BAB I PENDAHULUAN
I. 1.
Latar Belakang Masalah Perkembangan
sosial
budaya,
politik,
ekonomi,
teknologi
serta
pertumbuhan penduduk yang cukup cepat, langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi tatanan sistem nilai dan budaya suatu bangsa. Arus perkembangan dan pertumbuhan tersebut seolah-olah berjalan dengan mulus dan menjadi kebanggaan suatu Negara. Kenyataan sebenarnya telah terjadi kesenjangan yang sangat mencolok. Di satu pihak telah terwujud bangunan-bangunan mewah yang dapat dibanggakan dan menjadi pusat perhatian. Tetapi di pihak lain, tidak jauh dari area tersebut tumbuh perkampungan kumuh yang sangat menyedihkan dan perlu mendapat perhatian khusus. Dalam perkampungan kumuh di Indonesia hampir 2/3 jumlah penduduknya adalah anak-anak, mereka pada umumnya tergolong anak-anak yang rentan permasalahan sosial dan perlu mendapat perlindungan khusus untuk menyelamatkannya (Prijono Tjiptoherijanto, 2003;15). Masalah Anak Jalanan termasuk di Kota Medan adalah persoalan sosial yang belum dapat diatasi oleh pemerintah secara komprehensif. Berbagai kebijakan dan tindakan telah dilakukan, termasuk anggaran yang dialokasikan setiap tahun dalam APBD untuk penanggulangan masalah tersebut. Namun persoalan sosial ini masih saja mewarnai kehidupan perkotaan. Jumlah mereka cenderung semakin meningkat setiap tahun. Bahkan, hingga tahun 2010 lalu Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara mengidentifikasi besaran anak jalanan di seluruh kota di provinsi Sumatera Utara jumlahnya mencapai 2.867 anak. Jumlah
Universitas Sumatera Utara
terbesar ada di 5 kota yaitu: Medan (663 anak), Dairi (530 anak) Tapanuli Tengah (225 anak), Nias Selatan (224 anak) dan Tanah Karo (157 anak). Sisanya tersebar di 25 kabupaten/kota lainnya. Secara statistik, memang sulit untuk memastikan jumlah yang akurat mengenai populasi anak jalanan tersebut. Namun, tidak dapat dibantahkan bahwa keberadaan anak jalanan selalu ada seiring pertumbuhan pembangunan kota. Hampir disemua persimpangan jalan kita bisa menemukan sekumpulan anak jalanan yang sedang melakukan aktifitasnya, dari mulai mengamen, menjual koran, pedagang asongan, atau sekedar bermain-main ditrotoar jalanan. Menurut hasil Laporan Penelitian ”Kaji ulang situasi anak jalanan Kota Medan dan Pengembangan Program Aksi” yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) tahun 2010, mayoritas anak jalanan adalah laki-laki sebanyak 79%, sementara anak jalanan perempuan 21%. Anak-anak tersebut memiliki jam kerja yang panjang rata-rata 5-11 jam (53%), bahkan 22% anak merupakan kelompok anak yang hidup dijalanan dengan waktu dijalan antara 1224 jam. Meski anak-anak ini bekerja dijalanan namun sebagiannya masih berstatus sekolah, sedikitnya ada 48,2% anak yang sekolah. Ada
berbagai
menghabiskan
faktor
sebagian
besar
yang
mempengaruhi
waktunya
berada
anak
sehingga
bisa
dijalan.
Faktor
yang
mempengaruhi biasanya tidak bersifat tunggal namun saling berhubungan dan saling berpengaruh antara satu dengan yang lainnya. Faktor ekonomi keluarga yang kurang mampu akan menuntut anak-anak untuk ikut menanggulanginya, atau paling tidak mengusahakan sendiri kebutuhan dirinya seperti untuk mendapatkan uang sekolah atau uang jajan. Faktor lingkungan, dimana sebagian
Universitas Sumatera Utara
anak-anak tertarik melihat kawannya mendapatkan uang dari kegiatan di jalanan seperti dengan menjadi tukang semir sepatu, pengamen, menjual koran dan bahkan dengan meminta-minta. Kehidupan anak jalanan sangat penuh resiko dan ancaman keselamatan baik fisik, mental, sosial dan intelektual anak. ancaman kekerasan dan eksploitasi adalah resiko terbesar yang dihadapi anak-anak setiap harinya. Mereka juga sangat rentan terlibat tindak kriminal dan perilaku negative lainnya seperti seks bebas, “ngelem” dan meninggalkan dunia sekolah. Banyak orang tua anak yang melakukan pembiaran terhadap keberadaan anak dijalanan, bahkan sebagian orang tua justru yang mengeksploitasi anak mereka sendiri dijalanan. Kondisi tersebut semakin hari semakin tidak dapat terkendali, padahal menurut UUD 1945, “anak terlantar dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak) yang diperkuat dengan UU Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).
