1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan nasional tidak akan terwujud secara optimal tanpa adanya partisipasi aktif segenap komponen masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun pada kenyataannya, permasalahan mendasar yang terjadi
selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan di samping masih adanya berbagai bentuk praktek diskriminasi terhadap perempuan. Rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan tergambar dari rendahnya Gender Inequality Index (GII) Indonesia yang pada tahun 2010 berada di nomor 100 dari 169 negara. (HDR, 2010). GII adalah perubahan nama dari GDI (Gender-related Development Index, Tahun 2009) yang mengukur perkembangan manusia, namun mempertimbangkan perbedaan gender, artinya perempuan di Indonesia masih belum menikmati hak dan standar yang sama dengan para lakilaki. Komponen-komponen GDI sama dengan yang digunakan dalam Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), namun disesuaikan untuk melihat perbedaan dalam hal pencapaian antara perempuan dan laki-laki. Tiga indikator digunakan termasuk angka harapan hidup, yang diukur oleh angka harapan hidup ketika lahir, pencapaian pendidikan, yang diukur oleh gabungan antara kemampuan membaca di antara orang dewasa dan jumlah tahun rata-rata yang dihabiskan untuk bersekolah, serta standar hidup, yang diukur oleh
2
pengeluaraan per kapita. Selama
ini
pendekatan
pembangunan
sangat
menekankan
pada
pembangunan ekonomi dan belum secara khusus mempertimbangkan manfaat pembangunan secara adil terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini memberi konstribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan gender (gender issues). Perempuan Indonesia tertinggal di dalam kehidupan publik. Kesenjangan gender yang senantiasa muncul dalam indikator sektor sosial menjadi sebuah tantangan berskala nasional. Indonesia memiliki angka melek huruf yang tinggi pada orang dewasa yaitu sebesar 92%, namun perempuan jumlahnya mencapai 63% dari 7,7 juta orang yang masih buta huruf. Tingkat kematian ibu juga tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup, yang masih menjadi salah satu yang tertinggi di kalangan negara-negara ASEAN. Angka harapan hidup pada tahun 2008 adalah 71 tahun untuk perempuan dan 67 tahun untuk laki-laki. Di antara perempuan yang bekerja di sektor pemerintahan, kurang dari satu persennya menduduki posisi eselon atas dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif hanya 18% (SUSENAS, 2008). Belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender diperburuk pula dengan masih terbatasnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan baik dalam kehidupan keluarga sampai pada pengambil keputusan kebijakan publik. Selain karena permasalahan tersebut kesetaraan dan keadilan gender belum sepenuhnya dapat terwujud karena masih kuatnya pengaruh nilai-nilai
3
sosial budaya yang patriarkis. Nilai-nilai ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Keadaan ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan. Selain itu kurang tepatnya pemahaman ajaran agama sering menyudutkan posisi perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Kesenjangan tersebut juga disebabkan bahwa pada struktur sosial budaya tertentu, berlaku norma–norma sosial dimana perempuan diperankan sebagai kaum yang pantas untuk mengurus anak, suami, dan bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga di rumah, sedang laki–laki diperankan sebagai sosok yang pantas dan berkewajiban mencari nafkah diluar rumah. Kondisi sebaliknya bisa berlaku pada struktur sosial budaya yang lain, dimana perempuan yang di anggap lebih efektif untuk bekerja dan berkewajiban mencari nafkah (uang) di luar rumah, sedang laki-laki berkewajiban mengasuh anaknya dirumah. Pada kenyataannya peran sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan itu tergantung kepada sistem
norma sosial budaya yang berlaku di daerah dan
masyarakat masing-masing, sehingga peran sosial berdasarkan jenis kelamin tersebut dapat dipertukarkan. Jika kita amati, perbedaan gender bukanlah sebuah persoalan apabila didalamnya tidak terjadi ketidakadilan atau ketimpangan terhadap perbedaan gender tersebut. Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik
4
kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut.
