BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Maraknya diskusi politik di media sosial tentang aneka isu politik di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh warga pengguna internet (netizen) NTT menerbitkan harapan tetapi juga keraguan akan menguatnya karakteristik diskursif komunikasi politik dan relasi kekuasaan yang lebih egaliter-resiprokal di tengah masyarakat NTT. Harapan tersebut hadir jika menimbang keberadaan watak konektivitas, interaktivitas dan keterbukaan yang menjadi struktur internal media sosial. Namun pertanyaan pun tak terhindarkan jika menyandingkan dinamisnya diskusi online tersebut dengan dua fakta sosial-budaya-teknologis yang saling berkelindan yakni tingkat penetrasi internet yang masih rendah dan praksis1 hidup sosial-politik masyarakat NTT yang masih kuat dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya lokal masing-masing etnis. Hasil survei Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII, 2015) mengungkapkan bahwa pengguna internet di kawasan NTT, Maluku dan Papua pada tahun 2014 hanya sejumlah 5,7 juta pengguna dengan tingkat penetrasi 35%. Jumlah tersebut pun dapat dikatakan hanya berlaku untuk kota Kupang yang
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan ―praksis‖ dengan ―bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia‖. Namun penulis menggunakan kata ―praksis‖ dalam konteks filosofis untuk menekankan kesatuan antara tindakan yang praktis/riil/sehari-hari dengan suatu rasionalitas dan penilaian etis tertentu di baliknya. Latarnya adalah pemikiran Aristoteles bahwa dalam relasi dengan dunia sosial-politik, manusia melakukan tiga cara yakni theoria, praxis dan poesis. Theoria menghasilkan gaya hidup spekulatif/kontemplatif/refleksif; praxis melahirkan gaya hidup spekulatif dan praktis (bermanfaat, dapat dilakukan/operasional); dan poesis merupakan gaya hidup produktif (berkaitan dengan pembuatan artefak atau karya-karya artistik). Jadi, bedanya dengan ―praktis‖ adalah bahwa ―praktis‖ sering mengabaikan peran spekulasi/kontemplasi/refleksi (Barker, 2014: 237).
1
memiliki jumlah pengguna internet tertinggi se-NTT mengingat yang menjadi sampel survei APJII adalah netizen di kota Kupang. Jangankan internet, kondisi media massa yang seharusnya dikonsumsi masyarakat NTT pun masih jauh dari layak. Menurut data KPID NTT tahun 2012 (KPI, 2012), di NTT terdapat 140 lembaga penyiaran yang terdiri 116 Lembaga Penyiaran Jasa Penyiaran Radio, 23 Lembaga Penyiaran Jasa Penyiaran Televisi, 1 Lembaga Penyiaran/TV Kabel.2 Semua lembaga penyiaran ini didukung oleh 10 stasiun repeater/relay besar untuk televisi dan radio. Sekalipun demikian, ratusan lembaga penyiaran di atas memiliki jangkauan siaran yang sangat terbatas, selain oleh keterbatasan teknologis tetapi terlebih karena kondisi geografis dan topografis NTT yang kepulauan dan bergunung-gunung. Minimnya infrastruktur telekomunikasi dan masih tingginya tingkat kemiskinan warga serta berbagai fakta ketertinggalan lainnya turut mengondisikan fakta kecilnya jumlah netizen NTT. Sementara itu, pada tataran sosial-politik riil, menurut sosiolog Elcid Li (2013), praksis politik di NTT masih berada dalam ―rumah politik suku‖ sehingga yang berkembang bukan politik publik melainkan politik rumah suku. Penggunaan berbagai unsur tradisi lokal seperti asal suku dan wilayah, simbolsimbol adat menjadi praktek yang dengan mudah ditemui dalam berbagai aktivitas politik di NTT umumnya dan Flores pada khususnya. Dalam kedua kondisi sosioteknologis dan sosial-politik yang demikianlah maraknya diskusi politik melalui media sosial bertumbuh dan berkembang.
2
Penulis belum mendapatkan data terbaru dari KPID NTT, maka informasi tentang kondisi lembaga penyiaran di NTT masih menggunakan data ini. Sebagai perbandingan, penulis juga mencantumkan data terbaru tahun 2015 dari Dewan Pers Nasional.
2
Diskusi Politik Online Pembentukan Provinsi Kepulauan Flores Salah satu diskusi politik online dalam konteks dunia politik NTT yang begitu dinamis dan disertai sejumlah aksi nyata adalah diskusi tentang pembentukan Provinsi Flores. Diskusi dan perdebatan tersebut ditemukan dalam sebuah grup media sosial Facebook, ―Wacana Pembentukan Provinsi Flores” (WPPF).3 Aneka usulan, sosialisasi, diskusi, perdebatan bahkan dokumentasi aneka kegiatan yang berkaitan dengan perencanaan pembentukan Provinsi Kepulauan Flores (PKF) terpampang dan terbaca di sana. Data teknologis memperlihatkan bahwa grup Facebook WPPF ini dibuat pada awal bulan April 2013 oleh seorang netizen (tepatnya facebooker) warga Flores dengan nama Cyprian Guntur dan sesaat kemudian menambahkan netizen lain atas nama Adrianus Jehamat (AJ) sebagai pengelola (admin). Keduanya menjadi pengelola pertama dari grup Facebook tersebut. Arsip posting grup tersebut juga memberitakan bahwa pada tanggal 8 Mei 2013 di Ruteng, sebanyak 8 anggota grup mengadakan ―kopi darat‖ atau pertemuan langsung di rumah AJ lalu membentuk sebuah wadah yang mereka namakan Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Flores (P4F) yang mengusung misi me-revitalisasi gagasan pembentukan Provinsi Flores. Sejak saat itu, WPPF tampak sebagai bagian dari perjuangan menghidupkan kembali gagasan pembentukan provinsi Flores. Kini, grup Facebook WPPF telah memiliki 26.977 anggota (diakses tanggal 14 September 2015) dengan 6 orang admin atau pengelola. Anggota grup ini pun berasal dari hampir semua kabupaten di Pulau Flores dan Lembata, maupun 3
Alamat laman: https://www.Facebook.com/groups/famflores2013/; selanjutnya nama grup tersebut disingkat dengan WPPF.
3
wailayah lain di NTT. Bahkan tidak sedikit pula yang sekalipun berasal dari NTT tetapi berdomisili di luar provinsi NTT. Menilik frekuensinya secara sekilas, setiap hari selalu terdapat posting baru yang berkaitan dengan rencana pembentukan PKF baik dari para admin maupun para anggota. Konten yang ditampilkan di laman grup juga beragam tetapi didominasi oleh opini tentang pembentukan sebuah provinsi, sosialisasi sejumlah hasil pertemuan panitia dan pihak terkait bahkan unggahan foto beberapa dokumen penting seperti surat-surat dari panitia dan pemerintah provinsi NTT. Tak hanya itu, sampul laman grup WPPF kini tampak kian ―berwibawa‖ dengan foto para elit politik lokal Kepulauan Flores, yakni para Bupati, Ketua DPRD Kabupaten, dan sejumlah tokoh politik dan masyarakat dari 9 kabupaten pendukung. Berikut adalah gambar halaman depan grup Facebook WPPF.
Gambar 1.1 Halaman depan Grup Facebook WPPF: Suasana pembukaan Kongres Masyarakat Flores di Mbay, 20 Maret 2015) (diakses tanggal 14 September 2015)
Salah satu konten penting yang diunggah pengelola dalam forum diskusi politik online ini adalah hasil foto surat edaran yang dikeluarkan Pemerintah
4
Provinsi NTT bertanggal 1 Juli 2015 dengan nomor Pem.135/145/II/2015 yang ditujukan kepada 9 Bupati di daratan pulau Flores dan Lembata. Surat edaran tersebut berisi pemberitahuan akan adanya rencana Sosialisasi Pembentukan Daerah Persiapan Provinsi Flores sebagai Pemekaran dari Provinsi NTT. Kegiatan sosialisasi akan dipusatkan pada empat zona yakni di daratan Flores yakni di kota Labuan Bajo, Maumere, Ende serta di kota Kupang sebagai ibu kota provinsi NTT. Terbitnya
surat
edaran
tersebut
menandai
berkembangnya
rencana
pembentukan provinsi Flores dari hanya sebatas sebuah isu politik di kalangan para pegiat dan pendukungnya menjadi bagian dari perencanaan kebijakan politik pemerintahan provinsi NTT. Rencana pembentukan provinsi Flores pun berkembang menjadi sebuah wacana publik. Sejumlah langkah konkrit lanjutan dilakukan oleh P4F untuk mewacanakan rencana pembentukan provinsi Flores. Di antaranya, P4F mengadakan Kongres Rakyat Flores, Lembata dan Alor di kota Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores tanggal 25 Februari 2014. Setahun kemudian, tepatnya 20 Maret 2015, di kota Mbay, Nagekeo, Flores, diadakan kembali Kongres Rakyat Flores yang dihadiri oleh Bupati dan pimpinan DPRD dari 9 kabupaten di Flores dan Lembata. Kongres tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain: nama provinsi adalah Provinsi Kepulauan Flores (PKF), mengajukan 5 kota sebagai calon ibu kota provinsi yang kelayakannya akan diuji oleh kajian ilmiah perguruan tinggi yang ditunjuk yaitu Universitas Padjajaran Bandung (UNPAD) serta menganggarkan dana 250 juta rupiah per kabupaten untuk keperluan kajian
5
ilmiah dan aktivitas perencanaan lainnya. Kongres juga menyepakati perubahan nama dari P4F menjadi P4KF atau Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Kepulauan Flores yang diketuai oleh Marianus Sae (Bupati Ngada). Berbagai hasil kongres tersebut juga ditindaklanjuti dengan usaha percepatan pemenuhan syarat formal usulan pembentukan Provinsi Kepulauan Flores merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang kini diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Ringkasan perjalanan perjuangan perencanaan pembentukan PKF tersebut tertulis atau di-posting, didiskusikan, didokumentasikan hingga dipublikasikan dalam forum diskusi online ini. Dengan demikian, geliat rencana pembentukan PKF sebagai pemekaran dari Provinsi NTT tampak begitu kuat, ―hidup‖ bahkan seolah kian ―nyata‖ di laman grup Facebook WPPF. Dengan kata lain, gagasan pembentukan PKF telah menjadi sebuah wacana politik di tengah masyarakat dan pemerintah NTT. Karena wacana merupakan bahasa dalam tindakan atau language in-use (Fairclough, 2003) maka isu politik pembentukan PKF merupakan bahasa bermakna yang merencanakan sekaligus merangkum aneka gagasan dan tindakan politik dalam rangka perjuangan pembentukan PKF; telah menjadi wacana (discourse). Selain sebagai sebuah wacana politik, dari perspektif strategi komunikasi politik, tingginya dinamika sosialisasi dan diskusi politik online di grup Facebook WPPF menunjukkan tercapainya maksud P4KF melalui para pengelola grup untuk memperluas, memperbesar dan memperdalam rencana pembentukan PKF.
6
Dalam konteks komunikasi politik sebagai ―peran komunikasi dalam proses politik‖ (Chaffe dalam Kaid, 2015: ix), langkah P4KF tersebut merupakan langkah penggunaan peran komunikasi politik untuk
memperluas dan
memperdalam wacana politik tentang pembentukan PKF melalui media sosial (Facebook).
Pro-Kontra sebagai Keniscayaan Komunikasi Politik di Media Sosial Komunikasi
politik memiliki
dua karaketeristik utama;
1)
sebagai
penyampaian pesan oleh satu agen politik untuk mempengaruhi agen politik lain; dan 2) sebagai diskursus atau dialog politik untuk meraih konsensus yang menjamin kebaikan bersama (Arifin, 2011: 8-9). Dengan kata lain, melalui grup media sosial WPPF, pengelola yakni P4KF melakukan komunikasi politik untuk mempengaruhi dan berdiskursus dengan agen politik lain (baca: anggota grup) tentang rencana pembentukan PKF. Sekalipun demikian, praktek komunikasi politik dalam dan melalui media sosial oleh panitia perencanaan pembentukan PKF melalui media sosial (baca: diskusi politik online) tidak berlangsung dalam ruang hampa teknologi internet. Menurut perspektif filsafat teknologi, setiap entitas teknologis memiliki kondisi yang disebut sebagai ‗sistem sosio-teknis‘ (socio-technical systems) di mana dunia sosial dipengaruhi logika teknis teknologi dan sebaliknya teknologi dikonstruksi secara sosial (Vermaas, 2011; Bijker, 2009). Karena itu, internet (baca: media sosial) sebagai salah satu karya teknologi juga memiliki kondisi sosio-teknologis tersebut. Menyitir pemikiran filsafat teknologi Don Ihde, Budi
7
Hartono (2013) menyatakan bahwa Setiap entitas informatif dalam ruang teknologis internet merepresentasikan keberadaan dunia tubuh (world of bodies) baik itu manusia sebagai tubuh atau pun realitas sesungguhnya sehingga media sosial seperti Skype, Facebook, dan Twitter, misalnya, adalah suatu ruang sosial teknologis. Dengan kata lain, praksis komunikasi politik melalui media sosial di kalangan masyarakat NTT tidak dapat dilepaskan dari dunia riil sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat NTT. Diskusi politik di media sosial adalah sebuah ruang sosial-politik teknologis dalam konteks budaya komunikasi politik masyarakat NTT. Luasnya jangkauan konektivitas, keterbukaan, kebebasan, kesetaraan dan konektivitas merupakan beberapa struktur internal ruang sosial-politik teknologis media sosial tersebut. Dalam dunia media sosial, para netizen tak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga produsen informasi; maka karakter inheren lain dari media sosial adalah konten yang dihasilkan oleh pengguna (user-generated content). Karena itu, selain argumentasi-argumentasi dukungan, dengan mudah ditemukan pula dalam dalam diskusi di grup WPPF sejumlah pendapat kontra yang menantang secara langsung misi yang diemban oleh para pembuat dan pengelola grup WPPF maupun anggota lainnya. Sebagai contoh, suara kontra terhadap gagasan pembentukan provinsi Flores, turut dipajangkan di dinding grup WPPF oleh salah satu anggotanya dengan nama akun Frans Anggal yang berisi kutipan berita pada harian Flores Pos: Kalau
8
Sekarang Dianggap Terlalu Dini, Kapan Saatnya?.4 Facebooker Frans Anggal mengutip pendapat Petrus Elias Jemadu, Pengamat Ekonomi Universitas Nusa Cendana dan Komisaris Independen Bank NTT yang tertuang dalam Flores Pos: ―Wacana pembentukan Provinsi Flores sudah menjadi konsumsi publik yang boleh didiskusikan bersama seturut kompetensi kita masing-masing. Saya sebagai seorang pengamat ekonomi mau mengkaji wacana pembentukan provinsi ini dari sudut pandang ekonomi; dan menurut analisis saya, dari sisi ekonomi kita belum mampu membentuk Provinsi Flores,‖ tegas Piet Jemadu. ..... ―Kita tidak bisa menyangkal bahwa sikap egoistis, mementingkan diri sendiri, suku sendiri, agama dan kabupaten sendiri bisa menodai ikatan persatuan dan menghambat pembangunan ekonomi masyarakat Flores. Karena itu, kita membutuhkan kedewasaan demokrasi politik dan ekonomi kaum elite, agar mereka meredam segala egoisme dan mulai berpikir dan bertindak demi kesejahteraan masyarakat umum. Sebab jika egoisme tidak disingkirkan, wacana pembentukan Provinsi Flores tidak lebih dari ajang perebutan kekuasaan kaum elite itu sendiri,‖ tegas Piet.
