BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, dengan sumber daya alam
yang melimpah dan penduduk yang sangat beragam baik suku, agama, dan rasnya. Keadaan ini dipersatukan dalam wadah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai negara kesatuan, Pemerintah memegang peranan tertinggi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menjalankan fungsi pemerintahan. Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana memberikan pelayanan kepada masyarakat hingga ke daerah-daerah pelosok? Apakah segala sesuatunya harus diatur dari Pusat? Jika demikian halnya maka pelayanan tidak akan mampu diberikan secara efektif lantaran birokrasi yang terlalu panjang dan lama untuk sampai di tingkat pusat. Oleh karena itu diperlukan penyerahan (sebagian) kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945)
telah
menetapkan
pengaturan-pengaturan
dasar
bagi
penyelenggaraan pemerintahan demi terwujudnya tujuan negara. Pengaturan ini termasuk di dalamnya adalah mengenai pemerintahan daerah. Pencantuman tentang pemerintah daerah dalam UUD NRI Tahun 1945 dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan
1
2
kesejahteraan masyarakat daerah.1 Sehingga meskipun Indonesia menganut prinsip negara kesatuan di mana pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat, namun dengan menyadari berbagai heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia maka kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat perlu untuk dialirkan kepada daerah otonom.2 Jika dirunut ke belakang, berbagai upaya dan terobosan politik telah banyak dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan daerah yang baik dan berpihak kepada rakyat. Dengan melihat perspektif historis ketatanegaraan Indonesia, Pemerintah NKRI telah berhasil mengundangkan berbagai perundang-undangan pemerintahan daerah yang diwarnai dengan berbagai perkembangan konfigurasi politik. Antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Tap. MPR Nomor XXI/MPRS/1966, Tap. MPR Nomor IV/MPR/1973, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Tap. MPR Nomor XV/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Banyaknya peraturan tersebut membuktikan bahwa otonomi daerah merupakan hal yang sangat penting sehingga perlu diatur sedemikian rupa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Di samping itu, pelaksanaan otonomi daerah yang berubah-ubah mengindikasikan bahwa 1
MPR RI, 2012, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekjen MPR RI, Jakarta, hlm. 119. 2
J. Kaloh, 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1.
3
proses pencarian bentuk otonomi daerah yang sesuai dengan kondisi Indonesia masih terus dilakukan hingga saat ini. Bagi sebuah negara kesatuan, terlebih yang memiliki wilayah yang luas seperti
Indonesia,
perlu
untuk
menentukan
konsep
yang
tepat
bagi
penyelenggaraan urusan pemerintahan. Hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan pemerintah daerah (sampai pada tingkatan yang terendah) merupakan kebutuhan mutlak yang hanya dapat diwujudkan bila konsep yang digunakan memang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Namun yang kebanyakan terjadi adalah konsep yang digadang-gadangkan ‘ideal’, pada tataran pelaksanaan nyatanya belum mampu mengakomodir kepentingan pemerintah dan pemerintah daerah secara seimbang. Keadaan yang demikian bahkan sampai pada taraf mengancam keutuhan bangsa dengan adanya gerakan-gerakan separatis yang muncul sebagai akibat dari ketidakadilan yang dirasakan suatu daerah terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Hal-hal seperti ini harus dapat diminimalisir, bahkan kalau mungkin dihilangkan, bila kita masih menginginkan negara ini utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen telah mengatur secara garis besar mengenai konsep otonomi daerah di Indonesia. Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Amandemen Kedua UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
4
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.3 Secara umum, otonomi daerah dimaknai sebagai wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat baik pada negara kesatuan maupun pada negara federasi. Di dalam negara kesatuan, otonomi daerah lebih terbatas dari otonomi daerah pada negara federasi. Kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan, kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat. Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah adalah keliru jika hanya berorientasi pada tuntutan penyerahan kewenangan, tanpa menghiraukan makna otonomi daerah itu sendiri. Otonomi daerah lahir dari suatu kebutuhan akan efisiensi dan efektivitas manajemen penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Sehingga otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian otonomi daerah bukanlah suatu tujuan tetapi suatu instrumen untuk mencapai tujuan.4 Instrumen ini harus digunakan secara bijaksana agar hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat terjaga keharmonisannya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945 Amandemen Kedua menyatakan bahwa (1) hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, 3
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. 4
J. Kaloh, Op. Cit., hlm. 6-7.
5
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang - undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; (2) hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Frasa “dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah” dalam Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ini sebenarnya mengindikasikan bahwa konstitusi menghendaki adanya pengaturan yang berbeda bagi tiap-tiap daerah yang mempunyai corak khusus dan beragam. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Politik hukum tentang desentralisasi yang digariskan UUD NRI Tahun 1945 mengisyaratkan pengembangan desentralisasi asimetris yang menekankan kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional. Selain itu juga diamanatkan bahwa pengembangan desentralisasi asimetris diatur lebih lanjut dengan Undang Undang. Desentralisasi asimetris adalah pemberlakuan kewenangan khusus pada wilayah‐wilayah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif
6
untuk menyelesaikan permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Desentralisasi asimetris mencakup desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak harus seragam untuk semua wilayah
negara,
mempertimbangkan
kekhususan
masing-masing
daerah.
Penerapan kebijakan desentralisasi asimetris atau otonomi asimetris merupakan sebuah manifestasi dari usaha pemberlakuan istimewa. Konsep tersebut sebenarnya sudah dijalankan, yaitu dengan adanya beberapa daerah berotonomi khusus seperti Provinsi Papua, Pemerintahan Aceh, DKI Jakarta dan Provinsi DIY. Keempat provinsi ini secara legal formal sudah memperoleh pengakuan dari negara. Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi terakhir (hingga saat ini) yang mempunyai pengaturan khusus dalam penerapan konsep otonomi daerahnya. Hal ini bersumber dari Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 pra amandemen yang berbunyi sebagai berikut:5 “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Berdasarkan eksistensi historis, Ir. Sujamto menyebutkan bahwa: “... secara teoritis dalam Daerah Istimewa terdapat 2 (dua) macam hak, yaitu hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian 5
Soedarisman Poerwokoesoemo, 1984, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada Press, Yogyakarta, hlm. 2.
7
dari Negara Indonesia (hak yang bersifat autochtoon) dan hak yang dimiliki berdasarkan pemberian pemerintah. Perwujudan dari hak-hak asal-usul atau yang bersifat autochtoon itu bisa bermacam-macam. Hak itu dapat berupa hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan tertentu, hak untuk memberikan beban kewajiban tertentu kepada masyarakat, hak untuk menentukan sendiri cara pengangkatan dan pemberhentian pimpinan daerah, dan lain-lain. Mempertahankan susunan asli juga termasuk hak asal-usul dari daerah yang bersifat istimewa.”6
Untuk DIY, pemberian status keistimewaan tentu tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarahnya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman secara de jure dan de facto telah memiliki pemerintahan yang berdaulat sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun melalui Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam pada tanggal 5 September 1945, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menyatakan bergabung dan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.7 Langkah tersebut dinilai sangat penting dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia yang saat itu diguncang politik devide et empera yang dilancarkan para imperialis. Di samping itu, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman berperan
dan memberikan sumbangsih
yang besar
dalam
mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga inilah yang menjadi latar belakang diberikannya status keistimewaan untuk DIY.
6
Ibid., hlm. 14.
7
Ibid., hlm. 297-298.
8
Kemudian ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 disebutkan bahwa Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat provinsi, yang meliputi daerah Kasultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman. Namun dalam Undang-Undang ini belum tergambar secara eksplisit apa sebenarnya yang menjadi kewenangan istimewa milik DIY. Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa
Yogyakarta,
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
mendapatkan kejelasan megenai status keistimewaannya. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 menyatakan bahwa DIY ialah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
dalam
kerangka
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
Keistimewaan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Dalam pelaksanaannya menerapkan desentralisasi asimetris, DIY mulai mempersiapkan diri dengan menyusun aturan hukum berupa Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) beserta peraturan pelaksananya dan melakukan pembenahan di lingkungan pemerintahan daerah DIY. Sampai dengan saat ini baru ditetapkan 1 (satu) Perdais yaitu Perdais Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
9
Jika dilihat dari judul Perdais tersebut, tampak bahwa tidak ada kata “Provinsi” sebelum frasa “Daerah Istimewa Yogyakarta”. Substansi materi Perdais tersebut juga tidak mencantumkan nomenklatur “Provinsi DIY” melainkan hanya “DIY”. Hal serupa juga ditemui dalam pembenahan perangkat daerah di Provinsi DIY. Gubernur DIY menerbitkan Surat Edaran Nomor 5.1/SE/IX/2012 tanggal 7 September 2012 perihal Perubahan Nomenklatur Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD). Surat Edaran tersebut pada intinya menyatakan bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta maka penyebutan nomenklatur SOPD (yang diatur dalam berbagai Peraturan Daerah (Perda) sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 ditetapkan) untuk kata “Provinsi” dihapus. Sebagai contoh penyebutan “Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” menjadi “Biro Hukum Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penghapusan kata “Provinsi” di lingkungan Pemerintah Daerah DIY ini dilatarbelakangi karena dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak awal memang tidak menunjukkan adanya penekanan DIY sebagai sebuah Provinsi.8 Penyebutannya dalam Undang-Undang ini selalu dengan “DIY”, bukan “Provinsi DIY”. Dari sini
8
Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY menyebut DIY sebagai daerah provinsi, yaitu Pasal 1 angka 1 “Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
10
kemudian Pemerintah Daerah DIY membuat kebijakan bahwa di lingkungan Pemerintah Daerah DIY, sudah tidak lagi menggunakan kata “Provinsi”. Pada
pelaksanaannya,
terjadi
masalah
terkait
tidak
digunakannya
nomenklatur “Provinsi” oleh Pemerintah Daerah DIY. Berdasarkan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-1665 Tahun 2014 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi DIY tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, pada intinya menyatakan bahwa dalam penulisan Peraturan Daerah DIY perlu ditambahkan nomenklatur
“Provinsi”
sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Di samping itu, masih menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY menyatakan bahwa DIY adalah daerah Provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI. Hal ini dimaknai bahwa keistimewaan tersebut bukan berarti tidak menyebutkan “Provinsi” di depan kata “DIY”. Pertanyaannya kemudian, benarkah seperti itu? Apakah dengan tidak disebutkannya nomenklatur “Provinsi” dalam Peraturan Daerah (Perda) DIY menyebabkan Perda tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945?
11
Masalah juga terjadi dalam proses pembentukan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) di DIY. Pembahasan beberapa Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) DIY sempat menjadi terhambat karena terjadi perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif mengenai perlu tidaknya mencantumkan nomenklatur “Provinsi” dalam judul maupun substansi materi Raperdais. Perbedaan pendapat ini tidak jarang menghasilkan keadaan deadlock sehingga pembahasan tidak dapat dilanjutkan. Ini tentu mempengaruhi kelancaran proses pemerintahan di DIY. Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut maka di dalam tesis ini akan dibahas mengenai pengaturan DIY sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, untuk kemudian dikaitkan dengan penggunaan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Dengan adanya pemaparan ini diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kedudukan DIY dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B.
Rumusan Permasalahan Dalam tesis ini yang menjadi pokok permasalahan adalah: 1. Bagaimana pengaturan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa? 2. Bagaimana analisis terhadap penggunaan nomenklatur “Provinsi” dalam Peraturan Daerah DIY pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta?
12
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang serta rumusan permasalahan yang telah
diuraikan maka tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menguraikan dan menganalisis pengaturan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa; 2. Menganalisis terhadap penggunaan nomenklatur “Provinsi” dalam Peraturan Daerah DIY pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1.
Manfaat Teoritis Sebagai bahan masukan dan kontribusi pemikiran dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan penulis dalam pemahaman mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2.
Manfaat Praktis Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
rekomendasi,
informasi, pedoman dan konstribusi bagi pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengaturan terkait pelaksanaan desentralisasi asimetris di DIY, khususnya dalam kaitannya dengan penggunaan nomenklatur “Provinsi” dalam Peraturan Daerah DIY pasca Undang-
13
Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, dan sebagai bahan kajian untuk pembangunan hukum dalam rangka memperkuat dan mendorong otonomi daerah dengan kewenangan yang seluas-luasnya namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
E.
Keaslian Penelitian Sampai dengan saat ini, telah banyak karya tulis ilmiah yang membahas
mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian besar tulisan tersebut membahas mengenai aspek historis dari keistimewaan DIY, kedudukan DIY dalam struktur ketatatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta kewenangan dalam urusan keistimewaan DIY menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Sukirno menyusun tesis pada Program Studi Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2014 dengan judul “Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Corak Khusus Implementasi Konsep Negara Kesatuan”. Pokok permasalahan yang dikemukakan dalam tesis tersebut adalah: 1) Bagimanakah
implementasi
konsep
negara
kesatuan
dalam
sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta ? 2) Seberapa jauhkah toleransi penerapan pola otonomi asismetris dalam implementasi konsep negara kesatuan, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY ?
14
3) Kelembagaan keistimewaan apakah yang dapat dibentuk oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka pelaksanaan kewenangan keistimewaan urusan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY?
Kesimpulan dari tesis tersebut adalah konsep negara kesatuan dalam UUD NRI Tahun 1945 diimplementasikan secara kombinatif dengan konsep negara federal, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan 18B UUD NRI Tahun 1945. Diakomodasinya keragaman daerah serta pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serta kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya dalam UUD NRI 1945 merupakan salah satu bukti bahwa sistem ketatanegaraan RI dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menganut pola desentralisasi yang tidak sebanding atau asismetris
(asymmetrical
decentralization).
Terkait
dengan
kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY, Sukirno menyatakan bahwa ada 4 (empat) lembaga yang mungkin dibentuk dalam rangka pelaksanaan kewenangan keistimewaan urusan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, yaitu Dinas Kebudayaan, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang, Dewan Ketahanan Daerah, dan Sekretariat Dewan Ketahanan Daerah. Diasma Sandi Swandaru menyusun tesis pada Program Studi Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2014 dengan judul “Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY Dalam Perspektif Politik Hukum Berparadigma Pancasila”. Pokok permasalahan yang diangkat adalah:
15
1) Bagaimana pencerminan nilai-nilai Pancasila dalam pengaturan pembentukan perundang-undangan di Indonesia? 2) Nilai-nilai Pancasila apa saja yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta?
Kesimpulan
dari
tesis
tersebut
adalah
nilai-nilai
Pancasila
diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Seluruh nilai Pancasila juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pencerminan nilai-nilai Pancasila dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY menjadi bukti bahwa politik hukum berparadigma Pancasila secara langsung diterapkan dalam pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan pemaparan di atas maka terdapat perbedaan yang jelas antara kedua tesis tersebut dengan penelitian ini, yaitu dalam hal pokok permasalahannya yang kemudian menjadi acuan dalam menarik kesimpulan. Penelitian ini menguraikan mengenai perjalanan historis pengaturan Daerah Istimewa Yogyakarta dari masa ke masa. Penelitian ini juga menganalisis mengenai penggunaan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Dua hal tersebut tidak diuraikan secara mendetail dalam tesis yang disusun
16
oleh Sukirno maupun Diasma Sandi Swandaru sehingga dapat disimpulkan bahwa hal itu menjadi faktor pembeda dengan kedua tesis sebelumnya. Buku yang berjudul “Daerah Istimewa Yogyakarta: Dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-undangan di Indonesia” yang disusun oleh Ni’matul Huda, memang menguraikan mengenai pengaturan Daerah Istimewa Yogyakarta sejak masa penjajahan Hindia Belanda sampai dengan saat ini. Buku ini juga menjabarkan mengenai pertanahan di DIY pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, terutama dalam kaitannya dengan Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Namun dalam buku tersebut tidak diuraikan mengenai penggunaan nomenklatur “Provinsi” pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Inilah yang menjadi variabel pembeda antara buku tersebut dengan penelitian ini. Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau harus dinyatakan dengan tegas perbedaannya dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan. Meskipun objek penelitian ini secara umum adalah mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi karena variabel tergantung yang menjadi pokok bahasannya berbeda dengan karya tulis ilmiah yang telah ada maka penelitian ini telah memperlihatkan keasliannya. Variabel yang berbeda tersebut adalah terkait penggunaan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penelitian ini terbukti memiliki orisinalitasnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Negara Kesatuan Di beberapa kalangan, terdapat kerancuan antara apa yang dimaksud dengan
bentuk negara dan apa yang dimaksud dengan bentuk pemerintahan. Dalam ilmu negara, pembahasan mengenai bentuk negara dan bentuk pemerintahan memang tidak memiliki persepsi yang tunggal. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa “republik” dan “monarki” adalah bentuk negara, namun ada pula yang menyebutkan bahwa keduanya adalah bentuk pemerintahan, bukan bentuk negara (bentuk negara adalah “kesatuan” dan “federal”). Pada dasarnya perbedaan persepsi tersebut terjadi karena sudut pandang masing-masing dalam memahami suatu negara. Seperti yang dikemukakan oleh Kusnardi dan Saragih berikut:9 “Bentuk negara adalah batas antara peninjauan secara sosiologis dan peninjauan secara yuridis mengenai negara. Disebut peninjauan secara sosiologis apabila negara dilihat secara keseluruhan (ganzhit) tanpa melihat isinya dan sebagainya; disebut peninjauan secara yuridis apabila negara hanya dilihat dari isinya atau strukturnya. Berdasarkan hal tersebut maka bentuk negara dalam arti yuridis adalah kesatuan dan federal, sedangkan bentuk negara dalam arti sosiologis adalah republik dan monarki.”
9
Kusnardi dan Saragih, 1988, Ilmu Negara, Gaya Media Pertama, Jakarta, hlm. 151-152.
17
18
Terlepas dari adanya perbedaan persepsi tersebut di atas, pendapat umum mengenai bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan tergambar dalam bagan di bawah ini:10
Terkait dengan ketiga bentuk negara (kesatuan, federal, dan konfederasi), Miriam Budiardjo memaparkan bahwa persoalan sifat kesatuan atau sifat federal dari suatu negara sesungguhnya merupakan bagian dari sesuatu persoalan yang lebih besar, yaitu persoalan integrasi dari golongan yang berada di dalam sesuatu wilayah. Integrasi itu dapat diselenggarakan secara minimal (yaitu dalam suatu konfederasi) atau dapat pula diselenggarakan secara maksimal (yaitu dalam suatu negara kesatuan). Di dalam teori kenegaraan persoalan tersebut menyangkut persoalan
mengenai
bentuk
negara,
dan
persoalan
negara
bersusun
(Samengestelde Staten atau Statenverbindungen) yaitu khususnya yang mengenai federasi dan konfederasi. Hans Kelsen dalam buku General Theory of Law and State memakai istilah “form of organization” baik untuk federasi dan konfederasi 10
I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung, hlm. 106.