Universitas Sumatera Utara
Lemahnya posisi anak dan tingginya resiko eksploitasi terhadap mereka mendorong dilaksanakannya program pemberdayaan (empowerment) yaitu mendorong orang untuk menampilkan dan merasakan hak-hak asasinya. Upaya pemberdayaan
ini
menjadi
agenda
LSM-LSM
untuk
program-program
penanganan anak jalanan dan pekerja anak dewasa ini. Salah satu bentuk program pemberdayaan yang dilakukan LSM adalah dengan mendirikan rumah singgah. Dimana rumah singgah ini akan berfungsi sebagai tempat tinggal mereka sementara dan sekaligus tempat mereka untuk mendapatkan bimbingan sosial, pendidikan jalanan, ekonomi jalanan, bimbingan keluarga, kesenian dan advokasi. Kesemuanya ini bertujuan untuk membentuk rasa percaya diri anak. Proses pemberdayaan yang dilakukan dalam rumah singgah mengutamakan partisipasi aktif orang untuk meraih keberdayaannya sendiri. Agar proses ini terlaksana ada tiga kondisi yang harus dipenuhi yaitu: pertemanan, kesetaraan dan partisipasi. Prinsip kesetaraan sangat penting karena dengan sendirinya dapat membebaskan buruh anak dari dominasi orang dewasa. Perwujudan prinsip kesetaraan melalui pertemanan ini terbukti efektif untuk menarik anak-anak agar terlibat dalam kegiatan ini. Berkaitan dengan program penanganan anak jalanan dan pekerja anak, Indrasari Tjandraningsih (1998) mengatakan kegiatan pendampingan dengan metode pendekatan Top Down, seperti program-program pemerintah, seringkali tidak menampakkan hasil nyata. Beberapa kegiatan yang semula dianggap dapat bermanfaat bagi anak jalanan ternyata justru mereka tolak, karena mereka merasa kurang relevan dengan kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya keterampilan kerja menjahit, bertenun, pertukangan dan lain-lain. Anak-anak yang
Universitas Sumatera Utara
sudah jenuh dengan kehidupan kerja menganggap kegiatan ini tidak menarik, karena itu program-program yang berisi pendidikan formal maupun keterampilan kurang diminati oleh mereka. Di sini kemudian diketahui kegiatan yang mereka minati yaitu kegiatan yang menyediakan kebutuhan untuk mengekspresikan diri dan kebutuhan untuk didengar, sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Program-program seperti kesenian, rekreasi, bercerita dan lain-lain lebih banyak mengundang minat mereka untuk berpartisipasi di dalamnya. Jenis kegiatan kesenian dan berunsur ekspresi kemudian diterapkan oleh banyak LSM karena telah dapat diidentifikasikan manfaatnya untuk mengukur tingkat keberdayaan kelompok sasaran, terutama dari daya kritis yang terus berkembang. Berkaitan dengan usia minimal anak bekerja, ada tiga metode pendekatan yang dianggap sebagai solusi menangani masalah anak jalanan, yaitu: pertama, open house system yaitu rumah singgah yang sifatnya sementara. Di sini anakanak dibina, dikenalkan dengan moral yang baik, menjadi anak yang sehat, beriman, disiplin, bersih. Kedua, Rumah singgah, anak yang ingin sekolah dicarikan sekolah dan dirumah ini ia tinggal hanya singgah, lalu kembali ke orang tuanya. Fungsinya untuk kembali kemasyarakat. Sedangkan yang ketiga, Boarding house system adalah rumah tunggu sementara, misalnya panti sosial remaja, selama 6 bulan dia diberi makan, diberi tempat tinggal, diberikan latihan sampai ia mendapat pekerjaan. Secara konsep ketiga metode tersebut cukup ideal, tetapi metode pendekatan tersebut sampai sekarang belum dapat dilaksanakan dengan baik, masih banyak rumah singgah yang tidak berjalan dengan baik. Kondisi terparah
Universitas Sumatera Utara
rumah singgah yang ada di Kota Medan terutama yang dikelola pemerintah adalah sulit untuk menemukan dimana posisi rumah singgah tersebut, dan kalaupun ada ditemukan lokasinya tidak ada anak jalanan yang melakukan aktifitas didalamnya. Hal ini disebabkan
banyak rumah singgah yang dikelola pemerintah tidak
memiliki perspektif anak, dan banyak sekali rumah singgah yang di bangun pemerintah, tidak memberi kenyamanan sehingga banyak rumah singgah yang hanya menjadi rumah kosong tanpa penghuni. Yang lebih ironisnya lagi, program pemberdayaan anak jalanan melalui rumah singgah yang dilakukan pemerintah hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi oknum-oknum pemerintah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Oknum-oknum pemerintah tersebut membuat sebuah yayasan rumah singgah yang pada kenyataannya adalah fiktif, artinya diatas kertas yayasan tersebut ada, tetapi dilapangan kita sulit untuk menemuinya. Yayasan fiktif ini tujuannya untuk menyerap dana APBD yang dialokasikan untuk Program Kesejahteraan Sosial Anak, dalam hal ini adalah Anak Jalanan di Kota Medan. Hal ini dapat terlihat dari 17 rumah singgah yang dibangun Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, hanya 40% rumah singgah yang relative masih aktif. Pemerintah Kota Medan sangat menyadari bahwa persoalan ini tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Pemerintah, karena secara de jura dan de facto pemerintah telah berusaha melakukan pencegahan dan pembinaan terhadap anak jalanan seperti yang sudah dilaksanakan pada tahun 2010 oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan. Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah pekerja anak di Indonesia pada bulan juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan
Universitas Sumatera Utara
sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah sebagai salah satu metode pendekatan terhadap anak jalanan menjalankan berbagai macam program pelayanan untuk anak jalanan. Setiap program yang dilaksanakan haruslah mendatangkan manfaat dan kebutuhan anak jalanan itu sendiri. Rumah singgah yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini adalah Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) yang didirikan oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) yang beralamat di Jl. Hasan Basri - No.3, Pinang Baris - Medan. PKPA sebagai salah satu LSM yang konsern terhadap perlindungan anak khususnya di Kota Medan, melihat semakin hari fenomena anak jalanan di Kota Medan semakin tinggi. Untuk itu sejak tahun 1998 PKPA merasa perlu mendirikan sanggar yang saat itu masih berbasis rumah singgah bagi anak-anak jalanan di sekitar kawasan Terminal Pinang Baris, dalam perkembangannya terbentuklah SKA. SKA mengkhususkan kegiatannya pada kegiatan pencegahan, perlindungan dan pengembangan minat dan bakat anak jalanan dan miskin kota. Kegiatan SKA awalnya berupa pendampingan dan pemberdayaan anak jalanan misalnya belajar membaca, berhitung dan menulis. Rumah Singgah SKA dipandang cukup berhasil menjalankan fungsinya sebagai tempat mereka untuk mendapatkan Pendidikan dan Keterampilan dimana selain mereka akan diberi pendidikan dan keterampilan tambahan, para
Universitas Sumatera Utara
pendamping juga terus memberikan motivasi dan sugesti kepada anak-anak untuk tetap bersekolah. Untuk pendampingan bidang Seni dan Musik saat ini di Rumah Singgah SKA telah terbentuk 3 (tiga) grup music yang telah melakukan beberapa rekaman lagu-lagu karya mereka. Untuk anak-anak yang mempunyai bakat di bidang Olahraga juga difasilitasi oleh SKA, saat ini SKA memiliki Sekolah Sepak Bola yang secara rutin dilibatkan dalam turnamen-turnamen sepak bola di seputaran Kota Medan. Kesemua itu dilakukan untuk meningkatkan derajat anak jalanan yang selama ini dipandang sebagai sampah masyarakat menjadi anak-anak yang kreatif dan inovatif. Hal ini dapat dilihat dari capaian-capaian yang selama ini dilakukan oleh SKA. Saat ini ada 250 anak jalanan dikawasan Kota Medan yang menjadi dampingan SKA, dari 250 anak jalanan tersebut, ada …. Anak jalanan yang melakukan aktifitas langsung di SKA. Mengajak anak jalanan untuk mau melakukan aktifitas bersama di rumah singgah bukanlah sesuatu hal yang mudah. Perlu menyusun suatu strategi pendekatan yang strategis, yaitu pendekatan berbasis penjangkauan anak-anak di jalanan (street base). Model penjangkauan tersebut dilakukan dengan cara turun kejalanan di tempat-tempat biasa anak jalanan melakukan aktifitasnya di beberapa titik persimpangan di Kota Medan. Dalam proses penjangkauan tersebut, pendamping melakukan interaksi tatap muka langsung secara terus menerus sehingga terbangun rasa kepercayaan dan kedekatan secara emosional antara pendamping dengan anak jalanan. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan cara membangun komunikasi antarpribadi yang efektif. Untuk mencapai komunikasi yang efektif, perlu menyusun strategi komunikasi yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan melihat keberhasilan Rumah Singgah SKA dalam menjangkau anak jalanan di Kota Medan untuk beraktifitas bersama di Rumah Singgah, menunjukkan bahwa SKA cukup layak dijadikan tempat untuk melihat Strategi Komunikasi yang mereka lakukan terhadap anak jalanan di Kota Medan. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian mengenai Analisis Strategi Komunikasi Antar Pribadi Yayasan Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA) Dalam Melakukan Pendampingan Anak Jalanan (Street Base) Di Kota Medan (Studi Kasus Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) binaan PKPA).
