BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, masih banyak terdapat permasalahan mengenai tata ruang. Dimana perkembangan pembangunan yang begitu pesat khususnya di kota-kota besar seperti di medan. Ini mengakibatkan pemakaian lahan yang begitu besar dan tidak terkendali. Kegiatan pembangunan di kota medan tidak dapat ditahan lagi hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pertumbuhan penduduk. Karena itu sangat dibutuhkan kebijakan dari pemerintah dan prosedur penataan ruang yang ada agar mampu mengimbangi perkembangan pembangunan yang demikian pesatnya. Melalui penataan ruang, pemanfaatan sumber daya alam seperti lahan dan air dilakukan seoptimal mungkin, disamping mencegah terjadinya benturan dari berbagai kepentingan di dalam pemanfaatan ruang, sehingga dapat dikatakan bahwa penataan pertanahan merupakan pendukung pelaksanaan rencana pemanfaatan ruang yang dijabarkan dalam buku rencana tata guna tanah.
1
Dalam Undang-undang RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 3 menyatakan: “Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.” 1
Zaidar, SH, M.Hum, Hukum Tata Ruang Indonesia, Medan, 2003, halaman 3.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan “aman” adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Yang
dimaksud
dengan
“nyaman”
adalah
keadaan
masyarakat
dapat
mengartikulasi nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai. Yang dimaksud dengan “produktif” adalah proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing. Dengan demikian di dalam mewujudkan penataan ruang yang dicita-citakan dalam pasal 3 tersebut maka dibutuhkan perencanaan tata ruang yang benar serta mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat di Indonesia. John Friedmann (1987) melakukan pengelompokkan secara umum terhadap berbagai praktek perencanaan yang kita kenal saat ini yaitu :
Planning Market Societies 1. National Security Planning 2. Economic Planning Investment for economic growth, full employment (anti-cyclical), monetary policy (anti-inflation, progrowth) ,trade policy (tariffs), incomes (redistribution), employment (education, job training), strategicresources (energy), science policy (R&D), sectoral policies (agriculture, transportation, etc). 3. Social Planning “Safety net” for the victims of market rationality (unemployment insurance, workmen’s compensation, retraining), social welfare services and transfer payments, meeting individual and collective needs (health, education, housing, old age, day care). 4. Environmental Planning Residual management and anti-pollution, public land management, water resources, resource conservation, wilderness preservation, protection of rare species, protection of fragile and unique environments, energy (alternative energy).
Universitas Sumatera Utara
5. City Planning Land use (zoning, public facility location), local transportation (haighways, rapid transit, airports, ports), urban redevelopment, urban design, conservation of the built environment, community development (neighborhood planning). 6. Regional Development Planning Natural resource development (irrigation, hydro-energy, integrated river basin development), regional economic development (interregional inequalities, special problem areas, urban-rural imbalance), migration and settlement policy, location of industry (growth centers), regional transportation, comprehensive rural development.
