BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan desa menjadi salah satu isu yang hangat sejak beberapa tahun terakhir ini. Mosaik ketertinggalan, keterpinggiran dan keterbelakangan menjadi gambaran buram perihal perdesaan sehingga diperlukan langkah yang signifikan dalam pembangunan. Secara spasial, pembangunan menempati wilayah perkotaan dan perdesaan, pembangunan desa selama ini cenderung menempatkan desa sebagai objek pembangunan maka timbullah aktivitas untuk melakukan akselerasi pembangunan desa diiringi dengan upaya menguatkan posisi desa. Untaian-untaian konsepsi mulai banyak diimplementasi, pembangunan desa dengan paradigma desa membangun
menjadi
langkah
awal
dalam
mengubah
pandangan
lama
pembangunan desa yang cenderung sentralistis dan bersifat top-down. Berawal dari kesan tentang desa yang tertinggal, terpinggirkan dan terbelakang sebagai akibat dari resultan berbagai persoalan diantaranya ketidakmampuan akses informasi dan rendahnya human capital, maka memantik aktivitas desa membangun. Paradigma “desa membangun”, bila dimaknai dari sisi arti pembangunan desa memiliki konteks berbeda dengan membangun desa. Manifestasi dari konsep desa membangun turut memberikan stimulus dalam spirit pembangunan desa. Pendekatan yang dilakukan melalui pendekatan bottom-up dimana selalu ada keunikan kasus dari masyarakat yang melaksanakannya sehingga menarik dan layak diteliti. Beragam praktek-praktek desa membangun yang dilakukan menjadi sesuatu hal yang unik dan menarik untuk dikaji.
1
2
Pembangunan desa akan semakin menantang di masa depan dengan kondisi perekonomian daerah yang semakin terbuka dan kehidupan yang berpolitik yang lebih demokratis. Pembangunan desa memegang peranan yang penting karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dan pada hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional. Dalam struktur pemerintahan, desa menempati posisi terbawah, akan tetapi justru terdepan dan langsung berada ditengah masyarakat. Karena dapat dipastikan apapun bentuk setiap program pembangunan dari pemerintah akan selalu bermuara ke desa. Akan tetapi desa sampai kini, masih belum beranjak dari profil lama, yakni terbelakang dan miskin (Malik, 2015). Pembangunan desa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan wilayah terutama perdesaan, dengan hasil pembangunan yang signifikan akan mereduksi timbulnya desa-desa yang tertinggal dan terpinggirkan. Data statistik menunjukkan dari jumlah 29 juta penduduk miskin Indonesia pada tahun 2015, sebanyak 18 juta diantaranya adalah penduduk miskin yang tinggal di perdesaan. Penurunan laju penduduk miskin di perdesaan lebih lambat daripada di perkotaan, dimana persentase penduduk miskin di perkotaan di perkotaan hanya ada 9,23 persen, sedangkan di perdesaan ada sebesar 15,72 persen penduduk miskin. Dengan potret tingginya kemiskinan tersebut, maka sudah saatnya bandul pembangunan ke depan di arahkan pada wilayah pinggiran. Pentingnya membangun desa ini dilandasi dengan alasan desa merupakan modal dasar pembangunan serta solusi bagi perubahan sosial dan ekonomi masyarakat, juga sebagai basis perubahan pembangunan nasional untuk mempercepat
3
pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah (Malik, 2015). Pembangunan
desa
atau
perdesaan
merupakan
bagian
integral
dari
pembangunan nasional mencakup pembangunan di segala bidang baik fisik material maupun mental spiritual dalam satu kesatuan integritas usaha yang menyeluruh, terpadu dan terkoordinasikan untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, pembangunan perdesaan pedesaan yang telah banyak dilakukan sejak dari dahulu hingga sekarang, belum memberikan hasil yang memuaskan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan seharusnya dilihat bukan hanya sebagai obyek tetapi juga sebagai subyek pembangunan (Muta’ali, 2013). Penerapan konsep pembangunan yang bersifat top-down secara empirik telah memperlihatkan terjadinya kecenderungan secara tidak langsung yaitu “pemarginalisasian