19
maupun negara kesatuan yang desentralistis. Perbedaan antara federasi, konfederasi, dan kesatuan terlihat dari segi pembagian kekuasaannya secara vertikal. Pembagian kekuasaan tersebut, menurut tingkatannya adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Carl J. Friedrich memakai istilah pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power).11 Negara kesatuan, atau juga dikenal dengan negara unitaris, adalah bentuk negara yang paling kokoh jika dibandingkan dengan negara federal atau konfederasi karena dalam negara kesatuan terdapat persatuan (union) maupun kesatuan (unity).12 Salah satu negara yang berbentuk kesatuan adalah negara Indonesia. Dilihat dari segi susunan negara kesatuan maka negara kesatuan bukan negara yang tersusun dari beberapa negara melainkan negara tunggal, sebagaimana disampaikan oleh Soehino:13 “Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan, dan melaksanakan pemerintahan negara, baik di pusat maupun di daerah-daerah.”
L.J. Van Apeldoorn menjelaskan bahwa suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat sehingga provinsiprovinsi itu tidak mempunyai hak mandiri. Hal senada juga dinyatakan oleh 11
Miriam Budiardjo, 1982, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, hlm. 138-139.
12
Fred Isjwara, 1974, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung, hlm. 188.
13
Soehino, 2000, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 224.
20
Cohen dan Peterson, “Unitary systems need not be legally decentralized, but most are trough hierarchy of lower level units that have specified geographical jurisdictions.in unitary system, the centre maintains ultimate souvereignty over public sector tasks decentralized to lower-level units.”14 Kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sederajat. Kekuasaan pemerintah pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara dan tidak ada saingan dari badan legislatif pusat dalam membentuk undangundang, kekuasaan yang ada di daerah bersifat derivatif (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas, dengan demikian tidak dikenal adanya badan legislatif pusat dan daerah yang sederajat, melainkan sebaliknya.15 Lebih lanjut C.F. Strong menegaskan hakikat negara kesatuan ialah kedaulatan tidak terbagi, atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain selain dari badan legislatif pusat. Wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam suatu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada Pemerintah dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan Pemerintah. Oleh
14
Sadu Cohen dan Peterson menurut kutipan Kirman, 2005, Pegangan Memahami Desentralisasi dan Beberapa Pengertian Tentang Desentralisasi, Pondok Edukasi, Yogyakarta, hlm. 9. 15
Kusnardi dan Saragih, Op. Cit, hlm. 207-208.
21
karena itu, C. F. Strong menyimpulkan bahwa ciri-ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan yaitu:16 1. Adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat; dan 2. Tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat. Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dalam negara kesatuan (unitary state) kekuasaan asli itu memang berada di Pemerintah, bukan di daerah. Sehingga yang diberikan ke daerah bukanlah kekuasaan asli tanpa atribut, tetapi kekuasaan
yang
sudah
dilegalisasikan
(yang
biasa
disebut
sebagai
kewenangan/authority).17 Daerah-daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan dengan daerah otonom. Inilah yang kemudian disebut dengan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Dari sudut pandang hukum internasional, suatu negara kesatuan betapapun luas otonomi yang dimiliki oleh provinsi-provinsinya, masalah-masalah yang menyangkut hubungan luar negeri merupakan wewenang pemerintah pusat. Pemerintah daerah pada prinsipnya tidak boleh berhubungan langsung dengan negara luar.18 Seperti yang telah diuraikan di awal, dalam negara kesatuan kewenangan atas urusan pemerintahan berada di pemerintah sehingga besar kecilnya otonomi yang diserahkan kepada daerah tergantung dari political will pemerintah. Kekuasaan tersebut tidak diganggu oleh adanya suatu pelimpahan atau 16
Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 269.
17
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta,
hlm. 282. 18
Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 26.
22
penyerahan kewenangan kepada daerah. Kewenangan daerah mengacu pada asas pembagian yang tidak meninggalkan suatu kebulatan (eenheid) pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, yaitu tetap di tangan pemerintah. Hubungan pemerintah dengan daerah ini dijabarkan oleh Mawhood sebagai:19 “... decentralized government, as we have defined it, is a semi-dependent organization. It has some freedom to act without referming to the center for approval, but its status is not comparable with that of a sovereign state. The local authority power, and even its existence, flow from a decision of the national legoslature and can be cancelled when that legislature so decides.”
Shahid Javed Burki menyatakan bahwa:20 “Pembagian kekuasaan atau kewenangan antara pemerintah dan daerah dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah tidak sepenuhnya lepas dari kontrol pemerintah. Prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan tersebut yaitu: 1. Kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya milik pemerintah, daerah diberikan hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau diserahkan. Jadi, terjadi proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan; 2. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap memiliki garis komando dan hubungan hierarkis. Pemerintah sebagai subordinasi pemerintah pusat, namun hubungan yang dilakukan tidak untuk mengintervensi dan mendikte pemerintah daerah; 3. Kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, di mana daerah ternyata tidak mampu menjalankan dengan baik maka kewenangan yang dilimpahkan dan diserahkan tersebut dapat ditarik kembali pada pemerintah sebagai pemilik kekuasaan atau kewenangan tersebut.”
19
Philip Mawhood dalam Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 71. 20
Shahid Javed Burki dalam Ibid., hlm. 72.
23
Dalam konsep negara kesatuan, daerah sebenarnya tidak benar-benar memiliki kekuasaan yang mutlak. Negara kesatuan adalah negara dengan sentralisasi kekuasaan, yang menurut Thorsten V. Kalijarvi diterjemahkan sebagai:21 “...negara-negara di mana seluruh kekuasaan dipusatkan pada satu atau beberapa organ pusat, tanpa pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah bagian-bagian negara itu. Pemerintah bagian negara-negara itu hanyalah bagian pemerintahan pusat yang bertindak sebagai wakil-wakil pemerintah pusat untuk menyelenggarakan administrasi setempat.”
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Bhenyamin Hoessein bahwa tidak mungkin terdapat suatu urusan pemerintahan pun yang utuh dan sepenuhnya diselenggarakan secara desentralisasi. Konsep otonomi apapun yang dianut, tidak akan menjurus ke pemikiran penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi semata-mata.22 Ada kalanya dominasi pemerintah pusat menjadi sedemikian besarnya hingga daerah kehilangan kebebasannya dalam bertindak. Menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan pemerintah pusat untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara
21
22
Fred Isjwara, Op. Cit., hlm. 179.
Sarundajang, 2003, Birokrasi Dalam Otonomi Daerah: Upaya Mengatasi Kegagalannya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 60.
24
pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan menjadi tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federasi.23 Kata federasi berasal dari bahasa latin yaitu feodeus yang berarti liga. Pemerintahan dengan model negara federasi berasal dari asumsi dasar bahwa negara federasi dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang independen. Artinya, negara-negara yang memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan tersebut bersepakat membentuk negara federasi. Negara-negara pendiri federasi itu kemudian berganti status menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federasi.24 Dengan demikian, negara federasi (atau juga disebut sebagai negara serikat) adalah negara yang bersusun jamak, di mana negara-negara berdaulat yang tergabung di dalamya mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri.25 Sejumlah tugas dan kewenangan diserahkan kepada pemerintah federal sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian. Namun, pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak bertanggung jawab kepada pemerintah federasi.26 Dari segi hukum internasional, negara federasi adalah negara gabungan sejumlah negara yang dinamakan negara-negara bagian yang diatur oleh suatu undangundang dasar yang membagi wewenang antara pemerintah federal dengan negara-
23
Ni’matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Penerbit Nusa Media, Bandung,
hlm. 29. 24
Ibid., hlm. 33.
25
Soehino, Op. Cit., hlm. 226.
26
Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Grassindo, Jakarta, hlm. 216.
25
negara bagiannya. Walaupun negara bagian mempunyai konstitusi dan pemerintahan masing-masing namun hanya negara federal yang merupakan subjek hukum internasional dan mempunyai wewenang untuk melakukan kegiatan luar negeri.27 Antara negara federasi dan negara konfederasi, terkadang sulit untuk membedakan keduanya. George Jellinek memberikan titik perbedaan negara federasi dan negara konfederasi dari sisi kedaulatannya. Dalam negara federasi, kedaulatan terletak pada negara federasi itu. Sedangkan dalam negara konfederasi, kedaulatan itu ada pada masing-masing negara anggota peserta konfederasi.28 Al Chaidar juga menyatakan bahwa negara konfederasi (statenbond) menyangkut tentang banyak negara yang memiliki konstitusi sendiri-sendiri tetapi bersepakat untuk bergabung dalam perhimpunan longgar yang didirikan bersama-sama dengan nama konfederasi. Dalam konfederasi, kedaulatan terletak di negaranegara bagian atau negara-negara anggota.29 Kranenburg menjelaskan perbedaan negara federasi dengan negara konfederasi harus didasarkan pada keberlakuan peraturan-peraturan yang dihasilkan oleh organ pusat. Jika peraturan yang dihasilkan oleh organ pusat tersebut langsung mengikat warga negara dari negaranegara anggota maka bentuk negaranya adalah federasi. Sebaliknya, jika tidak langsung mengikat warga negara dari negara-negara anggota maka bentuk
27
Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 27.
28
Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 142.
29
Al Chaidar dalam Astim Riyanto, 2006, Negara Kesatuan: Konsep, Asas, dan Aktualitasnya, Penerbit Yapemdo, Bandung, hlm. 56.
26
negaranya adalah negara konfederasi.30 Pada intinya, negara konfederasi memiliki kekuasaan yang tidak lebih besar daripada negara-negara anggota yang tergabung di dalamnya. Jimly Asshiddiqie memaparkan kesamaan antara negara kesatuan dan negara konfederasi, bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah (negara anggota) sama-sama bersifat subordinatif dan dependen. Perbedaanya, pada negara kesatuan pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih rendah dan derivatif dari kekuasaan pusat. Sedangkan pada negara konfederasi, pemerintah pusatlah yang lebih rendah dan bersifat derivatif dari kekuasaan negara anggota.31 Pendapat berbeda diungkapkan oleh Miriam Budiardjo, bahwa konfederasi sesungguhnya bukan merupakan negara yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena negara-negara yang tergabung di dalam konfederasi itu tetap merdeka dan berdaulat sehingga pada hakikatnya konfederasi bukanlah negara baik ditinjau dari ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Lebih lanjut Miriam Budiardjo menyatakan bahwa kelangsungan hidup konfederasi bergantung pada keinginan atau kesukarelaan negara-negara anggota. Pada kenyataannya konfederasi ini dibentuk untuk maksud-maksud tertentu, yang biasanya menyangkut politik luar negeri dan pertahanan bersama.32
30
Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 40.
31
Jimly Asshiddiqie, “Mempertimbangkan Perubahan ke Arah Bentuk Negara Persatuan Republik Indonesia”, makalah disampaikan pada Simposium Hukum 2000 ILUNI-FH, “Masalah Keadilan Sosial dan Disintegrasi Bangsa,” Reog Room, Hotel Indonesia, 4 Maret 2000, hlm. 1. 32
Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 151.
27
B.
Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Konsep Negara Kesatuan Dalam negara kesatuan, hubungan antara pusat dan daerah tidak sederajat.
Sebaliknya, keduanya memiliki hubungan yang bersifat subordinatif dan dependen. Hal ini terjadi karena kekuasaan pemerintahan sesungguhnya hanya dipegang oleh pemerintah pusat sementara provinsi-provinsi (berikut pemerintah di bawahnya) menerima kekuasaan dari pemerintah pusat sehingga daerah tidak benar-benar mempunyai hak mandiri. Pembagian kekuasaan atau kewenangan antara pemerintah dan daerah dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah tidak sepenuhnya lepas dari kontrol pemerintah. Hubungan pusat dan daerah memiliki 3 bentuk, yaitu hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial; hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial; serta hubungan pusat dan daerah menurut dasar-dasar negara federal.33 Hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial, pada dasarnya bukan merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang masingmasing mandiri. Satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak memiliki wewenang mandiri melainkan wewenang tersebut menjadi satu kesatuan dengan departemen atau kementerian yang bersangkutan. Sehingga sifat wewenang satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat, bukan atribusi.34
33
Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah: Kajian tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm. 77. 34
Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm. 32.
28
Hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi teritorial berarti seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintah pusat yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi, dan hubungan pusat dan daerah di bidang otonomi bersifat administrasi negara. Dengan demikian, satuan otonomi teritorial memiliki wewenang mandiri dan berhak melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan hubungan pusat dan daerah menurut dasar-dasar negara federal tidak dapat dipisahkan dari bentuk negara federal. Seluruh fungsi kenegaraan dan pemerintahan pada dasarnya ada dalam lingkungan pemerintahan negara bagian dan hubungan antara kekuasaan federal dengan negara bagian bersifat ketatanegaraan. Menurut Clarke dan Stewart, model hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara teoritis dapat dibedakan menjadi 3, yaitu the relative autonomy model, the agency model, dan the interaction model.35 The relative autonomy model memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberikan kebebasan bertindak dalam kerangka kekuasaan dan tanggung jawab yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. The agency model berarti pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup besar, keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijakan pemerintah pusatnya. Oleh karenanya, berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundang-undangan sebagai mekanisme kontrol sangat
35
Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 12.
29
menonjol pada model ini. Sementara itu, the interaction model menekankan pada interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menentukan keberadaan dan peran pemerintah daerah. Beragam bentuk dan model hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan variasi tersendiri bagi perkembangan sistem pemerintahan daerah dalam konsep negara kesatuan. Namun untuk menemukan format yang tepat bukanlah hal yang mudah karena proses pemerintahan bersifat dinamis dari masa ke masa. Persoalan mengenai hubungan pusat dan daerah dalam konsep negara kesatuan, tergambar dalam hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan hubungan susunan organisasi pemerintahan. 1. Hubungan Kewenangan Taliziduhu Ndraha mengartikan kewenangan sebagai authority: the power or right delegated; the power to judge, act, or command36. Makna kewenangan harus dibedakan dari makna urusan, sebagaimana ditulis Situmorang:37 ”Secara konseptual, kewenangan tidak bisa disamakan dengan urusan pemerintahan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan/atau kewajiban menjalankan satu atau beberapa fungsi manajemen (pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengurusan, pengawasan) atas suatu obyek tertentu yang ditagani pemerintah”.
Bhenyamin Hoessein merumuskan urusan sebagai obyek yang justru diatur dan diurus oleh suatu kewenangan. Penyerahan wewenang pengaturan dan
36
Taliziduhu Ndraha, 2011, Kybernologi: Ilmu Pemerintahan Baru, Rineka Cipta, Jakarta,
hlm. 85. 37
Sodjuangon Situmorang, 2002, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 32.
30
wewenang pengurusan dalam gatra kehidupan tertentu menurut peraturan perundang-undangan disebut penyerahan urusan pemerintahan.38 Dari perspektif Hukum Administrasi Negara/HAN, kewenangan jelas memiliki kedudukan penting dan merupakan konsep inti ilmu hukum. Hal demikian-terlepas dari sejumlah kritikan yang ada-terkait penggunaan prinsip legalitas dan demokrasi dalam penyelenggaran urusan negara di mana tindakan pemerintah harus memperoleh legitimasi rakyat yang secara legal formal tertuang dalam dasar hukum tertentu. Dalam kerangka pikir tersebut, seperti disimpulkan Ridwan dari pendapat sejumlah pakar, substansi prinsip legalitas adalah kewenangan, yang diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu.39 Sementara menyangkut sumber dan cara memperolehnya, kewenangan diklasifikasi atas atribusi, delegasi, dan sebagian pakar menambah satu klasifikasi lagi, yakni mandat. Klasifikasi tersebut juga membawa konsekuensi berbeda dalam arah tanggung jawab dan pihak yang bertangung jawab. Atribusi diperoleh berdasarkan pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan, delegasi diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang
pemerintahan
dari
satu
organ
pemerintahan
kepada
organ
pemerintahan lainnya, dan mandat diperoleh ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan organ pemerintahan lain atas namanya. Sumber dan cara memperoleh kewenangan ini berimplikasi erat pada letak 38
Bhenyamin Hoessein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah di Indonesia: Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 15. 39
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 90-98.
31
tanggung jawab atas wewenang tersebut karena adanya prinsip tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban. Pada atribusi dan delegasi disertai dengan berpindahnya tanggung jawab kepada penerima kewenangan, sementara dalam mandat tetap menjadi tanggung jawab pemberi kewenangan sebab pada hakikatnya yang terjadi bukanlah pelimpahan kewenangan tetapi penyerahan tugas (biasanya antara atasan dan bawahan) secara intraorganisasi (yang terjadi hanyalah hubungan internal organisasi).40 Penyelenggaraan pemerintahan dalam organisasi negara dilakukan pertamatama menurut asas sentralisasi di mana segala pembuatan dan pelaksanaan kebijakan berlangsung sepenuhnya di tataran nasional, baik secara terpusat atau pun melalui instansi (field administration, local state government) di daerah yang memperoleh pelimpahan wewenang dan membentuk relasi kewenangan intraorganisasi dalam rangka asas dekonsentrasi. Namun, perkembangan dewasa ini, pengelolaan organisasi negara (terutama yang berukuran besar, memiliki masalah yang kompleks) mulai melibatkan pemerintahan lokal di mana Pemerintah Pusat hanya menetapkan pokok kebijakan (makro), sementara jabaran (kebijakan mikro) dan implementasi diserahkan ke pemerintah lokal sebagai institusi daerah otonom. Pelibatan pemerintahan daerah dan penyerahan wewenang kepadanya oleh Pemerintah merupkan inti desentralisasi. Dengan penerapan desentralisasi kewenangan ini, keberagaman lokal (daerah/masyarakat) yang terlihat pada aspirasi politik, struktur sosial, dan potensi ekonomi diperhatikan dalam pengelolaan negara melalui pelimpahan kewenangan
40
Ibid., hlm. 101-109.
