BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tiga tahun terakhir ini merupakan tahun yang penuh
perhatian bagi
pembangunan di Yogyakarta. Khususnya polemik mengenai penolakan-penolakan warga terhadap pembangunan gedung-gedung hotel maupun apartemen di sejumlah titik yang tersebar di wilayah pinggiran dan perkotaan Yogyakarta. Pada umumnya sudah menjadi pemaklumat bahwasanya Yogyakarta akan dipenuhi oleh berbagai sektor usaha semacam tersebut. Karenanya Yogyakarta adalah merupakan kota besar yang memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan, usaha, wisata, budaya, pendidikan dan sektor-sektor lainnya. Sehingga kebutuhan akan tempat tinggal atau hunian menjadi tuntutan pemerintah Yogyakarta untuk memenuhi permintaan-permintaan tersebut. Namun di sisi lain rencana tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakatnya bahkan menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran terhadap permasalahan serta ancaman yang akan timbul akibat pembangunan gedunggedung tersebut nantinya. Banyak alasan yang mendasari penolakan warga terhadap pembangunan apartemen maupun hotel yang akan dibangun di wilayahnya masing-masing. Pada umumnya warga menolak karena permasalahan ancaman dampak ekologi berupa krisis air tanah, banjir, kemacetan dsb. Namun, ada pula yang beralasan menolak karena kekhawatiran akan dampak sosial yang timbul berupa kemacetan, perubahan gaya hidup, dll. Ketidaksesuaian terhadap peruntukan lahan dan mudahnya perizinan-perizinan diterbitkan untuk pendirian
Hal | 1
hotel maupun apartemen juga menjadi anggapan warga Yogyakarta melayangkan penolakannya. Memang, dalam mana melihat fenomena ini terkadang menuai ke ambiguan sekaligus paradoks, disatu sisi pemetintah mengupayakan guna memacu laju pertumbuhan ekonomi di daerahnya dengan peningkatan pendapatan daerahnya melalui sektor pembangunan apartemen maupun hotelnya. Namun, disisi yang bersamaan orientasi pembangunan semacam itu tak jarang mengorbankan biaya-biaya ekologi.1 Kasus-kasus penolakan yang terjadi di wilayah pinggiran dan perkotaan Yogyakarta mulai bermunculan ke permukaan publik dan keberadaannya terus meningkat dalam beberapa kurun waktu terakhir ini. Banyak kasus yang terjadi seperti pada kasus pembangunan Fave Hotel di Miliran kota Yogyakarta, Apartemen M-Icon Gadingan Kab. Sleman, Hotel Bale Ningrat di Karangkajen Kota Yogyakarta, Apartemen Uttara di Karangwuni, Kab. Sleman, Hotel Cordela di Jl. Bayangkara Kota Yogyakarta dan lain-lainnya. Kasus-kasus diatas kurang lebih mendasarkan penolakannya atas alasan – alasan tersebut. Tak jarang pula bentuk-bentuk penolakan warga melalui berbagai bentuk , dari aksi literasi,, gerakan online (Internet) , demonstrasi, hingga aksi kesenian berupa mural, teatrikal dan media visual. Seperti contoh, aksi-aksi warga berupa hestag #JogjaAsat, #JogjaRaDiDol, pertunjukan festival mencari Haryadi
1.
2.
2
1
Lihat biaya – biaya ekologi pembangunan dalam Budihardjo, Eko. Kota dan Lingkungan : Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. LP3S. Jakarta. 2015 & Tong, Yanqi. Bureaucracy Meets the Environment : Elite Perceptions in Six Chinese Cities. The China Quarterly, No. 189 (Mar.,2007), pp. 100-121. Cambridge University Press. 2 Haryadi Suyuti adalah Walikota Yogyakarta periode tahun 2012-2017
Hal | 2
pemutaran film dokumenter „Dibelakang Hotel‟, gerakan mural „Warga Berdaya‟, aksi demonstrasi di jalan oleh warga Karangwuni dan aksi mandi pasir dari warga Miliran pada tahun 2014 lalu sebagaimana yang di lansir oleh Republika3 dan Kompas4 serta di berbagai media pemberitaan lainnya. Menelaah fenomena ini secara seksama, pertumbuhan gedung-gedung perhotelan maupun apartemen di Yogyakarta dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini mengalami pertumbuhan spasial yang pesat. Sebagai contoh peningkatan pembangunan perhotelan berbintang maupun non-bintang di Yogyakarta, menurut data yang ditautkan dalam laman resmi Bappeda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015 adalah sebagai berikut : Tabel. 1 Data Peningkatan Pertumbuhan Hotel berbintang dan Non-Berbintang di Provinsi Yogyakarta tahun 2011-2015.
Tahun 2011 2012 2013 1. Jumlah Hotel n/a n/a n/a 1). Jumlah Hotel Bintang Lima 4 4 6 2). Jumlah Hotel Bintang empat 8 9 9 3). Jumlah Hotel Bintang Tiga 8 14 15 4). Jumlah Hotel Bintang Dua 7 8 10 5). Jumlah Hotel Bintang Satu 10 10 11 6). Jumlah Hotel Non Bintang 415 447 479 Tetap | Sementara | n/a = Tidak Ada | Jumlah Hotel
2014 n/a 6 11 16 12 9 521
2015 575 6 11 16 12 9 521
Sumber : Bappeda DIY, 2015 3.
4.
