasal 8 UNCAC , tiap negara wajib untuk : 1. Meningkatkan integritas, kejujuran dan tanggung jawab dari pejabat publiknya
2. Menerapkan standar perilaku untuk melaksanakan jabatan publik dengan benar, terhormat dan pantas dengan Memperhatikan prakarsa-prakarsa organisasiorganisasi regional, interregional dan multilateral yang terkait, seperti The International Code of Conduct for Public Official yang menjadi salah satu resolusi sidang Umum PBB tanggal 12 desember 1996 3. Menetapkan tindakan-tindakan dan sistem-sistem yang mewajibkan pejabatpejabat publik untuk membuat pernyataan kepada pihak berwajib mengenai antara lain, kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan, investasi-investasi, asetaset dan hadiah-hadiah atau keuntungan-keuntungan, yang dapat menimbulkan konflik kepentingan berkenaan dengan kedudukan mereka sebagai pejabat publik. Dalam konteks Indonesia, telah disepakati bahwa pejabat publik yang dimaksud dalam UNCAC adalah penyelenggara negara. Definisi Penyelenggara Negara adalah leburan antara definisi pegawai negeri seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan definisi penyelenggara negara sesuai Pasal 2 UU no.28/1999 mengenai Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme4. Di Indonesia, kode etik bagi pegawai Negeri Sipil telah diatur dalam Pasal 28 UndangUndang No. 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian. Sedangkan bagi penyelenggara negara yang mungkin saja bukan pegawai negeri, standar berperilaku yang diamanatkan UNCAC paling mungkin didekati dengan ketentuan Pasal 5 UU no.28/1999 dimana penyelenggara negara berkewajiban untuk; tidak melakukan perbuatan KKN, bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN dan perkara hukum lain, bersedia melaporkan dan mengumumkan kekayaannya, dan Melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan adil tanpa membedakan suku agama atau ras. Prinsip-prinsip standar perilaku yang harus diterapkan oleh negara peserta UNCAC harus mengakomodir code of conduct yang telah disepakati secara universal seperti The International Code of Conduct for Public Official yang merupakan resolusi majelis umum PBB. The International Code of Conduct for Public Official 5 berisikan prinsip-prinsip berperilaku bagi penyelenggara negara ini telah diakomodir oleh UU 31/1999 dan UU 28/1999. Secara peraturan/perundangan, pengaturan kode etik memang telah tersedia dalam UU no.43 tahun 1999. Namun belum terdapat upaya internalisasi yang progresif dari seluruh departemen/instansi agar seluruh pegawai negeri yang ada mengikuti kode etik ini. Salah satu buktinya adalah tidak semua instansi memiliki pelatihan rutin/periodikal yang khusus membahas mengenai kode etik termasuk implementasinya. Bagi penyelenggara negara yang bukan pegawai negeri seperti kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum langsung, belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang kode etik yang mengatur standar berperilaku mereka. Jika pasal 8 dalam UNCAC ini dirunut satu persatu maka diperlukan kode etik yang 4 Menurut pasal 1 ayat 2 UU.31/1999, pegawai negeri adalah meliputi (a) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang Undang tentang Kepegawaian, (b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, (c.) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, (d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau (e) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Sementara yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal 2 UU no.28 tahun 1999 meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara; Pejabat negara pada lembaga tinggi Negara; Menteri; Gubernur;Hakim; Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5
Salah satu butir dalam The International Conduct for Public Officialyang berhubungan dengan transparansi antara
lain : III. DISCLOSURE OF ASSETS : 8. Public officials shall, in accord with their position and as permitted or required by law and administrative policies, comply with requirements to declare or to disclose personal assets and liabilities, as well as, ifpossible, those of their spouses and/or dependants. IV. ACCEPTANCE OF GIFTS OR OTHER FAVOURS : 9. Public officials shall not solicit or receive directly or indirectly any gift or other favour that may influence the exercise of their functions, theperformance of their duties or their judgement.
didalamnya mengatur transparansi dari penyelenggara negara, termasuk mengatur gratifikasi dan pelaporan LHKPN. 3.4.1. Tranparansi Penyelenggara Negara Untuk terselenggaranya pemerintahan yang bersih, penyelenggara negara dituntut transparan terutama mengenai kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan. Berdasarkan pasal 8 UNCAC butir 5 berisikan bahwa : “Setiap Negara Wajib wajib berusaha keras untuk, bila sesuai dan sejalan dengan prinspprinsip hukum nasionalnya, menetapkan tindakan-tindakan dan sistem-sistem yang mewajibkan pejabat-pejabat publik untuk membuat pernyataan kepada pihak berwajib mengenai antara lain, kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan, investasi-investasi, aset-aset dan hadiah-hadiah atau keuntungan-keuntungan, yang dapat menimbulkan konflik kepentingan berkenaan dengan kedudukan mereka sebagai pejabat publik”
Seperti telah dijelaskan, pasal 8 butir 5 ini telah diakomodasi dalam wewenang yang harus dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui pasal 13, UU no 30 tahun 2002 melalui kewenangan untuk (a) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dan (b) menerima laporan gratifikasi. Pelaksanaan dari pelaporan LHKPN dan gratifikasi yang menjadi tanggung jawab KPK ini memang belum berjalan secara penuh dan belum dirasakan sebagai suatu kewajiban yang mengikat penyelenggara negara. Untuk itu hingga 6 tahun sejak disahkannya UU, KPK tetap terus menginformasikan mekanisme pelaporan dan mengingatkan kewajiban tersebut kepada seluruh penyelenggara negara melalui berbagai forum sosialisasi. 3.4.1.1 Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 6 Sebenarnya di Indonesia, mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara sudah ada sejak tahun 1957. Melalui Kepres No. 48/1957, Kepala Staf Angkatan Darat pada waktu itu berdasarkan UU no. 74 tahun 1957 tentang keadaan bahaya menetapkan peraturan penguasa militer Prt/PM/06/1957 tentang pemberantasan Korupsi. Aspek penting dari peraturan ini adalah kewajiban bagi setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi untuk ditilik harta bendanya termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan yang diurusnya. Untuk kepentingan tersebut, dibentuklah jabatan penilik harta benda yang diisi oleh para staf penguasa militer atau orang lain yang ditunjuk penguasa militer. Semua penilik dipilih/diseleksi dengan syarat yang ketat untuk kemudian disumpah. Pada tahun 1970, Presiden RI Soeharto menginstruksikan Menteri Kehakiman Oemar Senoadji menyusun peraturan mengenai pendaftaran kekayaan pejabat negara. Dari instruksi tersebut lahirlah Keppres No. 52/1970 tentang pendaftaran kekayaan pribadi pejabat negara/pegawai negeri/ABRI pada tanggal 3 Agustus 1970. Tujuannya untuk mendorong ketertiban, kejujuran dan kebersihan bagi penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya untuk membentuk aparat pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Berdasarkan Keppres ini, disiapkan form Daftar Kekayaan Pribadi (DKP) yang wajib diisi oleh para pejabat negara. Pejabat negara seperti para menteri, kepala/ketua/pimpinan lembaga pemerintah non departemen dan pejabat lain yang bertanggung jawab terhadap presiden, sekertaris jendral, direktur jenderal dan inspektur jenderal serta pejabat lain yang bertanggung jawab langsung dan dibawah menteri, Direksi perusahaan-perusahaan negara serta para gubernur/kepala daerah Tk I harus menyampaikan DKP secara langsung ke presiden. Sementara para pejabat yang berada satu tingkat dibawah para pejabat yang melaporkan DKPnya ke presiden, diharuskan melaporkan DKPnya ke menteri atau pimpinan/ketua lembaga terkait. Untuk memastikan kepatuhan, Kepres 52/1970 juga mengatur bahwa bagi mereka yang tidak mengisi DKP dapat dijatuhi hukuman jabatan/tindakan administratif sesuai UU kepegawaian/hukuman 6 Disarikan dari “Memberdayakan Instrumen Pencegahan Korupsi : Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, 2006, Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Komisi Pemberantasan Korupsi , Publikasi Internal