Dari pengelompokkan tersebut, walaupun umum, kita dapat melihat bahwa ada perencanaan yang bersifat aspasial dan ada yang bersifat spasial. Perencanaan yang bersifat aspasial antara lain perencanaan keamanan nasional (National Security Planning), perencanaan ekonomi (Economic Planning), perencanaan sosial (Social Planning) dan perencanaan lingkungan (Environmental Planning). Adapun perencanaan yang bersifat spasial adalah perencanaan kota (City Planning) dan perencanaan wilayah (regional development planning). Dalam konteks Indonesia, perencanaan spasial ini diadopsi ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. 2 Didalam perencanaan tata ruang kota harus dilihat beberapa prasarana yang pola penggunaan tanahnya harus diperlakukan khusus. Contohnya: bandara. Kehadiran sebuah pusat kegiatan seperti bandara memang menjadi faktor penarik bagi kegiatan lain untuk suatu wilayah. Bandara menyediakan akses yang menarik bagi kegiatan lain seperti pemukiman atau usaha karena penyediaan infrastruktur seperti jalan. Selain itu suatu bandara memerlukan unit-unit pendukung kegiatan seperti cargo, perhotelan, dll. Sehingga dengan demikian pola penggunaan tanah 2
Khairul Rizal, Keruangan Di Indonesia,
Mensinkronkan Perencanaan Pembangunan Dan Perencanaan
Universitas Sumatera Utara
disekitar bandara harus diatur dengan baik. Apabila tidak dilakukan dengan demikian akan mengakibatkan permasalahan yang berkepanjangan dalam hal keselamatan penerbangan. 3 Dalam UU No. 15 tahun 1992 tentang penerbangan dalam Pasal 25 ayat 2 mengenai Bandar Udara diatur mengenai penentuan lokasi, pembuatan rancang bangun, perencanaan, dan pembangunan bandar udara termasuk kawasan di sekelilingnya yang mana diwajibkan untuk memperhatikan ketentuan keamanan penerbangan, keselamatan penerbangan, dan kelestarian lingkungan kawasan bandar udara. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa diperlukan pengaturan dan perencanaan khusus untuk kawasan bandar udara demi terciptanya keamanan dan keselamatan penerbangan. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2001 tentang keamanan dan keselamatan penerbangan pada pasal 34 ayat 2 mengenai sertifikasi operasi bandar udara demikian isinya: “Persyaratan untuk memperoleh sertifikasi operasi bandar udara, adalah sekurang-kurangnya : a. tersedianya fasilitas dan/atau peralatan penerbangan yang memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan yang disesuaikan dengan kelasnya; b. memiliki prosedur pelayanan jasa bandar udara; c. memiliki buku petunjuk pengoperasian, penanggulangan keadaan gawat darurat, perawatan, program pengamanan bandar udara dan higiene dan sanitasi; d. tersedia personil yang memiliki kualifikasi untuk pengoperasian, perawatan dan pelayanan jasa bandar udara; e. memiliki daerah lingkungan kerja bandar udara, peta kontur lingkungan bandar udara, peta situasi pembagian sisi darat dan sisi udara; f. memiliki kawasan keselamatan operasi penerbangan di sekitar bandar udara yang meliputi : 1) kawasan pendekatan dan lepas landas; 2) kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan; 3) kawasan di bawah permukaan horizontal dalam; 4) kawasan di bawah permukaan horizontal luar; 3
Pentingnya Penataan Penggunaan Tanah/Landuse Wilayah Sekitar Bandara
Universitas Sumatera Utara
