BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan dan membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945, bumi termasuk perairan dan kekayaan yang ada di dalamnya mempunyai nilai yang sangat penting dalam usaha mewujudkan cita – cita tersebut. Berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan , pajak bumi dan bangunan merupakan salah satu sumber penerimaan negara untuk membiayai pelaksanaan dan peningkatan pembangunan menuju pencapaian cita – cita bangsa. Tujuan bangsa tersebut tidak akan bisa tercapai tanpa adanya partisipasi dari masyarakat. Bentuk partisipasi masyarakat adalah berupa kewajiban dari orang atau badan (sebagai subyek pajak ) atas pajak bumi dan bangunan (sebagai obyek pajak) untuk membayar pajak kepada negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Kewajiban tersebut muncul karena berdasarkan asas-asas prinsip pemungutan pajak,
orang atau badan telah
menerima keuntungan dan / atau kedudukan sosial yang lebih baik atau menerima manfaat dari hak atasnya yaitu bumi dan bangunan. Sebagai tindak lanjut pemberian otonomi dari pemerintah pusat kepada daerah baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten dan kota, berdasarkan asas
1
desentralisasi, dalam bidang perpajakan pun ada desentralisasi pajak
atau
desentralisasi fiskal, yaitu dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049), untuk selanjutnya disebut UU PDRD. Di dalam Pasal 2 ayat (2) huruf j UU PDRD ditentukan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi salah satu jenis pajak kabupaten / kota. Dalam Pasal 185 lebih lanjut ditentukan bahwa PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah adalah mulai tanggal 1 Januari 2010, dengan ketentuan sepanjang Peraturan Daerah tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan telah diterbitkan. Apabila dalam jangka waktu 1 Januari 2010 sampai dengan paling lambat tanggal 31 Desember 2013 Peraturan Daerah belum diterbitkan, maka PBB Perdesaan dan Perkotaan tersebut masih tetap dipungut oleh Pemerintah. Sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 185 UU PDRD tersebut, Daerah Kabupaten Badung menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2013. Sebagai daerah otonom, daerah kabupaten / kota mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri berdasarkan batas – batas wilayah yang jelas, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Suatu hak sudah pasti diikuti kewajiban yaitu kewajiban pembangunan dalam arti luas yang sudah tentu membutuhkan pembiayaan. Mengacu kepada UU PDRD, daerah kabupaten / kota mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam memungut
2
pajak atas pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD), dalam usaha untuk mendongkrak PAD dari
sektor
pajak
seiring
dengan
semakin
besarnya
tanggung
jawab
penyelenggaraan pemerintahan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat menuju masyarakat yang adil, makmur serta sejahtera. Kewenangan daerah kabupaten / kota untuk memungut pajak atas bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan berdasarkan ketentuan hukum positif perpajakan, yang dapat dimaknai bahwa negara diberikan hak untuk memungut pajak karena telah memberikan perlindungan kepada warga negaranya atau pajak wajib dibayar karena masyarakat telah menikmati keuntungan atau kenikmatan dari obyek pajak yang dimiliki atau dimanfaatkannya. Akan tetapi, dalam konteks kewenangan daerah kabupaten / kota
memungut pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan untuk menopang PAD, justru ada
pembebasan
kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau, yang dalam penelitian ini penulis membatasi seperti yang dilaksanakan
Pemerintah
Kabupaten Badung. Berdasarkan Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 tentang Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung, dengan pertimbangan untuk menjaga kelestarian lingkungan agar bersih, aman, lestari dan indah (BALI), maka penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi dari Pemerintah Daerah kepada yang memiliki, menguasai atau memanfaatkan sebagai tanah pertanian pada daerah jalur hijau di Kabupaten Badung atas peran sertanya menjaga kelestarian lingkungan, dengan ketentuan
3
seutuhnya difungsikan sebagai lahan pertanian dan tidak dialihfungsikan sebagian atau seluruhnya untuk hal – hal yang dilarang Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 3 Tahun 1992 tentang Larangan Mendirikan Bangun – Bangunan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, yang selanjutnya disebut Perda Jalur Hijau. Pembebasan di sini maksudnya adalah para wajib pajak di daerah jalur hijau tidak dikenakan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan dan kewajiban tersebut dibayarkan oleh daerah sepenuhnya dari dana APBD pada tahun
yang
bersangkutan,
senilai
pajak
terhutang
berdasarkan
surat
pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk tahun pajak bersangkutan yang diatur berdasarkan Keputusan Bupati Badung, antara lain Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 Tentang Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung Tahun 2011, dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1954/02/HK/2012 Tentang Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung Tahun 2012. Dengan
diberikannya
penghargaan
peduli
lingkungan
tersebut,
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung telah mensubsidi keuangan wajib pajak sebesar nilai yang tertera dalam SPPT. Tindakan tersebut dilakukan sebelum Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi kewenangan daerah Kabupaten Badung, hal ini berdasarkan alasan bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
4
Perdesaan dan Perkotaan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. Pemberian dengan mensubsidi keuangan wajib pajak akan bisa berdapak pada penerimaan daerah yang akan berpengaruh pada pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten Badung. Demikian juga halnya, bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri
sendiri
atau
orang
lain
atau
suatu
korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, adalah perbuatan melanggar hukum (korupsi) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 ), sebagaimana diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150). Dalam pengaturan mengenai pemberian penghargaan peduli lingkungan berupa bebas pajak bumi dan bangunan dalam bentuk subsidi pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah daerah
kepada yang memiliki, menguasai dan
memanfaatkan sebagai lahan pertanian pada kawasan jalur hijau di Kabupaten Badung, ternyata ada ketentuan – ketentuan hukum yang menampakkan adanya konflik norma yang didahului dengan kekosongan norma. Hal tersebut terbukti dari pemberian subsidi pajak bumi dan bangunan bertentangan dengan asas-asas
5
atau prinsip perpajakan dan hukum positif yang berlaku, seperti : undang-undang perpajakan, undang-undang HAM, undang-undang kepemilikan tanah, asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Padahal sesuai dengan amanat Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berdasarkan asas otonomi, pemerintah daerah berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas – luasnya, nyata dan bertanggung jawab, akan tetapi kewenangan tersebut tidak boleh disalahgunakan. Otonomi seluas – luasnya dalam arti bahwa, daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang – undang. Prinsip otonomi nyata dimaksudkan bahwa dalam menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab dimaksudkan, dalam penyelenggaraan otonomi harus sejalan dengan tujuan dan maksud pemberi otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Bertitik tolak dari uraian permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, hal – hal tersebut yang menjadi alasan penulis, lebih lanjut.
6
perlunya dilakukan penelitian
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas dalam usulan penelitian ini dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Apakah dasar pembenar pembebasan pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau ? 2. Bagaimana menciptakan harmonisasi pengaturan dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan oleh masyarakat di kawasan jalur hijau ? 2.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut : a. Tujuan Umum Secara umum penelitian atas kedua permasalahan di atas adalah bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau menambah khasanah pengetahuan dibidang ilmu hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara yang berkaitan dengan landasan yuridis pembebasan pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau. b. Tujuan Khusus Sehubungan dengan tujuan umum, maka tujuan khusus yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah : a. Untuk mengkaji dan menjelaskan dasar pembenar pembebasan pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau.
7
b.
Untuk mengkaji, memahami dan mengharmonisasikan aturan – aturan hukum
yang mengatur kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan
di kawasan jalur hijau.
1.4. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian terhadap kedua permasalahan diatas. Pada hakikatnya, manfaat yang dimaksudkan kedalam 2 (dua) hal yakni manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis. a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang harapkan adalah dapat menambah khasanah hukum administrasi negara, Hukum Pemerintahan Daerah, dalam menjamin kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat. b. Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi hukum dalam memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan dasar pembenar pembebasan pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau sehingga dapat tercipta keharmonisan
pengaturan dalam pembayaran pajak bumi dan
bangunan di kawasan jalur hijau. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan bahan evaluasi dalam menyusun kebijakan pemerintah di kemudian hari. Sedangkan bagi penulis sendiri, karya tulis ini disamping untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar
8
Magister Hukum pada Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, juga akan sangat bermanfaat bagi penulis dalam melaksanakan tugas sebagai aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Badung.
1.5. Landasan Teoritis Dalam landasan teoritis dan asas hukum , yang akan
akan dipaparkan beberapa kajian teori, konsep dipergunakan dalam kajian ini untuk memberikan
jawaban terhadap rumusan masalah di atas. Dan juga akan dilengkapi dengan pandangan – pandangan sarjana yang akan dipadukan dengan ketentuan konstitusional serta peraturan perundang – undangan. Sejumlah konsep dan teori yang akan digunakan sebagai landasan teoritis dalam pembahasan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsep Jalur Hijau 2. Konsep Kepentingan Umum 3. Teori Keadilan 4. Teori Kewenangan 5. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 6. Teori Kebijakan Publik 1.5.1. Konsep Jalur Hijau Berdasarkan Peraturan Daerah Tingkat II Badung Nomor 3 Tahun 1992 tentang Larangan Mendirikan Bangun – Bangunan Pada Daerah Jalur Hijau Di
9
Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, yang selanjutnya disebut Perda
Jalur
Hijau, Pasal 1 huruf f jalur hijau diartikan sebagai “suatu garis hamparan tanah yang luas dan menghijau yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebagai daerah yang tidak boleh dibangun”. Dalam diktum menimbang ditentukan pentingnya jalur hijau dimaksudkan untuk tetap terpeliharanya kelestarian lingkungan alam di kabupaten Badung serta setiap pembangunan memberi manfaat yang optimal bagi masyarakat, sehingga tercipta daerah yang bersih, aman, lestari dan indah (BALI) yang mengarah pada terpeliharanya keserasian lingkungan. Sebagai pembanding konsep jalur hijau di dalam Undang – Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 1 angka 31 diistilahkan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 1.5.2. Teori Kepentingan Umum Menurut istilah kepentingan umum berasal dari kata ”penting”
dan
”umum”, penting artinya yang pokok atau yang utama dan umum artinya orang banyak. Jadi kepentingan umum berarti kepentingan masyarakat atau menyangkut dengan hal – hal yang pokok bagi orang banyak. Menururt hasil penelitian Universitas Gajah Mada, kepentingan umum sebagai paduan sifat pasif dan aktif serta negatif dan positif pemerintahan dapat diperinci sebagai berikut :
10
a. Memelihara kepentingan umum, yang khususnya mengenai kepentingan negara, contoh tugas pertahanan keamanan. b. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama dari warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara sendiri, contoh penyediaan sandang pangan, perumahan, kesejahteraan dan sebagainya. c. Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat dilakukan oleh warga negara sendiri dalam bentuk bantuan negara, contoh pendidikan, kesehatan dan sebagainya. d. memelihara kepentingan warga negara perseorangan yang tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri dalam bentuk bantuan negara, adakalanya negara memelihara seluruh kepentingan itu, contoh pemeliharaan fakir miskin, anak yatim, anak cacat, dan sebagainya. e. Memelihara ketertiban, keamanan dan kemakmuran setempat, contoh peraturan lalu lintas, pembangunan, dan sebagainya. Apabila dikaji lebih lanjut makna kepentingan umum sesuai dengan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa konsep kepentingan umum di dalam hukum mengandung makna yang kabur. Artinya sampai saat ini penafsiran makna kepentingan umum, kepentingan masyarakat, kepentingan bangsa dan negara, belum ada kesatuan pandang atau pendapat diantara para ahli hukum dan pembentuk undang – undang. Hal ini dapat dilihat dari pengertian kepentingan umum yang dirumuskan dalam berbagai undang – undang didefinisikan berbeda.
11
Di dalam Undang – undang Nomor 28 Tahun 1997 ( LN Tahun 1997 Nomor 81) tentang Kepolisian,
Pasal 1 angka 5 menyebutkan : kepentingan
umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, demi terpeliharanya keamanan dan kepentingan masyarakat serta tercapainya tujuan pembangunan nasional. Demikian pula dalam penjelasan Undang – undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan disebutkan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Selanjutnya di dalam memori penjelasan Pasal 6 huruf d Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1998 (LN Tahun 1998 Nomor 181) tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum antara lain dijelaskan : ”yang dimaksud dengan menjaga dan menghormati kepentingan umum adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya bahaya bagi keselamatan dan ketenteraman umum, baik yang menyangkut orang, barang maupun kesehatan masyarakat”. Dari ketiga rumusan undang – undang tersebut, terkandung unsur – unsur kepentingan umum antara lain : 1. Tertib kehidupan masyarakat pada khususnya bangsa dan Negara pada umumnya. 2. Terpeliharanya kepentingan masyarakat luas. 3. Terlaksananya pembangunan nasional. 4. Mencegah timbulnya bahaya bagi keselamatan umum. 5. Mencegah timbulnya gangguan terhadap fisik, harta benda dan kesehatan. Dari kelima unsur tersebut dapat ditarik konsep kepentingan umum sebagai berikut : suatu upaya untuk memelihara ketertiban umum dan kepentingan masyarakat agar bebas dari bahaya yang mengancam keselamatan dan
12
ketenteraman masyarakat, baik fisik maupun non fisik dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Konsep ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, jaminan terhadap keamanan dan ketertiban merupakan kebutuhan pokok yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga Negara. Konsep kepentingan umum menjadi sangat penting di dalam pembentukan produk hukum baik di tingkat pusat maupun di daerah, karena sebagai negara hukum yang memperhatikan kesejahteraan rakyat, secara esensial tujuan hukum adalah tercapainya keadilan. Keadilan bisa tercapai apabila produk hukum yang dihasilkan dari proses pembentukannya mengakomodir kepentingan masyarakat secara umum, tidak secara individu ataupun golongan. 1.5.3. Teori Keadilan Teori keadilan dipergunakan sebagai landasan teoritis dalam penelitian ini karena ada relevansinya dengan isu pokok terkait dengan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau sedangkan kewajiban dari wajib pajak adalah membayar pajak. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum, sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch yang dikutif oleh Ahmad Ali mengajarkan ada tiga tujuan hukum, yaitu : 1.keadilan; 2.kemanfaatan; 3.kepastian hukum.
13
Lebih lanjut The Liang Gie mengemukakan ciri-ciri atau sifat adil diikhtisarkan maknanya sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h.
Adil (just) Bersifat hukum (legal) Sah menurut hukum (lawfull) Tak memihak (impartial) Sama hak (equal) Layak (Fair) Wajar secara moral (equitable) Benar secara moral (righteous)
Sedangkan menurut Aristoteles, keadilan dalam penafsiran hukum kriterianya adalah “epikeia” yaitu suatu rasa apa yang pantas. Dalam kaitan ini adalah relevan dikemukakan konsep keadilan dari aliran utilitarianisme Jeremy Bentham (1748-1832) yang berpegang pada dua ide pokok, yaitu : Pertama, yang benar adalah apa yang baik, hal yang baik adalah kesenangan, sedangkan kesakitan adalah hal yang buruk. Kedua, diantara berbagai tindakan yang mungkin dilakukan, orang wajib memilih kemungkinan yang akan memberikan kesenangan yang terbesar bagi orang yang jumlahnya terbanyak ( the greatest good of the greatest number).
Dari dua ide pokok tersebut, dapat dimaknai bahwa adil
menurut aliran utilitarianisme adalah didasari
oleh asas moral kebaikan dan
kebenaran untuk kemanfaatan atau kebahagian sebanyak-banyaknya dari jumlah yang sebanyak-banyaknya pula. 1.5.3. Teori Kewenangan Teori kewenangan dipergunakan dengan pertimbangan bahwa sebagai negara hukum materiil (wallfare state) yang memperhatikan kesejahteraan rakyat,
14
segala tindakan dan perbuatan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan wajib berdasarkan atas wewenang yang sah menurut hukum. Untuk kewenangan
mempertajam pemerintahan
pembahasan daerah
terhadap
provinsi
dan
permasalahan pemerintahan
dasar daerah
kabupaten/kota dalam penetapan Daerah Jalur Hijau maka dalam sub bahasan ini akan diketengahkan uraian tentang konsep kewenangan. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid”. Terhadap hal tersebut, Philipus M.Hadjon menyatakan bahwa kalau dikaji istilah hukum kita secara cermat, ada sedikit perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan istilah “bevoegdheid”. Perbedaannya terletak dalam karakter hukumnya. Istilah Belanda “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita, istilah wewenang atau kewenangan seharusnya digunakan selalu dalam konsep hukum publik. Selanjutnya F.A.M. Stroink sebagaimana dikutip Philipus M.Hadjon menyatakan bahwa, dalam konsep hukum publik wewenang merupakan suatu konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Soerjono
Soekanto
sebagaimana
dikutip
oleh
Budiman
B.Sagala
memberikan perbedaan antara “kekuasaan” dan “wewenang”. Kekuasaan (power) dikatakan merupakan suatu kemampuan atau kekuatan seseorang/segolongan untuk mempengaruhi pihak lain dan wewenang (authority) adalah kekuasaan yang mendapat pengakuan dan dukungan dari masyarakat.
15
Secara teoritik, kewenangan/wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut, diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai hal ini H.D. Van Wijk/Willem Konijnbelt mendefinisikan sebagai berikut : 1. Atributie : toekening van een bestuurs bevoeg heid door een wetgever an een bestuurs orgaan. 2. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het een bestuurs orgaan aan een ander. 3. Mandat, een bestuurs orgaan isst zijn bevoegheid namenskem vitoevenen door een ander. Terjemahan : 1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada suatu organ/badan pemerintahan. 2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Philipus M Hadjon dalam kaitan diatas membagi cara memperoleh wewenang dengan dua cara utama, yaitu: a) atribusi ; kadang-kadang juga mandat.
b) delegasi ; dan
Atribusi merupakan wewenang untuk membuat
keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti material. Atribusi ini dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Dari pengertian tersebut jelas nampak bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintahan adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan, dengan kata lain dengan atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ
16
pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Lebih lanjut dikemukakan, suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain : a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu ; b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Dari pengertian mandat ini tampak bahwa tanggung jawab tidak berpindah kepada mandataris, dengan kata lain tanggung jawab tetap berada ditangan pemberi mandat. SF Marbun dan Mahfud MD yang menggunakan istilah kewenangan, dimana cara untuk memperoleh
kewenangan tersebut ada 2 (dua) yaitu : Pertama,
Kewenangan atas inisiatif sendiri berarti bahwa pemerintah (Presiden) tanpa harus dengan persetujuan DPR diberi kewenangan untuk membuat peraturan perundangan yang derajatnya setingkat dengan Undang-undang bila keadaan
17
terpaksa. Kedua, Kewenangan atas delegasi berarti kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya
dibawah
undang-undang.
Delegasi perundang-undangan berarti administrasi negara diberi kekuasaan untuk membuat peraturan organik pada undang-undang. Berbeda dengan pendapat Suwoto Mulyosudarmo yang mempergunakan istilah kekuasan bukan kewenangan (wewenang), hal ini karena tinjauannya dari sudut hukum tata negara bukan dari hukum administrasi. Cara memperoleh kekuasan dalam hal ini dapat dibagi atas : a) perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif;
b) perolehan kekuasaan yang
sifatnya derivatif. Dari beberapa pendapat para ahli hukum terkait cara memperoleh kewenangan kalau dikaitkan dengan masalah yang diangkat dalam tesis ini maka kewenangan yang diperoleh
sekiranya berdasarkan
atas delegasi, yaitu
kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah undang-undang. Delegasi perundang-undangan artinya pemerintah diberi wewenang untuk membuat peraturan organik pada undang-undang. 1.5.4. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Teori pembentukan peraturan perundang-undangan dipergunakan dalam kajian ini dengan pertimbangan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dikatakan efektif apabila dalam pengimplementasiannya tidak menimbulkan konflik atau gejolak di masyarakat dan efektifitas suatu produk hukum sangat dipengaruhi oleh hal – hal yang menyangkut proses pembentukannya, yang dalam
18
kajian ini pengaturan pemberian bantuan bebas Pajak Bumi dan Bangunan pada kawasan jalur hijau akan dapat diketahui tingkat efektifitasnya. Terkait dengan pembentukan perundang-undangan, diketahui adanya teori pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkembang dan banyak dikemukakan oleh ahli – ahli hukum di Eropa Kontinental dengan penyebutan istilah yang beragam. Terhadap beragam istilah tersebut, A.Hamid S. Attamimi dengan mengikuti istilah dari Burkhardt Krems yaitu Gesetzgebungswissenschaft yang diterjemahkan sebagai Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan dalam arti luas, yang terdiri dari Gesetzgebungstheorie ( yang berorientasi pada menjernihkan
pemahaman – pemahaman dan bersifat kognitif), dan
Gesetzgebunglehre
( berorientasi pada tindakan yaitu membentuk peraturan
perundang-undangan yang bersifat normatif. Lebih lanjut, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ada tiga sub bagian disiplin, yaitu : ilmu tentang proses pembentukan peraturan perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren), ilmu
tentang
metode
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
(Gesetzgebungsmethode), dan ilmu tentang teknik pembentukan peraturan perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik). Pembentukan peraturan perundang-undangan menurut A. Hamid S. Atamimi merupakan salah satu metode dan instrument ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan. Terkait dengan pengertian tersebut W. Riawan Tjandra dalam Media Indonesia mengatakan bahwa Proses legislasi merupakan upaya untuk membentuk
19
norma hukum yang ditetapkan sebagai pedoman perilaku (the guidance of behaviour) bagi Fakrulloh,
masyarakat. Sejalan dengan pengertian tersebut Zudan Arif
menyatakan
bahwa
pada
hakekatnya
pembuatan
Peraturan
Perundang-undangan adalah sebuah proses memberi bentuk terhadap sejumlah keinginan dan pemberian bentuk tersebut dirumuskan melalui bahasa ke dalam norma yang tertulis. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa secara filosofis, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebuah cita hukum, karena hukum yang dibentuk diharapkan dapat dan mampu memberikan keadilan, kepastian, dan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Dalam hubungan dengan cita hukum di atas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat juga dipakai teori gelding (gelding theorie), yang mengajarkan bahwa : agar peraturan perundang-undangan mempunyai landasan berlaku yang baik maka harus dipenuhi tiga macam landasan, yaitu landasan yuridis, landasan sosiologis, dan landasan berlaku filosofis. Secara filosofis dalam pembentukan peraturtan perundang-undangan harus sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai dengan nilai – nilai Pancasila yang merupakan dasar untuk mencapai masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 alenia keempat. Dapat dikatakan bahwa untuk mewujudkan cita hukum (rechtsidee) sebagaimana yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, maka diharapkan
20
peraturan perundang – undangan yang dibentuk bersifat responsif, dalam arti bahwa peraturan perundang – undangan tersebut mampu memenuhi rasa keadilan dan menjamin hak asasi manusia. Untuk mewujudkan harapan tersebut penggunaan dasar pembenar filosofis, yuridis dan sosiologis wajib dilakukan secara seimbang. Hal demikian juga sejalan dengan teori pertanggaan undang-undang yang dikemukakan oleh Hans Kelsen terkait kesatuan tertib hukum dalam pembentukannya bersifat hierarkis dan dinamis, yang kesemuanya pada akhirnya berakar pada
hukum dasar (Groundnorm). Melalui Groundnorm inilah terjadi
suatu kesatuan proses pembentukan hukum. Berdasarkan
keterkaitan
cita
hukum
dengan
pembentukan
perundang-undangan, maka dalam pembuatan produk perundangan-undangan di daerah seperti Perda, sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan, dan peraturan – peraturan pelaksanaannya, wajib memberikan kesempatan atau akses seluas-luasnya kepada masyarakat di daerah untuk berpartisipasi. Dengan menghargai, mengakui dan mengakomodasi akses kepentingan dan hak – hak masyarakat di daerah akan dapat mewujudkan pemerintahan daerah yang mampu membuat peraturan perundang-undangan yang baik. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan perda menggambarkan peraturan perundang-undangan dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka sebagaimana asas demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
21
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, menurut Aan Seidman, et.al , tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan empat unsur, yaitu : 1. Pemerintahan berdasarkan hukum: para pembuat keputusan dalam membuat keputusan tidak berdasarkan intuisi para pembuat keputusan tersebut atau kecenderungan sesat, tetapi sesuai dengan norma-norma yang telah disepakati yang didasarkan atas akal sehat dan pengalaman. 2. Pertanggungjawaban : para pembuat keputusan secara terbuka dan bertanggung jawab kepada umum, menyerahkan keputusan mereka untuk dikaji instansi yang berwenang yang lebih tinggi kedudukannya dan pada akhirnya oleh orang-orang yang berhak memilih dalam pemilihan. 3. Transparansi : para pejabat menjalankan pemerintahan secara terbuka, sehingga masyarakat dan khususnya pers dapat mengetahui dan memperdebatkan rinciannya; 4. Partisipasi : pihak – pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang akan ditetapkan –(the stakeholders pihak yang mempunyai kepentingan)memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik, dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan – keputusan pemerintah.