I. 2.
Perumusan Masalah Adapun perumusan masalah yang menjadi pokok penelitian adalah
Bagaimanakah strategi komunikasi antar pribadi yang dilakukan Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) dalam melakukan Pendampingan Anak Jalanan (Street Base) di Kota Medan?
I. 3.
Pembatasan Masalah Ruang lingkup penelitian yang terlalu luas yang dapat mengaburkan
penelitian dapat dihindari peneliti dengan cara melakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah: a.
Fokus Penelitian ini untuk mengetahui strategi komunikasi antar pribadi yang dilakukan Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) dalam melakukan Pendampingan Anak Jalanan (Street Base) di Kota Medan tahun 2010.
Universitas Sumatera Utara
b.
Objek penelitian ini adalah pendamping anak jalanan di Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) Jl. Hasan Basri - No.3, Pinang Baris - Medan.
I. 4.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui strategi komunikasi antar pribadi yang dilakukan
Rumah
Singgah
Sanggar
Kreatifitas
Anak
(SKA)
dalam
Melakukan
Pendampingan Anak Jalanan (Street Base) di Kota Medan.
I. 5.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Secara
akademisi,
hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memperkaya khasanah penelitian serta menambah bahan referensi dan
sumber
bacaan
dilingkungan
FISIP
USU
khususnya
Departemen Ilmu Komunikasi. b.
Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
bagi perkembangan
ilmu
komunikasi,
khususnya
mengenai Strategi Komunikasi. c.
Secara praktisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Yayasan PKPA dan Rumah Singgah Sanggar Kreatifitas Anak (SKA), pemerintah khususnya Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, aktivis LSM dan stakeholder lainnya dalam melakukan program pendampingan anak jalanan dengan menggunakan Strategi Komunikasi Antar Pribadi yang baik.
Universitas Sumatera Utara
I. 6.
Kerangka Teori Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 40). Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proporsi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variable, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2007: 6). Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
I.6. 1. Penelitian Kualitatif Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berguna untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru. Penelitian kualitatif biasanya mengejar data verbal yang lebih mewakili fenomena dan bukan angka-angka yang penuh prosentaase dan merata yang kurang mewakili keseluruhan fenomena. Dari penelaitian kualitatif tersebut, data yang diperoleh dari lapangan biasanya tidak terstruktur dan relative banyak, sehingga
memungkinkan
peneliti
untuk
menata,
mengkritis,
dan
mengklasifikasikan yanglebih menarik melalui penelitian kualitatif. Istilah penelitian kualitatif, awalnya beraasal dari sebuah pengamatan pengamatan kuantitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kualitatif (Suwardi Endraswara, 2006:81).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Brannen (1997:9-12), secara epistemologis memangada sedikit perbedaan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif. Jika penelitian kuantitatif selalu menentukan data dengan variabel-veriabel dan kategori ubahan, penelitian kualitatif justru sebaliknya. Perbedaan penting keduanya, terletak pada pengumpulan data. Tradisi kualitatif, peneliti sebagai instrument pengumpul data, mengikuti asumsi cultural, dan mengikuti data. Penelitian kualitatif (termasuk penelitian historis dan deskriptif) adalah penelitian yang tidak menggunakan model-model matematik, statistik atau komputer. Proses penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan argumentasi. Dalam penelitian kualitatif informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pendapat peneliti sendiri. Penelitian kualitatif banyak diterapkan dalam penelitian historis atau deskriptif. Penelitian kualitatif mencakup berbagai pendekatan yang berbeda satu sama lain tetapi memiliki karakteristik dan tujuan yang sama. Berbagai pendekatan tersebut dapat dikenal melalui berbagai istilah seperti: penelitian kualitatif, penelitian lapangan, penelitian naturalistik, penelitian interpretif, penelitian etnografik, penelitian post positivistic, penelitian fenomenologik, hermeneutic, humanistik dan studi kasus. Metode kualitatif menggunakan beberapa bentuk pengumpulan data seperti transkrip wawancara terbuka, deskripsi observasi, serta analisis dokumen dan artefak lainnya. Data tersebut dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang memaknainya. Hal ini dilakukan karena tujuan penelitian kualitatif
Universitas Sumatera Utara
adalah untuk memahami fenomena dari sudut pandang partisipan, konteks sosial dan institusional. Sehingga pendekatan kualitatif umumnya bersifat induktif. Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.