5) kawasan di bawah permukaan kerucut; 6) kawasan di bawah permukaan transisi; 7) kawasan di sekitar penempatan alat bantu navigasi penerbangan; g. memiliki peta yang menunjukkan lokasi/koordinat penghalang dan ketinggiannya yang dapat membahayakan keselamtan penerbangan; h. memiliki fasilitas pertolongan kecelakaan penerbangan dan pemadaman kebakaran sesuai dengan kategorinya; i. memiliki berita acara evaluasi/uji coba yang menyatakan baik untuk dioperasikan; dan j. struktur organisasi penyelenggaraan bandara udara.” Dari Pasal tersebut di atas maka untuk menjaga keamanan dan keselamatan penerbangan dibutuhkan penentuan kawasan keselamatan operasi penerbangan. Permasalahan muncul ketika hadirnya bangunan-bangunan tinggi yang mengancam keselamatan penerbangan. Dimana ketinggian bangunan-bangunan tersebut melebihi batas ketentuan maksimum yang sudah ditentukan dalam Kepmenhub No. 18 Tahun 1991 mengenai kawasan keselamatan operasional penerbangan. Dalam kepmenhub itu ditegaskan bahwa keselamatan penerbangan di Bandara Polonia Medan masuk klasifikasi C, di mana ketinggian setiap bangunan yang boleh didirikan dari jarak runway atau landasan penerbangan dalam radius 4 kilometer adalah 51 meter. Ketiga gedung tersebut adalah Hotel JW Marriot di Jalan Putri Hijau, Royal Crown Condominium di Jalan Mangkubumi, serta Cambridge Condominium di Jalan Zainul Arifin. Bandara polonia didarati pesawat-pesawat komersial yang umumnya berukuran besar. Oleh karena itu, wilayah udara yang ada tidak boleh terlalu sempit. Sebab jika terlalu sempit, maka akan mengganggu manuver pesawat. Perlu kita lihat hal yang lain dimana apabila pihak investor memegang surat izin mendirikan bangunan maka
Universitas Sumatera Utara
berarti upaya koordinasi pemerintah kota dengan pihak bandara belum dilaksanakan dengan baik. Selain itu tampaknya, KKOP itu kurang begitu dipahami Pemerintah Kota Medan. Mengingat sejauh ini, terdapat papan reklame dan tiang-tiang listrik yang masuk dalam kawasan terlarang bandara. Di antaranya ada papan reklame yang berjarak sekitar 366 meter dari ambang landasan 05, dan dengan tinggi sekitar 11,50 meter, dihitung dari elevasi ambang landasan. Sedangkan ketinggian tiang listrik sendiri mencapai 9 meter. Masalah ketinggian bangunan di dalam kawasan keselamatan operasional penerbangan sampai sekarang ini belum terselesaikan. Ada bangunan tinggi dan beberapa papan reklame dan tiang-tiang listrik yang masuk dalam kawasan terlarang bandara yang melanggar ketentuan batas ketinggian maksimum sebagaimana diatur di dalam KKOP. Dibutuhkan upaya untuk mengkaji kembali pola penggunaan tanah yang terdapat disekitar bandara. Pengkajian kembali fungsi kawasan dalam kaitan dengan keselamatan penerbangan dan masyarakat di sekitar bandara perlu dilakukan dalam mengantisipasi kejadian seperti jatuhnya pesawat mandala di medan. Dimana terdapat lebih dari 150 korban bencana ini dan 38 orang diantaranya merupakan warga pemukiman padang bulan yang lokasinya sangat dekat dengan bandara polonia, selain itu terdapat kerugian lain seperti 15 unit rumah dan toko serta 25 kenderaan rusak. Suatu upaya untuk mengkaji kembali jenis serta pola penggunaan tanah yang terdapat di sekitar bandara tampaknya harus dilakukan. Pengkajian kembali fungsi kawasan dalam kaitan dengan keselamatan pesawat dan masyarakat di sekitar bandara perlu dilakukan dalam mengantisipasi kejadian seperti jatuhnya pesawat mandala di medan. Pasal 20 PP
Universitas Sumatera Utara
No. 16 tahun 2004 menyebutkan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah, terdapat beberapa klausal dalam UU mengenai penataan ruang yang bisa dijadikan acuan dalam usaha konsolidasi penggunaan tanah di sekitar bandara. Usaha ini memerlukan dukungan kuat dari pemerintah pusat, pemerintah daerah atau terutama lembaga pemerintah yang terkait dengan penggunaan tanah seperti BPN atau Bappeda. 4 Usaha konsolidasi penggunaan tanah mencakup : •
Kegiatan pendataan penggunaan tanah yang ada di sekitar bandara.
•
Kegiatan penataan penggunaan tanah.
•
Perencanaan penggunaan tanah di masa depan.