Frans Anggal juga mengutip dan memajangkan pendapat pengamat politik nasional asal Flores, Boni Hargens dalam media online pulaubunga.com yang menuding bahwa rencana pembentukan provinsi Flores hanyalah kehendak para elit politik lokal yang haus kekuasaan. Facebooker Frans Anggal mengutip: Tentang perjuangan Flores provinsi, pengamat politik Boni Hargens pada Seminar Budaya Manggarai ―Neka Oke Kuni Agu Kalo‖ di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Sabtu (15/8), dengan tegas mengatakan wacana pembentukan Provinsi Flores hanyalah keinginan segelintir bos lokal yang mampu memobilisasi massa dengan kekuatan uang, kapital, dan politik. Dikatakan Boni, secara konseptual semakin kecil cakupan tata administrasi sebuah provinsi, kabupaten atau kota, semakin efektif pula peran pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. ―Namun itu hanya ada dalam tataran konseptual, karena dalam praktik di lapangan tidak seperti itu. Jadi, keinginan untuk membentuk Provinsi Flores hanyalah keinginan segelintir bos di tingkat lokal. Bos-bos lokal ini kerap menggunakan jargon kepentingan rakyat untuk meloloskan keinginan mereka, tetapi sebenarnya hanya tipu-tipu saja,‖ kata Boni seperti dilaporkan pulaubunga.com.
4
https://www.facebook.com/groups/ajpfd2014/?ref=ts&fref=ts. Diakses tanggal 19 September 2014. Lihat juga, Flores Pos, Sabtu, 12 September 2014.
9
Boni menganjurkan agar pemerintah lokal di Pulau Flores terlebih dahulu membenahi perekonomian masyarakat. Pembenahan itu berkaitan erat dengan peningkatan SDM, pembangunan infrastruktur dan kedewasaan demokrasi politik serta ekonomi pemerintah.
Terhadap posting anggota grup dengan nama akun Frans Anggal tersebut, pihak pengelola grup dan pendukung gagasan pembentukan PKF mengajukan tanggapan berisi bantahan bahkan serangan balik: Frans Mado Sejak awal, kita P4KF sudah antisipasi akan komen komen para pengamat. Pendapat Pribadi Pengamat dalam profesi apapun, adalah pendapat biasa. Untuk itu, Tim kerja P4KF terus melaju dengan strategi bekerja bagi generasi terkini dan berikutnya.Membuat sistim ekonomi Kepulauan Flores seperti model ekonomi Singapore.Semua teratur rapi dalam mengejar produktifitas dan pembangunan global Di Kepulauan Flores. Rofy Pelealu Para pengamat paling pandai dalam berpendapat. Usia NTT lebih kurang 59 atau tepatnya sudah lebih dari setengah abad. Sebagai kaum intelek dengan kapabilitasnya, para pengamat seharusnya membuka matanya lebar" untuk melihat model pelayanan dan pembangunan SDM dan pemanfaatan SDA yang dapat dikatakan jauh dari harapan masyarakat NTT. Ingat NTT pernah menjadi sorotan publik karena kasus perdagangan manusia, apakah itu tidak cukup jelas bagi para pengamat yang bijak. Anki Mbadoc Panturybazi Pengamat tdak slamax benar tpi klo ada benarx ya ia...krna ada pernyataan yg obyektif dan ada yg tdak...dan dr perspektif keilmuan msg2..tp kta tdak tau andai Pet Jemadu dan Boni Hargens ditawar utk jadi pmimpin wlayah PF kedpan apj msh ..omong gni''?'',
Fakta pro-kontra di atas memperlihatkan bahwa perdebatan atau diskursus merupakan hal yang niscaya dalam praksis komunikasi politik dalam media sosial. Bahkan, karakteristik diskursif tersebut kian mengamini pendapat ilmuwan politik Nimmo (1978) yang mengungkapkan bahwa komunikasi politik merupakan pembahasan tentang hubungan antara komunikasi, kekuasaan dan konflik. Berbicara tentang komunikasi politik berarti membicarakan kondisikondisi konflik yang terjadi dalam proses komunikasi dengan objek utamanya adalah isu atau pesan politik (dalam Widyawati, 2014). Dengan kata lain, di balik
10
praksis komunikasi politik (baca: perdebatan politik) termuat hubungan kekuasaan di antara para aktor politik.
Pemetaan Para Aktor (Komunikator-Komunikan) dan Gagasan Politik Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, kultur politik masyarakat NTT umumnya dan kepulauan Flores pada khususnya masih sangat melekat dengan aneka unsur primordial. Dalam pandangan para pengamat politik NTT, unsur etnis, suku, agama, ras dan golongan masih menjadi isu yang terbukti ―seksi‖ dan efektif untuk mempengaruhi pemilih dalam pemilihan gubernur (pilgub) tahun 2013 (Elcid Li, 2013; Tasman, 2013) maupun pilgub dan pemilihan legislatif tingkat NTT sebelumnya. Slogan-slogan ―putera daerah‖ dan distingsi pendatang vs orang asli serta Katolik vs Protestan masih mewarnai kosa kata komunikasi politik menjelang perhelatan pemilu di NTT. Dengan lugas, ahli komunikasi dari Universitas Nusa Cendana Kupang Aloysius Liliweri (dalam Setiawan, 2009), umumnya patron politik di NTT dapat dikatakan hanya dua dikotomi saja. Kalau tidak suku, maka agama. Menurut Liliweri, di wilayah-wilayah di mana komposisi pemeluk agama hampir berimbang, pertarungan yang terjadi lebih bernuansa agama. Seperti di Kupang, karena perbedaan antara pemeluk agama Katolik dan Protestan nyaris seimbang, pertarungannya lebih terkait dengan adu kekuatan antara kedua pemeluk agama tersebut. Sementara di wilayah yang rata-rata homogen secara keagamaan, kompetisi politik cenderung terkait faktor kesukuan.
11
Pada tempat lain, studi semiotik oleh Therik (2009) tentang makna posterposter para caleg NTT dalam pemilu tahun 2009 menunjukkan bahwa ada usaha pemanfaatan unsur budaya setempat untuk meraih dukungan pemilih seperti penggunaan bahasa daerah maupun pesan bernada agama kristiani. Di level strategi komunikasi politik, selain penggunaan simbol-simbol adat, para kontestan juga berusaha meraih gelar-gelar kehormatan sejumlah suku yang mendiami wilayah tertentu (Jappy, 2013). Sebagai salah satu dari dinamika politik di NTT, maka perkembangan isu politik pembentukan PKF tak dapat dilepaskan pula dari kondisi sosial-politik yang demikian. Sementara itu, menurut asas normatif terkait pembentukan provinsi dan kabupaten baru yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007, aktor politik utama dalam perencanaan pembentukan provinsi baru adalah Gubernur dan DPRD Provinsi (induk) serta Bupati dan DPRD Kabupaten yang akan menjadi bagian dari provinsi baru. Para aktor politik ini mengajukan usulan setelah terpenuhinya tiga syarat utama yakni syarat administratif, teknis dan kewilayahan (PP No.78 pasal 4). Menilik kultur dan praksis sosial-politik di NTT khususnya dalam konteks rencana pembentukan provinsi Flores sebagaimana diuraikan di atas, setidaknya terdapat para aktor berikut ini—baik yang berdomisili di kepulauan Flores maupun di luar Flores—yang berperan dalam diskusi politik (baca: komunikasi politik) online (maupun offline) terkait isu politik tersebut: 1) Elit politik lokal tingkat provinsi (Gubernur dan DPRD Provinsi) dan tingkat kabupaten (para Bupati dan DPRD Kabupaten/Kota).
12
2) Tokoh (baca: elit) agama (Gereja Katolik di Flores) dan pemegang kekuasaan adat/ suku di wilayah-etnis masing-masing. 3) Elit netizen yang terdiri dari para pengelola grup WPPF dan netizen non pengelola yang memiliki pengetahuan dan pengaruh di grup maupun yang memiliki kedekatan dengan elit politik dan atau elit agama. 4) Kaum intelektual dan aktivis politik independen (perorangan maupun berkiprah dalam LSM) yang berkontribusi dalam diskusi politik di WPPF atau wadah lain yang berdaya jangkau luas. Pola komunikasi dan pola relasi termasuk konflik kepentingan antar para aktor politik di atas menjadi faktor paling determinan dalam menentukan warna semacam apa dari diskursus tentang pembentukan PKF di media sosial—yang tentu saja menjadi bagian dari dunia riil. Dengan kata lain, logikanya dibalikkan demikian: teks media sosial yang merekam dan menggambarkan dinamika isu politik pembentukan PKF merupakan cerminan pola komunikasi politik dan relasi kekuasaan di antara para aktor tersebut.
Di Balik Kemeriahan Diskusi Politik Online, Ada Apa? Uraian di atas serta-merta mengantar peneliti pada pertanyaan kritis, ada wacana politik apa saja yang ada di balik dinamika diskusi politik online di grup WPPF yang ―hidup‖ dan berkembang dalam budaya politik yang khas tersebut sekaligus dalam ekologi telekomunikasi NTT yang begitu terbatas.
13
Betapa tidak, maraknya praksis diskusi politik online oleh masyarakat NTT khususnya kepulauan Flores berlangsung dalam kondisi ―ekologi komunikasi‖5 yang justru berkebalikan dengan tingginya intensitas percakapan politik dalam diskusi online tersebut. Jika kondisi tersebut ditakar dalam paradigma ekonomipolitik komunikasi maka dalam konteks masyarakat informasi, masyarakat NTT umumnya dan kepulauan Flores pada khususnya dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin informasi (poor information). Betapa tidak, data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menunjukkan bahwa dari keseluruhan propinsi di Indonesia, warga NTT adalah pengakses internet paling sedikit yakni hanya sekitar 3,78% dari total penduduk NTT (dalam Nugroho, et al., 2012). Jumlah tersebut tentu saja masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan penetrasi internet di pulau Jawa. Lebih memprihatinkan lagi, penetrasi media massa konvensional pun masih sangat jauh dari yang ideal oleh karena kondisi alam yang bergunung-gunung dan berpulau-pulau, serta minimnya infrastruktur telekomunikasi, jalan raya dan akses listrik. Ditantang oleh fakta begitu marak, kuat, ―hidup‖ dan dinamisnya komunikasi politik melalui diskusi politik online di grup media sosial khususnya tentang rencana pembentukan PKF oleh masyarakat NTT yang hidup dalam kultur politik kesukuan dan kondisi ekologi komunikasi yang begitu minim inilah yang menjadi pendorong dilakukan penelitian ini. Diharapkan penelitian ini akan mengantar peneliti pada penemuan akan dinamika, karakteristik, makna dan persoalan
5
Menurut Altheide (dalam Pigg & Crank, 2004), kondisi ‗ekologi komunikasi‘ (ecology of communication) adalah perihal bagaimana aktivitas manusia berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan komunikasi via TIK tersebut berpengaruh pada partisipasi dan struktur sosial.
14
komunikasi politik dan relasi kekuasaan di tengah masyarakat kesukuan kepulauan Flores umum dan para netizen kepulauan Flores khususnya. Eksistensi media sosial sebagai infrastruktur sosial yang kondusif bagi praksis komunikasi politik yang deliberatif dan partisipatif serta bagi relasi kekuasaan yang lebih egalitarian-menyejahterakan masih harus dikaji dalam konteks masyarakat kepulauan Flores khususnya dan NTT umumnya.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana diskusi politik online di Grup Facebook Wacana Pembentukan Provinsi Flores mencerminkan pola komunikasi politik dari masyarakat kesukuan kepulauan Flores dalam konteks rencana pembentukan provinsi Kepulauan Flores? 2. Bagaimana pola komunikasi politik dalam diskusi politik online di Grup Facebook Wacana Pembentukan Provinsi Flores tersebut mengungkapkan relasi kekuasaan politik di tengah masyarakat kesukuan kepulauan Flores dalam konteks rencana pembentukan provinsi Kepulauan Flores?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini antara lain: 1. Mengungkapkan pola komunikasi politik masyarakat kesukuan Flores di balik dinamisnya diskusi politik online oleh para netizen NTT khususnya terkait topik pembentukan provinsi Kepulauan Flores dalam grup Facebook Wacana Pembentukan Provinsi Flores.