Bentuk-
bentuk ketidakadilan gender seperti terurai diatas lebih banyak terjadi pada kaum perempuan, sehingga saat ini banyak dilakukan upaya-upaya terhadap peningkatan kualitas perempuan melalui kegiatan pemberdayaan perempuan. Dikalangan keluarga, masalah gender sering dihadapi oleh keluarga yang kurang mampu secara ekonomi, sedangkan bagi keluarga dari kelompok ekonomi kuat hampir tidak ada masalah, baik masalah pendidikan, masalah peluang kerja, maupun masalah peran–peran lain di masyarakat. Nasib yang kurang beruntung biasanya menimpa kepada anak perempuan dari keluarga ekonomi lemah, dimana mereka sering dihadapkan kepada suatu pilihan yang sangat sulit, terlebih lagi bila dipengaruhi oleh pandangan tentang gender yang masih keliru. Khususnya pada saat menentukan skala prioritas untuk mengikuti pendidikan bagi anak laki–laki dan anak perempuan, biasanya anak laki–laki mendapatkan peluang yang lebih besar. Keluarga seperti ini masih dominan di Indonesia terutama keluarga berpendidikan rendah di daerah pedesaan. Indonesia berkomitmen untuk menjalankan prinsip kesetaraan gender melalui berbagai komitmen nasional dan internasional. Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta pengarusutamaan gender telah diadopsi menjadi sebuah kebijakan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran. Perhatian pemerintah terhadap realita yang terjadi mengenai ketidakadilan gender melahirkan kebijakan pembangunan yang menuju pada pencapaian keseimbangan peran antara perempuan dan laki-laki. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
5
(RPJM) 2005-2009 pada Bab 12 tentang Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak merumuskan bahwa: Permasalahan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dan anak dalam pembangunan, disamping masih adanya berbagai bentuk praktek diskriminasi terhadap perempuan. Permasalahan lainya mencakup kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kultural yang diwarnai penafsiran terjemahan agama atau nilai budaya yang bias gender. Dalam konteks sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Rumusan di atas menyiratkan bahwa permasalahan pendidikan perempuan mempunyai dimensi yang sangat luas karena mencakup masalah sosial, budaya, ekonomi, politik dan keyakinan terhadap nilai agama serta budaya. Namun demikian, di dalam kehidupan sehari-hari kenyataan yang sering terjadi adalah masih adanya sikap dan tindakan dalam kehidupan masyarakat yang mendiskriminasikan kaum perempuan. Salah satu kebijakan pemerintah untuk memecahkan persoalan diatas yaitu dengan membuat program-program pendidikan untuk masyarakat. Seperti yang tertuang dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 yaitu : Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan yang diselenggarakan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstrukur dan berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi keluarga didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Dengan adanya layanan pendidikan selain melalui jalur formal yaitu melalui
6
jalur non formal dan informal, masyarakat tidak akan dibatasi baik secara usia maupun kondisi ekonomi dalam memperoleh informasi. Salah satu program yang dibuat oleh pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal Informal (Sekarang PAUDNI) dalam rangka
mengatasi
mengembangkan
permasalahan
suatu
program
ketimpangan yang
gender
dinamakan
yaitu
Pendidikan
dengan Keluarga
Berwawasan Gender (PKBG) dalam kerangka upaya penyadaran keluarga dalam memahami hak, kewajiban, dan peran laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga, sehingga dapat meningkatkan keharmonisan keluarga. PKBG yang dikembangkan oleh Kemendiknas sangat diperlukan salah satunya dalam memberdayakan perempuan. Sebagaimana yang kita pahami, bahwa keluarga merupakan lembaga pertama dan utama bagi proses pendidikan anak. Oleh karena itu keluarga merupakan sarana yang sangat efektif untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia masa depan, termasuk menciptakan generasi masa depan bangsa yang berwawasan gender untuk mewujudkan tatanan sistem sosial politik kebangsaan yang adil dan setara bagi seluruh masyarakat. Selain itu PKBG juga memiliki peran yang penting dalam rangka membekali masyarakat agar dapat hidup secara mandiri. Dimana pada program tersebut, keluarga didik tidak hanya dibekali kecakapan seputar kehidupan keluarga yang berwawasan gender, tapi juga dibekali kecakapan lain seperti kesehatan dan gizi keluarga serta wirausaha keluarga sehingga warga