Usaha konsolidasi tentunya bukan usaha yang mudah dilakukan, diperlukan kerjasama antar lembaga pemerintah sendiri, masyarakat dan dunia usaha terkait. Selain itu pada tahap penataan penggunaan tanah, jika memang diperlukan usaha relokasi, maka diperlukan biaya serta dukungan kebijakan yang kuat.5
B. Perumusan Masalah Untuk memberikan arahan pembahasan yang jelas dalam penulisan ini maka penulis mengemukakan beberapa hal yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalan skripsi ini. Adapun yang menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
4
Pentingnya Penataan Penggunaan Tanah/Landuse Wilayah Sekitar Bandara, Kompas, Kamis, 15 September 2005. 5
Ibid
Universitas Sumatera Utara
1. Ketentuan peraturan perundang-undangan apa saja yang mengatur tentang keselamatan penerbangan? 2. Bagaimana penataan ruang di kawasan bandara demi tercapainya keselamatan penerbangan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keselamatan penerbangan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui penataan ruang di kawasan bandara demi terciptanya keselamatan penerbangan. Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1. Manfaat secara teoritis. Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang penerapan hukum mengenai keselamatan penerbangan dimana ditinjau dari segi hukum agraria. 2. Manfaat secara praktis 2.1. Agar pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai lembaga dengan Administrator Bandara dapat saling bekerjasama dalam mengawasi penggunaan lahan di sekitar bandara sehingga dapat mewujudkan keselamatan di dalam penerbangan. 2.2. Agar pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai lembaga yang mempunyai wewenang dalam pelaksanaan kegiatan penerbangan
Universitas Sumatera Utara
melakukan kegiatan tersebut sesuai dengan peraturan yang ada dengan memperhatikan secara khusus mengenai keselamatan penerbangan. D. Keaslian Penulisan “Sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan dtinjau dari segi hukum agraria (studi di medan)”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ada penulis lain yang mengemukakannya,
dan penulis
telah
mengkonfirmasikannya kepada
Sekretaris Departemen Hukum Agraria. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin-doktrin yang ada melalui referensi buku-buku, pendapat hukum, putusan pengadilan, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak, dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
D. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Sinkronisasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkron berarti pada waktu yang sama, serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sinkronisasi yaitu perihal
Universitas Sumatera Utara
menyinkronkan, penyerentakan. Dan sama juda dengan kata harmonisasi yaitu upaya mencari keselarasan. 6 Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substasi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1. Sinkronisasi Vertikal Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) menetapkan bahwa jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 6
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Jakarta, 2005.
Universitas Sumatera Utara
c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah; Di samping harus memperhatikan hirarkhi peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam sinkronisasi vertikal, harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 2. Sinkronisasi Horisontal Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan
waktu
ditetapkannya
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan.
Harmonisasi hukum ditegaskan pula dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), subprogram pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa “sasaran program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”. Sinkronisasi vertikal dan horisontal menelaah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang berlaku bagi suatu bidang yang sama itu sinkron. 7 Di Indonesia dalam konteks harmonisasi hukum, dapat diketahui dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998, Pasal 2 yang berbunyi sebagai 7
DR. Kusnu Goesniadhie S., SH., M.Hum, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, Halaman 23-24, JP Books, PT. Temprina Media Grafika Surabaya, cetakan pertama, 2006.
Universitas Sumatera Utara
berikut : “Dalam rangka penharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan ideologi negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, UUD 1945, GBHN, undang-undang yang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang
terkait
dengan bidang yang akan diatur dalam rancangan undang-undang tersebut. Sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 18 ayat (2) menyebutkan “Pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan”. Prinsip keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara, merupakan salah satu asas materi muatan setiap peraturan perundang-undangan. 8 2. Pengertian Keselamatan Penerbangan Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, Pasal 1 angka 3 maka pengertian Keselamatan penerbangan adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan persyaratan kelaikan teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya.
8
Ibid, Halaman 69-70.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481 selanjutnya disingkat UURI No. 15/92, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan atau tinggal landas pesawat udara, naik turunnya penumpang dan atau bongkar muat kargo dan atau pos serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi. 9 Berdasarkan pasal tersebut di atas, untuk menjamin keselamatan penerbangan di bandar udara harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas navigasi penerbangan seperti Non-Directional Beacon (NBD), VHF Very High Frequency Omni Rang/Distance Measuring Equipment (VOR/DME), Instrument Landing System (ILS), Primary Surveillance Radar/Secondary Suveillance Radar (PSSR/SSR), Communication (Comm), Visual Approach Slope Indicator/Runway End Indicator Light/Approach Light System (VASI/REIL/ALS) bahkan pada bandar udara yang besar disediakan Microwave Landing System (MLS) yang lebih canggih dibandingkan ILS. Semua peralatan tersebut di atas harus andal sesuai dengan persyaratan dalam buku pedoman yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya, oleh karena itu setiap peralatan harus dikalibrasi agar dapat memenuhi persyaratan Pasal 20 UURI No. 15/92 yang mengharuskan keandalan peralatan tersebut. Menurut data yang dapat diketemukan, tingkat kecelakaan pesawat udara berada di bandar udara dan sekitarnya, terutama pada saat tinggal landas dan atau pada saat mendarat (approach). Menurut data tingkat kecelakaan pada 9
K. Martono, SH, LLM, Hukum Udara, Amgkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Halaman 119, CV. Mandar Maju, Cetakan Pertama, 1995, Bandung.
