1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Realitas di media yang menyebutkan bahwa pemerintahan di Indonesia tidak pernah lepas dari yang namanya konflik dalam menjalankan pemerintahan adalah faktual. Seperti pemberitaan tentang partai-partai politik di Indonesia yang berselisih paham dalam memperoleh dukungan dari masyarakat pada pemilu. Konflik dalam pemilu selalu terjadi bahkan Kepolisian Republik Indonesia memperkirakan pada Pemilihan Umum 2014, baik legislatif maupun presiden, rawan konflik sosial antar-massa pendukung partai. Untuk itu polisi telah memetakan daerah mana saja yang rawan konflik untuk mencegah kesuruhan massa. Dari anggaran pemilu triliun rupiah yang digelontorkan pemerintah, 600 milyar diserahkan kepada kepada pihak kepolisian untuk mengatur jalannya ketertiban pemilu (Tempo, 5 Februari 2014). Pemilu 2014 juga diberitakan surat kabar Kompas dengan judul “Peta Konflik Pilpres 2014”, yang menyebutkan bahwa pemilu tahun 2014 tersebut berbeda dari tahun sebelumnya. Karena terdapat 2 kubu yang lolos dan pengaruh media massa, dalam pemberitaan ini disebutkan bahwa media massa sebagai salah satu pilar demokrasi yang seharusnya menjembatani informasi
2
yang netral kepada khalayak, namun kini menjadi partisan politik (Kompas, 4 Juli 2014). Selain pemberitaan mengenai pemilu 2014 ada pemberitaan lainnya terkait dengan perselisihan internal didalam partai politik. Kompas memberitakannya dengan judul “Menyatukan Dua Golkar, Bisakah?”. Pemberitaan tersebut mengenai Munas Golkar yang sudah dilaksanakan dua kali mengakibatkan terbaginya dua kubu di dalam partai tersebut yaitu kubu Abu Rizal Bakrie dan Agung Laksono. Konflik terjadi dikaneranakan perselisihan paham, yang menyebabkan perpecahan didalam parpol tersebut. Pertikaian yang terjadi sudah melibatkan pemerintah namun tak kunjung usai (Kompas, 10 Januari 2015 hal 2). Pemberitaan lainnya mengenai berita konflik adalah terkait dengan TNI dan Polri. Kedua lembaga tinggi negara di Indonesia ini terlibat konflik yang berkepanjangan. Beberapa tahun terakhir terhitung dari tahun 2014 konflik TNI dan Polri semakin sering terjadi, bahkan sudah amat meresahkan masyarakat, Presiden Joko Widodo telah meninstruksikan para pejabat terkait segera
mencari
solusi
bersifat
menyeluruh
dan
permanen.
Akar
permasalahannya adalah sikap kebanggaan yang berlebihan sehingga merasa lebih hebat dan kecemburuan akibat jomplangnya kesejahteraan. Solusinya adalah perlu adanya kelompok kerja gabungan TNI dan Polri yang serius dan melibatkan sosiolog, psikolog dan ahli lainnya (Kompas, 6 Desember 2015, hal. 7).
3
Selanjutnya pada awal 2015 kembali terjadi yang melibatkan dua instansi besar di Indonesia yaitu antara KPK dan Polri. Kasus ini bermula pada saat Presiden Joko Widodo akan melantik Calon Kapolri yang baru yaitu Budi Gunawan. KPK menganggap bahwa Budi Gunawan menjadi tersangka kasus korupsi dan Presiden juga sudah mengetahui hal tersebut namun tetap memilihnya. Selanjutnya Budi Gunakan mengajukan gugatan kembali kepada KPK yang menghambat proses kerja KPK. Setelah penetapan dan penangkapan Budi Gunakan sebagai tersangka, Polri mengajukan gugatan mengenai kasus suap yang melibatkan wakil ketua KPK. Wakil ketua KPK Bambang Widjajanto ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus suap pilkada. Selanjutnya konflik semakin meruncing dan mengakibatkan simpatisan dari masyrakat yang ikut dalam mengeluarkan aspirasi terkait pembelaan terhadap kedua lembaga tersebut dengan slogannya save KPK dan save Polri (Kompas, 10-24 Januari 2015). Dari realitas diatas menunjukan bahwa media massa telah memberikan pandangan masyarakat dibidang politik dengan mengangkat topik berita terkait dengan fenomena yang mengandung konflik dikarenakan memiliki nilai berita atau news value. Pemberitaan mengenai konflik yang terjadi dalam kasus kasus tersebut berhubungan dengan kekuasaan dan anggaran. Untuk itu persaingan ketat dalam memperebutkan kekuasaan di Indonesia setiap tahunnya semakin menarik dimana minat masyarakat semakin besar dalam mendukung berjalannya roda pemerintahan. Konflik seolah sudah menjadi
4
intisari dari pemberitaan media massa di Indonesia, yang terlihat dari beberapa pemberitaan diatas. Pemberitaan mengenai konflik lainnya terkait dengan anggaran negara yang juga memiliki news value karena menyangkut dengan uang rakyat. Seperti halnya Kompas memuat berita dengan judul “Penyimpangan anggaran Naik: penggelembungan dan perjalanan fiktif terjadi.” Pemberitaan tersebut berisi mengenai nilai penyimpangan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan badan usaha milik negara cenderung naik. Badan Pemeriksa Keuangan meminta pengawasan penggunaan anggaran diperketat agar kasus-kasus penyimpangan tidak berulang. Hasil pemeriksaan BPK semester I tahun 2004 modus yang kerap dipakai menyebabkan kerugian negara paling besar adalah penggelembungan nilai pengadaan barang dan jasa yang mencapai Rp 527 miliar, dan perjalanan dinas fiktif atau ganda mencapai RP 93,83 miliar. Laporan BPK mengungkapkan penyimpangan dalam bentuk ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan di Kementrian Keuangan Rp 2,62 triliun serta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang bernilai Rp 2,52 triliun (Kompas, 3 Desember 2014, hal 1 dan 15 kol. 1-4). Berita penyelewengan dana tidak hanya terjadi dalam skala nasional namun didaerah pun banyak kasusnya, seperti pada berita Kompas dengan judul “Rekening Gendut dan Korupsi Politik”. Pemberitaan berisi bahwa hingga akhir tahun 2014 tercatat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76
5
anggota DPR dan DPRD, serta menteri dan pejabat lembaga negara yang terjerat kasus korupsi. Sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau. Anehnya, data statistik itu tidak menggentarkan pejabat-pejabat lain (Kompas, 24 Desember 2014, 8). Pengadaan anggaran yang dimanipulasi dan penyelewengan dana besar-besaran setiap tahun menjadi cerita khas dari bentuk pemerintahan di Indonesia. Anggaran dan konflik merupakan pusaran yang kental dengan bentuk politik di negara ini. Tindak pidana penyelewengan anggaran merupakan bentuk dari korupsi dan pemicu terjadinya konflik. Seperti pemberitaan media massa surat kabar dengan judul “Penyerapan Tahun 2014 Kembali Tak Maksimal.” DIY mengusulkan perubahan presentase pencairan dana keistimewaan dikarenakan penyerapa dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2014 kembali kurang optimal meski lebih baik daripada tahun lalu. Dari dana yang dianggarkan sebesar Rp 323,874 miliar yang terserap hanya Rp 272,066 atau sekitar 51,9 persen (Kompas, 9 Januari 2015, hal 21). Ini adalah sebuah gambaran realitas dimana anggaran-anggaran daerah kurang bisa dikelola dengan baik. Pemberitaan mengenai anggaran daerah lain yaitu tentang DPRD DKI dan Gubernur DKI Jakarta bersitegang terkait APBD DKI tahun 2015. Kasus APBD DKI ini semakin disoroti oleh surat kabar karena terjadi di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dimana pusat pemerintahan dilaksanakan pada daerah tersebut dan juga Jakarta merupakan daerah ibu kota negara Indonesia.
