BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ini membahas tentang permasalahan yang menyebabkan advokasi Pengarusutamaan Gender (PUG) yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY belum optimal. Hal tersebut dimulai dari adanya temuan awal bahwa advokasi yang dilakukannya tersebut masih menemui kendala sehingga membuat advokasi ini masih kurang optimal dalam mencapai tujuannya. Advokasi PUG ini merupakan upaya dari BPPM DIY untuk mempengaruhi kebijakan, program kerja, maupun kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di DIY agar lebih berorientasi pada PUG. Dalam pengertian lain, advokasi PUG ini berarti BPPM DIY menguatkan dan mendukung PUG ini agar dilaksanakan oleh setiap SKPD. Advokasi yang dilakukan oleh BPPM ini sifatnya horizontal karena bersifat setara dengan SKPD lainnya yang ada di lingkungan Pemerintah DIY. Lalu, mengapa ini menjadi penting untuk diteliti, hal tersebut akan diuraikan dibawah ini. PUG sendiri mulai terdengar sejak adanya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini pada intinya mengamanatkan bahwa perlu adanya upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembangunan. PUG ini kemudian harus dilaksanakan oleh setiap lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah,
1
2
sehingga mereka harus mengoperasonalisasikan PUG kedalam bentuk kebijakan, program atau kegiatan strategis di sektor pembangunan masing-masing. Hal tersebut rupanya dihadapkan pada sejumlah tantangan, diantaranya adalah tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga pemerintah yang berbeda. Selain itu, pemahaman SDM yang beranekaragam membuat tidak semua lembaga pemerintah tersebut mengenal dan memahami tentang integrasi isu gender dalam pembangunan ini. Disisi lain, mereka sama-sama dituntut untuk mampu menjadikan gender sebagai arus utama dalam setiap kebijakan, program dan kegiatan masing-masing. Tentu bukan hal yang mudah untuk dapat melaksanakan PUG ini. Maka dari itu, BPPM DIY sebagai pemegang mandat utama terkait PUG di DIY berkewajiban mempengaruhi setiap instansi yang ada di dalam lingkup Pemerintah DIY untuk melaksanakan PUG sesuai dengan bidang kerja masingmasing sektor. Hal tersebut kemudian diwujudkan dalam upaya advokasi yang dilakukan kepada seluruh SKPD di dalam lingkup Pemerintah DIY. Advokasi kebijakan pada dasarnya penting dilakukan karena justru seringkali kegagalan suatu kebijakan disebabkan oleh kurangnya dukungan dari pemegang otoritas (Notoatmodjo, 2005:205). Akibatnya tentu alokasi anggaran untuk mendukung kebijakan tersebut juga rendah, sarana dan prasarana juga kurang mendukung, serta tidak ada kebijakan lain yang menguntungkan kebijakan tersebut. Advokasi menjadi salah satu jalan untuk memperoleh dukungan dan komitmen para pemegang otoritas, terlebih lagi jika kebijakan tersebut sifatnya lintas sektoral.
3
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa advokasi memiliki peran penting dan dilakukan untuk mempengaruhi dan mendorong perubahan ke arah yang ingin diinginkan melalui upaya memperoleh dukungan dan komitmen para pemegang otoritas di tiap SKPD. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Soemantri (2005:107) bahwa untuk mendorong PUG agar dapat dilaksanakan maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan advokasi. Ia menambahkan bahwa kegiatan advokasi ini ditujukan kepada para pengambil kebijakan baik di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam berbagai bentuk, serta dilakukan juga kepada media dan masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan yang dilakukan oleh BPPM DIY bahwa pada dasarnya upaya advokasi yang dilakukan tidak sebatas pada SKPD yang ada di DIY tetapi juga lembaga legislatif, Lembaga Swadaya Masyarakat (terutama yang bergerak di bidang perempuan), dan langsung pada masyarakat di level kecamatan. Namun pada penelitian ini fokus utamanya adalah pada advokasi yang dilakukan oleh BPPM DIY kepada SKPD. Selama ini BPPM DIY telah berupaya melakukan advokasi PUG untuk mengubah pandangan, memberikan pemahaman, dan mendorong agar pihak lain 1 berkomitmen dalam mendukung dan melaksanakan kebijakan PUG. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan PUG, BPPM DIY memerlukan bantuan dari seluruh SKPD di DIY. Hal ini juga memerlihatkan bahwa PUG merupakan isu yang lintas bidang dan lebih luas dari sekedar urusan bagian pemberdayaan perempuan sendiri. Sehingga SKPD dalam 1
Pihak lain ini diantaranya adalah SKPD yang ada di DIY, lembaga legislatif, Lembaga Swadaya Masyarakat (terutama yang bergerak di bidang perempuan), dan masyarakat di level kecamatan.