Universitas Sumatera Utara
saat tinggal landas mencapai 13-19% dari total kecelakaan pesawat udara sedangkan pada saat pesawat mendarat sejak approach mencapai 81-87% dari total kecelakaan pesawat udara. Memang pada saat terbang jelajah (cruising level) dapat juga terjadi kecelakaan pesawat udara, tetapi jumlahnya kecil sekali sehingga prosentasenya dapat diabaikan. 10 Berdasarkan data tersebut di atas, di bandar udara maupun sekitarnya harus bebas dari segala bentuk penghalang untuk menjamin keselamatan penerbangan, karena itu sesuai dengan Pasal 28 UURI No. 15/92, siapapun juga dilarang berada di bandar udara, mendirikan bangunan, memiliki bangunan atau melakukan kegiatan-kegiatan lain dalam maupun di sekitar bandar udara yang membahayakan keselamatan penerbangan. Untuk itu telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 1986 selanjutnya disebut PP No.50/86. Di dalam PP No.50/86 tersebut di atas telah di atur penyediaan tanah dan ruang udara untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan serta pemanfaatan fasilitas navigasi
penerbangan,
penetapan
batas-batas
keselamatan
penerbangan,
pengelolaan tanah di dalam bandar udara, pembagian beberapa kawasan yang membatasi penggunaan lahan di bawahnya. 11 Kawasan-kawasan di bandar udara dan sekitarnya ditetapkan oleh pemerintah. Kawasan-kawasan tersebut antara lain Kawasan Pendekatan dan Tinggal Lamdas, Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan Di atas Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Kerucut dan Permukaan Transisi dan lain-lain. Tanah-tanah di bawah kawasan tersebut pada prinsipnya diperbolehkan untuk dipergunakan tetapi harus memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan 10 11
Ibid, Halaman 120. Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Persyaratan tersebut berbeda-beda antar bandar udara satu dengan bandar udara yang lain. Pada saat ini telah terdapat 10 keputusan Menteri Perhubungan yang mengatur batas-batas keselamatan operasi penerbangan yaitu bandar udara Bali Ngurah Rai International Airport di Bali, Juanda di Surabaya, Polonia di Medan, Sepinggan di Balikpapan, Hasanuddin di Ujung Pandang, SM Badaruddin II di Palembang, Tabing di Padang, Achmad Yani di Semarang, Adi Sumarno di Solo dan Frans Kaiseppo di Biak. Di dalam keputusan Menteri Perhubungan KM 32 Tahun 1994 tentang Batas-batas keselamatan Operasi Penerbangan di sekitar Bandara Udara Frans Kaiseppo di Biak, antara lain diatur batas-batas kawasan penerbangan di sekitar bandar udara Frans Kaiseppo yang terdiri dari Kawasan Pendekatan dan Lepas Landas, Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan Di bawah Permukaan Transisi, Kawasan Di bawah Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Di bawah Permukaan Kerucut, Kawasan di sekitar Penempatan Alat Navigasi Penerbangan yang ditetapkan berdasarkan persyaratan kategori I Nomor Kode 4 Annex 14 konvensi Chicago 1944 yang telah disahkan sebagai hukum nasional. 12 Semua
kawasan
Pendekatan
dan
Lepas
Landas,
Kawasan
Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan di bawah Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Di Bawah Permukaan Kerucut digambarkan dalam bentuk garisgaris yang menghubungkan titik-titik tertentu sehingga mudah ditemukan lokasinya. Di dalam keputusn tersebut di atas di samping mengatur berbagai kawasan juga di atur peralatan navigasi penerbangan yang dipergunakan serta
12
Ibid, halaman 121.