7
belajar diharapkan tidak hanya harmonis tetapi juga terjadi peningkatan secara finansial. Setelah melalui proses identifikasi, bahwa telah dilaksanakan program Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG) di Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung yang dikelola oleh
Yayasan Widya Aksara
Pratama. Dari hasil studi pendahuluan diperoleh data kependudukan Desa Cisondari, ternyata memang menggambarkan masih terjadinya kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan dilihat dari tingkat pendidikan dan pekerjaan atau mata pencaharian
yang dimiliki oleh masyarakat di Desa ini. Data
yang
menggambarkan tingkat pendidikan masyarakat laki-laki dan perempuan di Desa Cisondari berdasarkan hasil pendataan kependudukan tahun 2008 dapat dilihat dari Tabel 1.1. Tabel 1.1 memang tidak menggunakan ketentuan kelompok umur yang digunakan oleh BPS, akan tetapi dalam tabel tersebut ada beberapa informasi yang bisa dimanfaatkan dalam penelitian ini. Tabel tersebut menggambarkan bahwa rata-rata pendidikan penduduk Desa Cisondari sangat bervariasi menurut pendidikan. Namun demikian, pada umumnya penduduk desa ini berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Jumlah penduduk yang paling besar adalah penduduk kelompok usia 3-6 tahun yang belum masuk TK dan kelompok ini lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan. Secara umum dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin dominan penduduk laki-laki
8
dan penduduk perempuan relatif tertinggal. Penduduk perempuan justru lebih banyak pada kelompok berpendidikan rendah dan yang tidak tamat sekolah. Tabel 1.1 Penduduk Desa Cisondari Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan Masyarakat No
Tingkatan Pendidikan
1 Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 2 Usia 3-6 tahun yang sedang TK atau play group 3 Usia 7-15 tahun yang putus sekolah atau DO 4 Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 5 Tamat SD atau sederajat 6 Jumlah usia 12-56 tahun yang tidak tamat SLTP 7 Usia 18-56 yang tidak tamat SLTA 8 Tamat SMP/sederajat 9 Tamat SMA 10 Tamat D1/sederajat 11 Tamat D2/sederajat 12 Tamat D3/sederajat 13 Tamat S1/sederajat 14 Tamat S2/sederajat Sumber: Data Monografi Desa Cisondari Tahun 2008
LakiLaki (Orang) 539 48 45 728 527 820 885 225 207 7 16 9 35 1
Perempuan (Orang) 511 37 32 674 478 796 890 179 194 5 9 8 24 0
Ketimpangan pada mata pencaharian antara laki-laki dan perempuan juga terjadi di desa ini, karena masih banyak perempuan yang berperan ganda, dimana pekerjaan domestik hanya menjadi tanggungjawab dia tetapi disisi lain dia juga harus bekerja mencari tambahan penghasilan untuk keluarga. Untuk mengatasi hal ini terjadi maka perlu diadakan proses penyadaran untuk semua anggota masyarakat dalam hal ini setiap keluarga agar terjadi keseimbangan peran dalam keluarga agar terwujud kesetaraan dan keadilan gender di dalam keluarga mereka. Salah satu program yang bertujuan agar dapat terwujudnya kesetaraan dan
9
keadilan gender pada setiap aspek kehidupan terutama lingkungan keluarga yakni melalui Program Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG). Dari data-data yang diperoleh dari studi pendahuluan di Desa Cisondari dan pada Yayasan WAP, diketahui bahwa peserta PKBG sebanyak 20 keluarga dan ternyata tidak seluruh anggota keluarga aktif mengikuti program PKBG, sehingga diduga akan memiliki perubahan perilaku yang berbeda-beda pada setiap keluarga yang mengikuti program tersebut. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati interaksi gender beberapa keluarga dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi keluarga, apakah setelah mengikuti program Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG) setiap anggota keluarga memiliki perubahan perilaku
yang
ditunjukan oleh
interaksi harmonis yang menggambarkan bahwa keadilan gender tercipta dalam kehidupan keluarga mereka atau tidak. Selain itu apakah keluarga yang mengikuti program ini juga mengalami peningkatan dalam mutu kehidupan mereka baik secara ekonomi, sosial maupun cara hidupnya.