4
hal ini justru memiliki peran sebagai ujung tombak pelaksanaan PUG. Maka dari itu, agar SKPD tersebut tergerak untuk menerapkan PUG maka BPPM DIY melakukan upaya advokasi. Namun, nyatanya sebagian besar SKPD masih banyak menemui hambatan yang membuat mereka masih kesulitan dalam melaksanakan PUG. Selain karena memang isu gender dianggap bukan merupakan tugas pokok dan fungsi lembaganya, hambatan lain datang dari rendahnya komitmen. Pangkal dari hambatan-hambatan itu adalah rendahnya pemahaman dan kemampuan dalam mengintegrasikan isu gender di lembaganya. Selain itu, menurut Laporan Evaluasi PUG2 disampaikan bahwa PUG belum dapat seutuhnya dianggap penting sebagai salah strategi yang harus dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan dampak dari kebijakan ini tidak dapat langsung terasa manfaatnya atau dengan kata lain bahwa investasi pada bidang ini merupakan investasi jangka panjang, berbeda halnya jika investasi pada pembangunan yang bersifat fisik yang seringkali menarik bagi sebagian besar pihak. Selain itu, dalam laporan tersebut diungkap juga bahwa PUG masih dianggap sebagai sesuatu yang baru dan bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk diterima. Hal ini karena PUG erat kaitannya dengan perubahan mind set yang sulit untuk diubah. Mengubah pandangan, memberikan pemahaman dan mendorong agar pihak lain berkomitmen terhadap sesuatu hal tentu bukan persoalan mudah. Terbukti dengan walaupun kebijakan PUG ini sudah ada sejak 16 tahun yang lalu, namun nyatanya isu gender dalam pembangunan belum dapat terintegrasi secara 2
Laporan ini dibuat oleh Bappenas RI yang bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2006. Evaluasi ini dilakukan pada sembilan sector pembangunan.
5
optimal. Untuk di DIY sendiri masih banyak SKPD yang belum dapat melaksanakan PUG dengan baik di sektor pembangunan masing-masing. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kasubbid PUG BPPM DIY 3 bahwa PUG belum dianggap penting oleh semua SKPD dan ia juga menambahkan bahwa saat ini belum setengah dari seluruh SKPD yang ada DIY yang mampu mengikuti evaluasi PUG yang dilakukan oleh BPPM DIY. Berikut adalah daftar SKPD di DIY yang telah mengikuti evaluasi PUG yang dilakukan oleh BPPM DIY 4: 1. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan ESDM Provinsi DIY 2. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY 3. Dinas Pertanian Provinsi DIY 4. Dinas Kesehatan Provinsi DIY 5. Badan Kepegawaian Daerah DIY 6. Bappeda Provinsi DIY 7. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DIY 8. RS Grasia Provinsi DIY 9. Dinas Sosial Provinsi DIY 10. Dinas Perindustrian Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Provinsi DIY 11. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Provinsi DIY 12. Inspektorat Provinsi DIY 13. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY Sumber: Dokumen Evaluasi PUG, BPPM DIY, 2015
3
Wawancara dilakukan pada tanggal 29 Mei 2015 di Kantor BPPM DIY. Evaluasi ini menggunakan sejumlah indikator sesuai dengan yang tertera dalam Pergub DIY No.116 Tahun 2014 Tentang Pedoman PPRG. Ada tiga komponen yang dievaluasi yaitu pada perencanaa, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban. Evaluasi ini dilakukan dengan cara membandingkan total skor yang dicapai dengan total skor ideal dikalikan 100%. Ada tiga kategori hasil penilaian SKPD yaiu responsif gender, kurang responsif dan belum responsif. 4
6
DIY memiliki total 34 SKPD dan hanya sekitar 13 SKPD saja yang telah mengikuti evaluasi. Hal ini berarti masih banyak yang belum mampu memenuhi seluruh atau sebagian instrumen yang ditetapkan oleh BPPM DIY dalam pelaksanaan PUG. Hal ini yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan, selain mengenai kapasitas SKPD untuk melaksanakan PUG, pertanyaan lain yang tentu seharusnya lebih dahulu dipertanyakan adalah tentang seberapa besar efektifitas advokasi yang dilakukan oleh BPPM DIY. Hal ini lah yang menjadi temuan awal yang mengindikasikan adanya permasalahan sehingga membuat advokasi yang dilakukan oleh BPPM DIY belum dapat secara optimal mencapai tujuannya. Untuk lebih dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai advokasi yang sebelumnya telah diindikasikan belum mencapai hasil yang optimal, maka kita dapat membandingkan antara tujuan advokasi dengan hasil nyata yang diperoleh dari upaya advokasi PUG yang dilakukan oleh BPPM DIY. Advokasi setidaknya memiliki beberapa tujuan pokok yaitu adanya komitmen politis, dukungan kebijakan, dukungan sistem, dan penerimaan sosial (Notoadmodjo, 2005:207). Keempat hal tersebut akan dibahas satu persatu yang kemudian dibandingkan dengan kondisi sebenarnya: Pertama, tujuan advokasi adalah untuk mendorong lahirnya komitmen politis para pemegang otoritas. Adanya komitmen politis terhadap kebijakan PUG dapat memberi indikasi bahwa advokasi yang dilakukan telah efektif. Komitmen ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman sehingga komitmen politis yang tinggi tidak bisa terlepas dari kesuksesan dalam pemberian pemahaman. Wujud dari
