1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Perkembangan spasial kota yang tidak terkendali diyakini akan menjadi
pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, ekonomi pada masa yang akan datang. Hal ini akan semakin rumit apabila perkembangan suatu kawasan perkotaan tersebut mulai menyatu dan terintegrasi dengan kawasan perkotaan lainnya. Penjalaran sifat-sifat kekotaan yang mengarah ke luar dari daerah terbangun utama telah mulai mempengaruhi pola pemanfaatan lahan
daerah-daerah
disekitarnya.
Yunus
(2010)
menegaskan
bahwa
berkembangnya wilayah fisik kota berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah penduduk yang ada, sehingga mempunyai kecenderungan akan saling terintegrasi dengan wilayah yang lain. Ciri-ciri fisik kekotaan yang semakin meluas terutama di kawasan peri urban telah menjadi indikasi bahwa proses pengkotaan yang terjadi di kawasan perkotaan semakin cepat sehingga menyatu dengan kota intinya. Proses transformasi ruang dan sosio-ekonomik wilayah yang terjadi di luar kawasan main built up area (lahan terbangun utama) sangat dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Jalur transportasi merupakan salah faktor dominan yang kemudian menyebabkan cepat atau lambatnya sebuah transformasi. Hal ini sangat terkait dengan kecepatan aliran (flow) baik manusia, barang, ataupun ide yang menghubungkan antara wilayah inti (pusat) dengan wilayah di sekitarnya (pinggiran). Hubungan yang “intim” dari kedua wilayah tersebut, akan
1
2
membentuk sebuah jalur interaksi yang ditandai dengan meningkatnya intensitas sifat kekotaan dan penurunan intensitas sifat kedesaan di antaranya (Giyarsih, 2009). Gejala perkembangan suatu wilayah yang ditandai dengan adanya sebuah perubahan/transformasi baik itu yang bersifat fisik maupun sosial ekonomi, sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduknya. Peningkatan jumlah penduduk dan juga aktivitas fungsionalnya selalu berasosiasi terhadap peningkatan kebutuhan akan ruang. Hal tersebut perlu mendapat perhatian serius, karena dimungkinkan mempunyai dampak yang dapat merubah keteraturan serta mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Salah satu wilayah yang menarik dengan adanya perkembangan ini adalah wilayah pinggiran kota. Keberadaannya diantara wilayah perkotaan dan perdesaan membuat wilayah pinggiran kota mempunyai konektivitas yang tinggi terhadap segala aspek kehidupan yang terjadi di kedua wilayah tersebut (Yunus, 2008b). Perkembangan wilayah pinggiran kota yang tidak terkendali akan menjadi masalah di masa depan. Dampak perkembangannya bukan hanya akan berhenti pada zona tertentu saja (pinggiran kota) namun dimungkinkan akan menjalar ke wilayah perdesaan yang jauh dari pusat kota. Terkait dengan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya wilayahnya, masalah-masalah yang kemudian muncul dapat didasarkan atas beberapa hal, yaitu (1) persebaran penduduk yang tidak merata, (2) persebaran fasilitas yang terpusat, (3) keterbatasan dana pembangunan (Saputra, 2007). Keterkaitan
3
diantara ketiga masalah inilah yang memungkinkan terjadinya perkembangan spasial yang tidak merata. Indikasi adanya perkembangan spasial di suatu daerah antara lain ditunjukkan oleh adanya pertumbuhan penduduk, peningkatan investasi, dan kontribusi sektor non agraris, serta cepatnya proses alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian (Giyarsih, 2009). Wilayah pinggiran kota dan perdesaan banyak mengalami proses perubahan yang cukup signifikan sebagai akibat dari perkembangan kota, yaitu dengan pertumbuhan penduduk dan juga pertambahan fungsi kekotaan. Pembangunan infrastruktur dan peningkatan jumlah perumahan di wilayah pinggiran kota merupakan akibat dari gerakan penduduk dan kebijakan pemerintah (Kurniawan dan Prakoso, 2008). Wilayah-wilayah khusus yang mencirikan interaksi komoditi dan penduduk, dengan sendirinya akan terbentuk sebagai akibat dari percampuran kegiatan pertanian dan non pertanian (McGee, 1991 dalam Widyatmoko, 2007). Perubahan sifat kedesaan menjadi sifat kekotaan yang terjadi dalam berbagai matra, khususnya yang terjadi di wilayah peri urban, menurut Yunus (2008b) dapat diartikan sebagai proses pengkotaan (the process of becoming urban). Aktualisasi proses pengkotaan tersebut berwujud pada perubahanperubahan yang bersifat fisikal, sosio-kultural, dan ekonomi. Perubahanperubahan inilah yang kemudian diartikan sebagai sebuah transformasi. Kabupaten Klaten merupakan salah satu wilayah dengan perkembangan yang cukup signifikan di setiap tahunnya. Perkembangan wilayah Kabupaten Klaten bukan hanya bersifat internal (dari dalam wilayah itu sendiri), namun juga