Universitas Sumatera Utara
penempatannya untuk bandar udara Frans Kaiseppo di Biak. Dikatakan alat navigasi penerbangan yang dipergunakan antara lain Non-Directional Beacon (NBD), Very High Frequency Omni Range/Distance Measuring Equipment (DME), Instrument Landing System (ILS) yang terdiri dari Localizer, Glide Path, Middle Marker dan Outer Marker, Radar dan Approach Lighting System (ALS). Penempatan alat navigasi penerbangan tersebut juga digambarkan dalam lampiran keputusan tersebut dalam bentuk garis-garis yang menghubungkan titik-titik tertentu. Batas ketinggian pada masing-masing kawasan tersebut di atas juga ditetapkan. Menurut Pasal 18 tidak diperkenankan untuk mendirikan, mengubah atau melestarikan bangunan serta tidak diperkenankan menanam atau memelihara benda tumbuh di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan yang terdapat dalam Kawasan Pendekatan dan Lepas Landas, Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan Di Bawah Transisi, Kawasan Di bawah Permukaan Horizontal Dalam, Kawasan Di bawah Permukaan Kerucut dan Kawasan Penempatan Alat Navigasi Penerbangan. Setiap penggunaan air, tanah maupun udara di kawasan tersebut di atas tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap isyarat-isyarat navigasi penerbangan atau hubungan komunikasi antara petugas bandar udara dengan pesawat udara, menyulitkan penerbang yang membedakan antara lampu-lampu bandar udara dengan lampu lainnya; menyebabkan silau pada mata penerbang yang akan mempergunakan bandar udara; mengundang datangnya burung atau serangga atau dengan cara lain yang dapat membahayakan atau mengganggu pendaratan pesawat udara yang akan mempergunakan bandar udara. 13
13
Ibid, halaman 122.
Universitas Sumatera Utara
Pengecualian larangan tersebut di atas hanya ada ijin Menteri Perhubungan setelah mendengarkan pertimbangan Direktur Jenderal Perhubungan Udara melalui kajian khusus aeronautika sesuai dengan ketentuan teknis dan operasi keselamatan penerbangan bahwa bangunan atau ketinggian tersebut memang mutlak diperlukan adanya, tetapi harus dipasang lampu atau tanda-tanda lainnya atau beban biaya pada pemiliknya. Bangunan atau suatu benda yang ada secara alami berada di kawasan operasi keselamatan penerbangan dan ketinggiannya masih dalam batas ketinggian yang diperkenankan, tetapi diduga dapat membahayakan keselamatan operasi penerbangan, harus diberi tanda atau dipasangi lampu terhadap bangunan atau benda tersebut atas beban biaya pemiliknya. Pemberian tanda maupun pemberian lampu tersebut di atas atas dasar pedoman yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pengendalian batas-batas operasi keselamatan penerbangan baik di dalam lingkungan kerja bandar udara maupun di lingkungan kepentingan bandar udara dilakukan oleh Direktorat Jendral Perhubungan Udara, demikian pula pembangunan dan atau menanam pohon yang terletak di luar lingkungan kerja bandar udara tetap memerlukan rekomendasi dari Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Pelanggaran terhadap ketentuan batas-batas operasi keselamatan penerbangan diancam hukuman dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah) disamping ancaman hukuman lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
14
14
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya apapun yang berada di dalam bandar udara merupakan penghalang baik yang secara pisik dapat dilihat oleh manusia maupun tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Benda-benda bersifat sementara seperti gundukan tanah, tumpukan barang-barang bekas, bangunan, gedung yang menonjol di atas permukaan yang ditetapkan serta perbaikan landasan merupakan penghalang. Demikian pula penggunaan frekuensi radio di bandar udara juga merupakan penghalang. Instrument Landing System (ILS) sebagaimana disebutkan di atas sebenarnya juga merupakan penghalang (obstacle) karena dipasang diujung landasan, tetapi hal itu diperbolehkan apabila telah memenuhi persyaratan. Bahanbahan yang dipergunakan untuk membuat ILS sedemikian rupa sehingga apabila ILS tersentuh pesawat udara tidak akan membahayakan pesawat udara. Demikian pula gedung terminal, DME, menara pengawas (tower) dan lampu-lampu landasan lainnya semuanya merupakam penghalang. 15
3. Pengertian Hukum Agraria Land berpendapat bahwa hukum itu adalah seperangkat peraturanperaturan yang harus ditaati manusia-manusia dalam suatu masyarakat. Utrecht menyatakan bahwa hukum ialah himpunan petunjuk-petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, pelanggaran atas petunjuk-petujuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan-tindakan dari pihak pemerintah. Pengertian agraria dan hukum agraria dalam kamus. Bahasa Latin : Ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius yang berarti perladangan,
15
Ibid, halaman 123.