masyarakat lapisan bawah (grass root)”. Masyarakat lapisan bawah (umumnya masyarakat perdesaan) tidak lebih dari sekedar sebagai obyek, sebagai penonton dan suplemen pembangunan. Konsep pembangunan ini tidak inspiratif dan dianggap tidak bijaksana terhadap permasalahan yang dihadapi (Adisasmita, 2013). Pembangunan dalam implementasinya baik skala nasional, regional dan lokal maupun pembangunan sektoral sebenarnya banyak mengambil lokus di desa. Hadirnya regulasi yang baru mengenai desa, memantik tumbuhnya perhatian lokalitas desa dan membuka peluang untuk tumbuh dan berkembang serta menguatkan perihal eksistensi desa, bukan sekedar menjadikan desa sebagai prioritas dalam pelbagai peningkatan baik sumber daya manusia, kesejahteraan
4
masyarakat, sarana dan prasarana maupun perputaran roda perekonomian desa namun juga melekatkan desa dengan kemandirian. Pembangunan desa menjadi alternatif dari pembangunan yang urban bias dan sektoral, ketika desa mau dan mampu menjadi basis kehidupan dan penghidupan dengan beragam kebutuhan baik primer dan sekunder termasuk aksesibilitas teknologi informasi dan komunikasi (TIK) maka itu dapat menjadi suatu strategi dalam meminimalisasi dampak urbanisasi dan mereduksi kesenjangan yang terjadi selama ini. Sementara para ahli lebih sibuk memperdebatkan tentang teori “desa pintar”, beberapa desa Indonesia telah mengadopsi dan menjalankan konsep cerdas ala mereka sendiri. Konsep “desa pintar” mereka didorong oleh kebutuhan yang unik serta keinginan yang kuat untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan efektif. Desa-desa ini mampu membuat kemajuan dalam solusi TIK dengan dukungan relawan dari Gerakan Desa Membangun dan Relawan TIK Indonesia. Namun masih banyak desa yang menghadapi tantangan untuk membuat kemajuan dan menjadi mandiri untuk menerapkan solusi TIK tersebut. Ini karena
mereka
belum
tersentuh
infrastruktur
telekomunikasi
(http://asadessa.ictwatch.id diakses 18 November 2015). Desa sendiri merupakan sumber data utama pemerintah. Selama ini, kemampuan pemerintah desa dalam mengelola data dan informasi masih mengandalkan cara-cara yang manual dan tradisional. Proses pengelolaan data berlangsung lama, baik dalam pengumpulan maupun temu kembali data. Selain itu, banyak perangkat desa yang belum dibekali pengkajian dan menganalisis data untuk menentukan arah pembangunan. Akibatnya, banyak data yang kurang
5
dimanfaatkan
untuk
mendukung
penyelenggaraan
tata
pemerintahan
(http://desamembangun.id diakses 10 Desember 2015) Gerakan Desa Membangun (GDM) merupakan inisiatif kolektif desa-desa untuk mengelola sumber daya desa dan tata pemerintahan yang baik. Gerakan ini lahir sebagai kritik atas praktik pembangunan perdesaan yang cenderung dari atas ke bawah (top down) dibanding dari bawah ke atas (bottom up). Akibatnya, desa sekadar menjadi objek pembangunan, bukan sebagai subjek pembangunan. Desa tidak kurang diberi kewenangan dalam mengelola sumber daya yang ada di wilayahnya. Gerakan Desa Membangun tercetus pada 24 Desember 2011 di Desa Melung, Kedungbanteng, Banyumas. Saat itu, Pemerintah Desa Melung dan Gedhe Foundation menyelenggarakan Lokakarya Desa Membangun (LDM). Lokakarya itu diikuti oleh Desa Melung, Desa Karangnangka, Desa Kutaliman, Dawuhan Wetan (Kedungbanteng, Banyumas) dan Desa Mandalamekar (Jatiwaras, Tasikmalaya). LDM bertujuan untuk berbagi pengalaman dari desa-desa dalam tata kelola sumber daya desa. Semangat itu menginspirasi desa-desa di Banyumas untuk melakukan gerakan secara kolektif, maka lahirlah Gerakan Desa Membangun (GDM) (http://desamembangun.or.id/siapa-kami/ diakses 23 April 2015). Gerakan Desa Membangun berkaitan erat dengan pemanfaatan teknologi informasi karena dalam pelaksanaan kegiatannya menggunakan media teknologi informasi. Salah satu konsep desa membangun yaitu desa melek informasi dan teknologi, dimana desa dapat dengan mudah mengakses, mengolah dan memproduksi
informasi
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi desanya.