4
bersifat external (dari luar wilayah). Keterkaitan diantara wilayah pusat, pinggiran, dan perdesaan serta keterkaitan dengan wilayah lain di luar kabupaten ini menjadi bukti bahwa perkembangan wilayah yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah posisi strategis Kabupaten Klaten yang berada di antara dua wilayah dengan tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan, yaitu Yogyakarta-Surakarta. Posisi tersebut memungkinkan terjadinya dorongan dan tarikan diantara kedua kota tersebut sehingga mengakibatkan penjalaran kegiatan-kegiatan perkotaan yang berkembang bukan hanya di sekitar jalur transportasi ataupun pinggiran kota tapi juga telah menyebar sampai ke wilayah perdesaan. Fakta empiris telah membuktikan bahwa desa-desa di Kabupaten Klaten yang berada di wilayah perbatasan telah terpengaruh oleh luberan aktivitas perkotaan dari daerah lain seperti Yogyakarta ataupun Surakarta. Akibatnya, perubahan sifat kedesaan menjadi kekotaan dalam berbagai hal (fisikal, sosiokultural, dan ekonomi) menjadi semakin kentara apabila dibandingkan dengan perubahan yang terjadi di desa-desa lainnya yang tidak berada di wilayah perbatasan. Perubahan sifat kedesaan menjadi kekotaan (transformasi) tersebut tentunya sangat berdampak pada lingkungan sekitarnya, terutama kaitannya dengan perkembangan wilayah Kabupaten Klaten itu sendiri. Dampak yang kemudian terjadi akan sangat ditentukan oleh intensitas, pola serta faktor yang mempengaruhi terjadinya transformasi wilayah di wilayah tersebut. Atas dasar
5
itulah maka peneliti tertarik untuk mengkaji tentang perubahan (transformasi) tersebut terutama dalam aspek fisikal, sosio-kultural, dan ekonomi. 1.2.
Perumusan Masalah Interaksi kota desa dalam suatu wilayah dapat diibaratkan sebagai
keterkaitan antara pusat (core) dan pinggiran (hinterland). Keberadaan built up area perkotaan akan berkorelasi terhadap perkembangan wilayah di sekitarnya. Perkembangan tersebut bukan hanya sebatas perkembangan secara fisikal namun juga berkaitan terhadap aspek-aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Bintarto (1977) mengungkapkan bahwa perkembangan kota merupakan akibat yang ditimbulkan karena kebutuhan dan keinginan warga kota yang senantiasa berkembang karena pertambahan jumlah penduduk, kemajuan pendidikan, kemajuan kebudayaan, kemajuan teknologi, dan sebagainya. Terbukanya akses kota terhadap daerah lain dalam skala lokal, regional, nasional, maupun internasional juga ikut mempengaruhi perkembangan kota, yaitu dengan memperkaya gagasan-gagasan warga kota dalam cara-cara mengembangkan kotanya, terutama di bidang pengaturan tata ruang. Kabupaten Klaten yang memiliki luas wilayah 65.556 ha dinilai telah mengalami perkembangan yang signifikan. Salah satu indikasi perkembangan tersebut adalah meningkatnya luas perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan lahan tersebut tentunya akan sangat berpengaruh pada sektor pertanian, terutama dalam hal produksi dan produktivitas pertanian pangan (padi). Data ketahanan pangan (dalam BAPPEDA Kabupaten Klaten, 2011) menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas panen padi yang cukup
6
besar selama kurun waktu 3 tahun terakhir, yaitu dari 57.833 ha pada tahun 2008 turun menjadi 23.657 ha di tahun 2011. Penurunan luas panen tersebut tentunya akan mempengaruhi jumlah produksi padi lokal, yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kebutuhan pangan masyarakat apabila tidak terdistribusi dengan baik. Tumbuhkembangnya sektor industri di daerah penelitian juga dapat menjadi salah satu indikator bahwa proses transformasi wilayah telah berlangsung. Gejala pengelompokan (clustering) industri yang terjadi secara spontan pada wilayah-wilayah pinggiran kota sampai ke perdesaan, tentunya akan sangat mempengaruhi perkembangan wilayah di sekitarnya. Transformasi yang kemudian terjadi secara acak di wilayah yang relatif jauh dari