3
Rizma Riyandi. Warga Kembali Protes Apartemen Uttara. Republica.co.id. http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/03/05/nkp5wg-warga-kembaliprotes-pembangunan-apartemen-uttara. diakses tanggal 31 Oktober 2015. Haris FIrdaus. Sumur Kering Warga Jogja Aksi Mandi Tanah di Depan Hotel. Regional.Kompas.co.id.http://regional.kompas.com/read/2014/08/06/16225191/sumur.k ering.warga.jogja.aksi.mandi.tanah.di.depan.hotel. Diakses tanggal 31 Oktober 2015 4
Hal | 3
Berdasarkan tabel diatas pertumbuhan jumlah hotel berbintang maupun non-bintang di Provinsi Yogyakarta dari tahun 2011 hingga 2015 ini memang mengalami peningkatannya dari tahun ke tahun. Sejumlah belasan hotel berbintang dan ratusan hotel non-bintang yang telah terkalkulasi tumbuh berdiri di Yogyakarta mencerminkan bahwasannya perizinan pendirian hotel telah menemui kemudahannya. Sehingga menimbulkan pertannyaan mendasar warga kepada para elit perencana kota apa tujuan yang sesungguhnya dengan
menghadirkan
berbagai pendirian hotel di wilayah Yogyakarta? Seakan-akan tidak terencana dengan baik dan tidak memperhatikan biaya-biaya yang harus dikorbankan oleh warga. Melihat pada bentang pembangunan yang terkalkulasi dan tumbuh berdiri di wilayah Yogyakarta baik di wilayah pinggiran maupun di perkotaan, hal tersebut menunjukan secara nyata bahwa pembangunan pada perkotaan semacam itu menghasilkan konflik (Urban Conflict). Bagaimana tidak, ketersediaan ruang / lahan yang diperuntukan bagi hunian di wilayah perkotaan Yogyakarta telah mengalami kepadatannya, dibarengi dengan populasi penduduk yang terus bertambah, sehingga pembangunan ini dengan terpaksa harus menghemat ruang dengan membangun bangunan vertikal dan mengalami pemekaran fisikal perkotaan5 yang
saling ber-ekspansi ke wilayah pinggiran perkotaan (Urban
Sprawl).
5.
5
Lihat gejala pemekaran fisikal perkotaan (Urban Sprawl). Yunus, Hadi, Sabari. Dinamika Wilayah Peri Urban : Determinan Masa Depan Kota. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2008. Hal. 3
Hal | 4
Wujud konflik tersebut dapat berupa perebutan lahan, konflik lingkungan, konflik sosial , persaingan ekonomi, serta perpecahan dalam masyarakat dan munculnya kelas-kelas baru. Merujuk pada Yunus (2008) secara konflik sosial, konflik yang terjadi adalah seputar konflik pemanfaatan lahan (Land Use Conflicts) yang melingkupi konflik dalam masyarakat, konflik dalam individu, konflik antar institusi dsb.6 Sebagaimana seperti contoh konflik penolakan warga yang terjadi di beberapa titik pembangunan hotel dan apartemen diwilayah pinggiran dan perkotaan di Yogyakarta yang peneliti singgung sebelumnya. Memang
pada porsinya, tugas dalam perumusan kebijakan perizinan
pendirian bangunan, peruntukan lahan tata ruang perkotaan, serta kerjasama investasi daerah dilaksanakan
pemerintah daerah oleh mereka para elit-elit
struktural yang berkuasa atas perencanaan kota di Yogyakarta. Dalam artian mereka-mereka lah yang berwenang dalam perizinan
usaha-usaha apartemen
memutuskan dan menerbitkan
dan hotel tersebut maupun usaha-usaha
lainnya. Dalam hal ini menyasar pada para elit-elit perencana perkotaan, jelaslah orientasi tata ruang perkotaan Yogyakarta dikendalikan oleh para elit-elit yang berkuasa di pemerintahan daerah tersebut. Baik di sahkan oleh Mayor (Gubernur/Walikota/Bupati) , dinas-dinas terkait, pemerintah desa dsb. Tentunya penolakan-penolakan atau gerakan yang digencarkan oleh warga tersebut pastinya menyasar pada elit-elit diatas. Namun, ada dimensi elit struktural yang tak kalah penting karena juga mempunyai pengaruh yang serupa pada level yang lebih lokal. Yakni, elit kampung / dusun. Dalam hal ini pejabat kampung 6.
6
Op.cit hal.355
Hal | 5
yakni seorang Dukuh / dusun, RT/RW turut juga mempunyai peran serupa seperti pejabat-pejabat diatasnya, yaitu memberikan izin dan mengakomodir kepentingan pemerintah dan privat dalam lingkup kewilahayahannya. Disisi lain juga elit kampung ini berfungsi juga sebagai representasi warganya dalam mengakomodir aspirasi, tanggapan dan kepentingan warganya. Elit kampung inilah yang menurut peneliti tidak kalah peranannya dengan elit-elit diatasnya, yang sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Sehingga perlu dicermati pula pertimbanganpertimbangan serta pandangan yang di rumuskan oleh elit kampung ini. Karena bagi peneliti pejabat kampung ini lah berperan sebagai pintu pertama pelayan publik yang berfungsi untuk mengakomodir kepentingan masyarakatnya. 7 Begitu pula kejadian penolakan-penolakan yang tersebar di beberapa titik wilayah Yogyakarta ini terhadap pembangunan apartemen maupun hotel di wilayah mereka tentunya turut pula berhubungan dengan para elit-elit lokal ini dalam urusan mengurus hak-hak mereka sebagai warganya. Dengan ini peneliti juga meyakini bahwa kasus-kasus penolakan hotel maupun apartemen yang telah terjadi tersebut, sedikit atau lebihnya juga mempunyai permasalahan dengan elitelit kampungnya. Baik di level musyawarah perencanaan pembangunannya, keputusan-keputusan perizinan dan urusan-urusan lainnya. Namun, disisi yang bersamaan kelompok-kelompok penolakan yang di motori oleh warga tentunya mempunyai dimensi elitnya tersendiri. Hal ini merupakan wujud munculnya kelas-kelas baru atas dampak dari ketimpangan pembangunan hotel maupun apartemen. Bahwasannya seorang elit tidak 7.
7
Lihat Biro Tata Pemerintahan Setda DIY-Bagian Kependudukan tahun 2013 untuk melihat tugas pokok peran pemerintah desa dan elemen-elemennya.