32
pembuatan kebijakan (mengatur) dan penerapannya (mengurus) ke unit-unit pemerintahan lokal yang lebih mengenal kondisi daerah atau masyarakatnya. Namun, dalam negara unitaris, meskipun relasi antara Pusat dan Daerah tersebut berpola antarorganisasi, tidak ada dikotomi antara desentralisasi dan sentralisasi, melainkan terajut hubungan sebagai satu kesatuan/kontinum. Robert Endi Jaweng menyatakan:41 “Dalam hal kewenangan, terjemahan prinsip desentralisasi pada negara unitaris ini dijabarkan bahwa (1) selalu ada urusan yang sepenuhnya diselenggarakan Pusat (urusan ekslusif); (2) terdapat sejumlah urusan atau bagian urusan atau kegiatan dalam suatu urusan yang dapat didesentralisasi, tetapi sifatnya tidaklah mutlak/ekslusif diselenggarakan daerah lantaran ada irisan yang menjadi bagian kewenangan pusat (setidaknya terkait penetapan kebijakan nasional pada masing-masing urusan tersebut).”
Terkait dengan sumber kewenangan, setelah membentuk daerah otonom maka Pemerintah Pusat sebagai sumber kewenangan lalu melakukan penyerahan wewenang kepada daerah terbentuk, baik secara bersama-sama dengan daerah lain maupun secara sendiri. Pada konsep desentralisasi, materi wewenang yang diserahkan melingkup wewenang menetapkan kebijakan (policy making) maupun melaksanakan
(policy
implementation).
Sementara
pada
dekonsentrasi
(penghalusan sentralisasi), yang terjadi adalah proses pelimpahan wewenang dengan
lingkup
materinya
sebatas
wewenang
melaksanakan
kebijakan
(administratif). Perbedaan di antara keduanya adalah dari segi konsekuensinya. Untuk desentralisasi, wewenang yang diserahkan menjadi wewenang dan tangung
41
Robert Endi Jaweng, 2004, Pasang-Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun di Indonesia, ILD dan Yayasan Tifa, Jakarta, hlm. 197-213.
33
jawab daerah sepenuhnya. Sementara pada konsep dekonsentrasi, wewenang yang dilimpahkan
tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Di samping
desentralisasi dan dekonsentrasi, masih ada tugas pembantuan sebagai salah satu bentuk penyerahan kewenangan. Berdasarkan prinsip tugas pembantuan, pemerintah menetapkan kebijakan makro sedangkan daerah otonom membuat kebijakan mikro beserta implementasinya.42 Hubungan
kewenangan
bertalian
dengan
cara
pembagian
urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas jika: Pertama, urusan-urusan
rumah
tangga
daerah
ditentukan
secara
kategoris
dan
pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua, apabila sistem supervisi kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengurus dan mengatur rumah tangga daerahnya. Ketiga, sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menyebabkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.43 2. Hubungan Keuangan Hubungan keuangan antara pusat dan daerah tidak terlepas dari aspek keuangan negara. Menurut M. Hadi, keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan 42
Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm. 14.
43
Ibid., hlm. 15.
34
pelaksanaan hak dan kewajiban dimaksud.44 R.A Musgrave memberikan definisi keuangan negara sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penerimaan dan pengeluaran negara.45 Berkaitan dengan hubungan keuangan pusat dan daerah, persoalan yang sering muncul adalah terbatasnya jumlah uang yang dimiliki oleh daerah, sementara pemerintah pusat cenderung memiliki dana yang melimpah. Dengan demikian, substansi dari hubungan keuangan pusat dan daerah pada hakikatnya adalah mengenai perimbangan keuangan. Pengertian dari perimbangan keuangan di sini adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, transparan, dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. 3. Hubungan Pengawasan Pengawasan sebagai salah satu fungsi organik manajemen merupakan proses kegiatan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan, sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijaksanaan, instruksi dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan 44
M. Hadi, 1972, Administrasi Keuangan RI, Institut Ilmu Keuangan, Jakarta, hlm. 2.
45
A. Husein, 1983, Pokok-Pokok Anggaran Negara, Eko Jaya, Jakarta, hlm. 5.
35
kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi. Dapat dikatakan bahwa pengawasan terhadap pemerintah daerah merupakan konsekuensi logis dari konsep negara kesatuan. Oleh karena pada negara kesatuan, tidak ada bagian yang lepas dari atau sejajar dengan negara, tidak mungkin pula ada negara di dalam negara. Ditinjau dari hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pengawasan merupakan pengikat kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan (unitary): “… if local autonomy is not to produce a state of affairs bordering on anarchy, it must subordinated to national interest by means devised to keep its actions within bounds”. Jika pengikat tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan desentralisasi akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal itu terjadi, pengawasan bukan lagi merupakan satu sisi dari desentralisasi tetapi menjadi pembelenggu desentralisasi. Untuk itu, pengawasan harus disertai pembatasan-pembatasan.
Pembatasan-pembatasan
tersebut
akan
mencakup
pembatasan macam atau bentuk pengawasan, yang sekaligus mengandung pembatasan tata cara menyelenggarakan pengawasan, dan pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan.46 4. Hubungan Susunan Organisasi Pemerintahan Pada konsep negara kesatuan yang desentralistik, susunan organisasi pemerintahan daerah akan memberikan pengaruh terhadap hubungan pusat dan daerah. Hal ini disebabkan karena susunan organisasi pemerintahan daerah di 46
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 181.
36
samping mengandung segi susunan luar (external structure)47 juga susunan dalam (internal structure)48. Cara penunjukkan, kedudukan, fungsi, hubungan dengan alat kelengkapan pemerintahan daerah lain dan hubungan dengan pemerintah daerah tingkat atas merupakan indikator, tempat ke arah mana pemerintah daerah sedang bergerak. Dalam kerangka hubungan antara pusat dan daerah, indikator tersebut menjadi petunjuk apakah pemerintahan daerah berada dan cenderung ke desentralisasi atau ke sentralisasi.49 Pengaruh susunan organisasi pemerintahan di daerah terhadap hubungan pusat dan daerah terlihat dari peran dan fungsi masing-masing susunan atau tingkatan dalam penyelenggaraan otonomi. Artinya, peran dan fungsi tersebut dapat ditentukan oleh pelaksanaan titik berat otonomi yang dijalankan. Pengaturan dan pelaksanaan titik berat otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) sistem rumah tangga daerah; 2) ruang lingkup urusan pemerintahan; dan 3) sifat dan kualitas suatu urusan.50 Sistem rumah tangga daerah berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Sedangkan ruang lingkup urusan pemerintahan tidak dapat diidentifikasikan secara kuantitatif, urusan tersebut akan selalu dinamis dan terbuka. Urusan yang pada saat tertentu adalah urusan rumah tangga daerah dapat 47
Susunan luar menyangkut badan-badan pemerintahan (publieklichaan) tingkat daerah, seperti Daerah Tingkat I atau Daerah Tingkat II. Lihat Muhammad Fauzan, Op. Cit., hlm. 103. 48
Susunan dalam adalah mengenai alat-alat kelengkapan (organ) pemerintahan daerah, seperti DPRD dan Kepala Daerah. Lihat Ibid. 49
Bagir Manan, Hubungan..., Op. Cit., hlm. 199.
50
Muhammad Fauzan, Op. Cit., hlm. 107.
37
serta merta berubah menjadi urusan pusat. Oleh karena itu, untuk membedakan urusan pusat dan daerah dapat dilakukan melalui pendekatan fungsi. Daerah memiliki fungsi utama dalam bidang pelayanan konkret terhadap masyarakat sehingga urusan-urusan yang berkaitan dengan hal tersebut menjadi urusan daerah sedangkan pusat untuk urusan-urusan lainnya.51 Terkait sifat dan kualitas suatu urusan, dalam penentuannya agar memperhatikan tingkat kebutuhan, aspirasi, dan keinginan masyarakat daerah. Artinya, pemerintah pusat harus bersifat responsif terhadap dinamisasi perkembangan masyarakat daerah sekaligus pemerintahan daerah.
C.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Seperti yang telah dikemukakan di awal, dalam negara kesatuan terdapat
hubungan kewenangan antara pusat dan daerah yang bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Keduanya mencerminkan suatu bentuk otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah muncul karena adanya keyakinan bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselesaikan oleh pemerintah pusat saja. Hal ini disebabkan karena ada beberapa urusan yang dianggap lebih efektif apabila dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dengan adanya otonomi daerah, diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan secara optimal. Secara gramatikal, otonomi berasal dari kata auto yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti pemerintahan. Sehingga otonomi adalah pemerintahan sendiri
51
Bagir Manan, Hubungan..., Op. Cit., hlm. 195.
38
(zelfregering).52 Menurut Bagir Manan,
otonomi daerah berarti kemandirian
untuk mengatur dan mengurus urusan (rumah tangga) sendiri. Meskipun otonomi daerah dimaknai demikian namun dalam pelaksanaannya tetap harus berada dalam batas-batas yang ditetapkan dan tidak boleh melampaui kewenangan pemerintah pusat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bagir Manan:53 “Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi daerah bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid independency). Kebebasan dan kemandirian itu adalah dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata negara, khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan (unitary state-eenheid staat). Otonomi daerah adalah fenomena negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materi) otonomi adalah pengertian dan isi negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi.”
Pendapat serupa disampaikan oleh Sarundajang, bahwa daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar batas-batas wilayah daerahnya. Artinya, daerah tidak dapat mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya. Sehingga hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.54 Ditinjau dari mekanisme pemberian otonomi daerah pada konsep negara kesatuan, otonomi diberikan oleh pemerintah pusat sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Konstelasi ini
52
Sarundajang, 2002, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 33. 53
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISKA, Karawang, hlm.
54
Sarundajang, Op. Cit.
2.
39
mengarahkan pada kecenderungan kewenangan yang besar berada di pusat sehingga otonomi daerah sangat bergantung dari political will pemerintah pusat. Sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Juanda menjabarkan bahwa:55 “Tata cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, yang disebut dengan sistem rumah tangga, terbagi menjadi 5 jenis yaitu: 1. Sistem Rumah Tangga Formal Dalam sistem ini, apa yang menjadi urusan otonomi tidak dibatasi secara rinci. Artinya, daerah otonom diberikan kebebasan untuk mengatur urusan rumah tangganya sepanjang tidak memasuki urusan yang menjadi kewenangan pusat. 2. Sistem Rumah Tangga Material Kewenangan daerah otonom dibatasi secara rinci dan tegas. Urusan pemerintahan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga daerah dianggap berbeda secara material dengan urusan yang masuk kewenangan pusat. 3. Sistem Rumah Tangga Nyata atau Riil Sistem ini merupakan gabungan dari sistem rumah tangga formal dan material, di mana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang secara nyata dapat ditangani sendiri. Penyerahan kewenangan ini didasarkan kepada kebutuhan, keadaan, dan kemampuan daerah. 4. Sistem Rumah Tangga Organik Dalam sistem ini, urusan-urusan yang menyangkut kepentingan daerah diibaratkan sebagai organ-organ kehidupan, yang menentukan hidup dan matinya daerah otonom. 5. Sistem Rumah Tangga Nyata, Bertanggung jawab, dan Dinamis Sistem ini menghendaki penyerahan kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan kepada daerah dilakukan sesuai dengan apa yang secara nyata dapat diselenggarakan oleh daerah otonom; sejalan dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan hingga ke pelosok daerah; dan senantiasa menjadi sarana untuk memberikan dorongan lebih baik dan maju bagi daerah otonom.”
Desentralisasi dan otonomi daerah dalam praktiknya sering ditukarpakaikan. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Makna desentralisasi 55
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah:Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, hlm. 129.
40
bersentuhan dengan ‘proses’, dalam arti pembentukan daerah otonom dan disertai/diikuti penyerahan kewenangan (urusan pemerintahan) dan untuk itu harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan otonomi bersentuhan dengan isi, akibat dan hasil dari proses pembentukan daerah otonom, di mana pembentukan daerah otonomi berarti pembentukan organisasi penyelenggara otonomi atau pemerintahan daerah. Dilihat dari sisi pemerintah pusat, yang berlangsung adalah penyelenggaraan desentralisasi dalam organisasi negara Indonesia, sedangkan dilihat dari masyarakat, yang terjadi adalah otonomi daerah. Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, ‘de’ yang berarti lepas dan ‘centrum’ yang berarti pusat. Oleh karena itu, desentralisasi berarti melepaskan dari pusat. Dalam Encyclopedia of the Social Science disebut bahwa “the proces of decentralization denotes the transference of authority, legislative, judicial or administrative, from higher level of government to a lower.”56 Dari segi bentuk, desentralisasi mencakup otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Philip Mawhod mengartikan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Sementara itu,
Irawan Soejito mendefinisikan
desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan untuk dilaksanakan. Dari aspek politik, sebagaimana disampaikan oleh Bhenyamin Hoessein, Parson 56
Victor M. Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 38.
41
mendefinisikan desentralisasi sebagai “sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each having authority a specefic area of the state”. Sedangkan Koswara menyatakan bahwa melalui proses desentralisasi, urusan-urusan
pemerintahan
yang
semula
termasuk
wewenang
dan
tanggungjawab pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada badan/lembaga pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah.57 Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang selalu dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintahan lokal (local government), di mana terjadi “... a ‘superior’ government assigns responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit thas is assumed to have some degree of authority”.58 Sedangkan sentralisasi menghasilkan pemerintahan terpusat, di mana seluruh urusan pemerintahan menjadi kewenangan pusat. Dari beberapa pengertian desentralisasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban dan tanggungjawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah ke daerah sehingga daerah itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam masalah-masalah pengelolaan pembangunan. Desentralisasi menjadi solusi kelembagaan atas sistem-sistem yang secara politik atau ekonomi tidak dapat berfungsi dengan baik karena otoritas politik yang terlalu terpusat. B.C. Smith menyatakan bahwa kebutuhan desentralisasi merupakan hal yang universal, “the need for some of decentralization appears to 57
Juanda, Op. Cit., hlm. 116.
58
Ibid., hlm. 123.
42
universal. Even the smallest states have some kind of local government with some degree of autonomy”, sedangkan Hubert J.B. Allen menyatakan bahwa desentralisasi dapat menjadi alat yang efektif dalam meningkatkan pembangunan sosial dan ekonomi. Desentralisasi juga dapat meningkatkan solidaritas nasional, bukannya menghasilkan gerakan disintegratif atau separatif. Desentralisasi dalam sistem administrasi negara memiliki tujuan, diantaranya adalah untuk mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil bidang pemerintahan di tingkat lokal; meningkatkan dukungan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan lokal; melatih masyarakat untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri; serta mempercepat bidang pelayanan umum pemerintahan kepada masyarakat.59 Desain desentralisasi terbagi atas desentralisasi simetris dan desentralisasi asimetris. Model desentralisasi simetris/biasa ditandai kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah dengan sistem politik nasional, pemerintah pusat maupun antardaerah. Model desentralisasi asimetris dengan ciri sebaliknya, artinya suatu daerah khusus/istimewa memiliki pola hubungan berbeda dan tak lazim terjadi di daerah-daerah lain, utamanya hal ihwal relasi dengan pusat, relasi dengan daerah sekitar, dan pengaturan internal daerah itu sendiri. Pada konsep desentralisasi secara umum, kehadiran desentralisasi asimetris didasarkan atas pertimbangan bahwa suatu negara semestinya memiliki kerangka administrasi yang mampu mengelola segala keragaman lokalnya, baik yang tercermin pada variasi latar sosial-budaya, potensi ekonomi, kebutuhan
59
Ibid.
43
administrasi hingga yang terekspresikan dalam tuntutan politik tertentu. Meskipun sebagian pakar berpendapat bahwa otonomi itu sendiri sudah mengandung makna kekhususan, tetapi tingginya tingkat keragaman kondisi lokal tetap memerlukan format pengaturan desentralisasi yang tidak berlandasakan desain kebijakan tunggal (one size fits all).60 Selain itu, desain desentralisasi asimetris ini dapat pula dilatarbelakangi karena beberapa alasan tertentu, misalnya adanya konflik yang mengancam integrasi bangsa serta adanya alasan sejarah. Dalam konsep desentralisasi asimetris, kewenangan dinilai sebagai muatan esensial dalam bangunan kekhususan/keistimewan suatu daerah khusus/istimewa. Sebagaimana ditulis Adeney bahwa ”there are many different definitions of what asymmetry is but points out that it has been used in recent years to refer to the asymmetrical distribution of powers”. Dari segi hubungan kewenangan maka kewenangan khusus/istimewa yang dimiliki oleh daerah pada gilirannya akan mempengaruhi pola khusus dalam hubungan suatu daerah khusus/istimewa dengan daerah-daerah lainnya maupun dengan pemerintah pusat.61 Menurut Lay, ciri sekaligus implikasi penting dari berlakunya desentralisasi asimetris adalah perluasan kewenangan daerah berkenaan sejumlah isu tertentu yang pada gilirannya mengubah secara fundamental hubungan kewenangan antar unit politik/pemerintahan maupun pola pengawasan pusat atas daerah tersebut.
60
Robertus Na Endi Jaweng, 2012, Analisis Kewenangan Khusus Jakarta Sebagai Ibukota Negara Dalam Konteks Desentralisasi di Indonesia, Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 19. 61
Ibid., hlm. 31.
44
Berkaitan dengan hal tersebut, Andy Ramses menekankan keberadaan kewenangan khusus ini dalam substansi kekhususan suatu daerah:62 ”Kewenangan khusus merupakan bagian yang harus ada dalam otonomi khusus. Otonomi khusus lahir karena alasan-alasan khusus, dan kewenangan khusus merupakan representasi alasan-alsan khusus lahirnya pemerintahan khusus. Dengan kata lain, otonomi khusus harus diikuti kewenangan khusus. Kewenangan khusus itu dapat menjadi dasar pembentukan kelembagaan dan tata pemerintahan yang juga bersifat khusus”.
Dengan demikian, kewenangan khusus dalam desentralisasi asimetris patut dipertimbangkan
sebagai
dasar
bagi
penyusunan
basis
dan
substansi
kekhususan/keistimewaan suatu daerah otonom. Sementara terkait pembentukan elemen-elemen lain penyelenggaraan pemerintahan, kewenangan khusus juga berkedudukan
sebagai
dasar
bagi
desain
kelembagaan
(bentuk-susunan
pemerintahan), arsitektur keuangan/pembiayaan (dana khusus) dengan mengikuti asas money follows function, serta relasi daerah asimetris tersebut dengan unitunit pemerintahan lain (secara horizontal dengan daerah-daerah sekitarnya maupun relasi vertikal dengan pemerintah pusat).63
D.
Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Van Apeldoorn menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah pembentukan arah kehidupan masyarakat untuk mengatur dan menata segala hubungan masyarakat. Dengan demikian, diperlukan pengetahuan 62
Andy Ramses Marpaung, 2009, Pemerintahan Daerah di Indonesia, MIPI, Jakarta, hlm.
63
Robertus Na Endi Jaweng, Op. Cit., hlm. 32.
98.
