BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia pada akhir abad 20 tidak dapat
dilepaskan dari kegagalan pemerintah dalam mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance (Bappenas, 2006). Pasca krisis, pemerintah dihadapi pada berbagai permasalahan akibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik dan sistem pemerintahan secara umum (Wahyuni, 2012). Kondisi tersebut menjelaskan berbagai kritikan yang menyatakan bahwa satuan kerja pemerintah, sebagai organisasi publik, merupakan organisasi yang kurang produktif, tidak efisien, rendah kualitas, miskin inovasi dan kreatifitas (Bappenas, 2006). Pengalaman ini menimbulkan kesadaran pemerintah untuk melakukan reformasi manajemen sektor publik untuk menciptakan good governance. Good governance dapat diartikan sebagai tata kelola organisasi secara baik dengan
memperhatikan
prinsip
keterbukaan,
keadilan,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi (Damayanti, 2012). Hal tersebut diwujudkan melalui pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata agar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berhasil guna, berdaya guna, bersih, bertanggung jawab dan bebas KKN (Wahyuni, 2012). Pertanggungjawaban tersebut diwujudkan dalam suatu media akuntabilitas yang disusun secara periodik (Wahyuni, 2012).
1
2
Akuntabilitas
merupakan
kewajiban
seseorang/badan
hukum
atau
pimpinan organisasi untuk mempertanggungjawabkan atau menjawab serta menerangkan kinerjanya kepada pihak yang memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan pertanggungjawaban (Idirwan, 2012). Akuntabilitas merupakan media, baik yang digunakan organisasi privat maupun organisasi publik, yang disusun dengan maksud untuk memberikan informasi kepada para pengguna sebagai dasar untuk mengambil keputusan (Ives, 1987 dalam Mahmudi 2011). Namun demikian, terdapat perbedaan antara akuntabilitas di sektor privat dengan akuntabilitas di sektor publik. Akuntabilitas sektor privat lebih ditekankan pada kinerja untuk menghasilkan laba, sedangkan di sektor publik akuntabilitas ditujukan untuk memberi informasi mengenai kegiatan pelayanan yang diberikan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia. Hal tersebut menyebabkan organisasi sektor publik perlu menciptakan cara untuk menyediakan informasi yang berhubungan dengan penyajian akuntabilitas (Ives, 1987 dalam Mahmudi 2011). Pada sektor publik, hubungan antara pihak yang memberikan akuntabilitas dengan pihak yang menerima akuntabilitas lebih luas dibandingkan pada sektor privat (McGregor, 1999, Wynee, 2004, dalam Scheneider, 2007). Hal ini disebabkan karena banyaknya stakeholders yang berminat terhadap akuntabilitas layanan instansi pemerintah. Stakeholders di sektor publik lebih tertarik untuk memperoleh
informasi
bagaimana
dana
masyarakat
dibelanjakan
untuk
memberikan layanan kepada masyarakat dibandingkan dengan bagaimana keputusan ekonomi diambil pimpinan instansi pemerintah (Scheneider, 2007).
3
Dalam hal ini, konsep akuntabilitas telah beralih dari sebuah pertanggungjawaban dari pimpinan instansi pemerintah kepada presiden atau parlemen menjadi pertanggungjawaban kepada stakeholders yang lebih luas sebagai penerima layanan instansi pemerintah (Parker dan Gould, 1999 dalam Kloot, 2008). Di Indonesia, akuntabilitas sektor publik selain disajikan dalam bentuk laporan keuangan seperti yang ditetapkan berdasarkan PP no. 71 tahun 2010, setiap instansi pemerintah juga diwajibkan untuk menyajikan laporan kinerja sesuai Inpres 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Tuntutan publik terhadap akuntabilitas kinerja didasari pada anggapan bahwa organisasi sektor publik cenderung tidak produktif, tidak efisien, berkualitas rendah, miskin inovasi dan kreativitas serta berbagai kritikan lain. Untuk menjawab berbagai kritik tersebut, dilakukan gerakan untuk reformasi manajemen sektor publik melalui konsep New Public Management (Mahmudi 2010 : 33). New Public Management (NPM) menganalogikan peran dan hubungan antar unit-unit dalam sektor publik ke dalam model pasar (Self, 1993 dalam Kabolian 1998). NPM antara lain diciptakan dengan maksud untuk memberi perhatian yang lebih besar terhadap pencapaian kinerja dan akuntabilitas manajer publik, keinginan untuk beralih dari model birokrasi klasik menuju model birokrasi yang lebih modern dan fleksibel, penetapan yang lebih jelas terhadap tujuan organisasi dan tujuan personal sebagai dasar pengukuran kinerja organisasi dan kinerja personal, dan meningkatkan komitmen staf senior (Mahmudi 2010).