Hal | 6
semestinya bersifat struktural dalam kepemerintahan, melainkan juga bisa berupa non-pemerintahan (Non-Politics) dalam kasus ini. Mereka ini lah yang menggerakan sistem penolakan, mengorganisir kelompok penolakan serta yang mempunyai peran atau posisi dalam kelompok-kelompok penolakannya tersebut. Hal ini lah yang memikat perhatian peneliti, bahwasannya juga ada dimensi elit yang juga tak kalah penting dan mempunyai peranan vital serta tak jarang permasalahan-permasalahannya juga kian kompleks di level lokalnya dalam konteks penolakan pembangunan
apartemen maupun hotel ini. Berdasarkan
penggambaran diatas lah yang menjadi topik peneliti dalam melihat fenomena elit. Hendaknya peneliti berupaya untuk melihat bagaimana terbentuknya dan dinamika yang terjadi antar elit-elit di dalamnya melalui peranan elit kampung sekaligus elit kelompok penolakan
terhadap kasus pembangunan apartemen
maupun hotel di wilayahnya. Kemudian, dari dua kutub pandangan yang diperoleh melalui terbentuknya elit kampung dan elit kelompok penolakan tersebut pada nantinya akan menemui irisannya dalam dinamika elit-elit lokal ini dalam kasus pembangunan apartemen maupun hotel diwilayahnya.
Sehingga
pada nantinya dapat dipahami mengenai pandangan serta peranan elit lokal terhadap pembangunan tersebut. Dari penjabaran kasus yang telah peneliti jabarkan diatas, dalam kesempatan penelitian kali ini peneliti memilih pada kasus proses pembangunan Apartemen Uttara :The Icon (15 Lantai dan 3 Basement) yang terletak di Padukuhan Karangwuni, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta untuk melihat dimensi elit-elit lokal ini.
Hal | 7
Apartemen Uttara menjadi salah satu kasus diantara kasus penolakan apartemen maupun hotel lainnya dikarenakan terdapat kasus penolakan oleh warga disini yang telah berlangsung cukup lama dari tahun 2013 hingga sekarang dan belum menemui titik terang antara pihak pengembang dan pemerintah. Alasan lainnya yang menjadi ketertarikan peneliti adalah wilayah ini cukup memberikan penggambaran mengenai kasus penolakan yang berlangsung, karena dinamika eskalasi konflik yang dialami oleh warga cukup tinggi sebagaimana menurut berbagai pemberitaan oleh media bahwa terjadinya aksi demonstrasi, ketegangan hingga proses kriminalisasi8 terjadi pada kasus ini. Di sisi yang bersamaan terdapat permasalahan-permasalahan pada elit kampungnya yang menyangkut pada kasus ini. Pengalaman peneliti dalam meneliti tingkat sosio-ekonomi masyarakat Karangwuni yang sempat peneliti laksanakan pada tahun 2014 lalu juga menjadi modal peneliti untuk memilih kasus ini sebagai topik penelitian peneliti. Oleh karena itu kesempatan penelitian ini peneliti melihat dimensi elit lokal tersebut dari bagaimana proses upaya terbentuknya dan dinamika antar elitnya dalam proses pembangunan apartemen Uttara di Padukuhan Karangwuni, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
8.
8
Lihat Mahanani, Setia. 2014. Catatan Akhir Tahun 2014,Aktivis LSM Sesalkanmenguatnya pembungkaman suara kritis. Kabarkota.com. http://www.kabarkota.com/berita-2504-catatan-akhir-tahun-2014-aktivis-lsm-sesalkanmenguatnya-pembungkaman-suara-kritis.html. Diakses tanggal 13 November 2015.
Hal | 8
1.2 Rumusan Masalah Dengan ini rumusan masalah yang peneliti tetapkan pada topik penelitian ini adalah
:
a. Bagaimana terbentuknya elit lokal dalam konflik pembangunan Apartemen Uttara di Padukuhan Karangwuni, Caturtunggal, Sleman ? b. Bagaimana dinamika konflik diantara elit lokal yang terjadi dalam pembangunan
apartemen
Uttara
di
Padukuhan
Karangwuni
Caturtunggal, Sleman? 1.3 Tujuan Penelitian a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terbentuknya Elit Lokal di Padukuhan Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. b. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui dinamika konflik antar elit lokal yang terjadi dalam pembangunan Apartemen Uttara di Padukuhan Karangwuni, Sleman, Yogyakarta. c. Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi penilaian Tugas Akhir Mahasiswa, Mata Kuliah : Skripsi, sebagai Pra-Syarat untuk memperoleh gelar tingkat Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada. (UGM)
Hal | 9
1.4 Manfaat Penelitian a. Penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangsih pemikiran dan kontribusi pengetahuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial. b. Penelitian ini bermanfaat karena dapat memberikan realita dan pemahaman secara lokal mengenai gejala sosial yang terjadi kepada publik , guna untuk dimengerti dan menjadi rekomendasi bagi keberlanjutan pembangunan Kota Yogyakarta kedepannya. 1.5 Landasan Teori 1.5.1 Elite’s Sudah tidak mengherankan lagi jikalau membahas fenomena elit dalam perspektif ilmu sosial dan ilmu politik. Kajian serta teoritisasinya telah berkembang dan telah menemui modifikasinya melalui berbagai pembaharuan sesuai evolusi perkembangan gagasannya di berbagai level. Banyak tokoh-tokoh, ilmuan, praktisi maupun peneliti sosial yang menaruh perhatiannya dalam mengkaji fenomena ini. Mulai dari awal mulanya teori ini dikembangkan oleh Gaetano Mosca (1858-1941), Vilfredo Pareto (1848-1923), dan Robert Michels (1876-1936) hingga sampai tokoh abad-21 seperti C.Wright Mills (1916-1962), Pierre Bordieu (1930-2002), G. William Domhoff , John Higley, serta Sunyoto Usman menelaah secara mendalam dan mendefinisikan konsep elite nya masingmasing.