B. IDENTIFIKASI MASALAH Beberapa permasalahan yang menyangkut peran gender dalam berbagai kehidupan keluarga dan masyarakat telah dapat diidentifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan diatas. Berikut ini dikemukakan beberapa permasalahan yang berhasil diidentifikasi. 1.
Hampir seluruh keluarga peserta program Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG) di Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu Kabupaten
10
Bandung berasal dari keluarga miskin dengan jumlah penghasilan rata-rata perhari Rp.15.000,- (Lima Belas Ribu Rupiah) 2.
Semua keluarga peserta PKBG memiliki anak laki-laki dan perempuan usia sekolah yang rentan terhadap diskriminasi gender.
3.
Latar belakang pendidikan laki-laki (suami) rata-rata lebih tinggi daripada isteri.
4.
Banyak perempuan yang belum memiliki peluang yang sama dengan laki-laki dalam mengambil keputusan keluarga, terbukti selama proses pelatihan berlangsung suara perempuan nyaris tidak terdengar karena lebih didominasi oleh laki-laki walaupun jumlah peserta laki-laki yang hadir tidak terlalu banyak.
5.
Korban tindak kekerasan yang terjadi didalam keluarga, lebih banyak dialami oleh wanita dan anak-anak perempuan.
6.
Banyak wanita yang membantu suaminya bekerja berat secara fisik di ladang, akan tetapi tetap harus mengerjakan pekerjaan domestik sendirian sehingga fenomena beban ganda banyak dialami oleh kaum perempuan di desa ini.
7.
Berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat Angka perceraian di daerah Cisondari yang diakibatkan oleh KDRT masih tinggi.
8.
Jumlah keluarga yang melakukan wirausaha dari 20 keluarga yang mengikuti pelatihan Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG) hanya sebanyak tujuh keluarga. Hal tersebut dikarenakan berbagai macam alasan diantaranya keterbatasan modal, kurangnya dukungan dari suami terhadap istri, serta kurangnya percaya diri karena minimnya keterampilan yang dimiliki.
11
9.
Hasil post test dari seluruh peserta pelatihan, enam keluarga ada pada tingkat rendah dalam memahami permasalahan gender, 10 berada pada tingkat cukup dalam memahami permasalahan gender, sedangkan empat keluarga berada pada tingkat baik dalam memahami permasalahan gender.
C.
PERUMUSAN, PEMBATASAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah
dikemukakan di atas, penulis dapat merumuskan permasalahan pokok yaitu: “Bagaimanakah gambaran interaksi gender di dalam kehidupan keluarga pada peserta sesudah mengikuti program Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG)?” Untuk dapat menjelaskan rumusan masalah di atas secara lebih tajam, dan tidak menimbulkan kerancuan, penelitian ini dibatasi pada dua permasalahan berikut ini: 1. Interaksi gender anggota keluarga dalam pembagian tanggung jawab dalam keluarga. 2. Interaksi gender setiap anggota keluarga dalam proses pengambilan keputusan keluarga. Berdasarkan perumusan dan pembatasan masalah
diatas, berikut ini
dikemukakan beberapa pertanyaan penelitian yang diharapkan dapat dijawab oleh penelitian yang akan dilaksanakan. Pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
12
1. Bagaimanakah interaksi gender anggota keluarga dalam menerapkan pola pembagian tanggung jawab dalam keluarga? 2. Bagaimanakah interaksi gender anggota keluarga dalam pengambilan keputusan dalam keluarga?