I.6. 2. Komunikasi dan Strategi Komunikasi a.
Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari bahasa Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa
Universitas Sumatera Utara
percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila keduanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. (Effendy, 1993: 9). Harold Laswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society, mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah menjawab pertanyaan sebagai berikut : Who says what in which channel to whom with what effect? Paradigma Lasswell tersebut menunjukan bahwa komunikasi meliputi lima unsure sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni: komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media), komunikan (communicant, receiver, recipient), efek (effect, impact, influence). Jadi berdasarkan paradigm Lasswell tersebut,
komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh
komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2006: 10). b.
Strategi Komunikasi
Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi strategi bukan merupakan peta yang hanya menunjukan jalan dalam menuju tujuan saja, melainkan harus bisa menunjukan bagaimana taktik operasionalnya. Dalam Keberhasilan kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh penentuan strategi komunikasi. Menurut Onong Uchjana Effendi dalam buku berjudul “Dimensi-dimensi Komunikasi” menyatakan bahwa: “.... strategi komunikasi merupakan panduan dari perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen (communications management) untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut strategi komunikasi harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya secara taktis harus dilakukan,
Universitas Sumatera Utara
dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu tergantung dari situasi dan kondisi”. (1981: 84).
Sedangkan menurut Anwar Arifin dalam buku ‘Strategi Komunikasi’ menyatakan bahwa: “….. Sesungguhnya suatu strategi adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan, guna mencapai tujuan. Jadi merumuskan strategi komunikasi, berarti memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan waktu) yang dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektivitas. Dengan strategi komunikasi ini, berarti dapat ditempuh beberapa cara memakai komunikasi secara sadar untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan mudah dan cepat. (1984:10)
Dalam rangka menyusun strategi komunikasi akan lebih baik apabila memperhatikan unsur-unsur komunikasi, proses komunikasi, metode komunikasi, teknik
komunikasi,
komponen-komponen
komunikasi
dan
factor-faktor
pendukung dan penghambat pada setiap komponen tersebut.
Unsur-unsur Komunikasi Dari beberapa hasil definisi yang pernah dikemukakan oleh ahli komunikasi, maka suatu rancangan komunikasi agar dapat efektif, komunikator perlu lebih dahulu memahami unsur-unsur utama yang mendasari komunikasi, yaitu : 1)
Sumber, Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi.
2)
Pesan, Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima.
Universitas Sumatera Utara
3)
Media, Media yang dimaksud disini adalah ialah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima.
4)
Penerima, Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber.
5)
Pengaruh, Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.
6)
Tanggapan, Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsure lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima.
7)
Lingkungan, Lingkungan atau situasi ialah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu.
Metode Komunikasi Dalam hal penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan banyak cara (metode) yang ditempuh, hal ini tergantung pada macam-macam tingkat pengetahuan, pendidikan, sosial budaya dan latar belakang dari komunikan sehingga komunikator harus dapat melihat metode atau cara apa yang akan dipakai supaya pesan yang disampaikan mengenai sasaran. Ada tiga Metode atau
Universitas Sumatera Utara
cara komunikasi tersebut antara lain : Komunikasi sebagai tindakan satu arah, komunikasi sebagai interaksi, dan komunikasi sabagai transaksi. 1)
Komunikasi sebagai tindakan satu arah
Pemahaman komunikasi sebagai proses searah sebenarnya kurang sesuai bila diterapkan pada komunikasi tatap-muka, namun mungkin tidak terlalu keliru bila diterapkan pada komunikasi public (pidato) yang tidak melibatkan tanya jawab dan komunikasi massa (cetak dan elektronik). Pemahaman komunikasi sebagai proses searah ini oleh Michael Burgoon disebut sebagai ‘definisi berorientasi-sumber’. Definisi seperti ini mengisyaratkan komunikasi sebagai semua kegiatan yang secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan respon orang lain. Komunikasi ini dianggap suatu tindakan untuk membangkitkan respon orang lain. Komunikasi ini dianggap suatu tindakan yang disengaja untuk menyampaikan pesan demi memenuhi kebutuhan komunikator, seperti menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau membujuknya untuk melakukan sesuatu. Dengan kesimpulan komunikasi satu arah menyoroti penyampaian pesan yang efektif dan mengisyaratkan bahwa semua kegiatan bersifat persuasif. 2)