Hal | 10
Sebelum beranjak lebih lanjut, ada baiknya mengetahui penggambaran megnenai konsep eilte ini. Dalam kajian ilmu sosial dan ilmu politik, tidak sedikit diantaranya mengantarkan penggambaran dari konsep ini melalui gagasan elit dua tokoh terkemuka yakni Gaetano Mosca & Vilfredo Pareto. Secara empiris gagasan teoritisasi kedua tokoh ini dapat dikatakan selalu berlaku dalam kajian elit hingga zaman modern ini, walaupun umur dan masa dari teori keduanya sudah lama keberadaannya. Namun, tidak sedikit diantaranya yang juga telah mengkritik dan mengevaluasi teori dari kedua tokoh ini. Mosca dalam karyanya The Ruling Class (1939) mendefinisikan konsep elite melalui gagasannya yang berjudul Elite and Mass. Gagasan ini memberi pengertian bahwasannya Elite merupakan individu atau sekelompok orang dalam jumlah yang tidak banyak, yang menguasai masyarakat. Sebaliknya, Mass merupakan masyarakat dalam jumlah yang banyak yang dikuasai oleh segelintir orang yakni elite. Elit diyakini mempunyai kekuatan (Power) yang bersumber dari kapasitas kemampuan ekonominya, wawasan intelektualnya dan kapasitas moralnya.9 Sumber-sumber tersebutlah yang dimanfaatkan oleh sekelompok elit untuk mengendalikan atau menguasai massanya. Elit pula juga di sebutnya sebagai penikmat dari keuntungan-keuntungan dari kebijakan atau keputusan atas masyarakatnya. Sehingga dalam pendefinisian Mosca ini, elit-elit tersebut adalah kelas-kelas yang berkuasa (The Ruling Class).
9.
9
Lihat juga sumber-sumber kekuasaan politik yang dapat diperoleh menurut Max Weber dalam buku Subakti, Ramlan.1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. Grasindo
Hal | 11
Baginya konsep The Ruling Class adalah ilmu untuk memerintah. Ia meyakini elit tidak mungkin dapat memerintah seorang diri, melainkan terdapat segelintir orang yang mendukung seseorang untuk memerintah, seperti halnya seorang presiden tidak akan mampu untuk melaksanakan otoritasnya tanpa adanya dukungan kinerja dari para kabinet-kabinetnya, oleh karenanya ia menempatkan pada segelintir elit yang berkelompok. Dalam pemaparannya pendekatan yang Mosca tawarkan terlebihnya lebih pada konteks elite dalam perspektif di dalam sistem politik pemerintahan. Yakni, golongan-golongan yang berkuasa dalam sektor-sektor pemerintahan, yang berwenang atas kebijakan-kebijakan tertentu. Elit-elit ini pada umumnya dipastikan dihuni oleh segelintir orang-orang kaya. Ia banyak berbicara mengenai elit dalam pembahasannya tersebut pada golongan elit yang mengatur struktur politik pemerintahan, parlemen, partai-partai politik hingga kaitannya dengan elit-elit penguasa pada sektor militer. “Minoritas itu mengorganisir semata-mata demi alasan bahwa minoritas itu biasanya terdiri dari individu-individu yang unggul-… para anggota minoritas yang berkuasa biasanya memiliki atribut, yang nyata atau tampak, yang sangat dihargai dan berpengaruh dalam masyarakat dimana mereka hidup.” (Mosca dalam Bottomore: P. 4-5 , 2006) 10
10. 10
Lihat T.B Bottomore. Elite dan Masyarakat. Akbar Tanjung Institute. Jakarta. 2006 hal 4-5
Hal | 12
Merujuk pada Bottomore, Vilfredo Parreto menganalogikan elit dari sebuah objek / barang yang berkualitas. Pada konsep kelas tentunya barang berkualitas hanyalah dapat dinikmati oleh orang yang tentunya memiliki kualitas juga. Dalam artian mereka yang berkualitas ini lah merupakan penikmat dari kalangan tertentu atau golongan kelas sosial khusus. Berangkat dari analogi inilah ia menyebut individu / sekelompok orang ini adalah para elite tersebut. Elit baginya adalah individu atau sekelompok orang yang dinilai berdasarkan kapasitas yang dimilikinya dan cenderung memanfaatkan
massa
menggunakan persuasi dan paksaan untuk kepentingan kekayaan dan golongan / keluarganya. Kapasitas tersebut dapat berupa keterampilan, wawasan dan pengetahuan serta kiprah pengalaman yang dimiliki. Melalui sumber diatas lah elit ini didefinisikan, karenanya kemudian orang-orang ini mendapatkan posisi akan citra kedudukannya oleh masyarakat yang kemudian dapat dipandang, dihargai dan dipatuhi. Secara mendasar itu yang dapat dijadikannya alasan untuk menguasai masyarakat yang dikuasainya. Parreto membaginya dalam 2 jenis golongan elit, yakni elit-elit pemerintahan (Governing Elite) dan elit-elit non-pemerintahan (Non-Governing Elite). Sesuai dengan Mosca, elit pemerintah baginya merupakan orang-orang yang menguasai masyarakat melalui sektor-sektor birokrasi pemerintahan, yang menguasai sektor-sektor pelayanan publik dan pemangku kepentingan. Sedangkan elit non pemerintah adalah orang – orang yang mempunyai kuasa untuk mengendalikan masyarakat diluar sektor pemerintahan. Dalam penggambarannya
Hal | 13
dapat berupa partai politik, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga-lembaga non pemerintahan lainnya. Kedua tokoh diatas telah banyak mewarnai kajian-kajian teoritis mengenai pendefinisian elit, baik dalam penggunaanya sebagai pengantar maupun sebagai materi analisa. Tentunya dari penggambaran diatas Mosca dan Parreto bersamasama menaruh perhatian pada identifikasi elit yang berkuasa pada sektor kebijakan pemerintah / dalam penggunaannya pada kekuatan-kekuatan politis yang ada (Bottomore, 2006). Namun, dalam pembedaanya dapat dicermati dari penggambaran kedua tokoh ini, bahwasannya pembedannya adalah pada bentuk perhatian Parreto mengenai pembagian elite juga terdapat pada golongan elit diluar pemerintahan atau Governing Elite tersebut sebagaimana yang kurang menjadi perhatian oleh Mosca. Dalam hal ini dapat dikatakan lingkup pembahasan elit oleh mosca lebih mendalam pada elit-elit birokrasi pemerintahan sedangkan Parreto lebih membuka dirinya untuk membahas secara mendalam pada golongan elit non-pemerintahan. Pendefinisian elit inilah terkadang menjadi permasalahan bagi para praktisi elit. Banyak diantaranya yang mengakui sulit untuk mendefinisikan konsep elit itu tersendiri. Sebagaimana yang juga Mills katakan bahwa “…The Definitif Problem is at what Level you wish to draw a line-you could by enlargement define the elite out of existence” (1963 : 98) Karena spektrumnya terlalu luas dan dapat menjangkau ke berbagai dimensi fenomena sosial-politik yang ada, yang terkadang menyulitkan untuk menetapkan identifikasi elit sebagai dasar orientasi kajian. Karenanya melalui penjelasan diatas menjadi penting untuk menetapkan