7
adanya komitmen politis adalah dengan adanya perkataan/lisan maupun tulisan yang berisikan dukungan atau persetujuan terhadap kebijakan tersebut. Memang sudah ada kepala-kepala SKPD yang menunjukan komitmennya dengan memberikan perhatian yang besar terhadap pelaksanaan PUG di lembaganya, namun sayangnya hal itu belum merata. Masih banyak yang belum menunjukan komitmennya karena mereka belum secara utuh memahami urgensi, manfaat, dan cara melaksanakan PUG. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kasubbid PUG BPPM DIY (2015) bahwa pembuat kebijakan atau pejabat di SKPD dan anggota DPRD masih banyak yang kurang memahami PUG sehingga belum banyak komitmen yang dapat mereka perlihatkan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan PUG itu sendiri. Dari informasi tersebut dapat terlihat bahwa komitmen politik yang belum cukup tinggi diakibatkan oleh pemahaman yang masih kurang juga. Hal ini sesuai dengan penjabaran sebelumnya bahwa komitmen politik bisa tumbuh dari pemahaman yang baik. BPPM
DIY
sendiri
sebenarnya
sudah
berupaya
menumbuhkan
pemahaman para pemegang otoritas tersebut dengan melakukan berbagai kegiatan seperti sosialisasi dan pelatihan. Namun hal tersebut nyatanya belum berhasil menumbuhkan pemahaman yang utuh. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kasubbid PUG BPPM DIY (2015) bahwa sudah ada upaya sosialisasi dan pelatihan kepada para pejabat namun hasilnya tidak efektif karena justru mereka tidak ikut berpartisipasi. Banyak sekali alasan yang digunakan seperti sedang banyak sekali kegiatan, dinas keluar kota, bahkan anggota DPRD juga sering mengaku punya kesibukan yang tinggi. Hal ini tentu berdampak pada pemahaman
8
tentang PUG yang rendah dan selanjutnya berkontribusi pada cara pandang terntang PUG itu sendiri. Kedua, tujuan advokasi yang lainnya adalah untuk memperoleh dukungan kebijakan. Advokasi dapat dikatakan berhasil ketika diikuti dengan munculnya berbagai kebijakan dibawahnya yang menguatkan posisi suatu hal yang diadvokasikan tersebut. Hal ini berhubungan dengan poin pertama yaitu komitmen politik dimana komitmen politik sama sekali belum berarti ketika tidak dilanjutkan dengan adanya keputusan atau kebijakan para pemegang otoritas. Contoh dukungan ini dapat berupa surat keputusan, instruksi atau surat edaran dari kepada insititusi, dsb. Begitu juga dengan advokasi PUG, keberhasilannya dapat dilihat dari adanya dukungan kongkrit yang diberikan oleh para pemegang otoritas. Jika dirunut dari peraturan perundang-undangan yang paling tinggi, aturan tentang PUG yang dikeluarkan oleh pusat adalah Inpres No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Tahun 2002 tentang Panduan pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan gender dalam Pembangunan, dan Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Ketiga peraturan tersebut kemudian melahirkan beberapa peraturan juga di DIY yang mendukung PUG, diantaranya yaitu: SE Gubernur DIY tentang Percepatan Pelaksanaan PUG tahun 2002, SE Gubernur DIY tentang Pengarusutamaan Gender (Nomor 411.4/0195 tanggal 23 Januari 2002), SE
9
Gubernur DIY Nomor 463/0494 tanggal 17 Februari 2012 tentang Penyusunan Anggaran Responsif Gender (ARG). Lalu yang belum lama ini disahkan yaitu Peraturan Gubernur DIY No. 116 Tahun 2014 tentang Perencanaan dan Penganggaran
Responsif
Gender
(PPRG)
guna
mendorong
percepatan