4
Melalui uraian di atas, diketahui bahwa penilaian kinerja (performance measurement) menempati faktor utama dalam pendekatan manajemen sektor publik modern. Performance measurement merupakan proses untuk menilai efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan (Bourne dan Neely, 2003). Penerapan akuntabilitas kinerja sektor publik di Indonesia dimulai dengan terbitnya UU no. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU tersebut memerintahkan SKPD pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan kementrian/lembaga untuk menyusun rencana strategis (renstra) dan rencana kerja. Renstra antara lain memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian/lembaga/SKPD Pemeritah Provinsi/kabupaten/kota. Di akhir periode rencana, pimpinan SKPD, menteri / pimpinan lembaga melakukan evaluasi terhadap hasil pelaksanaan rencana sebagai bahan perencanaan tahun sebelumnya. Namun demikian, evaluasi keberhasilan pelaksanaan rencana (pengukuran kinerja/performance measurement) hanya dapat dilakukan apabila terdapat ukuran capaian yang dapat digunakan untuk membandingkan antara rencana dan realisasi. Agar pelaksanaan performance measurement dapat berjalan dengan efektif, maka performance measurement perlu dilengkapi dengan performance measure dan performance measurement. Sesuai PP No. 7 tahun 1999, setiap tahun kepala daerah/menteri/pimpinan lembaga wajib melaporkan pelaksanaan rencana strategis kepada Presiden dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Permasalahan yang timbul dalam performance measurement adalah banyaknya pendapat peneliti bahwa 70% implementasi sistem performance
5
measurement gagal (Bourne dan Neely; 2003 : 1). Proses pengukuran kinerja di Indonesia, sejak penyusunan indikator, penggunaan hingga pelaporannya, lebih didorong
oleh
keberadaan
peraturan
yang
mewajibkan
instansi
untuk
menyusunnya dibandingkan oleh kesadaran instansi tersebut (Akbar, 2012). Informasi yang tersaji dalam LAKIP pemerintah daerah belum menunjukkan keadaan yang sebenarnya karena adanya beberapa kesulitan yang dihadapi penyusun LAKIP pemerintah daerah, antara lain waktu penyusunan yang terbatas akibat banyaknya laporan yang harus dihasilkan, keterbatasan data yang tersedia, keterbatasan fasilitas dan keterbatasan tenaga penyusun. LAKIP pemerintah daerah disusun hanya untuk menuhi ketentuan format LAKIP dibandingkan dengan substansi yang terkandung (Mimba; 2010). Salah satu lembaga pemerintah yang wajib melaksanakan peraturan mengenai akuntabilitas kinerja adalah Badan Pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP). BPKP adalah instansi pemerintah yang dibentuk berdasarkan Keppres 31 tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Keppres tersebut menyatakan bahwa tugas pokok BPKP antara lain adalah menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan, serta menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Setelah reformasi, tugas pokok BPKP mengalami penyempurnaan melalui PP No 103 tahun 2001 tentang LPND. Berdasarkan pasal 53 PP tersebut, tugas pokok BPKP antara lain melakukan pengkajian dan kebijakan nasional di bidang pengawasan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan serta pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang pengawasan.