Hal | 14
atau menentukan karakteristik elit yang hendak kita gunakan dalam sebuah kajian / penelitian, melalui penggunaan dasar teoritisasi elit yang terkonsentrasi sebelumnya. Oleh karena itu tidaklah peneliti akan membahas seluruh konsep elit yang peneliti sebutkan sesuai tokoh-tokoh diatas, melainkan hanya salah satu atau dua diantaranya. 1.5.2 Elite Lokal Dalam Kasus Pembangunan Perkotaan. 1.5.2.1 The Governing Elite Sesuai dengan fokus permasalahan yang hendak peneliti kaji dalam kesempatan penelitian ini, yakni mengenai proses terbentuknya dan dinamika antar elit lokal dalam kasus pembangunan apartemen Uttara di padukuhan Karangwuni, Sleman, Yogyakarta. Tentunya penelitian ini membutuhkan pendefinisian lebih detil terhadap karakteristik identifikasi elit-elit lokal yang hendak diteliti ini. Mengenai batasan-batasan nya, kejelasannya, serta peranannya harus secara jelas di uraikan terlebih dahulu sebelum ditelaah lebih lanjut. Karena dengan kejelasan pendefinisian ini dari awal akan menjadi dasar dalam menentukan pendefinisian dan proses metode pada penelitian ini kedepannya. Oleh karena itu berikut akan peneliti tetapkan teoritisasi yang tepat guna menjadi arah teori pada penelitian ini. peneliti akan mengidentifikasi elite lokal melalui 2 pendekatan, yakni (1) elit pemerintah (The Governing Elite) dan (2) elit non-pemerintah (The Non-Governing Elite). Sehingga konsep elit yang dipakai, diambil dari dua kutub yang berbeda. Hal ini peneliti tetapkan dalam upaya memberikan pemahaman terhadap konsep elite yang utuh.
Dalam
mana
mendeskripsikannya peneliti kiranya juga memberikan adanya penggambaran Hal | 15
mengenai tokoh-tokoh yang memberi perhatiannya terhadap teori dari kedua pendekatan diatas. Sebagaimana sebelumnya peneliti telah menghantarkan pada pendefinisian awal mengenai konsep elit menggunakan perspektif elit yang ditawarkan oleh Parreto .Dalam konteks elit pada dinamika permasalahan urban sebagaimana yang menjadi perhatian peneliti, isu mengenai pembangunan apartemen maupun hotel dan
penolakan warga bukanlah suatu fenomena yang baru dalam dinamika
permasalahan kota. Keberperanan pada elit-elit kota dalam perencanaan dan keputusan maupun kebijakan pembangunan turut selalu menjadi sorotan dalam prosesnya. Keberperanan elit-elit tersebut adalah para elit-elit kota yang berkuasa atas kebijakan peruntukan lahan-lahan pembangunan guna dibangun gedung-gedung apartemen dan hotel tersebut yang tak jarang menimbulkan polemik pro-kontra bagi masyarakat kota pada umumnya. Dengan ini penulis hendak memberikan suatu penggambaran mengenai konsep elite dalam penggambaran dinamika permasalahan urban macam topik yang hendak peneliti teliti ini melalui penggambaran isu pembangunan lahan-lahan perkotaan G. William Domhoff. Sesuai dengan konteks topik yang peneliti teliti ini, Domhoff mempunyai perhatian yang mendalam mengenai kekuatan-kekuatan politik yang bermain dalam
isu pembangunan
lahan perkotaan.11 Bersetting di Amerika serikat
perhatiannya tertuju pada beberapa wilayah yakni di Atlanta dan San Fransisco 11. 11
Kajian dalam kajiannya mengenai kekuatan struktur politik pada kasus kekuatan elit pembangunan perkotaan. Lihat Domhoff.G. William.Power at The Local Level : Growth Coalition Theory. www. Uscs.edu. http://www2.ucsc.edu/whorulesamerica/local/growth_coalition_theory.html. Diakses pada tanggal 13 November 2015
Hal | 16
pada perkembangan tahun 1920. pendekatan menggunakan
perspektif
ekonomi-politik,
yang ia paparkan lebih
dimana
ia
menyasar
pada
keterkaitannya hubungan relasi kerjasama yang dibangun oleh para pengusaha dengan para pejabat pemerintah daerah yakni Elite Lokal tersebut. Dalam pemaparannya kekuatan-kekuatan lokal tersebut dijelaskan dengan Growth Coalition Theory. Dimana berkoalisi dengan pemerintah setempat dalam konteks pada pemanfaatan lahan-lahan sebagai lahan usaha merupakan tujuan utama bagi para pengusaha-pengusaha / korporasi untuk melancarkan orientasi profit usahannya. Baginya pengusaha-pengusaha ini telah menyadari betul bahwasannya untuk menjalankan usaha ada baiknya berkerjasama dengan pemerintah . “Wishing to avoid any land uses on adjacent parcels that might decrease the value of their properties, they come to believe that working together is to the benefit of each and everyone of them” (Domhoff, 2005)
Pertumbuhan koalisi inilah antara pemerintah dengan pengusaha yang diyakini oleh Domhoff sebagai cikal bakal lahirnya kekuatan politik melalui elitelit lokal perkotaan. Pendefinisian elit lokal bagi Domhoff lebih merujuk pada posisi dan kedudukan pemerintah daerah yang dimotori oleh para pejabat setempat berupa Mayor / Bupati, Walikota beserta jajaran dan perangkatperangkatnya. Dalam kasusnya lahan-lahan yang dibangun ini adalah lahan-lahan
Hal | 17
yang dikomersilkan oleh pemerintah menjadi bangunan-bangunan properti perumahan, apartemen maupun hotel. Proses pembangunan unit-unit usaha tersebut tidak jarang menimbulkan permasalahan. Sebagaimana yang di identifikasikan oleh Domhoff
pada
umumnya pihak-pihak yang menentang proyek-proyek pembangunan tersebut adalah para komunitas lokal (Local Ressident), dan para pemerhati lingkungan (Environmentalist). Karena permasalahan yang secara umum terjadi prihal kasuskasus pembangunan gedung-gedung tersebut adalah seputar permasalahan hakhak peruntukan lahan dan ancaman dampak-dampak lingkungan bagi masyarakat setempat. Apa yang menjadi pemaparan Domhoff mengenai perhatiannya terhadap kekuatan politik dalam
pembangunan pemanfaatan lahan perkotaan tersebut,
cukup menghantarkan pada suatu penggambaran akan kekuatan politik yang bermain di level lokal tersebut. Relasi hubungan kerjasama pemerintah dengan korporasi atau private ownership pengembang memberikan pemahaman tentang bagaimana kekuatan politik tersebut terbentuk untuk memanfaatkan lahan guna meraih profit mutualisme yang menguntungkan antar kedua pihak tersebut. Hal tersebut sesuai untuk menggambarkan pada kasus yang serupa pada topik yang peneliti angkat ini. Bahwasannya ada orientasi yang medasari bagi pemerintah setempat untuk berkooperasi dengan pihak usaha guna membangun berbagai bentuk usaha unit properti di Yogyakarta, baik berupa hotel, apartemen, maupun perumahan-perumahan.