pelaksanaan PUG di DIY. Maka dari itu, sudah ada upaya dari Pemerintah DIY untuk mendukung pelaksanaan PUG di DIY. Semua peraturan perundang-undangan di atas baik yang berasal dari pusat maupun DIY sendiri dapat dijadikan sebagai acuan bagi SKPD di DIY untuk melaksanakan PUG. Harapannya tentu agar setiap SKPD juga merespon hal tersebut dengan mengeluarkan kebijakan atau keputusan yang dapat mendukung pelaksanaannya di SKPD. Namun, nyatanya tetap saja hasilnya belum secara optimal merata di semua SKPD. Menurut keterangan dari Kasubbid PUG BPPM DIY (2015), masih banyak SKPD yang tidak merespon dalam bentuk kebijakan atau keputusan di SKPD-nya. Padahal harapan besar diberikan kepada SKPD untuk merespon dan turut serta dalam membuat kebijakan atau keputusan yang menjadikan isu gender sebagai arus utamanya. Dengan demikian, tujuan advokasi PUG untuk memperoleh dukungan kebijakan di DIY sudah memperlihatkan hasil. Yang terbaru dapat terlihat dengan adanya Pergub DIY No. 116 Tahun 2014 Tentang Perencanaan dan Penganggaran Responsive Gender (PPRG), yang pelaksanaannya masih dalam tahap sosialisasi dan persiapan. Selain itu, untuk dukungan di SKPD masih belum menunjukan hasil yang begitu baik sehingga mengindikasikan bahwa advokasi yang dilakukan
10
oleh BPPM DIY belum dapat optimal mendorong adanya kebijakan atau keputusan di SKPD yang mendukung pelaksanaan PUG. Ketiga, tujuan advokasi selanjutnya adalah memperoleh dukungan sistem. Dukungan sistem atau mekanisme atau organisasi kerja ini dapat mendorong pencapaian keberhasilan kebijakan. Untuk mendukung pelaksanaan PUG di DIY sudah ada organisasi kerja yang disebut Kelompok Kerja (Pokja) PUG yang dibentuk oleh Bappeda DIY. Pokja PUG ini diketuai oleh Bappeda DIY, kemudian BPPM DIY sebagai sekretaris, dan kepala-kepala SKPD di DIY sebagai anggota. Di dalam Pokja ini lah koordinasi antar lembaga pemerintahan dilakukan untuk mendukung pelaksanaan PUG di semua lembaga. Selain Pokja PUG, terdapat Gender Focal Point (GFP) di masing-masing SKPD. GFP ini dibentuk berdasarkan keputusan dari kepala SKPD yang kemudian bertanggung jawab untuk menjembatani dan menjalankan misi PUG di lembaganya. Namun,
keberadaan
sistem
ini
rupanya
belum
dimaksimalkan
penggunaanya. Peran yang dijalankan oleh Pokja PUG dan GFP belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini juga dibenarkan oleh Kasubbag PUG BPPM DIY (2015) bahwa Pokja PUG DIY sebenarnya kurang aktif dalam menjalankan perannya. Begitu juga dengan focal point gender tiap SKPD yang tidak begitu aktif sehingga fungsinya untuk mengsosialisasikan PUG di lingkup masingmasing SKPD belum begitu berjalan. Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa memang sudah ada upaya sistem untuk mendukung pelaksaan PUG di DIY dengan dibentuknya Pokja PUG dan amanat untuk membentuk GFP di setiap SKPD. Namun, kontribusinya belum
11
terlalu besar karena justru Pokja PUG sendiri kurang aktif dan tidak semua GFP di SKPD juga melakukan perannya dengan optimal. Dengan demikian, advokasi PUG yang dilakukan oleh BPPM DIY pada dasarnya sudah menyentuh pada upaya mendorong adanya sistem yang dapat mendukung pelaksanaan PUG. Namun, hal tersebut belum dapat dioptimalkan oleh semua pihak yang terlibat. Keempat, tujuan advokasi yang terakhir adalah adanya penerimaan sosial. Penerimaan ini berarti anggota organisasi atau semua unsur yang terlibat dapat menerima suatu kebijakan atau program. Dengan begitu maka kebijakan atau program tersebut akan memperoleh dukungan. Terkait PUG, memang kebijakan ini sudah dapat diterima oleh sebagian besar pihak sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan pembangunan yang responsive gender. Namun, budaya masih menjadi salah satu hambatan yang menjadikan isu gender tidak begitu banyak mendapatkan perhatian. Budaya yang dimaksud ini adalah budaya patriarki yang secara umum melekat pada tata aturan hubungan masyarakat Indonesia. Baima dan Feldhousen (2007, dalam Mahmud 2011:23) mendefinisikan patriarki adalah sebuah sistem organisasi dari dominasi laki-laki, pengalaman dan interpretasi yang secara sistematis mengistimewakan dan lebih menghargai laki-laki diatas perempuan, sebuah kekuatan yang sangat meresap di dalam masyarakat. Budaya ini tentu tidak hanya berkembang di dunia sosial masyarakat saja, pengaruhnya juga meluas ke berbagai bidang dalam kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Berco (2008, dalam Mahmud 2011:24) bahwa patriarki bukan hanya tentang
12