Dapat
dikatakan
bahwa
dalam
pembentukan
peraturan
perundang-undangan harus tetap berdasarkan wewenang yang ada dan merupakan manifestasi konkrit dari tekad untuk mewujudkan negara hukum. Mengutip pendapat Burkens, suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila memenuhi syarat – syarat seperti : asas legalitas, pembagian kekuasaan, HAM, Pengawasan pengadilan. Dalam suatu negara hukum, asas legalitas sangatlah penting dalam pembentukan peraturan perundang – undangan. Asas legalitas mensyaratkan bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas peraturan perundang –
22
undangan. Ini artinya bahwa pembentukan perundang – undangan merupakan hal penting dalam menentukan keberadaan suatu negara hukum. Pembentukan perundang-undangan untuk mengatur hal – hal pokok yang didelegasikan, sehingga peraturan perundang – undangan yang diciptakan harus benar – benar menciptakan keadilan sehingga sesuai dengan cita – cita hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan juga merupakan suatu titik tolak dari arah pembangunan hukum. Terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dikemukakan oleh Yohanes Usfunan yang menegaskan bahwa asas legalitas dalam konsep rechstaat, mensyaratkan bahwa segala tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Untuk menghindari kesewenang-wenangan, maka pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan baik, yaitu dilakukan melalui pengkajian dan dilakukan solusi terhadap perilaku bermasalah baik dari pelaku peran (rule occupant) maupun lembaga pelaksana (implementing agency). Kajian tersebut sangat penting diperhatikan baik di tingkat pusat maupun di daerah, seperti dalam pembuatan Perda, dan produk hukum di bawahnya. Karena dalam setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak dapat melepaskan diri
dari
apakah
tujuan
kita
mengatur.
Setiap
Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat harus mampu mewujudkan tujuan pengaturan itu sendiri, antara lain: pertama, menciptakan kepastian hukum, kedua, mewujudkan keadilan, ketiga, memberikan kemanfaatan sosial. 1.5.5. Teori Kebijakan Publik
23
Berdasarkan prinsip otonomi, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten / kota mempunyai berbagai kewenangan untuk dilaksanakan untuk pembiayaan pembangunan di daerah dengan lebih nyata dan riil. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang
besar untuk merencanakan, merumuskan,
melaksanakan serta mengevaluasi kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Demikian juga halnya dalam penelitian ini, pemberian bantuan bebas pajak bumi dan bangunan pada kawasan jalur hijau di Kabupaten Badung, untuk mengimplementasikan tujuan – tujuan yang hendak dicapai berdasarkan kewenangan yang dimiliki sudah pasti akan berkaitan dengan kebijakan publik. Kebijakan publik
(public policy) oleh Thomas R. Dye didefinisikan
sebagai “whatever governments choose to do or not to do”.
Kebijakan publik
adalah apapun yang pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt mendefinisikan kebijakan publik
sebagai keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan pengulangan (repitisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Definisi lain dari kebijakan publik diberikan oleh Carl Friedrich yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan / kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan – hambatan atau kesempatan – kesempatan
24
dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. James Anderson memberikan definisi kebijakan publik dalam bukunya Public Policy Making, sebagai berikut : “serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud / tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan”.
Konsep kebijakan publik ini lebih menekankan pada apa
yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan atau dimaksud, sehingga memberikan ciri khas yang membedakan kebijakan dari suatu keputusan yang merupakan pilihan dari beberapa alternatif yang ada. Dalam hal pembuatan kebijakan untuk mengatasi masalah yang timbul di masyarakat, kebijakan tersebut berisi nilai nilai yang selaras dengan nilai nilai yang berlaku di dalam masyarakat yang akan dikenai dampak langsung ataupun tidak langsung dari kebijakan, seperti dikemukakan David Easton dalam Dye dalam Subarsono bahwa “Ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasi nilai nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya”. Thomas R. Dye dalam Widodo mengemukakan bahwa dalam sistem kebijakan terdapat tiga elemen yaitu “(a) stakeholders kebijakan, (b) pelaku kebijakan (policy contents), dan (c) lingkungan kebijakan (policy environment)”. Dari beberapa definisi kebijakan publik di atas dapat ditarik suatu pemahaman bahwa kebijakan publik adalah merupakan keputusan politik yang
25
dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Oleh karenanya karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik itu dirumuskan oleh yang menurut David Easton sebagai “otoritas” dalam sistem politik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mereka – mereka yang berorientasi dalam sistem politik dalam rangka menyusun formulasi kebijakan publik adalah orang – orang yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari – hari dan mempunyai tanggung jawab dalam suatu masalah tertentu dan pada kesempatannya diminta untuk mengambil keputusan yang diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu. Dari uraian definisi kebijakan publik di atas dapat disimpulkan beberapa karakteristik dari kebijakan publik, antara lain : 1. Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. 2. Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah – pisah. 3. Kebijakan publik
merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh
pemerintah, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan. 4. Kebijakan publik dapat berbentuk positif dan negati. Secara positif kebijakan publik melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik
26
dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun yang walaupun dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah sangat diperlukan. 5. Kebijakan publik, paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah, sehingga kemungkinan besar kebijakan publik
mempunyai sifat yang memaksa secara sah, yang
mana sifat tersebut tidak dimiliki oleh kebijakan – kebijakan organisasi swasta. Selain pemaknaan terhadap kebijakan publik sebagaimana dijelaskan di atas, dari segi bentuknya perlu juga dipahami. Kebijakan publik dalam arti luas dapat
dibagi
menjadi
dua
kelompok,
yaitu
dalam
bentuk
peraturan
perundang-undangan tertulis dan peraturan – peraturan yang tidak tertulis namun disepakati, yaitu yang disebut sebagai konvensi – konvensi. Proses kebijakan publik menurut William N. Dunn dalam Samodra Wibawa, menyatakan bahwa proses kebijakan terdiri dari tahap atau fase – fase sebagai berkut : a). penetapan agenda, b). Perumusan kebijakan, c). perumusan kebijakan, d). penerimaan kebijakan, e). pelaksanaan kebijakan, f). pengkajian kebijakan, g) perbaikan kebijakan, h)
penerusan kebijakan, i) pengakhiran
kebijakan. Akan tetapi proses yang dikemukakan di atas mendapat kritik dari beberapa kalangan, karena proses kebijakan jauh lebih rumit dari apa yang digambarkan. Walaupun tahap – tahapannya seperti itu akan tetapi prosesnya tidak
27
berurutan rapi dari satu tahap ke tahap berikutnya, akan tetapi bisa bolak – balik secara tidak beraturan. Berkaitan dengan hal tersebut dapat dikutip pendapat Lindblom dan Woodhouse dalam Parson dalam Samodra Wibawa
bahwa
“Pembuatan kebijakan adalah sebuah proses yang interaktif dan kompleks, tanpa awal dan tanpa akhir”. Dalam pembentukan kebijakan publik ada beberapa teori yang diharapkan dapat membantu menjelaskan dan mempermudah cara berpikir serta memberikan saran khususnya dalam menganalisa masalah kebijakan publik. Adapun teori yang dimaksud adalah : teori system (system theory), teori kelompok (group theory), teori elite (elite theory), teori proses fungsional (functional process theory), dan teori kelembagaan (institutionalism). Masing – masing
teori tersebut
menitikberatkan pada aspek politik dan pembuatan kebijakan yang berbeda dan dirasakan lebih bermanfaat untuk tujuan dan situasi tertentu. Berdasarkan teori kebijakan publik dapat diketahui bahwa suatu aturan yang baik seharusnya bersifat selektif dan fleksibel dan menggunakan teori tersebut sebagai konsep untuk mengatur yang kelihatan paling berguna untuk penjelasan kebijakan publik tertentu atau tindakan politik dan untuk analisis yang memuaskan. Kajian teori kebijakan publik dipergunakan dalam penelitian ini adalah didasarkan pada alasan bahwa kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi kesalahan tertentu melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh
28
instansi yang mempunyai wewenang dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan Negara dan pembangunan, berlangsung dalam satu kebijakan tertentu. Demikian juga halnya dalam pemberian bantuan bebas pajak bumi dan bangunan, alternatif
tersebut dipilih dan diputuskan adalah didasarkan pada
maksud dan tujuan dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Dalam kehidupan administrasi negara, secara formal, keputusan tersebut lazimnya dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Sesuai dengan judul dan maksud penelitian ini, maka dilihat dari karakter yang diteliti yaitu mengkaji norma hukum positif tertentu, maka penelitian ini digolongkan sebagai penelitian dogmatik. Menurut Hans Kelsen ilmu hukum dogmatik dikatakan sebagai ilmu hukum normatif. Dengan istilah dogmatik hukum atau rechtsdogmatik atau Jurisprudenz dalam Bahasa Jerman ini dicakup semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif. Dengan istilah dogmatik hukum dicakup semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif. Sebagaimana juga ditegaskan oleh Morris L. Cohen dan Kent C. Olson : ”Legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law governs an activity and materials that explain or analyze that law”
29
(penelitian hukum merupakan unsur penting dalam praktek hukum. Ia sebagai proses penemuan hukum dalam aktivitas mengatur dan menerangkan isi hukum). Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofis, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang – undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Keilmiahan dari penelitian ini dapat ditafsirkan, dimana argumentasi yang dibangun dapat menunjuk kepada sumber yang digunakan apakah yurisprudensi, kepustakaan atau undang – undang.
1.6.2. Metode Pendekatan Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) Pendekatan kasus (case approach) Pendekatan historis (historical approach) Pendekatan komparatif (comparative approach) Pendekatan konseptual (conceptual approach) Dari kelima pendekatan yang ada, maka untuk memfokuskan kajian
persoalan yang diteliti, pendekatan yang akan dipergunakan adalah pertama,
30
pendekatan
perundang-undangan
(Statute
Aproach),
kedua,
pendekatan
konseptual (Conceptual Approach ). Pendekatan perundang – undangan
adalah suatu pendekatan dengan
menelaah dan menganalisa semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. dipergunakan
dalam
kajian
ini
adalah
Pendekatan perundang-undangan untuk
mengkaji
dari
sudut
perundang-undangan terkait dengan pengaturan pembebasan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di kawasan Jalur Hijau.
Dalam
pendekatan
perundang-undangan ini menggunakan peraturan perundang – undangan sebagai bahan hukum primer. Sedangkan
pendekatan
konseptual
(Conceptual
Aproach)
adalah
pendekatan dengan menganalisa pandangan – pandangan dan doktrin – doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dikaitkan dengan konsep negara hukum yang dianut oleh negara Indonesia serta dengan mengaitkannya dengan teori – teori hukum, asas – asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Pendekatan konseptual dipergunakan untuk memahami konsep – konsep tentang pengaturan kewajiban dan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan pada kawasan Jalur Hijau. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak lagi terjadi pemahaman yang kabur dan ambigu.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
31
Penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam kajian ini bahan – bahan hukumnya terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier. 1. Bahan hukum primer dalam kajian ini terdiri dari : a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang pajak Bumi dan Bangunan c. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; d. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas
Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999; e. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; f. Undang – Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; g. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; h. Peraturan Pemerintah Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak; i. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 3 Tahun 1992 tentang Larangan Mendirikan Bangun-Bangunan Pada Daerah Jalur Hijau I kabupaten Daerah Tingkat II Badung;
32
j. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 29 tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Daerah Tingkat II Badung; k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; l. Peraturan Bupati Badung Nomor 25 tahun 2011 tentang Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau di Kabupaten Badung: m. Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 tentang Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung Tahun 2011. n. Keputusan Bupati Badung Nomor 1954/02/HK/2012 tentang Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung tahun 2012. 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer yang dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa hasil penelitian atau karya ilmiah kalangan hukum, buku-buku literatur, makalah – makalah, serta artikel – artikel yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. 3. Bahan hukum tertier adalah bahan – bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya yang tentunya berhubungan dengan penelitian ini.
33
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan sehubungan dengan penelitian ini adalah melalui sistem kartu (card system). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan ada dua, yaitu : a. Kartu kutipan, yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip sumber bahan bacaan tersebut diperoleh (nama pengarang / penulis, judul buku atau artikel, impresum, halaman dan sebagainya). b. Kartu bibliografi, dipergunakan untuk mencatat sumber bahan bacaan yang dipergunakan. Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu peneliti menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan penelitian. Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam Kartu Kutipan mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam Kartu Kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas pendapatnya. Selanjutnya
bahan sekunder yang diperoleh melalui study
kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan kedua pokok permasalahan yang diteliti selanjutnya dianalisis
melalui teknik deskripsi, interpretasi,
sistematisasi, eksplanasi, dan argumentasi. Deskripsi mencakup isi maupun struktur
hukum
positip.
Dalam
deskripsi
34
dilakukan
kegiatan
untuk
menggambarkan isi atau makna dari suatu aturan hukum. Selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara normative terhadap proporsi – proporsi yang dijumpai untuk kemudian disistematisasi dan dievaluasi atau dianalisa isinya (content analysis). Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan hirarkis antara aturan – aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan penyerasian terhadap aturan aturan hukum yang bertentangan / konflik atau kabur sehingga maknanya dapat dipahami secara logis. Selanjutnya pada tahap eksplanasi dilakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam aturan – aturan hukum sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Pada tahap argumentasi diberikan pendapat atau pandangan penulis terhadap bahan – bahan hukum yang telah dideskripsikan, disistematisasi dan dieksplanasi untuk ditemukan atau diperoleh kesimpulan atas permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
1.7. Orisinalitas Penelitian Pemberian penghargaan berupa bebas pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau sangat menarik untuk dijadikan obyek penelitian. Terkait dengan obyek penelitian ini penulis menemukan beberapa karya tulis ilmiah yang mengangkat obyek yang sama tetapi dari sudut kajian yang berbeda dan dengan peristilahan yang berbeda pula. Karya tulis yang dimaksud antara lain :
35
1. Wahyudi ( Universitas Diponegoro, Semarang, 2009 ) dalam tesis yang berjudul ” Ketersediaan Alokasi Ruang Terbuka Hijau Kota pada Ordo Kota I Kabupaten Kudus”. Dalam penelitian tersebut dibahas bahwa di dalam rencana tata ruang dan wilayah kabupaten Kudus belum memuat penyediaan kawasan terbuka hijau ataupun non hijau. Dalam penelitian tersebut juga dibahas mengenai kebutuhan ruang terbuka hijau terkait dengan pertumbuhan aktivitas penduduk setempat dan peran serta lembaga pemerintah dalam penyediaan ruang terbuka hijau. Dalam kesimpulan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa Ordo Kota I Kabupaten Kudus memiliki potensi dalam pengembangan penyediaan ruang terbuka hijau karena memiliki kondisi fisik wilayah dengan kondisi topografi yang datar, kondisi hidrogeologis yang memadai, lahan yang subur, dan iklim yang sejuk, sedangkan permasalahan yang dihadapi adalah belum adanya peraturan formal yang mengatur tentang ketentuan alokasi ruang terbuka hijau sehingga kurang mendapat perhatian dari para stakeholder. Dasar Hukum yang mengatur tentang RTH di Ordo Kota I Kudus belum ditetapkan sehingga lembaga lembaga pengelola RTH belum memiliki dasar kewenangan yang kuat untuk pengimplementasian RTH. 2. Tasniwati ( Universitas Indonesia, 2010 ) dalam tesis yang berjudul ”Tinjauan Peranan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak Daerah di Kabupaten Sidoarjo” dibahas peranan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai pajak daerah bagi keuangan daerah
36
Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2009, dengan melihat terlebih dahulu efektifitas pemungutan yang dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai pajak daerah akan memperkuat stuktur keuangan daerah. Dalam tesis tersebut juga dibahas bahwa dalam penentuan target pajak harus memperhatikan potensi atau jumlah pajak terutang yang dimiliki, aktivitas pelaksanaan pemungutan dan kajian khusus dalam penentuan tariff pajak. 3. Heri Azwar Anas, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, dalam tesis yang berjudul “ Analisis Yuridis Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Banda Aceh” dibahas
bahwa
pengenaan PBB didasarkan pada NJOP dan proses penetapan NJOP dimulai dengan kegiatan pendataan dan penilaian terhadap obyek pajak yaitu bumi dan bangunan. Hasil pendataan dan penilaian digunakan sebagai dasar penetapan. Yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan bangunan yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai unsur sosialnya, sehingga dalam proses ketentuan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menampung kepentingan semua lapisan masyarakat. Salah satu peraturan yang berkaitan dengan Pajak Bumi dan Bangunan adalah peraturan tentang penetapan NJOP sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam penelitian tersebut juga dibahas Besar kecilnya
37
pajak yang terutang ditentukan oleh NJOP dan besarnya NJOP ditentukan oleh kondisi objek pajaknya yaitu bumi dan bangunan. Karena objek PBB berada didaerah, maka daerahlah yang lebih memahami/mengetahui besarnya NJOP. prinsip yang digunakan dalam penetapan NJOP adalah prinsip keadilan dan kepastian hukum. Ketidakakuratan penetapan NJOP dalam
pengenaan
PBB
akan
mengakibatkan
ketidakadilan
dan
ketidakpastian besarnya jumlah PBB terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak Dalam hukum pajak Indonesia, NJOP bukan saja digunakan untuk keperluan penetapan PBB, akan tetapi juga dapat dijadikan dasar pengenaan pajak untuk penghitungan PPh PHTB dan BPHTB. 4. Heru Alfyanto Malay ( Master Theses from JBPTITBPP, 2008, Central Library Institute Technology Bandung ), “Pengaruh Perubahan Fungsi Lahan Jalur Trans – Jakarta-Busway Terhadap Ekstensifikasi Perpajakan” ,tesis tersebut dilatarbelakangi oleh pembangunan proyek transJakarta – Busway dengan mengambil sebagian badan jalan dan jalur hijau yang semula bebas dilalui
oleh masyarakat umum dan untuk mengetahui
dampak yang ditimbulkan terhadap aspek hukum pajak. Dalam tesis tersebut juga dibahas bahwa selama ini jalan raya dan jalur hijau tidak menjadi obyek pajak karena merupakan fasilitas umum yang bisa dinikmati oleh semua golongan masyarakat secara bebas tanpa biaya. Tetapi karena sebagaian jalan raya dan jalur hijau tersebut diubah menjadi lahan komersiil oleh proyek Trans Jakarta – Busway timbul kemungkinan
38
pengenaan PBB dan BPHTB atas proyek tersebut. Dan berdasarkan hasil analisis pengenaan PBB disimpulkan bahwa tanah dan bangunan jalur TransJakarta-Busway merupakan obyek pajak, tetapi belum dapat dikenakan PBB karena BP TransJakarta-Busway sebagai badan yang bertugas menyelenggarakan pengelolaan system angkutan umum busway tidak termasuk subyek pajak. Pengenaan PBB baru dapat dilakukan bila BP TranJakarta-Busway berubah menjadi Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD). Dibandingkan dengan penelitian yang penulis lakukan tampaklah perbedaan yang cukup mendasar. Penekanan pada penelitian ini adalah penentuan hukum yang menjadi lex specialis dalam pembebasan pajak di kawasan jalur hijau terhadap aspek hukum pajak dan pengharmonisasian hukum antara hukum yang bersifat khusus dengan hukum pajak yang berlaku secara umum dalam hal pembayaran PBB di kawasan jalur hijau. Dalam penelitian – penelitian terdahulu, penekanan penelitian ini belum pernah mendapat kajian. Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan ini dapat dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak sebagai obyek penulisan dalam bentuk tesis.
39
BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PERPAJAKAN Pembahasan pada bab ini dimaksudkan untuk memahami kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpajakan.
Untuk memahami
kewenangan pemerintah daerah tersebut, dipandang perlu untuk mengkaji tentang hal – hal yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam bab ini yaitu : 1. Pemerintah, Pemerintahan, dan Pemerintah Daerah
40
2. Wewenang pemerintah daerah dalam perpajakan 2.1. Pengertian Pemerintah, Pemerintahan dan Pemerintah Daerah A. Pemerintah dan Pemerintahan Istilah “pemerintah” dan “pemerintahan” dalam percakapan sering dicampuradukan tanpa melihat perbedaan arti dari masing – masing istilah tersebut, atau dengan kata lain
sebagaimana dikemukakan oleh Victor M.
Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. Dalam penggunaan istilah pemerintah dan pemerintahan sering dicampuradukan seakan – akan mempunyai arti yang sama. Pada hal
keduanya mempunyai arti yang tidak sama sehingga dalam
penggunaannya harus dalam konteks yang berbeda. tidak memperhatikan perbedaan arti
Penggunaan istilah yang
tersebut juga akan berpengaruh pada
penggunaan istilah pemerintah daerah dan pemerintahan daerah terutama dalam hubungannya dengan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpajakan. Perbedaan arti tersebut juga tampak pada penggunaan kepustakaan Inggris, dimana “government” diterjemahkan
“pemerintah” dan
“pemerintahan”
diterjemahkan “governance” Untuk dapat membedakan pengertian kedua istilah tersebut perlu dikaji secara etimologis, bahwa istilah pemerintah asal katanya “perintah” berarti menyuruh melakukan sesuatu, sehingga dapat dikatakan bahwa : 1. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu negara atau badan yang tertinggi yang memerintah sesuatu negara. Pemerintah adalah merupakan kata nama subyek yang berdiri sendiri.