45
hubungan-hubungan itu dan harus ditunjang berbagai ilmu sosial seperti ekonomi, perbandingan hukum, psikologi sosial, dan sejarah agar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat melahirkan peraturan yang sebaik-baiknya.64 Peraturan perundang-undangan dikatakan baik (good legislation), sah menurut hukum (legal validity), dan berlaku efektif jika peraturan perundang-undangan tersebut diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang lama. Hal ini dapat dicapai apabila peraturan perundang-undangan yang dibentuk didasarkan pada landasan-landasan tertentu, seperti yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis:65 “...tiga landasan pembentukan perundang-undangan, yaitu: 1. Landasan filosofis: dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Misalnya: Pancasila menjadi dasar filsafat pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. 2. Landasan yuridis: ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtsground) bagi pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis dibagi menjadi dua yaitu: a. Landasan yuridis dari segi formil, yang memberikan kewenangan (bevoegheid) bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu. Misalnya: Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menjadi dasar bagi pembentukan Peraturan Daerah. b. Landasan yuridis dari segi materiil, yang dari segi isi (materi) menjadi dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu. Misalnya: Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan yuridis dari segi materiil untuk membentuk Undang-Undang mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 3. Landasan politis: garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara.”
64
65
Van Apeldoorn, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 390.
M. Solly Lubis, 1998, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 7-8.
46
Menurut I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a:66 “Landasan yang harus dimiliki dalam pembentukan peraturan perundangundangan yaitu: 1. Landasan filosofis (filosofische grondslag, filosofische gelding), di mana rumusan atau norma dalam peraturan perundang-undangan harus memiliki pembenaran (rechtvaardiging) apabila dikaji secara filosofis. 2. Landasan sosiologis (sosiologische grondslag, sociologische gelding), di mana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. 3. Landasan yuridis (juridische grondslag, juridische gelding), di mana peraturan perundang-undangan tersebut lahir karena ada dasar hukumnya (rechtgrond). 4. Landasan politis (politische grondslag, politisce gelding), di mana peraturan perundang-undangan harus sejalan dengan garis politis yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. 5. Landasan ekonomis (economische grondslad, economische gelding), yang mana landasan ini bisa ada kalau materi muatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah yang berkaitan dengan perekonomian.”
Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa:67 “...suatu peraturan perundang-undangan yang baik setidaknya didasarkan pada tiga hal, yakni: 1. Dasar Yuridis (juridishe gelding) yang menyangkut tiga aspek: a. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundangundangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya: undang-undang dalam arti formal (wet in formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang tidak merupakan produk besama antara Presiden dan DPR adalah batal demi hukum.
66
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangundangan, PT. Alumni, Bandung, hlm. 78. 67
Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill. Co., Jakarta, hlm. 13-18.
47
b. Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Ketidaksesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya: kalau UUD NRI Tahun 1945 atau undang-undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan undangundang, maka hanya dalam bentuk undang-undang hal itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden, maka Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar). c. Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Misalnya: Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa (mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Dalam undang-undang tentang pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan, maka undangundang tersebut belum mengikat. d. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan undangundang dasar. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perndang-undangan tingkat lebih bawah. 2. Dasar Sosiologis (sociologische gelding) yakni mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya harus sesuai dengan kenyataankenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya. 3. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata hukum (rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan, dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya. Semuanya ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilainilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat
48
menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teoriteori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.”
Selain harus memiliki landasan yang kuat, pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus memperhatikan asas-asas yang menjadi pedoman atau rambu-rambu sehingga dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik.68 Paul Scholten melihat pentingnya asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah untuk dapat melihat benang merah dari sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti:69 “...meskipun secara teori, asas-asas hukum bukanlah aturan hukum (rechtsregel) namun asas hukum memiliki fungsi yang penting, yaitu: 1. Sebagai patokan dalam pembentukan dan/atau pengujian norma hukum; 2. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman terhadap hukum; dan 3. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau bangsa tertentu dalam memandang perilaku.”
Van der Vlies menjelaskan bahwa:70 “Asas hukum dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan terbagi menjadi dua yaitu: 1. Asas formal, meliputi: a. Asas tujuan yang jelas (het beginsel van duidelijke doelstelling) b. Asas organ atau lembaga yang tepat (het beginsel van het juiste orgaan) 68
Maria Farida Indrati S, 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 252. 69
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op. Cit., hlm. 83.
70
Ibid.
49
c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijke beginsel) d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) e. Asas konsensus (het beginsel van consensus) 2. Asas materiil, meliputi: a. Asas terminologi dan sistematika yang jelas (het beginsel van duielijke en duidelijke systematiek) b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid) c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkerheidsbeginsel) d. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel) e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).”
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memaparkan enam asas perundangundangan, yaitu:71 “1) Undang-Undang tidak berlaku surut; 2) Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (lex superiori derogat lex imperiori); 3) UndangUndang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis); 4) Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogat lex priori); 5) Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat; 6) Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).”
71
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7-12.
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Sifat Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.72 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Berbeda dengan penelitian sosial, pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah yang dilakukan dalam praktik hukum.73
B.
Bentuk Data
Bentuk Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Pustaka terdiri dari : a.
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang menjadi sumber utama dan mempunyai kekuatan mengikat74. Dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum primer antara lain: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 72
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13-14. 73
Maria S.W. Sumardjono, 2011, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 23. 74
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 52.
50
51
2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta; 3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. b.
Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini berupa literatur di bidang hukum,75 antara lain: 1) Buku-buku yang membahas tentang desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintahan daerah, serta hubungan antara pusat dan daerah, misalnya buku yang berjudul “Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia” yang disusun oleh The Liang Gie dan buku “Daerah Istimewa Yogyakarta: Dalam Perdebatan Konstitusi
75
Ibid.
52
dan Perundang-undangan di Indonesia” yang disusun oleh Ni’matul Huda. 2) Makalah, jurnal-jurnal ilmiah dan artikel yang berkaitan dengan objek penelitian, misalnya makalah yang berjudul “Mempertimbangkan Perubahan ke Arah Bentuk Negara Persatuan Republik Indonesia” yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie pada Simposium Hukum 2000 ILUNI-FH, “Masalah Keadilan Sosial dan Disintegrasi Bangsa,” Reog Room, Hotel Indonesia, 4 Maret 2000. c.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.76 Bahan hukum tersier yang digunakan antara lain: 1) Kamus Hukum, yaitu Black’s Law Dictionary; 2) Kamus Besar Bahasa
Indonesia,
yang disusun oleh Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. 2. Data Lapangan Menurut Maria S.W. Sumardjono, data lapangan (data primer) adalah data yang diperoleh dari sumbernya. Data lapangan diperoleh dari penelitian lapangan. Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan secara langsung di lokasi penelitian guna memperoleh data yang diperlukan serta berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.77 Untuk data lapangan yang digunakan dalam penelitian ini
76
Ibid.
77
Maria S.W. Soemardjono, Op.Cit., hlm. 26.
53
adalah informasi dari narasumber yang membuat suatu kebijakan atau terlibat dalam pembuatan suatu kebijakan. Adapun yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah: a) Bapak Sumadi, S.H., M.H., selaku mantan Kepala Biro Hukum yang pada saat itu terlibat dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah DIY tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum; b) Bapak Haris Suhartono, S.H., selaku Kepala Subbagian Peraturan Daerah Biro Hukum Setda DIY; c) Bapak Riyanta, A.Md., selaku staf pada Subbagian Legislasi Sekretariat DPRD DIY. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah lokasi tempat dilakukan penelitian yang dilakukan secara langsung guna memperoleh data yang diperlukan serta berkaitan dengan masalah yang diteliti: a. Untuk memperoleh data pustaka, penelitian ini dilakukan di: 1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; 2) Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada; dan 3) Perpustakan Biro Hukum Setda DIY. b. Untuk memperoleh data lapangan, penelitian ini dilakukan di Biro Hukum Setda DIY dan Sekretariat DPRD DIY.
54
C.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data78
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Studi Dokumen Untuk pengumpulan data pustaka dilakukan dengan cara inventarisasi yaitu mengumpulkan data hasil penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian dilakukan dengan cara mempelajari berbagai buku, dokumen, artikel dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian. 2. Komunikasi Langsung Walaupun penelitian ini bersifat normatif, penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data yang lain yaitu komunikasi langsung. Alat pengumpul data yang digunakan adalah sistem wawancara tak terstruktur (non direct interview), yaitu suatu teknik wawancara yang tidak didasarkan pada daftar pertanyaan yang sudah disusun lebih dahulu secara rinci,79 tetapi berupa pedoman yang hanya memuat garis besar wawancara dibantu dengan alat tulis dan media rekam.
D.
Analisis Data Data dari studi dokumen terhadap bahan-bahan primer, sekunder dan
tersier yang didukung data primer dari hasil wawancara, dianalisis dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif yakni80:
78
Ibid., hlm. 28.
79
Soemitro, 1999, Metode Penelitian Hukum dan Jumimetri, Balai Aksara, Yogyakarta,
hlm. 96. 80
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op.Cit., hlm 251.
55
1. Metode analisis kualitatif Metode yang menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian yang bersifat uraian-uraian teori dan pandangan ataupun argumentasi hukum dari orang-orang yang berkompeten untuk memperoleh kesimpulan yang sistematis dan komprehensif sesuai dengan permasalahan yang diangkat peneliti. 2. Deskriptif Menganalisis data yang diperoleh kemudian dielaborasi secara komprehensif dan dianalisis secara cermat, sistematis dengan tetap memperhatikan otentifikasi data dan signifikasi korelasi dengan permasalahan yang dikaji. Berdasarkan analisis tersebut diharapkan memperoleh gambaran menyeluruh mengenai asasasas hukum, prinsip-prinsip hukum dan ketentuan hukum yang berhubungan dengan konsep desentralisasi asimetris yang diterapkan di DIY.
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pengaturan Mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Satuan Pemerintahan Daerah yang Bersifat Istimewa Berbicara mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta tentu tidak bisa
dilepaskan dari sejarah pembentukannya, proses bergabungnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, hingga pola pengaturannya. Berikut akan dibahas pengaturan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dimulai sejak masa penjajahan Hindia Belanda hingga masa sekarang. 1.
Penjajahan Hindia Belanda Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman adalah dua kerajaan
yang telah memerintah di Yogyakarta jauh sebelum Indonesia merdeka. Kasultanan Yogyakarta lahir akibat adanya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755, di mana Kerajaan Mataram saat itu dibagi menjadi dua (palihan nagari). Sebagian kerajaan ini tetap dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang bertahta di Surakarta, dan sebagian lagi diperintah oleh Mangkubumi yang menjadi raja baru. Kerajaan yang baru itu kemudian diberi nama Kasultanan Yogyakarta dan Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja pertama yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.81 Sedangkan Kadipaten Paku Alaman atau Negeri Pakualaman atau Praja Pakualaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika 81
Djoko Marihandono, “Sultan Hamengku Buwono II: Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa”, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 12, Juli 2008, halm. 28.
57
Pangeran Notokusumo (putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan Selir Srenggorowati) dinobatkan oleh Gubernur Jenderal Sir Thomas Raffles (Gubernur Jenderal Britania Raya yang memerintah saat itu) sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I (Sri Paku Alam I).82 Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman di zaman penjajahan Belanda merupakan kerajaan yang “berpemerintahan sendiri”, yang dikenal dengan sebutan de vorstenlanden (di samping Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran). Kedudukan dan wewenang kerajaan-kerajaan tersebut tidak diatur dengan undang-undang melainkan ditentukan dengan kontrak politik yang diperbarui setiap kali terjadi pergantian raja. Pada intinya, isi dari kontrak politik itu adalah Belanda mengakui berdirinya kerajaan-kerajaan itu beserta haknya berpemerintahan sendiri, yang disebut dengan zelfbesturende landschappen.83 Kontrak politik antara Kasultanan Yogyakarta dengan Pemerintah Belanda, serta antara Kadipaten Paku Alaman dengan Pemerintah Belanda setidaknya telah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1877, 1921, dan 1940. Kontrak politik terakhir Kasultanan Yogyakarta tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47,
sedangkan
kontrak
politik
Kadipaten
Pakualaman
terakhir
diatur
82
Abdurrachman Surjomiharjo, 2008, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe (Sejarah Sosial 1880-1930), Komunitas Bambu, Jakarta, hlm. 19. 83
Ni’matul Huda, 2014, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI: Kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan Otonomi Khusus, Nusa Media, Bandung, hlm. 117. Lihat juga dalam The Liang Gie, 1993, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid I, Liberty, Yogyakarta, hlm. 63, dan dalam Soedarisman Poerwokoesoemo, 1984, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, hlm. 25.
58
dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.84 Pasal 1 Staatsblaas 1941 Nomor 47 menyebutkan bahwa Kasultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda sehingga berada di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal, dan kekuasaan atas Kasultanan Yogyakarta diselenggarakan oleh seorang Sultan yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Kasultanan juga memiliki hak untuk memerintah sendiri85yang tunduk pada pembatasanpembatasan yang diatur dalam kontrak politik. Sultan secara langsung dan pribadi akan turut serta dalam menjalankan pemerintahan atas Kasultanan86 dan untuk itu akan secara teratur melakukan perundingan-perundingan dengan Gubernur Yogyakarta. Dalam menjalankan kekuasaanya atas Kasultanan maka Sultan dibantu oleh seorang Pepatih Dalem yang, setelah mendengar pertimbanganpertimbangan Sultan, diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Pejabat tinggi ini dalam melaksanakan tugas-tugasnya bertanggung jawab, baik kepada Pemerintah Hindia Belanda maupun kepada Kasultanan.87
84
Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, diakses dari http://portal.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=48:sejarah&catid= 38:profil-pemerintah&Itemid=210, pada tanggal 23 Oktober 2014. 85
Hak untuk memerintah sendiri tidak meliputi hal-hal yang pada saat itu berdasarkan kontrak politik, kebiasaan ataupun ketentuan pemerintahan tertinggi, diatur oleh Negara --- kecuali jika dalam kontrak politik menyatakan sebaliknya --- dan tidak pula meliputi apa yang disebutkan pada lampiran Staatsblaad Tahun 1941 Nomor 47 (antara lain bidang pertahanan negeri, urusan keuangan, pengawasan atas media cetak, lalu lintas di darat, laut, dan udara). Lihat Pasal 21 Kontrak Politik tanggal 18 Maret 1940, yang tertuang dalam Staatsblaad Tahun 1941 Nomor 47. 86
Termasuk di dalamnya adalah Sultan menetapkan peraturan-peraturan yang dianggapnya perlu demi kepentingan Kasultanan, sejauh dalam pelaksanaannya itu diperlukan kerja sama dari pihak Sultan. Pengaturan mengenai sesuatu hal berdasarkan wewenang yang ada padanya (Sultan) atau yang diberikan kepadanya, maka terhadap peraturan yang telah ada karena atau berdasarkan peraturan umum ataupun peraturan atau ketentuan kepolisian mengenai hal yang sama menjadi batal. Lihat Pasal 24, Ibid. 87
Pasal 13 jo. Pasal 18, Ibid.
59
2.
Penjajahan Jepang Pada tanggal 1 Agustus 1942, Sultan Hamengku Buwono IX dilantik untuk
kedua kalinya menjadi Sultan Yogyakarta, kali ini oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang dan dilakukan di Jakarta. Sultan menerima wewenang Kasultanan dari bala tentara Dai Nippon untuk mengurus pemerintahan Kasultanan yang saat itu dinamakan Kochi (Daerah Istimewa).88 Ini terbukti dengan adanya Surat Perintah dari Panglima Besar Tentara yang dikeluarkan pada tanggal 1 Agustus 1942 yang berisi antara lain sebagai berikut:89 “a. Dai Nippon Gun Seireikan (Panglima Besar Balatentara Dai Nippon) mengangkat Hamengku Buwono IX menjadi “Ko” (Sultan) Yogyakarta; b. Ko turut di bawah Dai Nippon Gun Seireikan serta hak mengurus pemerintahan “Kochi” menurut Pemerintah Dai Nippon Gun Seireikan; c. Daerah Kochi adalah Daerah Kasultanan Yogyakarta dahulu; d. Segala hak-hak istimewa yang dahulu dipegang oleh Ko pada asasnya diperkenankan seperti sediakala; e. Terhadap Dai Nippon Gun Seireikan, Ko wajib mengurus segala pemerintahan Kochi agar memajukan kemakmuran penduduk Kochi umumnya; f. Badan-badan pemerintahan Kochi yang dahulu, buat sementara waktu harus meneruskan pekerjaanya seperti sediakala, kecuali kalau menerima perintah yang ditetapkan teristimewa; g. Untuk mengawasi dan memimpin pemerintahan Kochi diadakan “Kontizimukyoku” (Kantor Urusan Kasultanan) di Kochi oleh Dai Nippon Gun Seireikan. Kontizimukyoku Tyokan (Pembesar Kantor Urusan Kasultanan) diangkat oleh Dai Nippon Gun Seireikan; h. Selain daripada itu, aturan-aturan untuk mengurus pemerintahan Kochi ditunjukkan oleh Gunseikan (Pembesar Pemerintahan Balatentara Dai Nippon) atas nama Dai Nippon Gun Seireikan.”
88
Mohammad Roem, dkk., 2011, Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, PT. Gramedia, Cetakan Ketiga, Jakarta, hlm. 55. 89
Ni’matul Huda, 2013, Daerah Istimewa Yogyakarta: Dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-undangan di Indonesia, Nusa Media, Bandung, hlm. 138-139, sebagaimana mengutip dari Soedarisman Poerwokoesoemo, Op. Cit., hlm. 5-7.
60
Beberapa petunjuk dasar untuk pengurusan Kochi itu diberikan oleh kepala pemerintahan yang disebut Gunseikan (kepala pemerintah militer yang dijabat oleh kepala staf tentara).90 Di dalam petunjuk itu antara lain menyebutkan bahwa Ko diangkat atau dipecat oleh Dai Nippon Gun Seireikan. Somutyookan atau Pepatih Dalem diangkat oleh Gun Seireikan dari antara pegawai Ko dan fungsinya membantu Ko. Berbeda dengan Kontrak Politik pada zaman Hindia Belanda, petunjuk itu tidak mengatur pertanggungjawaban Pepatih Dalem yang bersifat ambivalen. Petunjuk itu hanya menegaskan Somutyookan diadakan untuk membantu Sultan dalam menjalankan perintahnya, dia harus bekerja sama dengan Kooti Zimu Kyoku Tyookan atau Pembesar Kantor Urusan Kasultanan, pengawas pemerintahan umum di Yogyakarta. Meskipun masih tetap di bawah pengawasan Pemerintah Jepang, Sultan setidak-tidaknya dapat memusatkan kekuasaan di tangannya dan Pepatih Dalem sungguh-sungguh menjadi pelaksana perintah Sultan. Ini berarti Sultan memegang kekuasaan Pemerintahan Keraton dan Pemerintahan Nagari dalam satu tangan.91 3.