Universitas Sumatera Utara
persawahan pertanian. Bahasa Inggris : agrariam yang selalu diartikan sebagai tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Hukum agraria (Belanda = agrarisch recht, Inggris = agrarian law) adalah ketentuan-ketentuan keseluruhan dari Hukum Perdata, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi (Hukum Tata Usaha Negara) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang (termasuk badan hukum) dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenangnya. 16 Landasan hukum pembentukan Hukum Agraria Nasional terdapat pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 1 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Dimana didalam penjelasan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yakni “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.17 Pengertian agraria dalam UUPA sangat mendasar dan semestinya dijadikan titik tolak bagi penetapan peraturan perundang-undangan yang terkait dengannya. Dalam Penjelasan Umum UUPA point I menyatakan bahwa Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud di atas (salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur) harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan
16
Tampil Anshari Siregar, Undang-undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 2004. hal. 1-2. 17 Ibid, halaman 3.
Universitas Sumatera Utara
zaman dalam segala soal agraria. Kemudian rangkaian kata “bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” terdapat pula pada pasal 1 ayat 2 UUPA yang berbunyi : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumu, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Dan dalam pasal 2 ayat 1 UUPA yang berbunyi : “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia”. Pengertian agraria dalam arti sempit adalah tanah sedangkan dalam arti luas meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 18 Untuk dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia atas agraria yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dibuat perencanaannya, baik secara umum maupun khusus terutama tentang peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. Pasal 14 UUPA menyatakan : (1)
18
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3 (hak menguasai dari negara sebagai suatu wewenang yang penggunaannya untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.), pasal 9 ayat 2 (azas persamaan antara laki-laki dan wanita.) serta pasal 10 ayat 1 dan 2 (larangan absentee.) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia (masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.) membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya :
Ibid, halaman 4 -5.
Universitas Sumatera Utara
(2)
a. untuk keperluan negara, b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan, d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu, e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmograsi dan pertambangan. Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesarbesarnya bagi negara dan rakyat. Perencanaan tata ruang wilayah merupakan kegiatan menentukan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang agar memenuhi berbagai kebutuhan manusia dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Dengan demikian perencanaan ini sangatlah penting. Untuk terwujudnya suatu pembangunan yang baik dan berhasil haruslah mempunyai perencanaan yang matang dan baik serta dapat dilaksanakan. Perencanaan merupakan suatu alat untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya yang tersedia dalam satu wilayah atau daerah dalam rangka mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya dalam kurun waktu tertentu. 19 Pasal 7 Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan : (1)
19
Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Zaidar, Op.cit, halaman 26.
Universitas Sumatera Utara
(2)
(3)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Berdasarkan Pasal 2 UUPR (UU No. 26 Tahun 2007) ditegaskan sebagai berikut: “dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas: a. keterpaduan; b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c. keberlanjutan; d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; e. keterbukaan; f. kebersamaan dan kemitraan; g. perlindungan kepentingan umum; h. kepastian hukum dan keadilan; dan i. akuntabilitas.” Dengan penjelasan sebagai berikut.20 Huruf a Yang dimaksud dengan “keterpaduan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 20
Hasni, SH., MH., Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam konteks UUPA-UUPR-UUPLH, PT. Rajagrafindo Persada, 2008, Jakarta, hal. 132-133.