dominasi laki-laki atas perempuan, tetapi juga termasuk di dalam dunia politik dan organisasi sosial. Hambatan budaya yang berpengaruh pada pelaksanaan PUG juga diungkapkan oleh Kasubbid PUG BPPM DIY (2015) bahwa PUG memiliki kaitan dengan budaya. Ia menambahkan bahwa budaya menjadi salah satu hambatan dalam melaksanakan PUG sehingga BPPM DIY tidak bisa dengan cepat dan mudah mempengaruhi pihak lain untuk turut serta melaksanakan PUG. Walaupun begitu ia mengatakan bahwa memang sudah ada pergerakan ke arah yang positif. Dengan demikian, budaya yang ada di dalam masyarakat memang berkembang juga di birokrasi. Budaya inilah yang kemudian mempengaruhi cara pandang orang-orang di birorkasi. Strategi PUG memang sudah dikenal dan sudah diterima oleh sebagian pihak namun tidak dapat dipungkiri bahwa budaya berkontribusi pada adanya pandangan yang keliru mengenai PUG. Pandangan yang keliru ini lah yang kemudian membuat pihak-pihak yang seharusnya dapat memainkan perannya dengan baik untuk pencapaian tujuan kebijakan ini justru tidak memainkan perannya. Dari keempat penjabaran diatas mengenai komitmen politis, dukungan kebijakan, dukungan sistem dan penerimaan sosial yang merupakan tujuan dari advokasi PUG, dapat terlihat bahwa masing-masing komponen tersebut memang sudah menunjukan adanya upaya yang dilakukan namun masih banyak kekurangannya. Hal ini menunjukan bahwa upaya advokasi PUG yang dilakukan oleh BPPM DIY belum secara optimal mencapai tujuannya. Walaupun begitu,
13
tidak dipungkiri sudah ada hal positif yang dilakukan oleh BPPM DIY, ditandai dengan diraihnya sejumlah prestasi di bidang PUG. Berdasarkan hasil evaluasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Pemerintah DIY pada tahun 2013 menerima prestasi Anugerah Parahita Ekapraya (APE)5 tingkat utama secara nasional. Penilaiannya didasarkan pada Instrumen Monitoring dan Evaluasi PUG6 yang dirancang sendiri oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Penilaian ini dilakukan setiap dua tahun sekali sehingga penilaian selanjutnya akan dilaksanakan di tahun 2015. Prestasi ini cukup menggembirakan mengingat sebelumnya DIY hanya mendapatkan predikat “pratama”, kemudian naik lagi menjadi “madya”, dan saat ini memperoleh “utama”. 7
Di Indonesia sendiri,
diketahui bahwa prestasi tertinggi itu dimiliki oleh tiga provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur. 8 DIY sendiri belum masuk pada kategori “mentor” tersebut yang berarti belum mampu mencapai prestasi tertinggi di bidang PUG.
5
Anugerah Parahita Ekapraya (APE) ini merupakan penghargaan yang diberikan kepada Kementerian/Lembaga serta pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang dinilai telah berkomitmen dan mengimplementasikan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG), pencapaian dan inovasi dalam perwujudan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, serta upaya untuk memenuhi hak anak. (Sumber: http://www.bppm.jogjaprov.go.id/) 6 Instrumen Monitoring dan Evaluasi PUG ini bermaksud untuk menilai pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) setiap daerah di Indonesia. Didalamnya ada 44 indikator yang berasal dari enam variabel yaitu kebijakan, kelembagaan, SDM dan anggaran, alat analisis gender, data gender, dan peran masyarakat. 7 Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Subbid PUG, terdapat empat klasifikasi atau kategori prestasi dari hasil evaluasi PUG yaitu pratama, madya, utama dan mentor. Tingkatan terendah adalah pratama, disusul madya dan utama. Mentor adalah tingkatan tertinggi prestasi daerah dalam bidang PUG dimana lembaga atau daerah lain dapat melakukan kunjungan belajar pada daerah tersebut untuk melihat praktik baik di bidang PUG. 8 Informasi ini didapatkan dari hasil wawancara dengan Kasubbid PUG BPPPM DIY pada 29 Mei 2015 di Kantor BPPM DIY.
14
Selain itu, tolak ukur keberhasilan lain dari pelaksanaan PUG di DIY bisa lihat dari Indeks Pembangunan Gender (IPG)9 yang semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Diagram 1. 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010, 2011, dan 2012 74.11 73.07 72.51
2010
2011
2012
Sumber: Data Terpilah Gender dan Anak DIY Tahun 2014 BPPM DIY
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa IPG DIY dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, IPG DIY berada pada angka 72,51 dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 73,07. Setelah itu meningkat kembali pada tahun 2012 menjadi 74,11. Rata-rata kenaikan IPG dari tahun 2010 sampai tahun 2011 adalah 0,8. Kenaikan angka IPG ini berarti menunjukan ketimpangan gender di DIY semakin menurun. Naiknya angka IPG ini tentu tidak terlepas dari peran SKPD lain yang berkaitan, seperti Dinas Kesehatan DIY serta Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga.