D. TUJUAN PENELITIAN Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai interaksi gender yang dilaksanakan oleh setiap anggota keluarga pasca pelatihan Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG). Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk; 1.
mendeskripsikan dan menganalisis berbagai gejala mengenai hal-hal yang berkaitan dengan interaksi gender setiap anggota keluarga dalam menerapkan pola pembagian tanggung jawab dalam keluarga dilihat dari tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang berbeda; dan
2.
mendeskripsikan dan menganalisis berbagai gejala mengenai interaksi gender dan keikutsertaan setiap anggota keluarga dalam proses pengambilan keputusan di dalam keluarga dilihat dari tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang berbeda.
E. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan, dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Secara konseptual hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penyusun konsep belajar membelajarkan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, untuk membantu memperbaiki peringkat HDI dalam
13
kaitannya dengan kesetaraan gender, sebagai salah satu bidang garapan Pendidikan
Non
Formal
dan
Informal.
Serta
dapat
memperkaya
perbendaharaan pengetahuan mengenai strategi Pendidikan Non Formal dan Informal sebagai subsistem dari sistem Pendidikan Nasional. 2. Secara praktis bagi penyelenggara program, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan umpan balik untuk pengembangan lebih lanjut yang berhubungan dengan penyelenggaraan program pelatihan Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG) terhadap perubahan pola perilaku seluruh anggota keluarga kearah responsif gender. 3. Sebagai bahan kajian atau bahan pertimbangan bagi pihak terkait untuk pengembangan program PKBG serta perbaikan-perbaikan yang mungkin dapat direkomendasikan terhadap program pengarusutamaan gender di masa depan. 4. Bagi para keluarga pelatihan penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yang berarti bagi para keluarga peserta pelatihan sebagai beneficieries dari PKBG ini, yaitu bahwa para keluarga pelatihan dapat semakin memahami akan berbagai informasi yang berkaitan dengan interaksi gender dalam keluarga.
Pemahaman ini akan berguna bagi mereka untuk tetap
mempertahankan dan mengembangkan lagi interaksi gender yang telah mereka miliki dan meneruskannya sebagai tradisi dalam kehidupan keluarga mereka. 5. Sebagai bahan kajian bagi pihak yang berminat untuk meneliti lebih lanjut terhadap aspek yang sama dengan kajian yang berbeda.