pusat kota tersebut sangat berpotensi menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya antara lain pemecahan konsentrasi penduduk dalam kota, pemerataan pendapatan penduduk, peningkatan fasilitas-fasilitas pelayanan dan lain sebagainya. Sisi negatif yang ditimbulkan antara lain berupa ketidakteraturan dalam hal pemanfaatan ruang, yang mana kondisi tersebut akan memicu berbagai permasalahan lain yang kemudian muncul akibat dari ketidakteraturan pemanfaatan ruang tersebut, antara lain ketidakmerataan pembangunan, penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukan, berkurangnya produksi pangan akibat dari menyusutnya lahan pertanian, kemiskinan, urban sprawl, perubahan gaya hidup (life style), perubahan mata pencaharian, dan lain sebagainya. Konfigurasi ruang yang tidak sesuai peruntukan tersebut tentu akan menyulitkan dalam perencanaan selanjutnya.
7
Permasalahan transformasi wilayah dalam penelitian ini diidentifikasi dengan beberapa variabel yang merepresentasikan terhadap perubahan sifat-sifat kedesaan menjadi sifat-sifat kekotaan dalam beberapa aspek, yaitu fisikal, sosiokultural, dan ekonomi. Penentuan lokasi pengamatan yang hanya terbagi dalam 3 wilayah, yaitu perkotaan, pinggiran kota, dan perdesaan, akan memudahkan dalam analisis datanya. Analisis komparasi proses transformasi diantara ketiga wilayah tersebut, diharapkan mampu menjelaskan tentang permasalahan transformasi wilayah di daerah penelitian, terutama dalam menjelaskan dampaknya terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Klaten secara general. Secara umum terdapat beberapa permasalahan yang menjadi landasan penelitian ini, yaitu: a. Seberapa besar intensitas transformasi wilayah yang terjadi di daerah penelitian? b. Bagaimana pola distribusi transformasi yang terjadi di daerah penelitian? c. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi intensitas transformasi tersebut? d. Bagaimana dampaknya, terutama pengaruhnya terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Klaten? Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut, maka kajian tentang transformasi dalam penelitian ini dibatasi dengan tiga aspek, yaitu fisikal, sosialkultural, dan ekonomi.
8
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan (komparasi) proses
transformasi wilayah diantara beberapa desa, baik yang masuk dalam wilayah perkotaan, pinggiran kota ataupun perdesaan Kabupaten Klaten. Perbandingan tersebut diharapkan mampu: a. mengkaji seberapa besar intensitas transformasi wilayah yang terjadi di daerah penelitian? b. menganalisis pola-pola distribusi transformasi wilayah yang terjadi di daerah penelitian? c. mengkaji faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi intensitas transformasi tersebut? d. menganalisis dampaknya, terutama pengaruhnya terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Klaten? 1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi baik dalam segi
teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah mampu memperkaya teori-teori yang terkait dengan transformasi wilayah khususnya yang terjadi di daerah pinggiran kota dan perdesaan sebagai masa depan kota itu sendiri. Selain itu, manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah mampu menunjukkan perbedaan intensitas transformasi wilayah di Kabupaten Klaten sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam perencanaan dan pengembangan wilayah di daerah penelitian.
9
1.5.
Keaslian Penelitian Adapun penelitian yang dijadikan referensi dalam penyusunan penelitian
ini antara lain penelitian di wilayah pinggiran kota yang membahas tentang kegiatan pelayanan dan urbanisasi spasial dimana dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya peningkatan aktivitas fungsional manusia di suatu wilayah salah satunya disebabkan oleh adanya keberadaan fasilitas pelayanan seperti kampus. Rachmawati (1999) mengungkapkan bahwa beberadaan kampus dapat menjadi pemicu bagi timbulnya kegiatan pelayanan dan urbanisasi spasial, yang mana munculnya kegiatan pelayanan dan terjadinya urbanisasi spasial tersebut akan berbeda sesuai dengan tingkat kemampuan kampus itu sendiri. Pertumbuhan penduduk yang berasosiasi dengan keberadaan fasilitasfasilitas pelayanan di suatu wilayah merupakan salah satu faktor pendorong adanya
perubahan.