15
2. Mengidentifikasi dan menggambarkan pola relasi kekuasaan yang tercermin oleh pola-pola komunikasi politik masyarakat kesukuan Flores melalui media sosial dalam konteks diskusi politik online pada grup Wacana Pembentukan Provinsi Flores terkait isu politik pembentukan provinsi kepulauaan Flores. Karakteristik dan dinamika komunikasi politik dan relasi kekuasaan masyarakat kesukuan Flores yang kini berjumpa dan dipraktekkan dalam aneka struktur internal media sosial akan digali, ditemukan, dideskripsikan dan dianalisis secara kritis dalam penelitian ini.
D. Kerangka Teoretis Secara teoretis, pembicaraan tentang praksis komunikasi politik yang termediasi media sosial perlu didahului dengan kajian teoretik tentang aneka perspektif relasi manusia-teknologi media sosial. Pemahaman perspektif tersebut akan mempermudah sekaligus memperdalam pemahaman dan analisis terhadap pola komunikasi politik melalui media sosial dan bagaimana relasi kuasa bekerja di baliknya. Pemahaman ini juga menjadi pintu masuk untuk memahami mengapa sebuah teks media sosial dapat disebut dan diperlakukan sebagai wacana. Untuk itu, kajian teoretis akan dimulai dengan pembahasan filosofis tentang relasi manusia – teknologi (media sosial).
16
1. Keniscayaan Sistem Sosio-Teknologis Media Sosial Setelah menguraikan definisi media sosial oleh beberapa ahli, Rulli Nasrullah (2015: 11) merumuskan bahwa media sosial adalah ―medium di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara virtual.‖6 Definisi yang senada juga diungkapkan oleh Hannah Taylor (2012: 3), bahwa media sosial adalah sekumpulan aplikasi berbasis internet (Internet-based applications) yang memungkinkan berlangsungnya penciptaan dan pertukaran konten buatan para penggunanya (user-generated content). Kedua pengertian media sosial di atas dengan jelas menyebutkan bahwa media sosial adalah media berbasis internet untuk penciptaan konten dan interaksikomunikasi antar para penggunanya. Bahkan menurut Taylor (2012: 3), media sosial telah mengubah wajah internet dari hanya semacam sebuah ruang luas informasi yang statis menjadi medan penciptaan, transmisi, penyebaran informasi ciptaan para penggunanya. Singkatnya, media sosial merupakan wajah internet terkini yang paling mudah dikenali, populer dan operasional. Saat ini, penyebutan internet
oleh
seseorang
akan
membuat
orang
lain
dengan
cepat
mengidentikkannya dengan media sosial. Sebagai ―wajah terdepan dan terkini‖ dari internet, maka karakteristik media sosial juga berbasis dan berkembang di atas karakteristik internet sebagai ―penanda ciri media baru‖ (Nasrullah, 2014: 3). Nicholas Gane dan David Beer (dalam Nasrullah, 2014: 14) menyebutkan bahwa karakteristik media baru (new 6
Dalam buku tersebut, Nasrullah merumuskannya setelah menjabarkan pengertian media sosial menurut Mandibergh (2012), Shirky (2008), Boyd (2009), van Dijk (2013), dan Meike & Young (2012).
17
media) dengan beberapa term yaitu network, interactivity, information, interface, archieve dan simulation. Secara lebih singkat dan padat, Holmes (2005: 10) menyebutkan bahwa karakteristik utama media baru adalah interactivity yang begitu berbeda dengan ciri media lama atau sebelumnya (old media) yakni berciri broadcast. Sekalipun demikian, van Dijk (2013) ketika mengkaji tentang identitas di situs jejaring sosial, mengemukakan media sosial memiliki memiliki karakteristik-karakteristik yang begitu dinamis. Interaktivitas pada media sosial mencakup sekaligus ciri ketersambungan (connectedness) menuju co-activity (connectivity); dari ekspresi diri (self-expression) menuju promosi diri (selfpromotion); serta dari penyedia database menuju storytelling dan narrative selfpresentation. Aneka karakteristik media sosial di atas dapat disebut sebagai struktur internal atau ciri teknologis media sosial. Namun sebagai sebuah karya teknologi, dalam perspektif filsafat teknologi, karakteristik teknologis tersebut sekaligus merupakan ciri sosio-kultural pencipta dan penggunanya yakni manusia. Menurut filsafat teknologi Martin Heidegger (dalam Lim, 2008: 52), relasi manusia-teknologi merupakan
relasi
―membingkai‖
(enframing)
sekaligus
―menghilang‖.
Maksudnya, penggunaan teknologi membingkai pengalaman manusia ―mendunia‖ namun pada saat bersamaan, teknologi seakan ―menghilang‖ lalu menjadi latar belakang yang transparan sehingga yang tampak menonjol hanyalah nilai efisiensi dan kemudahan pelaksanaan tugas manusia. Dengan perspektif ini, (teknologi) media sosial ―membingkai‖ praksis sosio-kultural manusia tetapi juga menjadi transparan hingga praksis sosio-kultural manusia pun tampak menonjol.
18
Pendekatan konvensional perihal relasi teknologi-dunia sosial adalah pandangan yang didasarkan pada prinsip determinisme (Yuliar, 2009). Terdapat dua pendekatan yaitu determinisme teknologi (technology determinism) dan determinasi sosial (social determinism). Determinisme teknologi menekankan dampak sosial dari teknologi. Teknologi berkembang menurut logikanya sendiri dan sengaja atau tidak sengaja akan bersentuhan dengan manusia dan terjadilah perubahan sosial yang bervariasi tergantung pada pra-kondisi pada masyarakat. Secara visual dapat digambarkan demikian: Efek A Sub-Masyarakat A Kesenjangan
Teknologi Sub-Masyarakat A‘ Efek A‘
DETERMINASI
Bagan 1.1 Visualisasi Determinisme Teknologi Sumber: Yuliar, 2009: 15
Sebaliknya, determinasi sosial memandang teknologi hanya sebagai alat atau media yang patuh pada kehendak sosial. Perubahan sosial entah baik atau buruknya ditentukan oleh kehendak masyarakat itu sendiri. Secara visual dapat digambarkan demikian: Efek A Sub-Masyarakat A
Kesenjangan
Teknologi Sub-Masyarakat A‘
DETERMINASI
Efek A‘
Bagan 1.2 Visualisasi Determinisme Sosial Sumber: Yuliar, 2009: 15
19
Tanpa mengabaikan kedua pendekatan di atas, menyitir pendapat Yuliar (2009: 67), kedua pendekatan determinisme ini memiliki kelemahan yakni mengabaikan heterogenitas di mana fenomena sosial tidak dapat direduksi ke dalam hukum fisis dan sebaliknya fenomena teknologi tidak dapat direduksi dalam institusi dan interaksi sosial. Relasi teknologi dan masyarakat bersifat heterogen: teknis sekaligus sosial, material sekaligus kognitif. Kelemahan ini kian kompleks jika dihadapkan dengan fenomena teknologi internet yang berkembang begitu pesat baik pada perangkat komputer maupun software atau programnya. Pendekatan lain yang ditawarkan adalah teori aktor-jaringan (actor network theory—ANT) yang dikembangkan Latour (dalam Yuliar, 2009; Markham & Lindgren, 2014). Prinsip ontologis ANT adalah bahwa jaringan dan aksi merupakan dua hal yang tak terpisahkan secara ontologis (actor-rhyzome ontology). Prinsip kedua adalah prinsip simetri umum yang menyatakan bahwa dalam analisis atas jaringan heterogen, entitas manusia dan non manusia diperlakukan secara simetris. Maksudnya, hal yang diperlakukan pada unsur manusia dapat dilakukan juga pada unsur non manusia. Dalam konteks jejaring media sosial, prinsip simetri umum berkaitan dengan asumsi bahwa jejaring pada media sosial dapat diperlakukan sebagai jejaring antar manusia walaupun secara substansial tidak setara. Secara lebih lugas, Làsló Ropolyi dalam karyanya Philosophy of the Internet: A Discourse on the Nature of the Internet (2013: 23) menyatakan bahwa, karena informasi adalah suatu produk epistemologis-teknologis maka teknologi informasi
20
(baca: internet/media sosial) merupakan suatu entitas interpretasi bahkan hermeneutik. Maksudnya, internet merupakan hasil sekaligus cara manusia memahami atau menafsir eksistensinya dalam dunia. Dengan kata lain, media sosial sekaligus merupakan sebuah sistem yang disebut Fuchs (2014: 44) dengan sebutan sistem tekno-sosial (techno-social system). Sistem tekno-sosial adalah sebuah sistem sosial yang terjadi dan berkembang dengan bermedium sekaligus melibatkan perangkat teknologi. Singkat kata, dimensi sosio-teknologis adalah dimensi intrinsik atau kondisi yang niscaya dari teknologi internet (baca: media sosial).
2. Teks Media Sosial sebagai Wacana Interaktif: Narasi dan Percakapan Online Secara virtual, teks media sosial tampak berupa narasi (posting) dan komentar atau tanggapan. Karena itu, secara faktual, teks media sosial lebih tampak sebagai sebuah percakapan online ketimbang narasi online. Dengan demikian, teks media sosial tampak sebagai sebuah wacana interaktif. Kajian teoretis wacana pada tes media media sosial perlu mencermati arsitektur teks berupa narasi-percakapan online tersebut yang tentu saja merupakan bagian integral dari narasi sosial dan percakapan dalam hidup riil sehari-hari. Perspektif sosio-teknologis media sosial yang telah dijelaskan di atas sertamerta menyatakan bahwa teks yang dihasilkan, dikonsumsi, dibagikan dan direproduksi di dunia maya (online) adalah bagian integral dari aneka unsur dunia konkrit manusia (offline). Dengan kata lain, sebuah teks media sosial merupakan
21
bagian dari (representasi) sekaligus mengondisikan dimensi sosial, budaya, ekonomi dan politik para penggunanya. Menurut perspektif kajian budaya (cultural studies), sebuah teks adalah produksi dan konstruk dari budaya, sementara budaya juga merupakan konteks yang pada akhirnya memberikan varian makna pada teks yang diciptakan (Ida, 2014: 60). Karena itu, dapat dikatakan bahwa teks media sosial merupakan suatu realitas sosial—tepatnya realitas sosial-siber—yang dibentuk bersamaan oleh interaksi sosial, budaya dan struktur sosial (Nasrullah, 2015: 53). Medium utama teks media sosial adalah bahasa tuturan dan bahasa simbol yang ditulis (di-posting) pada ―dinding‖ sebuah akun personal, grup maupun organisasi dan instansi. Karena itu, eksistensi teks media sosial sebagai realitas sosial dapat semakin dipahami dalam konteks konsep tindak-tutur (speech-acts) menurut filsafat bahasa John Langshaw Austin (1911-1960) dan korelasi antara teks dengan penuturnya (subjek). Menurut John Austin dalam bukunya How to Do Things With Words (dalam Bertens, 2002: 60-67), mengucapkan kalimat selalu merupakan suatu perbuatan, suatu speech-act. Tindak-tutur dibedakan menjadi tiga yaitu locutionary act, illocutionary act, dan perlocutionary act. Locutionary act berarti suatu ucapan merupakan penyampaian suatu makna atau ―isi bahasa‖ yang bermakna pada dirinya sendiri. Illocutionary act berarti dengan mengucapkan kalimat kita menggunakan suatu daya yang khas (illocutionary force) hingga ucapan itu menjadi perjanjian, pernyataan, perintah, vonis, dan sebagainya. Perlocutionary act berarti ucapan mengakibatkan suatu efek psikologis pada para pendengar seperti setuju, puas, datkut dan sebagainya.