14
F. DEFINISI ISTILAH Penelitian ini menggunakan beberapa istilah dan anggapan dasar untuk menentukan penggunaan dan mempertajam metodologi dan pendekatan dalam penelitian. Istilah-istilah yang digunakan ini disusun berdasarkan penelitian terdahulu yang menyangkut kesetaraan gender dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut. 1. Keluarga merupakan unit kesatuan soaial terkecil yang memiliki peranan sentral dalam membina anggota-anggotanya (Ihat Hatimah, 2003). Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama bagi proses pendidikan anak. Oleh karena itu keluarga merupakan sarana yang sangat efektif untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia masa depan, termasuk menciptakan generasi masa depanbangsa yang berwawasan gender untuk mewujudkan tatanan sistem sosial politik kebangsaan yang adil dan setara bagi semua warga bangsa ( Panduan dan Modul Penyelenggaraan PKBG, 2006). 2. Interaksi merujuk kepada konsep interaksi sosial yang dijelaskan dalam literatur ilmu sosiologi seperti yang dikemukakan oleh Robert M.Z.Lawang (1986) bahwa interaksi sosial adalah proses ketika orang-orang yang berkomunikasi saling pengaruh mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan. Sementara Kimball Young dan Raymond, W.Mack dalam Soerjono Soekanto (1982) mengemukakan bahwa, interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
15
3. Gender merujuk pada peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat dan budaya ( UNESCO, 2007). Seiring dengan pengertian Mansour Fakih (2008) yang mendefinisikan gender sebagai “suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural”. 4. Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis (Profil Gender Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, 2010) dan menurut UNESCO (2007) Kesetaraan Gender artinya bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan peluang untuk merealisasikan hak-hak kemanusiaan mereka secara penuh dan untuk berkontribusi, dan mengambil manfaat dari perkembangan ekonomi, social, budaya dan politik. Sedangkan Keadilan gender merupakan proses untuk bersikap adil terhadap laki-laki dan perempuan. 5. Pelatihan dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori (Moekizat, 2008). 6. Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG) adalah salah satu jenis pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kesetaraan gender di dalam keluarga. PKBG merupakan bagian dari program Pendidikan Perempuan dan Kesetaraan Gender dan Anak, sebagai salah satu dari 15 program yang ada di lingkungan Kemediknas, khususnya di lingkungan Ditjen PNFI. Program ini
16
mulai dikembangkan tahun 2002 oleh Ditjen PNFI yang dikembangkan atas dasar kerjasama antara Bapenas dan JICA pada tahun 2000. Setelah itu Ditjen PNFI mencantumkan PKBG sebagai salah satu kegiatan unggulan dalam pelaksanaan Program Pengarus-utamaan Gender (PUG) bidang pendidikan, yang telah diatur dalam berdasarkan Kepres No. 9/2000, tentang “PengarusUtamaan Gender”.(Ditjen PNFI, Acuan Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender, 2009).
G. ALUR PENELITIAN Alur penelitian yang
peneliti lakukan pada penelitian tentang interaksi
gender dalam kehidupan keluarga pasca pelatihan PKBG di desa Cisondari Kecamatan Pasir jambu Kabupaten Bandung dapat dilihat pada Gambar 1.1. Gambar tersebut menjelaskan pemikiran tentang input, proses dan output dari penelitian ini. Yang berfungsi sebagai input adalah empat keluarga yang telah mengikuti pelatihan PKBG dengan karekteristik keluarga yang berbeda satu sama lain. Yang dianggap sebagai proses adalah pemaknaan akan kesetaraan dan keadilan gender sebagai hasil dari PKBG yang kemudian dilakukan penelitian terhadap pola interaksi yang terjadi di dalam setiap keluarga responden berkaitan dengan, (1) pola interaksi dalam pembagian tugas dan tanggungjawab pada pekerjaan domestik dan perawatan anak, dan (2) proses pengambilan keputusan keluarga. Sedangkan yang dianggap sebagai output penelitian ini adalah pemaknaan terhadap kesetaraan dan keadilan gender dan pelaksanaan interaksi gender yang adil di dalam setiap keluarga yang diteliti.
17
Input
Keluarga kesatu Pend. Suami SMP Ekonomi Sedang
Keluarga memaknai kesetaraan
P K B G
Keluarga Kedua Pend. Suami SMP Ekonomi Rendah
Keluarga Ketiga Pend. Suami SD Ekonomi Rendah
Keluarga Keempat Pend. Suami SD Ekonomi Sedang
Output
Proses
dan keadilan gender
Interaksi gender dalam kehidupan setiap keluarga. 1. Dalam Pola pembagian tanggung jawab 2. Dalam Pengambilan Keputusan Keluarga
1. Pemaknaan terhadap kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga 2. Pelaksanaan Interaksi gender dalam keluarga
KESIMPULAN
REKOMENDASI
Gambar 1.1: Alur Penelitian Interaksi Gender Dalam Kehidupan Keluarga Pasca Pelatihan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG)
27