Komunikasi sebagai Interaksi
Pandangan ini menyertakan komunikasi dengan suatu proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau nonverbal, seseorang penerima bersaksi dengan memberi jawaban verbal kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis dari pada komunikasi sebagai tindakan satu arah. Salah satu unsure
Universitas Sumatera Utara
yang dapat ditambahkan dalam metode ini adalah umpan balik (feed back), yaitu apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan, yang sekaligus digunakan sumber pesan sebagai petunjuk mengenai efektivitas pesan yang disampaikan sebelumnya, apakah dapat dimengerti atau dapat diterima sehingga berdasarkan umpan balik, sumber dapat mengubah pesan selanjutnya agar sesuai dengan tujuannya. Suatu pesan disebut umpan balik bila hal itu merupakan respons terhadap pesan pengirim dan bila mempengaruhi prilaku selanjutnya pengirim. Konsep umpan balik dari penerima sebenarnya merupakan pesan penerima yang disampaikan kepada pengirim pertama, jawaban pengirim pertama merupakan umpan balik bagi penerima pertama. 3)
Komunikasi sebagai Transaksi
Metode komunikasi ini adalah suatu proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Metode ini bersifat dinamis dan juga lebih sesuai untuk komunikasi tatap muka yang memungkinkan pesan atau respons verbal dan nonverbal bisa diketahui secara langsung. Kelebihan metode ini adalah bahwa komunikasi tersebut tidak membatasi pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal ataupun perilaku nonverbalnya. Istilah transaksional mengisyaratkan bahwa pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam keadaan interpendensi atau timbal balik, eksestensi satu pihak ditentukan oleh eksistensi pihak lainnya. Pendekatan transaksi menyarankan bahwa semua unsur dalam proses komunikasi saling berhubugan. (Mulayan, 2005:61-68).
Universitas Sumatera Utara
Teknik Komunikasi Begitu pentingnya komunikasi bagi manusia, dan agar komunikasi dapat mencapai sasarannya dan dapat berjalan dengan efektif, maka diperlukan teknikteknik komunikasi dalam berkomunikasi yaitu dengan memunculkan ide yang jelas sebelum berkomunikasi, kemudia membuat tujuan komunikasi, setelah itu sebelum berkomunikasi dengan komunikan terlebih dahulu periksa lingkungan fisik atau keberadaan pribadi komunikan. Selanjutnya didalam berkomunikasi komunikator senantiasa mengimbangi isi dan nada suara supaya pesan yang disampaikan dapat dengan jelas diterima komunikan. Dalam merencanakan komunikasi, berkonsultasi kepada pihak lain agar memperoleh dukungan. Setelah itu, didalam berkomunikasi isi pesan yang disampaikan diutamakan hal-hal yang penting atau berharga. Mengkomunikasikan pesan-pesan secara singkat, komunikasi yang efektif diperlukan ada tindak lanjut dan tindakan komunikator harus sesuai dengan yang dikomunikasikan. Dan yang terakhir jadilah pendengar yang baik. (http://bandono.web.id/files/makalah-komunikasi.pdf)
I.6. 3. Komunikasi Antar Pribadi Menurut Dean C. Barnlund (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi biasanya dihubungkan dengan pertemuan antar dua orang atau tiga orang atau mungkin empat orang yang terjadi secara sangat spontan dan tidak berstruktur. Ada juga definisi lain menurut Rogers dalam Depari (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu de Vito (Liliweri, 1991:12), komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. De Vito juga mengemukakan suatu komunikasi antar pribadi mengandung ciri-ciri; 1)
Keterbukaan (Opennes), Sikap keterbukaan paling tidak menunjuk pada dua aspek dalam komunikasi antarpribadi. Pertama, kita harus terbuka pada orang lain yang berinteraksi dengan kita, agar orang lain mampu mengetahui pendapat, gagasan, atau pikiran kita, sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Kedua, dari keterbukaan menunjuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain secara jujur dan terus terang terhadap segala sesuatu yang dikatakannya.
2)
Empati (Empathy), Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi atau peranan orang lain. Dalam arti bahwa seseorang secara emosional ataupun intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain.
3)
Dukungan (Support), Setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan
mendapat
dukungan
dari
pihak-pihak
yang
berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. 4)
Rasa
Positif
(positivnes),
Jika
setiap
pembicaraan
yang
disampaikan mendapat tanggapan pertama yang positif, maka lebih mudah melanjutkan percakapan yang selanjutnya. Rasa positif
Universitas Sumatera Utara
menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga atau berprasangka yang mengganggu jalinan interaksi. 5)
Kesamaan (Equality), Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antarpribadi pun lebih kuat, apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, kesamaan sikap, kesamaan usia, kesamaan idiologi dan sebagainya.