9
Indeks Pembangunan Gender (IPG) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang sama seperti IPM dengan memperhitungkan ketimpangan gender. Semakin tinggi angka IPG maka ketimpangan gender di suatu daerah semakin rendah, dan sebaliknya.
15
Untuk penilaian terhadap pelaksanaan PUG di masing-masing SKPD sendiri, hasilnya belum begitu memuaskan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa masih ada SKPD yang justru belum melaksanakan PUG. Kasubbid PUG BPPM DIY (2015) menyampakan penilaiannya terhadap pelaksanaan PUG di SKPD, ia memaparkan bahwa rata-rata pelaksanaan PUG di DIY dapat diklasifikasikan dalam kategori sedang. Dengan kata lain tidak begitu baik dan tidak begitu buruk. Sudah ada tren positif yang berkembang namun juga masih sangat banyak pekerjaan rumah yang perlu mendapatkan perhatian dari para pemegang otoritas. Hal tersebut tentu kemudian menimbulkan berbagai pertanyaan tentang mengapa hal tersebut bisa terjadi. Kembali lagi pada peran sentral yang dijalankan oleh BPPM DIY sebagai pemegang mandate utama pelaksanaan PUG di DIY. BPPM DIY melakukan advokasi untuk mempengaruhi seluruh SKPD agar yakin dan mampu untuk menerapkan PUG sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Tujuan utama advokasi PUG tentu ingin adanya perubahan ke arah yang lebih baik dimana SKPD sebagai unjung tombak keberhasilan PUG dapat bersinergi mewujudkan pembangunan yang sensitive pada isu-isu gender. Namun, berdasarkan seluruh uraian permasalahan diatas menunjukan bahwa advokasi yang dilakukan oleh BPPM DIY dapat dikatakan belum optimal mendorong pelaksanaan PUG. Hal ini yang kemudian membuat peneliti ingin mengetahui tentang penyebab kurang optimalnya advokasi PUG yang dilakukan oleh BPPM DIY.
16
Terdapat beberapa argumentasi yang menjadikan penelitian ini dapat dikatakan cukup menarik. Yang pertama, pada beberapa hasil penelitian yang penulis temukan tentang Pengarusutamaan Gender, fokus utama penelitian mereka adalah untuk melihat implementasi PUG pada lembaga pemerintah. Misalnya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lely Ernawati (2010) 10 yang berjudul Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan di Provinsi Banten. Lalu, Siti Barieroh Munir (2005)11 juga melakukan penelitian serupa dengan judul Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Penelitian-penelitian tersebut berupaya untuk
mengukur
kapasitas
lembaga-lembaga
pemerintah
terkait
dalam
melaksanakan PUG.
10
Lely Ernawati (2010) dari Magister Administrasi Publik UGM menulis tesis mengenai Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan di Provinsi Banten. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa Implementasi kebijakan pengarusutamaan gender di Provinsi Banten belum berjalan dengan baik sehingga tingkat keberhasilannya belum maksimal. Ada beberapa faktor penghambatnya, antara lain: kurangnya komitmen dari stakeholder maupun pelaksana kebijakan, pelembagaan pengarusutamaan gender yang masih sekedar formalitas belaka, ketidakjelasan pelaksanaan stategi pengarusutamaan gender, dan rendahnya akuntabilitas program. 11 Siti Barieroh Munir (2005) juga dari Magister Administrasi Publik UGM yang menulis tesis mengenai Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Departemen Dalam Negeri. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan pengarusutamaan gender di lingkungan Departemen Dalam Negeri secara umum telah cukup baik yang ditandai dengan adanya kebijakan/program/kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan, terbentuknya Tim Focal Point PUG, penyediaan dana untuk anggaran PUG, dan sosialisasi PUG. Faktor yang memperngaruhi keberhasilannya adalah komitmen pejabat pengambil keputusan, tugas pokok dan fungsi, anggaran, dan status regulasi kebijakan PUG.
17
Penelitian lain tentang PUG juga dilakukan oleh Fajriani Lale Anys (2005)12
dengan
judul
Pengarusutamaan
Gender
dalam
Perencanaan
Pembangunan di Kabupaten Lombok Tengah. Penelitian ini berupaya melihat kebijakan dasar perencanaan, program kegiatan yang direncanakan dan alokasi anggaran apakah sudah responsif gender. Kemudian penelitian lain juga dilakukan oleh Rr. Nurul Adiati Hardjono Siwi (2009) 13 dengan judul Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender di Bidang Pendidikan (Studi Tentang Upaya Peningkatan
Peran
Kabupaten Bantul).