6
Ibukota Negara DKI Jakarta menjadi sorotan berbagai media massa baik cetak maupun elektronik dikarenakan anggaran APBD kasus yang bermula ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melaporkan indikasi dana siluman kepada Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi dan mendatangi istana negara untuk menemui mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pula pada Jumat 27 Februari 2015. Pak Ahok menyerahkan sejumlah dokumen terkait APBD DKI kepada KPK. Ahok mempermasalahkan APBD DKI 2015 yang dianggap ada penyimpangan. Ahok menyebutkan, ada anggota DPRD yang memotong 1015 persen anggaran pada program unggulan dalam Rancangan APBD 2015, lalu dialokasikan untuk program-program bernilai total Rp 12,1 triliun yang menurut dia tidak penting. Pemberitaan perselihan antara DPRD DKI Dengan Gubernur DKI Jakarta semakin meruncing terlihat dari kronologi berita yang dimuat pada Harian Kompas tersebut. Kasus penggelembungan APBD DKI Jakarta tidak hanya terjadi ditahun 2015 saja namun dari tahun 2012 sudah terjadi dan nominal yang dapat dikatakan fantastis adalah pada tahun 2014 dan 2015. Terlihat dari berbagai media yang memberitakan hal tersebut. Melihat latar belakang Kompas sebagai surat kabar yang berani menampilkan berita
yang masih teka-teki dan kontroversi, bahkan
pemberitaan yang harus bersitegang seperti pada pemberitaan Gubernur DKI VS DPRD DKI ini. Kompas merupakan salah satu surat kabar yang dijadikan
7
referensi bacaan bagi orang-orang yang mencari kebenaran tanpa melebihlebih namun mengandung kritikan tajam. Hingga saat ini Kompas fokus terhadap pemberitaan masalah pemerintah, politik, ekonomi, hukum dan keadilan. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian analisis wacana terhadap pemberitaan terkait APBD DKI Jakarta 2015 di surat kabar Kompas. Penelitian terhadap pemberitaan kasus kisruh APBD DKI sangatlah tepat dilakukan pada surat kabar Kompas karena Kompas menginvestigasi atau mendalami kasus ini secara bertahap. Kompas mengikuti perkembangan kasus terkait kisruh APBD DKI 2015 mulai dari proses pelaporan ke KPK penemuan dugaan awal penemuan anggaran siluman dalam APBD DKI 2015, semakin kuatnya temuan anggaran siluman, tindakan yang dilakukan Kemendagri, akibat terhambatnya penetapan APBD DKI hingga kepentingan rakyat yang harusnya dikedepankan dalam menyelesaikan kisruh APBD DKI ini. Pemberitaan yang menyeluruh dari awal kejadian hingga pengungkapan dan penyelesaian yang dilakukan oleh surat kabar Kompas, bertujuan untuk menjadi acuan kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu negara. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana proses perkembangan pemberitaan media cetak surat kabar tentang kasus kisruh APBD DKI Jakarta 2015 tersebut dikonstruksikan media dalam sebuah teks berita. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian analisis wacana bagaimana surat kabar Kompas mengkonstruksi pemberitaan kasus kisruh APBD DKI Jakarta 2015 pada teks berita surat kabar.
8
Aspek kajian penelitian ini dalam bidang ilmu komunikasi adalah berupa pesan yang disampaikan oleh media massa yaitu sebagai komunikator. Dalam komunikasi massa pesan diproduksi oleh berbagai surat kabar dengan melalui beberapa proses dan prosedur yang ada sesuai dengan kebijakan pers yang ada di negaranya dalam bentuk teks berita. Komunikasi memiliki dua mahzab yaitu dapat dipandang sebagai proses pemaknaan tanda yang berupa pesan (Fiske, 2010: 8-9). Maksudnya adalah komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksi penerimanya sehingga menghasilkan makna (Fiske, 2010: 10). Jadi pesan adalah apa yang disampaikan oleh pengirim dengan tujuan tertentu yang hasilnya akan dapat diteliti. Seperti halnya pesan yang disampaikan sebuah surat kabar seperti Kompas memiliki sebuah makna tertentu dibalik dari bahasa teks yang tersirat dalam berita terkait dengan dana siluman yang ada dalam APBD DKI Jakarta 2015. Penyajian berita antara satu surat kabar dengan surat kabar lainnya memiliki perbedaan sesuai dengan ideologi yang dimiliki perusahaan. Surat kabar harian Kompas memiliki perbedaan yang terlihat langsung dari penggunaan struktur bahasa dan dengan analisis akan nampak makna sesungguhnya yang ingin Kompas sampaikan melalui teks berita yang disajikannya mengenai DPRD VS Gubernur DKI Jakarta terkait APBD DKI 2015. Penyampaian pesan melalui tema dan struktur bahasa memunculkan isu-isu baru atau bahkan menutupi isu lainnya. Oleh karena itu peneliti ingin mengangkat masalah ini sebagai penelitian. Penelitian dengan menggunakan
9
media surat kabar nasional Harian Kompas edisi Februari hingga Maret 2015. Khalayak harus bisa lebih peka dalam menerima terpaan media untuk dapat memahami pemberitaan dari hasil konstruksi yang dilakukan media dengan ideologi dan kepentingan yang dimiliki. Banyak pihak-pihak politikus (politisi) saat ini yang ingin menguasi pers dikarenakan pers merupakan pilar keempat demokrasi. Untuk itu diharapkan masyrakat dapat peka terhadap isi pemberitaan. Dengan menggunakan analisis wacana, teks dalam media surat kabar Harian Kompas terkait pemberitaan DPRD VS Gubernur DKI Jakarta Terkait Anggaran Dana APBD DKI Jakarta Tahun 2015. Analisis wacana merupakan ilmu yang mempelajari mengenai konteks yang terdapat dapat dalam sebuah teks dan bahasa pada pemberitaan. Dalam teks berita, fungsi bahasa dalah sebagai penyampai peristiwa dengan terstruktur secara tekstual. Bahasa digunakan untuk menggambarkan realitas yang ada disekitar manusia. Dalam sebuah pesan dilihat dari apa yang tampak dalam teks atau tulisan, situai dan kondisi (konteks), bukan hanya itu tetapu juga pesan yang dapat membuat perbedaan persepsi. Struktur kebahasaan yang dipilih dalam menyajikan berita menjadi penilaian pula mengenai bagaimana sebuah surat kabar menanggapi kasus tersebut. Dengan menggunakan studi analisis wacana peneliti
ingin
mengethui
bagaimana
surat
kabar
nasional
Kompas
mengkonstruksi realitas berita terkait DPRD VS Gubernur DKI Jakarta Terkait Anggaran Dana APBD DKI Jakarta Tahun 2015 edisi bulan Februari – Maret 2015.
10
Media cetak surat kabar Kompas dipilih karena kemampuannya untuk memberikan informasi secara lebih jelas, logis dan lengkap. Kemampuannya untuk menginvestigasi kehidupan masyarakat dan persolan masyarakat melalui penyajian berita dan opini sekaligus, sehingga masyarakat memperoleh pengetahuan tentang persoalan secara lengkap. Surat kabar yang dipilih
dalam
penelitian
ini
adalah
surat
kabar
nasional
Kompas
mengkonstruksi realitas berita terkait DPRD VS Gubernur DKI Jakarta Terkait Anggaran Dana APBD DKI Jakarta Tahun 2015 edisi bulan Februari – Maret 2015. Periode tersebut dipilih karena pada edisi ini awal mulanya kasus dana siluman APBD DKI menghebohkan seluruh Indonesia. Harapan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana sebuah realitas dikonstruksi dalam teks berita yang terumata mengenai kisruh APBD DKI Jakarta 2015 yang dikonstruksi Kompas. Untuk itulah dilakukan penelitian terhadap teks-teks berita terkait DPRD VS Gubernur DKI Jakarta Terkait Anggaran Dana APBD DKI Jakarta Tahun 2015 edisi bulan Februari – Maret 2015. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas penulis merumuskan masalah adalah sebagai berikut: Bagaimana surat kabar Kompas dalam mengkonstruksi berita terkait anggaran dana APBD DKI Jakarta tahun 2015 edisi bulan Februari – Maret 2015?
11
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas maka penelitian ini mempunyai tujuan adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui cara pandang wartawan dalam menulis teks berita anggaran dana APBD DKI Jakarta tahun 2015 di koran kompas edisi bulan Februari – Maret 2015. D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan secara teoritis dalam pengembangan ilmu komunikasi terutama dalam bidang media cetak yaitu surat kabar. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dilihat dari segi praktisnya yaitu studi analisis wacana yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai perkembangan penelitian dan dapat dikembangkan lagi dengan kasus yang berbeda sehingga akan dapat diketahui bagaimana ideologi dari sebuah surat kabar dalam menyajikan berita mengenai politik.
