BAB I PENDAHULUAN A. Klan Bisnis di Kancah Politik Lokal Studi ini ingin menjelaskan transformasi dan strategi yang dibangun klan1 bisnis dalam membangun kekuasaan politik di tingkat lokal. Karya ilmiah ini mula‐mula akan mencoba mengungkapkan sumberdaya ekonomi sebuah klan dalam membentuk kekuasaan dari cara memperoleh, mengkonversi hingga mengakumulasikan kepemilikan modal. Kemudian menjelaskan strategi yang digunakan dalam membangun dan membuat jaringan kekuasaan. Tulisan ini bertujuan melacak keberadaan klan bisnis dan mengetahui strategi klan bisnis untuk bertransformasi menjadi klan Politik. Penelitian ini tidak berambisi untuk memetakan secara tuntas seluruh bentuk relasi antara bisnis dan politik di tingkat lokal. Melainkan hanya mencoba untuk mengeksplorasi fenomena kemunculan klan bisnis di kancah politik. Untuk mengiris fenomena tersebut maka penulis akan memilih Kota Tegal sebagai tonggak kehadiran klan bisnis di daerah barat pantai utara pulau Jawa ini. Ada beberapa alasan yang akan di jawab dalam penelitian ini. Pertama, klan bisnis mampu mengkonstruksikan wacana agar menjadi klan politik walaupun profesi bisnis yang telah diemban klan selama ini sudah berada di titik nyaman. Kedua, klan maupun marga‐marga dan suku di pesisir pantai utara pulau Jawa hampir terbilang minim bila dibandingkan daerah‐ daerah di Indonesia pada umumnya. Namun dalam hal ini seakan
1 Klan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesatuan geneologis yang mempunyai
kesatuan tempat tinggal dan menunjukkan adanya integrasi sosial; kelompok kekerabatan yg besar; kelompok kekerabatan yg berdasarkan asas unilineal. Kelompok kekerabatan yg terdiri atas semua keturunan seorang nenek moyang yang diperhitungkan dari garis keturunan laki‐laki atau wanita. Beberapa versi, dalam penulisannya ada yang menggunakan “Clan” dan “Klan”. Clan disebut oleh sebagai “klen kecil”. Lihat G. P Murdock, Social Structure. (New York: The Mac Millan Company, 1949). Namun dalam tulisan ini, penulis menggunakan versi yang kedua yaitu “Klan” sebagai konsistensi penulisan.
1
menghipnotis bahwa klan bisnis tersebut memiliki trah dan kepercayaan dari rakyat sebagai titisan putra daerah untuk dapat memimpin masyarakat di tingkat lokal. Konsepsi klan secara garis besar dalam tulisan ini tidak sepenuhnya melihat konstruksi genealogis secara horizontal maupun jejaring antara anggota klan itu sendiri. Melainkan penulis mengambil fokus aktor yang dominan dalam melihat klan daripada anggota klan secara keseluruhan. Pembatasan ini untuk menghindari dinamika internal klan secara luas yang tidak berkenaan fokus kajian riset tentang transformasi menuju politik. Dengan pertimbangan bahwa anggota klan yang dominan memiliki isu sentral, jejaring ke bawah anggota klan lainnya, mereka memiliki nilai yang mempercayai anggota klan setia. Fenomena para pebisnis duduk di kursi kekuasaan relatif sangat sering ditemukan pada perpolitikan di tingkat lokal. Konstruksi klan bisnis merupakan embrio dari bentuk munculnya elit pebisnis, hal ini lebih mengkombinasikan konsep elit dan implikasi kehadiran dari elit pebisnis tersebut. Penulis menarik asumsi bahwa para elit pebisnis memiliki kemungkinan berkooptasi dalam klan untuk mewariskan dan memperkuat kekuasaannya. Kecenderungan politik lokal kontemporer Indonesia yang di dominasi oleh klan politik masih mengalami keabsenan dalam beberapa kajian saat ini dan belum sepenuhnya menjelaskan konstruksi klan dalam membangun dan meraih kekuasaannya di daerah. Sehingga penulis mengambil studi kasus klan bisnis yang membentuk dan memegang jabatan politis di wilayah pantai utara pulau Jawa. Kontruksi yang telah dibangun oleh klan merupakan serangkaian strategi yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Perkembangan demokrasi di Indonesia
2
gejala kekuasaan tidak luput dari cengkraman klan, alih‐alih menjadi ukuran keberhasilan dalam beberapa Pemilu di Indonesia. Banyak Pemilukada berbagai provinsi di Indonesia kekuasaan sangat dinikmati kekerabatan dengan menggunakan etnisitas atau kultur kedaerahannya, namun dalam hal ini penulis mengambil kasus kekerabatan klan sebagai kajian penelitian. Kota Tegal sebagai awal munculnya klan bisnis yang menempati kedudukan kepala daerah. Keberadaan teritorial kota Tegal yang strategis membuka jalan bagi perkembangan industri yang semakin pesat hingga mendapat gelar “Jepang‐nya Indonesia”. Kota yang dipimpin wali kota H. Ikmal Jaya SE, Ak berasal dari pengusaha dan generasi kedua klan Bisnis memiliki kekuasaan yang kuat dengan pengaruh modal ekonomi. Legitimasi pengusaha telah memberikan kemudahan dalam pencalonan wali kota dan beberapa keberhasilan sanak saudara, seperti Agung Mukti Wibowo yang termasuk (adik Ikmal) sebagai wakil Bupati Pemalang, Idza Priyanti (kakak dari Ikmal) menjabat sebagai Bupati Brebes dan dokter Edi Utomo yang kini mencalonkan diri menjadi Bupati Kabupaten Tegal. Mereka menggunakan identitas klan dengan membawa jabatan menjadi direktur regional transportasi Bus PO. Dewi Sri. Masa transisi demokrasi merupakan tempat yang paling nyaman ketika klan menjabat, sehingga legitimasi masyarakat semakin mempermudah ruang gerak dominasi seperti halnya para antek‐antek klan di Banten. Hal ini berbeda ketika klan di kota Tegal yang melebarkan area kekuasaan dengan menempatkan orang kepercayaan pada birokrasi. Dominasi sumberdaya ekonomi yang dimilikinya menjadi ruh kekuatan legitimasi kekuasaannya. Strategi memperluas kekuasaan dengan menempatkan kerabatnya pada arena wilayah teritorial tetangga yang membuat kesan berbeda bila menjumpai kasus klan pada umumnya. Kecenderungan keluarga yang memiliki sumber daya ekonomi menempatkan pada posisi strata sosial untuk meraih kekuasaan atau dengan kata lain klan lebih memilih untuk meningkatkan prestise pada
3
kepentingannya. Fenomena tersebut yang pada akhirnya klaim klan harus bertransformasi menempati jabatan politis. Transformasi dipandang sebagai salah satu strategi klan bisnis untuk meraih kekuasaan di tingkat lokal, melalui mekanisme tersebut klan bisnis mampu mengaplikasikan rencananya agar dapat mengikuti percaturan politik secara langsung. B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan: “Bagaimana Proses Transformasi Klan Bisnis Menuju Pembentukan Klan Politik dalam Politik Lokal?” Penelitian ini membawa dua tujuan pokok utama. Menjelaskan sumberdaya klan yang dimiliki hingga klan tersebut memungkinkan untuk bertransformasi. Kemudian menjelaskan upaya strategi yang dilakukan klan untuk membangun kekuasaan di tingkat lokal. C. Literatur Review: Bisnis dan Politik dalam Politik Lokal Urgensi penelitian ini seperti yang di kemukakan sebelumnya bahwa keberlanjutan penelitian politik dan bisnis tidak lepas dari penelitian terdahulu saat peta politik Indonesia masih sentralistik di zaman orde baru. Studi‐studi yang dilakukan pengamat saat itu lebih menitik beratkan pada bisnis dan politik dalam skala nasional (perspektif nasional) seperti Yahya A. Muhaimin2, MacIntyre3, Liddle4, Robinson5 dan Kuntjoro Jakti6.
2 Yahya A Muhaimin. Bisnis dan Politik. (Jakarta: LP3ES, 1991).
3Andrew MacIntyre, Business and Politics in Indonesia (North Sydney: Allen & Unwin, 1992). 4
Wiliam Liddle, Indonesia’s Democratic Past and Future, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney: Asian Studies Association of Australian in Association With Allen & Unwin, 1996). 5 Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, (Sydney: Allen & Unwin, 1991) 6 Dorodjatun Kuntjoro‐Jakti, “The Political Economy of Development: The Case of Indonesia Under The New Order Government, 1966‐1978”, (Berkeley: University of California, 1981).
4
Analisis MacIntyre7 mengenai pola interaksi antara penguasa dan pengusaha di tingkat nasional dalam buku Business and Politics in Indonesia memberikan kesimpulan bahwa pembuatan kebijakan di Indonesia jauh lebih kompleks daripada umumnya. Terjadinya tawar menawar kebijakan antara kedua aktor negara dan masyarakat. Kelompok pengusaha dapat mengubah lembaga korporatis untuk melayani tujuan‐tujuan mereka sendiri. Para pengusaha seakan mendapat angin segar saat proses demokratisasi politik di Indonesia, telah terbuka ruang partisipasi yang luas bagi setiap warga negara. Pengusaha memiliki potensi yang besar dengan menggunakan modal ekonomi sebagai ajang persaingan yang ketat untuk terjun dalam kontestasi politik. Praktek klan bisnis menjadi pejabat daerah menurut Yoshihara Kunio merupakan tabiat pemburu rente (rent‐seekers), dari tujuh kategorisasi Indonesia dan Filipina banyak di temukan para kapitalis yang menjadi politisi.8 Analisis Muhaimin9 turut membantu bahwa strategi pengusaha dalam perebutan jabatan‐jabatan publik terdapat keterlibatan dengan pejabat dan memiliki pola ketergantungan. Pada orde baru penguasa sebagai super‐ ordinat dan pengusaha menjadi sub‐ordinat dengan motif ekonomi untuk membangun kekuasaan. Sistem merkantilistik pada orde baru merupakan hubungan yang bersifat tertutup, yang tidak hanya melibatkan monster kekuasaan namun kaum pengusaha yang terlindungi hukum ekslusif, fasilitas dan hak keistimewaan. Di sisi lain praktek monopoli negara lebih memberikan potensi perburuan rente ekonomi. Perburuan rente berkembang pesat seiring dengan besarnya kekuatan patronase politik serta bermunculan pengusaha “katrolan” sebagai penumpang gelap yang mengganggu ekonomi. Rezim orde baru memperkenankan penguasaan sumber daya atas produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai alasan untuk 7 Andrew MacIntyre, Ibid.