Pemerintahan Negara Indonesia
a.
Masa UUD NRI Tahun 1945 Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Paku Alaman pada dasarnya adalah daerah yang berpemerintahan sendiri. Keduanya diakui keberadaannya, baik oleh penjajah Belanda maupun Jepang. Saat Indonesia memproklamasikan dirinya menjadi sebuah negara yang berdaulat, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman kemudian 90
Mohammad Roem, dkk., Loc. Cit.
91
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Loc. Cit.
61
menyatakan bergabung ke dalam Republik Indonesia melalui proses integrasi. Berbeda dengan penguasa Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran yang bimbang, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII justru mendukung berdirinya Republik Indonesia dan bergabung dengan Republik Indonesia. Pilihan politik ini memiliki akar panjang yang melekat pada sejarah perjuangan rakyat Yogyakarta. Saat era pergolakan fisik menghadapi Belanda, penggabungan wilayah Yogyakarta ke dalam NKRI ini menjadi simbol bahwa Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII telah berdiri di belakang Soekarno-Hatta.92 Merujuk pada pendapat sejarawan Australia Anthony Reid, hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan Republik Indonesia di tahun 1945 merupakan hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Kerelaan bergabungnya Yogyakarta dengan Republik Indonesia sangat menguntungkan Yogyakarta karena kelangsungan kerajaan tersebut mendapat perlindungan dari Negara RI (termasuk perlindungan dari ancaman revolusi sosial anti feodalisme yang marak di masa revolusi). Di pihak lain, Negara RI yang belum mempunyai wilayah yang jelas pada 17 Agustus 1945, diuntungkan oleh bergabungnya
92
Bergabungnya Yogyakarta menjadi bagian dari wilayah NKRI merupakan bukti dari pernyataan yang disampaikan Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 20 Agustus 1945 dalam kedudukannya sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta yang menyatakan “sanggup berdiri di belakang pimpinan” mereka. Pernyataan ini diikuti oleh pernyataan dan cara yang sama dari Paku Alam VIII. Sebelumnya, pada tanggal 18 Agustus 1945 kedua penguasa di Yogyakarta tersebut juga mengucapkan selamat atas terbentuknya Negara Republik Indonesia. Lihat Mohammad Roem, dkk., Op. Cit., hlm. 61.
62
Kasultanan Yogyakarta yang telah mempunyai wilayah, rakyat, dan pemerintahan lokal yang masih hidup dan efektif bekerja.93 Sebagai bentuk penghargaan, Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Piagam Kedudukan yang menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada kedudukannya sebagai Kepala Kasultanan Yogyakarta dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah Kadipaten Paku Alaman. Dengan piagam termasuk kepada kedua beliau itu ditaruhkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerahnya sebagai bagian dari Republik Indonesia.94 Pada tanggal 18 Agustus 1945, dibentuklah UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi Indonesia yang memuat aturan-aturan dasar dalam pemerintahan. Ketentuan mengenai pemerintahan daerah tertuang dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Dalam penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 diterangkan bahwa: “I.Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan
93
Anthony J.S. Reid, 1996, Revolusi Nasional Indonesia, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 111-112. 94
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 140.
63
perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerahdaerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
Aturan Peralihan Pasal II memuat ketentuan bahwa badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru. Berkaitan dengan ini semua maka pada masa ini peraturan tentang swapraja tetap berlaku sehingga Yogyakarta pun tetap diakui sebagai daerah swapraja. Hal yang sama juga tertuang dalam Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kandjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka Kandjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam, yang dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945, yang masing-masing amanat tersebut pada intinya menyatakan bahwa: 1) Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia; 2) segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman berada di tangan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII; serta 3) perhubungan antara dua Negeri tersebut dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII bertanggung jawab atas Ngajogjakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman
64
langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Amanat ini rupanya mendapat perhatian lebih dari The Liang Gie:95 “Berhubung dengan kesibukannya yang luar biasa, Pemerintah Republik Indonesia belum sempat mengatur kedudukan Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman sebagai daerah istimewa yang dimaksud dalam UUD. Hal-hal yang seharusnya diatur Pusat itu, bahkan kemudian diatur sendiri oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam bersama-sama KND (Komite Nasional Daerah) Yogyakarta. Mula-mula kedua Kepala Daerah itu menyatakan daerahnya sebagai daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia dan beliau bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kemudian, kedua beliau itu bersamasama mengeluarkan sebuah amanat yang menyatakan Badan Pekerja KND (Komite Nasional Daerah) sebagai badan legislatif yang berlaku untuk seluruh Daerah Yogyakarta”
Meskipun tidak mengatur mengenai pemerintahan daerah, namun ketentuan mengenai Yogyakarta sebagai salah satu daerah istimewa diatur pertama kalinya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Undang-Undang ini pada dasarnya dibuat sebagai peraturan sementara waktu dalam rangka mempersiapkan Pemilihan Umum karena pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, masih terlalu banyak kekosongan pengaturan yang membutuhkan dasar hukum. Dalam keadaan tersebut, perlu diadakan percepatan pembentukan peraturan hukum. Kecepatan pembentukan suatu peraturan dianggap lebih penting daripada kesempurnaan peraturan. Dapat dikatakan bahwa peraturan yang dibentuk hanya untuk mencegah terjadinya kekacauan. Sehubungan dengan percepatan tersebut, maka peraturan yang
95
The Liang Gie, Op. Cit., hlm. 75.
65
ditetapkan sifatnya masih sementara. Selain itu, percepatan juga berdampak pada kesulitan untuk membuat dan memberikan penjelasan secara sistematis. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 menyatakan bahwa “Komite Nasional Daerah diadakan – ketjuali di Daerah Surakarta dan Jogjakarta- di Keresidenan, di Kota berautonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.” Pengecualian terhadap Surakarta dan Yogyakarta ini bisa dimaklumi karena keduanya merupakan wilayah kerajaan yang baru saja bergabung dengan Indonesia. Oleh karena itu struktur pemerintahan lokalnya diberi peluang menggunakan aturan yang berlainan.96 Dikecualikannya Surakarta dan Yogyakarta dalam pengaturan mengenai Komite Nasional Daerah ini diuraikan dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945: “... tentang Jogjakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar rantjangan Undang-Undang tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan rantjangan itu, B.P. Pusat tidak mempunjai gambaran jang djelas. Djika – begitulah surat pengantar – sekiranja pemerintah menganggap perlu untuk daerah tersebut diadakan aturan jang berlainan, Badan Pekerdja bersedia menerima – untuk membicarakannja – rantjangan Undang-Undang jang mengenai daerah itu.”
Pengaturan yang berbeda tersebut juga dilatarbelakangi karena sebelum Undang-Undang ini dibentuk, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam bersama-sama semufakat dengan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (BPKNID)97 mengeluarkan Amanat Nomor 11 Tahun 1946 tertanggal 30
96
97
Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris..., Op. Cit., hlm. 129.
Pada awal September 1945, untuk seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi Kasultanan dan Paku Alaman terbentuklah sebuah Komite Nasional Daerah. Sejak saat
66
Oktober 1945. Melalui Amanat tersebut, Sultan menyerahkan kekuasaan membuat undang-undang dan menetapkan haluan Kasultanan Yogyakarta kepada BPKNID, wakil rakyat Yogyakarta, supaya jalannya pemerintahan sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.98 Sejak terbentuknya Komite Nasional Daerah Yogyakarta pada awal September 1945, tampaknya Sri Sultan dan Sri Paku Alam mulai menganggap kedua kerajaannya sebagai satu Daerah Istimewa. Mulai 5 Oktober 1945, kedua beliau itu bersama-sama menetapkan peraturan yang ditandatangani berdua dan berlaku untuk seluruh Daerah Yogyakarta. Peraturan Daerah itu dinamakan “Maklumat”.99 Sri Sultan dan Sri Paku Alam dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat Nomor 18 Tahun 1946 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif. Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNID Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama, DPR DIY mengesahkan rencana Maklumat Nomor 18 Tahun 1946 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNID Yogyakarta tersebut. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan,
itu kedua kepala daerah bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan daerah dengan Komite tersebut. Lihat Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 69 sebagaimana mengutip The Liang Gie, Op. Cit., hlm. 66-67. 98
Ibid., hlm. 71, sebagaimana mengutip P.J. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 187. 99
The Liang Gie, Op. Cit., hlm. 67.
67
menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa.100 Pada tanggal 10 Juli 1948, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Meskipun lahir dalam kondisi negara yang tidak stabil, Undang-Undang ini justru mengatur hampir seluruh segi desentralisasi, termasuk desentralisasi asimetris seperti yang menyangkut daerah istimewa. Pengaturan mengenai pembagian negara dalam daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri terangkum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948: (1) Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (2) Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak, asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-Undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (3) Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerah-daerah tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dalam Undang-undang pembentukan.
100
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Sejarah Keistimewaan Yogyakarta, diakses dari http://www.bpkp.go.id/diy/konten/815/sejarah-keistimewaan-yogyakarta, pada tanggal 28 Oktober 2014.
68
Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, halhal yang masuk urusan rumah tangga daerah ditetapkan dalam Undang-Undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. Ini berarti sistem rumah tangga yang dianut adalah sistem rumah tangga material karena kewenangan daerah otonom dibatasi secara rinci dan tegas. Artinya, setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, di luar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hanya saja sistem ini tidak dianut secara konsekuen karena adanya ketentuan dalam dalam Pasal 28 ayat (4) yang berbunyi ”Peraturan Daerah tidak berlaku lagi jika hal–hal yang diatur di dalamnya kemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan
Pemerintah
atau
dalam
Peraturan
Daerah
yang
lebih tinggi
tingkatannya”. Pasal ini merupakan ciri sistem rumah tangga formal. Oleh karena itu Undang-Undang ini menganut dua sistem rumah tangga sekaligus yaitu formal dan material. Hanya saja, sistem material dalam Undang-Undang ini lebih menonjol. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah dikenal konsep desentralisasi asimetris melalui apa yang disebut sebagai daerah istimewa. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan "daerah-daerah yang mempunyai hak-hak usul-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa" ialah: “... yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan "Zelfbesturende landschappen". Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari daerah Negara Republik Indonesia dan Undang-undang pokok pemerintahan daerah mengatur pemerintahan daerah, maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula di dalam Undang-undang pokok tersebut, dan
69
cara pemerintahannyapun dalam daerah-daerah istimewa itu diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Keistimewaan peraturan untuk daerah istimewa dalam Undang-undang ini hanya mengenai Kepala daerah (lihat Pasal 18 ayat (5) dan (6) di mana ditentukan bahwa kepala (wakil kepala) daerah istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Daerah-daerah tersebut dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa otonom. Sesudah berlakunya Undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau menjadi daerah istimewa otonom lain kemungkinan tidak ada. Melihat penting atau kurang pentingnya kedudukan daerah-daerah istimewa itu maka daerah-daerah itu dapat dibentuk dengan tingkatan Propinsi, Kabupaten atau Desa. (lihat juga penjelasan umum sub 30)...”
Dasar pemerintahan di daerah istimewa pada dasarnya tidak jauh berbeda pengaturannya dengan di daerah biasa; kekuasaan tertinggi berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah sebagai organ dari pemerintahan daerah.101 Perbedaanya hanya terletak pada pengangkatan Kepala Daerah (dan Wakil Kepala Daerah).102 Sedangkan mengenai tingkatan daerah istimewa adalah sama dengan tingkatan daerah biasa. Untuk menentukan tingkatan Daerah Istimewa, diselidiki lebih dulu keadaan daerah itu. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkatan Propinsi, Kabupaten, ataukah desa.
101
102
Lihat Penjelasan umum sub. 12 jo. sub. 29 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.
Pasal 18 ayat (5) jo. Ayat (6), Ibid., menyatakan bahwa Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu; Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Isimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah.
70
Jikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa itu masuk ke dalam lingkungan Propinsi biasa.103 Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut Undang-Undang Nomor 1 tertanggal 23 November 1945 dan lain-lain penetapan Pemerintah, berjalan terus sehingga diadakan pembentukan Pemerintah baru untuk Daerah-daerah itu menurut Undang-undang ini atau dihapuskan atau diubah.104 Pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tidak dapat diterapkan secara efektif karena sebagian besar daerah-daerah di Indonesia masih diduduki oleh Belanda. Terlebih lagi dengan adanya Agresi Militer II dan pasca hasil Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949, maka kemudian Undang-Undang ini hanya berlaku untuk wilayah-wilayah dalam kerangka Negara Bagian Republik Indonesia. Meskipun demikian, Yogyakarta sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia tetap diakui keberadaannya sebagai daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa. Dan meskipun belum ada Undang-Undang yang dengan jelas menetapkan tingkatan Daerah Istimewa Yogyakarta maka sesuai dengan apa yang tersirat dalam Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kandjeng Sultan dan Amanat Sri Paduka Kandjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam, yang dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945 dan Maklumat Nomor 18 Tahun 1946, perhubungan antara Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia bersifat langsung. Sehingga dapat dikatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya merupakan daerah Provinsi. 103
Lihat Penjelasan umum sub. 30, Ibid.
104
Lihat Pasal 46 ayat (1), Ibid.
71
b.
Masa Konstitusi RIS 1949 Jika pada masa sebelumnya istilah zelfbesturende landschappen digunakan
untuk “daerah yang berpemerintahan sendiri” maka pada masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 (Konstitusi RIS 1949) istilah yang digunakan adalah “Daerah Swapraja”.105 Hal ini bermula dari adanya Persetujuan Perpindahan antara Indonesia dan Belanda106, di mana Pasal 3 dari Persetujuan ini berisi:107 1. Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland mengakui dan menerima bahwa segala kekuasaan dan kewajiban Gubernur-Jenderal Indonesia disebabkan kontrak-kontrak yang diadakan olehnya dengan Swapraja, oleh karena penyerahan kedaulatan berpindah kepada Republik Indonesia Serikat, ataupun, apabila beralaskan hukum tata negara Republik Indonesia Serikat, berpindah kepada suatu negara bagian. 2. Oleh karena penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat maka sekalian Swapraja dilepaskan karena hukum daripada sumpah setianya kepada Sri Baginda Ratu Nederland. 3. Republik Indonesia Serikat mengakui kedudukan istimewa Swapraja menurut ketentuan-ketentuan mengenai hal itu pada konstitusinya dan pada Konstitusi daerah-bagian masing-masing yang menentukan bahwa pertikaian-pertikaian
105
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 17-18.
106
Persetujuan Perpindahan merupakan satu dari tiga persetujuan induk dalam dokumen Persetujuan Pemulihan Kedaulatan, yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. 107
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Loc. Cit.
72
hukum tentang kedudukan Swapraja akan diputuskan oleh badan Republik Indonesia Serikat yang bebas. Istilah “Daerah Swapraja” dalam Persetujuan ini lalu diadopsi dalam Konstitusi RIS 1949, dengan catatan bahwa Daerah Swapraja sepertinya tidak sama dengan pengertian Daerah Istimewa karena dalam Pasal 2 hanya Kalimantan Barat saja yang diberikan keterangan sebagai Daerah Istimewa (Kalimantan Barat merupakan satu dari sembilan satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri yang bukan negara). Pada dasarnya Daerah Swapraja yang sudah ada, tetap diakui keberadaannya berdasarkan Konstitusi RIS 1949. Kedudukan Daerah Swapraja diatur oleh masing-masing Negara Bagian RIS melalui kontrak, dengan ketentuan bahwa Daerah Swapraja tersebut tidak dapat dihapus atau diperkecil tanpa persetujuan Daerah Swapraja tersebut kecuali demi kepentingan umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 67: “Mengatur kedudukan daerah2 Swapradja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah2-bagian jang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak jang diadakan antara daerahbagian dan daerah2 Swapradja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa Swapradja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah2 Swapradja jang sudah ada, dapat dihapuskan atau diperketjil bertentangan dengan kehendaknja, ketjuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal jang menjatakan, bahwa, kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengetjilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah-bagian bersangkutan.” Meskipun sudah ada ketentuan bahwa kedudukan Daerah Swapraja diatur melalui kontrak, namun dalam praktik kenegaraan selama RIS berdiri tidak ada suatu daerah bagian yang mengadakan kontrak dalam arti perjanjian tertulis
73
dengan Daerah Swapraja.108 Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, masih mendasarkan pemerintahannya kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 karena RIS tidak pernah mengeluarkan Undang-Undang baru sebagai pengganti dari Undang-Undang tersebut. Dan seperti yang telah diamanatkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948, perlu diselidiki lebih dulu keadaan daerah itu untuk menentukan tingkatan Daerah Istimewa, diselidiki lebih dulu keadaan daerah itu. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkatan Provinsi, Kabupaten, ataukah desa. Tingkatan Daerah Istimewa Yogyakarta ini kemudian ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta, yaitu setingkat dengan Provinsi.109 Sayangnya dalam Undang-Undang ini belum diuraikan mengenai keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, terutama
apa saja
urusan
keistimewaan yang dimiliki. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 selain mengukuhkan nama dan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, menegaskan Daerah Istimewa Yogyakarta setingkat dengan Provinsi, juga menetapkan organ-organ daerah dan urusan yang diserahkan kepada Pemerintah DIY sesuai dengan Pasal 23 dan Pasal 24 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948. Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950, untuk kemudian 108
109
Ibid., hlm. 21.
Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang dibentuk oleh Negara Bagian Republik Indonesia, bukan dibentuk oleh Republik Indonesia Serikat. Sehingga kemudian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dibuat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditetapkan oleh Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia saat itu yaitu Assaat, dan diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3.