12
E. Kajian Pustaka Teori-teori berfungsi dalam penelitian sebagai acuan dalam membantu kita memahami, menjeaskan, mengartikan, menilai dan menyampaikan (Littlejohn dan Foss, 2008: 22). Teori juga merupakan sebuah cara untuk melihat, menyusun dan menunjukkan fakta yang tersembunyi. Sebuah teori menjadi salah satu cara untuk mendapatkan kebenaran dari sebuah fenomena tetapi bukan satu-satunya cara untuk memandang fenomena tersebut. Teori mengatur bagaimana kita melakukan pendekatan dalam melakukan penelitian. 1. Kriteria Layak Cetak Berita Yang dimaksud dengan berita adalah cerita tentang suatu peristiwa baik dalam bentuk teks maupun gambar maupun lain sebagainya. Berita merupakan informasi aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang (Kusumaningrat, 2009: 40). Dalam penulisan berita ada prinsip-prinsip yang harus terpenuhi dikarenakan berita akan dibaca oleh publik. Prinsip tersebut adalah: disiplin verifikasi; akurat dan lengkap; jelas; menarik; majas; ritme; pendek, lazim, praktis; petunjuk penulisan; pengujian berita; dan keberpihakan (Mursito, 2013: 32). Prinsip-prinsip ini sangatlah diperlukan dalam penyusunan pemberitaan baik di surat kabar maupun media lainnya yang memiliki konten berita. Berita memiliki dua jenis yaitu berita feature dan berita lugas. Berita lugas mengutamakan penyampaian informasi yang cepat, lugas,
13
langsung keinti dan ringkas. Jurnalisme seringkali disebut sebagai literature in a hurry dikarenakan pekerjaan jurnalistik ada unsur ketergesagesaan (Kusumaningrat, 2009: 126). Sehingga teknik-teknik penulisan berita dalam surat kabar mengacu pada kecepatan yang bentuknya singkat, padat, dan ringkas. Fakta-fakta disusun secara sekuensial dari atas kebawah diurutkan mulai dari yang terpenting sampai yang kurang penting, struktur ini dinamakan piramida terbalik (Mursito, 2013: 160). Gambar 1.1 Piramida Terbalik Dalam Berita
TITLE Lead Body
Leg
Paling penting
Kurang penting
14
Sumber: Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama, Jurnalistik: Teori dan Praktik, 2009, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal 126 Dalam menyusun berita terdapat elemen yang harus terpenuhi agar jelas maksud dari isi berita tersebut. Ada 4 elemen pokok dalam struktur dengan format berita lugas adalah judul, pembuka (lead), tubuh (body) dan penutup (Mursito, 2013: 162-171). Berita pertama-tama harus cermat dan tepat atau akurat. Selain itu berita juga lengkap, adil dan berimbang, serta tidak mencampurkan fakta dan opini atau objektif. Syarat praktis dari penulisa berita adalah ringkas (concise), jelas (clear) dan hangat (current). Dari penjelasan diatas terdapat tujuh sifat istimewa dari berita yang disebut dengan unsur-unsur layak berita adalah: akurat, lengkap, adil dan berimbang, objektif, ringkas, jelas dan hangat (Kusumaningrat, 2009: 48). Berita memiliki kriteria layak cetak yang berhubungan dengan etika, norma, kesusilaan, privasi, serta konflik sektarian (SARA). Layak cetak atau siar merupakan syarat berita karena berita yang tidak layak bisa menimbulkan dampak buruk terhadap publik atau publik tertentu. Apabila news value (nilai berita) adalah syarat kualitas berita maka fit to print (layak cetak) adalah syarat kualitas etis (Mursito, 2013: 96). Berita memiliki nilai-nilai atau kriteria dalam melakukan seleksi yang akan diberitakan atau bagaimana mewacanakan beritanya. Nilai berita terdapat dua pandangan yaitu pandangan lama dan modern. Nilai berita pada pandangan lama menurut Tobias Peucer dalam Kusumaningrat (2006: 59) kriteria yang menentukan nilai layak berita terbagi menjadi tiga
15
yaitu: tanda-tanda yang tidak lazim, berbagai jenis keadaan, dan masalahmasalah agama dan keterpelajaran. Sedangkan nilai pada pandangan modern ada unsur kejelasan tentang kejadiannya, unsur kejutan, unsur kedekatannya secara geografis, serta dampak dan konflik personalnya (Kusumaningrat, 2006: 60). Nilai berita itu tidak lebih daripada asumsi instuitif wartawan tentang apa yang menarik bagi khalayak tertentu yaitu apa yang mendapat perhatian mereka. Unsur-unsur berita yang sekarang dipakai dalam memilih berita. Unsur-unsur tersebut adalah: (Kusumaningrat, 2006: 6066) a. Aktualitas (Timeliness) Masyarakat membutuhkan berita yang ingin cepat ia baca. Berita aktual adalah berita yang semakin baru peristiwanya, sehingga nilai beritanya semakin tinggi. Pemberitaan akan berita-berita hangat sedemikian besarnya sehingga sebuah kisah kejadian yang memenuhi sebuah surat kabar pada satu hari tertentu biasanya terlalu basi untuk dimuat keesokan harinya. b. Kedekatan (proximity) Kedekatan dengan pembaca akan lebih menarik perhatian, karena masyarakat senang dengan hal-hal yang mirip dengan dirinya. Begitu pula degan daya tarik sebuah berita, semakin dekat dengan pembaca maka semakin menarik berita itu. c. Keterkenalan (prominence)
16
Dengan melihat sepintas pada kolom-kolom berita kita sudah dapat melihat adanya tingkatan-tingkatan dalam status sosial diantara anggota-anggota masyarakat. Kejadian yang menyangkut tokoh terkenal memang akan banyak menarik pembaca. d. Dampak (consequence) Peristiwa memiliki dampak luas bagi masyarakat. Berita merupakan sejarah dalam keadaannya yang tergesa-gesa, untuk itu penting mengukur luasnya dampak dari suatu peristiwa. e. Human interest Berita human interest terkandung unsur yang menarik empati, simpati, atau menggugah perasaan khalayak yang membacanya. Human interest memiliki arti menarik minat orang. Dunia jurnalistik memasukkan setiap jenis berita yang memiliki daya tarik universal yang menarik minat orang kedalam golongan human interest meskipun berita tersebut kurang memiliki dampak. Menurut Kusumaningrat (2006: 6466) berita-berita mengandung unsur human interest dibawah ini: 1) Ketegangan (suspense) 2) Ketidalaziman (unusualness) 3) Minat pribadi (personal interest) 4) Konflik (conflict) 5) Simpati (sympathy) 6) Kemajuan (progress) 7) Seks (sex) 8) Usia (age) 9) Binatang (animals) 10) Humor (humor) Ada dua pendekatan dalam penulisan berita yaitu penulisan berita obyektif dan penulisan berita interpretatif (Mursito, 2013: 98). Pendekatan
17
obyektif berpendapat bahwa berita harus sepenuhnya berasal dari fakta di lapangan. Sedangkan berita interpretatif adalah berita yang berasal dari lapangan tetapi dilengkapi dengan fakta-fakta lain, baik berupa data-data dari dokumentasi tertulis maupun peristiwa-peristiwa ditempat lain dan di masa lalu. Format berita interpretatif dikoran merupakan jawaban terhadap publik yang membutuhkan berita dengan kedalaman. Karena berita interpretatif merupakan berita yang dilengkapi dengan fakta atau data lain untuk menjelaskan berita bukan interpretasi subyektivitas wartawan dengan memasukan opininya. Media cetak dalam menyajikan konten berita harus memenuhi prinsip-prinsip serta elemen-elemen pemberitaan, supaya pembaca dapat mengerti dan menafsirkan maksud dari isi berita yang disajikan tersebut. Media cetak yang biasanya memuat berita adalah surat kabar, salah satunya seperti Harian Kompas yang menyajikan pemberitaan secara lengkap, padat dan bermakna. 2. Jurnalistik Media Cetak Media massa merupakan sebuah lembaga atau perusahaan dimana memproduksi informasi dalam berbagai bentuk. Setiap media dalam memproduksi pesan atau berita memiliki tujuan tertentu sesuai dengan ideologi yang dimiliki dan berlatar belang dari sebuah peristiwa yang dianggap layak untuk diketahui konsumennya. Seperti yang dikutip sebagai berikut, media berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan
18
berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam (Sobur, 2012: 29-30). Selain itu media merupakan ruang untuk menyalurkan ideologi dari media massa tersebut juga menjadi ruang publikasi bagi pemeritahan, karenanya media terkadang dianggap lebih berkuasa daripada pemerintah. Media merupakan ruang bagi ideologi dipresentasikan, selain itu media juga merupakan alat ideologis kekuasaan negara, dan media massa sebagai institusi informasi sebagai urat nadi pemerintahan, serta media (pers) acap disebut dengan kekuatan keempat kehidupan sosial-ekonomi dan politik (Sobur, 2012: 30-31). Pesan dalam komunikasi massa merupakan bagian pokok yang cukup penting dalam proses komunikasinya. Pesan adalah apa yang pengirim sampaikan dengan sarana apapun. Setiap pesan mengandung makna atau tujuan tertentu baik yang tampak maupun tidak. Tujuan dalam pengiriman pesan dapat diperoleh dengan analisis. Pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi. Makna itu tidak tetap bisa beragam dalam batas-batas sesuai pengalaman penggunanya dan dibatasi oleh konvensi sosial. Pesan dapat mempengaruhi opini atau dapat menginterpretasikan sesuatu antara orang satu dengan orang lain. Makna dalam pesan sangat berpengaruh dalam proses komunikasi massa. Sedangkan yang dimaksud dengan jurnalistik atau jurnalisme berasal dari kata journal yang berarti catatan harian atau juga berarti surat kabar. jurnalistik merupakan suatu proses yang dilakukan dalam
19
menghimpun berita yang akan diproduksi dan disebarluaskan kepada pembacanya. MacDougall menyebutkan bahwa jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa (Kusumaningrat, 2009: 15). Seperti kutipan dalam jurnal bahwa “Journalists‟ considerations of newsworthiness are central to the media selection process” (Petersen, 2014: 4). Semua kegiatan jurnalistik terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita oleh wartawan disebut dengan pers. Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran dan bukan sebagai alat pemerintah. Pers harus bebas dari pengaruh dan kendali pemerintah dan berfungsi mengawasi pemerintah. Tugas dan fungsi pers tidak mewujudkan keinginan melalui media baik cetak maupu elektronik melainkan lebih dalam lagi yaitu mengamankan
hak-hak
warga
Negara
dalam
kehidupan
berwarganegaranya. Untuk itu pers memiliki enam fungsi pokok, diantaranya adalah sebagai berikut: (Kusmaningrat, 2009: 27-29) a. Fungsi informatif, dimana pers berfungsi memberikan informasi atau berita kepada khalayak dengan cara yang terstruktur. b. Fungsi kontrol, dimana pers mengawasi dan menyelidiki apa yang menyangkut mengenai pekerjaan pemerintah atau perusahaan. c. Fungsi interpretatif dan direktif, dimana pers memberikan interprestasi dan petunjuk-petunjuk bagi masyarakat. d. Fungsi menghibur, dimana pers selain menyajikan informasi juga berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat
20
e. Fungsi regenerati, dimana pers membantu menyampaikan informasi kepada generasi kegenerasi yang baru agar terjadi proses regenerasi dari angkatan yang sudah tua kepada yang lebih muda. f. Fungsi pengawalan hak-hak warga Negara, dimana pers mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi masyarakat. g. Fungsi ekonomi, dimana pers melayani sistem ekonomi melalui iklan. h. Fungsi swadaya, dimana pers mempunyai kewajiban untuk memupuk kemampuanya agar dapat membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh serta tekanan-tekanan dalam bidang keuangan Dari fungsi pers diatas menunjukkan bahwa fakta dalam jurnalistik sangatlah penting. Fakta atau kenyataan dalam jurnalistik adalah fenomena yang keberadaaanya sama-sama bisa dilihat, dibuai, atau dirasakan oleh mereka yang hadir ditempat fenomena itu berada oleh wartawan (Mursito, 2012: 4). Untuk itu sebagai wartawan memiliki tanggung jawab yang besar dalam bidang jurnalistik ini. Profesi wartawan dipandang sebagai profesional jika dibandingkan dengan profesi buruh lainnya.
Seperti
halnya yang dikutip mengenai istilah profesional memiliki tiga arti yaitu kebalikan dari amatir, sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus, norma-norma yang mengatur perilaku dititik beratkan pada kepentingan khalayak pembaca (Kusumaningrat, 2009: 115). Profesi wartawan memiliki fungsi vital dan dapat dikatakan sebagai ujung tombak dalam proses penyampaian informasi. Seperti kutipan berikut wartawan yang paling menentukan dan ujung tombak media
21
karena berhadapan langsung dengan realitas empirik dimana wartawan harus memilih menyeleksi, mempersepsi, dan menginterpretasikan obyek berita (Mursito, 2012 : 32). Serta telah diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, bahwa wartawan memiliki kode etik ter diantaranya adalah terkait dengan kepribadian dan integritas, cara pemberitaan, sumber berita, kekuatan kode etik jurnalistik serta kode etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Fakta atau informasi yang dihimpun oleh wartawan akan diolah sebagai bentuk berita dalam media massa. Berita harus berisi mengenai kebenaran. Dalam jurnalisme ada berbagai cara, sarana atau yang digunakan
dalam
upaya
mendapatkan
kebenaran.
Elemen-elemen
jurnalisme dalam upaya mendapatkan kebenaran dilihat dari obyektivitas, netralitas, profesionalisme, patronase korporasi, independensi, dan kebenaran informasi yang didapatkan (Mursito, 2013:32). 3. Komunikasi Sebagai Pembangkitan Makna Komunikasi terdapat dua cara pandang utama yaitu komunikasi sebagai transmisi pesan dan sebagai proses. Proses melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Berkenaan dengan pesan teks dalam kebudayaan yang menggunakan pertandaan (signification). Studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studi yang utama
adalah
semiotik.
Sebagai
proses
komunikasi
cenderung
mempergunakan ilmu-ilmu sosial dan memusatkan pada tindakan
22
komunikasi.
Semiotik memandang interaksi
sosial
sebagai
yang
membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu (Fiske, 2010: 8-9). Pada saat berkomunikasi disadari atau tidak wacana (desource) sedang dibangun. Tindakan menggunakan bahasa sesuai kaidah tatabahasa namun tetap memasukan unsur non-bahasa. Kesadaran dalam membangun wacana menentukan sukses atau tidaknya komunikasi. Komunikasi adalah proses menciptakan dan menafsirkan pesan (Hamad, 2010: 6). Perkembangan saat ini menyebabkan kita menata kembali cara mengelola pesan dalam pendektan komunikasi. Hal inilah yang disebut perspektif komunikasi sebagai wacana. Perspektif komunikasi sebagai menciptakan makna menghadirkan makna tertentu dibenak khalayak. Karenanya pilihan tanda (sign) dalam komunikasi menjadi sangat mendasar agar makna yang kita kirimkan dapat dipahami oleh khalayak (Hamad, 2010: 15-16). Komunikasi sebagai proses konstruksi realitas adalah komunikasi yang
didalamnya
berlangsung
proses
pengembangan
wacana.
Komunikator sebagai pelaku konstruksi realitas yang berupaya menyusun realitas pertama kedalam struktur cerita yang bermakna atau berwacana. Komunikasi sebagai wacana baik dalam kegiatan komunikasi antar-pribadi secara tatap muka maupun antar individu melalui media (Hamad, 2010: 41). Dalam mengkonstruksi realitas dipengaruhi oleh faktor-faktor innocencity, internality, dan externality, para pihak menggunakan bahasa,
23
mengatur fakta, dan menyesuaikan waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan. Komunikator dan komunikan dalam membangun realitas mengenai hal-hal yang dipikirkan dan dialami untuk disampaikan kepada teman komunikasinya. Bagi semiotik pesan merupakan konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima menghasilkan makna. Pengirim yang mendefinisikan sebagai transmiter pesan menurun perannya, namun penekanan bergeser pada teks dan bagaimana teks itu dibaca. Dan membaca adalah proses menemukan makna (Fiske, 2010: 10). Jadi komunikasi merupakan proses menemukan makna yang terkandung dalam teks.