22
Menurut Austin, setiap ucapan sekurang-kurangnya mengandung locutionary act dan illocutionary act. Berdasarkan gagasan Austin ini, teks pada media sosial sebagai sebuah ucapan (tertulis) tak hanya mengungkapkan makna pada dirinya tetapi juga mengandung daya konstitutif dari subjek penuturnya. Sebagai manusia, daya subjek tersebut pun lahir dari aneka dimensi pembentuk jati diri subjek termasuk dimensi sosial, budaya, ekonomi dan politik yang menjadi konteks hidup subjek serta hasil relasi subjek dengan struktur internal teknologis dari media sosial tersebut. Singkatnya, teks di media sosial merupakan bagian dari identitas subjek pengguna (user) media tersebut yang merupakan produsen sekaligus ―audience‖ teks—Manuel Castells (2009) menyebut subjek ini dengan sebutan creative audience. Lebih spesifik, dalam kajiannya tentang Identity 2.0—identitas para user di Web 2.0 atau internet generasi kedua dengan media sosia sebagai platform utama—Anne Halmond (2010) menyebutkan bahwa identitas subjek di media sosial berciri performatif, selalu dikonstruksi, tak pernah selesai, berjejaring, user-generated, terdistribusi dan persistent. Perspektif sosio-teknologis teks media juga berimplikasi pada perlakuan terhadap percakapan yang ada di dunia maya (online conversation): apakah hanya sebagai percakapan online atau yang berintegrasi dengan dunia offline. Menurut Bruhn Jensen (2010: 45), sebagai bentuk komunikasi termediasi komputer (computer mediated communicatio) sudah saatnya para peneliti melihat percakapan online sebagai suatu aktivitas yang disituasikan secara sosial sehingga perlu melampaui dikotomi online/offline agar dapat memahami konfigurasi total
23
dari media dalam masyarakat kontemporer. Dengan kata lain, teks media sosial perlu diperlakukan sebagai teks sosial-budaya sehingga teks media sosial merupakan bagian dari budaya (masyarakat) siber (cyberculture). Secara sederhana, budaya siber didefinisikan sebagai praktik sosial maupun nilai-nilai dari komunikasi dan interaksi pengguna yang muncul di ruang siber; atau, ―budaya yang diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi melalui jaringan internet dan jaringan yang terbentuk di antara pengguna‖ (Nasrullah, 2015: 78). Teks media sosial yang merupakan teks sosial-kultural karena melekat pada dimensi sosio-teknologis media sosial dihasilkan, disebarluaskan, diubah dan digunakan dalam jagad siber media sosial. Karena itu, karakteristik teks juga turut dikonstruksi oleh struktur internal utama dari media sosial yaitu berjejaring (networked) dan interaktivitas (interactivity). Hasan dan Thomas serta Gane dan Beer (dalam Nasullah, 2014: 75-77), sifat jejaring internet (baca: media sosial) tidak hanya diartikan sebagai infrastruktur yang menghubungkan antar komputer tetapi juga antar individu atau actor networking. Begitupula dengan sifat interaktivitas. Interaktivitas media sosial merupakan interaksi aktivitas antar komputer sekaligus antar individu (human agency). Dengan demikian, teks media sosial tidak saja merupakan teks sosial-kultural tetapi juga merupakan teks berjejaring. Dalam studi wacana, aneka karakteristik teks media sosial di atas memenuhi kategori sebagai suatu wacana; tepatnya wacana melalui teks dan jaringan. Wacana adalah seperangkat pengaturan teks yang bekerja untuk mengorganisasi dan mengkoordinasi aksi, posisi dan identitas manusia yang terlibat di dalamnya
24
(Thwaites, et al, 2002: 140). Setidaknya wacana mempunyai empat karakteristik (Thwaites, et al, 2002: 140) yakni institusi atau konteks sosial (concrete social sites), peran mereka yang terlibat dalam institusi tersebut (function of address), hubungan-hubungan kekuasaan yang terbawa dalam peran-peran tersebut (power relations), topik atau tema-tema tertentu yang dibicarakan dalam institusi atau konteks sosial tersebut (certain topics). Menurut Ricoeur (dalam Haryatmoko, 2010: 9-10), suatu wacana selalu mengandaikan empat hal yakni subyek yang mengatakan, dunia yang mau direpresentasikan, kepada siapa disampaikan dan temporalitas atau konteks waktu. Karena itu, diskusi politik online sebagai salah satu bentuk komunikasi politik dapat disebut sebagai suatu wacana karena selalu berkonteks, memiliki peran dan memuat relasi kekuasaan.
3. Komunikasi Politik dan Media Sosial: Pengertian, Pola dan Dimensi Komunikasi politik berkaitan dengan penciptaan, pembentukan, diseminasi, pemrosesan dan efek informasi di antara para aktor dari sistem politik, media dan publik (Esser & Pfetsch, 2016). Dengan demikian, penarikan sebuah definisi yang presisi tentang komunikasi politik perlu mempertimbangkan perkembangan dan perbedaan sistem-sistem politik, perkembangan media maupun karakteristik publik. Begitu pula dengan penggambaran pola-pola komunikasi. Secara umum, setidaknya ada dua paradigma pemikiran tentang komunikasi politik yakni pertama, ‗politik mencakupi komunikasi‘ dan kedua, ‗komunikasi mencakupi politik (Arifin, 2011; Riaz, 2010),.‘ Paradigma pertama menekankan
25
dimensi strategis komunikasi yakni pada aspek pengaruh dan kekuasaan; komunikasi politik menyangkut aktivitas mempengaruhi dan menguasai khalayak. Sedangkan paradigma kedua menekankan dimensi percakapan atau pembicaraan politik. Komunikasi politik adalah dialog, percakapan, perdebatan atau diskursus tentang pengaruh, kekuasaan dan otoritas menuju pencapaian sebuah konsensus. Berikut ini adalah usaha memotret perkembangan definisi dan pola komunikasi politik.
a. Definisi Komunikasi Politik Sejumlah
pakar
ilmu
politik
maupun
ilmu
komunikasi
berusaha
mendefinisikan komunikasi politik. Misalnya, Robert E. Denton dan Gary C. Woodward (1998) mendefinisikan komunikasi politik sebagai suatu bentuk intensi atau maksud pengirim pesan untuk mempengaruhi dunia politik. Dengan ini, faktor krusial komunikasi politik bagi keduanya bukan pada sumber pesan tetapi pada konten dan tujuannya. Definisi tersebut senada dengan pendapat pakar lainnya yakni Brian McNair (2003) yang mengartikan komunikasi politik sebagai komunikasi tentang politik yang bertujuan (purposeful communication about politics). Bagi McNair, selain pernyataan secara verbal maupun tertulis, komunikasi politik juga mencakup aneka representasi visual lainnya yang dapat membentuk identitas dan citra politik seperti pakaian, tata rias, model rambut, desain logo dan sebagainya. Definisi lain dikemukakan oleh Doris Graber (2005: 479). Menurut Graber, komunikasi politik adalah konstruksi, pengiriman, penerimaan dan pemrosesan
26
pesan yang secara potensial memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung tehadap dunia politik. Pesan tersebut memiliki efek yang signifikan terhadap pemikiran, keyakinan dan perilaku para individu, grup, instituasi dan seluruh masyarakat dan lingkungan sekitar di mana mereka berada. Sejumlah pengertian di atas menggambarkan komunikasi politik sebagai proses transmisi informasi politik baik secara langsung maupun termediasi media khususnya media massa—sebagai konteks awal perkembangan ilmu komunikasi politik. Menurut Esser & Pfetsch (2016), pada era media massa, ilmuwan komunikasi politik berfokus pada perihal bagaimana aktor-aktor yang terorganisir (organized actors) mempengaruhi seting isu politik dalam komunikasi publik dan perhatian semacam ini tidak dapat dipertahankan lagi (no longer tenable). Bagaimanapun, kini komunikasi politik dalam banyak hal dicirikan oleh percampuran komunikasi publik-personal, media massa dan media sosial, komunikator yang mapan maupun tidak mapan, keburaman sekat antara hal politis yang serius atau hiburan, perluasan pembatasan sistem-sistem politik nonBarat, serta meningkatnya globalisasi. Untuk itu, diperlukan suatu definisi yang inovatif. Menurut Esser & Pfetsch (2016), definisi tersebut adalah: komunikasi politik merujuk pada presentasi dan pembuatan makna pesan-pesan yang memiliki konsekuensi-konsekuensi potensial terhadap penggunaan kekuasaan, transmisi kepentingan-kepentingan warga negara, legitimasi simbolik dari otoritas, dan klarifikasi dari opsi-opsi alternatif dalam pembuatan kebijakan. Definisi yang dikemukakan Esser & Pfetsch di atas senada dengan definisi terbaru
komunikasi
politik
menurut
Oxford
Handbook
of
Political
27
Communication (Jamieson & Kenski, 2016: 2), yakni pembentukan makna dari pertukaran simbolik tentang penggunaan kekuasaan dan presentasi serta interpretasi atas informasi yang memiliki konsekuensi potensial terhadap penggunaan kekuasaan yang telah terbagi (exercise of shared power). Dengan kata lain, definisi terbaru komunikasi politik bernada interaktif dan simbolik yakni sebagai pertukaran informasi politik yang memiliki implikasi pada perwujudan kekuasaan. Definisi terbaru semacam inilah yang digunakan dalam penelitian ini.
b. Dinamika Komunikasi Politik Melalui Media Sosial Media sosial kini telah menjadi salah satu medium utama komunikasi politik kontemporer. Terdapat beragam kajian tentang dinamika komunikasi politik yang termediasi media sosial. Untuk mempermudah pemaparan, aneka dinamika tersebut dijelaskan dalam perspektif model komunikasi strategis, partisipatif dan deliberatif. Berdasarkan dinamika tersebut, digambarkan pola-pola komunikasi politik dalam media sosial. Dalam paradigma strategis, kehadiran media sosial diakui memberikan kontribusi yang sangat kuat bagi efektivitas kampanye dan beriklan politik. Dari perspektif marketing politik, mengapresiasi langkah kampanye Barack Obama dalam pemilihan presiden tahun 2008, Luck, Beaton, dan Moffatt (2010) menyebut langkah integrasi media sosial ke dalam kampanye politik sebagai sebuah ‗revolusi‘ sosial media. Selain itu, menurut Emruli et al. (2011), jejaring sosial berperan lebih efektif dan menjanjikan dalam hal strategi pengiklanan
28
politik oleh karena empat alasan. Pertama, jangkauannya yang luas di mana tiga situs besar media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube menempati urutanurutan atas situs yang diakses warga dunia. Kedua, alasan efisiensi biaya. Ketiga, lebih mudah memilih dan membidik target iklan. Keempat, waktu online yang tidak dibatasi, di mana para user masih dapat melihat iklan politik ketika mereka mengaktifkan akun mereka kapan pun waktunya. Dari perspektif komunikasi politik diskursif, media sosial mendapat apresiasi yang lebih besar. Internet (baca: media sosial) dianggap menghadirkan semacam electronic Athena karena karakter interaktivitasnya ((Bennet & Entman, 2001). Menurut Papacharissi (2002), internet hadir sebagai ruang publik baru yang sekaligus bersifat sebagai ‗arena publik‘ (public space) atau arena virtual (virtual space) dan ‗ruang publik‘ (public sphere) atau ruang virtual (virtual sphere). Sebagai arena publik, internet menjadi forum yang lain bagi deliberasi politik. Sedangkan sebagai ruang publik, internet dapat memfasilitasi diskusi yang mendorong pertukaran ide dan opini yang demokratis; ―A virtual space enhances discussion; a virtual sphere enhances democracy” (hlm. 11). Media sosial memungkinkan adanya komunikasi timbal-balik atau dialog antara politisi dan partai politik dengan warga serta membebaskan politisi maupun warga calon pemilih untuk menciptakan dan mengirimkan pesan-pesan politik baik kepada politisi maupun kepada sesama warga lainnya. Komunikasi timbal-balik yang lancar dan frekuen dapat mencerminkan adanya peningkatan partisipasi warga dalam politik. Karena itu, internet pun dilihat sebagai ‗a powerful tool for stimulating political participation’ (Zang & Seltzer, 2010). Menurut de Zuniga
29
(2012), penggunaan media sosial dapat meningkatkan modal sosial, keterlibatan dan partisipasi politik warga. Aspek strategis integrasi media sosial dalam komunikasi politik dapat ditakar dari banyaknya pengikut akun seorang agen politik dan jumlah yang menjatuhkan dukungan pada kandidat maupun program agen politik. Namun, bagaimana mengukur implikasi media sosial terhadap aspek diskursif komunikasi politik? Menurut Vincent Price (2006), yang perlu ‗ditakar‘ antara lain, pertama, siapa saja yang ‗hadir‘ (Who Attends); soal kapasitas para subyek yang terlibat dalam diksusi online tersebut. Kedua, Who Talks; dari mereka yang hadir, siapa saja yang berbicara. Ketiga, kesejatian diskusi warga (the nature of citizen discussion), yakni ada kebebasan berdiskusi. Keempat, dampak pengetahuan dan opini yang diungkapkan tersebut, sejauh mana. Kelima, dampak pada keterlibatan warga negara, sejauh mana warga terlibat dalam diskusi tersebut. Price menyimpulkan bahwa ada deliberasi online atau semacam online democracy karena sampel yang diambil memproduksi diskusi politik yang koheren, menunjukkan kehendak untuk berdebat dan berdiskusi, mengembangkan opininya dalam dialog dengan lawan, dan merasa semakin menjadi ‗satu‘ warga. Sekalipun demikian, menyitir pendapat Lynda Lee Kaid (2015), komunikasi politik melalui media sosial merupakan komunikasi politik yang termediasi. Karena itu, media sosial dapat berfungsi sebagai saluran melalui mana informasi politik dikirim dan diterima, sebagai sumber informasi politik, dan sebagai ruang publik di mana keterlibatan demokratis benar-benar terjadi. Dengan kata lain,
30
watak strategis, diskursif dan deliberatif di atas berkelindan dengan struktur internal media sosial termasuk soal aksesibilitas. Berkaitan dengan aksesibilitas, John C. Tedesco (dalam Kaid, 2015) mengingatkan bahwa selain peluang strukturalnya yang menopang dan memperkuat ruang publik, komunikasi politik melalui internet juga memiliki kendala struktural yakni soal ketidaksetaraan dalam akses—lebih dikenal dengan kesenjangan digital (digital divide). Karena itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa internet justru memperlebar kesenjangan antara mereka yang secara politik aktif dan tidak aktif; antara mereka yang kaya dengan yang miskin informasi politik. Bahkan dengan perspektif teori mobilisasi atau penguatan, Norris (2000) beragumentasi bahwa dari perspektif mobilisasi, demokrasi virtual menjanjikan cornucopia pemberdayaan di dunia digital, sedangkan menurut menurut teori penguatan, penggunaan internet dalam politik akan memperkuat, tidak mengubah secara radikal, pola ketimpangan sosial dan partisipasi politik yang ada.
c.
Pola Komunikasi Politik Melalui Media Sosial (Diskusi Politik Online) Sebagaimana telah diuraikan, kajian komunikasi politik berakar dan bergerak
di dalam disiplin ilmu politik dan ilmu komunikasi. Karena itu, dinamika komunikasi politik pun bergerak dalam konteks relasi sistem politik dengan sistem komunikasi (media). Dari beragam dinamika tersebut dipotret beberapa pola utama yang dapat disebut sebagai pola komunikasi politik melalui media sosial.