yang berlaku. Pada 1998, tepat setelah kejatuhan Presiden Soeharto, para anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mengusulkan agar pejabat mengumumkan kekayaan pribadi dan keluarganya sebelum atau sesaat setelah dilantik. Penekanan usulan mereka terletak pada pemberdayaan fungsi pengawasan dengan mengumumkan secara terbuka kekayaan seorang pejabat negara kepada masyarakat serta tidak semata-mata mengandalkan sekertariat negara dan BPKP dalam mengusut jika ditemukan kejanggalan. Usulan itu kemudian bergulir dan mendorong lahirnya Ketetapan (TAP) MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN. Guna mengoperasionalkan TAP MPR tersebut, pada 19 Mei 1999, pemerintah dan DPR membentuk UU no. 28/1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN. Lewat UU tersebutlah KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) dibentuk berikut ditetapkannya berbagai kebijakan penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya. Berdasarkan pasal 2 UU no. 28/1999 berikut penjelasannya, Penyelenggara Negara yang dimaksudkan agar melaporkan kekayaannya di definisikan secara rinci sebagai berikut; 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara 2. Pejabat Negara pada lembaga Tinggi Negara 3. Menteri 4. Gubernur 5. Hakim (yang meliputi hakim di semua tingkatan peradilan) 6. Pejabat negara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota) 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku yang ditentukan, meliputi : a. Direksi, komisaris dan pejabat struktural lainnya pada BUMN dan BUMD b. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan BPPN c. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri d. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan POLRi e. Jaksa f. Penyidik, g. Panitera Pengadilan dan h. Pemimpin dan bendaharawan proyek Untuk mengatur tata cara pemeriksaan dan evaluasi pelaksanaan diterbitkanlah berbagai peraturan pemerintah seperti PP 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan PP 67/1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang KPKPN yang merupakan pengaturan lebih lanjut dan menjadi acuan rinci pelaksanaan tugas dan wewenang KPKPN.7 Selama 2 tahun bekerja, KPKPN berhasil meletakkan dasar bagi mekanisme pelaporan kekayaan PN yang komprehensif. Namun tidak dapat dipungkiri ketika wewenang dan kinerja KPKPN ini mulai menyentuh kepentingan para penyelenggara negara yang berpengaruh, ancaman terhadap keberlangsungan lembaga mulai menguat. Momentumnya adalah ketika pasal 71 ayat (2) UU no. 30/2002 yang diberlakukan pada 27 Desember 2002, KPKPN secara resmi dibubarkan dan dinyatakan melebur dalam bidang pencegahan KPK. Pembubaran dan peleburan KPKPN ke dalam KPK di satu sisi berimplikasi positif untuk memperkuat koordinasi dan meningkatkan efisiensi namun diakui juga terdapat beberapa hal yang relatif melemahkan mekanisme pelaporan kekayaan, dimana terdapat
pengurangan kewenangan secara signifikan. Dengan dicabutnya pasal 10-19 UU no.28/1999 oleh pasal 71 ayat (2) UU no.30/2002 maka berbagai PP yang dulunya menjadi acuan kerja bagi KPKPN menjadi tidak berlaku lagi. Bagaimanapun, mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara tetap dijalankan secara serius oleh KPK. Diluar kelemahan akibat peleburan KPKPN ke KPK, tetap dijumpai kelebihan seperti koordinasi antara pencegahan dan penindakan yang ternyata memang lebih kuat. Peran pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara ini menjadi penting, karena setelah berlangsung cukup lama di Indonesia dapat diinventarisir bahwa tujuan yang dapat dicapai melalui mekanisme pelaporan ini antara lain; (i) Menguji integritas Penyelenggara negara dan calon penyelenggara negara; (ii) Menimbulkan rasa takut di kalangan penyelenggara negara untuk korupsi; (iii) Menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan dan tanggung jawab (karakter etis) di kalangan PN; (iv) Mendeteksi (potensi) konflik kepentingan antara tugas-tugas publik penyelenggara negara dengan kepentingan pribadiny; (v) Menyediakan bukti awal dan atau bukti pendukung bagi penyidikan dan penuntutan perkara korupsi; (vi) Meningkatkan kontrol masyarakat terhadap penyelenggara negara. Berbagai tujuan ini akan dapat terlaksana jika didukung oleh mekanisme yang baik dan perangkat hukum yang memadai. Peran UNCAC cukup signifikan dalam usaha Indonesia dalam hal ini KPK untuk memperbaiki tingkat efektifitas pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara sebagai instrumen yang berguna bagi pencegahan korupsi. Karena selain mendesak terbentuknya mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara UNCAC juga merekomendasikan negara peratifikasi untuk menerapkan dan mengatur sanksi yang efektif bagi penyelenggara negara yang tidak patuh. Pasal 8 butir (6) UNCAC menyebutkan bahwa “setiap negara peserta harus mempertimbangkan untuk mengambil, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasional, tindakan-tindakan indisipliner atau tindakan-tindakan lain terhadap pejabatpejabat publik yang melanggar aturan-aturan atau standar-standar yang ditetapkan dengan pasal ini Dari pasal ini terlihat bahwa dalam aturan penyelenggara negara untuk transparan diperlukan pula mekanisme sanksi yang memadai untuk “menekan” efektifitas aturan tersebut. Dalam pelaksanaan pelaporan LHKPN sendiri, salah satu akar masalah mengapa sebagian besar tujuan penerapan mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara ini tidak tercapai adalah lemahnya sanksi hukum bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan, atau melaporkan kekayaan dengan tidak benar. Sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN hanya berupa sanksi administratif dan tidak mengikat keseluruhan penyelenggara negara. Berdasarkan pasal 20 ayat (1) UU no.28/1999 menyatakan bahwa setiap PN yang melanggar ketentuan pasal 5 angka 1,2,3,5 atau 6 dikenakan sanksi administratif yang berlaku. Lantaran sanksi administratif yang paling tinggi adalah pemecatan, maka sanksi tersebut hanya dapat dikenakan terhadap penyelenggara negara yang berstatus sebagai pegawai negeri baik sipil maupun anggota TNI atau POLRI. Sebab hanya penyelenggara negara dengan kategori tersebutlah yang masuk dalam wilayah pengaturan administrasi negara, baik sistem kepegawaiannya maupun pendisiplinannya. Sanksi administratif sulit diterapkan pada penyelenggara negara yang berasal dari pejabat negara, khususnya mereka yang dipilih maupun diangkat melalui mekanisme politik. Saat ini sanksi yang ada belum dikaitkan dengan pelanggaran sumpah jabatan maupun penilaian kinerja. Hampir semua peraturan perundangan yang mengatur jabatan publik mencantumkan sumpah/janji, yang kurang lebih berbunyi sama yakni; “ Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: “.....Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab...”