Pendekatan
radikal
dalam
komunikasi
menyebutan
bahwa
komunikasi bukan sebagai proses melainkan sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) (Fiske, 2010: 59). Komunikasi memustkan perhatian pada apakah yang membuat tulisan diatas kerta atau suara diudara menjadi pesan. Berbicara tentang makna pesan komunikasi berarti membicarakan pula tentang tanda. Studi tentang tanda dan cara tandatanda bekerja dinamakan semiotika atau semiologi. Semiotika memiliki tiga bidang studi utama yaitu tanda itu , kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda dan kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja (Fiske, 2010: 60). Semiotik memfokuskan terutama pada teks. Penerima atau pembaca memainkan peran yang lebih aktif. Dalam model makna diperhatikan tiga unsur yang selalu ada yaitu tanda, acuan tanda dan penggunaan tanda. Tanda bersifat fisik, tanda mengacu
24
pada sesuatu diluar tanda dan bergantung pada pengenalan oleh penggunaanya sehingga bisa disebut tanda (Fiske, 2010: 61). Makna itu tidak tetap, bisa beragam dalam batas-batas sesuai pengalaman penggunanya yang ditentukan oleh konvensi sosialnya. Menurut Hamad (2010: 49) ada tiga bentuk strategi yang digunakan dalam membuat wacana yaitu strategi signing, framing, dan priming. Strategi signing adalah strategi penggunaan tanda-tanda bahasa, baik bahasa verbal maupun non verval. Dalam pembuatan wacana sistem tanda merupakan alat utama dalam proses konstruksi realitas. Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan obyektifikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu obyek. Begitu pentingnya bahasa maka tak ada berita, cerita maupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa (Hamad, 2010: 50). Terdapat berbagai cara komunikator (media massa) memanfaatkan bahasa untuk mempengaruhi realitas, mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya, memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru, dan menetapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. Sebagai konsekuensi penggunaan bahasa tertentu berimplikasi pada munculnya makna dan citra tertentu. Bahkan, dalam banyak kasus bahasa cuma sebagai alat mengkonstruksikan realitas namun sekaligus dapat menciptakan realitas itu .
25
Dalam
kegiatan
komunikasi
menggunakan
media,
praktik
komunikasi memproduksi realitas tampak semakin nyata (Hamad, 2010: 44). Hal ini dikarenakan wacana yang dihasilkan dimediasikan, baik dalam bentuk teks (wacana berupa tulisan, gambar), talk (wacana berupa lisan, percakapan), act (wacana berupa tindakan, gerakan), maupun dalam bentuk artefact (wacana berupa bangunan, tata-letak). Dalam pandangan komunikasi sebagai wacana (communication as disource) semua bentuk desaource: surat, berita, feature, opini (beberapa ragam dari wacana teks) adalah hasil pekerjaan sadar para pembuat dalam memprodukasi realitas. Dalam perspektif teori ini tak ada faktor kebetulan dalam wacana. Semua aspek wacana: bahasa, fakta, penyiaran, te;ah diperhitungkan secara matang. Perspektif ini percaya bahwa pembuat wacana perbuatan yang disadari kalau tidak oleh kreatornya maka oleh khalayaknya (Hamad, 2010: 77-78). 4. Konstruksi Realitaa Sosial Pada umumnya paradigma definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya (Bungin, 2006: 191). Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas yang relatif bebas didalam dunia sosialnya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak diluar kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu berasal. Karena itu paradigma definisi sosial lebih tertarik pada apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama pada pengikut interaksi simbolis.
26
Dalam penjelasan ontologis paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Kebenaran realitas sosial bersifat relatif yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai sesuai oleh pelaku sosial (Hidayat dalam Bungin, 2006: 191). Realitas sosial itu ada dipandang dari subyektivitas dan dunia objektif disekeliling realitas sosial itu. Realitas sosial
hasil ciptaan
manusia yang kratif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Seperti pandangan Max Weber dalam Bungin (2006: 192) yang melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karenanya perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Realitas sosial membutuhkan individu baik didalam maupun diluar realitas itu karenanya ia tidak dapat berdiri . Realitas sosial memiliki makna apabila realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga meyakinkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksikan realitas sosial dan mengkonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektiviras individu lain dalam institusi sosialnya. Peter L.Berger dan Thomas Luckman mengenalkan istilah konstruksi sosial atas realitas (social constraction of reality) melalui buku “The Social Constraction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge” tahun 1966. Yang kemudian dikutip dalam Bungin (2006: 193) yaitu gambaran mengenai proses sosial melalui tindakan dan interaksinya dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu
27
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Asal mulanya konstruksi sosial ini dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan konstruktif kognitif. Ada tiga macam konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme realisme hipotesis, konstruktivisme biasa (Bungin, 2006: 194). Konstruktivisme radikal dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia dan pengetahuan bagi mereka merefleksikan suatu realitas sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dalam pandangan hipotesis pengetahuan adalah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengatahuan yang hakiki. Dan konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran realitas. Dari
ketiga
konstruktivisme
terdapat
persamaan
yaitu
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada. Karenanya terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Individu membangun atas realitas yang dilihatnya berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Hal ini disebut oleh Berger dan Luckman dalam Bungin (2006: 195) dengan konstruksi realitas. Pendek kata dialektika terjadi antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika tersebut terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
28
Konstruksi sosial tidak berlangsung sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Menurut Berger dan Luckman dalam Bungin (2006: 196) realitas sosial terdiri dari realitas objektif, realitas simbolis, dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada diluar diri individu atau sebuah kenyataan. Realitas simbolis adalah ekspresi simbolis dari realitas simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Dan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi. Gagasan
konstruksi
sosial
telah
dikoreksi
oleh
gagasan
dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, dan pengetahuan masyarakat (Bungin, 2006: 196-197). Gagasan dekontruksi melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan dan
metode
penafsiran atas realitas sosial. kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bagian analisisnya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian dekonstruksi dan konstruksi sosial merupakan dua konsep gagasan yang yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial. Melalui proses dialektika, realitas sosial dapat dilihat dari tiga tahap yaitu (Bungin, 2006: 197-198): eksternalisasi atau penyesuaian diri
29
dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, internalisasi dimana proses individu mengidentifikasi diring dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya, dan objektivitas dimana interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institisionalisasi. Dalam objektivitas yang terpenting yaitu pembuatan signifikasi, yang merupakan pembuatan tanda-tanda oleh manusia (Bungin, 2006: 199). Sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektiasi lainnya karena tujuannya eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi pemaknaan subjektif. Untuk itu objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu. Penandaan membatasi kenyataan dengan sebuah simbol dan modus linguistik yang dinamakan bahasa simbol. Bahasa memegang peranan penting dalam objektivasi terhadap tanda-tanda dan bahkan tidak saja memasuki fakta melainkan prioritas yang berdasarkan kenyataan lain tidak dimasukan pengalaman pribadi. Bahasa mendirikan bangunan representasi simbolis yang sangat besar, yang tampak menjulang sangat tinggi diatas kenyataan sehari-hari. Hal yang terpenting dalam pembentukan realitas terdapat peran bahasa. Bahasa merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikasi yang mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang diobjektivasi. Bahasa digunakan untuk mensignifikasi makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakatnya.