Perubahan-perubahan
tersebut
sangat
mempengaruhi
keteraturan/tata ruang suatu wilayah. Hal ini diungkapkan oleh Saputra (2007) dalam penelitiannya, bahwa ketersediaan fasilitas merupakan faktor yang paling menentukan dalam perubahan spasial. Penelitian tersebut juga mengungkapkan fakta bahwa dengan adanya perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan luas lahan pertanian, penurunan jumlah produksi pertanian, penurunan penghasilan penduduk sektor pertanian, peningkatan penghasilan penduduk sektor non-pertanian, dan perubahan struktur mata pencahariaan. Peningkatan sifat-sifat kekotaan di suatu wilayah yang ditandai dengan peningkatan aktivitas-aktivitas fungsional non-pertanian menjadi indikator yang sangat jelas terjadinya transformasi di wilayah tersebut. Tingkat perubahan yang
10
terjadi akan ditandai dengan kepadatan area terbangun yang dimulai dari pusat kota mengarah ke luar. Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses transformasi adalah tingkat aksessibilitas suatu daerah. Penelitian Giyarsih (2009) menemukan bahwa semakin tinggi akssesibilitas maka semakin tinggi pula tingkat transformasinya, sehingga dampak perubahannyapun juga akan berbeda di setiap desa-desa sebagai titik pengamatan (lihat tabel 1.1). Originalitas penelitian dapat disoroti dari berbagai segi atau matra antara lain dari segi metodologis, wilayah, maupun kurun waktu pelaksanaan yang berbeda (Yunus, 2010).
Pertimbangan pertama yang menunjukkan keaslian
penelitian ini adalah segi cakupan wilayahnya. Kajian tentang transformasi wilayah dari penelitian-penelitian terdahulu mempunyai cakupan wilayah yang luas dan dilakukan di koridor antarkota, sedangkan penelitian ini mempunyai cakupan wilayah yang lebih sempit yaitu Kabupaten Klaten. Pertimbangan kedua dalam originalitas penelitian ini adalah dari metode analisis yang dipakai, yaitu menggunakan analisis data sekunder dan analisis data primer. Analisis data sekunder digunakan dalam menganalisis pada level meso dengan unit analisis desa dan analisis data primer digunakan dalam menganalisis pada level mikro dengan unit analisis rumah tangga. Penggunaan dari gabungan analisis data dalam penelitian ini terinspirasi oleh penelitian Giyarsih (2009) tentang transformasi wilayah yang terjadi di koridor Yogyakarta-Surakarta, yang mana dalam penelitian tersebut berusaha untuk menganalisis keterkaitan fenomena transformasi wilayah yang ada pada level makro (koridor YogyakartaSurakarta) dan level mikro (RT).
11
Tabel 1.1 Matrik Keaslian Penelitian Judul, Nama Peneliti, Wilayah, Tahun 12 Peranan Kampus sebagai Pemicu Kegiatan Pelayanan dan Urbanisasi Spasial serta Faktor-faktor yang mempengaruhi: Studi Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta; Yogyakarta; Rini Rachmawati (1999) Perubahan Spasial dan Tendensi dan Tendensi Perkembangan Fisik Kota Pekanbaru Tahun 1990-20006; Yogyakarta; Erlis Saputra (2007)
Metode Penelitian dan Pendekatan 3 Metode komparasi dengan observasi dan wawancara
Teknik Analisis dan Hasil Penelitian Bahan Penelitian 4 5 Analisis Keberadaan kampus dapat menjadi pemicu bagi deskriptif timbulnya kegiatan pelayanan dan urbanisasi kuantitaf dan spasial kualitatif Terdapat perbedaan tingkat kemampuan kampus dengan tabel dalam memicu timbulnya kegiatan pelayanan dan frekuensi terjadinya urbanisasi spasial
1. Mengkaji proses perubahan spasial Kota Populasi: Pekanbaru sampling 2. Menganalisis tendensi perkembangan research fisik Kota Pekanbaru Keterkaitan 3. Mengkaji faktor dominan penyebab dengan perubahan spasial Kota Pekanbaru objek: 4. Mengevaluasi dampak perubahan spasial survey Kota Pekanbaru research