Komunikasi Antarpribadi merupakan kegiatan yang dinamis, dengan tetap memperhatikan kedinamisannya, komunikasi antarpribadi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Hardjana, 2003:86): 1)
Komunikasi antarpribadi adalah verbal dan nonverbal Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal atau nonverbal. Dalam komunikasi itu, seperti pada komunikasi umumnya, selalu mencakup dua unsur pokok: isi pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal. Untuk efektifnya, kedua unsur itu sebaiknya diperhatikan dan dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesannya.
2)
Komunikasi antarpribadi mencakup perilaku tertentu, yakni : a)
Perilaku spontan (spontaneus behavior) adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif. Artinya, perilaku itu terjadi begitu saja.
Universitas Sumatera Utara
b)
Perilaku menurut kebiasaan (script behavior) adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti orang.
c)
Perilaku sadar (contrived behavior) adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada. Perilaku itu dipikirkan dan dirancang sebelumnya, dan disesuaikan dengan orang yang akan dihadapi, dan situasi serta kondisi yang ada.
3)
Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang berproses pengembangan Komunikasi antarpribadi berbeda-beda tergantung dari tingkat hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan cara pesan disampaikan. Komunikasi itu berkembang berawal dari saling pengenalan yang dangkal, berlanjut makin mendalam, dan berakhir dengan saling kenal yang amat mendalam, tetapi bisa juga putus sampai akhirnya saling melupakan.
4)
Komunikasi antarpribadi mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi Kemungkinan umpan balik (feed back) dalam komunikasi antarpribadi besar sekali. Dalam komunikasi ini, penerima pesan dapat langsung menanggapi dengan menyampaikan umpan balik. Dengan demikian, di antara pengirim dan penerima pesan terjadi interaksi (interaction) yang satu mempengaruhi yang lain, dan
Universitas Sumatera Utara
kedua-duanya saling mempengaruhi dan memberi serta menerima dampak. Dari sini terjadilah koherensi dalam komunikasi baik antara pesan yang disampaikan dan umpan balik yang diberikan, maupun dalam keseluruhan komunikasi. 5)
Komunikasi antarpribadi berjalan menurut peraturan tertentu Agar berjalan baik, maka komunikasi antarpribadi hendaknya mengikuti peraturan (rules) tertentu. Peraturan itu ada yang intrinsik dan ada yang ekstrinsik. Peraturan intrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarakat untuk mengatur cara orang harus berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan peraturan ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan oleh situasi atau masyarakat.
6)
Komunikasi antarpribadi adalah kegiatan aktif, Komunikasi antarpribadi bukan hanya komunikasi dari pengirim kepada penerima pesan dan sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim dan penerima pesan. Komunikasi ini bukan sekedar serangkaian rangsangan-tanggapan, stimulusrespons, tetapi serangkaian proses saling penerimaan, penyerapan, dan penyampaian tanggapan yang sudah diolah oleh masingmasing pihak.
7)
Komunikasi antarpribadi saling mengubah Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dapat saling memberi inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan topik yang dibahas bersama. Oleh sebab itu, komunikasi ini merupakan wahana untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan kepribadian. Kemudian Hardjana (2003:91) juga menyatakan agar komunikasi antarpribadi berhasil, kita perlu memiliki kecakapan (skill) komunikasi antarpribadi baik sosial maupun behavioral. Kecakapan sosial adalah kecakapan pada tingkat pemahaman (kognitif), yang meliputi: 1)
Empati (empathy), kecakapan untuk memahami pengertian dan perasaan orang lain tanpa meninggalkan sudut pandang sendiri tentang hal yang menjadi bahan komunikasi.
2)
Perspektif
sosial
(social
perspective),
kecakapan
melihat
kemungkinan-kemungkinan perilaku yang dapat diambil orang yang berkomunikasi dengan dirinya. Dengan demikian kita dapat meramalkan perilaku apa yang sebaiknya diambil dan dapat menyiapkan tanggapan kita yang tepat dan efektif. 3)
Kepekaan (sensitivity) terhadap peraturan atau standar yang berlaku dalam komunikasi antarpribadi. Dengan kepekaan itu kita dapat menetapkan perilaku mana yang diteima dan perilaku mana yang ditolak oleh rekan yang berkomunikasi dengan kita.