30
Sebagaimana diungkapkan oleh Berger dan Luckman dalam Bungin (2006: 200) dimana pengetahuan itu dianggap sesuai bagi tipe-tipe orang tertentu saja. Dengan demikian yang terpenting dalam objektivitas adalah melakukan signifikansi, memberitkan tanda bahasa, simbolisasi terhadap benda yang disignifikasi, melakukan tipifikasi terhadap kegiatan seseorang yang kemudian menjadi objektivasi linguistik. Dimana pemberian tanda verbal maupun simbolisasi yang kompleks. Jadi yang dimaksud dengan konstruksi realitas sosial adalah fakta atau peristiwa yang terjadi dimasyarakat yang telah diceritakan kembali. Realitas sosial yang terjadi diceritakan kembali dengan sesuai dengan gaya bahasa yang digunakan oleh komunikator dengan tujuan tertentu disampaikan kepada komunikannya. 5. Konstruksi Realitas Media Realitas merupakan gambaran akan peristiwa atau kejadian atau fenomena yang terjadi di masyarakat. Realitas merupakan konstruksi simbolis dari suatu obyek, konstruksi realitas media mengacu pada aturan dan memenuhi syarat untuk mencapai pengetahuan obyektif (Mursito, 2012: 8-9). Realitas dalam media baik cetak maupun elektronik memiliki peran sebagai bahan pemberitaan. Semua bentuk realitas (simbolik, obyektif, subyektif, dan sosial) adalah bahan muatan berita dimedia yang disebut dengan realitas empirik, realitas empirik adalah fenomena yang diakui
31
keberadaanya baik yang telah di obyektifikasi dan di angkat dalam berbagai bentuk realitas (Mursito, 2012: 7). Dari realitas empiris tersebut menghasilkan yang namanya realitas media. Yang dimaksud dengan realitas media adalah realitas empiris yang di konstruksi media menjadi berita dan format-format informasi yang lain (feature, pojok, artikel, infotainment) (Mursito, 2012: 7). Realitas media dibangun berdasarkan kaidah-kaidah jurnalisme yang sifatnya etis, normaitf, dan teknis (Mursito, 2012: 9). Fakta jurnalisme adalah realitas media. Fakta adalah hasil pengamatan, penjelasan teoritis, konseptualisasi, atau hasil suatu investigasi jurnalistik. (Mursito, 2012: 28) Adanya perbedaan antara realitas media dengan realitas empirik dipahami sebagai pembatasan diantaranya adalah (Mursito, 2012: 30 – 32) prinsip penulisan berita adalah news value; setiap bentuk wacana tulisan selalu memiliki format dengan urutan dari bagian yang terpenting; etika; dan Undang Undang. Dalam sebuah berita terdapat obyektivitas yaitu berupa kalimatkalimat yang telah diformat. Obyektivitas tersebut merupakan realitas simbolik dan pada berita-berita yang ditulis berdasarkan kaidah-kaidah jurnalisme obyektifitas serta aspek-aspek epistimologis yang menyertainya disebut dengan realitas media, serta sebagai kaidah dalam jurnalisme untuk mengkonstruksi realitas (Mursito, 2012: 12-13). Obyektivitas dalam media sangat penting karena sebagai konstruksi realitas. Obyektivitas
32
memiliki dua elemen yaitu faktualitas yang menyangkut kebenaran dan relevansi serta impartialitas yang memiliki dimensi keberimbangan dan netralitas (Mursito, 2012: 15). Obyektivitas
hendaklah
mengandung
kebenaran
namun
kenyataannya hal tersbut menimbulkan ketidaksinkronan dari aspek kelengkapan dan akuratnya sebuah fakta. Obyektivitas dan kebenaran selalu menimbulkan perdebatan ketika di operasionalkan sedangkan netralitas dalam jurnalisme diorientasikan pada fakta yaitu kelengkapan fakta dan akurasi fakta (Mursito, 2012: 15 -17). Dalam menentukan kebenaran sebuah berita yang tersaji, netralitas dan independensi diperlukan. Kebenaran dalam pemberitaan pers tidak langsung ditemukan (Mursito, 2012: 17 - 19). Ada dua macam kebenaran menurut Kovach yaitu kebenaran faktual dan kebenaran subtansial (Kovach, 2004: 34 – 38). Tercapai kebenaran dalam fakta yang akan disajikan dalam berita maka selanjutanya akan dikonstruksi oleh media massa. Adapun tahapan dari kontruksi sosial media masa adalah sebagai berikut: (Bungin, 2013 : 209-216) a. Tahap menyiapkan materi kontruksi b. Tahap sebaran konstruksi c. Pembentukan konstruksi realitas, dimana memiliki beberapa tahapan
pembentukan
lainnya
yaitu
kontruksi
realitas
33
pembenaran, kesediaan di konstruksi oleh media massa dan sebagai pilihan konsumtif. d. Tahap konfirmasi Realitas media merupakan realitas yang dikonstruksikan oleh media yang terdapat dua model adalah peta analog, yaitu model dimana realita sosial dikonstruksikan oleh media berdasarkan sebuah model analogi sebagaimana suatu realitas itu terjadi secara rasional; dan model refleksi realitas, yaitu model yang merefeksikan suatu kehidupan yang terjadi dengan merefleksikan sutau kehidupan yang pernah terjadi didalam masyarakat. Seperti kutipan dalam jurnal karya Lau (2012: 891) yaitu “… we develop a conception of news as a constructed reality … Our conception is not of a finite set of things that „really happened out there‟ from which a selection is made … We see media as reflecting not a world out there, but the practices of those having the power to determine the experience of others.” Kutipan jurnal menyatakan bahwa mengembangkan konsepsi berita sebagai realitas yang dibangun, konsepsi tidak terbatas dari hal-hal yang benar-benar terjadi di sana dimana terdapat penyeleksian, media mencerminkan bukan dunia di luar sana, namun praktiknya media memiliki kekuatan untuk menentukan pengalaman orang lain. Hal ini merupakan proses kontruksi yang dilakukan oleh media, berita yang disampaikan oleh media dapat mempengaruhi pengalaman seseorang yang menerima berita tersebut. Jadi yang dimaksud dengan konstruksi realitas media adalah hasil dari memilah informasi yang telah terkumpul pada
34
media massa yaitu dalam bentuk teks berita yang telah disaring oleh redaksi sehingga dapat disebarluaskan kepada khalayak luas media massa tersebut. 6. Wacana Teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan (Sobur, 2012: 46). Sebuah kalimat dapat terungkap bukan hanya karena ada orang yang membentuknya dengan motivasi atau kepentingan subjektif tertentu (rasional atau irasional). Terlepas dari apapun motivasi atau kepentingan orang lain, kalimat yang dituturkannya tidaklah dapat dimanipulasi semaumaunya oleh yang bersangkutan, kalimat tersebut hanya dibentuk, hanya akan bermakna selama ia tunduk pada sejumlah aturan gramatika yang berada diluar kemauan atau kendali si pembuat kalimat. Aturan-aturan kebahasaan tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik. Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif: wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar (Eriyanto, 2012: 73). Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda
35
dalam batas-batas yang telah ditentukan. Wacana membentuk dan mengkonstruksi peristiwa tertentu dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut kedalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Dari konstuksi realitas yang dilakukan oleh media massa maka dapat diteliti dengan menggunakan analisis wacana. Wacana
adalah
rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi terdiri atas seperangkat kalimat yang memiliki hubungan pengertian satu sama lain dan dapat menggunakan bahasa lisan maupun tulisan (Sobur, 2012: 10). Sedangkan secara sederhana wacana merupakan cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas (Sobur, 2012: 11). Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Dan analisis wacana merupakan analisis yang dilakukan untuk membongkar apa yang tersembunyi dari subjek tersebut. Seperti kutipan berikut dimana analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna tertentu (Eriyanto, 2012: 5). 7. Analisis Wacana Analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa (Eriyanto, 2012: 6). Dalam membongkar kuasa tersebut diperluka tiga hal sentral dalam pengertian wacana yaitu teks, konteks dan wacana (Eriyanto, 2012: 9). Teori wacana menjelaskan sebuah peristiwa terjadi seperti terbentuknya sebuah kalimat atau
36
penyataan (Heryanto dalam Sobur, 2012: 12). Dalam pandangan Mills (dalam Sobur, 2012: 13) analisis wacana merupakan sebuah reaksi terhadap bentuk linguistik tradisional yang bersifat formal (linguistrik struktural). Seperti halnya teks dalam surat kabar dapat diteliti dengan menggunakan analisis wacana ini. Analisis
wacana
dalam
teks
tertulis
bertujuan
untuk
mengeksplisitkan norma dan aturan bahasa yang implisit serta bertujuan menemukan unit hierarkis yang membentuk struktur diskursif (Sobur, 2012: 13). Dalam sebuah teks terdapat bahasa penulisan didalamnya sehingga dapat dianlisis makna dari sebuah berita surat kabar. Bahasa tersmbunyi dalam sebuah teks pada media massa surat kabar. Bahasa memiliki fungsi secara makro yang dijabarkan sebagai berikut yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal dan fungsi tekstual (Sobur, 2012: 17). Bahasa memiliki interpretasi atau makna tertentu tergantung dari subjek dan objek kaitannya. Sedangkan makna merupakan konsep yang abstrak (Sobur, 2012: 19). Bahasa dan maknanya jelas merupakan kerja kolektif. Bahasa dan teks memiliki hubungan yang saling terkaitan. Penelitian wacana bukan hanya dilihat dari teks saja namun bagaimana suatu teks diproduksi sehingga dapat diketahui kenapa teks bisa semacam itu (Eriyanto, 2012: 221). Maksudnya adalah bagaimana cara kerja sehingga teks tersebut diproduksi dengan struktur kebahasaan yang ada.