74
diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955, telah ditetapkan 15 urusan rumah tangga DIY, dari yang tadinya berjumlah 13 urusan.110 Meskipun DIY berintegrasi dengan Pemerintah Republik Indonesia tetapi birokrasi pemerintahan Keraton tidak dihapuskan, namun sedikit demi sedikit dipisahkan dari birokrasi pemerintahan daerah yang merupakan pengembangan Bagian Kanayakan yang dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem. Pada dasarnya pemerintahan itu dikepalai oleh Sultan, tetapi Sultan yang saat itu juga berkedudukan sebagai Menteri, tidak selalu tinggal di Yogyakarta. Oleh karena itu dalam pemerintahan sehari-hari pemerintahan daerah yang berpusat di Kepatihan dipimpin oleh Sri Paku Alam VIII dan pemerintahan Keraton yang disebut Parentah Hageng Keraton (PHK) dipimpin oleh Gusti Pangeran Hangabehi. Adanya dualisme pemerintahan ini kemudian perlahan-lahan dipisahkan, yang diawali dari tindakan Sultan melalui Sekretariat Daerah yang mengirimkan surat kepada PHK pada tanggal 18 April 1951 yang antara lain berisi pernyataan bahwa pada waktu sekarang (saat itu) Pemerintah DIY sudah tidak mempunyai tanggung jawab kepada Keraton (Sultan sudah ditanggung oleh Kementerian Dalam Negeri).111 Surat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan yang lebih konkrit dan jelas oleh Sultan, yaitu dengan dikirimkannya surat oleh Sekretaris Kepala Daerah kepada PHK. Isi surat itu memberitahukan jika Sekretariat Kepala Daerah Yogyakarta yang dipimpin oleh BPH Purboyo dihapuskan mulai tanggal 1 Januari 1952. Pekerjaan kantor yang berhubungan dengan Keraton akan dijalankan oleh 110
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 150.
111
Ibid., hlm. 151.
75
kantor baru yang disebut Tepas Dwarapura, sedangkan yang berhubungan dengan pihak luar kantor itu disebut Kantor Penghubung Keraton Yogyakarta yang disebut Dwarapura.112 Dengan demikian Keraton sudah berpisah dengan Nagari. c.
Masa UUD Sementara 1950 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUD Sementara 1950)
merupakan Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara, saat Indonesia kembali berbentuk Negara Kesatuan. Ini tercermin dalam Pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini.” Ini disebabkan karena Indonesia, yang saat itu merupakan negara serikat, akan dikembalikan lagi statusnya menjadi sebuah negara kesatuan berdasarkan kehendak rakyat. Pada masa transisi tersebut, pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. Daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri.113
112
113
Ibid., hlm. 151-152, sebagaimana mengutip P. J Suwarno, Op. Cit., hlm. 292-293.
Lihat Pasal 131 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
76
Pengaturan mengenai Daerah Swapraja secara umum tidak berbeda dengan apa yang telah diatur dalam Konstitusi RIS. Hanya saja, kedudukan Daerah Swapraja tidak lagi diatur melalui kontrak, melainkan dengan Undang-Undang:114 “Kedudukan daerah-daerah Swapradja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannja harus diingat pula ketentuan dalam Pasal 131, dasar-dasar permusjawaratan dan perwakilan dalam sistim pemerintahan negara.”
Daerah Swapraja juga tetap tidak dapat dihapuskan atau diperkecil tanpa persetujuan daerah tersebut, kecuali untuk kepentingan umum. Akan tetapi UUD Sementara 1950 menetapkan bahwa penghapusan atau pengecilan Daerah Swapraja tersebut harus ditetapkan dengan Undang-Undang:115 “Daerah-daerah Swapradja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperketjil bertentangan dengan kehendaknja, ketjuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang jang menjatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan dan pengetjilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah.” Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang lahir berdasarkan UUD Sementara 1950, mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, dalam Undang-Undang ini secara tegas menganut sistem rumah tangga nyata atau riil. Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan
114
Lihat Pasal 132 ayat (1), Ibid.
115
Lihat Pasal 132 ayat (1), Ibid.
77
pemerintahan yang secara nyata dapat ditangani sendiri. Ini terlihat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) jo. ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.116 Istilah zelfbesturende landschappen maupun Daerah Swapraja tidak lagi digunakan. Dalam Undang-Undang ini, daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri disebut “Daerah Swatantra” dan “Daerah Istimewa”. Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat saat itu, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I, II, atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Hal itu berarti bahwa daerah Swapraja menjadi Daerah yang diberi otonomi menurut undang-undang dan pada asasnya telah memenuhi kehendak Pasal 132 UUD Sementara 1950. Seperti yang dijabarkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957: “...Mengenai Daerah Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu dibentuk menjadi Daerah Istimewa, maka pada azasnya kita telah memberikan status baru kepada daerah Swapraja tersebut, yang bentuk susunan pemerintahannya menurut Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang dimaksud dalam Pasal 131 Undang-Undang Dasar Sementara. Kepada daerah Swapraja itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi menurut undang-undang, sehingga tidak dibolehkan suatu daerah Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang bersifat demokratis menurut undang-undang itu, di mana kepada rakyat diserahkan hampir semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orangorang besarnya selama rakyatnya bertakluk kepada hukum adatnya. Tiaptiap kali daerah Swapraja dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah 116
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga Daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-Undang ini diserahkan kepada penguasa lain. Dengan Peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing Daerah, atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari Dewan Pemerintah Daerah dari daerah setingkat di atasnya, urusan-urusan tersebut dalam ayat (2) ditambah dengan urusan-urusan lain.
78
Swatantra biasa, maka hal itu berarti hapusnya daerah Swapraja yang bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari penghapusan itu haruslah pula diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai Kepala-kepala/pembesarpembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari Swapraja-Swapraja, yang sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi pegawai Daerah Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya dan lain-lain...”
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, pembentukan Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa, termasuk perubahan wilayahnya, diatur dengan Undang-Undang (persyaratan ini sesuai dengan Pasal 131 UUD Sementara 1950). Pembentukan daerah tersebut dilakukan setelah diadakan peninjauan dari berbagai sudut. Bila dalam ketentuan peraturan perundangundangan sebelumnya tidak dijelaskan mengenai apa yang menjadi tolok ukur dan prosedurnya untuk menetapkan pembentukan suatu daerah maka dalam UndangUndang ini justru diuraikan. Seperti yang dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957: “... Pembentukan akan dilakukan setelah diadakan peninjauan dari pelbagai sudut antara lain dari sudut keuangan yang harus meyakinkan hak hidupnya, dan setelah minta pertimbangan atau atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah setingkat lebih atas, sepanjang mengenai Daerah tingkat II dan III. Mengenai perubahan wilayah dari suatu Daerah Swatantra, hal ini dengan sendirinya tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari Dewan-dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. Juga batas-batas wilayah dan penunjukkan ibukota daerah Swatantra masing-masing baik diatur dalam undang-undang pembentukan. Agar supaya perubahan (termasuk perluasan dan pengurangan) batas-batas wilayah Daerah-daerah Swatantra/Istimewa itu senantiasa diadakan dengan berhati-hati serta memperhatikan kehendak rakyat wilayah-wilayah yang bersangkutan, maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa perubahan itu harus dilakukan dengan undang-undang...”
79
Pengaturan mengenai Kepala Daerah Istimewa pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I; Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk bagi Daerah Istimewa tingkat II dan tingkat III. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 juga menyebutkan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai gabungan dari beberapa bekas Swapraja (Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman) dan bagaimana prosedur pengangkatan Wakil Kepala Daerah Istimewa:117
“...Seperti telah tercantum dalam Rancangan Undang-undang tersebut maka dalam suatu Daerah Istimewa dapat pula diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa. Hal ini misalnya dapat terjadi, apabila Daerah Istimewa itu terbentuk sebagai gabungan dari beberapa bekas SwaprajaSwapraja, seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sesuai dengan sistim yang telah diuraikan di atas, maka Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah Ketua dan Wakil Ketua serta anggota dari DPD. Berhubung dengan itu, maka apabila diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa tersebut, maka dengan sendirinya ialah yang mewakili Kepala Daerah Istimewa. Sedangkan apabila Wakil Kepala Daerah Istimewa ini juga berhalangan, maka Kepala Daerah Istimewa diwakili oleh seorang anggota DPD, yang dipilih oleh dan dari anggota DPD.
117
Lihat Memori Penjelasan Mengenai Usul Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, bagian UMUM angka 3 huruf d.
80
Apabila dalam Daerah Istimewa itu tidak diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa, maka perwakilan Kepala Daerah Istimewa diatur seperti perwakilan Kepala Daerah biasa. Selain daripada itu, karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib, maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan b. mengenai gaji dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah itu, tidak ditetapkan oleh Daerah itu sendiri, melainkan oleh Pemerintah Pusat.”
Untuk mengadakan perubahan ke arah terlaksananya sistem pemerintahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Pemerintah DIY menghapus pemerintahan kembar di daerah swatantra tingkat II, dan untuk mengatasi dualisme serta kemacetan yang dapat mengakibatkan adanya kekosongan hukum dalam masa peralihan, DPD mengambil keputusan:118 1. Setelah kepala daerah swatantra tingkat II (gaya baru) menjalankan fungsinya maka Bupati Pamong Praja (gaya lama) akan ditarik ke Pemerintah DIY; 2. Semua pegawai golongan Pamong Praja selain Bupati Pamong Praja untuk sementara waktu tetap pada tempat kedudukannya masing-masing untuk diperbantukan kepada pemerintah daerah swatantra tingkat II dan berkewajiban menjalankan tugas-tugas pemerintah daerah swatantra tingkat II; 3. Dalam menjalankan kewajiban itu dia bertanggung jawab kepada pemerintah daerah swatantra tingkat II; 4. Sebagai pegawai yang diperbantukan hanya dapat dipindahkan oleh pemerintah daerah swatantra tingkat II yang bersangkutan dengan persetujuan Pemerintah DIY;
118
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 153-154, sebagaimana mengutip P. J Suwarno, Op. Cit., hlm. 315.
81
5. Bupati-Bupati Anom di daerah-daerah swatantra tingkat II ini selanjutnya – sambil menunggu keputusan DPD DIY lebih lanjut- untuk sementara waktu ditugaskan mengerjakan tugas-tugas Bupati.
Keputusan DPD ini ditolak oleh para pejabat yang berasngkutan dan penolakan ini mendapat dukungan dari Serikat Pekerja Kementerian Dalam Negeri sehingga muncul persoalan mengenai Pamong Praja di Yogyakarta. Konflik ini mereda ketika pada tanggal 13 September 1958, DPD menerima surat kawat dari Menteri Dalam Negeri dan beberapa penjelasan dari Kepala Daerah DIY yang telah mendapat instruksi dari Menteri Dalam Negeri. Adapun isi dari surat kawat tersebut adalah:119 “a. Pemindahan pegawai daerah adalah hak daerah, tetapi harus dilakukan menurut syarat-syarat yang berlaku dalam mengatur kepegawaian (surat keputusan yang lazim digunakan), Bupati pindah ke pemerintahan umum menunggu penyelesaian soal tugas; b. Penunjukkan Bupati Anom sebagai Pejabat Bupati harus dilakukan dengan surat keputusan tersendiri; c. Memperbantukan pegawai secara integral kepada swatantra bawahan harus dilakukan berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957; d. Untuk membantu penyelesaian poin a, b, dan c tersebut Kementerian Dalam Negeri segera mengirimkan beberapa pejabat ke Yogyakarta.”
d.
Masa UUD NRI Tahun 1945 Sebelum Amandemen Pelaksanaan otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957 dihentikan dengan lahirnya Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959. Penpres ini mengubah struktur dan fungsi pemerintah daerah sesuai dengan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dimulai dengan pengumuman Dekrit 119
Ibid.
82
Presiden 5 Juli 1959. Dalam penjelasan pasalnya, dengan jelas disebutkan bahwa Penpres ini menganut paham desentralisasi teritorial, yaitu meletakkan tanggung jawab teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan Pemerintah Daerah, di samping menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital. Kedudukan Pamong Praja dikembalikan seperti semula, dengan kerangka baru.120 Titik berat Penpres Nomor 6 Tahun 1959 ini terletak pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah dengan memasukkan beberapa elemen baru, yaitu pemusatan pimpinan pemerintahan di tangan Kepala Daerah, dan Kepala Daerah ini akan dibantu oleh Badan Pemerintah Harian dan DPRD.121 Pengaturan mengenai Kepala Daerah pada Daerah Istimewa, terdapat dalam Pasal 6 Penpres Nomor 6 Tahun 1959 yang menyatakan bahwa “Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syaratsyarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan kepada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Pengaturan seperti yang termaktub dalam Pasal 6 Penpres Nomor 6 Tahun 1959 pada dasarnya hampir sama dengan apa yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1957. Namun demikian, dalam Penpres ini Kepala
120
Ibid.
121
Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hlm. 328.
83
Daerah dan Wakil Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta diangkat oleh Presiden tanpa melalui pencalonan dari DPRD.122 Berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan dalam rangka kembali kepada UUD NRI Tahun 1945 sejak Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959, maka ketentuan-ketentuan perundangan tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah perlu diperbarui sesuai dengan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara dan pedomanpedoman pelaksanaannya, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor
1
Tahun
1957,
Penetapan
Presiden
Nomor
6
Tahun
1959
(disempurnakan), Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1960 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) jo. Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1965 serta untuk mewujudkan daerah-daerah yang dapat berswadaya dan berswasembada. Berdasarkan hal tersebut kemudian ditetapkanlah UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini juga dibentuk agar dapat dilaksanakan pembentukan Pemerintah Daerah tingkat III secepat mungkin.123
122
Sebagai tindak lanjut dari Penpres Nomor 6 Tahun 1959, ditetapkanlah Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1959 yang berisi larangan keanggotaan partai politik bagi Kepala Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah DIY, dan anggota Badan Pemerintah Harian. Lihat The Liang Gie, 1994, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid II, Liberty, Yogyakarta, hlm. 217. 123
Pemerintah Daerah tingkat III yang dimaksud adalah Kecamatan dan/atau Kotapraja. Hal ini sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
84
Mengenai sistem rumah tangga daerah, dalam Undang-Undang ini pada dasarnya menganut sistem rumah tangga riil. Penjelasan Pasal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 menyatakan bahwa: “Pada azasnya memang tidak mungkin untuk menetapkan secara tegas tentang urusan "rumah tangga daerah" itu, hal mana terutama disebabkan karena faktor-faktor yang terletak dalam kehidupan masyarakat Daerah itu sendiri yang merupakan suatu hasil dari pertumbuhan pelbagai anasir dalam masyarakat itu dan yang dalam perkembangannya akan mencari jalan keluar sendiri. Kehidupan kemasyarakatan itu adalah penuh dengan dinamika, dan terbentanglah di mukanya lapangan dan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas, disebabkan bertambahnya dan berkembangnya perhubungan manusia yang satu dengan yang lain, dan demikian pula kesatuankesatuan masyarakat yang satu dengan yang lain. Dengan berpegangan kepada pokok pikiran itu, maka pemecahan perihal dasar dan isi otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang riil, yang nyata, sehingga dengan demikian dapatlah kiranya diwujudkan keinginan umum dalam masyarakat itu. Sistem ketatanegaraan yang terbaik untuk melaksanakan tujuan tersebut ialah sistem yang bersesuaian dengan keadaan dan susunan masyarakat yang sewajarnya itu. Karena itu perincian yang tegas, baik tentang urusan rumah tangga Daerah, maupun mengenai urusan-urusan yang termasuk tugas Pemerintah Pusat, tidak mungkin dapat diadakan, karena perincian yang demikian itu tidak akan sesuai dengan daya perkembangan kehidupan masyarakat, baik di Daerah maupun di Pusat. Negara. Urusan yang tadinya termasuk lingkungan Daerah, karena perkembangan keadaan dapat dirasakan tidak sesuai lagi apabila masih diurus oleh Daerah itu, disebabkan urusan tersebut sudah mengenai kepentingan yang luar dari pada Daerah itu sendiri. Dalam keadaan yang demikian itu urusan tersebut dapat beralih menjadi urusan dari Daerah yang lebih atas tingkatannya atau menjadi urusan Pemerintah Pusat, apabila hal tersebut dianggap mengenai kepentingan Nasional. Demikian pula sebaliknya, urusan yang tadinya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau Daerah Tingkat 1, kemudian karena perkembangan keadaan dirasakan sudah sepatutnya urusan itu dilakukan oleh Daerah, maka urusan tersebut dapat diserahkan kepada dan beralih menjadi urusan Daerah atau urusan Daerah bawahan. Jadi pada hakekatnya yang menjadi persoalan ialah, bagaimanakah sebaik-baiknya kepentingan umum itu dapat diurus dan dipelihara, sehingga dicapailah hasil yang sebesar-besarnya. Dalam memecahkan persoalan tersebut, perlu kiranya kita mendasarkan diri pada keadaan yang riil, pada kebutuhan dan kemampuan yang nyata,
85
sehingga dapatlah tercapai harmoni Daerah itu sendiri maupun dengan Pusat Negara. Demikianlah penjelasan mengenai arti urusan, ke rumah tangga Daerah yang didasarkan atas prinsip hak-hak otonomi yang riil itu.."
Kewenangan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, tidak hanya dimiliki oleh daerah tingkat I dan daerah tingkat II saja, melainkan juga dimiliki oleh daerah tingkat III. Sehingga dalam Undang-Undang ini, pengaturan mengenai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah juga mencakup Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tingkat III. Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri dalam Undang-Undang ini tetap diakui keberadaannya karena sifat istimewa sesuatu Daerah berdasarkan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, berlaku terus hingga dihapuskan. DIY berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, serta merupakan daerah “Provinsi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a jo. Pasal 88 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Hal ini juga ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965:
“... Karena itu, maka dalam wilayah Ibukota Negara akan tumbuh Daerah-daerah tingkat lain dan diperlukan bentuk-bentuk pemerintahan khas untuk tetap mencapai efisiensi dalam penyelenggaraan rakyat; walaupun demikian akan senantiasa diusahakan agar sedapat-dapatnya ada persesuaian keistimewaan seperti yang dimaksudkan di atas yang menentukan adanya Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan status khusus begitu pula keistimewaan-keistimewaan yang menjadi dasar daripada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh masing-masing sebagai Daerah tingkat I, maka Daerah-daerah tingkat I yang lain, adalah "Propinsi" menurut Undang-undang ini, misalnya: Daerah tingkat I Kalimantan Barat disebut Propinsi: Kalimantan Barat, Daerah tingkat I Jawa Barat menjadi Propinsi Jawa Barat tingkat I Maluku menjadi Propinsi Maluku dan seterusnya. Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud di atas yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
86
Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus...”
Sesuai dengan Pasal 5 ayat (2), Kepala Daerah melaksanakan politik Pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarki yang ada. Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 tahun atau untuk masa yang sama dengan masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan dapat diangkat kembali.124 Untuk Daerah Istimewa, pengaturannya agak sedikit berbeda. Ini terlihat dalam Pasal 88 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang menyatakan bahwa “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (5).” Ini berarti bahwa untuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY yang akan datang, ketentuan pengangkatannya mengikuti prosedur yang berlaku bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Ketentuan ini tentu saja berpotensi125 menimbulkan masalah karena dengan frasa “yang sekarang” mengindikasikan bahwa segi keistimewaan DIY akan berakhir setelah
124
125
Lihat Pasal 17 ayat (1), Ibid.
