1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif yaitu peningkatan penyakit akibat kerja, kecelakaan, pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki urutan keenam pengekspor tekstil terbesar di dunia. Di sisi lain risiko kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja yang terjadi pada industri tekstil menduduki urutan ketiga terbesar (3,7%) setelah industri baja (11,2%) dan industri spare part (8,2%) (Riyadina, 2007). Riyadina (2007) melaporkan bahwa debu merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja dan meningkatkan penyakit kerja sebesar 1,87 kali (IK95%1,41-2,48). Debu adalah partikel solid yang terdapat di udara dengan berbagai ukuran tergantung dari asal debu, karakter fisik debu dan kondisi lingkungan (WHO, 1999). Partikel debu yang berukuran besar dan mampu masuk ke dalam saluran pernapasan (<100 mikron) disebut debu yang terinhalasi, partikel yang berukuran lebih kecil dan dapat masuk ke dalam rongga dada (<10 mikron) disebut sebagai debu toraksik sementara debu yang sangat kecil dan mampu mencapai alveolus (<4 mikron) disebut debu yang terespirasi. Debu merupakan salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk akibat proses pengolahan dari proses pemotongan, menjahit dan merapikan bahan tekstil. Bahan 11
2
dasar tekstil terbanyak adalah kapas karena mempunyai keunggulan ongkos tanam dan biaya pengolahan rendah (Mulyani, 2007). Paparan debu kapas dan bahan kimia pada industri tekstil di China dilaporkan meningkatkan risiko kejadian kanker nasofaring (Calvin dan Joseph, 2006; Li dkk., 2006). Paparan partikel debu dan kontaminasi endotoksin yang berasal dari debu organik pada pekerja konveksi juga merupakan penyebab sejumlah penyakit dan menganggu kualitas hidup pekerja seperti bisinosis, bronkitis kronis, rhinitis serta iritasi hidung dan mata (Priyamvada dkk., 2011). Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian organ pernapasan yang berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama terhadap partikel asing berbahaya seperti debu, bahan kimia beracun, bakteri, dan virus. Fungsi ini dilakukan oleh silia dan palut lendir. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus, dan palut lendir membentuk sistem mekanisme pertahanan penting yang dikenal sebagai sistem mukosilia (Dantas dkk., 2013). Gangguan sistem silia berupa rusaknya sel epitel maupun perubahan sekret mempermudah kolonisasi bakteri yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi saluran napas. (Blanco dkk., 2009). Kerusakan transpor mukosilia akan menganggu pertahananan terhadap infeksi pada rongga hidung dan akan mempengaruhi kualitas hidup individu (Naxakis dkk., 2009). Beberapa faktor dapat mempengaruhi fungsi mukosilia hidung selain paparan partikel debu adalah faktor umur, infeksi, alergi, merokok, pemakaian obat tetes hidung, indeks massa tubuh, gangguan atau kelainan anatomi hidung,
3
penyakit sistemik seperti diabetes melitus, suhu serta kelembaban (Passali dkk., 2005; Ballenger, 2003). Penelitian yang dilakukan mengenai transpor mukosilia hidung pada 32 pekerja pengolah batu gamping didapatkan 82,5% subjek penelitian memiliki riwayat menderita penyakit saluran napas yang lama dan perlambatan transpor mukosilia yang bermakna dibandingkan non-pekerja batu gamping (p=0,003) (Darmawan dkk., 2009). Soemadi dkk. (2009) melaporkan paparan debu kayu pada pekerja mebel Jepara, Semarang dibandingkan dengan kontrol menunjukkan fungsi mukosilia yang terganggu (r=0,774). Berbagai penelitian memperlihatkan pengaruh berbagai polutan terhadap kejadian gangguan waktu transpor mukosilia yang merupakan salah satu daya pertahanan saluran napas namun belum ada dilaporkan pengaruh paparan debu kain terhadap waktu transpor mukosilia hidung. Penulis tertarik untuk meneliti waktu transpor mukosilia hidung terhadap paparan debu pada pekerja konveksi di kota Denpasar.
1.2
Rumusan Masalah 1. Apakah waktu transpor mukosilia hidung pada pekerja konveksi bagian produksi lebih lambat dibandingkan pekerja bukan bagian produksi? 2. Apakah waktu transpor mukosilia hidung pada pekerja konveksi bagian produksi dengan masa kerja ≥ 6 tahun lebih lambat dibandingkan dengan masa kerja < 6 tahun?
4
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Mengetahui perbandingan pemanjangan waktu transpor mukosilia hidung pekerja pabrik konveksi bagian produksi dibandingkan dengan pekerja bukan bagian produksi.
1.3.2 Tujuan khusus 1.
Membuktikan waktu transpor mukosilia pada pekerja pabrik konveksi bagian produksi lebih lambat dibandingkan waktu transpor mukosilia pada pekerja bukan bagian produksi.
2.
Membuktikan waktu transpor mukosilia hidung pada pekerja konveksi bagian produksi dengan masa kerja ≥ 6 tahun lebih lambat dibandingkan dengan masa kerja < 6 tahun.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademik 1.
Menambah khasanah ilmu pengetahuan T.H.T.K.L khususnya bidang rinologi.
2.
Menambah pengetahuan tentang risiko gangguan yang dapat ditimbulkan akibat paparan debu pada pabrik konveksi.
1.4.2
Manfaat praktis 1.
Bagi pemilik perusahaan, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pajanan debu dengan kejadian perlambatan mukosilia akibat kerja serta merupakan masukan bagi perusahaan
5
untuk melakukan pencegahan terhadap gangguan kesehatan akibat pajanan debu kain. 2.
Bagi pihak yang diteliti hasil penelitian ini dapat meningkatkan kewaspadaan akan paparan debu serta meningkatkan kesadaran mereka mengenai penggunaan alat proteksi diri saat bekerja.