6
Amanat yang diemban BPKP semakin bertambah dengan diterbitkannya PP no. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Berdasarkan PP tersebut, BPKP mengemban tugas sebagai pembina SPIP dan melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan lintas sektoral, pengawasan atas permintaan Bendaharan Umum Negara (BUN) dan pengawasan atas permintaan Presiden. Berdasarkan tugas pokok yang diamanatkan kepada BPKP seperti diuraikan di atas, BPKP memposisikan perannya sebagai lembaga auditor internal pemerintah. Sesuai renstra BPKP tahun 2010 – 2014, BPKP telah menegaskan jati dirinya sebagai auditor Presiden. Posisi tersebut membawa konsekuensi kepada BPKP untuk mampu memberi masukan kepada Presiden terhadap permalahan yang dihadapi pemerintah, membantu pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, dan meningkatkan kualitas akuntabilitas pemerintah. Sebagai bentuk implementasi peran tersebut, BPKP menetapkan suatu ukuran yang dapat dijadikan dasar target kegiatan yang tertuang dalam Renstra BPKP. Sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan rencana, BPKP menyusun Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Seperti yang telah diuraikan di atas, diketahui bahwa performance measurement dan penyusunan LAKIP pemerintah daerah masih belum sempurna karena disusun keterbatasan waktu, data, fasilitas dan sumber daya. Berdasarkan fakta tersebut, peneliti tertarik untuk menilai pelaksanaan manajemen kinerja di BPKP yang memiliki sumber daya dan fasilitas yang lebih baik dibandingkan pemerintah daerah serta tugas pokok dan fungsi yang lebih sempit daripada pemerintah daerah.
7
Penelitian akan difokuskan pada penetapan indikator kinerja di BPKP menggunakan
pendekatan
logic
model
melalui
Ongoing
Performance
Measurement and Management (OPM&M). OPM&M merupakan pendekatan evaluasi dan perencanaan yang komprehensif dengan menggunakan model logika yang dikenal dengan Performance Blueprint. 1.2
Perumusan Masalah BPKP merupakan instansi pemerintah yang tidak berhubungan langsung
dengan masyarakat. BPKP merupakan instansi pemerintah yang bertugas untuk menciptakan good governance di kalangan kementerian/lembaga/pemerintah daerah/BUMN/BUMD. Output BPKP merupakan produk yang dimanfaatkan kementerian/lembaga/ pemerintah daerah/ BUMN / BUMD dalam meningkatkan good governance. Namun demikian, mucul suatu pemikiran apakah keberhasilan suatu instansi dalam melaksanakan good governance, yang antara lain dinyatakan dengan opini BPK terhadap laporan keuangan, semata-mata disebabkan oleh peran BPKP atau apakah kegagalan suatu instansi untuk melaksanakan good governance merupakan kegagalan BPKP? Peran BPKP sebagai lembaga audit memunculkan pertanyaan apakah bentuk outcome dan output yang sesuai untuk menilai kinerja BPKP. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi terhadap LAKIP BPKP tahun 2010 dan 2011 diketahui bahwa akuntabilitas kinerja BPKP mendapat nilai masing-masing 68,21 dan 70,81 atau mendapat predikat B. Walaupun nilai akuntabilitas kinerja BPKP pada tahun 2011 lebih tinggi dibandingkan tahun 2010, akuntabilitas kinerja BPKP masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain :
8
1) Penetapan kinerja unit kerja belum menggunakan standar yang sama; 2) Belum dilakukan reviu berkala terhadap indikator kinerja utama; 3) Sistem pengumpulan data kinerja belum dapat diandalkan; 4) Evaluasi pelaksanaan program baru terbatas pada realisasi anggaran dan fisik kegiatan dan belum terfokus pada kinerja. Melalui hasil evaluasi tersebut diketahui bahwa sistem akuntabilitas kinerja pada BPKP belum diterapkan secara memadai karena penyusunan indikator kinerja belum berorientasi pada hasil (result oriented government). 1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, maka
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1) Bagaimana indikator kinerja yang tertuang dalam sistem akuntabilitas kinerja BPKP menunjukkan hubungan logis sejak penetapan visi, misi, sasaran strategis, program, kegiatan, penetapan indikator kinerja hingga penetapan outcome dan output? 2) Apakah indikator kinerja yang ditetapkan BPKP telah menggambarkan kinerja BPKP? 1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah :
1) Mengevaluasi bagaimana pengembangan sistem akuntabilitas kinerja BPKP untuk mengetahui hubungan logis antar unsur dalam rencana strategis, yang meliputi penetapan program, kegiatan, input, indikator kinerja output dan indikator kinerja outcome.