8 Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3S, 1990), h. 91‐110.
9 Yahya Muhaimin, Op. Cit.
5
kepentingan negara dan masyarakat seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Namun klausul tersebut disalahartikan untuk melanggengkan pemburuan rente ekonomi oleh segelintir kaum pengusaha yang mendapat hak istimewa dari pemerintah. Saat pertumbuhan ekonomi yang pesat di tahun 1980‐an tidak di imbangi oleh aspek pemerataan dan keadilan. Fenomena ini menjadi hal serius ketika batas toleransi publik semakin melampaui, namun pemerintah tetap tidak menghiraukan sehingga menimbulkan disparitas ekonomi bahkan ada kecenderungan konstrasi ekonomi yang semakin kritis. Syarif Hidayat10 memberikan sebab kooptasi pengusaha dan kekuasaan terbentuk dikarenakan pola persinggungan bisnis dan pengusaha relatif memiliki kedekatan yang sangat erat dengan kekuassan. Suksesi bisnis pengusaha sangat tergantung oleh pemerintahan pusat baik berkenaan dengan modal usaha mapun kebijakan‐kebijakan yang mempermudah bisnis pengusaha. Disisi lain kehadiran kebaharuan ekonomi dalam strategi politik pasca orde baru runtuh semakin bermunculan di ranah politik lokal. Reformasi juga mengubah tatanan sistem politik lokal menjadi ajang kontestasi miliki seluruh warga negara. Kajian Didik J. Rachbini11 mengenai hubungan politik dan bisnis berkembang sangat pesat pasca soeharto. Pola ketergantungan dan perselingkuhan disebabkan oleh, pertama, hubungan itu di latar belakangi motif demi kekuasaan dan dominasi ekonomi. Kedua, saling menguntungkan (simbiosis mutualisme), patron dan klien mempertukarkan lisensi, akses terhadap sumber daya material dan dukungan politik. Ketiga, interaksi dengan klien dibatasi mekanisme dan aturan main tertentu hanya dengan kroni
10 Syarif Hidayat, “Pola Hubungan Penguasa dan Pengusaha di Tingkat Lokal”. Jurnal Renai.
Vol 01, No 01: Percik, 2001.
11 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan dan Strategi Pembangunan, (Jakarta: Granit,
2004).
6
kapitalisme tertentu. Terakhir patron memiliki posisi dan kekuasaan politik terhadap klien. Kemunculan pengusaha ke pentas politik dan pemerintahan pasca orde baru yang dijelaskan oleh Syamsudin Haris12 merupakan konskuensi logis dari kecenderungan pembangunan ekonomi yang sangat neoliberal. Ia menambahkan terjunnya pada pengusaha ke ranah politik sebagai hasil perubahan struktur sistem kekuasaaan di negeri ini pasca tumbangnnya sistem lama. Gejala ini yang telah mengalami pergeseran peta politik, pengusaha yang pada mulanya berdiri sebagai pendukung politisi, militer, atau aktivis, kini mereka ingin menunjukkan jati dirinya dan eksistensinya bahwa bisa mengendalikan politik secara langsung. Thesis Oji Armuji13 juga menjelaskan pada pasca orde baru penguatan pengaruh pengusaha muncul setelah dominasi ulama dan kebangkitan jawara. Baginya kebijakan pembangunan yang berorientasi ekonomi sebagai leading sector yang diterapkan orde baru tak lepas memproduksi kelas‐kelas pengusaha sebagai kekuatan sosial baru di Indonesia. Pola konglomerasi dan monopoli membentuk sentra kekuatan pengusaha yang terpusat serta imbahnya berakibat pada daerah yang menjadi obyek eksploitasi yang justru meminggirkan kontribusi kekuatan masyarakat daerah sehingga pengusaha pribumi belum mampu tempil sebagai komplemen pembangunan daerah. Gejala fenomena bisnis dan politik pasca reformasi dapat juga meminjam penelitian Muhammad Syukri14. Fenomena perubahan bisnis priyayi
12 Syamsudin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah. (Jakarta: LIPI Press. 2007), h. 10. 13
Oji Armuji, Tesis Pascasarjana: “Konfigurasi Kekuasaan Elite Lokal: Dinamika Ulama, Jawara, Dan Pengusaha di Kota Cilegon (Masa Orde Baru, Masa Transisi, Dan Pasca 2000),” Tesis Tidak Dipublikasikan (Tesis Pascasarjana, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2004). 14 Muhammad Syukri, Tesis Pascasarjana: “Bisnis Priyayi: Studi tentang Industri Rokok Keraton Dalem Yogyakarta.” Tesis Tidak Dipublikasikan (Tesis Pascasarjana, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2007).
7
mengalami komodifikasi aset‐aset kraton, termasuk di dalamnya simbol‐ simbol tradisi keraton sebagai sebuah institusi negara di masa lalu. Kesadaran terhadap aspek kapital dalam aset dan simbol‐simbol tradisi itu semakin hari terlihat semakin mengental. Beberapa kasus mutahir yang bisa dijadikan sebagai contoh antara lain adalah dijadikannya keraton sebagai salah satu objek wisata, komersialisasi Sekatenan, rencana pembangunan parkir bawah tanah di bawah alun‐alun utara keraton, pembangunan mega Mal Ambarukmo, industri rokok Keraton Dalem, dan lain‐lain. Kajian ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang eksistensi bisnis dapat mengental dan memiliki pengaruh terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh priyayi. Konotasi tersebut yang akhirnya terjadi transformasi fungsi kekuasaan menjadi orientasi ekonomi. Kemudian endemik tersebut salah satu embrio jejaring pebisnis dengan politik. Perubahan tren politik saat ini, banyak ditemukan fenomena politik dan bisnis pada tingkatan pemerintahan daerah, namun tren kajian mengenai politik dan bisnis di daerah dapat dikatakan masih relatif minim. Para ilmuan politik sering menemukan hubungan keterkaitan politik dengan bisnis. Faktor modal ekonomi dalam keberhasilan politik juga memberikan sumbangsih pemahaman bahwa politik dengan ekonomi merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan. Seperti gagasan Lipset15 bahwa kekuatan politik harus ditopang kemajuan ekonomi. Namun dalam perkembangan kajian, bisnis memberikan efek terbenturan pada kerusakan ekosistem politik itu sendiri. Untuk dapat mengkonstruksikan politik dan bisnis penulis meminjam hasil riset yang dilakukan oleh LIPI16 dalam proses transisi sentralistik menjadi desentralisasi dengan hadirnya otonomi daerah dengan memberikan peluang yang besar kepada lokal untuk mengelola daerahnya sendiri. Namun, dalam
15 Seymour Martin Lipset, Political Man: Basis Sosial Tentang Politik, (terj) Endi Haryono,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007). Syarif Hidayat, dan Hari Sudanto, Bisnis dan Politik Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca Pilkada (Jakarta: LIPI Press, 2007).
16
8
beberapa kasus desentralisasi ini semacam alat uji coba kepada “ tikus percobaan”. Fungsi sentralistik masih menjadi dominan di beberapa sektor sedangkan sektor lokal telah di kuasai oleh elit‐elit lokal. Hasil penelitian FISIPOL UGM17 menunjukkan politik lokal pasca Soeharto di tandai dengan kemunculan kembali entitas politik masa lalu seperti Keraton, Fetor, dan Karaeng. Beberapa kajian lokal boss juga membekali kemunculan pasca rezim Soeharto dan mengisyarakatkan bahwa gejala shadow state memunculkan benih‐benih kekuatan aktor‐aktor lokal. Seperti kajian Syarif Hidayat18 dan Abdul Hamid19 di Banten yang menemukan gejala shadow state menumbuhkan dan memberikan peluang elit lokal memiliki kekuasaanya. Kekuasaan yang dimiliki boss lokal ini dengan sumber daya yang dimiliki akan merelasikan sumber‐sumber daya ekonomi, politik, budaya dan simbolik. Azas manfaat ini yang menghidupkan pola hubungan patron dan klien dari pemilik sumber modal dengan penerima modal. Ketergantungan kaum swasta atau pengusaha kepada pemerintah menjadikan posisi mereka ditentukan oleh kepentingan pihak lain seperti pola patron‐ client relationship dan paternalisme yang tidak sehat. Yahya Muhaimin menyebutnya mereka sebagai client‐capitalist. Pada saat yang bersamaan negara membangun kelas borjuasi kerena orde baru menghendaki industrialisasi sebagai tulang punggung pembangunan yang di topang oleh dan dilakukan oleh kaum pengusaha. Dalam hal ini elit lokal mampu memperkecil ruang dominasi negara dan mengkonversikannya menjadi legitimasi ditengah masyarakat.
17 Ratnawati dan Ari Dwipayana, Modul: Teori Politik (Yogyakarta: PLOD‐UGM, 2005), h. 29. 18 Syarif Hidayat, “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten” dalam Henk Schulte
Nordholt dan Gerry van klinken, (Eds), Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 267‐303. 19 Abdul Hamid, “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten”, dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, (Eds), Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, (Yogyakarta: IRE Press, 2006).