Pemanfaatan teknologi informasi tidak hanya untuk mencari informasi, akan tetapi
6
juga untuk mengunggah atau mempublikasikan informasi. Dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tepat akan menunjang pelayanan publik yang lebih baik sehingga akan menuju penerapan smart governance, yang merupakan salah atu dimensi dari konsep desa pintar. Gerakan Desa Membangun (GDM) ini menerapkan strategi kreatif dalam melakukan pemberdayaan dan pembangunan yang terkait dengan desa. Dalam perspektif “desa membangun” ini, desa diharapkan bukan hanya lokasi proyek pembangunan dan obyek, namun desa dapat menjadi basis dan subyek pembangunan yang mau dan mampu mandiri dalam membangun dirinya, termasuk mendesain sektor pembangunan yang benar-benar menjadi prioritas bagi desa sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. GDM ini dilandasi semangat membangun desa dengan didukung teknologi informasi, secara mandiri swadaya. Gerakan ini telah menginspirasi banyak desa di Indonesia untuk bergabung didalamnya. Desa-desa yang tergabung sebagai anggota GDM ini tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia, mereka secara mandiri melakukan pertukaran informasi melalui pemanfaatan teknologi informasi, setiap desa memiliki website yang dikelola secara kolektif antara pemerintah desa dan warga untuk memperkenalkan potensi dan produk keunggulan desanya. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi, dengan adanya website/portal desa dapat dijadikan sebagai upaya desa dalam mendorong suara masyarakat ke ruang publik dan dapat mengelola aspirasi publik yang nantinya dapat menjadi masukan sebuah kebijakan dalam menyokong pembangunan, teknologi informasi yang senantiasa berkembang mengikuti perubahan zaman kekinian.
7
Desa Melung, sebuah desa di lereng Gunung Slamet masuk Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Desa ini bukan desa di pinggiran kota, namun di pelosok daerah dengan jarak dari Purwokerto sekitar 20 Km, desa ini pernah termasuk desa tertinggal. Pembangunan desa yang dilaksanakan Desa Melung dilakukan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat desanya, diketahui Desa Melung pada tahun 2012 masuk 6 besar Lomba Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa (P3D) tingkat Provinsi Jawa Tengah. Desa ini merupakan desa yang dikenal dengan “desa internet”, warga masyarakat desa ini banyak mengambil manfaat dari hadirnya internet di desanya. Di desa ini tersedia hotspot hampir di setiap sudut desa dan memiliki Laboratorium Komputer yang menjadi ruang belajar warga desanya. Menkominfo mengungkapkan bahwa desadesa yang masyarakatnya sudah terkoneksi dengan informasi dengan baik ke depan harus menjadi percontohan dan direplikasikan di daerah lain, sukses desa informatika Melung di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah agar direplikasi di desa-desa lain di seluruh Indonesia (http://antaranews.com diakses 24 April 2015). Adanya internet Desa Melung menjadi embrio Gerakan Desa Membangun (GDM), Desa Melung termasuk yang aktif sebagai pegiat gerakan tersebut. Desa Dermaji termasuk dalam Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas, desa ini berada 34 km arah barat dari pusat Kota Purwokerto Banyumas. Desa Dermaji terpilih menjadi salah satu dari 5 desa dengan proses dan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa terbaik di Jawa Tengah dalam rangkaian Sikompak Awards tahun 2014. Desa Dermaji termasuk desa yang berada
8