Hal | 18
“…Elite Theory claims that global and local societies are under the control of big organizations such as the state and/or big enterprises, and thus their leaders are constantly deciding about their future. (Vergara, 2013 :38) Menurut hemat peneliti, ini patut menjadi dasar asumsi bahwa adanya kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh para elit-elit lokal dengan pihak pengusaha / pengembang. Sehingga ada baiknya masyarakat berhak mengerti dan memahami pertimbangan-pertimangan serta alasan orientasi atas pembangunan dari para elite-elitenya. Karena pada fungsinya para elite-elite lokal inilah yang membentuk masa depan kehidupan masyarakat / warganya melalui keputusan sekaligus kebijakannya, sebagaimana juga yang di tekankan oleh Vergara sebelumnya. Namun, dalam kesempatan penelitian ini cakupan elite lokal yang akan menjadi pembahasan peneliti akan lebih menekankan pada lingkup yang lebih lokal, yakni pada lingkup kampung / Padukuhan di tempat wilayah penelitian ini akan berlangsung, yakni di Padukuhan Karangwuni tersebut.seperti halnya Kepala Dukuh, Dusun, RT / RW sebagai elit lokal tersebut. Bahwasannya elit-elit lokal di ranah tersebut bagi peneliti juga sama pentingnya serupa peranannya dengan elitelit yang berada di pemerintah daerah. Karenannya, elit-elit lokal ini lah pada proses pembangunan yang menghubungkan masyarakatnya dengan pemerintah daerah, pengusaha-pengusaha dsb. Sehingga sama pentingnya untuk melihat orientasi terhadap elit-elit lokal ini.
Hal | 19
1.5.2.2 Non-Governing Elite Di satu aspek lainnya, bahwasannya elite tidak serta merta selalu menduduki posisi dalam pemerintahan, melainkan juga terdapat di luar pemerintahan. Pada penjelasan sebelumnya, Parreto membaginya juga dalam elite diluar pemerintahan, yakni yang dapat berupa partai politik, serikat buruh, LSM dsb. Hanya saja sejauh elit-elit tersebut mempunyai kapasitas dalam dirinya / atau kelompok berupa cerminan bentuk yang dapat dipatuhi, diikuti, serta dihargai oleh masyarakatnya . Sehingga masyarakat merasa terpanggil untuk mengikuti arah dari elite-elite nya tersebut. Pengidentifikasian elit diluar posisi-posisi struktural dalam birokrasi juga sama pentingnya dengan elit-elit dalam
pemerintahan guna memahami
pemahaman konsep elite secara utuh. Selain Parreto, banyak juga sekian tokoh maupun praktisi sosial yang menaruh perhatiannya pada elite-elite semacam ini. Jika memakai pemahaman mendasar John Higley (2008) tentang pembahasannya mengenai teori-teori elite dalam karyanya Elite Theory in Political Sociology. Bahwasannya elite itu terbentuk berdasarkan adanya kesamaan keinginan dan kemauan antar individu-individu. Dari adanya kesamaan tujuan akan kemauan dan keinginan (Interest) tersebut individu membentuk kolektivitas nya dengan membentuk kelompok. Kemudian kelompok inilah yang secara ekslusif berperan sebagai elite yang mengendalikan masyarakat melalui keputusan-keputusan kolektif mereka.
Hal | 20
“Elites may be defined as persons who, by virtue of their strategic locations in large or otherwise pivotal organizations and movements, are able to affect political outcomes regularly and substantially.” (Higley, 2008 : 3)
Bagi Higley, elit pula dapat didefinisikan sebagai seseorang yang menduduki posisi strategis dalam organisasi-organisasi penting dan dapat berupa gerakan dalam mempengaruhi regulasi-regulasi politik yang substansial sebagai hasilnya. Ia menyebutkan , elit tidaklah selalu mesti berada pada kedudukan dalam birokrasi pemerintahan, elit dapat berupa politikus, pengusaha-pengusahan penting, masyarakat sipil kelas atas, dan kelas-kelas militer, yang bergerak dalam organisasi-organisasi massa dan dapat mempengaruhi keputusan politik. Jikalau melihat contoh lainnya menurut sejarawan Kartodirdjo dalam Bottomore (2006)12 elit dibagi menjadi 2 jenis, yakni elit tradisional dan elit baru. Elit
tradisional
adalah
orang-orang
yang
cenderung
mempertahankan
kedudukannya untuk tetap berkuasa, dengan mempertahankan nilai-nilai dan peraturan-peraturannya kepada masyarakat. Elit Baru adalah elit yang justru mengupayakan adanya perubahan, guna menciptakan tatanan baru yang diharapkan bagi masyarakatnya. Seperti pada kasus pergolakan mahasiswa menjatuhkan rezim orde baru pada tahun 1998. Mahasiswa di dalam kasus ini berstatus sebagai elit Baru, karena melalui mahasiswa mewakili masyarakat dalam
12. 12
Loc.Cit hal. 4-5
Hal | 21
pergerakan dan aksi berhasil mewujudkan reformasi sebagai tatanan baru masyarakat Indonesia. Dalam konteks tersebut, disini pula letak tanggung jawab sebagai seorang elit diluar tatanan
kepemerintahan, yakni mempunyai tanggung jawab untuk
mewujudkan adanya perubahan tatanan sosial yang baru bagi masyarakatnya. sebagaimana yang di paparkan Yusron (2009 : 38) bahwasannya : “Elit adalah minoritas yang efektif dan bertanggung jawab. Dalam arti efektif setelah melihat pelaksanaan kegiatan terkait kepentingan dan perhatian kepada orang lain tempat golongan elite ini berkiprah. Golongan elite secara sosial mempunyai arti bertanggung jawab untuk merealisasikan tujuan-tujuan sosial yang penting dan menjaga terus berlanjutnya
sosial
order.