9
Menurut Agustino20 proses transisi menuju demokrasi ditemukan dinamika politik yang fluktuatif. Bahkan, atas kedinamikaan politik Banten tersebut tidak mengarah pada tumbuhnya sistem demokrasi yang modern, sebab logika politik kekeluargaan telah menjadi rasionalitas elit politik bahkan masyarakat Banten yang pada akhirnya membawa pada tumbuh dan berkembannya hubungan kekerabatan di Banten. Selain itu, jawara seperti halnya Chao Pao di Filipina memiliki kekuatan fisik dan non‐fisik yang membuat mereka memiliki kekuatan sosial yang cukup disegani. Untuk melihat gejala klan di Indonesia penulis dapat mengidentifikasi proses bangkitnya klan di Banten. Walaupun banyak peneliti mengunakan perspektif local bosism yang di gunakan oleh Joel Migdal untuk mengamati fenomena di Banten, menurut penulis bila diamati masih ada keabsenan. Fenomena keberhasilan munculnya local boss bukan hal yang hadir tiba‐tiba dari individu tetapi social capital masyarakat yang memberikan dorongan dan apresiasi dalam menerapkan aturan mainan itu sendiri. Ironisnya pola kebiasaan yang membudaya tersebut ditambah dengan menguatnya hubungan patron dan klien penguasa. Sehingga hubungan kekerabatan merupakan salah satu alasan jalinan kehadiran local boss dan local strong men. Seperti gagasan Sidel21 sebelumnya menegaskan kemungkinan munculnya klan, namun kelemahan Sidel tidak menjelaskan secara menyeluruh kontruksi pembentukan klan dalam memahami strategi bertahan dan mengkuatnya local bossism. Untuk mengamati fenomena klan di Banten, masukan William Reno tentang konsep shadow state ataupun beralih pada Migdal lebih banyak di gunakan pada umumnya oleh para peneliti untuk melihat Banten. Seperti halnya Sidel, studi Migdal juga tidak memberikan
20 Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff. “Dinasti Politik di Banten Pasca Orde Baru:
Sebuah Amatan Singkat”, Jurnal Administrasi Negara, Vol 1, No 1, 2010.
21 John T Sidel, Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Philippines, (Stanford: Stanford
University Press, 1999)
10
gambaran tentang klan yang membangun kekuatan dalam kekerabatan, melainkan kekerabatan dalam klan dijadikan konsep terpisah untuk strategi membangun kekuatan politik local strongmen. Dari kajian tentang local bossism di atas penulis merasa terdapat kekurangan penjelasan mengenai keberlanjutan dari studi politik lokal tentang klan yang mengkonstruksikan untuk memperbesar area kekuasaaan. Dari beberapa kajian literatur di atas penulis perlu meminjam cacatan Kathleen Collins sebagai pendukung tulisan ini, dengan referensi kemunculan klan yang berpusat pada politik di beberapa Negara Republik Asia Tengah.22 Ia memahami klan dengan menggunakan elemen rasional dan budaya pada konsolidasi rezim dan daya tahan di Negara Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan. Ia juga menyimpulkan perkembangan akhir dari negara kapitalisme dan identitas nasional dari penjelasan peran klan di Kazakhstan, Turkmenistan, Kaukasus, Timur Tengah dan Somalia.23 Persaingan klan di Tajikistan menyebabkan perang saudara sengit di awal 1990‐an. Di Uzbekistan, kerjasama klan menciptakan otokrasi baru di awal 1990‐an. Collins juga memberikan tipologi klan dari hasil pemetaan klan di tiga negara pluralitas Asia Tengah sehingga mengasumsikan klan selalu bertindak sebagai aktor rasional monolitik, tampak bahwa klan yang paling longgar terkait dan sering menderita perselisihan internal. Klan politik dalam pemerintahan demokratis selalu merusak karena dengan kontrol ekstensif klan memiliki internal dan kapasitas mereka untuk muncul sebagai pemain kolektif eksternal.24 Klan politik memiliki pola dan bentuk yang hampir sama dengan klan bisnis, namun letak perbedaannya pada sifat atau profesi mereka sehingga
22Kathleen Collins, “The Logic of Clan Politics: Evidence from the Central Asian Trajectories”,
World Politics, Vol. 56, No. 2, January 2004.
23 Ibid, h. 335‐336.
24Peter Kreuzer, “Political Clans and Violence in The Southern Philippines”, Peace Research
Institute Frankruft, No. 71, Report 2005, h. 4.
11
dalam praktek memiliki kemiripan keanggotaan dalam tubuh klan. Dalam kajian klan di Indonesia di rasa masih relatif baru. Darah biru politik hampir dapat di temukan di negara maju maupun berkembang, seperti di Amerika ada klan Bush dan klan Kennedy, di Filipina ada klan Aquino, di India ada klan Nehru, sedangkan di Indonesia sediri ada klan Soeharto dan klan Soekarno. Klan politik menjadi relevan ketika masyarakat dihadapkan pada munculnya klan‐klan di tingkat lokal, sebut saja klan Ciomas yang terkenal anggota klan Ratu Atut dengan menjadi kepala daerah di Banten. Pola hidupnya klan menjadi patologi azas demokrasi, sehingga tulisan ini akan memposisikan bahwa klan politik kini mulai hadir di tengah‐tengah proses demokratisasi di tingkat lokal. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu sebagai latar belakang ruang kosong untuk di kaji jauh lebih dalam, maka penulis memberikan alasan penelitian mengapa penelitian dirasa perlu. Pertama, kajian ekonomi politik selama ini lebih menitikberatkan terhadap pengaruh ekonomi terhadap politik. Namun tren kasus bisnis dan politik saat ini mengalami perubahan bukan lagi bisnis mempengaruhi politik, melainkan dalam beberapa kasus bisnis saat ini sudah memiliki keterkaitan atau bahkan menjadi kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan politik25. Dengan kata lain dapat dimaknai para politikus memiliki bisnis dan jaringan pengusaha. Para penguasa gemar melakukan intervensi dan megeksploitasi sumberdaya ekonomi dan membina relasi intim dengan kelompok bisnis. Hubungan politico‐business tidak hanya dilandasi pertimbangan ekonomi saja melainkan sarat dengan pertimbangan politis atas kepentingan elit. Kedua, Studi tentang klan bisnis secara khusus belum pernah dilakukan, apalagi dengan menggunakan fokus transformasi dan pendekatan rational
25Seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Fahmi Idris adalah pengusaha popouler yang menjadi
Kabinet Indonesia Bersatu. Serta beberapa kajian hampir 40 % anggota DPR dan Ketua Partai Politik adalah pengusaha.
12
choice. Penulis mengkaji kehadiran klan bisnis menjadi pertimbangan yang perlu di perhatikan. Sejauh ini beberapa kajian yang mencoba menyoroti munculnya keluarga dan kekerabatan bisnis dalam politik bukan dalam bingkai konstruksi klan melainkan penjelasan dengan konsepsi elit tersendiri. Seperti kajian kehadiran local bossism26, strong men27 yang hampir terdapat di setiap daerah seperti Kyai di Blitar dan Madura, Jawara di Banten, pedagang Bugis di Makasar, pengusaha kerajinan di Kota Gede, kelompok Teuku di Aceh. D. Kerangka Teori Untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian, maka awal penulisan akan menganalisa dari asal‐usul kehadiran klan bisnis tersebut dapat terbentuk yang di bungkus dalam formasi klan. Kemudian klan tersebut membentuk formasi kekuatan bisnis sehingga modal yang digunakan dapat berfungsi dan memungkinkan bertransformasi. Pada teori selanjutnya akan menggunakan distribusi modal sebagai cara atau strategi klan untuk dapat memberdayakan sumber daya sebagai modal duduk di jabatan politik.
26 Sidel mengartikan fenomena local boss atau bossism di Filipina dengan mengilustrasikan
metafora tindakan kriminalias yang digunakan untuk menganalisa logika kekuasaan dan relasinya dengan kesejahteraan. Aktor predatoris berusaha untuk memperkuat posisinya dalam aktifitas rent seeking atau pun akumulasi modal primitif. Para bos bergantung pada sumber daya negara, di bawah pengaruh dinamika ekonomi politik yang ada pada rezim otoritarian, dengan cara pembangunan rente. Penggunaan kekerasan koersif merupakan strategi yang sering digunakan para bos di Philipina untuk bertahan. Lihat lebih jauh John T. Sidel, 1999, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand dan Indonesia: Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang ‘Orang Kuat Lokal”, dalam John Harriss, Kristian Stoke, and Olle Tornquist (Eds), Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru (terj), Arya Wisesa, dkk, (Jakarta: Demos, 2005), h. 71‐104. 27 Refleksi shadow state menurut Migdal memberikan jalan alternatif semakin tumbuh kembang local strongmen hingga pada kemampuan membesarkan sumberdaya daya dan kapasitas kekuasaannya. Mereka memperoleh kesempatan untuk menempatkan dirinya serta keluargannya pada posisi jabatan penting untuk menjamin alokasi sumber daya yang mereka miliki dapat berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri daripada menurut aturan‐aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang‐undangan yang dibuat di ibukota atau dikeluarkan oleh pelaksanaan peraturan yang kuat. Lihat lebih jauh Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States: State‐Society Relations and State Capabilities in The Third World. (Princeton: Princeton University Press, 1988).
13
1. Mendefinisikan Klan Kehadiran aktor lokal tidak mudah muncul secara tiba‐tiba tanpa di topang dari jaringan klan. Kemunculan elit tunggal memiliki legitimasi dari kelompoknya untuk diunggulkan pada kelompok yang lebih makro. Proses seleksi alam sebelum menjadi elit, maka dia harus melewati jenjang level kelompok masyarakat tertentu. Legitimasi dari kelompok yang paling mudah diraih ialah melalui kekerabatan klan. Mendefinisikan klan merujuk pada kesatuan genealogi28, mempunyai kesatuan tempat tinggal dan menunjukkan adanya integrasi sosial, kelompok kekerabatan yang besar, berdasarkan asas unilinear.29 Klan menurut Koentjaraningrat merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua keturunan seorang nenek moyang yang di perhitungkan dari garis keturunan laki‐laki (patrilineal) atau garis keturunan wanita (matrilineal).30 Untuk dapat meneliti tentang klan pertama kali yang perlu di ketahui unsur‐unsur kunci klan yakni kekerabatan, jaringan, dan kepercayaan.31 Secara garis besar suatu kelompok kekerabatan memiliki hubungan antara kesatuan individu yang diikat oleh sekurang‐kurangnya enam unsur, yaitu32 1. 2. 3. 4.