41
2. Pemerintahan dilihat dari segi tata bahasa merupakan kata jadian , yang mendapat akhiran “an” pada subyek, yang artinya pemerintah sebagai subyek melakukan tugas / kegiatan. Sedangkan cara melakukan tugas / kegiatan tersebut disebut pemerintahan. Perbedaan pengertian kedua istilah tersebut dapat juga ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“pemerintah” diartikan sebagai sistem
menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya, atau sekelompok orang yang secara bersama – sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan, “Pemerintahan diartikan sebagai proses, cara perbuatan memerintah”. Demikian juga halnya Black’s Law Dictionary, yang menyebut “pemerintah” dengan sebutan government sebagai “the instrument or an agency of the state”
( pemerintah sebagai instrument atau lembaga negara) dan
“pemerintahan” dengan istilah administrasi yang diterjemahkan “governance” sebagai “management or performance of the executive duties of institution” (pemerintahan sebagai manajemen atau pelaksanaan tugas lembaga eksekutif). Dari pembedaan istilah pemerintah dan pemerintahan diatas, secara singkat dapat dikatakan bahwa pemerintah merupakan alat kelengkapan negara, menunjuk pada lembaga sebagai subyek dan pemerintahan adalah menujuk pada cara, perbuatan memerintah yang berarti menyangkut pelaksanaan fungsi. Berkaitan dengan pengertian kedua istilah tersebut, Bagir Manan memberikan pengertian “pemerintah” sebagai keseluruhan lingkungan jabatan
42
dalam suatu organisasi. Dalam organisasi negara, pemerintah sebagai lingkungan jabatan merupakan alat kelengkapan negara, seperti jabatan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta jabatan struktural lainnya. Pendapat Bagir Manan didukung SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD dengan mengikuti teori Trias Politica dari Montesquieu, menyatakan bahwa pemerintah dalam arti luas adalah semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam negara, baik kekuasaan eksekutif, maupun legislatif dan yudikatif. kelengkapan
Sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah organ / alat negara yang diserahkan tugas pemerintahan atau melaksanakan
undang – undang. Dari pengertian yang diberikan oleh Bagir Manan maupun SF. Marbun dan Mahfud MD dapat ditafsirkan, selain pemerintah diartikan sebagai organ, juga tampak adanya perluasan arti terhadap istilah pemerintah, karena pemerintah diartikan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas pemerintah
meliputi
lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan yudikatif. Dalam arti sempit pemerintah hanya meliputi lembaga eksekutif saja. A. Hamid S. Attamimi, berpendapat bahwa, kata “pemerintah” dalam bahasa Indonesia berarti “kekuasaan yang memerintah suatu negara atau daerah negara” atau kekuasaan yang tertinggi dalam sesuatu negara “ atau “badan tertinggi yang memerintah sesuatu negara”. Dan “pemerintahan” “perbuatan, atau cara atau hal urusan memerintah” .
43
berarti
Berdasarkan pandangan para ahli hukum mengenai kedua istilah tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan batasan pengertian pemerintah dan pemerintahan. Berdasarkan etimologi, pemerintah dan pemerintahan adalah kata jadian yang berasal dari kata dasar “perintah”
yang bermaksud menyuruh
melakukan sesuatu dan mendapat akhiran “an” sehingga menjadi pemerintahan. Pemerintahan adalah
sebagai obyek yaitu penyelenggaraan segala urusan
pemerintah, sedangkan pemerintah adalah menunjuk pada subyek yaitu badan / organ, alat perlengkapan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Selain perbedaan pengertian, kata pemerintah dan pemerintahan juga dapat dikaji dalam arti luas dan dalam arti sempit, yaitu : Pemerintah dalam arti luas adalah meliputi semua organ negara, yaitu : a. eksekutif, b. legislatif c. dan yudikatif, termasuk juga alat – alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara. Dalam arti sempit, pemerintah hanyalah meliputi kekuasaan eksekutif saja, yaitu organ negara yang menyelenggarakan seluruh kekuasaan negara diluar kekuasaan legislatif dan yudisial. Sedangkan pemerintahan dalam arti luas
meliputi segala urusan yang
dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan
44
kepentingan negara sendiri. Pemerintahan dalam arti sempit hanya terbatas pada fungsi menjalankan tugas eksekutif saja. Sebagai justifikasi pemerintah dalam arti luas dan sempit dapat dilakukan kajian terhadap beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menampakan adanya variasi dalam menentukan pengertian pemerintah dan pemerintahan. Pengertian pemerintah dalam arti luas secara tegas dianut oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pengertian pemerintah dalam arti luas terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menetukan : “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dari ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 di atas, terlihat jelas luasnya pengertian pemerintah, tampak pada cakupan penyelenggara negara yang tidak saja meliputi fungsi eksekutif, akan tetapi juga mencakup fungsi legislatif, dan yudikatif. Bahkan juga pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Hal ini juga menggambarkan bahwa pembagian kekuasaan yang dianut negara Indonesia tidak sepenuhnya menganut ajaran trias politika dari Montesquieu yang membagi kekuasaan negara atas legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
45
Sedangkan pengertian pemerintah dalam arti sempit dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 angka 1 dan angka 3 yang cakupan pengertian pemerintah maupun pemerintah daerah diartikan secara sempit. Ketentuan Pasal dimaksud yaitu : Pasal 1 angka 1 : Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 angka 3 : Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dari ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 3 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tampak dengan jelas bahwa yang dimaksud Pemerintah adalah Presiden saja, dan untuk di daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat daerah. Dengan kata lain yang termasuk pemerintah adalah penyelenggara pemerintahan yang menjalankan fungsi eksekutif yaitu oleh Presiden dan untuk di tingkat daerah oleh Gubernur, Bupati dan Walikota saja. Akan tetapi perkembangan pengertian pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan secara sempit tampak sedikit diperluas, perluasan pengertian ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 antara lain ditentukan sebagai berikut :
46
Pasal 1 angka 2 : Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatua Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 19 ayat (1) : Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh 1 (satu) orang wakil Presiden, dan oleh menteri negara. Pasal 19 ayat (2) :
“Penyelenggara pemerintahan daerah adalah
pemerintah daerah dan DPRD”. Inti dari ketentuan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dapat disimpulkan, pemerintahan merupakan tugas Presiden, wakil Presiden dan menteri negara. Di daerah pemerintahan tidak saja menjadi tugas pemerintah (Gubernur, Bupati, Walikota), akan tetapi juga menjadi tugas DPRD yang berdasarkan ketentuan Pasal 40 dan 41 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 merupakan lembaga
perwakilan
rakyat
daerah
dan
berkedudukan
sebagai
unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dengan kata lain dalam lingkup daerah, DPRD termasuk dalam pengertian pemerintah dalam arti luas bersama Gubernur, Bupati dan Walikota. Selain berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagaimana disampaikan diatas, pengkajian lebih lanjut terhadap pengertian pemerintah
dalam
arti
luas
dan
sempit
dapat
dilakukan
berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal dimaksud
47
dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang – Undang
Dasar”. Dalam Pasal 31 ayat (3) dinyatakan bahwa “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional …”. Pasal 31 ayat (5) menegaskan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi …”. Pasal 32 menegaskan , “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional”. Terhadap ketentuan pasal 4 ayat (1), Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5), Pasal 32 UUD NRI 1945, apa yang dimaksud dengan pemerintah dan pemerintahan, ada berbagai penafsiran. penafsiran dimaksud yaitu : 1. Pemerintah , pemerintahan sama dengan eksekutif. Pengertian pemerintah, pemerintahan sama dengan pengertian eksekutif, didasarkan pada pertimbangan : Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 membagi alat kelengkapan negara menjadi tiga, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif, meskipun tidak menekankan pada pemisahannya. Hal itu terlihat dengan adanya pembagian bab-bab dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan tentang Kekuasaan pemerintahan Negara (Bab III), tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Bab VII), dan tentang Kekuasaan Kehakiman (Bab IX). 2. Pemerintah lebih luas dari eksekutif. Pengertian pemerintah dalam UUD 1945 tidak hanya menyangkut eksekutif saja, tetapi juga meliputi fungsi – fungsi lainnya yang tidak terjangkau oleh fungsi legislatif dan yudikatif. Dengan kata lain, pemerintah selain melaksanakan ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, juga melaksanakan hal – hal yang memang menjadi tugasnya.
48
3. Pemerintahan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pengertian pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 ada yang memberikan pengertian dalam arti luas dan arti sempit. Pemerintahan dalam arti luas meliputi seluruh fungsi atau kegiatan kenegaraan, dalam hal ini pemerintahan Negara RI selain meliputi Presiden, juga meliputi fungsi – fungsi MPR, DPR, Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan Pemerintahan dalam arti sempit adalah fungsi Presiden saja, tidak termasuk fungsi lembaga – lembaga negara tertinggi dan tinggi lainnya. Dari kajian yang dilakukan baik berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat disimpulkan bahwa pengertian pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diartikan secara sempit dan sedikit diperluas. Demikian juga istilah pemerintahan adalah dimaknai sebagai proses dan fungsi, sedangkan pemerintah adalah sebagai organ atau aparat pelaksana. Lebih lanjut untuk lebih memahami konsep pemerintahan dan pemerintah dapat dikaji dari ruang lingkupnya. Apabila dikaji dari ruang lingkup pemerintahan dan pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu : ruang lingkup dalam arti luas dan sempit. Konsep pemerintahan dalam arti luas dapat dirujuk pendapat beberapa ahli hukum seperti AM. Donner
membagi
pemerintahan dalam arti luas dalam dua tingkatan, yaitu : a. Alat – alat pemerintahan yang menentukan haluan (politik) negara. b. Alat – alat pemerintahan yang menyelenggarakan dan merealisasikan politik negara yang telah ditentukan.
49
Sedangkan John Locke membagi kekuasaan negara (pemerintahan dalam arti luas ) menjadi tiga, yaitu : a. Kekuasaan legislatif meliputi pembuat peraturan. b. Kekuasaan eksekutif meliputi mempertahankan peraturan serta mengadili perkara. c. Kekuasaan federatif meliputi segala sesuatu yang tidak termasuk lapangan kedua kekuasaan eksekutif dan legislatif. Van Vollenhoven dalam bukunya Staats Oversee, yang disitir
E.
Utrech, mengemukakan penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan dalam arti luas) dibagi dalam empat fungsi, yaitu : a. Fungsi bestuur (pemerintahan dalam arti sempit). b. Fungsi
kepolisian,
yang
menjalankan
pencegahan
timbulnya
pelanggaran – pelanggaran terhadap tertib hukum dalam usaha memelihara tata tertib masyarakat. c. Fungsi mengadili, yaitu menyelesaikan sengketa – sengketa. d. Fungsi membuat perundang –undangan. Lemaire
dalam Djenal Hoesen Koesoemahatmadja,
pemerintahan dalam arti luas menjadi lima fungsi, yaitu : a. Penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurszorg).
50
membagi
b. Pemerintahan dalam arti sempit. c. Polisi. d. Peradilan. e. Membuat peraturan. Dari keempat pendapat di atas dapat disimak bahwa pemerintahan dalam arti sempit merupakan bagian dari pemerintahan dalam arti luas. Pemerintahan dalam arti sempit adalah fungsi badan pelaksana (eksekutif, bestuurs) tidak termasuk badan perundang-undangan, peradilan dan kepolisian.
B. Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) menentukan : Pasal 18 ayat (1) : Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat (3) : Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 18 ayat (4) : Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
51
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkandung amanat untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dalam lingkup wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Jadi tidak ada negara dalam negara yang mempunyai pemerintah
sendiri-sendiri.
Dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD. Apabila pengertian pemerintah dan pemerintahan dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam peraturan pemerintahan
daerah
di
Indonesia
berdasarkan
perundang-undangan
kesejarahan
mengalami
perkembangan. Dalam UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, pada Pasal 2 dan 3 yang pada intinya menentukan
bahwa Kedudukan Komite Nasional Daerah sebagai Badan
Perwakilan Rakyat Daerah
yang bersama kepala daerah menjalankan
pemerintahan sehari – hari di daerah. Jadi dalam undang – undang ini belum ditemukan istilah Pemerintah daerah maupun pemerintahan daerah, hal ini dapat dimaklumi karena undang – undang tersebut dibuat dalam situasi darurat sehingga undang-undangnya sangat sederhana. Istilah pemerintahan daerah baru ditemukan dalam UU No. 22 Tahun 1948 (Pasal 2 ayat 1), dalam UU No.1 Tahun 1957 (Pasal 5), Dalam UU No. 18 Tahun 1965 (Pasal 5 ayat 1) dan UU No. 5 Tahun 1974 (Pasal 13 ayat 1). Pengertian pemerintah daerah pada undang – undang di atas adalah sama, yaitu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
52
Dalam perkembangan selanjutnya istilah
pemerintah
daerah
dan
pemerintahan daerah ditemukan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Sedangkan Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota (Kepala Daerah) dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam
Hukum
Administrasi
Negara,pemerintah
daerah
diberikan
kekuasaan istimewa dalam menyelenggarakan bestuurszorgs / public service. Pandangan tersebut ada keterkaitan dengan maksud pembentukan pemerintahan daerah yang oleh undang-undang dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Sehingga pembentukan pemerintahan daerah lebih
menekankan pada kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban
untuk ikut
melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Mengenai tujuan dari pembentukan pemerintah daerah dapat dilihat dari aspek pembagian tugas dan fungsi serta wewenang antara pemerintah pusat (untuk selanjutnya disebut pemerintah) dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah merupakan unsur utama dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan berdasarkan inti dari Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah adalah merupakan sub sistem pemerintahan negara dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,
53
tujuan yang diemban oleh Pemerintah Daerah adalah sama dengan tujuan yang diemban oleh Pemerintah, yaitu mewujudkan cita – cita nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terlihat dari aspek – aspek manajemennya, terdapat pembagian tugas, fungsi dan wewenang antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Pemerintah Daerah dibentuk untuk mencegah menumpuknya kekuasaan pada Pemerintah yang dapat menumbuhkan kediktatoran. Di lain pihak adanya pemerintah daerah juga sebagai upaya mencapai sistem penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien, serta mewujudkan sistem pemerintahan demokratis, yakni pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat berpartisifasi aktif dalam
pelaksanaan
pemerintahan
dan
pembangunan.
Dengan
demikian
Pemerintah Daerah dalam kerangka negara kesatuan merupakan bagian dari Pemerintah
yang memperoleh kewenangan melalui peraturan perundang –
undangan yang berlaku. Tanpa dasar wewenang tersebut aparat pemerintah di daerah tidak dapat melakukan tindakan hukum. Jika dicermati dari konsep otonomi daerah, wewenang yang ada pada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri adalah merupakan wewenang delegasi, dalam hal ini Philipus M. Hadjon menyatakan otonomi daerah pada dasarnya adalah wewenang delegasi. Secara teoritis dalam penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dikenal sebagai sistem rumah tangga daerah. Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan
54
yang bersangkutan dengan cara – cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur, mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangga sendiri pada umumnya didasarkan atas tiga asas yaitu, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan. H. Muchsin dan Fadillah Putra menyatakan, sesungguhnya desentralisasi adalah produk pemikiran yang didasari oleh keinginan untuk meminimalisasi fungsi, peran dan kekuasaan negara. Desentralisasi memiliki dua dimensi, yakni dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Pada dimensi vertikal, desentralisasi menghendaki adanya pemberian wewenang yang lebih pada organisasi (yang dimaksudkan disini adalah organisasi pemerintah) yang pada level lebih rendah, dan pada saat yang sama meminimalisasi wewenang pada organisasi pada level yang lebih tinggi. Sedangkan pada dimensi horizontal, desentralisasi menghendaki adanya pemberian wewenang lebih pada organisasi selain organisasi pemerintah dalam menangani permasalahan-permasalahan publik, dan pada saat yang sama mengurangi wewenang dari organisasi pemerintah dalam hal menangani persoalan-persoalan publik. Pada pihak lain menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
55
Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Ditinjau dari segi pemberian wewenang, asas desentralisasi adalah asas yang akan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menangani urusan – urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri. Salah satu hal penting dalam manajemen, pemerintah atau bukan pemerintah, adalah seberapa luas desentralisasi diterapkan pada struktur organisasi, atau sebaliknya. Dalam Ilmu Administrasi Negara , menurur Robert D. Miewald, thema desentralisasi dan sentralisasi terutama berkenaan dengan fenomena tentang Delegation of Authority and Responsibility
(pendelegasian wewenang dan
tanggung jawab) yang dapat diukur dari sejauh mana unit – unit organisasi bawahan memiliki wewenang dan tanggung jawab di dalam proses pengambilan keputusan. Istilah desentralisasi,
secara etimologi berasal dari bahasa Latin yang
terdiri dari dua kata yaitu de yang berarti lepas, dan centrum yang berarti pusat. Sehingga dapat diartikan melepaskan diri dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan Pemerintah dari pusat
56
kepada daerah – daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom).
Pengertian desentralisasi ini
hampir sama dengan pendapat
Amrah
Muslimin yang menyebutkan desentralisasi ialah “pelimpahan kewenangan pada badan – badan dan golongan – golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangga sendiri. Lebih lanjut, Webster di dalam kamusnya merumuskan desentralisasi sebagai berikut : “To decentralize means to devide and distribute, as governmental administration, to withdraw from the center or of concentration”. “Desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi pemerintahan, mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi”. Sentralisasi, secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari kata centre yang berarti pusat, tengah. Dan secara terminologi, menurut B.N. Marbun, dalam Kamus Politik mengatakan, sentralisasi yang pahamnya dikenal dengan sentralisme adalah
pola kenegaraan yang memusatkan seluruh
pengambilan keputusan politik, ekonomi, sosial di satu pusat. Kemudian E. Peterson dan E.G. Plowman, secara tegas menyatakan bahwa sentralisasi sama dengan konsentrasi, sebagaimana diuraikan dalam pendapatnya sebagai berikut : “Sentralisasi berarti konsentrasi. Dapat dipandang sebagai suatu kekuatan yang terarah ke dalam, menarik hal – hal yang masuk dalam orbit pengaruh ke satu pusat yang sama (Centralization Means Concentration. It may be thought as a force, directed inward, drawing those which come within the orbit of influence toward a common centre)”.
57
Berdasarkan
defenisi
diatas
bisa
diinterpretasikan
bahwa
sistem
sentralisasi itu adalah seluruh decition (keputusan/Kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut undang - undang. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama. Dalam kaitan ini, perlu juga dijelaskan hubungan antara desentralisasi dengan sentralisasi. Adapun hubungan antara desentralisasi dengan sentralisasi dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Sentralisasi dan desentralisasi merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan, saling berkaitan dan saling mempengaruhi. 2. Sentralisasi dan desentralisasi merupakan dua ujung dari sepotong garis. Dimana titik yang bergeser leluasa pada garis yang ditarik antara kedua ujung menunjukkan kadar sentralisasi atau desentralisasi. Bagaimana juga ekstrimnya sentralisasi pada suatu organisasi, titik kadar tidak akan berada tepat pada salah satu garis. 3. Tidak ada sentralisasi tanpa desentralisasi. Bagaimanapun di dalam sentralisasi akan selalu dapat desentralisasi. Demikian pula sebaliknya.
58
4. Makin luas sentralisasinya , makin sempit desentralisasi, dan makin luas desentralisasi makin menyempit sentralisasi. Dapat dikatakan antara sentralisasi dengan desentralisasi terdapat hubungan yang sangat erat dan tak terpisahkan, karena kalau digambarkan dalam sebuah garis dimana sentralisasi dan desentralisasi menempati masing-masing ujung garis yang sama. Bila salah satu pendulum digeser, maka akan berpengaruh pada kuat dan lemahnya diantara kedua titik . Di samping adanya hubungan yang tidak terpisahkan antara desentralisasi dengan sentralisasi, kedua asas tersebut juga memiliki kelebihan dan kekurangan, dan ini berarti bahwa kelebihan desentralisasi merupakan kekurangan dari sentralisasi . J. in het Veld memberikan sejumlah kebaikan dari sentralisasi, yaitu : 1. Sentralisasi menjadi landasan kesatuan kebijaksanaan lembaga atau masyarakat; 2. Sentralisasi dapat mencegah nafsu memisahkan diri dari negara dan dapat meningkatkan rasa persatuan; 3. Sentralisasi meningkatkan rasa persamaan dalam perundang-undangan, pemerintah dan pengadilan sepanjang meliputi kepentingan seluruh wilayah dan bersifat serupa; 4. Dalam sentralisasi terdapat hasrat lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan daerah, golongan atau perorangan, masalah biaya untuk keperluan umum menjadi beban merata dari seluruh pihak; 5. Tenaga yang lemah dapat dihimpun menjadi suatu kekuatan yang besar. Dengan demikian dapat menyelenggarakan sesuatu yang besar dan berarti dibidang material, ideal dan moral;
59
6. Sentralisasi meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam menyelenggarakan pemerintahan meskipun hal tersebut belum merupakan suatu kepastian. Selain kebaikan dari asas sentralisasi, J. in het Veld menyajikan beberapa kebaikan dari asas desentralisasi, yaitu sebagai berikut : 1. Desentralisasi memberi penilaian yang lebih tepat terhadap daerah dan penduduk yang beraneka ragam; 2. Desentralisasi meringankan beban pemerintah, karena pemerintah pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan kebutuhan setempat dan tidak mungkin pula mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik – baiknya; 3. Dengan desentralisasi dapat dihindari adanya beban yang melampaui batas dari perangkat pusat yang disebabkan tunggakan kerja; 4. Pada desentralisasi unsure individu atau daerah lebih menonjol, karena dalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat yang luas; 5. Pada desentralisasi, masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, ia tidak hanya sebagai obyek saja; 6. Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan control terhadap segala tindakan dan tingkah laku pemerintah, ini dapat menghindarkan pemborosan dan dalam hal tertentu desentralisasi dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik benang merah dari asas desentralisasi dan sentralisasi serta perbedaannya, sebagai berikut : a. Desentralisasi
adalah
pemerintahan oleh
merupakan
penyerahan
wewenang
Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi dapat ditegaskan bahwa asas desentralisasi melahirkan daerah otonom.
60
Sehingga setiap
urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom dalam usaha untuk melaksanakan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab dari daerah otonom tersebut. Dalam hal ini inisiatif prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada
daerah
perencanaan, pelaksanaannya.
otonom,
yang
pelaksanaan,
meliputi
:
pembiayaan
kebijaksanaan, dan
perangkat
Konsekwensinya adalah semua keputusan dan
kebijakan dilakukan dan diputuskan di masing-masing daerah dan yang memutuskan maupun yang membuat kebijakan juga adalah putra daerah,sehingga pembanguna tepat sasaran, kemudian daerah bebas mengeksploitasi hasil alam yang ada sebagai sumber PAD dan mendapatkan perimbangan dana Pusat demi mengejar ketertinggalan yang ada selama ini. Adapun kekurangannya adalah akan menyuburkan tindakan perilaku KKN karena tidak ada intervensi dari pusat. b. Sentralisasi,
adalah
merupakan
pemusatan
kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan pada Pemerintah, dimana segala urusan
penyelenggaraan
pemerintahan,
perencanaan,
pelaksanaan,
pelaksananya
adalah
baik
pembiayaan
menjadi
menyangkut
sampai
kewenangan
aparat
Pemerintah.
Konsekwensi dari asas sentralisasi adalah waktu yang diperlukan untuk membuat kebijakan dan keputusan menjadi lama, kebijakan
61
dan keputusan yang dihasilkan tidak tepat sasaran sehingga perkembangan pembangunan yang diharapakn jauh dari kenyataan sehingga berinplikasi kepada pembanguna yang tidak merata pembagian hasil pendapatan daerah/ dana yang berimbang dari pusat juga tidak layak dan tidak sesuai. Dan dari segi pengawasan sangat sulit dilakukan.
2.2. Wewenang Pemerintah Daerah dalam Perpajakan b.3.1. Pengertian Pajak. Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti bahwa : “ Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak”. Pernyataan tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa manusia hidup bermasyarakat masing –masing individu membawa hak dan kewajibannya. Demikian juga terdapat proses timbal balik antara tiap individu tersebut dengan masyarakat. Artinya ada hak dan kewajiban individu terhadap masyarakat dan demikian sebaliknya ada kewajiban masyarakat terhadap individu. Bagi manusia yang memiliki falsafah hidup berdasarkan agama, bahwa semua kehidupan adalah anugrah Tuhan, sehingga patut menyerahkan sebagian pendapatannya untuk kesejahteraan sesama manusia. Kewajiban individu – individu terhadap masyarakat tersebut dalam konteks masyarakat dalam suatu negara dapat berupa pembayaran pajak.