Dikatakan ‘berpotensi’ karena Undang-Undang ini nyatanya tidak bisa berlaku efektif. Terjadi Gerakan 30 September 1965 yang mengguncang stabilitas pemerintahan di Indonesia, terlebih lagi dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah, yang memerintahkan agar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 ditinjau kembali. Lihat The Liang Gie, Op. Cit., Jilid II, hlm. 281.
87
Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII tidak lagi menjabat. Padahal dalam pengaturan
sebelumnya,
letak
keistimewaan
DIY
justru
terletak
pada
pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Seiring dengan perkembangan keadaan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dirasa sudah tidak lagi sesuai sehingga diganti dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II dibentuk dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dengan memperhatikan syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan Nasional, dan syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik dan kesatuan Bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.126 Titik berat otonomi daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II (setara dengan Daerah Kabupaten/Kota).127
126
Prinsip yang dipakai bukan lagi “Otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Dengan demikian prinsip Otonomi yang riil atau nyata tetap merupakan prinsip yang harus melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah. Sedang istilah “seluas-luasnya” tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman waktu itu, istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab asas desentralisasi bukan sekedar komplemen atau pelengkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagai konsekuensi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, Undang-undang ini membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah Otonom. Di muka telah diterangkan bahwa pemberian otonomi kepada Daerah yang dimaksud untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Apabila setelah dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya ternyata suatu Daerah tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan hanya menggantungkan hidupnya dari subsidi Pemerintah maka adalah sewajarnya apabila daerah yang sedemikian itu dihapuskan. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. 127
Lihat Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan, maka Undang-undang ini meletakkan titik berat otonomi pada Daerah
88
Terkait dengan pengaturan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta, ada kecenderungan bahwa Undang-Undang ini hendak menghapuskan status keistimewaan yang dimiliki DIY. Ini berhubungan dengan Pasal 91 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang selengkapnya berbunyi: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.” Adanya frasa “yang sekarang” menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY yang akan datang? Jika dilihat dalam proses penyusunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, pada RUU usul pemerintah, rumusan ini berasal dari ketentuan Pasal 90 huruf b RUU tersebut yaitu: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-Undang ini, yang tidak terikta pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah lainnya, yang kemudian untuk pengangkatan Kepala Daerah berikutnya berlaku ketentuan-ketentuan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya.” Namun karena banyaknya perdebatan mengenai rumusan norma tersebut maka kemudian disepakati rumusan norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Tingkat II, dengan pertimbangan bahwa Daerah Tingkat II yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut.
89
Menurut Sujamto, dalam Pasal 91 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut masih tercantum kata-kata “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang”, ini adalah semata-mata masalah teknis ketentuan aturan peralihan akibat berlakunya Undang-Undang baru. Jadi kata-kata “yang sekarang” itu tidak lagi mempunyai konotasi yang berkaitan dengan “yang kemudian” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf b RUU.128 Akan tetapi menurut Penulis, justru norma dalam Pasal 91 huruf b UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 maknanya hampir sama dengan rumusan Pasal 90 huruf b RUU. Frasa “yang sekarang” mengindikasikan bahwa untuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY yang akan datang, belum tentu tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. Pada tanggal 7 Mei 1999, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam Undang-Undang ini, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah
128
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa..., Op. Cit., hlm. 113.
90
mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran-serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, Undang-Undang ini menempatkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Berdasarkan Undang-Undang ini, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dalam hubungannya antara ketiga jenis daerah tersebut, masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Daerah Provinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, tetapi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama, dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai Daerah Otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Sedangkan terkait dengan keistimewaan DIY, hal ini diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di mana keistimewaan DIY adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan DIY didasarkan pada Undang-Undang ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 122, pengakuan keistimewaan DIY didasarkan pada asal-usul dan perannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan
91
Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari Keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-Undang ini. Pengaturan di atas sejatinya hampir sama dengan apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah terdahulu. Keistimewaan DIY terletak pada aspek pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari Keturunan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-Undang. Artinya, sepanjang calon dari keturunan Kasultanan maupun Paku Alaman masih ada yang memenuhi persyaratan kecakapan dalam memimpin, jujur, amanah, dan didukung oleh rakyatnya, patut untuk dipertimbangkan. Tetapi apabila tidak ada lagi yang memenuhi persyaratan tersebut maka masyarakat dapat mengusulkan calon lain dari luar keluarga (keturunan) Kasultanan ataupun Paku Alaman.129 e.
Masa UUD NRI Tahun 1945 Setelah Amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengalami perubahan (amandemen) sebanyak
empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Pembagian daerah Indonesia menjadi lebih jelas, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemerintah daerah di Indonesia adalah Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten,
129
dan
Pemerintah
Ibid., hlm. 124-125.
Daerah
Kota.
Frasa
“dibagi
atas”
juga
92
mengindikasikan hubungan antara Pusat dan Daerah, serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah bersifat hierarkis-vertikal.130 Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Di samping itu, UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen mengatur lebih rinci mengenai konsep desentralisasi asimetris di Indonesia. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatu dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Kemudian dalam Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. Kebijakan dasar yang tertuang dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 tentang Pemerintah Daerah ini lalu dituangkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, UUD NRI Tahun 1945 memberikan garis hubungan yang jelas antara Pusat dan Daerah dan hubungan antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Masing-masing pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
130
Ibid., hlm. 37.
93
urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benarbenar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Berdasarkan Pasal 2 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.131 Lalu bagaimana dengan Daerah Istimewa Yogyakarta?
131
Lihat Pasal 225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
94
Pasal 226 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini. Ini berati bahwa keistimewaan DIY masih seperti apa yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pengakuan keistimewaan DIY didasarkan pada asal-usul dan perannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari Keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat. Adapun ‘memenuhi syarat’ di sini sudah dimaknai sebagai memenuhi syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 merupakan dasar pembentukan DIY. Di dalamnya tidak dirinci mengenai apa sebenarnya makna ‘keistimewaan’ DIY. Keistimewaan tersebut hanya dijabarkan dalam 1 Pasal, itu pun dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama. Sehingga pada tahun 2012, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Undang-Undang ini secara rinci telah menjabarkan kewenangan istimewa
95
apa yang dimiliki oleh DIY, yang membedakannya dengan Pemerintah Daerah lainnya. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi: tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang. Masing-masing urusan keistimewaan tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang ini, dengan mengingat ketentuan bahwa kewenangan istimewa DIY berada di Provinsi. Artinya, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tetaplah merupakan Pemerintah Daerah ‘biasa’ yang sama seperti Pemerintah Daerah lainnya, dan tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. DIY, di lain pihak, juga tunduk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri (UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012). Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berikut perubahannya ternyata sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti. Sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berikut perubahannya, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memberikan perubahan yang mendasar, terutama mengenai beberapa kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditarik
96
ke Pemerintah Daerah Provinsi dan perubahan kedudukan DPRD (dulu DPRD seperti lembaga legislatif di tingkat daerah, sekarang menjadi salah satu unsur penyelenggara
pemerintahan
daerah
yang
diberi
mandat
rakyat
untuk
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah). Namun dari segi otonomi daerah, Pemerintahan Daerah tetap berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya. Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Corak desentralisasi asimetris lebih terasa dalam Undang-Undang ini, khususnya mengenai daerah istimewa. Misalnya, ada dana keisimewaan yang merupakan pendapatan transfer (salah satu sumber pendapatan daerah), sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Ini terkait dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, di mana dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY dalam APBN sesuai dengan kebutuhan DIY dan kemampuan keuangan negara.
97
Berdasarkan Pasal 399 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut. Tampak bahwa semua daerah yang memiliki status keistimewaan dan kekhususan di Indonesia berada pada tingkat Provinsi, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
B.
Analisis Terhadap Penggunaan Nomenklatur “Provinsi” Dalam Peraturan Daerah DIY Pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Permasalahan mengenai keistimewaan DIY sepertinya masih menjadi
perdebatan meskipun Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa permasalahan tersebut antara lain mengenai bagaimana penyelenggaraan kewenangan keistimewaan DIY, bagaimana pengaturannya dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) DIY, bagaimana mekanisme pengelolaan dana keistimewaan, dan lain sebagainya. Namun terdapat satu hal yang sebenarnya bisa dikatakan ‘sederhana’ akan tetapi memberikan efek yang besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di DIY. Ini berkaitan dengan penafsiran perlu tidaknya mencantumkan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “DIY” pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012.
98
Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, Pemerintahan Daerah DIY adalah pemerintahan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan urusan keistimewaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah DIY dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY. Di dalam norma tersebut, tidak dicantumkan nomenklatur “Provinsi” sebelum kata “DIY”. Oleh karenanya, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY memutuskan bahwa di lingkungan pemerintahan daerah DIY, tidak perlu lagi menggunakan kata “Provinsi”. Sebagai tindak lanjut atas hal tersebut, dilakukanlah pembenahan perangkat daerah di lingkungan Pemda DIY. Gubernur melalui Sekretaris Daerah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5.1/SE/IX/2012 tanggal 7 September 2012 perihal Perubahan Nomenklatur Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD). Surat Edaran tersebut pada intinya menyatakan bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta maka penyebutan nomenklatur SOPD (yang diatur dalam berbagai Peraturan Daerah (Perda) sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 ditetapkan) untuk kata “Provinsi” dihapus. Sebagai contoh penyebutan “Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” menjadi “Biro Hukum Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta”. Pengaturan mengenai hal tersebut sampai sekarang tidak menimbulkan permasalahan. Seluruh perangkat daerah Pemda DIY tidak lagi menggunakan kata “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta”.
99
Masalah justru timbul dalam proses pembentukan Peraturan Daerah (Perda) DIY dan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) DIY. Pembahasan beberapa Rancangan Perda DIY dan Rancangan Perdais DIY sempat menjadi terhambat karena terjadi perbedaan pendapat antara Pemda DIY dan DPRD DIY mengenai perlu tidaknya mencantumkan kata “Provinsi” dalam judul maupun substansi materi Raperda. Perbedaan pendapat ini tidak jarang menghasilkan keadaan deadlock
sehingga
pembahasan
tidak
dapat
dilanjutkan.132
Ini
tentu
mempengaruhi kelancaran proses pemerintahan di DIY. Sebagai contoh, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah DIY tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum menjadi terhenti di tahun 2014 karena tidak tercapainya persetujuan bersama antara Gubernur dan DPRD DIY. Hal ini dipicu oleh adanya hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri atas Raperda tersebut, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-1665 Tahun 2014 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Pada dasarnya Pemda DIY telah menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri, kecuali untuk angka 1 yang mengharuskan dicantumkannya nomenklatur “Provinsi” dalam Raperda tersebut.133 Hal ini berseberangan dengan kehendak DPRD DIY yang menginginkan agar hasil evaluasi tersebut dipenuhi 132
Hasil wawancara dengan Bapak Riyanta, staf Subbagian Legislasi Sekretariat DPRD DIY pada tanggal 24 September 2014. 133
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014.
100
secara keseluruhan.134 Sehingga pada akhirnya, persetujuan bersama antara Gubernur dan DPRD DIY tidak tercapai dan Raperda tersebut tidak ditetapkan pada tahun 2014. Untuk membahas lebih lanjut mengenai perlu tidaknya menggunakan nomenklatur “provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” maka terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pemaknaan DIY sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. Dilihat dari segi susunan negara kesatuan maka negara kesatuan bukan negara yang tersusun dari beberapa negara melainkan negara tunggal, sebagaimana disampaikan oleh Soehino yang menyatakan bahwa negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara sehingga tidak ada negara di dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan, dan melaksanakan pemerintahan negara, baik di pusat maupun di daerah-daerah.135 Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh L.J. Van Apeldoorn, di mana suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat sementara provinsi-provinsi menerima
134
Hal ini berdasarkan Surat DPRD DIY Nomor 188/1139 perihal Tanggapan terhadap surat dari Pemda DIY perihal Penyampaian draft Raperda tentang Perubahan atas Perda DIY Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum sebagai tindak lanjut hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri. 135
Soehino, Op. Cit., hlm. 224.
101
kekuasaan dari pemerintah pusat sehingga provinsi-provinsi itu tidak mempunyai hak mandiri. Dengan demikian kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sederajat. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Pemerintah Daerah Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Menurut Bagir Manan, otonomi daerah berarti kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan (rumah tangga) sendiri. Meskipun otonomi daerah dimaknai demikian namun dalam pelaksanaannya tetap harus berada dalam batas-batas yang ditetapkan dan tidak boleh melampaui kewenangan pemerintah pusat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bagir Manan:136 “Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi daerah bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid independency). Kebebasan dan kemandirian itu adalah dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata negara, khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan (unitary state-eenheid staat). Otonomi daerah adalah fenomena negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materi) otonomi adalah pengertian dan isi negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi.”
Desentralisasi dan otonomi daerah dalam praktiknya sering ditukarpakaikan. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Makna desentralisasi 136
Bagir Manan, Perjalanan Historis..., Op. Cit., hlm. 2.
102
bersentuhan dengan ‘proses’, dalam arti pembentukan daerah otonom dan disertai/diikuti penyerahan kewenangan (urusan pemerintahan) dan untuk itu harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan otonomi bersentuhan dengan isi, akibat dan hasil dari proses pembentukan daerah otonom, di mana pembentukan daerah otonomi berarti pembentukan organisasi penyelenggara otonomi atau pemerintahan daerah. Dilihat dari sisi pemerintah pusat, yang berlangsung adalah penyelenggaraan desentralisasi dalam organisasi negara Indonesia, sedangkan dilihat dari masyarakat, yang terjadi adalah otonomi daerah. Desain desentralisasi terbagi atas desentralisasi simetris dan desentralisasi asimetris. Model desentralisasi simetris/biasa ditandai kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah dengan sistem politik nasional, pemerintah pusat maupun antardaerah. Model desentralisasi asimetris dengan ciri sebaliknya, artinya suatu daerah khusus/istimewa memiliki pola hubungan berbeda dan tak lazim terjadi di daerah-daerah lain, utamanya hal ihwal relasi dengan pusat, relasi dengan daerah sekitar, dan pengaturan internal daerah itu sendiri. Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan beragam suku, agama, dan ras. Adanya keragaman dan keunikan lokal ini kemudian menjadi dasar diterapkannya
desentralisasi
asimeris
dengan
konsep
pengakuan
dan
penghormatan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang, seperti yang
103
tertuang dalam Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Salah satu model asimetris di Indonesia adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Menilik dari sejarahnya, kedudukan DIY dalam sistem pemerintahan NKRI mengalami pasang surut, sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa (entah itu sebagai daerah setingkat provinsi atau pun sebagai daerah provinsi). Hingga kemudian pada tanggal 29 September 1945, Belanda berhasil mengambil alih Jakarta. Jatuhnya Ibukota Jakarta membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan utusannya dan menawarkan kota Yogyakarta menjadi Ibukota. Saran ini kemudian disetujui oleh Soekarno, dengan berpindahnya Ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Istana Negara pun pindah ke Gedung Agung, Yogyakarta. Pada waktu itu, Belanda tidak menyerah dan menyerang Yogyakarta. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Hasilnya, Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Bahkan para pimpinan Negara juga ditangkap. Dalam keadaan seperti ini, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan Ibukota kembali dipindahkan untuk mempertahankan kedaulatan. Dipilihlah kota Bukittinggi sebagai Ibukota Negara Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948. Pemilihan daerah ini bukan tanpa alasan. Kepindahan ibukota ini karena adanya Sjafrudin Prawiranegara yang pada masa itu memang disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat jika para pemimpin tertangkap. Baru pada tanggal 17 Agustus 1950, Ibukota dikembalikan ke Jakarta berdasarkan Pasal 46 ayat (2) UUD Sementara Tahun 1950. Jadi, sejak tanggal 4 Januari 1946 sampai
104
dengan tanggal 18 Desember 1948, Yogyakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Setelah Indonesia dalam kondisi stabil, penataan terhadap daerah mulai dilakukan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, ditetapkan silih berganti. Dimulai dengan lahirnya Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Tap. MPR Nomor XV/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, dan yang paling baru adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Banyaknya peraturan tersebut membuktikan bahwa otonomi daerah merupakan hal yang sangat penting sehingga perlu diatur sedemikian rupa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Di samping itu, pelaksanaan otonomi daerah yang berubah-ubah mengindikasikan bahwa proses pencarian bentuk otonomi daerah yang sesuai dengan kondisi Indonesia masih terus dilakukan hingga sekarang. Penataan di daerah juga dilakukan terhadap daerah-daerah yang mempunyai status istimewa atau khusus. Seperti yang telah ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UndangUndang. Aceh, Jakarta, dan Papua sudah memiliki Undang-Undang yang
105
mengatur mengenai keistimewaan atau kekhususannya. Daerah Istimewa Yogyakarta pun pada akhirnya memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang keistimewaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembentukan Undang-Undang ini penting mengingat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan NKRI sehingga perlu untuk ditegaskan dan dijelaskan mengenai status keistimewaannya. Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II DPR RI dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam X mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK Provinsi DIY) yang dilaksanakan pada hari Selasa, 1 Maret 2011, terdapat 9 (sembilan) catatan penting yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X terhadap RUUK Provinsi DIY. Dari kesembilan catatan penting tersebut ada satu hal yang menarik untuk dicermati yaitu pada catatan pertama yang menyatakan bahwa judul RUUK Provinsi DIY tidak tepat. Hal ini karena tidak merujuk original intent dari Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945137 dan juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY yang secara eksplisit menyebutkan DIY adalah “setingkat provinsi”, yang dapat diartikan tidak sama dengan provinsi sekaligus 137
Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau persifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.”
106
sebagai pembeda dengan daerah lainnya yang diberlakukan ketentuan hukum yang bersifat umum. Sehingga akan lebih tepat kalau judul dari RUUK tersebut adalah Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta atau Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak menggunakan kata “provinsi”. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya RUUK Provinsi DIY disahkan pada tanggal 31 Agustus 2012 dengan judul Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun tidak mencantumkan kata “provinsi”, namun dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini dengan jelas menyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya rumusan norma Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tersebut sebenarnya berbeda dari maksud dihapusnya kata “provinsi” sesuai kehendak Sultan saat itu. Bahwa sebenarnya Sultan menginginkan DIY untuk dikembalikan kedudukannya seperti yang ditentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, yaitu “setingkat provinsi”. Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya makna dari ‘Keistimewaan’ yang dimiliki
oleh
DIY?