Sistem norma‐norma yang mengatur tingkah‐laku warga kelompok, Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya, Interaksi yang intensif antarwarga kelompok, Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antar warga kelompok, 5. Pemimpin yang mengatur kegiatan‐kegiatan kelompok, dan
28
Genealogis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bersangkutan tentang Genealogi, dengan arti sebagai garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga sedarah. Genealogi diadopsi dari studi antropologi tradisional yang diartikan sebagai studi evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generasi 29 Diadopsi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. 30 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi: Pokok‐Pokok Etnografi II. (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 116. 31 Kathleen Collins, Op. Cit., h. 24. 32 Koentjaraningrat, Op. Cit., h. 109.
14
6. Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif atau harta pusaka tertentu. Dengan demikian hubungan kekerabatan merupakan unsur pengikat bagi suatu kelompok kekerabatan. Secara subtansi klan merupakan sekelompok orang yang bersatu dengan mempercayai kekerabatan yang nyata adanya pertalian darah dan keturunan. Proses kepercayaan keluarga terbentuk dari pola33 berdasarkan emosional34, pengaruh yang normatif35, besarnya keluarga terbatas36, kedudukan yang sentral dalam struktur sosial37, pertanggungjawaban dari anggota‐anggotanya38, adanya aturan‐aturan sosial yang homogen39 diluar fungsi lengkap40 dari klan itu sendiri. Kepercayaan klan masuk melalui referensi jaringan internal, kepercayaan tersebut kemudian menjadikan sebuah kesetiaan para anggota terhadap leluhur atau pun pola tradisi dari klan tersebut. Sehingga kesetiaan akan menjadi acuan ketika komitmen 33 Koentjaraningrat, Op. Cit.
34 Artinya rasa kasih sayang, kecintaan sampai kebanggaan terhadap suatu kelompok. 35 Keluarga bisnis merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi seluruh bentuk hidup
anggota klan yang tertinggi dan membentuk watak dari individu itu sendiri.
36 Hal ini biasanya jumlah anggota keluarga ini dibatasi dalam hubungan perkawinan dan
paling besar pada hubungan kekerabatan. Dalam sebuah rumah tangga dapat dikatakan bahwa jumlah anggota keluarga ditentukan oleh banyaknya individu yang tinggal dalam satu rumah atau kelompok. 37 Mengingat dari fungsinya, keluarga merupakan media tempat pertama kali individu hidup dan mengenal dunia kehidupan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengenalan lingkungan bisnis dari seseorang sangat bergantung dari cara keluarga tersebut mendidik dan memberikan pengendalian kepada anggota‐anggotanya. 38 Dalam keluarga biasanya terdapat pembagian tugas meskipun hanya dalam lingkup kecil dan porsi yang sederhana. Namun demikian, masing‐masing anggota keluarga harus dapat bertanggung jawab atas tugas atau kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Contohnya anggota klan memiliki tanggungjawab untuk memegang tanggungjawab sebagai jabatan Direktur Perusahaan Transportasi PO. Dewi Sri di distrik regional tertentu, maka kepercayaan itu harus dapat dilakukan sebaik‐baiknya sebagai tanggung jawab kepada keluarga. 39 Dalam pelaksanaannya akan mempermudah melakukan pengendalian sosial. Sejarah kehidupan keluarga, empat tahapan yang harus dilalui oleh sepasang suami istri yang meliputi tahap formatif pranikah, tahap pernikahan, tahap diasuh sebagai anak, tahap kedewasaan. 40 Fungsi lengkap klan, pertama, memelihara harta pustaka, atau memegang hak ulayat atau hak milik komunal atas harta produktif (biasanya tanah dengan segala hal yang ada diatas dan di bawahnya). Kedua, bergotong‐royong dalam melakukan pelbagai kegiatan mata pencaharian. Ketiga, bergotong‐royong dalam melakukan pelbagai kegiatan sosial maupun pribadi. Keempat, mengatur perkawinan sesuai adat eksogami.
15
untuk klan politik mempertaruhkan nama baik klan tersebut apabila para anggota tersandung politik negatif41. Penggunaan ini mencerminkan asumsi bahwa anggotanya bertindak terhadap satu sama lain dalam sangat dekat dan saling mendukung dengan cara yang kurang lebih sama solidaritas antara sanak saudara. Setengah abad lalu istilah clan mulai dihindari karena menimbulkan banyak salah tafsir. Berbicara klan tidak terlepas dari definisi klen besar dan klen kecil, walaupun dalam antropologi klen kecil memiliki warga berkisar 50‐70 orang yang masih mengetahui hubungan kekerabatan, bergaul dan umumnya masih satu desa. Namun ini bukan menjadi barometer batasan berapa jumlah orang yang memasuki struktur klan tersebut. Mereka terkadang dapat membatasi struktur klan, baik mengurangi maupun menambahkan jumlah anggotanya. Konstruksi tentang klan masih dalam kegamangan konsepsi, ironisnya jika pola garis keturunan sebenarnya tidak diketahui, namun anggota klan tetap dapat anggota pendiri atau leluhur di puncak. Koentjaraningrat membagi dua bentuk kekerabatan yang tidak universal42. Pertama, ego‐ oriented kingroups43 yang dimaknai kelompok kekerabatan dengan orang tokoh yang masih hidup sebagai pusat kelompok. Kedua, ancestor‐orented kingroups yakni kelompok kekerabatan berdasarkan hubungan kekerabatan, yang termasuk dalam kelompok ini klen besar, klen kecil fratri dan paro masyarakat. Pertukaran kekerabatan berbasis klan mungkin hanya lambang atau identitas, di mana bagian dari marga yang di tetapkan nenek moyang yang merupakan simbol persatuan marga. Klan paling mudah di gambarkan
41
Politik negatif diambil penulis untuk menggambarkan tindakan‐tindakan politik berdasarkan hal‐hal yang dianggap menyalahi etika dan aturan hukum yang berlaku. Seperti korupsi, penipuan publik, kolusi dan kekerasan ataupun pelanggaran HAM. 42 Konetjaraningrat, Op. Cit., H. 87 43 Ego sebagai pusat kelompok kekerabatan, lihat Konetjaraningrat, Op. Cit.
16
sebagai suku atau sub kelompok suku. Kata marga berasal dari ’klan’ berarti ’anak’ dalam bahasa Gaelic Skotlandia dan Irlandia. 44 Dibalik kerancuan konsepsi tentang klan tersebut yang perlu dicermati bukan saja unit tempat tinggal, namun tempat unit ekonomi dan hukum. Hal terpenting juga adalah sebuah komunitas moral, dengan maksud sebuah kelompok yang menjadi acuan identitas anggotanya dan sebagai wadah keterlibatan emosional mereka.45 Namun sebuah pengecualian dari kebimbangan dalam menterjemahkan klan, Kathleen Collins dalam risetnya di Negara Republik Asia Tengah mendefinisikan klan sebagai: “An informal organization comprising a network of individuals linked by kin‐based bonds. Affective ties of kinship are its essence, constituting the identity and bonds of its organization. These bonds are both vertical and horizontal, linking elites and nonelites, and they reflect both actual blood ties and fictive kinship.”46 (sebuah organisasi informal yang terdiri dari jaringan individu dihubungkan oleh obligasi berbasis kekerabatan. Ikatan afektif kekerabatan esensinya merupakan identitas dan obligasi organisasinya. Obligasi ini baik vertikal dan horisontal yang menghubungkan elit dan non‐elites, dan mereka menggambarkan baik hubungan darah aktual maupun kekerabatan fiktif.) Pendapat Collins diatas juga di setujui oleh Querubin47, bahwa klan diartikan sebagai organisasi informal yang terikat oleh kekerabatan sebagai identitas saling mengikat sebagai satuan organisasi. Baik hubungan keturunan maupun persaudaraan, ataupun hubungan elit dan non elit, serta ikatan darah maupun kekerabatan yang samar. Guiart juga dapat menjadi bahan rujukan dalam melihat klan yang memiliki kompleksitas dalam jaringan dan hirarki strukturnya. Klan memegang peranan penting dalam kehidupan politik mereka, dengan cara 44 Ibid, h. 116.
45 James Casey, The History of The Family (Oxford: Oxford University Press, 1989), h. 14. 46Kathleen Collins, Op. Cit., h. 231. 47Pablo
Querubin, Family and Politics: Dynastic Persistence in the Philippines, (Mimeo: Massachusetts Institute of Technology, 2010), h. 110.
17
beroperasi dalam bidang koalisi‐koalisi dan oposisi‐oposisi. Hirarki status dan prestise sebagai kekuasaan klan bersandar. 48 Klan yang absolut tidak berarti selalu kekal, ada kalanya terdapat ketidakharmonisan dalam konstruksi genoalogis maupun hubungan sosial. Perlakuan ketidakadilan yang dilakukan patron klan terkadang muncul, tindakan tegas untuk memberlakukan aturan sering kali mendapat respon negatif. Patron pun memberlakukan pembatasan wewenang dan hak sebagai bentuk hukuman bagi penentang, ironisnya terkadang mereka harus keluarkan dari nama klan apabila anggota melakukan kesalahan besar, seperti mencemarkan nama baik klan. Adapun bagan proses reorganisir klan sebagai berikut: Bagan I. 1. Proses Reorganisir Klan49 Fase 1 Pembersaran kekayaan dan kekuasaan matrimonial
Fase 2 Pembesaran hubungan‐hubungan dan mereka yang berketergantungan
Fase 3 Pembesaran Prestise dan Pengaruh
Fase 4 Suksesi pengabsahan genealogis
Sumber: Georges Balandier.