62
Pembayaran pajak oleh individu kepada negara tersebut akan digunakan oleh masyarakat atau negara untuk melaksanakan kewajibannya kepada individu – individu warga negara. Pajak ditinjau dari segi ekonomi merupakan peralihan sumber daya ekonomi dari sektor rumah tangga dan swasta ke sektor pemerintah. Kemudian pemerintah membelanjakan penerimaan dari sektor rumah tangga dan swasta tersebut, baik berupa belanja pegawai maupun barang, ini berarti penerimaan tersebut didistribusikan kembali oleh pemerintah ke sektor rumah tangga dan sektor swasta. Untuk memahami lebih lanjut pengertian pajak, maka perlu dikemukakan beberapa definisi pajak dari beberapa ahli, sebagai berikut : P.J.A. Adriani mendefinisikan pajak sebagai berikut : “Pajak adalah iuran kepada negara ( yang dapat dipaksakan ) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. Definisi pajak menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) adalah : “Pajak adalah bantuan uang secara insendental atau secara periodik dengan tidak ada kontraprestasinya, yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang – undang telah menimbulkan utang pajak”. (“Steurn sind einmalige oder laufende Geldleistungen die nicht eine Gegenleistung fur eine besondere Leistung darstellen, und von einem offentlichrechtlichen Gemeinwesen zur Erzielung von Einkunften alien auferlegt warden, bei denen der Tatbestand Zutrifft an den das Fesetz die Leistungsplicht knupft”).
63
Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro adalah sebagai berikut : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa – jasa timbal (kontra- prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Dari beberapa definisi pajak yang telah dikemukan di atas terdapat kesesuaian pandangan, hal mana bila ditarik unsur-unsurnya dapat diintisarikan yaitu : adanya pungutan yang bersifat wajib, pungutan dilakukan berdasarkan undang-undang, tidak adanya kontraprestasi secara langsung. Akan tetapi, bila dicermati akan terjadi kontraprestasi secara tidak langsung melalui pembiayaan pengeluaran belanja rutin dan pembangunan yang akan dinikmati kembali oleh masyarakat. Selain berdasarkan pendapat para ahli hukum sesuai dengan jenis penelitian normatif yang digunakan dalam penelitian ini dipandang perlu mengkaji definisi pajak dari segi perundang-undangan.
Dalam
Undang – Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan definisi – definisi tersebut dapat ditarik ciri – ciri yang ada pada pengertian pajak. Adapun ciri – ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut :
64
Pertama,
Pajak merupakan kontribusi yang bersifat wajib dari orang atau badan
kepada negara dan dipungut berdasarkan undang – undang serta peraturan pelaksanaannya. Kedua, Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual secara langsung oleh pemerintah. Ketiga, Pajak dipungut oleh negara baik yang dipungut oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Keempat, Pajak diperuntukan bagi pengeluaran – pengeluaran dan biaya – biaya pemerintah dalam menjalankan fungsinya, yang apabila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai pembangunan atau public investment. Kelima, Pajak dapat juga membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu pengaturan pajak oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi mengatur. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah, maka kewenangannya bukan bersifat mandiri akan tetapi merupakan bagian atau kelanjutan dari urusan negara yang diamanatkan pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Secara normatif
pemberian kewenangan daerah oleh Pemerintah
melalui
peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian tanpa dasar wewenang tersebut aparat pemerintah daerah tidak dapat melakukan tindakan hukum dan mengadakan hubungan hukum antar aparat pemerintah (termasuk dalam hal ini adalah hubungan hukum antara pemerintah dengan daerah yang satu dengan yang
65
lainnya), maupun antara pemerintah dengan warga masyarakat dan/atau pihak lain.
Pajak
merupakan
sarana
reformasi
Negara
dalam
meningkatkan
kemandirian keuangan negara meningkatkan tingkat keadilan. Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat UUD NRI 1945. Secara singkat dan tegas pengaturan tentang pajak sebelum amandemen tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang – undang”. Dan setelah Amandemen pengaturan tentang pajak diatur lebih tegas lagi yaitu dalam Amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 23A yakni “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang – undang”.
b.3.2. Asas – Asas dan Syarat – Syarat Pemungutan Pajak Asas – asas prinsip adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan berfikir atau berpendapat untuk menjelaskan sesuatu permasalahan.
Lazimnya suatu pemungutan pajak harus dilandasai
dengan asas – asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. Dalam kaitan ini Mansury menyatakan sebagai berikut : “Dari pengalaman ternyata apabila tidak setiap ketentuan rancangan undang – undang pada saat penyusunannya selalu diuji apakah sejalan dengan tujuan dan asas atau syarat yang harus dipegang teguh, ketentuan tersebut mudah sekali mengatur sesuatu yang sebenarnya tidak sejalan dengan asas atau syarat yang harus dipegang teguh”.
66
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa suatu produk perundang-undangan sebelum ditetapkan harus dilakukan pengkajian dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam menentukan nasib bangsa dan negara, dan adanya keyakinan dan jaminan suatu produk peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan asas – asas untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak, sehingga betapa pentingnya asas sebagai dasar yaitu dasar yang mengandung kebenaran atau dasar sebagai tumpuan berfikir atau berpendapat dalam menjelaskan suatu permasalahan terkait dengan pemungutan pajak. Terkait dengan pengkajian asas-asas pajak ini, dipandang perlu untuk melakukan suatu kajian
apa yang menjadi dasar hukum pemungutan pajak.
Tujuan hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum dan menciptakan keadilan, demikian juga halnya dengan hukum pajak harus memberikan jaminan hukum dan keadilan yang tegas, baik untuk pemerintah selaku pemungut pajak (fiscus) maupun kepada rakyat selaku wajib pajak. Negara Indonesia sebagai negara hukum, segala sesuatu yang menyangkut pajak harus ditetapkan dalam undang-undang. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23-A adalah sebagai dasar hukum pemungutan pajak oleh pemerintah. Rasio dari pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang adalah karena adanya peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah tanpa ada jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung. Jadi pajak disini merupakan kekayaan rakyat yang diserahkan kepada negara. Biasanya peralihan kekayaan dari satu sektor ke sektor lain tanpa adanya kontraprestasi bisa terjadi dalam hal hibah,
67
perampasan, sehingga
dikenal
suatu
dalil seperti di Inggris yaitu : No
taxation without representation (tidak ada pajak tanpa undang-undang) dan di Amerika yaitu : Taxation without representation is robbery
(pajak tanpa
undang-undang adalah perampokan). Jadi dengan ditetapkan pajak dalam bentuk undang-undang, berarti pajak bukan perampasan hak atau kekayaan rakyat karena dalam
proses
pembentukannya
sudah
disetujui
oleh
rakyat
melalui
wakil-wakilnya. Adam Smith (1723 - 1790) dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut “The four Maxims” dengan uraian sebagai berikut : 1. Equality (asas persamaan). Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau wajib pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing – masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di bawah perlindungan negara. Yang dimaksud “keuntungan” di sini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah perlindungan negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara wajib pajak. Jadi dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama. 2. Certaity (asas kepastian): Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subyek dan obyek pajak. 3. Conveniency of Payment (asas menyenangkan) : Pajak seharusnya dipungut pada waktu yang paling menyenangkan bagi para wajib pajak, misalnya : pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap para petani sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang yaitu pada saat panen. 4. Low Cost of Collection (asas efisiensi) :
68
Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan anggaran belanja Negara.
Pajak sebagai suatu kewajiban dari wajib pajak kepada negara yang walaupun pada proses berikutnya ada suatu pendistribusian berupa hasil – hasil pajak
kepada
masyarakat,
dalam
pemungutannya
sudah
seharusnya
memperhatikan asas-asas pemungutan pajak. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam pemungutan pajak agar tidak terjadi perlawanan ataupun hal – hal lain yang kontra produktif dengan tujuan dilakukannya pemungutan pajak. Untuk mewujudkan tujuan dari pemungutan pajak tanpa menimbulkan konflik asas – asas pemungutan wajib diperhatikan oleh pembuat undang-undang pajak yang tampak secara tersirat dalam konsideran menimbang. Adapun asas pemungutan pajak secara umum dalam ketentuan Undang-undang perpajakan adalah : 1. Asas yuridis, asas ini mempunyai makna bahwa setiap pemungutan pajak wajib didasarkan pada undang-undang. Dalam sistem perpajakan di Indonesia asas ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23-A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menentukan : “Pajak dan pungutan lain bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
69
2. Asas kepastian hukum, artinya bahwa ketentuan – ketentuan perpajakan tidak boleh mengandung keragu-raguan, harus jelas dan tidak mengandung penafsiran ganda. 3. Asas keadilan, artinya alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat harus mencerminkan keadilan. 4. Asas manfaat, artinya pengenaan pajak oleh pemerintah didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat dari fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. 5. Asas tidak mengganggu perekonomian ( asas non distorsi), yaitu pajak harus tidak menimbulkan kelesuan ekonomi seperti : inflasi, mis alokasi sumber-sumber daya. Apabila dicermati dengan menyandingkan pendapat Adam Smith dengan yang tersirat dalam undang-undang pajak pada umumnya, terdapat kemiripan dan saling mengadopsi. Hal mana dapat dijelaskan : asas equality (persamaan) tercakup asas keadilan dan asas manfaat menurut undang-undang pajak, asas conveniency of payment (asas menyenangkan) dan asas low cost of collection (asas efisiensi) ada kesesuaian dengan asas non distorsi, asas certaty (asas kepastian) sesuai dengan asas kepastian hukum. Dari asas-asas tersebut, menurut penulis ada suatu keterkaitan antara asas yang satu dengan asas yang lainnya. Keterkaitan ini dapat dijelaskan : kepastian hukum akan terwujud apabila ada suatu aturan hukum (undang-undang) yang mengatur, keadilan dapat dirasakan apabila ada kesesuaian antara manfaat yang
70
diperoleh oleh wajib pajak dengan beban pajak yang dibebankan berdasarkan undang-undang yang menjadi dasar hukum dalam pemungutan pajak. Selain asas – asas yang dijelaskan di atas menjadi suatu keharusan untuk diperhatikan, bahwa untuk optimalnya maksud pemungutan pajak agar sesuai dengan yang diharapkan, dalam undang-undang perpajakan tersirat beberapa syarat yang juga harus dipenuhi dalam pemungutan pajak, yaitu : 1. Pemungutan Pajak Harus Adil (syarat keadilan) : “Asas ini sama dengan asas pertama dalam teori Adam Smith. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan, maka undang – undang dan peraturan pelaksanaan pemungutan pajak harus memperhatikan aspek keadilan. Adil dalam undang – undang dan peraturan pelaksanaannya tersebut harus berlaku secara umum dan merata, tidak diskriminatif serta disesuaikan dengan kemampuan masing – masing wajib pajak” 2. Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang–Undang (Syarat Yuridis) : Di Indonesia pajak diatur dalam Pasal 23 -A Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan tersebut memberikan jaminan hukum bagi pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia. 3. Tidak Mengganggu Perekonomian (syarat ekonomi) : “Syarat ini mengharuskan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak jangan sampai mengakibatkan hal – hal yang kontra-produktif dengan
71
kegiatan perekonomian secara keseluruhan. Dengan kata lain, pemungutan pajak tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap kegiatan produksi maupun distribusi dan perdagangan yang pada akhirnya akan mengakibatkan dampak yang negatif terhadap perekonomian”. 4. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana : “Sistem pemungutan pajak harus sederhana dimaksudkan agar wajib pajak tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, bahkan seharusnya sistem pemungutan pajak harus dapat mendorong wajib pajak untuk dapat memenuhi kewajiban perpajakannya”.
Dari syarat-syarat yang diuraiakan tersebut optimalnya
dapat dikatakan bahwa
pemungutan pajak bisa tercapai apabila dalam pemungutannya
memperhatikan syarat-syarat yang menjamin lancarnya proses pemungutan pajak, seperti misalnya harus memenuhi syarat yuridis, memenuhi rasa keadilan, proses yang sederhana, tidak mengganggu perekonomian.
4.3.3. Fungsi Pajak Berdasarkan uraian asas – asas pajak yang merupakan alas dasar atau alas pembenar pemungutan pajak, jika dikaitkan dengan fungsi pajak akan didapat suatu gambaran bahwa pajak sangat penting peranannya dalam usaha
72
penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi pajak secara umum adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran pemerintah baik berupa belanja pembangunan
maupun
belanja
pegawai,
untuk
tujuan
mensejahterakan
masyarakat. Adapun fungsi pajak dalam literatur digolongkan menjadi dua yaitu : fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Dalam perkembangannya fungsi pajak tersebut bertambah dua fungsi lagi,
yaitu fungsi demokrasi dan fungsi
redistribusi. Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak – banyaknya sesuai dengan undang – undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran negara. Fungsi regulerend adalah fungsi pajak untuk mengatur (men-drive) kegiatan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Fungsi mengatur ini juga digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang mungkin letaknya di luar bidang keuangan, seperti dipakai sebagai alat untuk turut mengembangkan atau mematikan suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat.
4.3.4. Subyek Pajak dan Obyek Pajak Bumi dan Bangunan a. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan
73
Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 1985 tentang pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana terakhir dirubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Undang – undang Perubahan Undang – undang Pajak Bumi dan Bangunan), Pasal 4 ayat (1), yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Selanjutnya dalam ayat (2) nya ditentukan bahwa subyek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
b. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No. 12 tahun 1985 ditentukan bahwa yang menjadi obyek pajak adalah : 1. Bumi yaitu permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Permukaan
bumi
meliputi
tanah
dan
perairan
perdalaman serta laut wilayah Indonesia. 2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Pengertian Bangunan meliputi antara lain : jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan; jalan tol; kolam renang; tempat olah raga;
galangan kapal, dermaga;
74
pagar mewah; taman mewah;
tempat penampungan / kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; fasilitas lain yang memberikan manfaat. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 tahun 1994, obyek pajak yang dikenakan pajak di atas, terhadap obyek pajak tertentu dikenakan pengecualian pajak, yaitu : a. Digunakan semata – mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.
e.3.5. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana dirubah dengan UU No. 12 Tahun 1994, PBB
75
adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan / atau bangunan. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan, dalam arti bahwa besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan obyek yaitu bumi dan / atau bangunan, keadan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Akan tetapi dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, di mana daerah mempunyai kewenangan yang semakin besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan yang besar tersebut sudah selayaknya diimbangi dengan kewenangan yang besar pula dalam bidang perpajakan dan retribusi, sehingga
dapat
meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan diberikannya kewenangan yang besar dibidang perpajakan dan retribusi kepada daerah kabupaten / kota yang diatur dengan ditetapkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), maka terjadi pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang semula dikelola oleh Pemerintah diserahkan sepenuhnya kepada daerah kabupaten / kota. Pengalihan dimaksud adalah menyangkut semua kewenangan terkait pengelolaan PBB Perdesaan dan Perkotaan yang meliputi : proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan / penagihan dan pelayanan. Sehingga membawa konsekuensi kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola keuangan daerah masing – masing dengan mencari sumber – sumber penerimaan potensial yang dimiliki. Salah satu ciri suatu Daerah
76
Otonom mampu berotonomi adalah terletak pada kemampuan daerah dalam mengelola keuangan daerah. Adapun yang menjadi tujuan Pemerintah
kepada
daerah
kabupaten
pengalihan pengelolaan PBB dari /
kota,
berdasarkan
Penjelasan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 adalah untuk meningkatkan kemampuan daerah untuk menggali sumber PAD khususnya dari sektor pajak dalam rangka untuk mengimbangi tugas dan tanggung jawab daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Kewenangan daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 meliputi : a. Memperluas obyek pajak daerah dan retribusi daerah; b. Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah ( termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah ); c. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah; d. Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrument penganggaran dan pengaturan pada daerah. Penambahan jenis pajak dimaksud diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU PDRD yang menentukan jenis – jenis pajak kabupaten / kota adalah meliputi : a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame
77
e. Pajak Penerangan Jalan f. Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan g. Pajak Parkir h. Pajak Air Tanah i. Pajak Sarang Burung Walet j. Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan. Dengan adanya pengalihan kewenangan dari Pemerintah kepada daerah dalam hal perpajakan dan retribusi sebagaimana diuraikan di atas, perlu kiranya dijelaskan hal – hal yang menyangkut perubahan materi diantara kedua undang – undang tersebut, yang dapat dijadikan sebagai perbandingan dalam pengaturan materi undang – undangnya. Beberapa hal yang dipandang perlu ditekankan adalah : subyek pajak. Antara pengelolaan oleh Pemerintah dengan yang dikelola oleh kabupaten / kota subyek pajaknya sama, yaitu Orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau
memiliki, menguasai
dan/atau
memperoleh
manfaat
atas
bangunan. (Pasal 4 Ayat (1) UU PBB sama dengan Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU PDRD). Sedangkan terkait dengan obyek pajaknya ada sedikit perbedaan yaitu dalam UU PBB obyek pajaknya adalah : bumi dan / atau bangunan, tetapi dalam UU PDRD ditentukan, obyek pajak adalah bumi dan / atau bangunan, kecuali
78
kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan
pertambangan. Dengan adanya pengalihan pengelolaan pajak dan retribusi dari Pemerintah kepada daerah kabupaten / kota, membawa keuntungan bagi daerah kabupaten / kota
karena
penerimaan
dari
PBB
100%
akan
masuk
ke
pemerintah kabupaten/kota. Saat dikelola oleh Pemerintah Pusat (DJP) pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%. Akan tetapi pada
sisi lain, untuk meraih keuntungan tersebut daerah
kabupaten / kota harus mempersiapkan diri untuk melaksanakan pengelolaan dimaksud, seperti : 1. Peraturan daerah, Peraturan kepala daerah, dan SOP 2. Sumber Daya Manusia 3. Struktur organisasi dan tata kerja 4. Sarana dan prasarana 5. Pembukaan rekening penerimaan 6. Kerja sama dengan pihak-pihak terkait (notaris/PPAT, BPN, dll) Berdasarkan asas-asas pajak dan syarat-syarat pajak yang dijelaskan pada halaman
64 – 70 di atas, selain mempersiapkan diri terkait pengalihan /
pelimpahan pengelolaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, pemerintah kabupaten / kota juga wajib memperhatikan beberapa hal seperti : 1. Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah
79
2. Kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat 3. Menjaga kualitas pelayanan kepada WP 4. Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga Demikian juga berdasarkan pengalihan tersebut pemerintah daerah kabupaten / kota akan berpeluang untuk menyeimbangkan kepentingan budgeter dan regular karena diskresi kebijakan ada di kabupaten / kota, Penggalian potensi penerimaan yang lebih optimalkan terkait jaringan birokrasi yang lebih luas, peningkatan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak, serta peningkatan
akuntabilitas
penggunaan penerimaan PBB. Kewenangan Daerah Kabupaten Badung dalam pengelolaan Pajak Bumi dan bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah sejak ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2013. Sehingga sejak tanggal berlakunya segala hal yang terkait dengan pajak bumi dan bangunan menjadi urusan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung.
BAB III DASAR PEMBENAR PEMBEBASAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Pembahasan dalam bab ini ditujukan pada alas pembenar pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan yang kajiannya meliputi :
80
1. Pembenaran teoritis dan filosofis pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau. 2. Pembenaran yuridis pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau. 1. Pembenaran
Teoritis
dan
Filosofis
Pembebasan
Kewajiban
Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Kawasan Jalur Hijau. a. Pembenaran Teoritis. Tugas wajib pajak adalah memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak yaitu membayar pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan, sebagai akibat telah dinikmatinya atau diterimanya manfaat dari obyek pajak.
Dapat
dikatakan bahwa antara hak dan kewajiban wajib pajak harus seimbang. Namun kondisi seperti itu akan dirasakan membebani wajib pajak yang tanahnya ditetapkan atau terkena kawasan jalur hijau, karena tanah – tanah yang terkena atau termasuk kawasan jalur hijau tidak dapat dimanfaatkan selain untuk peruntukan lahan hijau atau lahan pertanian. Pengharapan yang layak dari pemilik tanah yang terkena kawasan jalur hijau supaya dapat memperlakukan tanah-tanah mereka untuk tujuan yang lebih bermanfaat seperti untuk rumah tinggal, tempat usaha, dikontrakkan kepada investor, yang hasilnya mampu memberikan nilai tambah untuk peningkatan taraf hidup. Untuk menghindari atau mengurangi beban wajib pajak di kawasan jalur hijau, berdasarkan Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 tentang Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung,
81
kepada mereka yang memiliki, menguasai atau memanfaatkan sebagai
lahan
pertanian diberikan penghargaan peduli lingkungan dalam bentuk pembebasan dari kewajiban senilai pajak yang terhutang sebagaimana tertera dalam surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) dalam tahun yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 Tentang Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung Tahun 2011, dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1954/02/HK/2012 Tentang Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung Tahun 2012. Pembebasan, merujuk pada
arti kata, dalam kamus bahasa Indonesia
“pembebasan” berarti : pertama, proses, cara, perbuatan membebaskan; kedua, perihal membebaskan. Kata “pembebasan” merupakan sinonim atau persamaan arti kata “pengecualian”.
Dengan kata lain pembebasan pajak juga berarti
pengecualian dari kewajiban membayar pajak. Pembebasan dimaksud merupakan salah satu bentuk atau wujud dari pemberian penghargaan atau apresiasi dari pemerintah daerah kepada wajib pajak di kawasan jalur hijau yang tanahnya terkena jalur hijau. Pembenaran secara teoritis pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di
kawasan jalur hijau, kajiannya akan meliputi aspek-aspek
sebagai berikut :
82
a.1. Asas Hukum dalam Pembebasan Kewajiban Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Kawasan Jalur Hijau. Kata “asas” berdasarkan terminologi bahasa, sebagaimana disebutkan oleh Dudu Duswara Machmudin mengandung dua pengertian, yaitu : pertama, asas adalah dasar, alas, pondamen; kedua, asas adalah sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa asas dapat disebut sebagai dasar, tumpuan berpikir atau berpendapat. P. Scholten, mengemukakan atau mendefinisikan asas hukum sebagai berikut : “ asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya”. Atau dengan kata lain, dari definisi P. Scholten tersebut, Yuliandri mengemukakan bahwa asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dapat
dimengerti
tanpa
asas-asas
hukum.
Sudikno
Mertokusumo
juga
mengemukakan, bahwa : Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dari peraturan yang konkret tersebut.
83
Bertitik tolak dari pemahaman
asas hukum sebagai dasar atau tumpuan
berpikir dari pembentuk peraturan hukum yang mengandung nilai-nilai etis dan landasan bagi lahirnya suatu norma hukum positif, maka asas hukum harus diperhatikan
dalam
pembentukan
hukum
(pembentukan
peraturan
perundang-undangan), sehingga apa yang menjadi tujuan dari pembentukan hukum, yaitu untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan. Demikian juga halnya dalam pembebasan pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau, asas yang melatarbelakanginya adalah adanya keseimbangan karena
wajib pajak
Peraturan Daerah tentang
telah mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Jalur Hijau untuk menjaga kelestarian lingkungan,
sehingga dinilai layak dan pantas diberikan pembebasan pajak yang walaupun dibebankan pada APBD.
a.2. Negara Hukum. Konsep negara hukum kesejahteraan merupakan perkembangan dari konsep negara hukum formal, mengingat tugas negara tidak hanya menjaga keamanan atau sebagai penjaga malam (nachtwachtterstaat) saja, akan tetapi juga secara aktif menyelenggarakan urusan-urusan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (kesejahteraan umum), oleh Lemaire disebut bestuurzorg.