Dengan adanya sumpah/janji penyelenggara negara untuk mengamalkan dan mentaati peraturan perundangan yang berlaku, maka ketidaktaatan penyelenggara negara terhadap kewajiban wajib lapor bisa diartikan sebagai pelanggaran sumpah. Namun tidak semua peraturan perundangan yang mengatur jabatan tertentu memasukkan pelanggaran sumpah sebagai dasar bagi pemberhentian secara tidak hormat. Selain itu masalah pemberhentian dengan tidak hormat dengan alasan melanggar sumpah juga tidak diatur secara rinci sehingga sulit untuk dijalankan. Sanksi juga tidak dikaitkan dengan penilaian kinerja. Hingga saat ini manfaat langsung bagi penyelenggara negara yang melaporkan belum dirasakan. Berbagai PP di bidang kepegawaian, seperti PP no.9/2000 tentang kenaikan pangkat PNS dan PP no.96/2000 tentang mutasi PNS, meski dibentuk setelah berlakunya UU no.28/1999 juga belum mengaitkan antara sistem kepegawaian dengan kewajiban PN melaporkan kekayaannya. Selama ditangani oleh KPK, mekanisme penyelenggaraan laporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara ini cenderung membaik. Sosialisasi pentingnya LHKPN terus dilakukan, pengelolaan LHKPN yang tertunda (backlog) terus diantisipasi, dan tindak lanjut telaah pelaporan LHKPN untuk dijadikan bukti awal dan bukti pendukung dari proses dari penyidikan dan penuntutan perkara korupsi terus diupayakan. Untuk terus mengupayakan kepatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan kekayaannya ke KPK, Selain melalui berbagai bimbingan teknis ke instansi, penyebaran formulir dan pemanggilan pejabat ke KPK, KPK berinisiatif untuk memberikan LHKPN award kepada instansi yang memiliki pengelolaan LHKPN terbaik. Di tahun 2007 3 instansi yang terpilih untuk mendapatkan LHKPN award dari KPK adalah (a) Badan Pusat Statistik, (b) Departemen Perhubungan; (c.) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Tabel 3.1 Jumlah pelaporan LHKPN Tahun
Jumlah wajib lapor LHKPN
Laporan LHKPN % Pelaporan yang disampaikan
2007
84,978
76979
90,58
2006
86468
76455
88,42
2005
116649
65448
56,11
2004
113826
56274
49,44
88823
43668
49,16
2003
Sumber : Laporan Tahunan KPK
Cukup banyak hasil dari telaah LHKPN ini yang dijadikan bahan bagi KPK sebagai sumber informasi utama dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus korupsi yang ditangani. Pelaporan LHKPN yang dikelola oleh KPK juga mampu mendeteksi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan asset negara seperti berpindahnya aset negara ke oknum penyelenggara negara yang selama ini belum terdeteksi. Perbaikan mekanisme pelaporan dan penelaahan LHKPN ini terus diusahakan oleh KPK,karena cukup banyak manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dari LHKPN. Selain transparansi penyelenggara negara, database yang kaya dan 3.4.1.2. Gratifikasi 3.1. Institusi Relevan yang terlibat dalam pencegahan Korupsi (pasal6) (Institusi apa saja yang relevan dalam pencegahan korupsi; Mis : KPK, MenPan, Depdagri-layanan publik, BPKP) 3.2. Kebijakan sehubungan dengan pencegahan korupsi (pasal 5) Inpres 5 2004 (ttg percepatan pemberantasan korupsi); Kebijakan Deputi Pencegahan KPK; 3.3. Sektor Publik (pasal 7) 3.3.1. Rekrutmen, Karir, Sistem pensiun dan Sistem penggajian dan Pelatihan
PNS 3.3.2. Kode Etik bagi Penyelenggara Negara (ps.8) a. Kode etik b. Pelaporan LHKPN (Transparansi pejabat publik) Ps.8.5 c. Pelaporan Gratifikasi (Transparansi pejabat publik) Ps 8.5 d. Pelaksanaan kode etik di lingkungan peradilan pasal 11 3.3.2. Pengadaan dan Manajemen Keuangan Publik (Ps.9) a. Perbaikan Pengadaan Barang dan Jasa : Pelaksanaan e-procurement dan e-announcement kita sudah fully compliance kata UNODC b. Transparansi Anggaran dan Partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran, dan Manajemen berbasis kinerja 3.3.3. Transparansi layanan dan Public Complaint (Ps.10) a. Perbaikan layanan (Penyederhanaan prosedur dan transparansi b. Ketersediaan media dan sarana Public Complaint c. Komisi Ombusdman; sebagai contoh atas kegagalan sistem yang diadopsi pemerintah 3.4.Sektor Swasta (pasal 12) 3.4.1. Pencegahan Korupsi di Sektor Swasta 3.4.2. Implementasi GCG di sektor swasta 3.4.3. Strategi Pencegahan di sektor swasta 3.5. Partisipasi publik dalam Pencegahan Korupsi (Pasal13) 3.5.1. Pendidikan anti korupsi Sebagai bagian dari pelaksanaan tugas pencegahan tindak pidana korupsi, KPK mempunyai tugas menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan. Tugas ini akan menemui banyak kendala, terutama berkenaan dengan belum terakomodir dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Padahal sebagai undang-undang yang lahir kemudian setelah Undang-Undang KPK mestinya semangat ini telah dirumuskan secara ekplisit. 3.5.2. Pakta Integritas 3.5.3. Peran civil society dalam melaporkan kasus korupsi 3.5.4. Aktifitas penyebaran informasi mengenai Korupsi