Dibandingkan
rakyat
biasa,
Elite
mempunyai tanggung jawab yang lebih besar.”
Dari berbagai pendefinisian elit non-politik yang telah peneliti sebutkan diatas. Dari penggambaran melalui gagasan Pareto, Higley, hingga Kartodirdjo dan Yusron ini memberikan pemahaman akan keberadaan golongan elite yang memiliki kekuatan politik diluar kedudukan birokratis dalam pemerintahan sebagai mana diawal menurut Mosca. Namun, tidak lah seluruh gagasan diatas menekankan pada tipologi kasus yang sama. Seperti halnya Higley, dengan apa yang dimaksud elite bagi dia adalah elite-elite yang berkecimpung di organisasi gerakan-gerakan massa seperti organisasi Serikat Dagang, Partai Politik, Asosiasi voluntir massa dsb.
Hal | 22
Dalam Bottomore Kartodirdjo membawa kasus mahasiswa sebagai elit baru dalam memperjuangkan perubahan tatanan sosial baru bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan Yusron, mengambil kasus pada gerakan elit lokal dalam kasus Pilkades 1999 yang dimotori oleh tokoh kampung (elit lokal) seperti para ulama, tokoh masyarakat, Perangkat-perangkat Desa maupu aktivis Nadhlatul Ulama (NU) dan Muslimat NU di desa silir, Kediri, Jawa Timur13. Namun, tetap menekankan pada arah berfikir yang sama yakni elite non-politik tersebut adalah elite yang mengupayakan perubahan tatanan sosial maupun politik yang baru bagi masyarkat. Melihat pada Penggambaran diatas, apa yang menjadi topik pilihan peneliti hendaknya memberikan dasar dan arahan dalam mengidentifikasi Non Governing Elite yang ada. Tentunya dalam mana kasus yang peneliti kaji ini berada dalam fase dinamika penolakan warga terhadap pembangunan gedung apartemen Uttara di Padukuhan Karangwuni, Sleman, Yogyakarta. Hal ini tentunya terdapat upaya-upaya perlawanan dan penolakan dari warga terhadap pemerintah maupun pihak pengembang. Studi elit ini menjadi penting untuk melihat dan memetakan elite-elite lokal yang tergabung berperan dalam penolakan
memperjuangkan hak dan kewajiban warga sebagai masyarakat
Karangwuni yang utuh. Selaras dengan penjabaran teoritisasi sebelumnya diharapkan peneliti dapat menggunakannya dalam mencermati elit-elit non-politik yang berperan dalam kasus ini.
13. 13
Lihat Yusron. Elite Lokal dan Civil Society:Kediri di Tengah Demokratisasi. LP3S. Jakarta. 2009 Hal. 43
Hal | 23
1.6 Metode Penelitian Untuk memahami kajian studi tentang elit, ada berbagai metode yang dapat digunakan di dalam perspektif ilmu sosial dan ilmu politik. Dalam perkembangannya penggunaan studi Kualitatif dan Kuantitaf sebagai pendekatan penelitian ilmu-ilmu sosial, pada dasarnya dapat dipergunakan untuk mengkaji fenomena ini. Hanya saja berbeda dari cara dan proses penggunaannya yang berbeda antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lainnya, tergantung fokus kajian yang dipilih dan jenis data yang ditentukan. Kualitatif misalnya, ada berbagai pendekatan strategi penelitian yang ditawarkan sebagai opsi. Jika bersandar pada penjabaran Cresswell (2014)14 mengenai pembagian strategi penelitian kualitatif, apakah dengan studi Naratif, Eksplorasi, Grounded Research, Fenomenologi, Etnografi atau Studi Kasus ? seperti
pada metode yang ditawarkan Mills dan Lynd yang melihat elite
berdasarkan status dan kedudukan serta Weber dan Lasswell yang melihat elit berdasarkan reputasi15. Sekali lagi banyak cara dan pilihan pendekatan yang dapat digunakan hanya kembali lagi pada konteks kajian penelitian yang dipilih sesuai dengan penggunaan jenis pendekatan yang mana. Bertumpu pada topik kajian ini, yakni mengkhususkan fokus penelitiannya pada perolahan secara mendalam terhadap bagaimana terbentuknya elit lokal dalam konflik pembangunan apartemen Uttara di padukuhan Karangwuni, Sleman, Yogyakarta. Peneliti menggunakan metode kualitatif sebagai pendekatan 14. 14
15.