84
Sebagaimana diketahui berdasarkan kesejarahan, konsep negara hukum formal merupakan perkembangan dari konsep negara hukum klasik (liberal) atau negara hukum
penjaga malam, dengan dilengkapi dengan unsur-unsur lain
sebagai penambahannya. Penambahan unsur lain di sini, menurut Hotma P. Sibuea, untuk memberikan jaminan kebebasan dan perlindungan yang lebih baik kepada individu dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang penguasa sekaligus membuka peluang yang terbatas kepada pemerintah untuk turut campur dalam kehidupan individu. Turut campur pemerintah secara terbatas dalam kehidupan individu dipandang perlu dalam rangka pemerataan pendapatan atau paling tidak kesejahteraan rakyat dapat diselenggarakan. Negara hukum formal dipelopori oleh Julius Stahl, yang menurut Julius Stahl, ada empat unsur negara hukum formal, yaitu : 1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia; 2. Pemisahan kekuasaan; 3. Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan undang-undang; 4. dan adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri. Berdasarkan unsur-unsur negara hukum formal sebagaimana dikemukakan Julius Stahl, dapat dipahami bahwa hak asasi sebagai hak dasar yang dibawa sejak manusia dilahirkan wajib dilindungi, melalui pemisahan kekuasaan yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan serta adanya peradilan administrasi negara sebagai ruang atau jalur hukum bagi masyarakat dari kesewenangan badan atau
85
pejabat administrasi negara, karena tidak menutup kemungkinan pejabat administrasi negara dalam melakukan tindakan administrasi negara melakukan perbuatan melanggar hukum. Perbuatan melanggar hukum tersebut menurut Johanes Usfunan kemungkinan terjadi akibat kelalaian badan atau pejabat administrasi negara yang bertindak kurang cermat ( zorgvuldigheid) atau karena kesengajaan badan administrasi negara. Dalam pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau, dasar hukum sebagai payung hukum pembebasan kewajiban pajak dimaksud wajib diadakan sebagai jaminan perlindungan hak-hak individu dari kesewenang-wenangan penguasa / pemerintah. Keterbatasan kewenangan pemerintah untuk turut serta campur tangan dalam kehidupan pribadi masyarakat berdasarkan asas legalitas dengan konsep kepastian hukumnya, sebagai ciri negara hukum formal dalam mengimbangi perkembangan masyarakat yang begitu cepat menemui kendala. Kendala yang dihadapi sebagai akibat dari sifat statis pemerintah. Dalam arti, pemerintah baru akan bertindak atau berbuat sesuatu apabila ada undang-undang yang mengatur sebelumnya. Sehingga dituntut adanya perubahan paradigma dalam konsep negara hukum, dari negara hukum formal ke negara hukum materiil atau negara hukum kesejahteraan (welfare state). Negara hukum materiil (welfare state) merupakan negara hukum yang sangat kompleks.
Menurut Hotma P. Sibuea, kompleksitas
negara hukum
materiil karena meliputi berbagai aspek, yaitu politik, sosial, budaya, dan
86
ekonomi. Sebagaimana juga dikatakan oleh Azhary
yang menggambarkan
kompleksitas negara hukum materiil dengan mengemukakan,
“… Negara
kesejahteraan yaitu suatu negara yang selain sebagai penjaga malam, juga ikut serta dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, sebagai pembagi jasa-jasa, penengah bagi berbagai kelompok yang bersengketa, dan ikut aktif dalam berbagai bidang kehidupan lainnya”. Negara hukum kesejahteraan (welfare state) dapat dikatakan sebagai penyempurnaan dari ide negara hukum formal, sebab tipe negara hukum kesejahteraan (welfare state) tidak berpedoman kepada pendekatan yang bersifat formal seperti negara hukum formal. Pendekatan formalistis semata-mata ternyata tidak dapat memberikan jaminan kesejahteraan rakyat akan dapat diselenggarakan, meskipun ada kepastian hukum dan kekuasaan penguasa dibatasi secara ketat dengan bersaranakan hukum. Konsep negara hukum materiil yang dianut negara Indonesia, karena negara bertujuan untuk tidak saja menjaga keamanan dan ketertiban, akan tetapi juga secara aktif menyelenggarakan kesejahteraan umum (rakyat) untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
baik materiil maupun spiritual
sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alenia keempat. Rukmana Amanwinata menyatakan negara hukum Indonesia adalah memiliki karakter mandiri. Kemandirian tersebut dilihat dari pemaparan konsep negara hukum pada
87
umumnya sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia dengan tolok ukur Pancasila. Oleh karena itu negara Indonesia adalah negara hukum Pancasila. Tujuan negara hukum materiil (welfare state) adalah memberikan kesejahteraan kepada segenap masyarakat (kesejahteraan umum). Dalam rangka kesejahteraan umum tersebut, negara hukum meteriil menghadapi beberapa masalah yang sangat prinsip yaitu berkenaan dengan upaya-upaya yang harus ditempuh pemerintah supaya kesejahteraan umum dapat dinikmati segenap lapisan masyarakat. Apabila
dikompilasikan
dengan
konsep
pembebasan
kewajiban
pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau, pemerintah daerah telah menunjukkan suatu upaya dimaksud, supaya kesejahteraan dapat dinikmati masyarakat umum, terutama dalam penulisan ini, bagi masyarakat yang tanahnya terkena kawasan jalur hijau diberikan suatu bentuk kenikmatan berupa pembebasan pajak bumi dan bangunan untuk meringankan beban pajak, karena tanahnya tidak bisa difungsikan selain yang telah ditentukan dalam Perda Jalur Hijau. Jadi, dengan berdasarkan kepada konsep negara hukum
selain
menekankan pada asas legalitas dengan kepastian hukumnya, upaya-upaya pemerintah
dalam usaha penciptaan kesejahteraan umum (kesejahteraan
masyarakat) juga wajib diimbangi dengan tujuan dan kemanfaatan yang ingin dicapai. Dengan kata lain tidak hanya semata-mata berdasarkan pada peraturan
88
perundang-undangan yang harus ada sebelumnya, akan tetapi harus dipadukan dengan tujuan yang ingin dicapai serta manfaat yang akan didapat. Sehingga dengan berdasarkan pada konsep negara hukum , pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau memperoleh atau mendapat pembenaran, karena pengaturan pembebasan tersebut tidak semata-mata mempertimbangkan dari aspek kepastian hukumnya saja, akan tetapi juga dari kemanfaatannya dan berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat dalam usaha penciptaan kesejahteraan umum (bestuurzorg).
a.3. Pembebasan Kewajiban Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dalam Kewenangan Diskresi (Freies ermessen). Secara etimologi, freies ermessen berasal dari kata frei yang berarti bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka, serta ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Jika bertitik tolak dari pengertian etimologi, istilah freies ermessen atau diskresi mengandung pengertian kemerdekaan atau kebebasan untuk membuat pertimbangan, penilaian dan perkiraan tentang suatu keadaan, situasi, hal atau masalah tertentu. Pada dasarnya baik secara etimologi maupun menurut pengertian kamus hukum, freies ermessen atau diskresi adalah hak atau kewenangan pejabat administrasi negara untuk mengambil suatu tindakan yang dianggap pantas atau patut sesuai dengan keadaan faktual yang dihadapi oleh pejabat administrasi negara yang bersangkutan. Atau menurut Thoma J. Aaron, diskresi atau freies ermessen
89
merupakan kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atau pertimbangan dan keyakinan yang lebih menekankan pada pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum. Jadi dari kedua konsep
tersebut,
freies ermessen atau diskresi
mensyaratkan tindakan dilakukan atas dasar hukum, walaupun dalam suatu kondisi tertentu pertimbangan hukum dikesampingkan dan lebih mendasarkan pada pertimbangan moral, sehingga moral lebih mendasari pertimbangan atas tindakan yang dilakukan dari pada hukum dan dituntut kualitas moral pejabat administrasi negara dalam melakukan freies ermessen atau diskresi. Akan tetapi perlu ditekankan disini bahwa pemberian kewenangan freies ermessen atau diskresi kepada pemerintah (pejabat administrasi negara) harus didasarklan pada beberapa alasan tertentu. Ini berarti diskresi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan terikat kepada persyaratan yang bersifat kondisional. Tanpa kehadiran persyaratan yang kondisional, freies ermessen atau diskresi tersebut pada dasarnya tidak boleh dilakukan. Menurut Ridwan H.R. ada tiga alasan atau keadaan kondisional yang menjadikan pemerintah dapat melakukan dindakan freies ermesen atau diskresi, yaitu sebagai berikut : 1. Belum ada perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera; 2. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan aparat pemerintah telah memberikan kebebasan sepenuhnya; 3. Adanya delegasi perundang-undangan, yaitu pemberian kekuasaan untuk mengatur sendiri kepada pemerintah yang sebenarnya kekuasaan itu dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya.
90
Sesuai dengan uraian di atas, Hotma P. Sibuea, mengatakan bahwa, ketika salah satu keadaan (angka 1 s/d 3) yang disebut diatas terjadi pemerintah dapat mengambil tindakan freies ermessen atau diskresi. Sebagai justifikasi diberikannya kewenangan diskresi (freies ermessen) kepada badan atau pejabat administrasi negara, dapat dipakai konsep dari Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan di Indonesia sangat popular disebut kekuasaan eksekutif yang tidak murni dalam praktek. Ditegaskan lagi dengan memakai konsep bestuur yang dikaitkan dengan sturen, dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial, sehingga kekuasaan pemerintahan tidak sekedar sebagai pelaksana undang-undang saja. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan yang aktif, yang dalam konsep hukum administrasi negara merupakan unsur utama dari bestuuren, yang secara intrinsik meliputi : kontinu, penggunaan kekuasaan, lingkungan di luar legislatif dan yudisial, diarahkan pada suatu tujuan (doelgerichte). Dijelaskan juga oleh Johanes Usfunan bahwa, dengan konsep bestuur tersebut, kekuasaan pemerintah tidaklah semata-mata sebagai suatu kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan yang bebas (vrij bestuur, Freies ermessen, discretionary power). Sehingga dengan berdasrkan pada konsep sturen tersebut fungsi pemerintahan dalam negara ternyata demikian luas dan kompleks.
91
Untuk itu dalam rangka mempercepat pelayanan kepada masyarakat, pemerintah diserahi kebebasan untuk bertindak dan kebebasan untuk penilaian. Berdasarkan teori freies ermessen atau diskresi sebagaimana dijelaskan di atas, tindakan pemerintah daerah dengan memberikan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dengan mensubsidi dari dana APBD, diawali dari kekosongan norma sementara dalam kondisi faktual alih fungsi lahan hijau produktif penilaian oleh badan
berjalan begitu cepat, dengan kebebasan
atau pejabat administrasi negara, sehingga tindakan
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung sebagai bentuk tindakan diskresi atau freies ermessen yaitu bertindak secara bebas dengan pertimbangan sendiri dan tanggung jawab atas tindakan tersebut untuk suatu tujuan yaitu terjaganya kelestarian lingkungan. Mengingat
konsep diskresi atau freies ermessen adalah kebebasan
bertindak atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri, dimaknai sebagai kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diemban dalam kaitan menjalankan bestuurzorg.
Karena freies ermessen atau diskresi mensyaratkan tindakan
dilakukan atas dasar hukum, walaupun dalam suatu kondisi tertentu pertimbangan hukum dikesampingkan dan lebih mendasarkan pada pertimbangan moral, sehingga moral lebih mendasari pertimbangan atas tindakan yang dilakukan dari pada hukum.
92
Demikian halnya dengan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dengan cara subsidi oleh pemerintah daerah untuk membayar kewajiban pajak yang dibebankan pada dana APBD, tampak bahwa pertimbangan moral yang lebih diutamakan daripada pertimbangan hukum. Karena kalau pertimbangan hukum yang lebih diutamakan, akan berakibat pada :
1. Tidak terjaganya kelestarian lingkungan sebagai akibat alih fungsi lahan pertanian yang begitu cepat dan masif; 2. Kurang tertatanya lingkungan sebagai akibat perkembangan dan tuntutan kehidupan yang begitu kompleks; 3. Lahan hijau sebagai paru – paru kota atau perdesaan yang bermanfaat untuk kesehatan mahluk hidup akan semakin menipis dan bahkan hilang sama sekali karena berganti dengan bangunan atau gedung-gedung; 4.
Pembebasan dengan mensubsidi akan mengarah pada perbuatan yang melawan hukum karena masuk pada ranah KKN. Dengan demikian, pertimbangan moral dalam kebebasan bertindak atas
inisiatif sendiri (diskresi / freies ermessen) yang diberikan kepada pemerintah dalam negara hukum kesejahteraan (welfare state), apabila diimplementasikan pada pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau
menunjukkan suatu proses perubahan pola pikir mengenai tujuan
negara hukum. Sebagaimana tujuan utama dalam negara hukum materiil adalah kemanfaatan (doelmatig) hukum demi mencapai kesejahteraan masyarakat.
93
Sehingga ide negara hukum kesejahteraan atau negara hukum materiil memberikan kebebasan bertindak kepada pemerintah. Jadi pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dalam bentuk subsidi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dapat dibenarkan, sebagai salah satu bentuk diskresi / freies ermessen berdasarkan hukum yang memihak pada masyarakat yang diharapkan mampu menekan alih fungsi lahan produktif di kawasan jalur hijau, sehingga pembebasan kewajiban pembayaran pajak dimaksud dapat
dikatakan sebagai instrument
jaring pengaman lahan hijau produktif. Untuk memperkuat pembenaran ini, dapat dijadikan acuan, data dari Time Series menunjukkan, alih fungsi lahan di Kabupaten Badung tahun 2003 sampai dengan 2005 mencapai rata-rata 101,33 hektar (ha) per tahun. Dalam kurun waktu diberikannya pembebasan pajak dengan subsidi angka tersebut justru menurun rata-rata hanya 17,57 ha per tahun (Bali Post : 20 Januari 2013). Data tersebut menunjukkan dengan adanya atau diberikannya pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dengan cara disubsidi oleh pemerintah daerah dari dana APBD mampu menekan alih fungsi lahan hijau produktif dan manfaat yang diperoleh dari pembebasan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan negara hukum kesejahteraan. Akan tetapi, meskipun pemerintah (pemerintah daerah) diberikan kewenangan bertindak atas inisiatif sendiri demi kemanfaatan hukum, dalam
94
bentuk pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau, tidak berarti tujuan kepastian hukum menjadi dikesampingkan atau diabaikan. Kepastian hukum harus tetap mendapat perhatian, meskipun pemerintah diberikan kewenangan untuk bertindak atas inisiatif sendiri demi mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. Secara ideal, dapat dikatakan bahwa kedua asas tersebut, yaitu asas kepastian hukum dan kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri harus seiring sejalan dan hidup secara berdampingan serta saling melengkapi supaya kelestarian lingkungan tetap terjaga demi tercapainya kesejahteraan umum sebagai tujuan negara hukum kesejahteraan.
b. Pembenaran Filosofis. Beranjak
dari
tujuan
pembentukan
hukum
(peraturan
perundang-undangan) yang secara filosofis adalah sebuah cita hukum, karena tujuan akhir dari pembentukan hukum tersebut diharapkan dapat dan mampu memberikan keadilan, kepastian dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch, yang dikutip oleh Ahmad Ali, mengajarkan ada tiga tujuan hukum yaitu : 1.
Keadilan;
2.
Kepastian;
3. Kemanfaatan.
95
Sebagai negara hukum, keadilan mendapat tempat yang sentral dalam peraturan hukum. Hukum harus mampu dan dapat memberikan rasa adil kepada semua individu dalam masyarakat. Demikian halnya Satjipto Rahardjo menyatakan lahirnya pemikiran atau teori hukum adalah merupakan usaha pencarian hukum yang adil. Dalam kesejarahan, manusia mengejar keadilan (yang mutlak) di dunia ini, serta kegagalan-kegagalan sepanjang waktu yang membentang sejak ribuan tahun lalu hingga saat sekarang. Dari doktrin tersebut dapat dimaknai bahwa keadilan adalah esensial dari hukum, sesuai “renson d’etere” nya hukum (alasan hukum itu ada) adalah “conflict of human intest”. Dengan kata lain hukum itu ada adalah untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalkan konflik / persengketaan yang terjadi di masyarakat, agar persengketaan itu dapat terselesaikan dengan baik, maka hukum itu haruslah adil. Pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau diberikan kepada wajib pajak untuk meringankan beban pajak yang diwajibkan. Dalam konteks meringankan disini maksudnya adalah adanya upaya dari pemerintah daerah untuk membantu wajib pajak yang tanahnya terkena kawasan jalur hijau. Pemerintah daerah menunjukkan itikad baik berdasarkan penilaian yang bijak, dalam arti bahwa walaupun ketentuan hukum positif mewajibkan ataupun melarang, akan tetapi dengan mendasarkan pada penilaian yang esensinya untuk memberikan keadilan, pengecualian dapat diberlakukan. Dalam pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau, pemerintah daerah berdasarkan pertimbangan moral dengan
96
memberikan pengecualian dari aturan yang seharusnya kepada para wajib pajak di kawasan jalur hijau, dapat dimaknai sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memberikan rasa adil. Hal tersebut menurut penulis didasarkan pada usaha pemerintah untuk memberikan apa yang selayaknya dirasakan oleh masyarakat wajib pajak di kawasan jalur hijau yang intinya berupa susuatu yang mempunyai nilai
tambah
atau
meringankan
beban
pajak,
karena
dengan
tidak
mengesampingkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Perda Jalur Hijau, masyarakat di kawasan Jalur Hijau dapat berbuat apa saja terhadap obyek pajak yaitu tanah yang menjadi miliknya atau yang dimanfaatkannya. Seperti misalnya dapat dijual dengan harga yang relatif lebih tinggi dari harga tanah terkena jalur hijau; atau juga untuk usaha lebih bermanfaat dan mempunyai nilai tambah yang cukup tinggi; ataupun untuk tempat tinggal yang lebih layak bagi mereka yang jumlah anggota keluarganya banyak. Dengan demikian pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dengan cara disubsidi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dari anggaran APBD tahun yang berjalan, merupakan pilihan yang tepat dan memenuhi rasa keadilan kedua pihak yaitu masyarakat wajib pajak di kawasan jalur hijau dan pemerintah daerah, karena pada intinya menekankan pada apa yang layak dan pantas serta adanya suatu pilihan yang memungkinkan akan memberikan kesenangan terbesar bagi orang yang jumlahnya terbanyak, sebagaimana juga diungkapkan oleh Aristoteles bahwa keadilan adalah epikeia yaitu suatu rasa apa yang pantas.
97
Dari segi kemanfaatan, menurut penulis dapat dijelaskan bahwa, pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dapat menekan dan meminimalisir alih fungsi lahan hijau produktif (lahan pertanian) sebagai akibat perkembangan masyarakat yang begitu pesat menuntut ketersediaan lahan sebagai pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan sejenisnya, sehingga maksud dan tujuan pelestarian lingkungan akan dapat dicapai dan manfaatnya dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Kelestarian lingkungan menjadi suatu hal yang sangat penting karena dengan lingkungan yang lestari melalui keberadaan kawasan jalur hijau, dapat mencegah keterancaman masyarakat
dari bahaya-bahaya yang berdampak terhadap keseimbangan
ekosistem sesuai dengan konsep kepentingan umum. Dengan berdasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang pada prinsipnya menentukan bahwa pembangunan yang dilakukan saat ini dapat berlangsung secara terus menerus dan dapat memenuhi kebutuhan generasi masa mendatang. Sehingga pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu hal yang sangat penting karena manfaatnya dapat dinikmati tidak hanya bagi generasi sekarang akan tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Dengan demikian, berdasarkan pada beberapa konsep di atas, pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Badung, akan dapat meminimalisir kerusakan lingkungan sebagai akibat alih fungsi lahan pertanian dan dapat pertahankan kelestarian lingkungan. Dengan dibebaskannya beban pajak yang
98
seharusnya menjadi kewajiban wajib pajak, akan berdapak secara psikologis terhadap masyarakat wajib pajak di kawasan jalur hijau, karena wajib pajak merasa dihargai atas peran sertanya menjaga kelestarian lingkungan dan sebagai suatu hal yang layak dan pantas didapatkan. Dari segi kepastian hukum, pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau menampakan adanya suatu konflik norma dengan prinsip-prinsip pemberantasan tindak pidana korupsi. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan terkesan sebagai tindak pidana korupsi. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan bahwa : setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara adalah termasuk tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan karena pembebasan dari kewajiban tersebut diberikan oleh Bupati berdasarkan peraturan bupati kepada mereka yang tanahnya terkena kawasan jalur hijau, sehingga tampak memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi. Legalitas sebagai dasar tindakan pemerintah atau badan administrasi negara merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin kepastian hukum dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan juga sama pentingnya. Akan tetapi legalitas dan prosedur tidak boleh menjadi penghambat bagi badan administrasi negara tidak dapat melaksanakan kekuasaan, tugas dan wewenangnya dengan
99
baik. Dengan kata lain, hukum sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,
akan tetapi
hukum
juga
tidak
boleh
menjadi
penghambat
penyelenggaraan negara. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dari segi kemanfaatan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau lebih diutamakan pada konsep pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan yang tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang akan tetapi juga oleh generasi mendatang. Apa jadinya kalau hanya mengutamakan unsur kepastian hukum dalam kasus yang penulis teliti ini. Penataan lingkungan akan tidak terkontrol lagi seiring dengan perkembangan masyarakat yang begitu pesat yang menuntut ketersediaan lahan dengan alih fungsi lahan yang begitu masif, sehingga berdampak pada keseimbangan ekosistem. Kecepatan pemerintah dalam bertindak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan seperti tersebut di atas yang timbul secara tiba-tiba merupakan hal yang sangat penting sebagai syarat untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Namun kecepatan bertindak seperti itu tidak dapat diberikan oleh asas legalitas yang lebih mengutamakan kepastian hukum, sehingga asas legalitas tidak memadai lagi atau tidak cukup berperan dalam memenuhi tuntutan perkembangan zaman. Sehingga kajian tidak terbatas pada asas legalitas dengan kepastian hukumnya saja, melainkan lebih berdasarkan pada asas kemanfaatan dan keadilan. Atau dengan kata lain dalam kondisi seperti tersebut di atas diberlakukan skala prioritas sebagaimana diajarkan oleh Gustav Radbruch.
100
Dengan demikian, pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau diharapkan dapat mempertahankan kelestarian lingkungan, sehingga ketersediaan lahan hijau sebagai
pabrik oksigen akan
menghasilkan lingkungan sehat yang bermanfaat bagi
kehidupan dan
keseimbangan lingkungan. Berdasarkan pada uraian di atas, secara filosofis, pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dapat dibenarkan, mengingat pembebasan dimaksud dengan tanpa mengesampingkan asas legalitas dengan kepastian hukumnya,
lebih menekankan
pada
kemanfaatan
yang
dirasakan oleh masyarakat dan atas peran serta masyarakat menjaga kelestarian lingkungan,
layak dan pantas diberikan pembebasan dari kewajiban untuk
membayar pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau, karena telah mencerminkan asas keadilan serta keadilan merupakan esensi dari hukum itu sendiri.