Pertimbangan Gap Analysis UNCAC dengan Hukum Indonesia BAB IV KRIMINALISASI Pasal 15: Penyuapan pejabat publik dalam negeri [MANDATORY] Gap Analysis berpendapat bahwa ketentuan ini sudah dipuaskan pasal-pasal 5 dan 6 UU No. 31/99. Pasal 16: Penyuapan pejabat publik luar negeri dan pejabat publik organisasi internasional [AYAT (1) MANDATORY; AYAT (2) NON-MANDATORY Konsep kriminalisasi penyuapan pejabat publik luar negeri belum tercantum dalam hukum Indonesia. Dalam pasal ini, tindakan-tindakan yang perlu dikriminalisasikan adalah pengundangan (solicitation) suap oleh pejabat publik luar negeri/organisasi internasional (AYAT 2 – NON MANDATORY), serta penawaran suap kepada pejabat publik luar negeri/organisasi internasional oleh pihak manapun (AYAT 1 - MANDATORY). Konsep ini serta pelaksanaannya sudah mulai umum di negara maju, terutama di Amerika setelah dikeluarkannya UU Praktek Korupsi Luar Negeri (FCPA). Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa ketentuan ini perlu dibuat eksplisit dalam UU Anti-korupsi, karena ketentuan ini akan merubah subyek dari UU tersebut, sehingga merangkup pengundangan (solicitation) suap oleh seorang warga asing pejabat publik/organisasi internasional di Indonesia, serta warga negara Indonesia yang melakukan penyuapan warga asing pejabat publik/organisasi internasional di negara asing. Secara umum, Gap Analysis mengingatkan bahwa KUHP berdasarkan prinsip teritorial dalam pasal 2-nya, memungkinkan pemrosesan secara pidana seorang pejabat publik asing/pejabat publik organisasi internasional yang melakukan tindak pidana di Indonesia. Pasal 17: Pencurian (Embezzlement), Misapropriasi dan Pengalihan Properti lainnya oleh pejabat publik [MANDATORY] Gap Analysis berpendapat bahwa ketentuan ini sudah dipuaskan pasal-pasal 8, 9 dan 10 UU No. 31/99. Pasal 18: Kemudahan yang didapat secara Korup (Undue Advantage) [NON-MANDATORY] Gap Analysis membandingkan ketentuan ini dengan pasal 3 UU No. 31/99. Perbedaan utama antara ketentuan ini dengan pasal tersebut adalah bahwa ketentuan ini menghimbau dipidanakannya penerimaan serta penawaran “undue advantage” yaitu suatu 'kemudahan' dari pihak publik yang berwenang: pasal 3 UU 13/99 memerlukan adanya kerugian negara sebelum seseorang dapat dipidanakan, sementara dalam ketentuan UNCAC ini tidak perlu ada kerugian negara, hanya adanya penawaran/penerimaan suatu 'kemudahan' dari seorang pihak publik yang berwenang. Gap Analysis berpendapat bahwa definisi “undue advantage” perlu dimasukkan dalam amandemen UU anti-korupsi. Pasal 19: Penyalahgunaan Tupoksi [NON-MANDATORY] Gap Analysis berpendapat bahwa ketentuan ini sudah dipuaskan pasal 2 UU No. 31/99.
Pasal 20: Kekayaan Tidak Sah (Illicit Enrichment) [NON-MANDATORY] Konsep ancaman hukuman pidana kepada pejabat publik yang tidak dapat memberi keterangan atas kekayaan yang dimilikinya belum eksplisit dalam UU Indonesia, walaupun prinsipnya sudah tercakup dalam pasal 2 UU No. 31/99. Gap Analysis berpendapat bahwa harmonisasi dengan ketentuan ini sangat diperlukan demi memberi 'gigi' peraturan LHKPN yang kini ada, dan menambah bahwa ketentuan 'asas pembuktian terbalik' dalam konteks 'illicit enrichment' sudah dimasukkan dalam amandemen UU Anti-korupsi. Pasal 21: Penyuapan di Sektor Swasta [NON-MANDATORY] UU Anti-korupsi Indonesia versi sekarang belum mencakup pemidanaan oleh KPK suatu TPK yang murni dilakukan pihak swasta. Ketentuan pasal 21 (non mandatory) adalah kriminalisasi pemberian dan permintaan “undue advantage” dari atau kepada suatu entitas swasta, dan entitas tersebut adalah subyek dari ketentuan kriminalisasi ini. Gap Analysis berekomendasi bahwa entitas sektor swasta yang banyak berkecimpung dalam aktivitas yang menyangkut ekonomi negara, bidang keuangan, dan komersil, paling beresiko korupsi; saat ini, pasal 2 atau 3 UU No. 31/99 j/o UU No. 20/01 hanya menyentuh pihak swasta yang berhubungan dengan suatu tindak korupsi oleh pejabat negara/penegak hukum, jadi konsep utama pasal ini, yaitu mengkriminalisasikan TPK yang murni terjadi di sektor swasta, belum diundang-undangkan. Pasal 22: Pencurian (Embezzlement) Properti di Sektor Swasta [NON-MANDATORY] Konsep pasal ini adalah dikriminalisasikannya, di bawah UU anti korupsi, embezzlement yang murni terjadi di sektor swasta. Gap Analysis menyarankan supaya ini dimasukkan amandemen UU No. 31/99 j/o UU No. 20/01. Pasal 23: Pencucian (Laundering) Hasil Korupsi [MANDATORY] Konsep pasal ini adalah dimasukkannya pasal-pasal anti-pencucian uang (yang sudah ada dalam UU tentang Pencucian Uang yaitu UU No.15/02 dan UU No. 25/03) ke dalam amandemen UU Antikorupsi – Gap Analysis menyarankan hal ini. Ketentuan pasal ini memberi fokus terhadap kriminalisasi aksi sebagai berikut: (1)(a)(i) mengkonversi atau mentransfer properti yang diketahui pada saat konversi dst. adalah hasil kejahatan demi 'mencuci' properti tersebut; (1)(a)(ii) usaha menyembunyikan/menyelundupi bentuk, lokasi, asal, disposisi, mobilisasi, atau kepemilikan properti yang diketahui pada saat penyembunyian dst. adalah hasil kejahatan; (1)(b)(ii) akuisisi, kepemilikan, atau penggunaan properti yang diketahui pada saat akuisisi dst. adalah hasil kejahatan; (1)(b)(iii) partisipasi dalam, asosiasi dengan, atau bentuk kerjasama lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang dijabarkan dalam pasal ini. Ayat (2) dalam pasal ini mengatur agar ketentuan-ketentuan dalam pasal ini didukung alat hukum sejauh mungkin di Negara Anggota. Pasal 24: Penyembunyian (Concealment) Properti [NON-MANDATORY] Konsep pasal ini adalah kriminalisasi aksi penyembunyian/penyelundupan properti hasil kejahatan, di mana pelaku tidak terlibat dalam kejahatan pencurian itu sendiri. Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa ketentuan ini sudah tercakup dalam UU Anti Pencucian Uang (UU No.15/02 dan UU No. 25/03), dan perlu dimasukkan ke dalam amandemen UU Anti-korupsi. Pasal 25: Penghalangan Peradilan (Obstruction of Justice) [MANDATORY]