4)
Pengetahuan akan situasi pada waktu berkomunikasi. Pengetahuan akan situasi dan keadaan orang merupakan pegangan bagaimana kita harus berperilaku dalam situasi itu. Berdasarkan pengetahuan akan situasi, kita dapat menetapkan kapan dan bagaimana masuk
Universitas Sumatera Utara
dalam percakapan, menilai isi dan cara berkomunikasi pihak yang berkomunikasi dengan kita, dan selanjutnya mengolah pesan yang kita terima. 5)
Memonitor diri (self-monitoring), kecakapan memonitor diri membantu kita menjaga ketepatan perilaku dan jeli memperhatikan pengungkapan diri orang yang berkomunikasi dengan kita.
Sedangkan kecakapan behavioral merupakan kecakapan pada tingkat perilaku, yang meliputi: 1)
Keterlibatan interaktif (interactive involvement), yang menentukan keikutsertaan dan partisipasi kita dalam komunikasi dengan orang lain, meliputi: a)
Sikap tanggap (responsiveness), dengan sikap ini kita dengan cepat akan membaca situasi sosial di mana kita berada dan tahu apa yang harus dikatakan, dilakukan, kapan dikatakan dan dilakukan, serta bagaimana dikatakan dan dilakukan.
b)
Sikap perseptif (perceptiveness), dengan kecakapan ini kita dibantu
untuk
memahami
bagaimana
orang
yang
berkomunikasi dengan kita mengartikan perilaku kita dan tahu bagaimana kita mengartikan perilakunya. c)
Sikap penuh perhatian (attentiveness), kecakapan ini membantu kita untuk
menyadari faktor-faktor yang
menciptakan situasi di mana kita berada.
Universitas Sumatera Utara
2)
Manajemen interaksi (interaction management), kecakapan itu membantu kita mampu mengambil tindakan-tindakan yang berguna bagi kita untuk mencapai tujuan komunikasi kita. Misalnya, kapan mengambil inisiatif untuk mengawali topik baru, dan kapan mengikuti saja topik yang dikemukakan orang lain.
3)
Keluwesan
perilaku
(behavioral
flexibility),
kecakapan
ini
membantu kita untuk melaksanakan berbagai kemungkinan perilaku yang dapat diambil untuk mencapai tujuan komunikasi. 4)
Mendengarkan (listening), kecakapan ini membantu kita untuk dapat mendengarkan orang yang berkomunikasi dengan kita tidak hanya isi, tetapi juga perasaan, keprihatinan, dan kekhawatiran yang menyertainya. Sehingga kita menjadi rekan komunikasi yang baik karena membuat orang tersebut merasa diterima, dan kita dapat menanggapinya dengan baik.
5)
Gaya sosial (social style), kecakapan ini membantu kita dapat berperilaku menarik, khas, dan dapat diterima oleh orang yang berkomunikasi dengan kita.
6)
Kecemasan
komunikasi
(communication
anxiety),
dengan
kecakapan ini kita dapat mengatasi rasa takut, bingung, dan kacau pikiran, tubuh gemetar, dan rasa demam panggung yang muncul dalam komunikasi dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
I.6. 4. Pengertian Anak Jalanan Menurut lisa (1996) anak jalanan adalah anak-anak yang bekerja di jalanan. Studi yang dilakukan oleh Soedijar (1989/1990) menunjukkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia antara 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan dapat mengganggu ketentraman dan keselarnatan orang lain serta mebahayakan dirinya sendiri. Sementara itu, Direktorat Bina Sosial DKI menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja mengemis atau menganggur saja. Panti Asuhan klender mengatakana bahwa anak jalanan adalah anak yang sudah biasa hidup sangat tidak teratur di jalan raya, bisa diambil bekerja tetapi dapat juga hanya menggelandang sepanjang hari (Kirik Ertanto dalam www.humana.20m.com/babl/htm). Hasil temuan lapangan yang diperoleh panji Putranto menunjukkan bahwa ada dua tipe anak jalanan, yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan antara kedua kategori ini adalah kontak dengan orang tua. Mereka yang bekerja masih memiliki kontak dengan orang tua sedang yang hidup di jalanan sudah putus hubungan dengan keluarga. Hal ini sejalan dengan kategori anak jalanan menurut Azas Tigor Nainggolan menunjukkan ada tiga kategori anak-anak yang bekerja di jalanan. Pertama, anak-anak miskin perkampungan kumuh yaitu anak-anak kaum urban yang tinggal bersama orang tuanya di kampung-kampung yang tumbuh secara liar di perkotaan. Kedua, pekerja anak perkotaan yaitu mereka yang hidup dan bekerja tetapi tidak tinggal bersama orang tua. Kategori ketiga, adalah anak-anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarga (Kirik Ertanto
& Siti Rohana dalam \vww. humana. 20m.
com/babll/htm).
Universitas Sumatera Utara
Perlu ditegaskan disini, pengertian anak jalanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya.
BAB II
Universitas Sumatera Utara