31
Menurut Aldo de Moor dan Hans Welgand (2005), pola komunikasi (patterns of communication) adalah elemen-elemen kunci yang menjamin (ensure) terwujud dan bekerjanya norma-norma komunikasi dari komunitas tersebut. Dengan kata lain, pola komunikasi adalah seperangkat langkah komunikatif (communicative workflow) dan norma yang melengkapi suatu interaksi komunikatif. Singkatnya, pola komunikasi adalah meta-norma yang mengondisikan seorang aktor mungkin, harus, atau tidak dalam mendefinisikan atau mengakses komunikasi. Pola komunikasi ini dipengaruhi oleh karakteristik sebuah komunitas, medium komunikasi yang digunakan, maupun format pesan yang dibentuk. Menilik definisi ini, maka pengertian pola komunikasi identik dengan pengertian model ataupun tipe komunikasi yang oleh Littlejohn (2010) diartikan sebagai ‗representasi simbolik‘ atau gambaran ‗visual‘ dari suatu peristiwa komunikasi. Berdasarkan definisi pola komunikasi tersebut, pola komunikasi politik dapat dibaca sebagai model komunikasi politik yakni meta-norma yang menentukan keterlibatan aktor dan konstruksi informasi politik yang dapat mempengaruhi konstelasi kekuasaan antara politisi, media dan publik. Dengan demikian, pola komunikasi politik dipengaruhi oleh karakteristik sistem politik dalam suatu komunitas masyarakat dan karakteristik medium komunikasi yang digunakan. Secara umum dan dalam konteks komunikasi massa, Hallin dan Mancini (2004) telah mengidentifikasi tiga model relasi media-politik sesuai sistem politik yakni polarized-pluralized model, democratic corporatis dan liberal model.
32
Namun, dalam penelitian ini, konteks umum komunikasi politik yang digali berlangsung dalam masyarakat dengan sistem politik demokrasi dan dalam platform media sosial atau komunikasi digital dengan format diskusi politik online. Identifikasi dan bangunan teoretis pola komunikasi politik dalam diskusi politik online secara komprehensif diuraikan oleh Deen G. Freelon (2010) dalam artikelnya Analyzing Online Political Discussion Using Three Models of Democratic Communication. Secara detil, tiga model komunikasi demokratik online diuraikan dalam tabel di bawah ini: Tabel 1.1 Tiga Model Komunikasi Demokratik Online dan Indikatornya Model Komunikasi Demokratis Liberal individualist: Karakteristik seluruh percakapan online menunjukkan ekspresi personal dan menunjuk pada kepentingan sendiri.
Indikator Monolog Semua yang terlibat hanya mengungkapkan kepentingan sendiri, mendominasi tanpa pertukaran argumen, berpola one-to-many ethos of communicative libertarianism. Personal revelation Bersifat personal-narratives, konten berfokus pada kisah diri seseorang. Personal showcase Menjadikan forum diskusi online sebagai plaform mengiklankan konten karya pribadi di luar ketentuan forum. Flaming Bersifat menyerang kelompok/individu lain yang bertentangan, yang tidak populer, atau memposisikannya sebagai lawan. Fragmentasi ideologis Komunitarian Mengupayakan kohesi Berlangsung polarisasi menurut kesamaan sosial dan identitas grup di ideologis/homofili ideologis. atas pemenuhan hasrat Mobilisasi pribadi. Menjadi relawan kampanye/protes serta donatur online. Bahasa dan identifikasi komunitas Partisipan merasa sebagai bagian dari grup/komunitas (kami/kita) Mempertanyakan intra-ideologis Menghindari mempersoalkan ideologi/kepentingan komunitas. Resiprositas intra-ideologis Cenderung menanggapi posting/komentar yang sesuai dengan ideologi/kepentingan komunitas.
33
Deliberatif Habermasian: ruang pertarungan argumen rasional-kritis, berfokus pada isu-isu publik, dan mensyaratkan kesetaraan.
Rasional-kritis argumen Mengungkapkan gagasan secara logis, metodis dan dapat dipahami bersama. Diskusi fokus topik Mengeliminasi isu privat/domestik, berfokus pada problem publik/kewargaan/ Kesetaraan Kesetaraan dalam akses dan kapasitas formulasi argumen. Mempertanyakan intra-ideologis Mediskusikan dahulu ideologi grup, menghindari pesan ad hominem.
Sumber: Adaptasi oleh penulis dari Freelon, 2010.
Berdasarkan dinamika komunikasi politik melalui media sosial, definisi dan identifikasi pola komunikasi politik dalam diskusi politik online yang dilakukan oleh masyarakat demokratis di atas, maka penulis memberikan batasan konseptual bahwa pola-pola komunikasi politik melalui media sosial dapat dibedakan sebagai berikut: 1) pola strategis (liberal-individualis); 2) pola partisipatif (komunitarian); dan 3) pola deliberatif. Indikator atau ciri masing-masing pola tersebut mengikuti karakteristik yang dikompilasi oleh Freelon di atas.
4. Kekuasaan dalam Teks Media Sosial: Posting, Percakapan dan Jejaring Komponen utama teks media sosial adalah bahasa dan struktur jejaring para aktor atau pengguna. Bahasa pada teks media sosial berbentuk posting awal pada wall atau halaman akun seorang netizen dan tanggapan-tanggapan (komentar) atau percakapan atas teks posting tersebut. Sementara jejaring pada media sosial adalah kesalingterhubungan dan kadar keterhubungan antar para user atau netizen. Maka membaca teks media sosial berarti membaca posting, percakapan dan jaringan
34
antar para aktor atau pengguna media sosial bersangkutan. Bagaimana teks media sosial dengan unsur-unsurnya ini disebut mengandung kekuasaan bahkan merupakan sebuah teks kekuasaan? Kajian kritis atas bahasa dengan jelas menyebutkan bahwa bahasa adalah medium kekuasaan. Menurut Habermas (dalam Budi Hardiman, 2015: 214), bahasa bukanlah sesuatu yang netral, karena bahasa juga dapat menjadi medium kekuasaan dan dapat dipakai untuk membenarkan hubungan-hubungan kekuasaan. Begitupula, Linda Thomas dan Shan Wareing dalam buku Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan (terj. 2007: 19) menulis, ―Kekuasaan sering kali ditunjukkan lewat bahasa, dan bahkan kekuasaan juga diterapkan atau dilaksanakan lewat bahasa.‖ Dengan demikian, teks media sosial yang bermedium bahasa sekaligus merupakan medium kekuasaan. Di balik teks tertulis, di balik percakapan yang tersaji, tersembunyi dan beroperasi kekuasaan melalui kepentingan, tujuan praktis hingga ideologi para penuturnya. Teks media sosial selalu merupakan teks berjejaring atau dalam struktur jejaring internet. Dengan demikian, jejaring pun bukan entitas netral tetapi sekaligus merupakan medium kekuasaan. Kai Eriksson (2005) ketika membedah ontologi jejaring dalam perspektif filsafat politik Michel Foucault dan mengungkapkan; karena menurut Foucault manifestasi kekuasaan bukan terutama terletak pada institusi melainkan dalam jaringan antar agen politik, maka secara ontologis, jejaring adalah suatu entitas kekuasaan. Hanya dalam jejaring, kekuasaan dan pengetahuan memiliki kesalingterhubungan secara historis (historical interrelationships), saling membentuk dan menjadikan (shape each
35
other and become), serta didefinisikan dan diorganisir kembali (redefined and reorganized). Sementara itu, ide dasar teori jaringan (Ritzer, 2012: 745) menyatakan bahwa setiap aktor (individu atau kolektif) dalam jaringan memiliki akses yang berbeda pada sumber-sumber daya yang ada (kekayaan, kekuasaan, informasi). Karena itu, sistem sebuah jaringan cenderung berstruktur terstratifikasi, di mana beberapa komponen bergantung kepada yang lain. Secara khusus, teori pertukaran jaringan (network exchange theory) yang dikembangkan Markovsky dan koleganya mengungkapkan, ―...kekuasaan ditentukan oleh struktur jaringan, khususnya ketersediaan hubungan-hubungan alternatif di kalangan aktor‖ (dalam Ritzer, 2012: 753). Berdasarkan gagasan teori jaringan ini, dapat dikatakan bahwa struktur jejaring dan interaktivitas dari media sosial sekaligus berciri kesalingtergantungan (tepatnya ketergantungan) karena itu mengandung pula relasi dan konstelasi kekuasaan. Karena itu, komunikasi termasuk melalui teks dan jejaring media sosial merupakan, ―...pertukaran bahasa yang berlangsung sebagai hubungan kekuasaan simbolis di mana terwujud hubungan kekuatan antara pembicara dan mitra atau lawan bicara dalam suatu komunitas (Bourdieu dalam Haryatmoko, 2010: 9). Dengan kata lain, teks dan percakapan serta jejaring antar pengguna media sosial mengandung dan mengungkapkan kekuasaan dan relasi kuasa antar para penggunanya melalui struktur teknologisnya maupun dengan konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi para penggunanya. Teks media sosial merupakan medium kekuasaan; di mana berlangsung dan direproduksinya
36
relasi kuasa yang secara umum disebut oleh Foucault berupa strategi dominasiresistensi dengan pola disiplin, regulasi, normalisasi. Sedangkan secara khusus, dalam masyarakat jejaring, Manuel Castells (2009) mengidentifikasikannya dengan sebutan programming & reprogramming, switching – unwire – rewire (‗mengklik‘-melepaskan dari jejaring-kembali berjejaring). Secara singkat, relasi kuasa tersebut dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini: Tabel 1.2 Relasi Kuasa dalam Masyarakat Jejaring (Foucault & Castells) Tokoh Foucault Castells
Relasi Kuasa (Strategi Kuasa) Dominasi-resistensi Disiplin-normalisasi Programming – reprogramming Switching – unswitching Wiring – unwiring
Sumber: Diolah penulis dari Foucault dan Castells (2009) Bagaimana rupa ―wajah‖ komunikasi politik dan relasi kekuasaan dari masyarakat berbudaya politik kesukuan ketika masyarakat tersebut menggunakan media sosial yang berstruktur berjejaring, interaktivitas, dan terbuka? Inilah pertanyaan yang dirumuskan kembali berdasarkan kajian teoretis ini untuk dijawab dalam penelitian ini.
E. Kerangka Pemikiran dan Model Penelitian Secara singkat, kerangka pemikiran penelitian ini dirumuskan demikian; menurut perspektif sosio-teknologis, budaya politik, kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta kondisi ekologi komunikasi masyarakat kesukuan kepulauan Flores dan struktur internal media sosial membingkai (emframing)
37
diskusi politik online tentang rencana pembentukan provinsi Kepulauan Flores. Karena keberadaan teks yang memiliki konteks, struktur teks dan jejaring maka sebuah teks dapat disebut sebagai wacana. Wacana yang terungkap dalam diskusi politik yang berlangsung dalam grup Facebook WPPF dapat disebut sebagai praksis komunikasi politik dari masyarakat jejaring Kepulauan Flores. Sebagai sebuah praksis komunikasi maka wacana tersebut mengandung pola-pola komunikasi politik yang dikonstruksi dan digunakan di ruang media sosial tersebut. Pola-pola komunikasi strategis, partisipatif dan deliberatif dapat diidentifikasi dan dievaluasi dalam diskusi politik online tersebut. Praksis komunikasi politik pada media sosial sebagai suatu wacana tersebut memuat relasi kuasa yang turut menopang eksistensi dan operasionalisasi wacana tersebut. Dengan demikian, melalui pola-pola dalam praksis komunikasi politik tersebut, dapat ditelusuri dan digambarkan pola relasi kekuasaan politik yang diproduksi dan direproduksi oleh wacana tersebut. Kerangka pemikiran yang telah diuraikan secara singkat di atas dapat digambarkan dalam bagan berikut ini—dan akan dibahas secara rinci dan komprehensif serta diperkaya pada bab kedua karya ini:
38
Grand Theory
SISTEM SOSIO-TEKNOLOGI MEDIA SOSIAL (Filsafat Teknologi)
Teori Masyarakat Jejaring (Network Society)
Medium Theory
(Manuel Castells & Jan van Dijk)
Application Theory
Komunikasi Politik Termediasi Media Sosial - Strategis - Partisipatif - Deliberatif ................ Karakteristik sositeknologis media sosial
Kuasa & Relasi Kuasa (Michel Foucault) ...................... Kuasa & Relasi Kuasa dalam Masyarakat Jejaring (Manuel Castells)
Bagan 1.3 Kerangka Teori Sumber: Rancangan Penulis Peneliti ingin menggali dan menggambarkan secara kritis dua aspek yang tersembunyi atau terikat dalam bingkai tersebut yakni pola komunikasi politik dan relasi kekuasaan. Kedua aspek ini tentu berhubungan, di mana komunikasi politik dengan pola tertentu menjadi cerminan relasi kekuasaan dengan pola tertentu juga di baliknya. Dengan latar belakang, rumusan masalah dan rangkaian dan rangkuman kajian teoretis yang telah diuraikan di atas, model penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut:
39
MEDIA SOSIAL (Struktur Internal-SosioTeknologis
Konteks
POLA KOMUNIKASI POLITIK
Diskusi Politik Online tentang Rencana Pembentukan PKF
Teks
RELASI KEKUASAAN Jejaring
MASYARAKAT KESUKUAN FLORES (Kondisi Kondisi sosialekonomi-politik-budaya dan ekologi komunikasi)
Bagan 1.4 Model Penelitian Teks Diskusi Politik di Grup Media Sosial Sumber: Hasil Rancangan Penulis
F. Metodologi Penelitian 1. Perspektif dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini berusaha memahami dan menjelaskan pola praksis komunikasi politik dan relasi kuasa dalam sebuah diskusi politik yang dilakukan oleh warga masyarakat kesukuan Flores yang termediasi oleh teknologi jejaring sosial (media sosial) dengan rupa: teks media sosial. Dengan demikian, setidaknya terdapat tiga premis dasar yang mesti diandaikan dari realitas sosial yang hendak dikaji ini yakni; 1) bahwa terdapat perjumpaan antara masyarakat kesukuan kepulauan Flores dengan teknologi jejaring digital (media sosial) dalam tindakan diskusi politik melalui grup media sosial WPPF; 2) karena itu, yang berinteraksi adalah kondisi sosial-politik-kultural warga tersebut dengan struktur teknologis media
40
sosial yang digunakan; 3) bahwa dalam interaksi tersebut terdapat pula implikasi dari adanya kesenjangan dalam struktur sosial-politik masyarakat maupun struktur teknologis media sosial terhadap praksis komunikasi politik antar warga. Secara filosofis, relasi manusia-teknologi lebih mudah dipahami secara mendalam dengan perspektif sosio-teknologis di mana yang berlangsung adalah proses kolaborasi sosio-teknologis konstruksionis. Berdasarkan premis dasar dan dasar pemikiran filosofis di atas maka perspektif penelitian ini perspektif sistem sosio-teknologis-konstruksionis dengan berayun di antara tradisi sosiokultural dan tradisi kritis dalam bidang ilmu komunikasi (Littlejohn, 2009). Dalam tradisi sosio-kultural yang bersifat konstruktif, pola komunikasi dan pola relasi kuasa dapat dihasilkan dari cara sebuah komunitas berbicara tentang objek, bahasa yang digunakan, medium yang digunakan dan bagaimana komunitas itu menyesuaikan diri dengan pengalaman berinteraksi dengan objek, cara dan medium tersebut. Dengan kata lain, pola komunikasi politik dan relasi kuasa masyarakat kesukuan kepulauan Flores yang terlibat dalam diskusi politik di grup Facebook WPPF dapat dibentuk oleh cara berbicara (berdiskusi) tentang topik, bahasa yang digunakan, dan penyesuaian dengan struktur sosial maupun struktur medium yang digunakan. Sekalipun demikian, sebagaimana telah diungkapkan, kondisi sosio-teknologis dari diskusi politik dalam grup WPPF adalah kondisi kemiskinan digital (digital poverty) atau kemiskinan informasi (poor information) serta praksis sosial-politik yang masih sarat dengan faktor-faktor kesukuan dan kultur elitisme politik.