Konsep pasal ini adalah kriminalisasi ancaman fisik ataupun mental, dan aksi suap menyuap yang dilakukan untuk menghambat proses penegakan hukum. Ayat (a) merupakan ketentuan general yang mencakup semua orang yang melakukan aksi ancaman/suapan; ayat (b) merupakan ketentuan khusus terhadap pejabat penegak hukum yang melakukan aksi tersebut. Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa pasal ini sudah dipenuhi pasal 21 UU No. 31/99 j/o UU No. 20/01. Pasal 26: Entitas Legal (Perusahaan) sebagai Tersangka (Liability) [MANDATORY] Konsep pasal ini adalah diciptakannya liabilitas pidana entitas legal, seperti perusahaan, atas tindakantindakan pidana sebagaimana diatur dalam Konvensi ini. Gap Analysis mengamat bahwa liabilitas 'corporation' sebagai terdakwa dalam kasus korupsi sudah tercantum dalam UU No.31/99 j/o UU No.20/01 (pasal 1(1) dan pasal 2; pasal 20); Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa dalam UU tersebut perlu ada klarifikasi beban tanggungjawab perusahaan versus beban tanggungjawab manager secara individu. Perlu diperjelas juga seluas apa ruang lingkup 'Entitas Legal' yang dimaksud dalam pasal ini; apakah sebatas bentuk 'corporation' saja. Pasal 27: Partisipasi Dalam TPK dan Tindakan-Tindakan pra-TPK (Participation and Attempt) [AYAT (1) MANDATORY; AYAT-AYAT (2) DAN (3) NON-MANDATORY] Ayat (1) pasal ini menjabarkan kriminalisasi mandatory untuk partisipasi dalam TPK, sementara ayatayat (2) dan (3) menjabarkan kriminalisasi non-mandatory untuk tindak-tindak pra-TPK seperti usaha TPK yang gagal/digagalkan sebelum berhasil dan usaha persiapan untuk TPK. Gap Analysis mengamat bahwa setidaknya ayat (1) pasal ini sudah tercakup dalam pasal-pasal 12(i) dan 15 UU 31/99 j/o UU 20/01.Gap Analysis memberi rekomendasi supaya peraturan kriminalisasi partisipasi yang sudah ada di UU tersebut dipertahankan. Gap Analysis tidak menganalisa apakah ayat (2) dan (3) perlu diberlakukan di Indonesia. Ayat (2) pasal ini adalah ketentuan non-mandatory untuk peng-kriminalisasian TPK yang gagal atau digagalkan ('attempt'), sedangkan ayat (3) pasal ini adalah ketentuan non-mandatory untuk pengkriminalisasian tindakan-tindakan persiapan/perencanaan TPK. Pasal 55 dan 56 KUHP, yang dikutip dalam Gap Analysis, tidak memberi ketentuan apapun yang relevan dengan ayat (2) dan (3). Pasal 28: Pengetahuan, [MANDATORY]
Maksud,
dan
Tujuan
sebagai
Elemen-elemen
Pelanggaran
Konsep pasal ini adalah dimasukannya pengetahuan (knowledge), maksud (intent), dan tujuan (purpose) sebagai elemen-elemen TPK dalam UU anti-korupsi Indonesia, di mana elemen-elemen tersebut secara hukum dapat di-inferensikan dari situasi fakta yang objektif. Gap Analysis mengamati bahwa elemen-elemen tersebut sudah muncul dan diaplikasikan di tahap-tahap tertentu acara pidana, dan elemen-elemen tersebut duah diatur perannya dalam KUHAP (belum ketemu). Gap Analysis kemudian memberi rekomendasi supaya elemen-elemen tersebut dimasukkan ke dalam amandemen UU Anti-korupsi. Gap Analysis menyebut bahwa pasal ini non-mandatory. Pasal 29: Masa Kadaluarsa (Statute of Limitations) [MANDATORY] Konsep pasal ini adalah supaya diadakannya masa kadaluarsa yang 'lama' untuk TPK, serta masa kadaluarsa yang diperpanjang lagi dalam hal tersangka TPK berhasil kabur dari proses pidana. Gap Analysis, selain menyatakan bahwa sistem kadaluarsa di Indonesia berbeda cara kerjanya, tidak
memberi rekomendasi. PERLU DI FOLLOW UP Pasal 30: Penuntutan, Adjudikasi, Sanksi-sanksi [AYAT-AYAT (1), (2), (3), (4), (5), (6), (8), dan (9) MANDATORY (AYAT (7) NON-MANDATORY)] 1. Konsep ayat (1) adalah supaya sanksi terhadap pelanggaran dalam Konvensi ini sesuai dengan berat pelanggaran tersebut. Gap Analysis mengamati bahwa hal ini sudah umum dilakukan dalam proses hukum pidana di Indonesia, dan memberi rekomendasi supaya ketentuan dan praktek yang sudah ada supaya dipertahankan. Ayat (8) dalam pasal ini menambah bahwa operasi ayat (1) supaya tidak mengesampingkan kewenangan memberi sanksi/disiplin oleh atasan yang berwenang. 2. Konsep ayat (2) adalah supaya UU Negara Anggota menyeimbangkan pertimbangan imunitas pejabat negara dalam pelaksanaan tugas mereka dengan berlangsungnya proses hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran sesuai dengan Konvensi ini. Gap Analysis mengamati bahwa pasal 25, 28, 29 dan 38 UU 31/99 j/o UU 20/01 adalah pasal-pasal di mana pemrosesan kasus pidana diprioritaskan (25), atau di mana keseimbangan antara penegakan hukum vs. imunitas pejabat negara telah dipertimbangkan dan hasilnya proses penegakan hukum dipermudah (28, 29, 38). Belum ada peraturan khusus di mana diatur pertimbangan keseimbangan antara imunitas pejabat negara versus penegakan hukum. 3. Konsep ayat (3) adalah supaya segala alat hukum dalam hal penuntutan digunakan se-maksimal mungkin dalam menuntut pelanggaran-pelanggaran terhadap Konvensi ini. Gap Analysis mengamati bahwa UU No. 8/1981 pasal-pasal 50 s/d 68 memberi pada tersangka dan terdakwa – namun tidak menerangkan kenapa pasal-pasal tersebut perlu diamati. Kemungkinan besar demi menunjukkan batasan-batasan yang diberikan UU No. 8/1981 terhadap operasi pasal 30 ayat (3) ini. Yang perlu dikaji lebih lanjut adalah seberapa jauh ayat (3) ini bisa diberlakukan mengingat amandemen terhadap UU No. 31/99 j/o UU No. 20/01, serta mengingat prinsipprinsip Konvensi ini. 4. Konsep ayat (4) adalah supaya UU Indonesia sedemikian rupa mendukung kondisi di mana tersangka gerak-geriknya terpantau dan terkendali demi menjamin kehadirannya di acara-acara hukum yang belum berjalan, dalam situasi di mana tersangka tidak ditahan sebelum acara pengadilan, atau sedang menunggu proses banding di luar rumah tahanan. Terciptanya kondisi seperti ini dikualifikasi dalam ayat (4) dengan pertimbangan terhadap hak-hak pembelaan tersangka. 