Structure de la Chefferie en Melanesie du Sud, 1963, dalam Georges Balandier, Antropologi Politik, terj Y. Budisantoso, Jakarta: Rajawali, 1986 , h. 81. 49 Georges Balandier, Ibid,. h. 91 48 Guiart,
18
Namun ironis ketidakstabilan kelompok‐kelompok lokal berdampak pada “penghancuran garis keturunan secara geografis” akibat pergolakan internal klan. Melemahnya struktur ini berselaras pada pemberian piagam genealogis dan kekerabatan serta aliansi perkawinan dimasukkan ke dalam instrumen pertarungan demi kekuasaan. Sehingga manipulasi atas geneologi lebih sering terjadi, kelicikan ini lebih sering dipergunakan dalam pertarungan politik untuk menghadapi para pesaingnya.50 Walaupun hal itu terjadi mereka tetap mempertahankan kesetiaan dan identifikasi disamping kesenjangan tersebut.51 Pola klan di perkotaan dipimpin oleh orang yang memiliki sumber kontrol ekonomi yang lebih besar. Berbeda dengan klan di pedesaan yang biasanya dipimpin oleh para kepala adat dengan legitimasi usia dan status silsilah. Klan dapat melintasi diberbagai batas kelas karena memiliki pertukaran berdasarkan pada prinsip‐prinsip kebersamaan dalam kemudahan jaringan yang luas dari kaum miskin, kerabat dan sanak saudara, teman dekat, perempuan, pemuda, dan termasuk bagian kelompok nonelite."52 Konstruksi klan tidak terlepas dari pondasi kokoh yang telah dibangun oleh leluhur pertama, mereka menciptakan tradisi, mengatur garis keturunan, merancang jaringan kekerabatan, maupun membuat aturan kehidupan. Aturan yang paten sangat sulit untuk dibantah maupun disusupi isu, sehingga minim sekali terhadap konflik internal klan. Alasan tersebut yang menjadikan klan atau jaringan tetap kuat dan mampu bertahan pada level kekuasaan yang lebih dominan. Pemimpin klan mengkonsolidasikan anggota klan menjadi basis kekuatan di tingkat lokal maupun pada skala yang lebih luas di tingkat nasional. Mereka memilih anggota yang potensial untuk menjadi elit
Op. Cit. h. 90
50 Georges balandier,
ibid.
51 Guiart,
52Peter Kreuzer, Op. Cit., h. 5.
19
berkuasa di tingkat lokal. Anggota klan di ranah pangung politik sangat berperan besar dalam memperkuat klan atau jaringan itu sendiri. Ironisnya mereka dapat mempengaruhi proses politik dalam kebijakan dan efek sosial politik dari opini politik klan yang dibangun. Karena pada hakikatnya hubungan antara anggota klan tersebut sangat mengikat, apabila anggota mengalami kesedihan maka anggota yang lain pun akan merasakan hal yang serupa. Jejaring yang ketat muncul akibat dari rasa solidaritas yang tinggi dan bukan pula oleh kesetaraan. Anggota klan berkewajiban menerima dan mengikuti normal‐normal yang sudah menjadi bagian dari tradisi atau aturan dalam klan. Maka ikatan solidaritas terhadap klan dirasa melebihi apapun, sehingga hal ini akan miris bila menemukan anggota klan yang menjadi pejabat politik lebih mengutama ikatan klan. Anggota klan yang menjadi pejabat politik tetaplah akan selalu menjadi klien dan lebih cenderung mematuhi patron atau pemimpin mereka. Namun Patron dalam klan berkewajiban membimbing dan mengajarkan‐sebuah kewajiban moral kepada anggotanya. Tuntutan moral yang di dapat apabila seorang orang tua atau sesepuh dari klan tidak mampu mendidik anggota klan tersebut apabila melakukan kesalahan. 53 Anggota klan yang menjadi penguasa otokratik pun masih tergantung pada dukungan dari klan mereka, terutama di tingkat politik lokal ia hampir kehilangan kewenangannya membuat keputusan. Aturan klan menjadi landasan logika otokrasi. Apabila para penguasa otokrasi ingin mencoba merebut kekuasaan secara luas atau menghegemoni, ia harus terlebih dahulu menguasai kontrol struktur aturan dasar dari klan. Ia juga harus
53 Konseptualisasi ini memberikan kunci bagi praktik dan teori kepemimpinan yang di
ilhami oleh orang jawa. Gambaran yang praktis ada pada militer atau feodal, dimana para pengikut berkumpul di bawah panji‐panji pemimpin, dan kepadanyalah mereka di harapkan sangat royal. Pemimpin adalah seorang bapak pelindung yang dapat di percaya yang harus di hormati dan di teladani, perilaku dan keinginannya adalah perintah, selalu menaruh perhatian kepada anak buahnya. Lihat lebih jauh Handayani, C. S., & Novianto, S. A. Kuasa Wanita Jawa (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 96.
20
memperkecil bahkan menutup kemungkinan peluang persaingan dari anggota klan lainnya sebagai pemain politik dalam satu arena kekuasaan.54 Klan politik memiliki kemampuan berdasarkan penempatan anggota keluarganya dalam struktur politik55, klan dalam politik ini merupakan sesuatu yang diturunkan atas faktor keturunan. Agustino menyebut fenomena ini sebagai kebangkitan dinasti dikancah politik56. Namun penulis menyebutnya sebagai klan politik. Klan politik memiliki kemampuan menempatkan anggota keluarganya dalam struktur politik maupun jabatan penting birokrasi, gagasan ini yang menjadi tonggak kebangkitan klan dikancah politik. Disisi lain fanatisme57 pada keluarga dengan hubungan darah (klan) lebih kuat dibandingkan ikatan lain (dari aspek loyalitasnya). 2. Sumber Daya Politik Klan untuk dapat membangun kekuasaan tentunya harus memiliki sumber daya yang mereka gunakan dalam strateginya. Sumber daya tersebut dapat meminjam konsepsi pembentuk kekuasaan Andrain, yang berdasarkan pada lima tipe sumber daya: fisik, ekonomi, normatif, personal,
54 Peter Kreuzer, loc. cit, h. 5.
55 Lihat Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff, “Politik Lokal di Indonesia: dari otokratik
ke reformasi politik”, Jurnal Ilmu Politik AIPI, No.21, 2010, h. 11. Diadopsi dari kehadiran ‘bapak pelindung’ di Filipina dengan merujuk kajian McVey (ed.). Money and Power in Provincial Thailand. (Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies, 2000). 56 Ibid, h. 79‐97. 57Argumentasi penulis tentang Fanatisme dari masyarakat diartikan sebagai gambaran anggota klan dalam pertalian darah dianggap lebih dapat dipercaya oleh masyarakat yang mengakibatkan basis sosial klan dan dianggap tidak akan berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka, para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau calon kepala daerah. Mereka menjadi caleg atau calon kepala daerah lebih karena politik hak/politik dengan membonceng atas nama keluarga, yang hanya memproduksi politisi karbitan. Bukan politik dengan kemampuan sendiri, yang melahirkan politisi sejati/otentik. Pemikiran paradoks Kejanggalan demokrasi di indonesia diatas yang melatarbelakangi bingkai klan bisnis, disatu sisi dipercaya masyarakat untuk dapat menghadirkan pemimpin yang dapat mensejahterakan masyarakat sesuai tujuan bersama. Dilain pihak sistem demokrasi yang sudah dapat diterima seakan dijajah oleh pemahaman lama tentang politik kekerabatan klan. Munculnya asumsi yang sangat kuat ketika demokrasi hanya akan menimbulkan sentimen etnisitas pada suatu kelompok akibat keluarga yang muncul. Logika kekerabatan klan ini sering kali di gunakan meminimalisir pengkhianatan elit politik kepada keluarga sehingga menggunakan kekerabatan sebagai jalan aman melangengkan kekuasaan.
21
dan ahli.58 Menurutnya sumberdaya tersebut sebagai cara untuk mendapatkan kepatuhan59 dari orang lain. Tabel I.1. Sumber Daya Kekuasaan oleh Charles F. Andrain:60 Tipe Sumber Daya Fisik Ekonomi Normatif Personal
Ahli
Contoh Sumber Daya
Motivasi Untuk Mematuhi
B “berusaha menghindari Senjata: Senapan, Bom, Rudal cidera fisik” yang dapat disebabkan oleh A Kekayaan, Pendapatan, Kontrol B berusaha memperoleh Atas Barang dan Jasa, kekayaan dari A B mengakui bahwa A Moralitas, Kebenaran, Tradisi mempunyai hak moral Relijius, Legitimasi, Wewenang untuk mengatur perilaku B Kharisma Pribadi, Daya Tarik, B mengidentifikasi diri Persahabatan, Kasih Sayang, merasa tertarik‐ dengan A Popularitas B merasa bahwa A Informasi, Pengetahuan, mempunyai Intelijensi Pengetahuan dan keahlian Keahlian Teknis yang lebih
Keterangan: A adalah pemegang kekuasaan; B adalah obyek kekuasaan Konsepsi tentang klan dapat menjadi landasan sumber daya personal dari garis keturunan seperti menyandang nama marga atau suku dan Sumatera61. Namun format klan tersebut pun dapat meminjam fungsi sumber daya ekonomi seperti klan bisnis. Keunggulan sumber daya ekonomi yang dimiliki klan mengenai kekayaan, pendapatan, kontrol atas barang dan jasa dapat menjadi kekuatan untuk mendominasi tipe sumber daya yang tidak dimilikinya dari klan lainnya. Namun kekuatan tersebut tergantung 58Charles
F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (terj) Luqman Hakim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992) h.132. 59 Kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) bagi andrain dimaknai sebagai kekuasaan, apabila orang A patuh terhadap orang B maka orang B tersebut memiliki kekuasaan terhadap orang A. 60 Ibid, h. 132. 61 Ibid, h. 118.