Perempuan Penelitian
dalam ini
Penyelenggaraan
berupaya
melihat
Pendidikan
faktor
di
pendorong
keberhasilan dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan PUG bidang pendidikan di Kabupaten Bantul. Seperti yang sebelumnya telah disebutkan bahwa penelitian tentang PUG selama ini banyak terfokus pada implementasi atau pelaksanaannya oleh instansi teknis. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut ada yang menunjukan bahwa PUG sudah berjalan baik dan ada juga yang belum dengan berbagai penyebab. Berjalan atau tidaknya PUG tersebut
tentunya berkaitan dengan peran bagian
pemberdayaan perempuan yang di DIY disebut sebagai BPPM DIY. Maka dari 12
Fajriani Lale Anys (2005) menulis tesis untuk meraih gelar master di Magister Administrasi Publik UGM tentang Pengarusutamaan Gender dalam Perencanaan Pembangunan di Kabupaten Lombol Tengah. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pengarusutamaan gender dalam perencanaan pembangunan yang dilakukan selama ini belum sepenuhnya sesuai harapan karena belum berpihak pada terwujudnya kesetaraan gender melalui peningkatan kualitas hidup perempuan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Hal ini dipenaruhi oleh komitmen pimpinan, pemahaman perencana, budaya lokal, serta data dan informasi. 13 Rr. Nurul Adiati Hardjono Siwi (2009) dari Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM dan menulis tesis tentang Implementasi Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan di Kabupaten Bantul. Hasil penelitiannya menujukan bahwa implementasi PUG Bidang Pendidikan diwujudkan melalui Pembentukan Pokja PUG, pembuatan kebijakan pendidikan yang tidak bias gender dan adanya aspirasi tentang pentingnya PUG. Faktor pendukung implementasi itu diantaranya adalah peranan pemerintah dan adanya aspirasi tentang PUG. Sedangkan faktor penghambatnya adalah budaya, kurangnya anggaran, serta kurang maksimalnya tugas Pokja Gender Bidang Pendidikan.
18
itu, penelitian ini menggunakan sudut pandang lain yaitu lebih menyoroti pada peran Bagian Pemberdayaan Perempuan yang dalam hal ini adalah BPPM DIY dalam mengadvokasi PUG itu sendiri. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa BPPM memiliki peran yang sangat sentral bagi pelaksanaan PUG di SKPD. Asumsinya adalah ketika advokasi yang dilakukan oleh BPPM DIY berjalan efektif maka SKPD akan dapat memahami dan melaksakan PUG sesuai dengan sektor kerjanya masing-masing. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini relatif belum banyak yang menyoroti sehingga dapat dijadikan sebuah referensi baru dalam penelitian tentang pengarusutamaan gender. Lalu, alasan selanjutnya mengapa penelitian ini dapat dikatakan cukup menarik adalah terkait dengan subjek yang melakukan advokasi. Advokasi seringkali dikatkan dengan aktivitas yang dilakukan oleh NGO (Non-Government Organization) atau kelompok masyarakat tertentu. Berikut ini adalah contoh penelitian mengenai advokasi yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah, yaitu: Penelitian yang dilakukan oleh Inneke Rizka Nanda (2014) 14 yang berjudul Advokasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU ITE tentang Pasal Pencemaran Nama Baik. Selain itu, penelitian serupa dilakukan oleh Muhamad Zudairan (2014) 15 dengan judul penelitian Advokasi Kebijakan Civil Society Orgnization (Studi Kasus: Rifka Annisa dalam Strategi Advokasi Kebijakan Perlindungan Perempuan dan Yogyakarta). Advokasi yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah diatas dilakukan untuk mengubah kebijakan publik.
14 15
Tesis Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Tesis Program Pascasarjana Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM.
19
Namun, advokasi juga bisa dilakukan oleh lembaga pemerintah. Berikut adalah salah satu contoh penelitian yang membahas mengenai advokasi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Penelitian ini dilakukan oleh Asli (2007)16 yang berjudul Advokasi Dinas Kesehatan dalam Penganggaran Kesehatan di Kaupaten Pahiang Provinsi Bengkulu. Penelitian ini ingin melihat bagaimana Dinas Kesehatan setempat memanfaatkan informasi kesehatan yang tersedia untuk melakukan advokasi anggaran kepada stakeholder terkait guna memperoleh kesesuaian antara Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) dengan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK). Berkaitan dengan penelitian ini, advokasi yang dilakukan juga merupakan advokasi yang dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah BPPM DIY. Advokasi PUG oleh BPPM DIY ini diarahkan untuk mendorong pelaksanaan PUG dan mempengaruhi kebijakan di tiap SKPD agar lebih sensitif gender. Namun berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan sebelumnya diketahui bahwa upaya advokasi PUG yang dilakukan oleh BPPM DIY belum dapat mencapai hasil yang optimal sehingga belum mampu secara efektif mendorong pelaksanaan PUG. Kemudian, hal tersebut membuat peneliti ingin mengetahui tentang penyebab atau akar masalah dari kurang optimalnya advokasi PUG yang dilakukan oleh BPPM DIY.