Lihat Cresswell, John, W. 2014. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan mizxed. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 15 Lihat jurnal Blumberg, Leonard, U & Schulze, Robert, O. 1957. The Determination of Local Power Elites. American Journal of Sociology. Vol. 63. No. 3 (Nov., 1957), pp. 290-296. Chicago Journals
Hal | 24
yang peneliti pilih. Karenanya peneliti harus memperoleh penggambaran atas makna-makna yang menjadi pandangan dari elit-elit lokal ini, melalui makna ini peneliti tafsirkan, analisis serta mendefinisikan menjadi suatu penggambaran makna mereka yang dapat dipahami mengenai proses terbentuknya dan dinamika antar elit lokal dalam kasus pembangunan tersebut melalui analisis cara berfikir yang induktif. Strategi yang peneliti tetapkan berdasarkan pendekatan kualitatif ini adalah penggunaan studi Naratif. Yakni jika sesuai dengan penjelasan Cresswell (2014) studi narasi menuntut peneliti untuk menyelidiki kehidupan-kehidupan individu dan meminta seseorang atau sekelompok untuk menceritakan kehidupan mereka. Dari cerita tersebut peneliti ceritakan kembali dan menafsirkannya secara gaya naratif kronologis antara pemaknaan mereka dengan makna yang peneliti peroleh nantinya. Hal ini sesuai dengan penelitian ini karena bertumpu pada orientasi elit yang bersangkutan. Sehingga tidak perlu menggunakan studi etnografi karena penelitian ini bukan untuk mengangkat isu kebudayaan maupun studi kuantitatif yang berupaya menggeneralisir fenomena secara skala besar melalui instrument surveinya. Penelitian ini hanyalah berupaya untuk mengintepretasi makna orientasi elit-elit lokal di Padukuhan Karangwuni terhadap pembangunan apartemen Uttara sebagai upaya untuk melihat proses terbentuknya dan dinamika antar elit didalamnya. Sehingga penelitian kualitatif dengan gaya narasi ini bagi peneliti sudah sesuai untuk menjelaskan proses terbentuk dan dinamika yang terjadi dari elit-elit lokal ini.
Hal | 25
Sesuai dengan fokus perhatian dari penelitian ini yakni tentang bagaimana peneliti mengidentifikasi elit-elit lokal yang ada dan menangkap makna dari orientasi elit-elit lokal tersebut, pada prosesnya penelitian ini peneliti lakukan secara terjun langsung dan melakukan pengamatan serta wawancara mendalam kepada informan yang peneliti tetapkan. Dalam penelitian ini peneliti berhasil mewawancarai sejumlah 8 orang dari masing-masing elit yang didefinisikan pada bagian tinjauan pustaka sebelumnya. (2 elit pemerintah dan 6 elit non-pemerintah). Informan-informan ini lah yang menjadi elit lokal tersebut. Untuk elit pemerintah yang berperan sebagai pelayan publik (Public Servant) peneliti tertuju pada elit-elite dusun seperti kepala Dukuh, RT / RW dan elit non-pemerintah peneliti tertuju pada tokoh warga yang berperan penting dalam penolakan terhadap pembangunan apartemen Uttara. 1.6.1 Setting Lokasi Penelitian Penelitian ini bersetting dan berlangsung di wilayah RT 1, RT 2 dan RT 3 / RW 1 di padukuhan Karangwuni, Desa Caturtunggal, Kabupaten Sleman , Provinsi Yogyakarta. Dikarenakan wilayah tersebut merupakan wilayah ring 1 terdampak pembangunan apartemen Uttara, sehingga menjadi penting sekaligus menjadi fokus wilayah penelitian peneliti. Pengumpulan data berlangsung pada bulan Mei-November tahun 2015. Adapula alasan peneliti memilih daerah lokasi ini sebagai wilayah penelitian
peneliti adalah karena jarak dan waktu yang
ditempuh untuk menuju ke lokasi dari tempat aktivitas peneliti sehari-hari relatif cukup terjangkau. Pengalaman peneliti dalam meneliti wilayah Karangwuni sebelumnya mengenai studi sosio-ekonomi masyarakat Padukuhan Karangwuni
Hal | 26
pada tahun 2014 juga menjadi alasan peneliti memilih lokasi ini. sehingga peneliti telah mempunyai gambaran mendasar mengenai setting lokasi penelitian ini. 1.6.2 Teknik Pengumpulan Data Untuk pemilihan teknik pengumpulan data, peneliti memperoleh data melalui penggunaan teknik observasi, wawancara, dokumentasi, Interview Guide, dan Snowball16 sebagai alat instrument peneliti. Observasi ini dilakukan secara langsung dilapangan guna mengetahui, memetakan dan melihat peranan-peranan elit-elit lokal yang berkuasa terhadap pembangunan apartemen Uttara serta Elitelit lokal yang melawan untuk menolak pembangunan apartemen Uttara. Dokumentasi visual juga turut peneliti gunakan sebagai teknik pengumpulan data, guna melihat gejala-gejala pengaruh elit di lapangan yang berupa dalam bentuk fisik, seperti Spanduk-spanduk penolakan dll. Kemudian, peneliti menggunakan teknik Snowball dalam mendapatkan refferensi terhadap informan-Informan elit yang menjadi informan peneliti melalui informan kunci. Dengan wawancara pula data secara langsung peneliti peroleh dari informan-informan elit yang peneliti peroleh tersebut. Lalu, peneliti menggunakan daftar pertanyaan (Interview Guide) dan alat rekaman (Recorder) sebagai Instrumen dalam memandu peneliti agar tetap berada dalam lingkup topik yang peneliti tetapkan dan menjaga data dialog percakapan hasil wawancara mengenai proses terbentuknya dan dinamika antar elit- elit tersebut dalam kasus pembangungan apartemen Uttara.
16. 16
Teknik Snowball pada umumnya digunakan dalam penelitian survei. Namun dalam penelitian ini, peneliti gunakan sebagai teknik pembantu untuk melacak keberadaan informan-informan kunci yang peneliti wawancara.
Hal | 27
1.6.3 Teknik Analisa Data Tidak serta merta sebatas itu, metode ini juga turut menuntun peneliti dalam proses menganalisa data yang diperoleh dalam penulisan di laporan akhir ini. Secara spesifik studi Naratif dalam penelitian kualitatif pada dasarnya menggunakan teknik analisa induktif, yang mana data-data yang diperoleh secara spesifik tersebut akan peneliti jabarkan dalam konteks yang lebih luas. Dalam artian
teknik analisa ini membawa penelitian dari arah pembahasan dan
penafsiran yang khusus menuju ke umum. Studi Naratif juga mengharuskan peneliti menuliskan
laporan dengan gaya narasi kronologis yang mampu
menjelaskan analisa induktif tersebut.
Hal | 28