41
Dengan demikian, agar dapat memahami dan menjelaskan fenomena di atas, pendekatan yang sesuai adalah pendekatan kritis. Keniscayaan eksistensi struktur sosial dan struktur teknologis medium dalam diskusi politik di media sosial tersebut menuntut peneliti untuk menggunakan juga sudut pandang tradisi kritis dalam kajian terhadap teks sosial melalui media sosial. Bagaimana pun, kehadiran struktur-struktur tersebut mengkondisikan relasi dan komunikasi yang terjadi. Oleh karena perbedaan aneka disposisi, kapasitas maupun modal sosial para peserta diskusi maupun prosedur internal teknologis dari medium, maka tak dapat dipungkiri adanya relasi yang tak setara dalam dinamika komunikasi politik di grup Facebook WPPF. Kondisi atau strukturstruktur tersebut dalam kadar tertentu berkapasitas ideologis sehingga dapat mendominasi, meng-hegemoni bahkan menyingkirkan kaum terlemah dari warga grup Facebook WPPF. Sebagaimana dijelaskan Hidayat (dalam Eriyanto, 2001), paradigma kritis dalam penelitian kualitatif didasarkan pada historical situatedness, yaitu analisis secara holistik dengan memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari teks yang diteliti. Lebih lanjut, Denzin dan Lincoln (1994) menjelaskan, paradigma kritis merupakan pendekatan yang memandang ilmu sosial sebagai suatu proses kritis untuk menyingkap struktur yang sebenarnya dalam membentuk dan mempertahankan kesadaran sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Singkatnya, pendekatan kritis mengusung nilai emansipatoris; mengangkat dan menyetarakan yang tersisih.
42
Urgensi pendekatan penelitian yang berada dalam ayunan tradisi sosiokultural dan tradisi kritis tersebut kian diartikulasikan oleh sifat-sifat teks media sosial sebagai suatu teks sosial (baca: realitas sosial). Menurut Nasrullah (2014b: 203-204; 2015: 59-60), teks media sosial sebagai suatu realitas sosial—realitas sosial-siber—secara detil setidaknya memiliki empat level. Pertama, level ruang media (media-space) yakni struktur maupun penampilan dari perangkat media sosial seperti prosedur publikasi konten dan aspek-aspek grafisnya. Kedua, dokumen media (media archive) yakni isi berupa teks dan maknanya yang dipublikasikan sebagai artefak kebudayaan karena selain memuat opini, juga ideologi politik, hingga unsur budaya lainnya dari penuturnya. Ketiga, level objek media (media object) yakni aktivitas dan interaksi pengguna dan antar pengguna. Keempat, level pengalaman (experiential stories) yang mencakup motif, efek dan manfaat yang menjadi penghubung dunia online dan offline penggunanya. Dengan kata lain, realitas sosial-siber terdiri dari level mikro yakni teks yang dikonstruksi pengguna dan level makro yakni konteks yang mengelilingi teks. Berdasarkan aneka karakteristik teks media sosial sebagai realitas sosial-siber sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa teks media sosial sebagai wacana selalu terdiri dari teks yang tertulis dan terbaca, konteksjejaring sebagai struktur internal media sosial, dan konteks sosial-budaya-politik yang melatari praksis hidup pengguna termasuk dalam bermedia sosial. Bentuk virtual dari teks media sosial itu adalah posting yang berbentuk narasi deskriptif maupun argumentative beserta tanggapan atau komentarnya. Bentuk semacam ini tidak dapat dipisahkan sehingga harus dibaca bersamaan. Untuk itu, penelitian
43
tekstual kritis atas wacana media sosial tersebut menuntut transfomasi metode penelitian tekstual untuk dapat memotret sekaligus narasi interaktif (teks dan percakapan online) tersebut. Untuk itu, peneliti memandang perlu untuk menggunakan perpaduan metode Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) yang dikolaborasi dengan metode analisis percakapan online (Online Conversation Analysis).7
2. Transformasi Metode Penelitian: Analisis Wacana Kritis dan Analisis Percakapan Online Sebagaimana telah diuraikan, objek kajian penelitian ini adalah teks media sosial berupa diskusi politik online pada grup Facebook WPPF yang terbentuk dari narasi (posting) dan percakapan online atau komentar. Agar analisis atas teks ini lebih mendalam dan integral, maka peneliti melakukan transformasi metode (baca: menggabungkan) yakni analisis wacana kritis dan analisis percakapan online (kritis). Menilik karya David Giles dkk., dalam jurnal Discourse, Context and Media (2015), transformasi metode semacam ini dapat digolongkan dalam metode MOOD (Microanalysis Of Online Data). Dalam penelitian ini, penulis tetap menyebut kedua metode tersebut secara terpisah untuk memperlihatkan perbedaan fokusnya sekaligus kolaborasi keduanya untuk dapat menggali dan menjelaskan realitas sosial-siber yang diteliti. Analisis wacana dapat membongkar struktur pemaknaan (ideologi) dan relasi kuasa di balik konstruksi narasi atau teks 7
Secara ideal, menurut penulis, metode analisis jaringan komunikasi perlu juga dilengkapkan pada kajian wacana dalam kajian atas teks media sosial. Namun karena keterbatasan tempat (jumlah halaman) maka analisis jaringan komunikasi tidak disertakan dalam penelitian ini. Sekalipun demikian, karena tuntutan karakteristik interaktivitas teks media sosial maka analisis percakapan tetap perlu ditambahkan pada kajian wacana kritis.
44
secara lebih mendalam. Sementara itu, analisis percakapan online dapat memperlancar penggalian akan pola-pola komunikasi politik yang mengonfirmasi ataupun mencerminkan relasi kuasa yang berlangsung dalam teks melalui perhatian yang detil akan unsur interaktivitas (interaksi sosial) yang menjadi salah satu karakter pokok dari wacana pada media sosial. Menurut Will Gibson (2009), sekalipun terdapat banyak perbedaan antara percakapan langsung dengan percakapan online, namun keduanya tetap merupakan bagian dari praksis wacana interkultural sehingga sama-sama masih dibangun melalui praksis sekuensi dan kategori-kategori keanggotaan. Pada tempat lain, Tan & Tan (2011: 251) memberikan argumentasi bahwa metode analisis interaksi online lainnya seperti analisis isi, analisis jejaring sosial dan analisis wacana lebih bertujuan untuk menyingkapkan apa yang sedang berlangsung dalam interaksi online dan apa yang sedang dipertaruhkan. Padahal, menurut Tan & Tan, baik apa yang sedang berlangsung (what is going) maupun bagaimana hal tersebut dicapai (how events are accomplished) sama-sama merupakan hal yang penting. Analisis percakapan online menjadi jalan untuk menemukan bagaimana interaksi online menjadi tata tertib sosial (online social order) yang mengatur sebuah komunitas virtual dengan memfokuskan perhatian pada detil interaksi online menit per menit.
a. Analisis Wacana Kritis (AWK) menurut Teun A. Van Dijk Analisis wacana kritis adalah jenis penelitian analisis wacana yang menitikberatkan kajiannya pada bagaimana cara penyalahgunaan kekuasaan
45
sosial, dominasi dan ketidasetaraan dihasilkan, direproduksi dan dilawan melalui teks dan ucapan dalam konteks sosial dan politik (van Dijk, 2001: 352). Tujuan utamanya adalah menyingkap keburaman, intrik dan ideologi terselubung dalam wacana yang berkontribusi pada hadirnya relasi yang tidak setara antara para peserta wacana. AWK yang digunakan peneliti adalah AWK menurut Teun A. van Dijk. Menurut peneliti, konsep AWK van Dijk yang dikenal dengan AWK Kognisi Sosial dapat menyingkap makna-makna dan kekuasaan terselubung dalam teks media sosial yang berkarakteristik interaktif dan user-generated content. Konsep kognisi sosial van Dijk dapat menjadi jawaban perihal logika dan kepentingan terselubung dalam benak komunikator (facebooker) di balik posting dan komentar yang tertulis atau terungkap. Secara prinsipil, AWK van Dijk ‗hanya‘ berlaku bagi analisis atas teks media massa karena memiliki ruang redaksi sebagai eksekutor ideologi dan kepentingan organisasi dan pembangun otoritas teks (Eriyanto, 2001; Bungin, 2007). Sekalipun demikian, sebagai sebuah teks sosial-siber, teks pada media sosial merupakan suatu wacana karena memiliki konteks sebagai komponen fundamental dari suatu wacana (van Dijk, 2008: 4). Bahkan menurut Magnan (dalam Nasrullah, 2014: 196), komunikasi yang asynchronous pada teks media siber memperbesar unsur wacana pada teks siber karena mempunyai kemungkinan yang lebih besar dan cepat untuk diredistribusikan dan ditanggapi oleh aktor komunikasi yang lain.
46
Sementara itu, Fairclough dan Wodak (dalam van Dijk, 2001: 253) juga mengungkapkan beberapa prinsip analisis wacana kritis yang senada dengan van Dijk yakni berfokus pada masalah sosial, melihat relasi kekuasaan bersifat diskursif, wacana membangun (constitutes) masyarakat dan budaya, wacana merupakan suatu kerja ideologis (ideological works), wacana bersifat historis, bahwa teks dan masyarakat termediasi, analisis wacana bersifat interpretatif dan menjelaskan (explanatory) serta wacana merupakan sebuah bentuk dari tindakan sosial (social action). Secara operasional, van Dijk (2001: 354) menyatakan bahwa analisis wacana kritis hendaknya dijalankan dalam kerangka pemikiran (framework) yang melihat secara kritis relasi antara wacana, kognisi dan masyarakat pada level mikro dan level makro. Level mikro mencakup penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal, dan komunikasi dalam teks. Sedangkan level makro mencakup kekuasaan, dominasi, dan ketidaksetaraan antara anggota grup dan antar kelompok-kelompok sosial. Dan terdapat empat cara untuk menganalisis dan menjembatani kedua level tersebut hingga menjadi suatu kesatuan analisis kritis (a unified critical analysis) dari wacana yaitu: 1) Relasi anggota-kelompok (members-groups): dengan melihat keterlibatan para pengguna bahasa (language user-engage) dalam wacana; apakah para anggota ―sebahasa‖ sehingga dapat bercakap-cakap dan bertindak sebagai anggota dari suatu kelompok sosial.