di pelosok tapi pembangunannya semakin pesat saat ini. Desa ini tergabung secara aktif dalam Gerakan Desa Membangun. Berikut ini disajikan prestasi dari Desa Melung dan Desa Dermaji (Tabel 1): No. . Desa Prestasi Salah satu dari 5 desa terpilih se-Indonesia sebagai penerima prototype Community Acces Point (CAP) dari Kemkominfo. Penerima penghargaan SCTV Award 2014 dan UNDIP 1. Desa Melung 2013 di bidang pemberdayaan masyarakat a.n Agung Budi Satrio (Mantan Kades Melung). Lomba Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa (P3D) tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 termasuk 6 besar. Proses dan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa terbaik di Jawa Tengah dalam rangkaian Sikompak Awards tahun 2014 termasuk 5 besar kategori Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa 2. Desa Dermaji Penghargaan “Inspiring Young Leader” 2014 versi Beritasatu.com, yang berikan pada tahun 2014 a.n Bayu Setyo Nugroho, Kepala Desa Dermaji Adanya Gerakan Desa Membangun (GDM) ini cukup unik karena kecenderungan program pembangunan desa selama ini menempatkan desa sebagai objek. GDM menguatkan desa untuk mampu menjadi subjek pembangunan. Dengan menjadi subjek, ekspektasinya akan membentuk kemandirian desa. Salah satu strateginya yang diterapkan yaitu dengan memanfaatkan media baru. Fenomena kontemporer sekaligus unik yang terjadi dalam gerakan ini yang memanfaatkan teknologi informasi dalam manifestasi pembangunan. Pendekatan yang diimplementasikan merupakan pendekatan bottom-up dimana senantiasa ada keunikan kasus dari masyarakat yang melaksanakannya. Berangkat dari latar belakang yang dijabarkan di atas, maka kegiatan penelitian ini akan mengeksplorasi mengenai bagaimana efektivitas implementasi dalam Gerakan Desa Membangun yang ada di Desa Melung dan Desa Dermaji,
9
Kabupaten Banyumas serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan dalam implementasinya.
1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan, dikembangkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah efektivitas implementasi dalam Gerakan Desa Membangun di Desa Melung dan Desa Dermaji Kabupaten Banyumas? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi dalam Gerakan Desa Membangun di Desa Melung dan Desa Dermaji Kabupaten Banyumas?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengeksplorasi efektivitas implementasi dalam Gerakan Desa Membangun di Desa Melung dan Desa Dermaji Kabupaten Banyumas. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Gerakan Desa Membangun tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan tentang implementasi pembangunan desa dan sebagai referensi pada penelitian berikutnya.
10
2. Bagi pemerintah daerah dapat memberikan kontribusi pemikiran terhadap pembangunan yang lebih mengarah pada pendekatan yang buttom-up. 3. Memberikan inspirasi bagi masyarakat terkait pemanfaatan teknologi informasi dan potensi lokal dalam pembangunan desa. 4. Dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain.
1.5 Keaslian Penelitian Penelitian ini membahas mengenai implementasi dalam Gerakan Desa Membangun, dengan mengambil studi kasus pada Desa Melung dan Desa Dermaji di Kabupaten Banyumas sebagai desa yang aktif dalam Gerakan Desa Membangun tersebut. Penelitian ini mengkaji efektivitas implementasi dalam Gerakan Desa Membangun yang memanfaatkan teknologi informasi (internet) yakni di Desa Melung dan Desa Dermaji, dimana Desa Melung sebagai pegiat GDM dan sudah menerapkan pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung pembangunan desanya, sedangkan Desa Dermaji termasuk anggota GDM namun belum sepenuhnya menerapkan teknologi informasi dalam pembangunan desanya. Keaslian penelitian ini dapat dapat dilihat berdasarkan perbandingan penelitian sebelumnya sebagai berikut: Tabel 2. Keaslian Penelitian.