2. Pembenaran Yuridis Pembebasan Kewajiban Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan di Kawasan Jalur Hijau. Pembenaran yuridis adalah pembenaran berdasarkan ketentuan hukum positif yang berlaku, baik berdasarkan undang-undang
maupun peraturan
perundang-undangan yang ada di bawahnya. Pada pembahasan angka 1 sebelumnya telah dijelaskan bahwa kewenangan bebas bertindak atas inisiatif sendiri (freies ermessen / diskresi) yang diberikan
101
kepada pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam penyelenggaraan tujuan negara hukum kesejahteraan atau negara hukum materiil (welfare state), menunjukkan suatu proses perubahan pola pikir mengenai tujuan negara hukum. Perubahan dimaksud yaitu : dalam negara hukum formal, kepastian hukum (rechtmatigheid) merupakan tujuan utama, sedangkan dalam negara hukum materiil (welfare state) tujuan utama adalah kemanfaatan hukum (doematigheid) demi mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk itu ide negara hukum kesejahteraan memberikan kebebasan bertindak kepada pemerintah atau badan administrasi negara. Namun kewenangan bebas bertindak (freies ermessen / diskresi) tidaklah sebagai kewenangan tanpa batas, akan tetapi tetap tunduk pada aturan hukum. Demikian juga halnya pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau yang diberikan pemerintah daerah kepada wajib pajak di kawasan jalur hijau, pembenarannya dapat dikaji dari aspek yuridis sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan pemerintahan daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dapat dipakai acuan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menentukan : (1) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi :
102
a. Kewenangan,
tanggung
jawab,
pemanfaatan,
pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Dari ketentuan Pasal 17 tersebut dapat dimaknai bahwa pemerintahan daerah diberikan kewenangan dan tanggung jawab dalam urusan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, pemeliharaan, pengendalian dampak, budi daya dan pelestarian supaya terdapat keserasian lingkungan dan tata ruang serta kewenangan dan tanggung jawab untuk merehabilitasi sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang tercemar atau rusak sebagai akibat pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung melalui pengaturan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan dapat dikatakan sebagai tindakan preventif dalam usaha pelestarian sumber daya alam. b. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menentukan bahwa, “penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Apabila merujuk pada pengertian penataan ruang Pasal 1 angka 5 UU No. 26 Tahun 2007 di atas, maka terdapat tiga konsep dasar yang terkandung di dalamnya, yaitu : pertama,
103
perencanaan tata ruang; kedua, pemanfaatan tata ruang; ketiga, pengendalian penataan tata ruang. Dalam konsep tata ruang, perencanaan tata ruang wilayah berkaitan dengan upaya pemanfaatan sumber daya alam secara efisien dan efektif, serta alokasi ruang untuk kegiatan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan alam dan daya tampung lingkungan binaan, dengan memperhatikan sumber daya manusia serta aspirasi masyarakat. Dari konsep perencanaan tata ruang tersebut, dapat dimaknai bahwa, perencanaan tata ruang wilayah harus dilakukan dengan memperhatikan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, dan
interaksi
antar
lingkungan. Selanjutnya, mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2007 yang menentuntukan : “Penetapan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri setelah mendapatkan rekomendasi Gubernur”. Jadi kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penataan ruang kalau dilihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) di atas adalah menetapkan penataan ruang dalam bentuk Peraturan Daerah. Kalau ditinjau dari sumber wewenang yang ada pada pemerintah daerah dalam hal penataan ruang adalah termasuk wewenang delegasi karena sebagai pelaksanaan langsung dari undang-undang.
104
Salah
satu
bentuk
peraturan
daerah
sebagai
implementasi
dari
undang-undang penataan ruang dalam penelitian yang penulis angkat ini adalah Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung No. 3 tahun 1992 tentang Larangan Mendirikan Bangun-Bangunan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung (Perda Jalur Hijau), yang substansinya adalah menyangkut pelestarian lingkungan. Dengan demikian terdapat sinkronisasi penataan ruang baik yang diatur dengan undang-undang maupun yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah, karena peraturan daerah merupakan bentuk pelaksanaan atau implementasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari kajian undang-undang tata ruang ini, pengaturan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman alih fungsi lahan pertanian produktif sebagai akibat tingkat perkembangan masyarakat yang begitu cepat dan pesat, mendapat pembenaran. Karena pembebasan kewajiban pembayaran pajak dapat merealisasikan konsep perencanaan tata ruang (lebih lanjut dijelaskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah), pemanfaatan tata ruang hal mana untuk kawasan –kawasan tertentu ditetapkan sebagai daerah jalur hijau untuk menjadikan lingkungan yang baik dan sehat sebagai kebutuhan asasi setiap mahluk hidup, serta pengendalian tata ruang karena dengan dibebaskannya pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau akan dapat menekan
105
alih fungsi lahan produktif yang pada akhirnya dapat mencegah kerusakan lingkungan sebagai bentuk pengendalian tata ruang. c. Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 1 angka 3 menentukan pembangunan berkelanjutan adalah : “Upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, pembangunan yang hendak diwujudkan adalah pembangunan yang dapat dinikmati tidak saja oleh generasi yang sekarang akan tetapi juga oleh generasi yang akan datang dengan melakukan sinergi antara unsur – unsur yang mendukung terlaksanya pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat umum, tanpa merusak lingkungan. Kondisi seperti demikian akan dapat terwujud apabila dalam pengelolaan lingkungan
senantiasa memperhatikan kelestarian lingkungan dan terpolanya
konsep hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan melalui usaha-usaha pelestarian lingkungan yang diwujudkan dalam pentaatan aturan jalur hijau dan dengan pemberian apresiasi dalam bentuk pembebasan pembayaran pajak
bumi
kewajiban
dan bangunan di kawasan jalur hijau, sehingga
manfaat jalur hijau berupa lingkungan yang baik dan sehat dapat juga dinikmati oleh generasi yang akan datang.
106
d. Peraturan Daerah
Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 3
Tahun 1992 tentang Larangan Mendirikan Bangun-Bangunan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung (Perda Jalur Hijau). Pemerintah daerah berkewajiban dalam menjaga kelestarian lingkungan melalui pembentukan dan penetapan peraturan yang terkait dengan tujuan pelestarian lingkungan.
Sebagai bentuk kepedulian pemerintah daerah dalam
usaha menjaga kelestarian lingkungan dan setiap pembangunan bermanfaat secara optimal bagi masyarakat serta terciptanya keserasian lingkungan menetapkan kawasan – kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan jalur hijau, yang mempunyai tujuan untuk mensejahterakan rakyat melalui hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan. e. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 29 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Daerah Tingkat II Badung. Perda RTRWK memberikan batasan penataan ruang sebagai proses perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendaliannya.(Pasal 1 huruf i). Untuk memberikan kejelasan ketiga konsep dasar tersebut, akan dipergunakan rujukan Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 4 Tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali, yang menentukan : Pasal 1 huruf I : “Perencanaan tata ruang adalah proses penyusunan Rencana Tata Ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kualitas manusianya dengan pemanfaatan ruang yang secara struktural menggambarkan ikatan fungsi lokasi yang terpadu bagi berbagai kegiatan”. 107
Pasal 1 huruf k : “Pemanfaatan tata ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang, menurut jangka waktu yang ditetapkan didalam rencana tata ruang”. Pasal 1 huruf l : “Pengendalian ruang adalah suatu proses usaha agar rencana pemanfaatan ruang oleh instansi sektoral, Pemerintah Daerah, Swasta serta masyarakat umumnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang diharapkan”. Dari ketentuan pasal di atas Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang berdasarkan atas asas manfaat, asas keseimbangan dan asas keserasian serta kelestarian dapat diartikan bahwa adanya suatu usaha pemanfaatan ruang secara optimal yang tercermin dalam penentuan jenjang fungsi pelayanan kegiatan untuk menciptakan keseimbangan dan keserasian fungsi dan intensitas pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah menuju terwujudnya
hubungan yang serasi antar
manusia dan lingkungan. Alokasi pemanfaatan ruang didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten diarahkan pada Kawasan Lindung (non budidaya) dan Kawasan budi daya. Kawasan budidaya dimaksudkan untuk kawasan budidaya pertanian dan non pertanian. (Pasal 21 dan 22 Perda No. 29 / 1995). Kawasan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada pasal 22 meliputi : Kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan tanaman tahunan / perkebunan. Berdasarkan uraian di atas, antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan konsep jalur hijau sebagai upaya untuk mengantisipasi alih fungsi lahan pertanian produktif , terdapat kesesuaian maksud dan tujuan yaitu untuk menjaga kelestarian
108
lingkungan dan menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya serta agar setiap pembangunan memberikan manfaat yang maksimal bagi kehidupan masyarakat, yang dilakukan melalui
perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. f.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Bumi dan bangunan memberikan nilai sosial – ekonomi yang lebih tinggi, baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak untuk memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan. Pengaturan pajak bumi dan bangunan, sejalan dengan makin meningkatnya pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan serta pelayanan kepada masyarakat yang menuntut tersedianya dana yang memadai. Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Selain itu pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan diarahkan untuk menjadi sarana pengendalian pemanfaatan bumi dan untuk kelestarian lingkungan hidup demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemungutan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dilakukan oleh Kabupaten / Kota sebagai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 2 ayat (1), sehingga pemerintah Kabupaten Badung mempunyai kewenangan dalam penentuan besarnya pajak yang terhutang berdasarkan nilai jual obyek pajak (NJOP). Penetapan besarnya NJOP dalam Pasal 5 ayat(3) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 dilakukan oleh Bupati.
109
Dengan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat(3) tersebut, dari sisi aturan terbuka celah lebar untuk membebaskan kawasan jalur hijau dari pajak bumi dan bangunan, karena Peraturan Daerah ini tidak hanya berorientasi kepada peningkatan pendapatan semata, akan tetapi juga yang lebih penting adalah keberpihakan kepada masyarakat serta proteksi atau perlindungan terhadap kawasan hijau (jalur hijau) menjadi perhatian yang serius dan mutlak. Dengan demikian pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dibenarkan karena sebagai sarana pengendalian alih fungsi lahan pertanian / lahan hijau.
110
BAB IV HARMONISASI HUKUM DALAM PENGATURAN PEMBEBASAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK DI KAWASAN JALUR HIJAU Harmonisasi yang penulis maksud dalam bab IV ini adalah sebagai upaya atau proses
yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal yang
bertentangan dan kejanggalan. Upaya atau proses untuk mewujudkan keselarasan, kesesuaian, kecocokan dan keseimbangan antara Peraturan Bupati Badung dan Keputusan Bupati Badung sebagai dasar hukum
pengaturan pembebasan
kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dengan beberapa ketentuan hukum positif , yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena ada perbedaan atau pertentangan norma hukum yang diatur Undang-Undang
dalam Peraturan Bupati dengan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sehingga
menghasilkan kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari suatu sistem. Beranjak dari istilah, harmonisasi berasal dari Yunani, yaitu kata “harmonia” yang artinya terikat secara serasi dan sesuai. Dalam arti filsafat diartikan sebagai “kerjasama antar berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur”. Istilah harmonisasi
111
secara etimologi berasal dari kata dasar harmoni, yaitu menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya untuk menuju atau merealisasikan sistem harmoni. Istilah harmoni juga diartikan keselarasan, kecocokan, keserasian keseimbangan yang menyenangkan. Selanjutnya L.M. Gandhi menarik unsur-unsur dari harmonisasi, yaitu adanya hal yang bertentangan dan kejanggalan, mencocokan hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk satu keseluruhan yang menarik, sebagai bagian dari satu sistem itu atau masyarakat dan tercapainya suasana persahabatan dan damai. Harmonisasi hukum dalam pengaturan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan diperlukan untuk merealisasikan keadaan yang harmonis dalam pengaturan pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau , sehingga pada bab IV ini akan dibahas hal-hal sebagai berikut : a. Analisis ketentuan hukum dalam pengaturan pembebasan pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau. b.
Kewenangan diskresi Pemerintah Daerah.
c.
Peraturan kebijakan sebagai bentuk kewenangan diskresi
d. Harmonisasi hukum dalam pengaturan pembebasan pembayaran pajak bumi dan bangunan.
112
a.
Analisis
Ketentuan
Hukum
dalam
Pengaturan
Pembebasan
Pembayaran Pajak Bumi dan bangunan di Kawasan Jalur Hijau. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, ditentukan, Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan Bupati Badung dari kajian normatif, berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan : (1) Jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang Undang-Undang;
/
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarkhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dari ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011peraturan bupati tidak terlihat dalam jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan.
113
Akan tetapi pada
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut
ditentukan : (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, bank Indonesia, menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka 2, Pasal 7 dan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tampak bahwa peraturan bupati dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan apabila mempunyai kekuatan hukum mengikat dan diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terhadap klausul kekuatan hukum mengikat dan sebagai perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut, dapat dikaji dari istilah “peraturan” dan “perundang-undangan” itu sendiri. “Peraturan” merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan bertugas mengatur hal-hal yang bersifat umum (general). Istilah “perundang-undangan (legislation, wetgeving) secara teoritis megandung dua
114
pengertian yaitu : pertama, perundang-undangan merupaka proses pembentukan peraturan-peraturan negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; kedua, perundang-undangan adalah segala peraturan negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang merupaka hasil dari pembentukan peraturan-peraturan. Jadi dapat dikatakan bahwa perundang-undangan dapat diartikan sebagai suatu proses dan sebagai hasil atau produk dari proses legislasi. Selanjutnya, berkaitan dengan pelaksanaan perintah peraturan perundangan yang lebih tinggi, adalah berbicara hal kewenangan. A. Hamid S. Attamimi mengartikan secara harfiah, istilah perundang-undangan sebagai peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan tersebut berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang. Sehingga atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan,
menurut
Attamimi,
yang
tergolong
peraturan
perundang-undangan adalah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang, seperti : peraturan pemerintah, keputusan presiden yang berisi peraturan, keputusan menteri yang berisi peraturan, keputusan kepala lembaga pemerintah non departemen yang berisi peraturan, keputusan menteri yang berisi peraturan, keputusan kepala lembaga pemerintah non departemen yang berisi peraturan, keputusan direktur jenderal departemen yang dibentuk dengan undang-undang yang berisi peraturan, peraturan daerah tingkat I, keputusan gubernur kepala daerah yang berisi peraturan sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan daerah tingkat I, peraturan daerah tingkat II, dan keputusan
115
bupati / walikota madya kepala daerah yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan peraturan daerah tingkat II. Dari pendapat Attamimi di atas, dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan tidak saja sebagai produk dari badan legislatif bersama pemerintah semata atau undang-undang formal saja, tetapi juga meliputi undang-undang dalam arti materiil, yaitu produk hukum yang dibuat oleh badan atau pejabat administrasi negara yang bersifat mengatur dan mengikat secara umum.
Terhadap hal ini sebagai alas pembenarnya dapat dikaji berdasarkan
Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan : “Peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah yang juga bersifat mengikat secara umum”. Untuk membedakan apakah instrumen hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan atau bukan, dapat dijadikan referensi pendapat Yohanes Usfunan yang berpendapat bahwa, peraturan perundang-undangan adalah undang-undang dalam arti materiil yaitu setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang daya mengikatnya kepada setiap orang.
116
Sedangkan Peraturan Bupati Badung dikaji dari segi normatif maupun konseptual sebagaimana dikemukakan di atas, menampakkan ada unsur yang tidak terpenuhi, yaitu unsur mengikat secara umum kepada setiap orang. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Bupati Badung Nomor 25 tahun 2011 menentukan : “Penghargaan peduli lingkungan diberikan kepada yang memiliki, menguasai atau memanfaatkan sebagai tanah pertanian pada daerah jalur hijau di Kabupaten Badung, berdasarkan SPPT yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak …”. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Bupati Badung tersebut, tampak bahwa keberlakuannya terbatas hanya kepada mereka yang memiliki, menguasai memanfaatkan sebagai lahan pertanian yang dapat ditentukan orangnya atau bersifat individual, karena dalam SPPT sudah jelas ditentukan subyek pajaknya. Dengan demikian, Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 tidak termasuk peraturan perundang-undangan, karena tidak memenuhi ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki peraturan perundang-undangan, antara lain : 1. Peraturan perundang-undangan bersifat umum dan komprehensif, yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. 2. Peraturan perundang-undangan bersifat universal, ia dibuat untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya, sehingga tidak bisa dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
117
3. Peraturan perundang-undangan memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri dalam bentuk pencantuman klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. Selain menggunakan batu uji berdasarkan ciri-ciri sebagaimana dijelaskan di atas, tolok ukur lain yang dapat digunakan untuk mengetahui posisi atau kedudukan
dari
Peraturan
Bupati
Badung
dalam
konteks
peraturan
perundang-undangan adalah dengan berdasarkan kewenangan yang digunakan dan asas hukum yang digunakan dalam pembuatannya. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa walaupun peraturan perundang-undangan dapat diartikan dalam arti formal (dibuat oleh lembaga legislatif dengan pemerintah) maupun dalam arti materiil (setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang bersifat mengatur dan mengikat secara umum), akan tetapi ada alasan penting yang digunakan sebagai jastifikasi agar tidak mengkatagorikan Keputusan (besluit) dan peraturan (regeling) yang merupakan produk pejabat atau badan administrasi negara ke dalam kategori peraturan perundang-undangan, atas pertimbangan : 1. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi negara. Pembentukan hukum melalui perundang-undangan dilakukan oleh rakyat, wakil rakyat, atau sekurang-kurangnya dengan persetujuan wakil rakyat. Kekuasaan dalam bidang perundang-undangan (kekuasaan legislatif) hanya diberikan kepada
118
lembaga yang khusus, yaitu lembaga legislatif (organ kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama negara). Materi muatan peraturan perundang-undangan mengatur tata kehidupan masyarakat yang bersifat mendasar, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat atau tidak berbuat, yang apabila diperlukan disertai sanksi pidana dan sanksi pemaksaan, yang jelas sifatnya membatasi atau mengurangi hak-hak asasi warga negara dan penduduk hanya dapat dituangkan dalam undang-undang yang pembentukannya harus dilakukan dengan persetujuan rakyat atau dengan persetujuan wakil-wakilnya. Dan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah lainnya hanya dapat mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuannya apabila hal itu secara tegas diatribusikan oleh undang-undang. Sebagai
contoh,
sebagaimana
ditentukan
jenis-jenis
peraturan
perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, a. Undang-undang
maupun
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang dan Peraturan Daerah, pembuatannya berdasarkan wewenang atribusi. b. Peraturan Pemerintah dibuat oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang. c. Peraturan Presiden yang sifatnya mengatur dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. 2. Peraturan Kebijakan.
119
Suatu peraturan kebijakan yang walaupun sifatnya mengatur dan mengikat secara umum, tetapi dari segi sumber wewenang yang dipakai dalam pembentukannya adalah berdasarkan wewenang delegatif. Atau dengan kata lain, pejabat atau badan Tata Usaha Negara dalam membuat peraturan kebijakan apapun bentuknya, hanya berdasarkan wewenang delegatif. Demikian juga, dasar pembenar pembentukan peraturan kebijakan secara konseptual berdasarkan asas freies ermessen atau diskresi sebagai wujud nyata penyelenggaraan negara kesejahteraan (welfare state). Dengan demikian, walaupun Peraturan Bupati disebutkan sebagai salah satu jenis peraturan perundangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, akan tetapi terhadap Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 sebagai dasar pengaturan pembebasan kewajiban pembayaran Pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau tidak termasuk jenis peraturan perundang-undangan. Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi
sebagai dasar kewenangan yang
memerintahkan secara tegas maupun tidak untuk memberikan pembebasan pembayaran pajak bumi dan bangunan, sehingga batu ujinya tidak dapat dilakukan terhadap undang-undang. Selain itu sifat dari Peraturan Bupati tersebut tidak mengikat secara umum. Jadi kewenangan menjadi hal yang utama dan prioritas serta bagian awal dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, karena berkaitan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording)
120
dengan
dalam penggunaan
wewenang tersebut. Hal demikian seiring dengan prinsip dalam negara hukum, yaitu : “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban” (there is no authority without responsibility). Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara
dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan akan berakibat hukum yang dalam konsep pelaksanaan asas legalitas, dapat dikembalikan atau diuji keabsahannya dari kewenangan yang ada pada lembaga atau pejabat yang bersangkutan.
b. Kewenangan Diskresi Pemerintahan Daerah. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III sebelumnya, bahwa negara hukum kesejahteraan (welfare state) bercita-cita untuk menyelenggarakan atau mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Sebagai cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan umum atau kesejahteraan rakyat, mengandung aspek yang sangat luas karena mencakup aspek kehidupan masyarakat yang hampir tidak terbatas. Selain luas dan kompleksnya kehidupan masyarakat juga berkembang dengan pesat dan cepat. Alih fungsi lahan pertanian produktif sebagai akibat perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi
masyarakat,
menuntut
ketersediaan
lahan
yang
pemanfaatannya jelas menyimpang dari peruntukan lahan pertanian, seperti untuk tempat hunian atau rumah tinggal, tempat usaha dan sebagainya yang begitu cepat dan pesat. Peralihan fungsi lahan tersebut akan berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan. Kondisi seperti ini mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Badung
121
untuk melakukan suatu upaya sebagai pencegahan (preventif) untuk tetap terjaganya kelestarian lingkungan melalui pengaturan pemberian penghargaan peduli lingkungan di jalur hijau dalam bentuk
pembebasan kewajiban
pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau. Berdasarkan tujuan diberikannya kewenangan diskresi (freies ermessen) sebagai suatu kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri adalah untuk memberikan ruang gerak bagi pemerintah dalam melakukan suatu perbuatan tanpa harus terikat pada undang-undang. Ruang gerak dalam bertindak sangat penting bagi pemerintah atau pejabat-pejabat administrasi negara supaya pemerintah dapat melakukan tindakan dengan cepat sesuai dengan situasi dan kondisi faktual yang dihadapi, sebagai akibat dari makin meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan
oleh Badan atau Pejabat Administrasi Negara
terhadap
kehidupan sosial ekonomi warga masyarakat yang semakin komplek.