37
Dasar analisis wacana adalah interpretasi dan penafsiran dari peneliti. Selain itu analisis wacana juga memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Menurut Van Dijk dalam Sobur (2012: 71) sebuah wacana dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Analisis wacana merujuk pada pendektan konstruksionis yang memiliku dua karakteristik penting menurut Cringler dalam Sobur (2012: 72) adalah sebagai berikut pertama pendekatan ini menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas politik, kedua pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang terus-menerus dan dinamis. Dari segi analisisnya, ciri dan sifat wacana dikemukakan Syamsuddin yang dikutip dalam Sobur (2012: 49-50) sebagai berikut: a. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam masyarakat (rule of use); b. Analisis wacana merupakan usaha memahami ketika makna tuturan dalam konteks, teks dan situasi; c. Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantik; d. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from what is done); e. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional (functional use of language). 8. Analisis Wacana Van Dijk Salah satu model analisis wacana yang dapat digunakan dalam meneliti teks media cetak adalah dengan model Van Dijk. Teun A. Van Dijk merupakan pengajar di Universitas Amsterdam, Belanda dimana
38
selain mengembangkan pendekatan kognisi social juga mengelaborsi elemen-elemen wacana sehingga mudah diaplikasikan (Sobur, 2012: 73). Dalam penelitian ini menggunakan elemen analisis wacana model Van Dijk dikarenakan yang paling relevam untuk diterapkan dalam tujuan penelitian yang dilakukan penulis. Apabila menggunakan model analisis yang dikembangkan oleh Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Threw lebih menitik beratan pada tata bahasa dan praktik pemakaianya untuk mengetahui praktik pemakaiannya untuk mengetahui praktik ideologi yang disebarkan (Eriyanto, 2012: 133). Model analisis wacana Theo Van Leeuwen ditujukkan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dengan kata lain analisis wacana model Theo Van Leeuwen untuk mengetahui bagaimana kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaanya, sementara kelompok lain yang posisinya lebih rendah cenderung untuk terus menerus sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk (Eriyanto, 2012: 171). Sedangkan
model
analisis
wacana
Sara
Mills
menitikberatkan
perhatiannya pada wacana feminism; bagaimana wanita ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto, ataupun berita (Eriyanto, 2012: 199). Dan model analisis wacana Norman Fiarclough mengkombinasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik dan pemikirian sosial dan politik, dan secara umum diintegrasikan pada
39
perubahan sosial. Sehingga model Fairclough menghendaki dalam memperoleh pemahaman teks secara utuh, analisisnya harus diletakkan dalam sebuah konteks sosial budaya dan latar belakang aktor pembuat teks tersebut. Sehingga model-model analisis wacana tersebut tidak cocok untuk diterapkan dalam penelitian. Menurut Van Dijk dalam Sobur (2012: 73) menyebutkan bahwa penelitian atas wacana tidak hanya didasarkan pada analisis teks saja namun juga hasil dari praktik produksinya juga diamati. Ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/ pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana terdiri atas berbagai struktur atau tingkatan yang saling mendukung, untuk itu Van Dijk dalam Sobur (2012: 73-73) membagi kedalam tiga tingkatan tersebut yaitu struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Penelitian teks berita dengan menggunakan model Van Dijk ini akan lebih menghasilkan kejelasan makna yang terkandung dalam struktur kebahasaan pada sebuah media seperti salah satunya adalah surat kabar. a. Tematik (Struktur Makro) Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks, bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks (Eriyanto, 2012: 229). Tematik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaanya. Tematik menunjukkan konsep dominan, sentral dan paling penting dari
40
suatu berita, oleh karena itu sering disebut sebagai tema atau topik. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik menggambarkan gagasan apa yang dikedepankan atau gagasan inti dari wartawan ketika melihat atau memandang suatu peristiwa. b. Skematik (Superstruktur) Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir, alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti (Eriyanto, 2012: 231). Berita umumnya mempunyai dua kategori skema besar yaitu summary yang umumnya ditandai dengan dua elemen yaitu judul dan lead, dan story yaitu isi berita secara keseluruhan. Isi berita memiliki dua subkategori yaitu proses atau jalannya peristiwa dan komentar yang ditampilkan dalam teks. Menurut Van Dijk arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu (Eriyanto, 2012: 234). c. Semantik (Struktur Mikro) Semantik dalam skema Van Dijk diketegorikan sebagai makna lokal yaitu makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antar proposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks (Sobur, 2012: 78). Semantik dapat dilihat dari elemen latar, detail, maksud, praanggapan dan nominalisasi.
41
Pertama Latar, elemen latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan (Eriyanto, 2012: 235). Latar yang dipilih menentukan pandangan khalayak hendak dibawa. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar peristiwa dipakai untuk menyediakan dasar hendak dibawa ke mana makna teks berita, ini merupakan cerminan ideologis, di mana wartawan dapat menyajikan latar belakang dapat juga tidak bergantung pada kepentingan mereka. Kedua Detail, elemen detail merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit (Eriyanto, 2012: 238). Elemen wacana detail berhubungan dengan control informasi yang ditampilkan seseorang. Dalam mempelajari detail yang harus diteliti adalah kesuluruhan dimensi peristiwa, bagian mana yang diuraikan secara panjang lebar oleh wartawan, dan bagian mana yan diuraikan dengan detail sedikit? Kenapa wartawan lebih memilih menguraikan dari dimensi tertentu dan bukan dimensi lain? Apa efek dari penguraian detail itu terhadap seseorang/ kelompok/ gagasan yang diberitakan oleh wartawan? Ketiga Maksud, elemen maksud elemen maksud menunjukkan bagaimana secara implisit dan tersembunyi wartawan menggunakan praktik bahasa tertentu untuk menonjolkan basis kebenarannya dan secara implisit pula menyingkirkan versi kebenaran lain (Eriyanto,
42
2012: 241). Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara ekspilisit dan jelas, sedangkan informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah publik hanya disajikan informasi yang menguntungkan komunikator. Keempat Praanggapan, elemen praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks (Sobur, 2012: 79). Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan
memberikan
premis
yang
dipercaya
kebenarannya.
Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan kebenarannya. d. Sintaksis (Struktur Mikro) Sintaksis merupakan strategi untuk menampilkan diri dalam media secara negatif maupun positif (Sobur, 2012: 80). Sintaksis menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, itu juga dilakukan dengan manipulasi politik seperti pada pemaikaian kata ganti, aturan tata kata, dan lain sebagainya. Sintaksis dalam analisis wacana menunjukan bagaimana kalimat itu dipilih, yang terdiri atas bentuk kalimat, koherensi dan kata ganti. Pertama Bentuk Kalimat, elemen bentuk kalimat merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas (Sobur, 2012: 81). Bentuk kalimat bukan hanya
43
teknis kebenaran tata bahasa, tetapu menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Kedua Koherensi, elemen koherensi adalah elemen yang menggambarkan bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh wartawan (Eriyanto, 2012: 243). Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga, fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Apakah dua kalimat dipandang sebagai hubungan kausal (sebabakibat), hubungan keadaan, waktu, kondisi, dan lain sebagainya. Ketiga Kata Ganti, elemen kata ganti merupakan alat yag dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang
dalam
wacana
(Eriyanto,
2012:
253).
Dalam
mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata, akan tetapi ketika memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. e. Stilistik (Struktur Mikro) Pada dasarnya elemen leksikon (stilistik) menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia (Eriyanto, 2012: 255). Pilihan kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.
