BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dimana pembangunan ekonomi suatu negara dapat diukur melalui Produk Nasional Bruto (PNB) yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut BPS, PNB di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 2.517.483,3 miliar rupiah dan jumlah PNB di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut Todaro (2000), tujuan utama dari pembangunanan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan ekonomi setinggitingginya, juga menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk dan masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembangunan ekonomi diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat. Sebagai implikasi dari perkembangan ini diharapkan kesempatan kerja akan bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat semakin tinggi (Sukirno, 2006). Kesenjangan antar daerah seringkali menjadi permasalahan yang serius.
1
Beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang signifikan, sementara beberapa daerah lainnya mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah yang tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan karena kurangnya sumber-sumber yang dimiliki. Adanya kecenderungan pemilik modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, serta tenaga terampil (Barika, 2012). Disamping itu juga adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari Pemerintah Pusat kepada daerah seperti provinsi atau kecamatan (Kuncoro, 2004). Oleh karena itu, hasil dari pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai wujud peningkatan kesejahteraan secara adil dan merata. Kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada (Noviana, 2014). Menurut Sukirno (2004), salah satu alat untuk mengukur keberhasilan perekonomian suatu wilayah adalah pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Perekonomian pada suatu wilayah akan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dikarenakan adanya penambahan pada faktor produksi. Pemerintah melalui Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang “Sistem Perencanaan
Pembangunan
Nasional”
mengatakan
bahwa
perencanaan
pembangunan nasional maupun regional merupakan kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan mengikuti pola tertentu berdasar hasil kajian yang cermat terhadap situasi dan kondisi bagus. Pembangunan yang bersifat
2
menyeluruh dan tuntas perlu dilakukan, sehingga sasaran pembangunan yang optimal dapat tercapai. Kemampuan setiap daerah untuk membangun daerahnya masing-masing berbeda, karena dipengaruhi oleh adanya perbedaan potensi sumber daya yang dimilikinya seperti sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan serta sumber daya sosial. Dalam proses pembangunan ada daerah yang melimpah sumber daya alam tetapi kurang dalam sumber daya manusia, namun ada daerah yang sebaliknya kurang dalam hal sumber daya alam tapi melimpah dalam sumber daya manusia, baik secara kualitas maupun kuantitas. Keadaan ini selanjutnya menyebabkan perbedaan dalam perkembangan pembangunan yang mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan kesejahteraan di masing-masing daerah. Masalah ketimpangan antar daerah atau wilayah juga terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). DIY terdiri atas empat Kabupaten dan satu Kota, yaitu Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk membuktikan adanya ketimpangan antar Kabupaten/Kota tersebut maka melihat terlebih dahulu dari sisi PDRB, jumlah penduduk, dan PDRB per kapita. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang di hasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.
3
Gambar 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2004-2013 (Rp triliun) 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kulon Progo
Bantul
Gunung kidul
Sleman
Yogyakarta
Sumber: BPS DIY (data diolah)
Grafik di atas menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir PDRB pada setiap Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kabupaten/Kota yang memiliki PDRB tertinggi yaitu Kabupaten Sleman dan yang terendah adalah Kabupaten Kulonprogo. Pada tahun 2003 PDRB Kabupaten Sleman sebesar Rp4,60 triliun angka tersebut naik hingga sebesar Rp7,47 triliun pada tahun 2013, sedangkan PDRB Kabupaten Kulonprogo sebesar Rp1,34 triliun pada tahun 2003 meningkat hingga Rp2,06 triliun pada tahun 2013. Peningkatan kenaikan PDRB pada Kabupaten Kulonprogo sangatlah rendah bila dibandingkan dengan Kabupaten Sleman. Hal ini, dapat menjadi indikator pembuktian adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi. Menurut UUD 1945 Pasal 26 ayat (2), penduduk adalah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Sementara yang bukan penduduk adalah orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat sementara sesuai dengan visa. 4