Analisis Terjadi penambahan luas lahan terbangun sebesar kualitatif dan 7.614,56 hektar dari tahun 1990 hingga 2006 kuantitaif Ketersediaan fasilitas umum merupakan faktor yang paling menentukan perubahan spasial Tendensi perkembangan fisik ke arah barat dan barat daya Dampak yang ditimbulkan akibat perubahan spasial adalah penurunan luas lahan pertanian, penurunan jumlah produksi pertanian, penurunan penghasilan penduduk sektor pertanian, peningkatan penghasilan penduduk sektor non pertanian, dan perubahan struktur mata pencahariaan
Tujuan
1. Memberikan gambaran yang jelas mengenai kegiatan pelayanan yang timbul dan urbanisasi spasial yang terjadi dengan adanya kampus di penggiran kota 2. Mengetahui faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perbedaan tingkat kemampuan kampus dalam memicu timbulnya kegiatan pelayanan dan terjadinya urbanisasi spasial
12
Lanjutan tabel 1.1 12 Transformasi Wilayah 1. Memahami pola transformasi wilayah di koridor Yogyakarta-Surakarta di Koridor YogyakartaSurakarta; Yogyakarta; 2. Memahami tahapan-tahapan transformasi wilayah di koridor Yogyakarta -Surakarta Sri Ru m Giyarsih (2009) 3. Memahami dampak yang ditimbulkan oleh transformasi wilayah terhadap keberadaan sumberdaya lahan, sosial, ekonomi, kultural, dan teknologi
3 Metode survai dengan pendekatan historis keruangan (spatial temporal appoarch)
Studi Komparatif 1. Seberapa besar intensitas transformasi wilayah yang terjadi di daerah Transformasi Wilayah penelitian? Di Kabupaten Klaten, Yogyakarta; Iwan 2. Bagaimana pola distribusi transformasi yang terjadi di daerah penelitian? Alim Saputra (2013) 3. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi intensitas transformasi tersebut? 4. Bagaimana dampaknya, terutama terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Klaten?
Pendekatan keruangan dengan metode komparasi
4 5 Analisis 1. Semakin tinggi aksessibilitas suatu desa maka kuantitatif semakin tinggi pula tingkat transformasi wilayah dan kualitatif 2. Pola transformasi wilayah dicerminkan oleh yang kelima variabel yang mengelompok dari tingkat meliputi yang tinggi ke rendah, yaitu dari desa dengan aksessibilitas tinggi dan berangsur-angsur space based analysis dan berkurang pada daerah dengan tingkat aksessibilitas yang rendah time based 3. Tahapan transformasi yang terjadi berawal dari analysis pusat perdesaan sebagai simpul penghubung transportasi 4. Transformasi wilayah yang terjadi mempunyai dampak (yang dibatasi) yaitu dampak terhadap sumberdaya lahan, ekonomi, sosial, kultural, dan teknologi. 1. Variasi intensitas transformasi wilayah sebagian Analisis besar di tingkat rendah, namun mempunyai Kualitatif perbedaan yang signifikan di wilayah-wilayah dan yang mempunyai akses tinggi Kuantitatif 2. Pola distribusi intensitas transformasi secara umum bersifat acak, namun mempunyai keteraturan apabila dikaitkan dengan jaringan jalan 3. Intensitas transformasi dipengaruhi oleh faktor kedekatan dengan jalan yang dapat dicirikan dengan kepadatan penduduk dan luas lahan non pertanian 4. Ketahanan pangan akan semakin melemah seiring dengan meningkatnya intensitas transformasi wilayah
13
Lebih lanjut dalam penelitian ini yang kemudian menjadi pembeda dari penelitian-penelitian yang lain adalah kajian komparatif yang dilakukannya. Kata kunci komparatif (perbandingan) dalam penelitian ini difokuskan untuk wilayahwilayah yang teridentifikasi telah mengalami transformasi, namun dengan intensitas dan pola, serta faktor-faktor pengaruhnya yang belum diketahui. Perbandingan di antara beberapa desa yang mewakili dari tipe-tipe transformasi di tiga (3) wilayah yang berbeda bukan hanya akan mengungkapkan keunggulan dan kelemahan diantaranya, namun diharapkan juga mampu untuk menjelaskan keadaan umum yang ada di daerah penelitian. Hal ini terkait dengan salah satu tujuan penelitian yang mengemukakan tentang dampak transformasi wilayah terhadap ketahanan pangan yang ada di daerah penelitian.