16
Tesis Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana UGM.
20
Dengan demikian, dari semua uraian permasalahan dan alasan-alasan ketertarikan penulis yang terlah diuraikan di atas, maka penelitian ini diberi judul “Advokasi Pengarusutamaan Gender oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: Mengapa Advokasi Pengarusutamaan Gender yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DIY belum optimal?.
C. Maksud dan Tujuan Penelitian 1. Maksud Maksud dari penelitian ini adalah ingin mengidentifikasi hambatanhambatan yang membuat BPPM DIY kurang bisa optimal dalam mewujudkan advokasi PUG yang efektif.
2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab advokasi yang dilakukan oleh BPPM DIY belum dapat secara optimal mencapai tujuannya. Kemudian menyusun rekomendasi berupa bahan
pertimbangan
kepada
lembaga-lembaga
mengefektifkan advokasi PUG di DIY.
terkait
guna
21
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat bagi Peneliti Peneliti bisa memahami dan mengetahui problema tentang advokasi pengarusutamaan gender dan dampaknya pada perwujudan pembangunan yang responsive gender. 2. Manfaat bagi Akademisi Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan tambahan memahami permasalahan tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan serta sebagai referensi bacaan untuk penelitian selanjutnya. 3. Manfaat bagi lembaga terkait di Daerah Istimewa Yogyakarta Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam mengevaluasi advokasi PUG dan melihat seberapa besar efektivitas dan pengaruh advokasi ini terhadap
perubahan
pemahaman
dan
peningkatan
kemampuan
melaksanakan PUG di SKPD. Hal ini nantinya dapat dijadikan bahan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan demi mendukung pelaksanaan PUG di DIY.
22
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini berisikan uraian penulisan tesis dari awal hingga akhir. Sistematika penulisan tesis ini tersaji sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pada BAB ini disajikan secara logis mengenai Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Maksud dan Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN LITERATUR Pada BAB ini disajikan secara sistematis beberapa teori yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Teori ini nantinya akan didiskusikan dan digunakan sebagai pisau analisis yang digunakan sebagai bahan untuk melakukan analisis pada penelitian ini. Teori tersebut meliputi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, Kebijakan Publik, dan Advokasi Kebijakan Publik. Disamping itu juga akan disajikan kerangka berfikir penelitian yang dapat menggambarkan alur pikir penelitian. BAB III METODE PENELITIAN BAB ini menyajikan secara ringkas tentang pendekatan atau metode yang akan digunakan dalam penelitian. Hal-hal di dalamnya mencakup Jenis Penelitian, Lokasi Penelitian, Jenis dan Sumber Data, Teknik dan Pengumpulan Data, Teknik Penentuan Informan, Teknik Analisis Data, Teknik Validasi Data, serta dilengkapi dengan Jadwal Penelitian.
23
BAB IV GAMBARAN MENGENAI OBJEK PENELITIAN Pada BAB ini akan membahas tentang mengenai kondisi umum yang berguna untuk mengenali dan mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Uraian akan dimulai dari membahas tentang Kebijakan PUG di Indonesia sekaligus lembaga penanggungjawab uruusn PUG. Setelah itu, uraian berlanjut pada pembahasan tentang advokasi PUG dan stakeholder yang terlibat di dalamnya. Lalu pembahasan mengerucut pada proses advokasi PUG di DIY dan gambaran mengenai penilaian terhadap advokasi PUG yang telah dilakukan. BAB V HASIL PENELITIAN Di dalam BAB ini data atau informasi dari hasil penelitian kemudian diolah kemudian diuraikan sesuai dengan alur pikir yang telah disusun di dalam kerangka pemikiran. Sedikitnya ada empat aspek yang ingin digali dari lapangan, yaitu dari sisi pengorganisasian stakeholder yang terlibat, konten advokasi, metode dan strategi advokasi, serta dari sasaran advokasi itu sendiri. Hal ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran mengenai penyebab advokasi PUG belum secara optimal mencapai tujuannya.
24
BAB VI REFLEKSI KONSEPTUAL Pada BAB ini akan dibahas isu-isu yang ditemukan dari hasil penelitian berkaitan dengan aspek-aspek yang menunjang keberhasilan advokasi. Hal ini dilakukan guna menghasilkan informasi yang penting untuk kemudian dapat dijadikan sebagai upaya untuk perbaikan advokasi PUG. BAB VII PENUTUP BAB ini merupakan kristalisasi dari keseluruhan pemaparan tesis yang tersusun atas Kesimpulan dan Saran.