22
sejauh mana klan mampu memberdayakan sumber daya ekonomi untuk meraih sumber daya yang belum dimilikinya. Basis fungsi sumber daya ekonomi menjadi landasan oleh para pengusaha untuk membentuk jejaring perekonomian usaha mereka, seperti kerjasama antar anggota klan dalam menopang kelangsungan bisnis mereka. Klan dalam melakukan transformasi membutuhkan modal sosial untuk mengekspresikan ikatan‐ikatan patrimonial seperti kekerabatan. Meminjam pendapat Coleman, modal sosial yang paling efektif adalah “hubungan dibangun sejak lahir”.62 Modal sosial berbasiskan ekonomi dapat mempererat terbentuknya ikatan hubungan, dengan kata lain modal sosial pun semakin terbentuk dari rasa kebersamaan dengan para pengusaha. Modal sosial dalam konsep ini membuka peluang terhadap proses representasi sumber daya karena melibatkan harapan akan resiprositas atau pertukaran, hubungan‐hubungan yang diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan nilai‐nilai bersama63. Walaupun konsep modal sosial Putnam lebih memiliki keterkaitan dengan peran jaringan sosial dalam perilaku ekonomi seperti kontak pribadi anggota klan bisnis, yang lebih membekali dalam interaksi jaringan pasar. Namun modal sosial yang dibutuhkan dalam hal ini hanya memfokuskan modal sosial sebagai faktor pendukung geneologis klan. Sehingga dalam analisis teori modal sosial yang mengarah pada konsepsi pembentukan modal klan bisnis dipandang sebagai bagian dari beberapa aspek struktur sosial. Kemudian memfasilitasi tindakan‐tindakan anggota klan yang berada di dalam struktur tersebut. Dari cara pandang ini mendefinisikan berdasarkan fungsi modal sosial. Klan untuk dapat melakukan transformasi dari fungsi bisnis menjadi politik harus menggunakan sumber daya secara efektif. Andrain memberikan
62 James Coleman, Social Theory for Changing Society, (Boulder: Westview Press, 1991), h. 1‐
3. James Coleman, 1994, Foundations of Social Theory, dalam John Field, Modal Sosial (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), h. 32.
63
23
tiga variabel yang berkenaan dengan sumber daya yakni: (1) jumlah dan distribusi sumber daya, (2) motivasi untuk mendayagunakan sumber daya demi tujuan‐tujuan politis, (3) ketrampilan mendayagunakan sumber daya secara efektif. Memiliki akses terhadap sumber daya merupakan prasyarat dalam upaya mendayagunakan kekusaaan secara efektif. Khususnya sumber daya tersebut memegang peranan penting atau dihargai dan relevan terhadap tujuan kekuasaan. Dalam variabel jumlah dan distribusi sumber daya Andrain mengatakan kekuasaan dapat tercapai apabila jumlah kelebihan sumber daya yang dikuasai lebih besar untuk didistribusikan. Di samping itu distribusi modal merupakan strategi sumberdaya klan ekonomi untuk memungkinkan perpindahan pada komunitas politik. Sumber daya ini kemudian dilansir untuk bekal prioritas yang harus dimiliki dalam menguasai kekuasaan. Pilihan rasional klan untuk mendistribusikan sumber daya sebagai upaya menentukan jalannya peristiwa. James Coleman mengatakan pilihan tersebut memulai dengan individu dan gagasan bahwa semua hak dan sumber daya ada pada tingkat ini. Kepentingan individu menentukan jalannya peristiwa. Namun, dalam masyarakat modern tidak selalu benar, dimana sebagian besar hak‐hak dan sumber daya, berada pada aktor korporasi. Bergulirnya waktu, kini aktor perusahaan dunia modern mulai menyandera kepentingan individu. Aktor korporasi dapat bertindak kepada manfaat atau kerugian individu untuk mengkonversi modal mereka.64 Klan yang notabene sebagai pelaku politik harus memotivasi untuk menggunakan sumber daya mereka guna tujuan‐tujuan yang politis. Andrain memberi
pilihan
motivasi
terakhirnya
dengan
kemungkinan
mengkonversikan sumber daya mereka menjadi kekuasaan politik. Sehingga
64 James Coleman, 2004, Foundations of Social Theory , dalam George Ritzer dan Douglas J.
Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 399.
24
dalam kondisi memungkinkan sumber daya tersebut ditransformasikan menjadi kekuatan politik yang efektif.65 Andrain menambahkan untuk mencapai kekuasaan tergantung pada motivasinya. Motivasi tersebut meliputi beberapa faktor; (1) nilai penting yang dikaitkan dengan tujuan, (2) perasaan bahwa hal itu diinginkan; pengetahuan akan sarana‐sarana untuk mencapai tujuan, (3) tingkat ketergantungan pada strategi‐strategi politik untuk mencapai suatu sasaran. (4) keberhasilan yang diharapkan dalam mewujudkan tujuan, yakni, perasaan memiliki kompetensi politik yang tinggi dan fatalisme politik yang rendah, (5) pandangan mengenai biaya dan keuntungan yang mungkin dihasilkan dari perjuangan untuk mencapai tujuan tersebut.66 Disamping itu ideologi menjadi barometer tersendiri dalam keberhasilan mencapai tujuan‐ tujuan mereka untuk memberdayakan sumber daya. Ideologi pula yang memfokuskan pada strategi‐strategi yang harus dicapai untuk meraih tujuan‐tujuan mereka. Dengan ideologi motivasi seakan menjadi kepercayaan yang mendalam walaupun kondisi tertentu tidak mendukungnya. 3. Strategi Transformasi Klan dalam Struktur Peluang Politik Lokal Dari format geneologis klan bisnis di atas maka fenomena perubahan klan politik ini akan dianalisa dengan menggunakan konsepsi sumber daya untuk melihat potensi transformasi dari klan bisnis menjadi klan politik. Setelah penjelasan tentang sumber daya klan kemudian penulis meminjam logika berfikir konsep distribusi sumber daya dan keterampilan dalam menggunakan sumber daya tersebut sebagai salah satu strategi transformasi klan. Pendekatan ini memfokuskan perhatian pada tindakan‐tindakan yang umumnya rasional oleh klan bisnis. Distribusi sumber daya merupakan salah satu strategi untuk memindahkan dan mengkonversikan modal. Untuk menjelaskan tranfosmasi
65 Charles F. Andrain, Op. Cit., h. 146. 66 Charles F. Andrain, Op. Cit., h. 146‐147.
25
klan bisnis berdasarkan konsep distribusi sumber daya ini, maka yang menjadi utama dalam distribusi sumber daya ekonomi dapat bekerja secara efektif dan relevan untuk mencapai atau menguasai jabatan politik. Namun penggunaan distribusi modal tersebut tidaklah lepas dari faktor‐faktor kemungkinan atau kesempatan (Struktur Peluang) agar modal tersebut dapat berpindah. Berbicara struktur peluang politik dalam klan tergantung pula tentang budaya politik masyarakat, yang dapat mendukung atau justru malah menekan.67 Metode Kitschelt ini menggabungkan studi tentang organisasi dan strategi gerakan dengan analisis tentang analisis struktur peluang serta budaya politik.68 Sehingga pemimpin‐pemimpin politik yang efektif telah belajar tentang memaksimalkan peluang‐peluang mereka dan meminimalisis hambatan‐hambatanya.69 Untuk membuka dan membaca struktur peluang membutuhkan keterampilan
politik.
Hal
ini
dianggap
sangat
penting
dalam
pengorganisasian sumber daya tersebut secara efektif. Faktor‐faktor yang menjadi bahan keterampilan yakni; watak‐watak pribadi, waktu dan energi yang dimiliki oleh seorang pelaku politik. Watak‐watak pribadi dapat berupa intelejensi, dominansi, kepercayaan diri sendiri, keberanian, kecerdikan, keluwesan, dan imajinasi yang semuanya tersebut dapat menjadi kesempurnaan keterampilan seseorang dengan waktu dan energi. Faktor keterampilan tersebut yang kemudian menjadi relevansi dalam mendistribusikan sumber daya klan.70 Kembali pada teori distribusi sumberdaya yang menempatkan cara rasionalitas sebagai nilai tambah, yakni dengan menempatkan analisis tentang penggabungan aneka bentuk sumber daya, strategi, dan taktik 67
Herbert Kitschelt, “Political Opportunity Structur and Political Protest: Anti‐Nuclear Movement in Four Democraties” Structur and Political Protest: Anti‐Nuclear Movement in Four Democraties”, British Journal of Political Science, 1986, seperti dikutip oleh Robert Mirsel, Teori Gerakan Sosial (Yogyakarta: Resistbook, 2006), h. 68. 68 Ibid. 69 Charles F. Andrain, Op. Cit., h. 149. 70 Ibid.
26
organisasi secara sengaja dan sadar dengan tujuan‐tujuan yang mau dicapai. Menurut paradigma ini, elemen‐elemen kunci dari setiap distribusi adalah kelompok‐kelompok penggerak; bukan individu‐ individu.71 Untuk kerangka konsepsi tersebut dapat bekerja dalam klan bisnis maka lebih mengoperasionalkan pada fungsi dari klan tersebut yakni menempatkan pada fungsi bisnis menuju fungsi politik. Distribusi sumberdaya dengan meminjam konsep mobilisasi modal dalam teori gerakan sosial72 maka konsep tersebut tidak lepas dengan konsep struktur peluang yang memberikan kemungkinan terjadinya distribusi sumberdaya. Struktur peluang dapat diterjemahkan sebagai kesempatan yang tepat ketika tindakan distribusi sumberdaya. Dimana dalam klan bisnis tersebut menggunakan kesempatan dalam arena pertarungan politik seperti kampanye, sosialisasi politik, pendanaan partai, maupun suksesi program‐program pro rakyat sebagai salah satu alternatif membuat momentum kesempatan menjadi anugrah dan titik kritis penggunan strategi tersebut pada peluang klan bisnis diajang kontestasi Pilkada. Strategi distribusi sumber daya ini yang kemudian terfasilitasi dari struktur klan. Klan memberi kemudahan sumber daya untuk terakumulasikan atau bahkan dapat meminjam antara sumber daya anggota klan satu dengan lainnya. Di lain pihak strategi yang digunakan klan dalam membangun kekuasaan salah satunya dengan tahapan jurus pengelola jaringan yang sudah dibangun baik pada partai politik, elit birokrat, maupun sistem klientisme pada masyarakat. Wacana klan yang populis menjadi tema yang hangat dan sangat dianjurkan sehingga menjadi inti kekuatannya. Perumusan Strategi secara menyeluruh juga mencakup variasi‐variasi strategi yang dilakukan, sehingga gambaran dari satu tindakan dapat diduga.