Gambar 1.2. Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Tahun 2003-2013 (jiwa) 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kulonprogo
Bantul
Gunungkidul
Sleman
Yogyakarta
Sumber: BPS DIY (data diolah)
Hasil sensus penduduk mencatat jumlah penduduk yang tinggal di wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi DIY pada tahun 2003 sebesar 3.162.587 jiwa, angka tersebut
semakin meningkat hingga 3.541.922 jiwa di tahun 2013. Jumlah
penduduk DIY semakin bertambah setiap tahun dengan laju pertumbuhan yang semakin menurun. Jumlah penduduk DIY menurut Kabupaten/Kota yang tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar 959.445 jiwa pada tahun 2003, angka tersebut terus meningkat hingga sebesar 1.141.684 jiwa pada tahun 2013. Sedangkan yang terendah yaitu Kabupaten Kulonprogo yaitu sebesar 372.728 jiwa pada tahun 2003, dan sebesar 403.203 jiwa pada tahun 2013. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah/wilayah adalah dengan melihat angka PDRB per kapita. PDRB per kapita diperoleh dari hasil bagi antara nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomi di suatu daerah (PDRB) dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Oleh karena itu, besar kecilnya jumlah penduduk berpengaruh terhadap nilai PDRB 5
per kapita. Di sisi lain besar kecilnya nilai PDRB sangat tergantung pada potensi sumber daya alam dan faktor-faktor produksi yang terdapat di daerah tersebut. Gambar 1.3. PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2004-2013 (Rp juta) 18,000,000 16,000,000 14,000,000 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kulon Progo
Bantul
Gunung kidul
Sleman
Yogyakarta
Sumber: BPS DIY (data diolah)
PDRB per kapita merupakan indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah tertentu. Menurut Tarigan (2005), PDRB per kapita adalah total PDRB suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun yang sama. Semakin tinggi tingkat PDRB perkapita di suatu wilayah maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakatnya, dan sebaliknya semakin rendah tingkat PDRB perkapita di suatu wilayah maka semakin rendah tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Grafik di atas menunjukkan adanya perbedaan PDRB perkapita yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut terlihat dari PDRB perkapita yang mendominasi adalah Kota Yogyakarta. Kemudian pada posisi kedua terbesar
6
adalah Kabupaten Sleman. Sedangkan, kabupaten lainnya PDRB perkapitanya jauh lebih rendah dari Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Pada tahun 2003 PDRB per kapita Kota Yogyakarta sebesar Rp10,18 juta meningkat hingga Rp16,14 juta pada tahun 2013. PDRB per kapita terendah adalah Kabupaten Bantul sebesar Rp3,62 juta pada tahun 2003, meningkat hingga Rp4,91 juta pada tahun 2013. Dengan perbandingan antara PDRB, jumlah penduduk, dan PDRB per kapita di atas, dapat dilihat bahwa perbandingan angka antara Kabupaten/Kota yang tertinggi dan terendah sangat tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan antar Kabupaten/Kota di Provinsi DIY juga tinggi, karena ada daerah yang tertinggal ada daerah yang sudah sangat maju. Penelitian ini bertujuan menganalisis posisi pertumbuhan perekonomian masing - masing Kabupaten/Kota berdasarkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi DIY dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita serta mengetahui ketimpangan regional antar Kabupaten/Kota di Provinsi DIY selama kurun waktu 2003-2013. Maka penelitian ini meneliti Ketimpangan Pembangunan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2003-2013.
7
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pola pertumbuhan ekonomi serta klasifikasi di Kabupaten/Kota di Provinsi DIY menurut Tipologi Klassen? 2. Berapa besar tingkat ketimpangan regional antar Kabupaten/Kota di Provinsi DIY berdasarkan Indeks Williamson dan Indeks ketimpangan Entropi Theil? 1.3. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pola pertumbuhan ekonomi serta klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi DIY menurut Tipologi Klassen. 2. Mengetahui besarnya tingkat ketimpangan regional antar Kabupaten/Kota di Provinsi DIY berdasarkan Indeks Williamson dan Indeks ketimpangan Entropi Theil.
8
1.4. Kerangka Penulisan
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Data
Alat Analisis
9