5. Konsep ayat (5) adalah supaya dalam mempertimbangkan untuk membebaskan terdakwa sebelum masa tahanan maksimal selesai (parole/pelepasan bersyarat dan masa percobaan), dipertimbangkan bobot (gravitas) dari pelanggaran terdakwa. Gap Analysis mengamat bahwa pelepasan bersyarat dan masa percobaan telah diatur dalam KUHP pada pasal-pasal 15, 15(a), 15(b) dan 16, dan Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa pasal-pasal tersebut sudah cukup untuk mendukung ayat (5) ini. Namun, KUHP belum secara eksplisit menentukan bahwa dalam pertimbangan pelepasan bersyarat, perlu dipertimbangkan bobot dari pelanggaran terdakwa – yang secara eksplisit ditentukan adalah pertimbangan tersebut berdasarkan jaminan bahwa terdakwa tidak akan mengulang perbuatannya. Pendek kata, KUHP belum sesuai dengan ketentuan ayat (5) pasal 30 ini. 6. Konsep ayat (6) adalah diadakannya prosedur untuk pemecatan, pen-skorsan, atau pemindahan pejabat yang dituduh melanggar Konvensi ini, oleh atasan yang berwenang, dengan mempertimbangkan asas praduga tak bersalah. Gap Analysis mengamat bahwa UU No. 43/1999 dalam pasal 24-nya mengatur tentang skors sementara PNS yang terlibat dalam kasus pidana. Gap Analysis menekankan bahwa aplikasi ayat ini dalam UU akan melanggar asas praduga tak bersalah, dan memberi rekomendasi bahwa ketentuan ini tidak perlu diaplikasikan di luar kasus-
kasus di mana proses penyelidikan oleh pihak penegak hukum mengganggu pekerjaan/pelayanan publik. [TAMBAHAN APA?] 7. Konsep ayat (7) (NON-MANDATORY) adalah supaya diadakannya prosedur diskualifikasi siapapun yang menjadi terdakwa pelanggaran-pelanggaran Konvensi ini dari (a) menjabat posisi publik; dan (b) menjabat posisi di BUMN. Gap Analysis mengamat bahwa pasal 23 UU No. 43/1999 sudah mengatur sanksi pemberhentian tidak terhormat untuk PNS yang didakwa pidana. Gap Analysis juga mengamati bahwa aplikasi perlu diperlengkap dengan klarifikasi untuk TPK apa saja perlu ditentukan sanksi pemberhentian tidak terhormat tersebut. Gap Analysis member rekomendasi bahwa ayat ini perlu diaplikasikan. 8. Konsep ayat (9) adalah bahwa 'penggambaran' (description) dalam UU Negara Anggota tentang pelanggaran-pelanggaran Konvensi adalah yurisdiksi sistem hukum setempat. Gap Analysis menambah bahwa yang penting adalah ditingkatkannya kepastian hukum dalam hal penegakan hukum anbti korupsi. 9. Konsep ayat (10) adalah supaya negara anggota berusaha mempromosikan re-integrasi pelanggar Konvensi ke masyarakat – Gap Analysis tidak menanggapi hal ini. KUHP dan UU anti-korupsi juga belum menentukan bagaimana terdakwa yang sudah bebas dapat diintegrasikan lagi ke dalam masyarakat. Ayat ini menentukan suatu hal yang biasanya bukan wilayah hukum, namun kebijakan umum pemerintah. Pasal 31: Pembekuan, Perampasan dan Penyitaan (Freezing, Seizure and Confiscation) [AYATAYAT (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (9), DAN (10) MANDATORY; AYAT (8) NON-MANDATORY] 1. Konsep ayat (1) adalah supaya UU Negara Anggota sepenuhnya mendukung prosedur penyitaan: (a) hasil korupsi, atau properti yang nilainya sesuai dengan aset negara yang dikorup; dan (b) properti, peralatan, atau alat/instrumen lainnya yang digunakan, atau akan digunakan untuk melakukan pelanggaran Konvensi ini. Gap Analysis mengamati bahwa prosedur penyitaan telah didukung UU 31/99 j/o UU 20/01, terutama pasal-pasal: 30 tentang kewenangan penyelidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat-surat; 38(b) tentang penyitaan properti oleh negara; 29(4) dan (5) tentang pembekuan/pemblokiran rekening bank; dan 37 tentang pembuktian terbalik. Gap Analysis menambah bahwa pasal 39 UU No. 8/81 juga sudah mengatur tentang benda-benda apa saja yang dapat disita (pendek kata, segala benda yang berhubungan dengan tindak pidana) – pasal 46 UU No. 8/81 juga diangkat dalam Gap Analysis sebagai alat pengembalian aset kepada negara. Inti dari ayat (1) adalah pemberdayaan instrumen hukum Negara Anggota demi melancarkan dan memastikan aktivitas penyitaan hasil korupsi atau ekuivalennya. Gap Analysis mengamati bahwa UU No. 8/81 berlaku di mana UU No. 31/99 j/o UU No. 20/01 tidak secara eksplisit berlaku. Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa UU 31/99 j/o UU 20/01 beserta UU 8/81 sudah dengan cukup menentukan tentang hal penyitaan hasil korupsi. 2. Konsep ayat ini adalah supaya Negara Anggota mendukung diadakannya proses identifikasi, pelacakan, pembekuan atau perampasan (seizure) barang apapun yang disebut dalam ayat (1). Gap Analysis juga memberi rekomendasi bahwa proses tersebut sudah didukung oleh UU dan peraturan yang sudah ada. 3. Konsep pasal ini adalah supaya UU dan peraturan-peraturan Negara Anggota mengatur tentang administrasi, oleh pihak berwenang yang kompeten, atas properti yang dibekukan, dirampas (seized) atau disita berdasarkan ayat (1) dan (2) di atas. Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa hal tersebut sudah dipenuhi UU Indonesia, namun tidak memberi contoh spesifik. [PERLU DICEK SETIAP BADAN BERWENANGNYA] 4. Konsep ayat ini adalah supaya UU dan paraturan-peraturan Negara Anggota mengatur agar segala properti yang diperoleh melalui hasil korupsi dapat menjadi obyek ayat-ayat pasal ini.