47
2) Relasi tindakan-proses (actions-process): tindakan-tindakan sosial dari aktor-aktor individual dibangun sebagai bagian dari tindakan kelompok dan proses-proses sosial seperti legislasi, pembuatan berita, atau reproduksi rasisme, dan sebagainya. 3) Konteks-struktur sosial (context-social structure): situasi interaksi yang diskursif merupakan bagian yang sama atau yang bersifat kontitutif terhadap struktur sosial; misalnya sebuah konferensi pers mungkin merupakan sekaligus praksis tindakan dari organisasi dan instituasi media. Dalam hal ini, konteks ―lokal‖ atau lebih ―global‖ berkaitan sangat erat dan berada bersama dalam sebuah wacana. 4) Kognisi pribadi dan kognisi sosial (personal and social cognition): pengguna bahasa sebagai aktor-aktor sosial memiliki sekaligus kognisi personal dan sosial seperti: ingatan pribadi, pengetahuan dan opini sebagaimana yang saling mereka bagikan di antara mereka sebagai anggota dari suatu kelompok. Karena hal tersebut, wacana menjadi semacam representasi-representasi sosial (social representations) dari tindakan kolektif suatu kelompok. Dalam konteks penelitian ini, peneliti lebih berfokus pada langkah analisis keempat dari van Dijk untuk membedah wacana sosial-siber yang menjadi objek kajian penelitian. Dengan langkah keempat—yang tentu ditopang oleh langkah ketiga lainnya—peneliti dapat menemukan, menggambarkan dan menjelaskan bagaimana interaksi sosial berupa praksis komunikasi politik dan relasi kekuasaan antar aktor yang menyembunyikan ideologi, dominasi dan
48
ketidasetaraan kekuasaan antara anggota (utama) grup Facebook WPPF secara online maupun secara offline sebagai pelengkapnya.
b. Analisis Percakapan Online (Online Conversation Analysis) Percakapan didefinisikan sebagai sebuah rangkaian interaksi dengan awal dan akhir, pergantian giliran yang jelas, dan beberapa maksud atau tujuan (Littlejohn, 2011: 215; Zimmerman dalam Ritzer, 2012: 674). Sementara itu analisis percakapan (conversation analysis) diartikan sebagai studi atas aneka interaksi melalui percakapan (talk-interactions) untuk menunjukkan tata aturan sosial, struktur, aneka pola dan pengaruh dari aneka kuasa (Tan & Tan, 2011: 266). Dalam sebuah percakapan, para peserta percakapan memainkan peran sebagai seorang pembicara, maupun sebagai pendengar, secara bergantian. Peristiwa pergantian peran inilah yang dinamakan peristiwa alih tutur (turn taking) atau sekuensi. Alih tutur ini merupakan syarat penting dalam komunikasi lisan, karena dengan alih tutur ini terlihat pergantian peran peserta percakapan, terjadi pergantian peran dari seseorang yang aktif menyampaikan pesan atau ide menjadi pendengar, maupun sebaliknya dari seorang pendengar menjadi pembicara. Alih tutur mempunyai hubungan erat dengan topik yang akan dibicarakan. Alih tutur ini terjadi bila ada salah satu peserta percakapan yang mendukung topik yang sedang dibicarakan, memperluas, mengantarkan, atau bahkan mengubah topik yang sedang dibicarakan. Sehingga untuk menganalisis alih
49
tutur kita juga harus memahami tentang pergerakan atau peralihan topik (topical actions). Dengan kata lain, pada percakapan langsung, analisis percakapan dapat dilakukan dengan melihat peristiwa alih tutur baik melalui pergantian peran maupun melalui peralihan topik. Sekuensi atau alih tutur tersebut merupakan ―pembatas-pembatas internal‖ yang menjadi fokus analisis percakapan (Ritzer, 2012: 674). Analisis percakapan (CA—Conversational Analysis) merupakan salah satu metodologi penelitian dalam cabang sosiologi yang disebut etnometodologi (Littlejohn, 2011; Giles et al., 2015). Sebuah percakapan dipandang sebagai pencapaian sosial karena mengharuskan kita melakukan sesuatu secara kooperatif melalui pembicaraan. Karena itu, CA berusaha untuk menemukan dengan tepat pencapaian tersebut. Singkatnya, CA berfokus pada interaksi dalam wacana—gerak maju-mundur, pergantian giliran—dan bagaimana para pelaku menciptakan stabilitas dan pengaturan dalam pembicaraan mereka. Aspek yang paling penting dari percakapan adalah koherensi percakapan (conversational coherence) yakni keterkaitan dan keberartian dalam percakapan (Littlejohn, 2011: 240). Langkah analisis yang sama dapat juga dilakukan pada percakapan online karena struktur percakapan online juga masih dibangun oleh sekuensi dan kategori keterlibatan peserta percakapan (Gilles, 2009; Tan & Tan 2011). Sekalipun demikian, sebagaimana diuraikan oleh Laura W. Black (2011), analisis percakapan politik online perlu mempertimbangkan beberapa karakter percakapan tersebut, antara lain:
50
1) Kelimpahan informasi politik; secara online informasi politik begitu berlimpah dan mudah diakses. Sekalipun demikian, percakapan politik online tetap berlangsung dalam ―pulau-pulau informasi‖ atau echo chambers di mana orang berinteraksi dengan sesamanya yang mirip (similar) dan mencari konfirmasi terhadap pandangan mereka sendiri; orang bercakap-cakap untuk saling berbagi pandangan-pandangan politik mereka ketimbang menantang pandangan mereka tersebut. Dengan demikian, informasi politik yang dibagikan tak pernah bersifat netral. Selain itu, kelimpahan informasi tersebut membuat para peserta diskusi melakukan multitasking yakni sambil searching dan surfing informasi lain di platform online lain sembari bercakap-cakap. Multitasking ini dapat mempengaruhi kualitas informasi yang dipertukarkan dalam forum. 2) Anonimitas dan identitas online dari para partisipan dapat mempengaruhi kualitas percakapan politik. Sekalipun anonimitas di satu sisi membantu para user untuk lebih mudah menuangkan gagasan, tetapi di sisi lain mengurangi kualitas percakapan karena cenderung merusak struktur diskursif
kewargaan
(civic
discourse).
Maksudnya,
anonimitas
mempermudah partisipan mengungkapkan argumentasi secara tidak sopan bahkan menyakiti (hurtful). Anonimitas juga memicu partisipan untuk tidak menganggap serius percakapan yang ada sebagaimana mudahnya peralihan sebuah isu politik serius menjadi lelucon seperti meme internet. 3) Fleksibilitas ruang dan waktu. Pada percakapan online lokasi fisik dan waktu keterlibatan tidak begitu diperhatikan. Percakapan dapat melibatkan
51
begitu banyak partisipan dari berbagai belahan dunia serta dapat berbeda waktu (asynchronous). Menurut Black (2011), sifat asinkronik ini menguntungkan forum diskusi online karena dengan hilangnya tekanan waktu, partisipan memiliki lebih banyak waktu untuk berpikir dan merumuskan idenya secara lebih jelas. Sebaliknya dapat merugikan karena jika sebuah topik telah berlalu, partisipan cenderung hanya membaca daripada terlibat dalam diskusi. Secara praktis, dengan aneka karakteristik percakapan politik online di atas, terdapat enam hal yang menjadi pedoman analisis atas sebuah percakapan online (Tan & Tan, 2011; Gibson, 2009) antara lain: 1) Struktur alih tutur (turn taking structures) Menganalisis pengaturan mendasar dari sebuah percakapan melalui proses alih tutur baik melalui urutan pemberi komentar maupun kesinambungan topik dan gagasan. Pada percakapan langsung (offline), selain karena kesamaan konteks percakapan (topik), sekuensi dengan mudah dilihat karena kesinambungan ruang dan waktu, sementara percakapan online terdapat karakter asynchrononus. Mengatasi hal ini, terdapat 5 unsur yang dapat diperhatikan (Gunawardena dalam Tan & Tan, 2011: 250) yakni: kesamaan atau adanya perbedaan informasi, ada atau tidaknya disonansi atau inkonsistensi antar gagasan, adanya negosiasi atau co-construction pengetahuan,
modifikasi
gagasan,
dan
persetujuan
sambil
mengembangkan makna baru dari topik. Dalam hal ini, peneliti akan menyeleksi komentar-komentar yang relevan dengan substansi penelitian.
52
2) Konstruksi pertukaran gagasan (Building exchanges) Menganalisis bagaimana terbangunnya suatu pemahaman bersama dalam sebuah percakapan dan siapa yang akan bertanggung jawab dan bagaimana mengungkapkannya melalui berbagai bentuk dan tempat. Dalam percakapan online bangunan tersebut dapat berupa: perbedaan gagasan antar peserta yang memicu perdebatan, adanya idea yang belum lengkap sehingga anggota lain membangun idenya di atas ide tersebut, ide yang jelas menunjukkan pemahaman atas topik sehingga menjadi rujukan peserta lain. 3) Bagian-bagian, aliansi dan pembicaraan (Parties, Alliances and talk) Menganalisis bagaimana para partisan mengorganisir diri mereka dalam interaksi menjadi satu grup atau satu kategori yang bermakna. Dalam percakapan online setidaknya terdapat tiga jalan yang mungkin untuk menunjukkan
aliansi:
1)
secara
eksplisit
dengan
menyatakan,
mengidentikkan diri, atau berbagi dengan pandangan peserta lain; 2) menjawab pertanyaan yang diposting lalu mengajukan pertanyaan untuk menunjukkan adanya perbedaan pandangan; 3) menegaskan kembali atau mengulang posisi sebelumnya melalui suatu bantahan (rebbutal). 4) Pembongkaran dan perbaikan (Trouble and repair) Menganalisis bagaiamana percakapan menjadi runtuh, terpecah atau melemah dan bagaimana mekanisme memperbaiki dan menghadirkan kembali tatanan sosial. 5) Preferences and accountability
53
Analisis ini masih bersambungan dengan trouble and repair dengan melihat bagaimana para pastisipan menyediakan gagasan pada bagian kedua keterlibatannya baik ketika gagasan didukung ataupun ditentang. 6) Institusional category and identity Otoritas institusi dan identitas para peserta dari institusi (admin) tampak pada apa yang mereka ungkapkan. Analisis ini mengungkapkan bagaimana para peserta semacam ini mengorientasikan diri dengan mereka yang berbeda pandangan dan kepentingan.
3. Objek Kajian Kajian ini merupakan kajian teks. Menurut Widyawati (2014), teks merupakan elemen dari kejadian sosial yang memiliki efek kausal, seperti perubahan pengetahuan, kepercayaan, sikap dan nilai. Karena itu, teks juga merupakan proses interaktif dari sebuah proses pemaknaan (meaning making). Terdapat tiga tingkatan agar dapat menganalisis teks yaitu produksi teks, teks itu sendiri dan penerimaan (reception) teks. Produsen teks adalah penulis atau pembicara teks, sedangkan reception adalah interpretasi pembaca atau pendengar. Dalam kerangka teks media sosial, produsen teks adalah pemilik akun, sedangkan penerima adalah pembaca dan pemberi komentar—yang sekaligus menjadi produsen teks tanggapan. Dalam penelitian ini, yang menjadi objek kajian adalah: 1) profil sositeknologis; dan 2) teks-teks pokok yang terarsip pada dinding (wall) grup Facebook WPPF beserta percakapan atau komentar terhadap teks-teks tersebut.
54
Selain itu, objek kajian lain yang tidak terdapat pada ―dinding‖ grup Facebook tetapi bersifat konstitutif terhadap teks dan jaringan dalam wacana adalah dimensi historis, sosial, budaya, ekonomi dan politik yang menjadi latar gagasan yang didiskusikan sekaligus latar dari para aktor yang terlibat dalam diskusi politik online tersebut. Pemilihan objek kajian menggunakan teknik pemilihan sampel bertujuan (purposive sampling) yakni pemilihan sampel yang relevan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian dengan pertimbangan-pertimbangan: a. Teks: Arsip teks yang diambil adalah yang dihasilkan sejak awal pembuatan akun grup (April 2013) hingga April 2016 di mana rencana pembentukan PKF menjadi bagian dari isu politik pemerintah provinsi NTT. Pemilihan teks sampel didasarkan pada pertimbangan kronologis dan tematik. 1) Secara kronologis yakni tulisan (posting) status dalam bentuk tulisan panjang dan runtut pada dinding grup Facebook WPPF yang ditulis oleh pengelola maupun anggota biasa, bersifat publik (bisa dilihat semua anggota bahkan umum), yang melaporkan atau men-dokumentasikan, mendiskusikan kegiatan nyata (offline) dari panitia maupun simpatisan pada waktu tertentu yang terencanakan seperti rapat panitia, musyawarah besar serta mendapat banyak tanggapan (komentar). 2) Secara tematik, yakni tulisan (posting) status (dan komentarnya) pada dinding grup Facebook WPPF yang ditulis oleh pengelola atau anggota biasa, yang bersifat publik, tanpa terikat pada kegiatan tertentu yang
55
direncanakan, namun berisi gagasan inti dalam isu pembentukan provinsi baru (khususnya PKF), serta mendapat banyak tanggapan. b. Aktor dan komentar/percakapan: yakni seluruh tanggapan/komentar terhadap teks terpilih yang diambil pada saat diakses peneliti. Sedangkan, aktor yang dijadikan bagian dari sampel merupakan aktor yang menjadi simpul utama dalam jaringan grup, terlibat aktif dan bersifat pokok-persuasif baik dalam konteks diskusi online di grup maupun dalam tindakan nyata mewacanakan pembentukan PKF. Karena itu, terdapat dua kriteria pemilihan aktor dan jejaring yakni pertimbangan teknis-media (online) dan otoritatif (terutama offline). 1) Secara teknis, adalah aktor yang menjadi pengelola (admin) dan anggota teraktif dalam diskusi (menurut frekuensi dan kualitas gagasan yang dituliskan pada dinding maupun dalam komentar). 2) Secara otoritatif, yakni aktor yang menjadi tokoh penting bahkan sentral dalam aktivitas perencanaan pembentukan PKF seperti ketua panitia atau pejabat pemerintahan atau wakil rakyat yang berwenang. c. Konteks: adalah data-data atau informasi-informasi seputar historisitas teks yang dikaji, identitas dan kiprah serta modal sosial-politik para aktor dalam jejaring, serta kondisi ekologi media, kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat NTT yang menjadi locus wacana sosial yang dikaji. Berdasarkan kriteria dan teknik pemilihan objek kajian (sampling) di atas, peneliti memilih enam teks media sosial pada grup Facebook WPPF pada tabel berikut ini sebagai objek kajian penelitian:
56
Tabel 1.3 Teks-teks Pilihan sebagai Objek Kajian No
Teks
Keterangan
1.