71 Robert Mirsel, Teori Gerakan Sosial (Yogyakarta: Resistbook, 2006), h. 63. 72 Ibid, h. 62‐64.
27
E. Definisi Konseptual Untuk dapat lebih memberikan arahan pada fokus penelitian, perlu dilakukan generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empirik. Dan untuk lebih mudah dipahami membuat pembatasan dan penegasan definisi konsep sebagai berikut: Klan merupakan sekumpulan individu yang memiliki hubungan darah baik melalui ibunya atau ayah dengan kesadaran dan pergaulan berdasarkan hubungan kekerabatan. Sehingga dalam klan itu sendiri memfasilitasi ikatan emosional, kesetiaan dan pertukaran modal. Serta hubungan kerabat tersebut menentukan prinsip‐prinsip keturunan yang bersifat selektif, mengikat sejumlah kerabat yang bersama‐sama memiliki sejumlah hak dan kewajiban tertentu, misalnya hak waris atas harta, gelar, pusaka, lambang‐lambang, dan juga hak atas suatu kedudukan, kewajiban untuk melaksanakan aktivitas‐aktivitas produktif yang dilakukan bersama‐sama dalam sektor informal. Interaksi dalam jaringan klan itu sendiri kemudian memberikan fasilitas untuk dapat tercapai tujuan dari klan tersebut. Sumber daya yang digunakan oleh sebuah klan terdiri dari: o Sumber daya ekonomi sebagai salah satu kekuatan modal material yang berbentuk kekayaan, pendapatan, kontrol atas barang dan jasa. o Sumber daya normatif yang berbentuk toralitas, kebenaran, tradisi, relijius, legitimasi dan wewenang. o Sumber daya personal yang berbentuk kharisma pribadi, daya tarik, persahabatan, dan kasih sayang. o Sumber daya keahlian yang dapat dinilai dari tingkat popularitas seseorang, mengetahui akses informasi, pengetahuan dan intelijensi. Strategi transformasi merupakan cara klan untuk menggunakan sumber daya dalam melakukan perpindahan fungsi klan bisnis menjadi pejabat politik. Berlandaskan motivasi politik dalam memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya klan, mereka mengkonversi sumber daya tunggal yakni
28
ekonomi menjadi sumber daya yang potensial untuk berubah menjadi klan politik. Tahapan terakhir yaitu keterampilan politik dalam merebut struktur peluang dengan cara memobilisasi dukungan jejaring yang dimilikinya. F. Definisi Operasional Dalam rangka memudahkan proses pengumpulan data, maka definisi konsep yang akan dioperasionalkan ke dalam indikator‐indikator agar mampu menggambarkan dan menjelaskan gejala‐gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal‐hal sebagai berikut: Klan dapat dilihat dari indikator berupa jaringan informal dalam satu ikatan darah dan memiliki sumber daya sebagai basis kekuatan. Sumber daya yang dimiliki oleh sebuah klan dapat dilihat berikut ini: Sumber daya ekonomi berupa pendapatan perusahaan dan gaji kepala daerah, kepemilikan harta, hak atas pelayanan kepala daerah. Sumber daya normatif yang berbentuk, jabatan formal sebagai kepala daerah dan jabatan pimpinan perusahaan. Sumber daya personal yang berbentuk citra nama baik dan banyaknya hubungan pertemanan maupun akses jejaring. Sumber daya keahlian yang dapat dinilai dari tingkat popularitas, tingkat pendidikan. Strategi transformasi dapat dilihat dari beberapa indikator: Klan bisnis mengkonversi sumber daya ekonomi menjadi sumber daya normatif, sumber daya personal, dan sumber daya keahlian. Klan bisnis mengaplikasikan sumber daya yang dimilikinya dengan cara melakukan strategi mobilisasi dukungan, baik dukungan politik maupun dukungan ekonomi.
29
G. Metode Penelitian Studi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk menjelaskan tentang klan bisnis yang bertransformasi menjadi klan politik. Metode kualitatif tepat untuk mengulas konteks tentang realita atau fenomena bisnis dan politik yang kompleks.73 Hakikat hubungan antara peneliti dan informan akan memberi kepekaan dan lebih dapat merespon kegiatan secara bersama mengenai nilai‐nilai yang diteliti.74 Metode ini juga mempermudah dalam menggambarkan informasi strategi transformasi klan pada tingkat abstraksi yang tinggi. Metode ini berusaha memahami realita‐realita politik dan bisnis yang memastikan diukur secara akurat. Berkenaan dengan pertanyaan penelitian ini akan berusaha menjelaskan dan menggambarkan pola transformasi klan bisnis menjadi klan politik yang bersifat ekplorasi deskripsi. Penelitian ini menggunakan model pendekatan studi kasus. Untuk menjelaskan
fenomena
transformasi
maka
diperlukan
kedalaman
pemahaman dengan melibatkan peneliti terhadap perilaku individu atau kelompok dari klan75. Dengan kata lain studi kasus merupakan metode yang tepat untuk membagi batas‐batas antara fenomena dalam konteks memasuki unit‐unit sosial terkecil keluarga, organisasi dan berbagai bentuk unit sosial kehidupan nyata. Disamping itu membantu penulis karena keterbatasan untuk mengontrol peristiwa‐peristiwa yang akan diselidiki dan fokus penelitiannya yang terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan klan bisnis.76
73 Yvonna S. Lincoln & G. Guba Ego, 1984, Naturalistic Inquiry, dalam Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999), h. 4.
74 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999), h.
2.
75 Robert K. Yin, Studi Kasus Desain dan Metode, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 3.
76
Ibid, h. 1.
30
Ada tiga alasan penulis menggunakan studi kasus, pertama, penulis beranggapan penelitian tentang transformasi klan bisnis merupakan kajian baru dalam fenomena politik dan bisnis di tingkat lokal, kedua, penulis merasa memiliki keterbatasan untuk melakukan studi dalam menelusuri praktek politik dan bisnis mengenai kemunculan klan diseluruh sektor pemerintahan daerah. Ketiga, kekuasaan klan politik tentunya tidak merambah pada seluruh dimensi kehidupan, wilayah dan periode waktu, yang kemungkinan kekuasaannya maupun fungsinya dapat berubah dan dinamis tanpa peneliti dapat memperkirakannya. Hasil dari studi kasus merupakan suatu generalisasi dari pola‐pola yang tipikal mengenai fenomena‐fenomena menjadi tren politik dan bisnis. Sehubungan dengan penelitian ini studi kasus dirasa relevan dalam konteks untuk mengkaji tentang gejala klan pada fenomena politik dan bisnis di Indonesia serta menemukan karakter kekhasan maupun prihal spesifik lainnya. Berdasarkan tujuan analisis kemudian penulis mengambil satu intrumen kasus sebagai cara untuk memfokuskan diri pada isu politik bisnis pada politik lokal dengan mengilustrasikan kehadiran klan bisnis di daerah pantai utara Jawa Tengah. 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Tegal, yang merupakan salah satu Kota di Provinsi Jawa Tengah. Fokus kajian yang bermula dari pembentukan kekuasaan sebelum klan mengusai jabatan politis, yakni sebagai pengusaha transportasi P.O Dewi Sri. Kemudian dalam tahapan menelusuri klan pengusaha tersebut, maka peneliti mengambil beberapa area kekuasaan Kabupaten yang telah masuk dalam kuasa klan bisnis setelah menduduki jabatan publik. Area kekuasaan tersebut melingkupi Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kota Tegal.
31
Bagan I.2. Lokasi Wilayah Penelitian
Kab. Brebes
Kota Tegal
Kab. Pemalang
Kab. Tegal
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat dan efektif dalam menjelaskan penelitian ini, maka penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Teknik Wawancara Penulis menggunakan teknik wawancara dipandang sebagai teknik yang tepat untuk menggali informasi berkenaan dengan fenomena klan bisnis di kancah politik lokal. Wawancara merupakan teknik yang digunakan peneliti untuk menelusuri kedalaman informasi tentang motivasi klan untuk bertransformasi. Melacak motivasi dan strategi dari klan dengan melakukan wawancara mendalam kepada anggota‐anggota klan yang dominan dalam tubuh klan tersebut. Teknik ini juga mempermudah peneliti dalam mengklarifikasi fenomena‐fenomena tentang isu‐isu politik klan. Di samping itu cara ini akan membawa peneliti pada faktor sejarah pembentukan klan politik. Teknik ini memungkinkan untuk memperoleh kedekatan secara emosional antara penulis dengan informan, kemungkinan tersebut yang akan mempermudah penulis untuk mendapatkan informasi yang mendalam. Sehingga pada tahapan wawancara penulis untuk membangun interaksi yang bersifat dialogis. Karena informan kunci pada klan politik
32
tersebut telah menjabat menjadi kepala daerah tentunya hal ini penulis menggunakan wawancara tersetruktur. Namun tidak menutup kemungkinan bila penulis mewawancarai dalam lingkungan klan menggunakan wawancara pembicaraan informal. Hasil informasi yang didapat sebagai bahan mentah yang kemudian peneliti membuat peta keterkaitan jaringan informasi dari informan satu dengan yang lain. Wawancara merupakan sebuah bentuk pertemuan antara peneliti dengan responden dimana jawaban dari wawancara akan dijadikan sebagai bahan mentah. Dilain pihak wawancara adalah alat yang baik untuk menghidupkan topik riset dimana wawancara dapat memberikan data subyek kontemporer yang belum dikaji secara eksentif mengenai permasalahan ekonomi dan bisnis dalam klan. Dalam teknik ini diharapkan akan memperoleh data dari aktor klan bisnis tersebut maupun yang bersinggungan dengan klan baik dari pejabat publik maupun aktor yang membantu di dalam Partai Politik. Selama proses pencarian data, peneliti menggunakan peralatan elektronik yakni menggunakan alat rekam suara dan kamera video (bila dibutuhkan dalam narasumber menjelaskan berkenaan dengan visual) sehingga data dari hasil wawancara dengan responden dapat ditelaah secara efektif. Data wawancara diperoleh dari Informan kunci sebagai data hasil penelitian. Adapun informan kunci tersebut dalam penelitian ini dikategorikan menurut objek yaitu: 1. Klan: a. Rukayah sebagai orang tua dan sesepuh dari klan bisnis tersebut. Dengan mewawancarainya bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pengaruh Rukayah sebagai sesepuh dari klan. Kemudian mengetahui gagasan mengapa berkeinginan berpindah pada ranah politik dan strategi‐strategi yang digunakan untuk memperoleh jabatan publik dari klan tersebut.