Hal
demikian tidak dapat dipungkiri karena luasnya kekuasaan eksekutif ( badan atau lembaga Administrasi Negara), yaitu meliputi kekuasaan di luar kekuasaan lembaga legislatif dan yudisiil, yang menurut Yohanes Usfunan, bahwa kekuasaan pemerintah itu bersifat aktif. Dengan demikian, dalam menghadapi permasalahan dalam masyarakat, dituntut kesigapan dari pemerintah daerah untuk
penyelesaiannya, serta
pemerintah tidak boleh bergerak dengan lamban dalam menghadapi situasi dan kondisi yang ada yang tidak selalu dapat diperkirakan dapat terjadi. Dalam rangka menyikapi situasi dan kondisi yang berkembang, pemerintah daerah
122
tidak
mungkin hanya berpegang pada asas legalitas yang menekankan pada asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi harus diimbangi dengan kewenangan kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri (diskresi) yang bukan melemahkan atau mengesampingkan fungsi asas legalitas melainkan sebagai pelengkap asas legalitas. Dengan kata lain kewenangan diskresi menjadi suatu hal yang tidak terelakan atau harus ada dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan pembebasan pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau berdasarkan Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati dapat dikatakan sebagai tindakan diskresi, tidak terikat kepada undang-undang. Tindakan diskresi tersebut dilakukan dalam hal mengisi kekosongan hukum dalam menekan alih fungsi lahan pertanian produktif. Ini berarti ada tindakan penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena belum ada undang-undang yang dapat dijadikan pedoman. Walaupun demikian, Daerah
Bupati sebagai unsur Pemerintah
dalam melakukan tindakan pengaturan tersebut tidak boleh tanpa
pertimbangan-pertimbangan
atau dasar pemikiran tertentu. Seperti dalam
pembebasan pembayaran pajak bumi dan bangunan
berdasarkan pertimbangan
moral dengan tujuan utama kemanfaatan (doelmatig),
untuk mengatasi
permasalahan yang ada terkait alih fungsi lahan pertanian produktif yang berakibat pada rusaknya kelestarian lingkungan. Dalam perspektif negara hukum dengan asas legalitas, walaupun Bupati sebagai Pejabat Administrasi Negara diberikan kewenangan bebas bertindak atas
123
penilaian
sendiri, dalam menggunakan wewenang
tersebut tidak boleh
sembarangan tanpa alasan yang rasional dan logis, melainkan harus selektif dan proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sebagaimana diajarkan oleh K.C. Wheare, yang menyatakan bahwa dalam negara hukum, segala tindakan yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun warga masyarakat harus berdasarkan hukum, yang dituangkan dalam suatu pertanyaan singkat : “what should a Constitution contain?” dan dijawab dengan : “the very minimum, and that minimum to be rules of law” Pertanggungjawaban secara hukum di sini merupakan hal yang menyulitkan dalam pelaksanaan kewenangan diskresi. Pejabat administrasi negara dalam melakukan diskresi atau freies ermessen menemui kesulitan karena tidak adanya rumusan batas-batas, unsur dan kriteria diskresi atau freies ermessen sehingga rentan
akan
terjadinya
penyalahgunaan
wewenang
dan
tindakan
sewenang-wenang. Apabila suatu tindakan pejabat administrasi negara tidak dapat dinilai berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum, bukan berarti perbuatan tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan. Terhadap tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, wajib dipertanggungjawabkan secara moral dan akal sehat yang ukurannya adalah kepatutan (moral) dan kelayakan (akal sehat). Penggunaan diskresi atau freies ermessen sangat ditentukan oleh perilaku setiap aparatur pemerintah, sehingga diharapkan dalam penggunaannya tetap
124
berdasarkan peraturan perundang-undangan, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan bertumpu pada asas-asas umum pemerintahan yang layak. Hal yang perlu diperhatikan dalam diskresi atau freies ermessen, adalah asas kepatuhan dan ketaatan hukum. Walaupun pemberian wewenang diskresi atau freies ermessen sebagai konsekuensi logis dari konsep negara kesejahteraan (welfare state), namun demikian dalam negara hukum wewenang bebas bertindak atau diskresi tidak dapat digunakan tanpa batas dan tidak bisa hanya pendekatan kekuasaan saja, akan tetapi harus ada pembatasan-pembatasan tertentu. Dalam hal pembatas-pembatasan demikian dapat dipakai
acuan pendapat Muchsan,
pembatasan yang dimaksud adalah : a. Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif); b. Hanya ditujukan demi kepentingan umum. Di sisi lain Sjachran Basah, merumuskan unsur-unsur diskresi (freies ermessen) dalam negara hukum, sebagai berikut : 1. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas service public; 2. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara; 3. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum; 4. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
125
5. Sikap
tindak
itu
dimaksudkan
untuk
menyelesaikan
persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba; 6. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum. Dengan demikian, kewenangan diskresi atau freies ermessen sebagai penyelenggara pemerintahan tidaklah sebagai kekuasaan tidak terbatas, melainkan tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan. Jika terjadi masalah baru yang belum ada pengaturannya, pemerintah dapat berpedoman pada
hukum tidak
tertulis berupa asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Bahkan, jika asas-asas hukum itu tidak ditemukan, segenap tindakan pemerintahan yang dilakukan pejabat administrasi negara harus diuji terhadap norma-norma kelayakan dan kepatutan. Oleh karena itu, penggunaan wewenang diskresi atau freies ermessen harus dilakukan dengan syarat : a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan e. Menghormati hak asasi manusia.
126
Dengan berdasarkan pada syarat-syarat di atas, penilaian yang digunakan dasar pengambilan keputusan untuk bertindak berdasarkan nuraninya, akan tetap dapat diukur kriterianya, sehingga tindak pemerintahan yang dilakukan dapat diketahui benar dan tidaknya menurut hukum. Bertitik tolok dari pembatasan,
unsur-unsur dan syarat-syarat suatu
kewenangan diskresi sebagaimana tersebut di atas, dalam konteks negara hukum, terhadap Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 dan Nomor 1954/02/HK/2012 terdapat suatu kondisi yang tidak sesuai atau tidak harmonis terutama terkait dengan hal-hal : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dalam Pasal 3 ayat (1) ditentukan, “Yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan / atau bangunan”. Pasal 4 menentukan bahwa : (1) Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
127
(2) Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut undang-undang ini. (3) Dan seterusnya. Dari ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) tampak bahwa sifat pajak bumi dan bangunan adalah pajak kebendaan. Jadi yang dikenakan pajak adalah atas bumi dan atau bangunan, berdasarkan asas manfaat, sehingga bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan/atau bangunan karena mempunyai suatu hak atasnya, wajib membayar pajak. Demikian juga halnya, berdasarkan prinsip perpajakan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 1 angka 1menyebutkan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari ketentuan pasal tersebut jelas bahwa pajak itu sifatnya wajib dan memaksa ditarik oleh negara berdasarkan undang-undang. Persyaratan berdasarkan undang-undang di sini menandakan negara Indonesia sebagai negara hukum dengan asas legalitas yang menjamin kepastian hukum, dan pajak tanpa undang-undang adalah perampasan atau garong.
128
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, tampak bahwa Peraturan dan Keputusan Bupati Badung telah membatasi kebebasan dasar manusia untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya dalam suasana tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir bathin, dalam lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian juga halnya dalam hak milik yang merupakan hak yang dilindungi undang-undang sehingga tidak seorangpun boleh merampasnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 36 undang-undang ini. Pembatasan dan pelanggaran dimaksud akan tampak jelas dalam kondisi masyarakat wajib pajak yang hanya memiliki satu-satunya tanah, dan tanah tersebut sudah menjadi kawasan jalur hijau, akan dirasakan sebagai suatu yang jauh dari rasa adil, walaupun diberikan subsidi pembebasan pajak bumi dan bangunan, karena mereka tidak dapat memanfaatkan tanahnya untuk suatu usaha yang lebih menjanjikan dalam rangka peningkatan dan pengembangan kehidupan. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pasal 6 menentukan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hak menguasai dari negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
129
negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2. Dari ketentuan dua pasal tersebut mengandung makna yang sangat dalam, karena walaupun hak atas tanah berfungsi sosial, akan tetapi pemerintah atau negara sebagai kekuasaan tertinggi melindungi hak milik sebagai hak asasi yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun, juga menjamin tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan
rakyat dan hidup dalam suasana kemerdekaan yang aman dan
damai, sehingga masyarakat wajib pajak seharusnya diberikan ruang gerak yang dapat dan bisa menjamin terwudnya kesejahteraan dan kebahagiaan dimaksud. 4. Asas persamaan di depan hukum (Equality before the law), bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Berdasarkan asas persamaan di depan hukum, tidak diperbolehkan adanya perlakuan diskriminatif. Demikian juga dalam hal pembebasan pajak di kawasan jalur hijau tidak boleh ada diskriminasi diantara wajib pajak, karena sesuai prinsip perpajakan, pajak sifatnya wajib dan memaksa , merupakan utang kepada negara yang wajib dibayar oleh orang atau badan sebagai wajib pajak. Tindak pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pengaturan pembebasan pembayaran pajak bumi dan bangunan, seharusnya mengacu pada batas-batas dan syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas, atau
130
dengan kata lain, batas-batas dan syarat wewenang diskresi atau freies ermessen dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui benar dan tidaknya suatu wewenang diskresi atau freies ermessen dilakukan. Sehingga peraturan dan keputusan bupati sebagai dasar pengaturan pembebasan pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dapat dilakukan pengujian terhadap batas-batas dan syarat yang dikemukakan tersebut. Dengan demikian, walaupun pemerintah daerah (bupati) diberikan kewenangan bertindak atas inisiatif sendiri demi kemanfaatan hukum, tidak berarti tujuan kepastian hukum menjadi dikesampingkan. Kepastian hukum harus tetap mendapat perhatian. Idealnya kedua asas tersebut yaitu asas kepastian hukum dan kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri (diskresi atau freies ermessen) harus seiring sejalan hidup berdampingan serta saling melengkapi demi tercapai kesejahteraan umum sebagai tujuan negara hukum kesejahteraan.
c. Peraturan Kebijakan Sebagai Bentuk Kewenangan Diskresi Menurut
kamus
Lengkap
Bahasa
Indonesia,
istilah
“kebijakan”
merupakan kata benda, diartikan sebagai konsep dasar yang menjadi pedoman dalam melaksanakan kepemimpinan dan cara bertindak. Penggunaan istilah kebijakan juga dibenarkan karena “policy” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “kebijakan”, seperti policy rules yang berarti peraturan kebijakan. Dalam kepustakaan Belanda, ada berbagai istilah yang dipergunakan untuk menunjuk eksistensi peraturan kebijakan, seperti antara lain pseudowetgeving,
131
spiegelrecht dan beleiregel. Dalam hubungan dengan istilah-istilah
tersebut
muncul suatu pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan peraturan kebijakan, pseudowetgeving, spiegelrecht, policy rule atau beleiregel. Peraturan kebijakan merupakan produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan
oleh
pejabat-pejabat
administrasi
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan.
negara
Pengertian
dalam
yang hampir
rangka sama
walaupun dengan redaksi yang berbeda, juga dikemukakan oleh Laica Marzuki, bahwa dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam berbagai bentuk yang dibuat berdasarkan kewenangan diskresi (freies ermessen) dalam wujud tertulis dan dipublikasikan ke luar. Diberi label “peraturan” karena peraturan kebijakan (beleidsregel) mengikat seperti kaidah hukum. Tetapi bidang atau cakupannya hanya sebatas pada bestuursgebeid atau lapangan administrasi. Kebijakan pejabat administrasi negara tersebut, kemudian dituangkan dalam suatu format tertentu supaya dapat diberlakukan secara umum (berlaku sama bagi setiap warga negara), sehingga dalam hal tertentu, bentuk formal peraturan kebijakan sering tidak dapat dibedakan dari format peraturan perundang-undangan. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat yang awam hukum akan susah membedakan antara peraturan kebijakan dengan peraturan perundang-undangan, dan akan berpendapat peraturan kebijakan dianggap sama dan diperlakukan sama dengan peraturan perundang-undangan.
132
Selain itu, ada juga peraturan kebijakan yang dapat dibedakan dari peraturan perundang-undangan dari segi bentuk formalnya, karena peraturan kebijakan
formatnya
lebih
sederhana
daripada
format
peraturan
perundang-undangan, dan tampil dalam bentuk dan format yang lain, seperti : nota dinas, pengumuman, surat edaran, petunjuk pelaksanaan teknis, dan sebagainya. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, antara peraturan kebijakan dengan peraturan perundang-undangan memang hidup berdampingan. Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/HK/2011 dan Nomor 1954/02/HK/2012 sebagai salah satu bentuk peraturan kebijakan serta bentuk konkrit dari kewenangan diskresi (freies ermessen) dalam usaha
menjaga
kelestarian
lingkungan
dalam
konsep
penyelenggaraan
bestuurzorg. Pasal 1 Peraturan Bupati Nomor 25 Tahun 2011 tentang Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di
Kabupaten
Badung,
menentukan antara lain : (1) Penghargaan Peduli Lingkungan diberikan kepada yang memiliki, menguasai atau memanfaatkan sebagai tanah pertanian pada daerah jalur hijau di Kabupaten Badung, berdasarkan SPPT yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Seutuhnya difungsikan sebagai lahan pertanian; b. Tidak dialihfungsikan sebagian atau seluruhnya untuk hal-hal yang dilarang Peraturan daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 3 tahun 1992 tentang Larangan Mendirikan Bangun-Bangunan pada Daerah Jalur Hijau di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung.
133
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang senilai pajak yang terhutang berdasarkan SPPT yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak untuk tahun yang bersangkutan. Kembali pada kajian terhadap kewenangan diskresi, Peraturan Bupati tersebut dan Keputusannya sebagai pelaksanaan peraturan bupati,dikatakan sebagai bentuk diskresi karena dibuat atas dasar pertimbangan dan penilaian sendiri tanpa ada suatu perintah dari suatu ketentuan hukum yang lebih tinggi. Pembuatannya semata-mata berdasarkan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari,
yaitu adanya alih fungsi lahan pertanian produktif yang akan
mengancam kelestarian lingkungan. Sebagaimana pandangan Philipus M. Hadjon, yang mengatakan bahwa peraturan kebijakan (beleidregels) pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid” dalam arti menampakkan ke luar suatu kebijakan tertulis. Sehingga peraturan kebijakan hanya berfungsi sebagai operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan tidak dapat menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain peraturan kebijakan sebagai hukum bayangan dari peraturan perundang-undangan dan sering disebut sebagai perundang-undangan semu atau pseudo-wetgeving. Pembentuk peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan
(kewenangan
legislatif),
artinya
peraturan
kebijakan tidak dilahirkan dari kewenangan legislatif. Sebagaimana pendapat Bagir Manan, yang menyatakan peraturan kebijakan bukanlah sebagai peraturan
134
perundang-undangan
karena
pembuatnya
tidak
memiliki
kewenangan
perundang-undangan. Van Kreveld, mengemukakan unsur yang membedakan peraturan kebijakan dari peraturan perundang-undangan secara lebih luas, dengan mengemukakan bahwa peraturan kebijakan langsung atau tidak langsung, tidak berdasar pada ketentuan formele wet (undang-undang) ataupun Grondwet (Undang-Undang Dasar), dan dari segi bentuk formal peraturan kebijakan dituangkan dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis. Peraturan kebijakan ini, pada umumnya menunjukkan bahwa, bagaimana suatu instansi pemerintah akan bertindak dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang tidak terikat, terhadap setiap orang dalam situasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan kebijakan tersebut. Terhadap Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 sebagai salah satu bentuk peraturan kebijakan, hal yang dipandang perlu dilakukan kajian adalah mengenai sumber kewenangan pembuatannya dan kekuatan mengikatnya. Hal ini dipandang penting karena akan dapat menjelaskan eksistensi Peraturan Bupati itu sendiri. Apabila sumber kewenangannya tidak dapat dijelaskan dengan baik, maka Peraturan Bupati tersebut dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak memiliki dasar pertanggungjawaban. Padahal dalam negara hukum modern, semua tindakan pejabat administrasi negara dalam fungsi penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki sumber kewenangan yang jelas dalam rangka memenuhi azas legalitas. Selain
itu,
semua
tindakan
pejabat
135
administrasi
negara
juga
harus
dipertanggungjawabkan atau diterima akal sehat sesuai dengan asas motivasi dalam penetapan keputusan. Asas motivasi di sini dimaksudkan adalah bahwa dalam setiap pengambilan keputusan, pejabat administrasi negara selalu mendasarkan pada alasan atau motivasi yang cukup yang sifatnya benar, adil dan jelas. Sehingga orang yang terkena keputusan tersebut menjadi tahu betul tentang alasan-alasan keputusan itu, dan apabila orang tersebut tidak menerimanya, dapat memilih kontra-argumen yang tepat untuk naik banding guna memperoleh keadilan. Untuk memperoleh jawaban atas sumber kewenangan pembuatan Peraturan Bupati sebagai salah satu bentuk peraturan kebijakan, akan dikaji dari pandangan Montesquieu dengan teorinya Trias Politica atau teori pemisahan kekuasaan. Montesquieu berpandangan bahwa dalam setiap pemerintahan pada dasarnya ada tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif (pembentuk undang-undang), eksekutif
(kekuasaan
untuk
menjalankan
undang-undang),
dan
yudisial
(kekuasaan menindak setiap perbuatan yang melanggar undang-undang. Bertitik tolak pada pandangan Montesquieu di atas, ruang lingkup kewenangan legislatif sebagai salah satu cabang kekuasaan negara, hanya membentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku secara umum dan bersifat abstrak yang disebut dengan undang-undang (dalam arti formal). Dalam hubungan dengan kekuasaan legislatif ini, C.F Strong mengemukakan, “the legislature is that department of government concerned with the making laws, in so far as the law requires statutory force” (Kekuasaan legislatif adalah cabang
136
pemerintah yang berkenaan dengan pembentukan hukum, sepanjang hukum itu membutuhkan kekuasaan undang-undang). Untuk menegaskan pandangan mengenai kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang, Hans Kelsen lebih jauh mengemukakan pendapat sebagai berikut : “ If we speak of execution, we must ask what is executed. There is no answer but statement that is the general norm, constitutions, and laws created by the legislative power which are executed” (Jika kita berbicara tentang eksekusi, kita harus bertanya apa yang dieksekusi. Tidak ada jawaban selain pernyataan bahwa norma-norma umum, konstitusi, dan undang-undang yang diciptakan kekuasaan legislatif itulah yang dieksekusi). Ruang lingkup kekuasaan badan legislatif sebagai kekuasaan pembentukan undang-undang sebagai norma-norma yang berlaku umum sebagaimana dikemukakan C.F Srong dan Hans Kelsen di atas, dari jaman Montesquieu sampai sekarang tidak banyak mengalami perubahan yang mendasar, sehingga dapat dikatakan bahwa kewenangan pembentukan peraturan kebijakan oleh pejabat administrasi negara tidak mungkin berasal dari kekuasaan legislatif, karena tugas badan legislatif tidak membuat suatu garis kebijakan dalam hubungan dengan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, tetapi untuk membentuk aturan-aturan yang berlaku yang berlaku umum (general norm) sebagai pedoman bagi organ pemerintah dan pejabat-pejabat administrasi negara dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan.
137
Kajian selanjutnya adalah terhadap kekuasaan yudisial. Dalam teori Trias politica ruang lingkup kekuasaan yudisial sangat sempit, yaitu menindak setiap perbuatan yang melanggar undang-undang. Ini berarti bahwa tugas kekuasaan yudisial adalah untuk melaksanakan perintah undang-undang terhadap suatu kasus atau perinstiwa konkrit. Mengenai kekuasaan yudisial dalam perspektif teori montesquieu, Maria Farida Indrati Soeprapto berpendapat bahwa Kekuasaan yudisial adalah kekuasaan peradilan dimana kekuasaan ini menjaga agar undang-undang, peraturan-peraturan, atau ketentuan-ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan jalan menjatuhkan sanksi pidana terhadap setiap pelanggaran hukum / undang-undang. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa, tugas kekuasaan yudisial juga adalah untuk memutuskan dengan adil sengketa-sengketa sipil yang diajukan ke pengadilan untuk diputuskan. C.F. Strong dan Hans Kelsen juga berpandangan bahwa tugas kekuasaan yudisial adalah menerapkan norma-norma umum berdasarkan hukum positif terhadap kasus-kasus individual. Dalam perkembangannya, ruang lingkup kewenangan yudisial tidak hanya membentuk norma-norma individu berdasarkan norma-norma umum seperti dikemukakan di atas, tetapi juga berwenang melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dalam hal tidak ada suatu ketentuan undang-undang yang dapat secara langsung diterapkan terhadap suatu peristiwa konkret (kasus). Selain fungsi tersebut kekuasaan yudisial juga berwenang mengawasi dan menguji tindakan hukum publik yang berbentuk keputusan (beschikking) yang
138
ditetapkan oleh pejabat administrasi negara, bahkan dalam perkembangannya berwenang juga menguji undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif (judicial review). Hal tersebut menunjukkan supremasi kekuasaan yudisial atas kekuasaan legislatif dan eksekutif. Apabila bertitik tolak pada pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kewenangan badan atau pejabat administrasi negara dalam membentuk peraturan kebijakan tidak mungkin bersumber dari kekuasaan yudisial, karena tugas pokok kekuasaan yudisial bukan membuat kebijakan dalam rangka penyelenggaraan
tugas-tugas
pemerintahan,
melainkan
berkaitan
dengan
penyelesaian kasus-kasus tertentu yang bersifat individual. Kajian selanjutnya dilakukan terhadap kekuasaan eksekutif. Kalau berpedoman pada konsep Trias Politica dari Montesquieu yang memandang fungsi eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dalam konsep negara hukum formal, yang menekankan pada azas legalitas, maka tidaklah mungkin peraturan kebijakan
bersumber
dari
kewenangan
pemerintah
sebagai
pelaksana
undang-undang. Sebab pemerintah dalam melaksanakan fungsi pemerintahan telah dibatasi oleh undang-undang secara ketat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan Montesquieu mengenai tugas eksekutif merupakan pandangan yang sempit, karena dalam perspektif teori negara hukum modern atau negara hukum kesejahteraan, tugas pemerintah (eksekutif) untuk melaksanakan undang-undang hanya salah satu aspek dari tugas-tugas pemerintah. Seperti dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirdjo,
139
tugas-tugas pemerintah antara lain menjalankan fungsi-fungsi : pengaturan, pembinaan masyarakat, kepolisian, dan peradilan.
Kewenangan pemerintah
dalam bidang pengaturan bukanlah kewenangan asli dari eksekutif, melainkan menjadi kewenangan badan legislatif, yang karena suatu proses pelimpahan wewenang dari legislatif kepada badan eksekutif dan juga badan yudisial yang disebut sebagai delegated legislation. Kekuasaan legislatif yang dimiliki pemerintah disebut sebagai executive legislation. Executive legislation ini oleh Jimly Asshiddiqie, merupakan peraturan yang dibuat oleh eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan. Terkait dengan perubahan pandangan berkenaan dengan tugas dan wewenang pemerintah tercermin dari pengertian tugas pemerintah yang dikemukakan Jellinek, yang membagi kekuasaan pemerintah atas kekuasaan yang bersifat formal yang meliputi : kekuasaan mengatur dan memutus, dan kekuasaan yang bersifat materiil meliputi unsur memerintah dan menyelenggarakan. Berdasarkan penelusuran dari kekuasaan pemerintah yang dikemukakan Jellinek, peraturan kebijakan bersumber dari kekuasaan pemerintah dalam arti formal yang bersifat mengatur. Secara harfiah istilah mengatur mengandung arti membuat aturan yang berlaku secara umum atau tidak bersifat individual. Hal tersebut mengandung arti bahwa pemerintah berwenang membentuk aturan-aturan yang berlaku secara umum berdasarkan kewenangan legislasi yang bersifat atribusi atau delegasi. Apabila aturan-aturan formal yang dibuat oleh pemerintah
140
bersumber dari kewenangan atribusi dan delegasi, bentuk peraturan yang dibuat bukanlah peraturan kebijakan, melainkan peraturan perundang-undangan. Kemungkinan terakhir adalah kewenangan pejabat administrasi negara membentuk peraturan kebijakan bukan bersumber dari kewenangan atribusi dan delegasi, melainkan kewenangan mengatur yang menghasilkan peraturan berlaku umum, meskipun tidak dapat disebut sebagai peraturan perundang-undangan. Peraturan umum yang demikian itulah yang disebut sebagai peraturan kebijakan. Kesimpulan tersebut didasarkan pada
pandangan dan pendapat yang
dikemukakan oleh beberapa penulis seperti Abdul Latief yang berpendapat bahwa
Selain peraturan perundang-undangan yang bersumber pada legislatif negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan kebijakan pemerintahan yang terikat (gebonden beleids), dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan yang tidak terikat (vrijbeleid) juga akan dikeluarkan berbagai peraturan kebijakan (beleidsregels) yang bersumber pada fungsi eksekutif”. Abdul Hamid S. Attamimi, menegaskan bahwa sumber kewenangan pembentukan peraturan kebijakan berasal dari kewenangan mengatur pemerintah, Ditegaskan pula bahwa, kewenangan mengatur berdasarkan peraturan kebijakan dimiliki setiap pejabat pemerintah.