9
2) Mengevaluasi apakah indikator kinerja yang ditetapkan dalam sistem akuntabilitas
kinerja
BPKP
dapat
digunakan
sebagai
alat
untuk
menggambarkan kinerja BPKP. 1.5
Motivasi Penelitian Motivasi peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah untuk
memperkaya khasanah keilmuan dengan memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah mengenai penetapan indikator kinerja yang tertuang dalam sistem akuntabilitas kinerja Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di samping itu peneliti ingin mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapat selama di bangku perkuliahan mengenai sistem manajemen kinerja sektor publik (performance management system). 1.6
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis, keilmuan
dan policy making sebagai berikut: 1)
Kontribusi Praktis Sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi BPKP terhadap indikator kinerja yang telah ditetapkan dan memberikan gambaran kepada BPKP mengenai pengukuran kinerja berbasiskan hasil (outcomes) dengan pendekatan logic model dan OPM&M (model performance blueprint).
2)
Kontribusi keilmuan Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang tertarik dalam bidang kajian pengukuran kinerja sektor publik dengan pendekatan OPM& M dengan model Performance Blueprint, serta untuk
memperkuat penelitian
10
sebelumnya berkenaan dengan pengukuran kinerja di bidang akuntansi sektor publik. 3)
Kontribusi Policy Making Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Pusat dan Kementerian PAN & RB dalam merumuskan kebijakan pengukuran kinerja instansi pemerintah masa yang akan datang.
1.7
Proses Penelitian Tahapan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: 3. Pondasi Teoretikal Penelitian Studi Kasus
2. Tujuan Penelitian
1. Pertanyaan Penelitian
4. Metode Penelitian Studi Kasus
5. Temuan dan Analisis
Sumber: Pedoman Umum Penulisan Tesis (Program Maksi UGM, 2011).
Gambar 1.1 Proses Penelitian Studi Kasus 1.8
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan dalam tujuh bab
sebagai berikut: BAB I :
PENDAHULUAN. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan
permasalahan,
pertanyaan
penelitian,
tujuan
penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian, proses penelitian dan sistematika penulisan.
11
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi landasan teoritis sebagai kerangka berfikir untuk melaksanakan investigasi dan hasil-hasil
penelitian sebelumnya
yang relevan dengan
permasalahan. BAB III :
LATAR BELAKANG KONSTEKSTUAL PENELITIAN. Bab ini menjelaskan secara deskriptif tentang obyek penelitian secara selektif, aplikasi teori dan konsep untuk mendapatkan pemahaman yang spesifik mengenai karakteristik obyek penelitian terkait dengan perspektif teori dan konsep yang digunakan pada bab sebelumnya.
BAB IV :
RANCANGAN PENELITIAN. Bab ini berisi pengambilan data dan analisis data penelitian, yang meliputi rasionalitas penelitian, pemilihan obyek penelitian, jenis, sumber dan teknik pengumpulan data serta metode analisis data.
BAB V
: PEMAPARAN TEMUAN INVESTIGASI. Bab ini berisi temuan-temuan dalam investigasi untuk dapat menjawab tujuan penelitian.
BAB VI :
RINGKASAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini berisi ringkasan mengenai latar belakang, cara dan hasil penelitian, serta pembahasan, analisis dan diskusi atas permasalahan yang ditemukan pada bab sebelumnya.
12
BAB VII : SIMPULAN DAN REKOMENDASI. Bab ini berisi simpulan, keterbatasan penelitian, dan rekomendasi yang menunjukkan hasil implikasi dari hasil penelitian.