33
b. Wali Kota Kota Tegal sekaligus Direktur Utama PO. Dewi Sri: H. Ikmal Jaya S.E, Ak yang merupakan awal kebangkitan generasi klan Rukayah. c. Wakil Bupati Kabupaten Pemalang: H. Agung Mukti Wibowo, S.T merupakan adik dari Ikmal Jaya. d. Bupati Kabupaten Brebes: Hj. Idza Priyanti, S.E yang merupakan kakak dari Ikmal Jaya. e. Calon Bupati Kabupaten Tegal: dr. Edi Utomo yang merupakan kakak dari Ikmal Jaya. Dari hasil wawancara diharapkan dapat menduduki problematika landasan motivasi mengapa ingin menduduki jabatan publik. Serta mengetahui pola relasi jejaring pebisnis selama menjabat. 2. Pendukung klan a. Jejaring bisnis klan. Dengan melibatkan dalam obyek interview, dari jejaring bisnis diharapkan memperoleh sumber data tentang pola relasi bisnis antara pengusaha lainnya. Hal ini memungkinkan dapat melihat kooptasi dalam membangun bisnis di daerah dan orientasi‐ orientasi bisnis apa saja yang telah dicanangkan. b. Pengurus Partai PDIP. Diharapkan data yang diproleh dari partai tersebut dapat menjelaskan cara klan dapat masuk dalam kepartaian dan peran aktor klan dalam partai politik. Mengambil partai PDIP karena seluruh anggota klan diusung dari partai ini. Kemudian Data tersebut dapat diperoleh dengan menginterview Ketua Partai PDIP dan beberapa Sampel (percontohan) Anggota Partai PDIP yang dirasa memiliki pengaruh besar di Partai c. Tim sukses kampanye klan pada Pilkada. Data yang diperoleh diharapkan mampu menjelaskan pola strategi kampanye dan dukungan tim sukses dalam memenangkan anggota klan tersebut, apakah dalam hal ini memiliki keterikatan kekerabatan atau hanya bersifat pragmatis semata.
34
d. Aparatur pemerintahan termasuk kepala SKPD yang pernah dipimpin oleh anggota klan tersebut. Mewawancarai mereka dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban mengenai kepemimpinan anggota klan tersebut selama menjabat, kebijakan‐kebijakan apa yang dikeluarkan yang berkaitan dengan aparat birokrasi, serta mengetahui sikap anggota klan tersebut dalam berelasi dengan bawahannya. 3. Kelompok Penentang Kelompok penekan disini yakni kelompok yang bertentangan dengan klan penguasa, baik karena alasan politis maupun pemaksaan kebijakan‐kebijakan. Kelompok tersebut dapat muncul dari rival politik pada arena kontestasi Pemilukada maupun dari para pesaing bisnis klan. Pada dasarnya informan tersebut masih merupakan informan yang menurut peneliti merupakan informan kunci (key informant). Sehingga tidak menutup kemungkinan menggunakan “teknik snowball” (informan berkembang jumlahnya sejalan selama berlangsungnya penelitian). b. Teknik Observasi Teknik ini digunakan untuk mengadakan pengamatan langsung dan membuat catatan yang sistematis terhadap fenomena transfomasi klan dari kepemilikan Usaha lama sebelum menduduki jabatan pemerintahan maupun sebelum menjabat menjadi kepala daerah. Pengamatan langsung terhadap obyek tempat, pelaku dan kegiatan dengan mengunakan panca indera.77 Mengobservasi pola perilaku anggota klan ketika menjadi pengusaha dan pola kepimpinan ketika menjabat menjadi kepala daerah. Di lain pihak melihat pola relasi bisnis klan dengan jejaring pengusaha agar dapat mengetahui kepemilikan usaha milik klan, peneliti mengobservasi dan mengecek sebagai tahapan konfirmasi keabsahan usaha mengenai dimana letak lokasi usaha, maupun melihat seberapa besar usaha yang dimiliki klan tersebut.
77 Posman Simanjuntak, Berkenalan dengan Antropologi, (Jakarta: Erlangga, 2000) hal. 8‐9.
35
c. Teknik Dokumentasi dan Studi Kepustakaan Penggunaan teknik dokumentasi dimaksudkan untuk mempelajari dokumen, peraturan, keputusan, laporan, berkas kepemilikan usaha milik klan, dan dokumen lain yang diperlukan berkenaan dengan masalah penelitian. Dalam teknik ini untuk menafsirkan beberapa data‐data informasi cetak dan otentik seperti media massa, data pemilihan suara dari KPUD, dan informasi kepemilikan bisnis milik klan. Disamping menganalisis berkas dokumen dan laporan di atas, penulis juga melihat penelitian‐penelitian terdahulu tentang wilayah riset (Kabupaten Pemalang, Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, dan Kota Tegal) yang terkait sebagai salah satu bahan referensi penulis. Studi kepustakaan ini juga menganalisa jurnal, buku sebagai konsepsi penyusunan studi ini. Teknik dalam penelitian ini mempelajari hasil keputusan dan kebijakan selama klan ini menjabat, dokumen serta laporan lainya yang tidak dimuat atau tidak dimuat dimedia massa. Data ini diperoleh dari berbagai institusi (lembaga), antara lain: • Pemda Kabupaten Tegal, Pemda Kota Tegal, Pemda Kabupaten Pemalang, dan Pemda Kabupaten Brebes. • PO. Dewi dan beberapa perusahan milik klan Bisnis. • KPUD Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Brebes. Hal ini untuk mengetahui analisis kemenangan aktor klan pada Pemilihan Umum dalam kontestasi tersebut. Untuk mengekplorasi data lebih jauh penulis akan memperlajari isu‐ isu maupun gosip‐gosip politik tentang klan tersebut. Disisi lain perlu juga mengetahui respon, kritik dan saran dari masyarakat lewat media kepada kepala daerah yang dapat dipelajari melalui media massa tingkat lokal seperti: Radar Tegal, Radar Pemalang, Suara Merdeka, Suara Rakyat, Sembada Tabloid. Sedangkan Media massa Nasional seperti Kompas dan Media Indonesia untuk mengetahui isu politik klan Ikmal Jaya dengan Partai Politik tingkat pusat.
36
3. Metode Analisis Data Teknik analisa data yang digunakan sesuai dengan kaidah dalam penelitian kualitataif, yakni dengan mengumpulkan data mengalisa data, kemudian menafsirkan data dan membuat kesimpulan dari data tersebut. Analisis data merupakan proses penjelasan dan penyusunan transkrip wawancara serta material lain telah terkumpul. Data yang telah dikumpulkan secara lengkap kemudian diberikan kode untuk menyortir dan mengkategorisasikan data‐data yang selanjutnya menjadi acuan pengembangan penelitian. Pelukisan dan penuturan tentang apa yang berhasil dimengerti berkenaan dengan masalah yang diteliti melahirkan kesimpulan yang bobotnya mendalam. Inti dari proses analisis data meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan‐catatan lapangan maka disajikan bisa dalam bentuk tabel, ataupun uraian penjelasan. Sedangkan penyajian data adalah kegiatan penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif yang dibantu dengan matrik, grafik, jaringan, tabel, dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman peneliti terhadap informasi yang diperoleh. Kemudian penarikan kesimpulan adalah mencari arti, pola‐pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan‐catatan lapangan sehingga data‐data yang ada teruji validitasnya. Data dikumpulkan dari informan yang bersinggungan dengan klan Bisnis dan aktor‐aktor generasi pertama klan Bisnis. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, studi dokumentasi dan pengamatan. Kemudian ditafsirkan dengan berdasarkan hasil analisis untuk memperjelas fakta empiris dan dibuat kesimpulan data yang diperoleh tersebut.
37
H. Sistematika Pembahasan BAB I memberi pemahaman kepada pembaca tentang pokok permasalahan didalam penelitian ini. Bab ini bertujuan untuk menjelaskan landasan pemikiran dan landasan teoritik mengenai praktek‐praktek klan yang beredar selama ini dalam merebut jabatan publik. Bab awal ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, studi literatur, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab I ini berisi landasan pemikiran tesis dan kerangka operasional kerja tesis. Kemudian pada bab selanjutnya, BAB II menggambarkan sketsa historis dan profil klan. Ada dua watak yang dijelaskan pada bab ini, pertama karakter klan bisnis, dari proses kelahirannya hingga sistem pewaris bisnis klan. Kedua, anatomi klan politik hingga peta area kekuasaan klan politik. Sehingga bab ini bertujuan menjelaskan perubahan fungsi klan bisnis dengan jabatan politik. BAB III Menjelaskan strategi memperluas sumber daya klan, dalam bab ini pertama‐tama akan mengemukakan motivasi internal dan budaya politik sebagai struktur peluang ekternal klan yang berpotensi klan bisnis berkontestasi di arena politik. Bab ini menggambarkan kekuatan Sumber daya material yang dimiliki klan, dengan latar belakang klan pebisnis mereka mengkonversi sumber daya ekonomi menjadi sumber daya yang potensial untuk diaktulisasikan dalam percaturan politik. Kemudian dalam BAB IV akan menjelaskan strategi mobilisasi dalam merebut dukungan. Ada dua dukungan yang akan menjadi tolak keberhasilan klan, pertama dukungan politik, menggambarkan klan mengunakan sumber daya untuk meraih kekuasaan dalam politik lokal. Kedua, dukungan ekonomi yang menjadi basis kekuatan hingga klan bisnis dapat terbentuk semakin kuat. Pada BAB V akan menjadi bagian penutup sehingga akan memberikan kesimpulan dari penelitian ini dan refleksi teoretis atas kasus yang diteliti serta pada akhir tulisan mengutarakan keterbatasan hasil penelitian ini sebagai dasar perlunya studi lanjutan.
38