Sekali lagi, Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa UU dan peraturan-peraturan Indonesia sudah memadai. [PERLU DICEK HUKUM PROPERTI] 5. Konsep ayat ini adalah supaya UU dan peraturan-peraturan Negara Anggota mengatur agar hasil korupsi yang dijadikan sebagian dari sebuah properti (di mana properti tersebut bukan hasil korupsi), tidak menutup jalan bagi Negara Anggota untuk tetap menyita (SEBAGIAN?) properti tersebut sesuai dengan nilai hasil korupsi, melalui metode-metode pembekuan ataupun perampasan yang diatur dalam pasal ini. [PROSESNYA PASTI KOMPLEKS – NAMUN GAP ANALYSIS TIDAK MEMBERI ANALISA LEBIH MENGENAI HAL INI] 6. Konsep ayat ini meneruskan konsep ayat (5), dengan mengatur supaya segala penghasilan dari properti di mana terdapat unsur hasil korupsi, dapat disita sebagai hasil korupsi juga, sejauh penyitaan sesuai dengan nilai dari hasil korupsi. [PROSESNYA JUGA AKAN KOMPLEKS] 7. Konsep ayat ini adalah supaya pengadilan-pengadilan dan penegak hukum negara anggota dalam bidang korupsi diberi wewenang untuk mendapatkan catatan bank, finansial, atau komersial dari institusi yang tersangkut – ini berarti pihak bank tidak bisa menggunakan asas kerahasiaan bank untuk menolak memberikan dokumen catatan tersebut. [GAP ANALYSIS TIDAK MENGANALISA HAL INI] 8. Konsep ayat ini adalah supaya UU Negara Anggota memberi beban kepada pelanggar untuk membuktikan kesah-an harta miliknya yang disangka hasil korupsi. 9. Konsep ayat ini adalah supaya hak-hak pihak ketiga tidak dikesampingkan dengan beroperasinya pasal ini. [JUGA HAL YANG KOMPLEKS] 10. Konsep ayat ini adalah bahwa segala ketentuan dalam pasal ini pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum Negara Anggota. Banyak unsur-unsur dari pasal ini yang sebetulnya merujuk ke proses-proses kompleks yang kurang ditelaah oleh Gap Analysis, terutama tentang hasil korupsi yang dicampur-baur ke dalam properti yang mungkin diperoleh secara sah, serta tentang hak pihak ke-tiga. Pasal 32: Perlindungan Saksi, Pakar dan Korban [AYAT-AYAT (1), (2), (4), DAN (5) MANDATORY; (AYAT (3) NON-MANDATORY)] 1. Konsep ayat (1) adalah supaya diadakan jaminan perlindungan kepada saksi dan saksi pakar yang memberi kesaksian dalam proses acara pengadilan (serta keluarga dan kerabat mereka), dari segala potensi usaha pembalasan atau intimidasi. Gap Analysis mengamati bahwa belum ada UU perlindungan saksi khusus dalam area TPK; yang sudah ada yaitu Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; mengenai UU tersebut, Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa perlu ada aksi konkrit dan cepat untuk melaksanakan ketentuanketentuan UU tersebut, terutama dibentuknya suatu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai Bab III UU tersebut. Gap Analysis juga memberi rekomendasi bahwa opsi perlindungan saksi khusus dalam konteks TPK perlu dipertimbangkan. 2. Dalam ayat (2), dijabarkan proses-proses standar (due process) yang perlu ditentukan dalam UU dan peraturan: secara spesifik, sub-ayat (1) adalah penjabaran prosedur perlindungan fisik, sementara sub-ayat (2) adalah penjabaran prosedur pemberian kesaksian yang mendukung perlindungan saksi. 3. Konsep ayat (3) (non-mandatory) adalah supaya Negara Anggota bekerjasama dengan Negara Anggota lain untuk merelokasikan seorang yang dilindungi berdasarkan pasal ini. 4. Ayat (4) menekankan bahwa ketentuan-ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk korban, dalam situasi di mana mereka juga merangkap saksi. 5. Konsep ayat (5) adalah supaya ketentuan prosedur perlindungan saksi mencakup akomodasi (pertimbangan) terhadap pendapat dan keluhan korban pada tahap-tahap tertentu acara pidana.
Pasal 33: Perlindungan Pelapor [NON-MANDATORY] Pasal ini menjabarkan ketentuan non-mandatory untuk mengatur perlindungan pelapor melalui UU Negara Anggota. Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa hal ini sudah ditentukan dalam UU dan peraturan-peraturan Indonesia (pasal 31 UU No.31/99 dan UU 13/2006 – apabila pelapor sudah menjadi saksi). Yang masih perlu dipertimbangkan lebih jauh apabila pasal ini akan diberlakukan secara benar di Indonesia adalah perlindungan saksi sebagai entitas terpisah dari saksi, contohnya, bagaimana menjamin pelaporan secara anonim. Pasal 34: Konsekuensi TPK terhadap Pihak Ketiga [MANDATORY] Konsep pasal ini adalah supaya negara anggota menerapkan langkah-langkah hukum terhadap konsekuensi TPK terhadap hak-hak pihak ke-tiga. Contoh yang diberikan Konvensi adalah TPK sebagai faktor peng-anuliran kontrak, konsesi, atau instrumen persetujuan lainnya, ataupun bentuk remedial lain yang melindungi hak pihak ke-tiga yang dilibatkan dalam TPK. Gap Analysis mengamati bahwa ketentuan ini belum teratur dalam UU Indonesia, dan perlu dicakup dalam amandemen UU Anti-korupsi. Pasal 35: Uang Pengganti (Compensation for Damages) [MANDATORY] Konsep pasal ini adalah jaminan Negara Anggota, melalui alat-alat hukumnya, supaya setiap orang yang dirugikan oleh suatu TPK boleh memulai suatu acara hukum atas pihak yang menyebabkan kerugian yang dideritanya, demi mendapatkan uang pengganti dari pihak tersebut. Gap Analysis mengamati bahwa pasal 98-101 dalam Bab XIII UU No. 8/81 tentang KUHP sudah mengatur tentang mekanisme hukum acara yang memungkinkan korban sebuah TPK untuk mencari ganti rugi dari pihak yang merugikannya.Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa hak untuk menuntut ganti rugi dalam bentuk uang pengganti perlu diperjelas dalam peraturan yang ada: secara spesifik, bahwa hak tersebut duduk di seseorang atau suatu badan yang telah dirugikan oleh TPK. Pasal 36: Badan Spesial Anti Korupsi [MANDATORY] Pasal ini sudah dipenuhi dengan dibentuknya KPK; Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa UU tentang KPK serta tupoksi KPK perlu di-review supaya bisa dijamin sesuai dengan arahan UNCAC. Gap Analysis memberi contoh bahwa dalam bidang Asset Recovery KPK masih harus diperkuat. Pasal 37: Kerjasama dengan Lembaga-lembaga Penegak Hukum [AYAT (1) MANDATORY, AYAT-AYAT (2), (3), (4), DAN (5) NON-MANDATORY Konsep pasal ini adalah pemberian konsesi-konsesi kepada seorang pelanggar Konvensi ini yang membantu usaha anti-korupsi penegak hukum. Dalam ayat (1) yang mandatory, kata yang dipakai Konvensi adalah 'encourage', yaitu pemberian insentif bagi pelaku supaya ia lebih mau bekerjasama dengan penegak hukum. Ayat-ayat (2) sampai (5) yang non-mandatory menjabarkan bentuk-bentuk insentif yang dapat ditawarkan Negara Anggota kepada pelaku, yaitu pengurangan hukuman (ayat (2)), atau imunitas dari penuntutan (ayat (3)). Gap Analysis mengamati bahwa di Indonesia belum ada mekanisme sejenis ini. Gap Analysis kemudian memberi rekomendasi bahwa mekanisme tersebut perlu ada, karena akan membantu banyak proses penegakan hukum. Pasal 38: Kerjasama antara Lembaga-lembaga Negara [MANDATORY]
Konsep pasal ini adalah dibinanya kerjasama antara badan-badan dan pejabat-pejabat publik di lintas pemerintahan, serta semua penegak hukum yang bergerak ddalam bidang anti-korupsi, yaitu untuk saling memberitahu apabila suatu TPK telah terjadi (sub ayat (a)), serta memberikan segala informasi yang terkait dengan TPK tersebut apabila diminta (sub ayat (b)). Gap Analysis mengamati bahwa bentuk kerjasama seperti ini sudah ada dalam usaha anti-korupsi di Indonesia, sesuai pengaturan hubungan kerja antara penyidik dengan penuntut dalam UU No. 8/81 – Gap Analysis juga mengamati bahwa bentuk kerjasama tersebut belum efektif, dan memberi rekomendasi bahwa perlu ada koordinasi kerjasama tersebut supaya efektif. Pasal 39: Kerjasama antara Sektor Publik dengan Sektor Swasta [AYAT (1) MANDATORY, AYAT (2) NON-MANDATORY] Konsep pasal ini adalah pemberian insentif bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam usaha antikorupsi. Ayat (1) yang mandatory terutama mengatur bahwa sektor swasta yang perlu dilibatkan adalah sektor perbankan. Ayat (2) yang non-mandatory mengatur supaya Negara Anggota memberi insentifinsentif untuk mengundang pelaporan dari sektor swasta. Gap Analysis mengamat bahwa partisipasi jenis ini sudah diatur dalam Bab V UU No. 31/99, namun ketentuan tersebut mengundang masyarakat secara umum, bukan komunitas sektor swasta secara spesifik. Gap Analysis tidak memberi rekomendasi. Apabila kita belajar dari badan anti-korupsi yang sudah menjelajahi usaha anti-korupsi di sektor swasta khususnya, seperti yang telah dilakukan ICAC Hong Kong, tentu kita akan menemukan bahwa masih banyak sekali pengembangan yang bisa dicapai dalam area ini di Indonesia. Pasal 40: Kerahasiaan Bank [MANDATORY] Konsep pasal ini adalah supaya alat-alat hukum Negara Anggota menyediakan mekanisme untuk mengatasi halangan-halangan yang muncul akibat aplikasi UU Kerahasiaan Bank. Gap Analysis mengamati bahwa ketentuan tentang hal ini sudah ada, yaitu dalam pasal 29 UU No. 31/99. Pasal tersebut mengatur bahwa prosedur proses permintaan informasi ini dimulai dengan diajukannya surat permintaan dari KPK kepada Gubernur BI, yang kemudian mengatur pemberian informasi dalam batas waktu tertentu. Gap Analysis kemudian memberi rekomendasi bahwa UU yang sudah ada hanya perlu dijaga pelaksanaannya. Mungkin perlu ada diskusi mengenai kewenangan KPK untuk mendapatkan informasi tersebut secara langsung dari bank yang terkait. Pasal 41: Sejarah Kriminalitas (Criminal Record) [NON-MANDATORY] Konsep pasal non-mandatory adalah supaya Negara Anggota mengundang-undangkan dalam KUHP/KUHAP tentang dapat digunakannya sejarah kriminalitas seorang tersangka di negara lain dalam acara pidana TPK, contohnya sebagai alat/barang bukti. Gap Analysis mengamati bahwa peraturan semacam ini belum ada di Indonesia, dan memfokuskan kepada aspek 'residivis' dari ketentuan Konvensi tersebut, yang konsepnya sudah ada dalam UU di Indonesia. Gap Analysis kemudian memberi rekomendasi bahwa ketentuan seperti ini dapat dimasukkan dalam amandemen UU anti-korupsi. Pasal 42: Jurisdiksi [AYAT-AYAT (1), (3), (5) DAN (6) MANDATORY; AYAT-AYAT (2) DAN (4) NON-MANDATORY] Konsep ayat (1) yang mandatory adalah bahwa UU Negara Anggota menetapkan jurisdiksi atas TPK yang terjadi dalam teritorialitas negara-nya (sub ayat (a)), atau yang terjadi dalam kendaraan udara atau
air yang berada di bawah jurisdiksi negara-nya (sub ayat (b)). Gap Analysis mengamati bahwa soal jurisdiksi ini telah dicakup dalam Pasal-pasal (2) sampai (9) KUHP – di mana prinsip teritorial terutama ditentukan dalam pasal-pasal (2) dan (3), serta prinsip-prinsip nasionalitas (dalam konteks seorang warga negara Indonesia sebagai subyek hukum) dalam pasal-pasal (4), (5), (6) dan (7). Gap Analysis juga mengamati bahwa ketentuan pasal 4 KUHP perlu didekatkan ke masalah TPK; Gap Analysis memberi rekomendasi bahwa pasal-pasal (2) sampai (9) KUHP perlu ditegakkan, di mana pasal (4) diberi penekanan khusus dalam hal TPK. Ayat-ayat (3), (5) dan (6) yang mandatory secara umum mengatur didukungnya penegakan jurisdiksi Negara Anggota dalam usahanya memeriksa dan menuntut suatu TPK. Ayat (2) yang non-mandatory menentukan area-area yang berhubungan dengan status nasionalitas seseorang, atau dengan Negara Anggota secara langsung, di mana Negara Anggota dapat menegakkan jurisdiksinya atas suatu TPK. Ayat (4) yang non-mandatory menentukan bahwa Negara Anggota dapat memiliki jurisdiksi atas seorang berkewarganegaraan asing yang melakukan TPK dan tidak diekstradisikan oleh Negara Anggota.