Profil sosio-teknologis grup WPPF
Diakses pada tanggal 19 September 2014. Objek yang dianalisis terkait unsur grafis, pengelola dan setting sifat grup.
2.
Keterangan Grup (Revitalisasi dan publikasi gagasan pembentukan PKF)
Di-posting oleh admin Cyprian Guntur pada tanggal 1 April 2013. Diakses peneliti tanggal 19 September 2014.
3.
Pelaksanaan dan hasil Kongres I Rakyat Flores-Lembata di Bajawa 20 Februari 2014
4.
5.
6.
Di-posting oleh admin Adrianus Jehamat (Sekretaris P4F) tanggal 20 Februari 2014. Diakses peneliti pada tanggal 19 September 2014. Pelaksanaan dan hasil Kongres Di-posting oleh admin Adrianus Jehamat II Rakyat Flores-Lembata di (Sekretaris P4KF) tanggal 20 Maret 2015. Mbay 20 Maret 2015. Diakses peneliti tanggal 23 Februari 2016 Mengelola Konflik kepentingan Di-posting admin Adrianus Jehamat Provinsi induk vs kelompok (Sekretaris P4KF) tanggal 31 Desember penekan pro pemekaran 2015. Diakses peneliti tanggal 23 Februari 2016. Mengelola konflik penentuan Di-posting admin Frans Mado tanggal 20 calon ibukota PKF Maret 2016. Diakses peneliti tanggal 17 Mei 2016.
Sumber: Hasil olahan penulis
4. Teknik Pengumpulan Data Sebelum melakukan analisis data, peneliti mengumpulkan data-data primer maupun data sekunder yang relevan dan diperlukan dalam penelitian ini melalui beberapa prosedur dan teknik pengumpulan data kualitatif. a. Prosedur pengumpulan data 1) Pemilihan teks (posting) yang relevan dan representatif pada dinding grup Facebook WPPF berdasarkan pertimbangan kronologis dan tematik. Pertimbangan kronologis dan tematik yang tepat bertujuan
57
memberikan gambaran yang detil dan kuat terkait otoritas teks-teks media sosial yang menjadi objek kajian. 2) Menuliskan kembali teks yang dipilih berdasarkan struktur diskusi atau percakapan yang relevan dengan mencatat pola dan isi tanggapan atau komentar yang membahas atau menanggapi gagasan produsen teks. 3) Mencari dan mencatat beberapa informasi profil atau identitas dari produsen teks seperti nama asli, asal daerah (etnis), pekerjaan, pendidikan, aktivitas politik, dan perannya dalam grup Facebook WPPF maupun dalam kepanitiaan rencana pembentukan PKF. 4) Mencatat dan mengelompokkan aktor-aktor utama yang berperan dalam konstruksi wacana pembentukan PKF baik di media sosial (pengelola dan penanggap utama) maupun dalam aktivitas politik riil seperti susunan kepanitiaan. 5) Mengumpulkan
informasi
terkait
konteks
historis
dari
isu
pembentukan PKF secara umum dan teks terpilih secara khusus. 6) Mengumpulkan informasi dari sumber kepustakaan, dokumen, maupun sumber lainnya tentang: perkembangan aktivitas politik untuk mewujudkan pembentukan PKF, ekologi media (digital) dan unsurunsur sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat kepulauan Flores yang berhubungan dengan wacana politik rencana pembentukan PKF.
58
b. Teknik pengumpulan data 1) Sebagai studi teks maka teknik utama pengumpulan data penelitian ini antara lain: seleksi, pengutipan, interpretasi struktur makna serta struktur diskursif dalam teks media sosial (Facebook) yang relevan dalam wacana pembentukan PKF. 2) Untuk mendukung interpretasi atas makna teks media sosial, data juga dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam terhadap sejumlah aktor yang dipandang penting dalam konstruksi teks baik secara langsung (offline) maupun secara (online) untuk yang tidak dapat dijangkau karena pertimbangan jarak dan waktu. 3) Teknik penunjang lainnya adalah studi kepustakaan terutama untuk mendapatkan data tentang konteks ekologi media digital NTT, kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat kesukuan yang berkaitan dengan wacana pembentukan PKF.
5. Teknik Analisis Data Berdasarkan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, karakteristik teks media sosial dan landasan metodologis AWK van Dijk, analisis percakapan online beserta tranformasi metodologis yang telah diuraikan, maka secara rinci dan operasional, peneliti menyusun langkahlangkah analisis data sebagaimana terdapat dalam tabel pada halaman berikut ini:
59
Tabel 1.4 Teknik Analisis Data dengan Transformasi Metode AWK & Analisis Percakapan Online Untuk Menggambarkan Pola Komunikasi Politik dan Relasi Kuasa dalam Wacana Pembentukan Provinsi Kepulauan Flores Melalui Grup Facebook WPPF Output Prosedur Analisis Pola Komunikasi Politik AWK Teun A. Van Dijk 1) Pola strategis: unsur-unsur struktur wacana cenderung 1) Struktur wacana: analisis struktur makro bersifat monolog, personal revelation & showcase, dan Teks (tematik), super struktur (skematis), dan flaming dengan aktor dan kepentingan bersifat elitis. Posting struktur mikro (semantik, sintaksis, 2) Pola partisipatif-komunitarian: struktur wacana leksikon, retorik). mengupayakan kohesi sosial & identitas grup melalui 2) Konteks-historisitas wacana: aktor, fragmentasi ideologis, mobilisasi, identifikasi setting sosial-ekonomi-politik-budaya. ―kami/kita‖, resiprositas intra-ideologis dengan aktor 3) Kuasa dan ideologi: konflik/kompetisi dan ideologi elitis sebagai payung. aktor, aktor dan setting sosial. 3) Pola deliberatif: wacana bersifat argumentatif-rasionalkritis, mengundang diskusi terfokus, peserta setara, mempertanyakan intra-ideologis. 1) Pola strategis: sekuensi dan BE bersifat monolog-linear, Percakapan/ Analisis Percakapan Online: 1) Turn taking structures (TTS) aliansi dan ICI homogen (antar admin) atau semiKomentar 2) Building exchange (BE) homogen (admin dan peserta pro), tanpa TR yang 3) Parties, alliances and talk (PAT) signifikan. 4) Trouble and repair (TR) 2) Pola partisipatif-komunitarian: TTS & BE wajar, aliansi 5) Institutional categories and identity dan ICI primodialistis/sektarian, tanpa TR yang (ICI) signifikan. 3) Pola Deliberatif: TTS & BE wajar berbasis dialektika, aliansi (PAT) rasional-kritis-substantif, TR kuat dan rasional. Deskripsi konteks ekologi komunikasi, Unsur-unsur ekologi media, sosial, budaya, ekonomi, Konteks kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik politik mana yang paling mempengaruhi teks & percakapan sosial teks yang menjadi latar belakang dan online dan ‗mengapa‘ demikian. mempengaruhi teks & percakapan online. Unit
Relasi Kuasa 1) Dominasi-resistensi Ideologi dominan di balik polapola komunikasi politik yang dominan – counter-ideologi yang tampak/berusaha tampak. 2) Switching-unswitching: polarisasi aktor dan gagasan vs pemisahan aktor & gagasan 3) Wiring-unwiring: aktor dan gagasan yang tetap wiring vs yang berusaha unwiring/absen. 1) Dominasi-resistensi: aktor, ideologi/gagasan yang dominan dalam sekuensi & BE yang monolog, ICI homogen, tanpa TR vs unsur-unsur partisipatif & deliberatif. 2) Switching – unswitching: deskripsi PAT & ICI vs TR signifikan. 3) Wiring-Unwiring: deskripsi PAT & ICI vs TR signifikan. Identifikasi ekologi media, kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik yang mendukung dominasi maupun resistensi.
Sumber: Hasil pengolahan penulis
60
6. Bagan Metode Penelitian Transformasi metodologi penelitian ini yang merupakan modifikasi Analisis Wacana Kritis van Dijk dengan tambahan analisis percakapan online sesuai karakteristik teks media sosial dapat dirangkum dalam bagan berikut ini: ANALISIS WACANA KRITIS+ (van Dijk+ Analisis Percakapan Online) Teks
Percakap an/Intera ksi
Konteks
Objek Kajian
Metode: Purposive sampling -Kronologis -Tematik
Teknik: -Pengutipan -Rewritting -Printscreen
Metode: Purposive -Otoritatif dalam grup/Admin - Aktor pokok dalam percakapan - Otoritatif dalam politik riil
Teknik: - Observasi profil-siber -Wawancara mendalam (online/ offline)
Teknik: Observasi, Wawancara mendalam, studi pustaka/dokumen
Pengumpulan Data
Analisis teks: - struktural (makro, superstruktur, mikro) -interpretasi makna tindakan sosial (action process) Analisis percakapan online (language user-engage)
Analisis konteks (context-social structure)
A n a l i s i s K r i t i s
N a r a s i
Triangulasi subjek & sumber data
Analisis Data (a unified critical analysis)
Bagan 1.5 Metode Penelitian Sumber: Hasil Pengolahan Peneliti
G. Limitasi Penelitian Pilihan objek kajian penelitian dan transformasi metodologis untuk mencapai tujuan penelitian ini sejauh pengamatan peneliti, setidaknya memiliki tiga limitasi, antara lain:
61
Pertama, keterbatasan metodologis. Selama ini analisis wacana kritis dilakukan terhadap teks media massa yang produksi teksnya dikontrol oleh pemilik kapital melalui organisasi media; dan hampir semua pembacanya tidak memiliki akses untuk mempengaruhi konten media massa. Karena itu, AWK pada media massa dapat dilakukan dengan lebih mudah melalui analisis multi-level yakni level mikro (teks), meso (organisasi media) dan makro (struktur masyarakat). Langkah yang sama tidak dapat secara otomatis diterapkan dalam AWK pada teks media sosial mengingat karakteristik interaktivitas dan usergenerated content membuat struktur organisasi media (grup media sosial) bersifat sangat fleksibel, mudah cair atau tidak mapan. Begitu pula dengan level makro di mana kedudukan netizen yang melampaui suatu wilayah dan kultur kajian menuntut penelusuran yang lebih mendalam dan parsial. Penambahan analisis pada struktur sosio-teknologis grup WPPF merupakan langkah yang coba diambil untuk menyiasati lenturnya organisasi media sosial. Kedua, keterbatasan teknis terkait sifat teks. Keterbatasan teknis berkaitan dengan konstannya arsip teks media sosial yang dianalisis. Teks media sosial yang dihasilkan para penggunanya bersifat terbuka, dapat diubah bahkan dihapus sewaktu-waktu. Sementara itu, teks yang dianalisis ada yang telah berusia lebih dari dua tahun karena itu teks tersebut belum tentu masih tersedia di akun grup yang dianalisis, ataupun masih tersedia, belum tentu masih dengan isi dan formasi yang sama. Namun begitulah sifat teks media sosial sebagai media baru, organisasinya relatif cair, terdesentralisasi dan sangat temporer.
62
Ketiga, keterbatasan teknis terkait metode pendukung. Karakteristik jejaring, konektivitas dan interaktivitas pada media sosial membuat sebuah teks media sosial memuat tidak hanya makna dan diskursus gagasan tetapi juga jejaring antar para aktor. Maka kajian teks media sosial, menurut hemat peneliti, memerlukan tambahan amunisi analisis jaringan komunikasi. Namun mengingat keterbatasan porsi halaman, waktu dan tenaga maka unsur jejaring coba disisipkan dalam analisis percakapan dan konteks sosial.
H. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari enam bab. Bab I adalah Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian teoritis, kerangka pemikiran dan model penelitian, metodologi penelitian, limitasi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi landasan teori yang mendasari dan memberikan kerangka analitis dan pembahasan masalah penelitian, antara lain: 1) media sosial dan struktur sosial masyarakat jejaring yang menjabarkan pengertian dan karakteristik sosioteknologis media sosial, dan konsep masyarakat jejaring menurut Manuel Castels dan Jan van Dijk; 2) Komunikasi politik melalui media sosial yang berisi pengertian dan pola komunikasi politik, karakteristik komunikasi politik melalui media sosial dan relasi politik dan media sosial dalam konteks masyarakat jejaring; 3) relasi kuasa dalam media sosial yang menguraikan konsep-konsep dasar tentang kuasa (power) dan dan relasi kuasa (power relation) khususnya gagasan Michel Foucault, bagaimana kuasa tersebut dihasilkan, direproduksi,
63
disebarluaskan maupun dilawan dalam konteks masyarakat jejaring; dengan pola relasi strategi dominasi – resistensi; serta relasi kuasa dalam konteks masyarakat jejaring menurut Manuel Castells. Bab III berisi uraian konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik yang menjadi locus dari objek kajian yakni isu politik tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Flores dalam dan melalui media sosial khususnya grup Facebook WPPF. Yang akan diuraikan adalah konteks sosial-politik masyarakat kesukuan Flores, historisitas isu politik pembentukan PKF, dan konsep dan mekanisme pembentukan provinsi menurut sistem pemerintahan Indonesia. Bab IV berisi deskripsi dan implementasi analisis wacana kritis serta analisis percakapan online atas objek kajian yakni enam teks terpilih tentang pembentukan PKF di grup WPPF. Deskripsi dan analisis difokuskan pada pola-pola komunikasi politik dan relasi kuasa di balik pola komunikasi politik dalam diskusi politik pada grup Facebook WPPF tersebut. Bab V berisi pembahasan atau diskusi atas hasil penelitian dalam terang kajian teoritis yang telah diuraikan dalam bab kedua. Sesuai fokus penelitian, akan dibahas fenomena praksis komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan dalam dan melalui media sosial. Bab terakhir atau bab VI merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan usul saran terkait penelitian dengan subjek kajian media sosial dan masyarakat kesukuan atau masyarakat tradisional.
64