Tujuan pembentukan peraturan kebijakan
adalah untuk mengatur lebih lanjut penyelenggaraan pemerintahan. Dengan
demikian,
kewenangan
pembentukan
peraturan
kebijakan
bersumber dari kewenangan mengatur pemerintah yang menurut Jellinek merupakan kewenangan yang bersifat formal, yang meliputi :
141
1. Pemerintah berwenang melakukan pengaturan dengan membentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan kewenangan legislatif pemerintah. 2. Pemerintah berwenang melakukan pengaturan dengan membentuk peraturan kebijakan berdasarkan kewenangan pemerintahan yang bersumber dari kewenangan eksekutif. Dari pandangan dua ahli hukum sebagaimna disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber kewenangan pembentukan Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 sebagai salah satu bentuk peraturan kebijakan berasal dari kewenangan pemerintah yang sifatnya formal yaitu kewenangan mengatur dari pemerintah (eksekutif), dalam rangka penyelenggaraan fungsinya. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa
kebijakan yang ditetapkan
Bupati dalam bentuk peraturan kebijakan bukan atas perintah undang-undang atau bukan atas kewenangan yang berdasar atas undang-undang. Peraturan kebijakan Bupati Badung tersebut dipakai untuk menetapkan policy pelaksanaan undang-undang. Ini mengandung arti bahwa peraturan kebijakan adalah sebagai sarana yang dipakai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dalam mewujudkan
kebijakan-kebijakan
pemerintah,
khususnya
dalam
rangka
pelestarian lingkungan. Terkait dengan kekuatan mengikat dari peraturan kebijakan, ada beberapa pendapat yang berpandangan bahwa peraturan kebijakan tidak mengikat secara
142
hukum
karena
peraturan
kebijakan
bukan
merupakan
peraturan
perundang-undangan. Pandangan lainnya adalah peraturan kebijakan mengikat secara hukum walaupun tidak secara langsung, didasarkan pada alasan bahwa peraturan kebijakan merupakan salah satu bentuk tindakan hukum pejabat administrasi negara. Dari pandangan para ahli tersebut, dapat dikaji dari substansi atau materi muatan peraturan kebijakan yang tidak mengandung norma-norma hukum seperti perintah, larangan, izin, perbolehan, kewenangan, sebagaimana halnya dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, berdasarkan teori, substansi hukum seperti perintah, larangan, hak, kewajiban hanya dapat dilahirkan dari kekuasaan legislatif, karena substansi hukum seperti itu menimbulkan beban kewajiban dan hak baru bagi setiap warga masyarakat. Menurut teori kedaulatan rakyat, pemunculan hak dan kewajiban baru hanya dapat dilakukan oleh pelaksana kedaulatan rakyat yaitu wakil-wakil rakyat yang duduk di badan legislatif. Dengan demikian, berdasarkan beberapa kajian di atas, peraturan kebijakan tidak mungkin dapat melahirkan substansi hukum baru karena pembentuk peraturan kebijakan tidak memiliki kewenangan legislatif yang dapat melahirkan substansi-substansi hukum baru.
d. Harmonisasi Hukum dalam Pengaturan Pembebasan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
143
Harmonisasi dimaksudkan sebagai upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan di antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional. L.M. Gandhi menjelaskan, bahwa harmonisasi hukum mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum. Bertitik tolak dari rumusan di atas, harmonisasi hukum merupakan suatu upaya atau proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan dengan adanya kejanggalan dan pertentangan dengan hukum, sehingga terealisasi keselarasan, kesesuaian, kecocokan, keseimbangan di antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional. Tanpa adanya harmonisasi sistem hukum, akan berakibat pada keadaan tidak terjaminnya kepastian hukum yang dapat menimbulkan gangguan dalam kehidupan bermasyarakat, ketidaktertiban dan rasa tidak dilindungi. Dalam perspektif demikian, masalah kepastian hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui harmonisasi sistem hukum. Hal demikian didasarkan pada pertimbangan bahwa, sebagai negara hukum dengan asas legalitasnya, diperlukan suatu aturan yang mempunyai
144
kepastian hukum
yang tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan
sebagai dasar pijakan bagi administrasi negara dan juga masyarakat dalam melakukan suatu tindakan hukum, melalui harmonisasi hukum yang dapat dilakukan dalam dua langkah perumusan, yaitu harmonisasi kebijakan formulasi (sistem pengaturan) yang terkait dengan langkah perumusan harmonisasi sistem hukumnya, dan harmonisasi materi (subtansi)
yang terkait dengan langkah
perumusan harmonisasi norma-norma (materi hukum). Dalam penelitian ini, yang menjadi isu sentral adalah adanya ketidakharmonisan antara Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 yang merupakan dasar hukum pemberian
penghargaan peduli lingkungan berupa
pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau dengan ketentuan hukum positif yaitu ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain terhadap
Undang-Undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Bupati tersebut juga tampak adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap wajib pajak bumi dan bangunan terkait dengan asas-asas atau prinsip perpajakan. Dalam keadaan seperti demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagai implementasi asas legalitas, wajib dilakukan harmonisasi hukum. Adapun upaya yang dilakukan dalam harmonisasi hukum terhadap kedua ketentuan hukum tersebut di atas, secara teoritis dapat dilakukan langkah penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dalam kerangka sistem hukum nasional (legal system) yang mencakup :
145
a.
komponen materi hukum (legal substance), yang terdiri dari tatanan hukum eksternal yaitu peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis termasuk hukum adat dan yurisprudensi, serta tatanan hukum internal yaitu asas hukum yang melandasinya;
b. komponen struktur hukum beserta kelembagaannya (legal structure) yang terdiri atas berbagai badan institusional atau kelembagaan publik dengan para pejabatnya; c. komponen budaya hukum (legal culture), yang mencakup sikap dan perilaku para pejabat dan warga masyarakat berkenaan dengan komponen-komponen yang lain dalam proses penyelenggaraan kehidupan masyarakat. Dengan kerangka berpikir demikian, maka perumusan langkah yang ideal untuk ditempuh dalam harmonisasi hukum adalah melakukan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dalam kerangka sistem hukum nasional yang mencakup ketiga komponen di atas, sehingga diperlukan perumusan langkah sebagai kerangka konsep dan konsep dasar dalam melakukan harmonisasi hukum. Upaya pengharmonisan kedua ketentuan hukum tersebut diarahkan pada perwujudan keselarasan dengan idiologi negara yaitu Pancasila, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, UUD 1945, undang-undang lainnya yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya terkait dengan substansi yang diatur,
dan juga rasa keadilan masyarakat wajib
146
diperhatikan serta mengakomodir aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat. Sehingga, langkah harmonisasi hukum secara ideal dilakukan pada tahap-tahap perencanaan dan pembentukan Peraturan Bupati
melalui upaya penyusunan
peraturan-peraturan hukum. Dalam rangka menciptakan harmonisasi hukum dan pembaharuan sistem peraturan perundang-undangan,
secara normatif wajib memperhatikan dan
berdasarkan pada jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara teoritis, kekuatan hukum dari peraturan perundang-undangan menurut Hans Kelsen dengan Stufenbau theory menjelaskan bahwa : “… norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu grundnorm”. Dalam konteks demikian, untuk menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan melalui proses harmonisasi jenis dan penjenjangangan norma hukum menjadi suatu komponen yang sangat menentukan terkait dengan sah dan tidaknya suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah (pejabat administrasi negara). Terkait dengan materi yang berkenaan dengan kepentingan dan kebutuhan internal administrasi pemerintahan, Peraturan Bupati Badung sebagai salah satu
147
bentuk peraturan kebijakan (beleidregel) merupakan instrument yang melekat dan berasal dari administrasi negara, yang pada prinsipnya hanya menekankan pada aspek
kemanfaatan
(doelmatigheid)
daripada
aspek
kepastian
hukum
(rechtsmatigheid) dalam rangka diskresi (freies ermessen) : yaitu prinsip kebebasan menentukan kebijakan-kebijakan atau kebebasan bertindak yang diberikan kepada administrasi untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Diskresi (Freies Ermessen) akan berarti positif apabila dapat menjadi umpan balik kepada legislatif untuk perbaikan undang-undang. Sebaliknya, freies ermessen akan menimbulkan efek negatif apabila timbul budaya pragmatisme, yaitu pengambilan keputusan yang hanya didasarkan pada pertimbangan praktis, keberpihakan kepada kelompok kepentingan tertentu dan bersifat sesaat serta berjangka waktu pendek. Kondisi di atas, seperti yang terjadi dalam Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 tentang Penghargaan Peduli Lingkungan pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung yang merupakan salah satu bentuk kebijakan dari Bupati sebagai pejabat daerah dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan yang bersih, aman, lestari dan indah. Dengan ditetapkannya Peraturan Bupati tersebut menimbulkan permasalahan baru dalam pelaksanaan asas kepastian hukum. Menurut Koentjoro Purbopronoto, freies ermessen dapat berbeda dengan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak.
Lebih lanjut
dijelaskan, kebijakan merupakan perpaduan jiwa idealistis-realistis dengan
148
pragmatis, sedangkan asas kebijakan dalam azas-azas pemerintahan yang layak adalah suatu pandangan jauh ke depan dari pemerintah. Sehingga, berkenaan dengan hal tersebut prinsip kebebasan menentukan kebijakan dalam rangka freies ermessen harus didasarkan pada asas penyelenggaraan pemerintahan yang layak. Sebagaimana juga telah dijelaskan sebelumnya, batu uji dari peraturan kebijakan adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak. Untuk menjaga konsistensi sistem pembagian kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif
secara tegas, diskresi (freies ermessen) tidak dapat
diterapkan dalam proses pembentukan perundang-undangan secara teknis. Peraturan kebijakan yang bersumber dari kewenangan diskresi (freies ermessen) dapat menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa peraturan kebijakan itu hanya menekankan pada aspek kemanfaatan (doelmatigheid) daripada aspek kepastian (rechtsmatigheid). Secara sepintas hal demikian dapat disebut sebagai suatu upaya mengisi kekosongan hukum atau terobosan atas ketentuan hukum yang dipandang sudah tidak memadai. Akan tetapi yang perlu mendapat penekanan dalam hal ini adalah apabila peraturan kebijakan itu mengabaikan azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang layak akan dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum yang akan berdampak pada eksistensi peraturan kebijakan itu sendiri dengan segala akibat hukumnya. Terkait dengan pengujian atas Peraturan Bupati Badung terhadap asas-asas umum pemerintahan yang layak diarahkan pada aspek kemanfaatannya, apakah
149
bertentangan atau tidak dengan asas bertindak cermat, asas fair fly, asas motivasi dalam suatu keputusan, asas tidak mencampuradukan kewenangan, asas penyelenggaraan kepentingan umum, dan sebagainya. Pengujian terhadap Peraturan Bupati sebagai salah satu bentuk peraturan kebijakan dilakukan oleh lembaga peradilan administrasi negara karena ranah peraturan kebijakan menjadi kompetensi absolut dari peradilan administrasi negara (peradilan tata usaha negara). Jika hakim menilai bahwa peraturan kebijakan tersebut bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang
layak, peraturan kebijakan tersebut dapat dinyatakan batal oleh hakim. Peraturan Bupati Badung terkait penghargaan peduli lingkungan pada daerah jalur hijau dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk pembebasan kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau berupa subsidi kepada wajib pajak di daerah jalur hijau sebesar nilai yang tertera dalam SPPT, sepintas mengarah pada perbuatan melanggar hukum karena termasuk dalam ranah perbuatan korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada karena jabatan, memberikan keuntungan kepada sekolompok orang yaitu wajib pajak di kawasan jalur hijau. Dengan kata lain, Peraturan Bupati tersebut sebagai peraturan kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ketentuan hukum positif) yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dirubah
150
dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selanjutnya, dari kajian asas-asas umum pemerintahan yang layak tampak adanya penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, sesuai dengan konsep harmonisasi hukum yang menekankan pada aspek keselarasan, keharmonisan, kesesuaian, produk hukum dengan peraturan perundang-undangan yang ada, terhadap Peraturan Bupati Badung sebagai salah satu bentuk peraturan kebijakan diharapkan adanya suatu sinergitas yang dapat menjamin aspek kepastian hukum dan keadilan
dan
kesebandingan. Motivasi suatu keputusan tidak hanya semata-mata pada aspek kemanfaatan saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek kepastian hukum sebagai suatu negara hukum dengan asas legalitasnya. Dalam keadaan demikian diperlukan suatu sistem peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang harmonis dan terintegrasi untuk mewujudkan ketertiban, menjamin kepastian dan perlindungan hukum.
BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan. Berdasarkan
pada
uraian
analisa
pembahasan
terhadap
permasalahan di atas, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
151
kedua
1. Pembebasan pajak bumi dan bangunan di kawasan jalur hijau yang diatur dalam Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 dan Nomor 1954/02/HK/2012 mendapat pembenaran secara teoritis filosofis dan yuridis, terutama dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurzorg)
dan dari aspek
kemanfaatan hukum (doelmatigheid) terkait dengan maksud dan tujuan pelestarian lingkungan di wilayah Kabupaten Badung. 2. Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 dan Nomor 1954/02/HK/2012 termasuk katagori peraturan kebijakan (beleidregel) diskresi
berdasarkan kewenangan
untuk mengisi kekosongan hukum, secara substansi
tidak
menjamin kepastian hukum karena tampak adanya pertentangan norma hukum terutama dari asas atau prinsip pemungutan pajak yang mensyaratkan pajak harus adil dan non diskriminatif yang merupakan bentuk hak dasar / hak asasi yang wajib dilindungi oleh Pemerintah. Bahkan sifat pemberian penghargaan peduli lingkungan dalam bentuk pembebasan pajak dengan disubsidi oleh Pemerintah Daerah termasuk ranah KKN. Sehingga perlu dilakukan harmonisasi hukum sebagai upaya penyesuaian dengan ketentuan hukum positif, mencakup komponen materi hukum (legal substance), struktur hukum dan kelembagaan (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) dalam kerangka dan konsep
152
dasar Pancasila, konsep negara hukum dan prinsip pemerintahan yang konstitusional. 2. Saran / Rekomendasi Berdasarkan pada kesimpulan hasil penelitian tesis ini, disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Agar dilakukan reformulasi substansi terhadap Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 dan Nomor 1954/02/HK/2012 sebagai dasar pengaturan pembebasan pajak dalam bentuk subsidi dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan menekan alih fungsi lahan produktif. sehingga mampu menjamin tidak hanya aspek kemanfaatan hukumnya, akan tetapi juga menjamin aspek kepastian hukum, dan terwujudnya keadilan. 2.
Perlu
dilakukan harmonisaasi hukum terhadap Peraturan Bupati
Badung Nomor 25 Tahun 2011 dan Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 dan Nomor 1954/02/HK/2012
dalam bentuk
peraturan perundang-undangan secara tegas dan jelas mengatur pembebasan pajak dengan cara disubsidi sehingga mampu menjamin aspek kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan terwujudnya keadilan.
153
DAFTAR PUSTAKA Buku Agustino, Leo, 2008, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Cetakan Kedua, Alfabeta, Bandung. Ali, Ahmad, 2008, Menguak Tabir Hukum, Edisi kedua, Ghalia Indonesia, Bogor. Asshiddiqie, Jimly, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta. Atmosudirdjo, Prajudi, 1986, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-undang, Konpres, Jakarta. Attamimi, A.Hamid S. 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara” (disertasi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Administrasi di Indonesia. Cetakan ke-3. Alumni, Bandung. Brugging, J.J. H., alih bahasa : Arif Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Brotodihardjo, R. Santoso, 1984, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cetakan Kesebelas, PT. Eresco, Jakarta. Cohen, L. Morris & Olson, Kent C., 2000, Legal Research In A Nutshell, Seventh Edition , West Group, ST. Paul, Minn. Notohamidjojo, D., 1970, Makna Negara Hukum, BPK, Jakarta.
154
Fadjar, Mukthie, 2004, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Faal, M., 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Cetakan Pertama, PT. Pradnya paramita, Jakarta. Gie, The Liang, 1979, Teori-Teori Keadilan, Super, Yogyakarta. Goesniadhie, Kusnu, 2006, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan ; Lex Specialis Suatu Masalah, JP. Books, Surabaya. Goedhart, C., 1973, Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan : Ratmoko, Djambatan. Hadjon, Philipus M, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. ------- 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegheid), Pro Justitia. Hadjon, Philipus M. dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan IX, Gajahmada University Press, Yogyakarta. Hujibers, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Pustaka Filsafat, Jakarta. Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Jan Gijsels, Marx van Hocke (Terjemahan B Arief Sidharta), 2000, Apakah Teori Hukum Itu ? Laboratium Hukum Universitas Parahyangan, Bandung. Kontjoro, Diana Halim, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen, 1990, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung. Kusumohamidjojo, Budiono, 1999, Ketertiban Yang Adil, Grasindo, Jakarta. Kusnardi, Moh., dan Ibrahim, Harmaily, 1981, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum Univ. Indonesia, dan Sinar Bakti, Jakarta.
155
Kusnardi, Moh., dan Saragih, Bintan R. 1978, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta. Kelsen, Hans, 1966, General Theory of Law and State, Sidgwick & Jackson, London. Latief, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (beleidregel) pada Pemerintahan Daerah , UII Press, Yogyakarta. Lubis, Solly M, 1989, Landasan Dan Teknik Perundang-undangan, Maju, Bandung.
Mandar
Machmudin, Dudu Duswara, 2003, Pengantar Ilmu Hukum – Sebuah Sketsa, Cetakan Kedua, Refika Aditama, Bandung. Marbun, SF & MD, Mahfud, 2000, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. Mardiasmo, 2005, Perpajakan, PT. Andi, Yogyakarta. Manan, Bagir, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Indo Hill, Jakarta. ------- 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, F.S.H.UII, Yogyakarta. Manan, Bagir, dan Magnar, Kuntana, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung. Mansury, R., 1996, Pajak Penghasilan Lanjutan, Ind Hill-Co, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Marzuki, Laica, dalam sambutan buku Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Kebijaksanaan (Beleidregel) Pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta. Marbun, SF., dan MD., Mahmud, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta. Mulyosudarmo, Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta.
156
Muchsin, H., dan Putra Fadillah, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang. Moerad BM, H. Pontang, 2005, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pangadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung. Modeong, Supardan, 2003, Teori dan Praktek Penyusunan Peraturan perundangan Tingkat Daerah, Tintamas, Jakarta. ------- 2003, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, PT. Perca, Jakarta. Mulyosudarmo, Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta. Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. ------- 1982. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Yogyakarta : Liberty. Muhamad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Nasution, Bahder Johan, 2004. Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Mandar Maju, Bandung. Purbopranoto, Kuntjoro, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Alumni, Bandung. Peterson, E., and Plowman, E.G., 1948, Business Organization and Management, revied, Homewood, III, Richard, D. Irwin, Inc. Prodjodikoro, Wiryono, 1977, Asas-Asas Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. Ketiga, dian Rakyat, Jakarta. Ranggawidjaya, H. Rosjidi, Bandung.
1998, Ilmu Perundang-undangan. Mandar Maju,
Rahardjo, Satjipto, 2002, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Ridwan, H.R., 2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta. Ridwan, Juniarso, Sudrajat, Achmad sodik, 2009, Hukum Administrasi Negara dan kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, bandung.
157
Sabine, George H. 1961. A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winsto. Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan II, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta. Saleh,
Ruslan, 1979, Penjabaran Pancasila dan Perundang-Undangan, Aksara Baru, Jakarta.
UUD
1945
Dalam
Sagala, Budiman B., 1982. Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Indonesia, Jakarta.
Ghalia
Saleh, K. Wantjik , 1985, Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indonesia. Situmorang, Victor M., Sitanggang, Cormentyana, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta. Sibuea, Hotma, P, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan. & Asas-Asas Umum pemerintahan yang baik, Erlangga, Jakarta Soekanto, Soerjono , dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suryabrata, Sumadi, 1989, Metodelogi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta. Suseno, Franz Magnis, 1999, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Seidman, Aan, et.al., 2002, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, diterjemahkan oleh : Usfunan, Yohanes, dkk., Edisis Kedua, Proyek Elips II, departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia, Jakarta. Soeprapto, Maria Farida Indrati, 1996, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta. Strong, C.F., 1996, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson, London. Syafrifudin, Ateng, 1976, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Tarsito, Bandung. Utrech, E, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM. Universitas Negeri Padjajaran, Bandung.
158
Usfunan, Yohanes, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan. Van Wijk, H.D., / Konijnenbelt, Willem, 1994, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma B.V, Culemborg. Wheare, K.C. , 1975, Modern Constitutions, Oxford : University Press, New York. Wibawa, Samodra, 2011, Politik Perumusan Kebijakan Publik, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta. Widodo, Joko, 2007, Analisis Kebijakan Publik Konsep dan aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Bayumedia Publishing, Malang. Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. Raja Grafindo, Persada, Jakarta. Disertasi Atamimi, A. Hamid S., 1992, ”Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, (disertasi) Fakultas Pascasarjana, Universitas indonesia, Jakarta. Mulyadi, Lilik, 2007, ”Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003” (ringkasan disertasi) Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung. Suyatna, I Nyoman. 2011. ”Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Pembentukan Peraturan Daerah” (ringkasan disertasi). Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Sukadana, I Made, 2011, ”Mediasi Dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia Dalam Rangka Mewujudkan Proses Peradilan Yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan”, (ringkasan disertasi)Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Pertemuan Ilmiah Hadjon, Philipus M, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Pengukuhan Jabatan 159
guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 10 Oktober. Usfunan, Yohanes, 2004, Perancangan Peraturan Perundang – undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar 1 Mei. Jurnal / Majalah Ilmiah Hadjon, Philipus M. 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Yuridika : Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember, Surabaya. Kamus Al Barry, M. Dahlan, 1995, Kamus Indonesia Modern Bahasa Indonesia, Arkola, Yogyakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Balai Pustaka, Jakarta. Garner, Bryan A., 1999, Black Law Dictionary, seven th Edition, ST Paul Minn. Marbun, B.N., tt. Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sadzily, Hasan, dkk., tt, Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta. Yuniar, Yanti, tt, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Agung Media Mulia, Surabaya. Surat Kabar Tjandra, W. Riawan ; 2012. Hakikat Legislasi. Media Indonesia, Tgl. 19 April. Sudaratmaja, IGAK ; 2013. Badung Berhasil Tekan Alih Fungsi Lahan. Tgl. 30 Januari, Halaman 1, Kolom 2. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Undang – Undang Dasar 1945 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan ( Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) 160
Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725 ) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874), sebagaimana dirubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 ( Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor : 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 153). Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Larangan mendirikan Bangun – Bangunan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 29 Tahun 1995 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Daerah Tingkat II Badung. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 3). Peraturan Bupati Badung Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung. Keputusan Bupati Badung Nomor 1970/02/HK/2011 Tentang Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung Tahun 2011.
161
Keputusan Bupati Badung Nomor 1954/02/HK/2012 Tentang Pemberian Penghargaan Peduli Lingkungan Pada Daerah Jalur Hijau Di Kabupaten Badung Tahun 2012.
162