Universitas Sumatera Utara
Huruf b Yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan
manusia
dengan
lingkungannnya,
keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan pedesaan. Huruf c Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung
dan
daya
tampung
lingkungan
dengan
memerhatikan
kepentingan generasi mendatang. 21 Huruf d Yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan keberhasilan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas. Huruf e Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang. Huruf f
21
Ibid, halaman 133
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Huruf g Yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.22 Huruf h Yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum. Huruf i Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa penyelenggaraan penataan
ruang
dapat
dipertanggungjawabkan,
baik
prosesnya,
pembiayaannya, maupun hasilnya. Adapun yang menjadi tujuan penataan ruang ditegaskan dalam Pasal 3 UUPR bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan :
22
Ibid, halaman 134.
Universitas Sumatera Utara
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memerhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Pengertian “aman” yang dimaksud di sini adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Kemudian yang dimaksud dengan “nyaman” adalah keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai. 23 Sementara itu, yang dimaksud dengan “produktif” adalah proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing.
“Berkelanjutan”
adalah
kondisi
kualitas
lingkungan
fisik
dapat
dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam terbarukan. Perencanaan tata ruang menghasilkan apa saja dan bagaimana hierarki rencana tata ruang ditegaskan oleh Pasal 14 UUPR sebagai berikut : (1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan: a. rencana umum tata ruang; dan b. rencana rinci tata ruang.
23
Ibid, halaman 135.
Universitas Sumatera Utara
(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara berhierarki terdiri atas: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; b. Rencana Tata Ruang Provinsi; dan c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. (3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional; b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan c. rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. (4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang. (5) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b disusun apabila: a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau b. rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan. (6) Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.
Universitas Sumatera Utara
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana tata ruang diatur, dengan peraturan pemerintah.
F. Metode Penelitian Sudah merupakan ketentuandalam hal penyusunan suatu penulisan karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengerjaannya. Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai suatu tujuan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan dan penataan ruang. Dalam tulisan ini, penelitian terhadap perundang-undangan dilakukan dengan menganalisis peraturan hukum terhadap Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 1991 tentang Batas-Batas Keselamatan Operasi Penerbangan Di Sekitar Bandar Udara Polonia – Medan dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lazimnya dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer, sedangkan data yang diperoleh dari bahan pustaka dinamakan data sekunder. 24 Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder. Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan makalah, artikel dan
24
Soerjonno Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, halaman 12
Universitas Sumatera Utara
juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teroriteori atas asas atau doktrin yang berkenaan dengan penataan ruang. Yang kesemuanya ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang dihadapi. Terhadap data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan dan Biklena analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, menganalisa, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dam menemukan pola, menentukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada oranglain. 25
G. Sistematika Penulisan Gambaran isi dari tulisan ini secara sistematis dalam bentuk tahapantahapan atau bab-bab yang masalahnya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan lainnya mempunyai keterkaitan (komprehensif). Berdasarkan sistematika yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yaitu : Pada bab I yang merupakan pendahuluan skripsi diuraikan tentang Latar Belakang pemilihan judul penulisan skripsi ini; Perumusan Masalah yang akan diteliti; Tujuan dan Manfaat Penulisan baik secara praktis maupun teoritis; Keaslian Penulisan; Tinjauan Kepustakaan yang meliputi : Pengertian Sinkronisasi
25
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, halaman 248.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Perundang-undangan, Pengertian Keselamatan Penerbangan, Pengertian Hukum Agraria; Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Pada bab II menginventaris dan menganalisis beberapa Peraturan Perundangundangan yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan. Pada bab III, dijelaskan mengenai pemanfaatan dan pengelolaan ruang di sekitar kawasan bandara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada bab IV, Diuraikan mengenai Kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan dan Saran yang dapat diberikan oleh penulis.
Universitas Sumatera Utara