11
No. 1.
Peneliti/Jenis/Tahun Lisa Lindawati (Tesis, 2013)
2.
Taryono (Tesis, 2014)
3.
4.
Judul
Fokus
Metode
Komunikasi Pembangunan dan Kemandirian Desa (Studi kasus Pemanfaatan Sistem Mitra Desa Dalam Menciptakan Kemandirian Desa Dalam GDM di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah Pada tahun 2011-2012).
Penelitian ini membedah bagaimana komunikasi Kualitatif-Studi Kasus pembangunan menciptakan kemandirian desa dengan memanfaatkan media baru berupa Sistem Mitra Desa dan Portal Desa dalam Gerakan Desa Membangun (GDM).
Gerakan Desa Membangun (GDM): Inisiasi Gerakan kolektif Masyarakat Desa Dalam Pengembangan Kemandirian Desa (Studi kasus Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas).
Penelitian ini mengidentifikasi proses dan sejarah Kualitatif -Studi Kasus pembentukan Gerakan Desa Membangun (GDM) dan tahapan konsolidasi GDM dan keberlanjutannya di Desa Melung.
Rindri Andewi Gati, Tjahjanulin Efektivitas Program Surabaya Single Window (SSW) Dalam Domai, Ainul Hayat Pelayanan Publik: Perspektif E(Jurnal, 2014) Government (Studi tentang Perijinan Online di Kota Surabaya) Efektivitas Implementasi Program Martin, Boy Gerakan Nasional Rehabilitasi (Tesis, 2008) Hutan dan Lahan (GNRHL) di Kota Padang
Penelitian ini untuk mengetahui efektivitas Program Surabaya Single Window (SSW) dalam rangka perijinan online di Kota Surabaya; dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Program Surabaya Single Window (SSW).
Metode pendekatan kualitatif, jenis deskriptif analisis data bersifat kualitatif
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Pendekatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kualitatif program GNRHL yang diselenggarakan di Kota Padang menjadi tidak efektif
deskriptif
12
5.
Efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) di Kota Palu.
Penelitian ini untuk mengetahui efektif atau tidaknya Penelitian ini program PNPM-MP di Kota Palu dan untuk mengetahui menggunakan metode program PNPM-MP sebagai program pemberdayaan kualitatif yang dapat mengakomodir keinginan masyarakat.
Khuriyatul Husna, Rusli, Efektivitas Kehadiran Fasilitator Program Pemberdayaan Desa Sudaryanto. (Jurnal, 2013) (PPD) dalam Pengembangan Masyarakat di Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru (Studi pada Program Pemberdayaan Desa/Kelurahan di Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru) Efektivitas Program Alokasi Dana Haryadi Nagari (ADN) Satu Miliar Per (Jurnal, 2014) Nagari (SMPN) di Kabupaten Pasaman Barat. (Kasus Pembangunan Fisik di Nagari Sinuruik Dan Nagari Rabi Jonggor) Efektivitas Program Penataan Annihayah Kawasan Pariwisata Pantai (Tesis, 2008) Parangtritis Kabupaten Bantul
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa dan Penelitian ini menjelaskan efektifitas kehadiran fasilitator dalam menggunakan metode upaya pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Rumbai kualitatif Pesisir Kota Pekanbaru
Asfriqi Machfiroh. (Jurnal, 2015)
6.
7.
8.
Penelitan ini untuk menganalisis efektivitas Program Pendekatan kualitatif ADN SMPN pada pembangunan fisik di Nagari dengan metode studi Sinuruik dan Nagari Rabi Jonggor pada periode tahun kasus 2011 hingga tahun 2013.
Penelitian ini mengetahui sejauhmana efektivitas Metode kualitatif program penataan kawasan pariwisata pantai parangtritis dengan menggunakan Kabupaten Bantul, pelaksanaan program penataan pendekatan deduktif kawasan pariwisata pantai Parangtritis.