44
f. Retoris (Struktur Mikro) Retoris adalah strategi dalam penggunaan gaya atau style yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis (Sobur, 2012: 83). Misalnya dengan pemakaian kata berlebihan (hiperbolik), atau bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasive dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Elemen grafis dapat dilihat dari elemen grafis, metafora dan ekspresi. Pertama Grafis, elemen grafis merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks (Eriyanto, 2012: 257). Elemen grafis selain dalam teks juga muncul dalam bentuk foto, gambar, atau tabel untuk mendukung gagasan atau bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan. Kedua Metafora, elemen metafora dalam suatu wacana, seorang wartawan yang tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita (Eriyanto, 2012: 259). F. Kerangka Pemikiran Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan kerangka pemikiran supaya dapat mencapai penelitian sesuai dengan target yang diharapkan dengan hasil yang maksilmal. Serta dalam menumpulkan serta menganalisis data dapat secara sistematis dan terstruktur. Kerangka pemikiran yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
45
1. Realitis sosial yang terjadi adalah terkait dengan anggaran APBD DKI Jakarta yang melibatkan DPRD DKI Jakarta dengan gubernur DKI Jakarta tahun 2015. 2. Konstruksi realitas sosial media cetak yang dibentuk oleh surat kabar Kompas memalui pemberitaan terkait kasus tersebut. Dimana realitas baru yang dibentuk oleh media disimbolkan melalui bahasa penulisan wartawan dalam menyajikan berita di surat kabar Kompas. 3. Hasil konstruksi realitas oleh surat kabar Kompas adalah sebuah teks berita yang diterbitkan pada bulan februari hingga maret 2015. 4. Kemudian dari data-data tersebut diteliti dan dianalisis dengan menggunakan analisis wacana model Van Dijk sehingga akan muncul wacana baru. Skema 1.1 Kerangka Pemikiran Skripsi
46
Realitas Sosial Anggaran Dana APBD DKI Jakarta Tahun 2015 antara DPRD dengan Pemkot DKI
Konstruksi Realitas Sosial oleh Media Cetak Surat Kabar Kompas Terbit Bulan Februari - Maret 2015 Realitas Baru Realitas Media: Disimbolkan Bahasa Penulisan
Analisis Wacana: Van Dijk
Teks Berita
Wacana Yang Muncul G. Metodologi penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif memiliki karakteristik sehingga penelitian ini dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh dengan fokus penelitian pada “proses” dan bukan “hasil”. Penelitian ini berlandaskan pada paradigma fenomenologis yang objektivitasnya dibangun atas rumusan situasi tertentu sebagaimana pemahaman dari individu atau kelompok tertentu dan relevan dengan tujuan penelitian tersebut dikarenakan bukan untuk mencari sebab akibat sesuatu melainkan lebih berupaya untuk memahami situasi tertentu.
47
Tujuan deskriptif kualitatif dalam penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta tentang Anggaran Dana APBD DKI Jakarta Tahun 2015 di surat kabar Kompas Edisi Bulan Februari – Maret 2015 dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis wacana model Van Dijk. 2. Objek Penelitian Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah pemberitaan Anggaran Dana APBD DKI Jakarta Tahun 2015 yang tercetak pada halaman depan di surat kabar Kompas Edisi Bulan Februari – Maret 2015. Ada 22 berita mengenai Anggaran Dana APBD DKI Jakarta Tahun 2015 selama bulan Februari hingga Maret 2015 dan yang dapat diteliti sebanyak 8 berita dikarenakan berita yang lain tidak memiliki unsur analisis wacana model Van Dijk dan tercetak pada halaman pertama surat kabar. Berita yang disajikan pada halaman pertama memiliki informasi yang dianggap lebih penting. 3. Sumber dan Perolehan Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada surat kabar harian Kompas edisi bulan Februari hingga Maret tahun 2015 yang berada di monumen pers. Rentang waktu yang dipilih yaitu pada bulan Februari hingga Maret 2015 ini karena selama satu bulan akan diperoleh data-data yang diperlukan oleh peneliti untuk mendukung pembahasan sesuai dengan judul penelitian. Serta pada rentang waktu tersebut pemberitaan di koran Kompas terkait anggaran APBD DKI
48
Jakarta
2015
sedang
hangat-hangatnya
diperbincangkan
dan
diperdebatkan. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan dua cara sebagai berikut: a. Dokumentasi Penulis mengumpulkan data tekstual dimana data berupa dokumen yang dipilih dan didokumentasikan. Yaitu data berupa berita pada halaman utama harian Kompas terkait anggaran APBD DKI Jakarta 2015. Dalam penelitian ini teks berita yang diguakan adalah pada periode Februari - Maret 2015. Penulis memilih berita terkait anggaran APBD DKI Jakarta 2015, berita yang dipilih menjadi objek penelitian adalah berita yang termasuk kategori berita pada halaman utama, yaitu berita yang sangat penting untuk segera diketahui masyarakat. Setelah menyeleksi pemberitaan mulai Februari – Maret 2015 pada koran Kompas tentang anggaran APBD DKI Jakarta 2015 ditemukan 22 berita straight news tentang anggaran APBD DKI Jakarta 2015. Selanjutnya diseleksi lagi berdasarkan berita yang termsuk kategori termuat dalam halaman utama tentang anggaran APBD DKI Jakarta 2015 yang akhirnya ditemukan sebanyak 8 berita. Yaitu berita pada halaman utama dari dimulainya perselisihan antara Gubernur DKI Jakarta VS DPRD DKI Jakarta sampai tindakan Kementrian Dalam Negeri untuk menyelesaikan anggaran APBD DKI Jakarta 2015. b. Penelitian pustaka
49
Sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti melalui buku, data internet, artikel dan jurnal ilmiah. 4. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunkan teknik analisis data yaitu analisis wacana dengan mengambil model dari Van Dijk. Van Dijk dalam Sobur (2012: 73) menyebutkan bahwa penelitian atas wacana tidak hanya didasarkan pada analisis teks saja namun juga hasil dari praktik produksinya juga. Kelebihan yang dimiliki metode analisis wacana Van Dijk adalah dapat dengan sempurna membongkar pola bagaimana sebuah berita atau wacana yang ditulis wartawan, dibentuk karena memiliki suatu tujuan atau maksud tertentu, karena dalam analisa Van Dijk kita melihat berita dari sudut pandangan wartawan, bagaimana wartawan menulis seperti itu. Analisis dimulai dari tema berita, skema berita hingga kedalaman kalimat-kalimat berita. Artinya menganalisis dari judul berita sampai akhir atau penutup berita, hasilnya akan dapat mengetahui bagian fakta atau isu mana yang sedang ditonjolkan oleh wartawan, fakta dan komentar penting mana yang didahulukan oleh wartawan untuk disampaikan memiliki maksud dari kepentingan sebuah media massa, karena sebuah media massa memiliki visi dan misi yang menjadi ciri dari media tersebut sehingga khalayak pembaca tanpa sadar mendukung fakta
50
atau isu yang ditonjolkan oleh wartawan sebagai penulis berita sebuah media massa. Wacana terdiri atas berbagai struktur atau tingkatan yang saling mendukung, untuk itu Van Dijk dalam Sobur (2012: 73-73) membagi kedalam tiga tingkatan tersebut yaitu struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Dan secara rinci dijelakan pada struktur elemen wacana model Van Dijk. Tabel 1.1 Elemen Teks Analisa Wacana Model Van Dijk Struktur makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks Superstruktur Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan Struktur mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dan dipilih kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana, 2012, LKiS, Yogyakarta, hal 227 Struktur Wacana Struktur makro Superstruktur
Tabel 1.2 Elemen Wacana Van Dijk Hal yang Diamati Elemen
TEMATIK Topik (apa yang dikatakan?) SKEMATIK Skema (bagaimana pendapat disusun dan dirangkai?) Struktur SEMANTIK Latar, Detail, Maksud, Mikro (makna yang ingin ditekankan dalam Praanggapan, teks berita) Nominalisasi Struktur SINTAKSIS Bentuk Kalimat, Mikro (bagaimana pendapat disampaikan?) Koherensi, Kata Ganti Struktur STILISTIK Leksikon Mikro (pilihan kata apa yang dipakai?) Struktur RETORIS Grafis, Metafora, Mikro (bagaimana dan dengan cara apa Ekspresi penekanan dilakukan?) Sumber: Sobur, Alex, Analisis Teks Media, PT. Remaja Rosdakarya, 2012, Bandung, hal 74