Apakah
dengan
adanya
keistimewaan
tersebut
mengindikasikan DIY bukan lagi “provinsi” seperti Pemerintah Daerah Provinsi lainnya? Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur
107
dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan istimewa yang dimaksud di sini adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah, yang meliputi: tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang.138 Berdasarkan praktik selama ini, keistimewaan DIY yang paling menonjol adalah tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur.139 Hal ini sudah dimulai sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, hingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Interpretasi terhadap keistimewaan DIY oleh Pemerintah dalam berbagai UndangUndang tersebut terletak pada kedudukan kepala daerah yang berasal dari keluarga Sultan.140 Sedangkan bagi masyarakat DIY, keistimewaan tidak hanya bermakna pemberian hak privilege bagi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubenur saja melainkan dimaksudkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri masyarakat yang dalam sejarah perjalanan bangsa ini diberikan tempat dan diakui secara 138
Lihat Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 139
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014. 140
Tri Ratnawati, “Antara Otonomi Sultan dan Kepatuhan pada Pusat di Era Reformasi: Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)”, Jurnal Governance, Vol. 2 No. 1, November 2011, hlm. 49.
108
konstitusional.141 Keistimewaan tersebut pernah akan dihapus oleh UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 karena dianggap berbau feodalisme, namun Undang-Undang ini tidak pernah berlaku di Indonesia karena terjadinya persitiwa G30S/PKI. Sebagian esensi pokok Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 adalah:142 pertama, penegasan kembali definsi keistimewaan DIY sebagai keistimewaan kedudukan hukum berdasar sejarah dan hak asal-usul menurut UUD NRI Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Rekognisi demikian membawa implikasi pengakuan-penghormatan akan eksistensi Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman, yang dimulai dari kelahiran Undang-Undang ini sebagai bentuk pelembagaan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. Kedua, kewenangan istimewa dimaksud merupakan wewenang tambahan tertentu yang dimiliki Yogyakarta-selain wewenang biasa yang ditentukan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah- di mana jabaran pengaturan dan penyelenggaraannya diwadahi dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais). Adapun urusan keistimewaan yang diatur adalah (a) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c) kebudayaan; (d) pertanahan; dan (e)
141
Seperti yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II DPR RI pada hari Selasa, 1 Maret 2011. 142
Robert Endi Jaweng, “Keistimewaan Yogyakarta: Babak Baru yang Menyisakan Sejumlah Catatan”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 42 Tahun 2013, hlm. 115-116.
109
tata ruang, di mana penyelenggaraan berbagai urusan tersebut didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Ketiga, bentuk dan susunan pemerintahan di DIY bersifat istimewa. Di sini, misalnya, Gubernur dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dapat
menyusun
Perdais.
Keempat,
sebagai
esensi
sekaligus
penanda
keistimewaan DIY, pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan secara istimewa, sebagaimana dimaksud dalam BAB VI Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Melihat dari uraian di atas maka pada dasarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 sudah memberikan kejelasan konstruksi dan memperkuat bobot keistimewaan bagi DIY. Poin ketiga -sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012- di mana bentuk dan susunan pemerintahan di DIY bersifat istimewa harus dimaknai sebagai keistimewaan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan di daerah, bukan dalam hal tingkat pemerintahan daerah. Bagir Manan menyatakan bahwa susunan organisasi pemerintahan daerah mempunyai pengaruh terhadap mekanisme hubungan antara Pusat dan Daerah. Susunan pemerintahan daerah mengandung dua segi, yaitu susunan luar (external structure) dan susunan dalam (internal structure). Susunan luar menyangkut badan-badan pemerintahan (publieklichaam) tingkat daerah seperti Daerah Tingkat I (yang sekarang menjadi Daerah Provinsi) dan Daerah Tingkat II (yang sekarang menjadi Daerah Kabupaten/Kota). Susunan dalam mengenai alat
110
kelengkapan (organ) pemerintahan daerah, seperti DPRD dan Kepala Daerah.143 Oleh karena itu, Keistimewaan DIY dalam bentuk dan susunan pemerintahannya berarti susunan dalam mengenai alat kelengkapan (organ) pemerintahan daerah. Alat kelengkapan yang dimaksud adalah mengenai tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, serta kelembagaan Pemerintah Daerah DIY. Dengan demikian, DIY tetaplah daerah provinsi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. DIY memang tidak sama dengan provinsi lain karena ada kewenangan istimewa yang tidak dimiliki oleh provinsi lainnya; wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Namun tidak digunakannya nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 (dan dalam praktik pemerintahan di DIY) bukan berarti DIY merupakan daerah “setingkat provinsi”. Daerah provinsi memiliki lembaga pelaksana kebijakan daerah, yaitu pemerintah provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Dengan status provinsi adalah sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi, Gubernur adalah sebagai kepala daerah otonom sekaligus kepala wilayah administrasi. Sebagai kepala daerah otonom, Gubernur adalah kepala pemerintahan daerah provinsi yang bertanggung jawab kepada rakyat daerah setempat, namun dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum, Gubernur bertanggung jawab kepada
143
Bagir Manan, Hubungan Antara ..., Op. Cit., hlm.191.
111
Presiden melalui Menteri. Sedangkan sebagai kepala wilayah administrasi, Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di wilayah administrasi provinsi yang bersangkutan. Sampai dengan saat ini, Kepala Daerah di DIY masih dipegang oleh seorang Gubernur. Seluruh organ pemerintahan daerah DIY jelas-jelas telah mencerminkan DIY sebagai sebuah provinsi. Apapun yang menjadi latar belakang dihapusnya kata “provinsi” dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, Daerah Istimewa Yogyakarta tetaplah merupakan daerah provinsi sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Titik tekannya adalah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, tidak pernah sekalipun menyebutkan bahwa DIY bukan daerah provinsi. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang mengatur mengenai keistimewaan DIY sebagai sebuah provinsi, bukan mengenai pembentukan DIY. Dengan demikian, untuk mengetahui pengaturan mengenai asal-usul pembentukan DIY sebagai bagian dari wilayah NKRI, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta.144 Lalu bagaimana dengan klausul “setingkat provinsi” dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950? Sesuai dengan namanya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 merupakan dasar hukum bagi terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang ini lahir saat Indonesia masih dalam bentuk Republik Indonesia Serikat dan kondisi negara memang tidak dalam situasi yang kondusif. Indonesia saat itu masih mencari konsep pemerintahan 144
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014.
112
yang tepat bagi negara ini dan belum benar-benar memberikan perhatian penuh terhadap pengaturan mengenai pemerintahan daerah. Sehingga akan terasa wajar jika terjadi rumusan seperti itu dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan produk Negara Bagian, bukan Undang-Undang produk Nasional karena ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia selaku pemangku jabatan saat itu (Bapak Assaat). Sehingga bentuk dari Yogyakarta dalam Undang-Undang tersebut berciri sebagai negara bagian.145 Di samping itu, yang membedakan DIY saat itu dengan “provinsi” lainnya menurut The Liang Gie adalah:146 “...bahwa urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban lain yang telah dikerjakan DIY sebelum pembentukannya itu tetap dilanjutkan sampai kelak ditentukan lain dengan Undang-Undang. DIY juga memikul semua hutang-piutang yang terjadi sebelum pembentukan itu...”
Berdasarkan hal tersebut maka perlu untuk diadakan penyesuaian terkait kedudukan DIY dalam NKRI. Menurut Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang. Istilah yang digunakan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) adalah “dibagi 145
Sebagaimana dikuti dari Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II DPR RI dengan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra pada hari Kamis, 24 Februari 2011. 146
The Liang Gie, Op. Cit., hlm. 205.
113
atas” bukan “terdiri atas”. Istilah itu langsung menjelaskan bahwa negara kita adalah negara kesatuan di mana kedaulatan negara berada di tangan pusat. Hal ini konsisten dengan kesepakatan tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan. Berbeda dengan istilah terdiri atas yang lebih menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan Negara-negara bagian.147 Lebih lanjut dalam Pasal 18 ayat (2) jo. ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, jenis Pemerintahan Daerah di Indonesia hanya ada 3, yaitu Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten, dan Pemerintahan Kota.148 Dan oleh karena istilah “setingkat provinsi” yang digunakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sudah tidak lagi dikenal dalam Konstitusi saat ini maka dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tersebut, klausul “setingkat provinsi” harus dimaknai sebagai “provinsi”. Sebagai sebuah negara Kesatuan, di dalam hubungan antara pusat dan daerah terdapat mekanisme pengawasan yang merupakan pengikat kesatuan agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh: “… if local autonomy is not to produce a state of affairs bordering on anarchy, it must subordinated to national interest by means devised to keep its actions within bounds”. Jika pengikat tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan desentralisasi akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal itu terjadi, pengawasan bukan
147
MPR RI, 2003, Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekertariat MPR RI, Jakarta, hlm. 89. 148
Meskipun ada pula yang disebut “Pemerintahan Desa” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, namun Pemerintahan Desa bukanlah jenis Pemerintahan Daerah menurut UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Lihat definisi Pemerintahan Daerah dan Pemerintah Daerah dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
114
lagi merupakan satu sisi dari desentralisasi tetapi menjadi pembelenggu desentralisasi. Untuk itu, pengawasan harus disertai pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan tersebut akan mencakup pembatasan macam atau bentuk pengawasan,
yang
sekaligus
mengandung
pembatasan
tata
cara
menyelenggarakan pengawasan, dan pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan.149 Di Indonesia, pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan pusat kepada daerah adalah pengawasan terhadap produk hukum daerah. Pengawasan ini terdiri dari pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dilakukan dalam bentuk evaluasi terhadap Raperda. Pasal 1 angka 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyatakan bahwa evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan Perda dan rancangan Perkada untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tidak semua Raperda harus melalui tahap evaluasi. Materi pengaturan tertentu yang perlu mendapat pengawasan preventif ini pada umumnya adalah materi-materi yang dianggap penting, menyangkut kepentingan-kepentingan besar bagi daerah dan penduduknya, sehingga melalui pengawasan ini kemungkinan timbulnya kerugian atau hal-hal yang tidak
149
Bagir Manan, Hubungan Antara ..., Op. Cit., hlm. 181.
115
diinginkan dapat dicegah sebelum Perda tersebut diundangkan dan berlaku secara umum. Berbeda dengan model pengawasan preventif, pengawasan represif ini dilakukan dalam bentuk klarifikasi terhadap semua Perda. Sesuai dengan Pasal 1 angka 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014, klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap Perda, Perkada dan Peraturan DPRD untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh Gubernur. Menteri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang tata ruang daerah
berkoordinasi
dengan
menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan bidang tata ruang. Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti hasil evaluasi dan tetap menetapkan menjadi Perda dan/atau Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dengan Peraturan Menteri. Menurut Pasal 251 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan Gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Gubernur dengan alasan yang dapat
116
dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, Gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan pembatalan Perda atau Peraturan Gubernur diterima. Pada tahun 2014, Pemerintah Daerah DIY menyusun Rancangan Peraturan Daerah DIY tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Sesuai dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya dan berdasarkan Pasal 157 ayat (1) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD Provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. Hasil evaluasi dari Menteri Dalam Negeri dapat berupa persetujuan atau penolakan atas Raperda tersebut. Jika hasil evaluasi berupa persetujuan maka Raperda dapat langsung ditetapkan. Namun apabila hasil evaluasi berupa penolakan maka Raperda dimaksud dapat diperbaiki oleh Gubernur bersama DPRD Provinsi untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Pemerintah Daerah DIY telah menyampaikan Raperda DIY tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum ke Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan evaluasi. Menteri Dalam Negeri kemudian melakukan evaluasi terhadap Raperda dimaksud, untuk menguji kesesuaian Raperda dengan ketentuan
117
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 maupun peraturan perundang-undangan terkait, dan kepentingan umum. Hasil evaluasi atas Raperda tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-1665 Tahun 2014 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Ternyata ada beberapa hal dalam Raperda dimaksud, yang perlu untuk segera disesuaikan dan disempurnakan sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut. Selengkapnya Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 9731665 Tahun 2014 berbunyi sebagai berikut: 1.
Penulisan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta ditambahkan kalimat “Provinsi” sehingga menjadi “Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, hal ini sesuai dengan: a. Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. b. Pasal 1 angka 7 dan angka 8 serta Pasal 7 ayat (1) huruf f dan huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memisahkan antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
118
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 karena disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa DIY adalah
daerah
Provinsi
yang
mempunyai
keistimewaan
dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka NKRI. Hal ini dimaknai bahwa keistimewaan tersebut bukan berarti tidak menyebutkan Provinsi di depan kata “DIY”. d. Lampiran III Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah disebutkan mengenai bentuk produk hukum daerah dengan menuliskan Peraturan Daerah Provinsi dan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dituliskan nama Provinsinya. Hal ini dimaknai, penulisan kata provinsi pada Perda Provinsi digunakan untuk memperjelas, mempertegas, dan menginformasikan bahwa DIY merupakan nama provinsi. Sedangkan penulisan nama Provinsi pada Perda Kabupaten/Kota digunakan untuk menginformasikan asal Provinsi dari Kabupaten/Kota tersebut karena begitu banyaknya Kabupaten/Kota hasil pemekaran yang belum diketahui asal Provinsinya. 2.
Pasal 5 ayat (2) huruf c angka 6 disempurnakan dan ditambahkan ayat (3) baru menjadi: Pasal 5 (2) Jenis pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: c. Balai Pelatihan Kesehatan, yang jenisnya meliputi: 6. Pemeriksaan kesehatan untuk penerbitan keur dokter;
119
(3) Dikecualikan dari objek Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, pihak swasta, dan pelayanan pendaftaran. 3.
Pasal 19 ayat (2) huruf e dan huruf f dihapus karena bukan objek retribusi pelayanan pendidikan sesuai dengan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4.
Lampiran
I
STRUKTUR
DAN
BESARNYA
TARIF
RETRIBUSI
PELAYANAN KESEHATAN, huruf A, Jasa Pelayanan Kesehatan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)/Klinik Pratama dan Rumah Sakit Khusus Paru Respira (RSKP. Respira) penjelasan angka 1 dan 2 kalimat kartu pasien dihapus. 5.
Lampiran
I
STRUKTUR
DAN
BESARNYA
TARIF
RETRIBUSI
PELAYANAN KESEHATAN, huruf A, Jasa Pelayanan Kesehatan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)/Klinik Pratama dan Rumah Sakit Khusus Paru Respira (RSKP. Respira) angka 7 huruf n kata senam diganti dengan fisioterapi. 6.
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN, huruf C, Jasa Pelayanan Kesehatan di Balai Pelatihan Kesehatan (BAPELKES) angka 6 dan angka 9 yang seharusnya angka 2 dan angka 3 disempurnakan menjadi: 3. Pemeriksaan kesehatan untuk Keur Dokter. 4. Pemeriksaan kesehatan untuk penerbitan rujukan pasien ke RS.
120
7.
Lampiran III STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI PELAYANAN PENDIDIKAN huruf A. Jasa Pelayanan
Kesehatan
Masyarakat di Balai Pelatihan Kesehatan (BAPELKES) angka 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 yang seharusnya ditulis angka 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, kalimat jasa dihapus. 8.
Lampiran III STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI PELAYANAN
PENDIDIKAN
huruf
C.
Jasa
Latihan
Pengukuran
Produktifitas di Balai Latihan Kerja dan Pengembangan Produktifitas (BLKPP eks BPPK) dihapus. 9.
Lampiran III STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI PELAYANAN PENDIDIKAN huruf D. disempurnakan menjadi “Jasa Pendidikan dan Pelatihan dan Pelayanan Lingkungan Kerja, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja di Balai Hiperkes.
10. Lampiran III STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI PELAYANAN PENDIDIKAN huruf E dan huruf F dihapus.
Pada dasarnya Pemda DIY telah menindaklanjuti hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri, kecuali untuk angka 1 yang mengharuskan dicantumkannya nomenklatur “Provinsi” dalam Raperda tersebut. Hal ini karena Pemda DIY tidak lagi menggunakan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta”, sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.150 Jika dianalisis lebih lanjut, sebenarnya alasan-alasan sebagaimana diuraikan dalam 150
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014.
121
angka 1 huruf a sampai dengan huruf d Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-1665 Tahun 2014 tidak sepenuhnya tepat bila dijadikan dasar perlunya DIY mencantumkan kata “Provinsi” dalam Raperdanya. Berikut adalah uraian mengapa huruf a sampai dengan huruf d tersebut tidak dapat digunakan untuk ‘memaksa’ DIY menggunakan nomenklatur “Provinsi” dalam Raperdanya: a. Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Tidak dicantumkannya kata “Provinsi” dalam Raperda bukan berarti DIY tidak mengakui dirinya sebagai Daerah Provinsi. Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pasca Amandemen menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini menjadi dasar bagi lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 sudah menegaskan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga sesungguhnya, keputusan untuk tidak menggunakan nomenklatur “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” tidak bertentangan dengan Konstitusi.151
151
Hasil wawancara dengan Bapak Sumadi, mantan Kepala Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 24 November 2014.
122
b. Pasal 1 angka 7 dan angka 8 serta Pasal 7 ayat (1) huruf f dan huruf g UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, telah memisahkan antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Raperda DIY sudah sangat jelas bahwa Raperda tersebut adalah Raperda Provinsi, yang jika telah disahkan akan menjadi Perda Provinsi. Ini tercermin dalam rumusan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, di mana Peraturan Daerah DIY, selanjutnya disebut Perda, adalah Peraturan Daerah DIY yang dibentuk DPRD DIY dengan persetujuan bersama Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Peraturan Daerah yang dibentuk DPRD DIY dengan persetujuan bersama Gubernur, disebut dengan Peraturan Daerah Provinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. c. Keistimewaan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, memang bukan berarti tidak menyebutkan Provinsi di depan kata “DIY”. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Tidak menyebutkan Provinsi di depan kata “DIY” dalam Raperda ini lebih disebabkan karena dalam Pasal 1 angka 12 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 memang dinyatakan demikian, bahwa
123
Peraturan Daerah (Provinsi) DIY cukup dinyatakan sebagai Peraturan Daerah DIY. d. Dalam Lampiran III Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah disebutkan mengenai bentuk produk hukum daerah dengan menuliskan Peraturan Daerah Provinsi dan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga dituliskan nama Provinsinya. Hal ini dimaknai (oleh Kementerian Dalam Negeri), penulisan kata provinsi pada Perda Provinsi digunakan untuk memperjelas, mempertegas, dan menginformasikan bahwa DIY merupakan nama provinsi. Sedangkan penulisan nama Provinsi pada Perda Kabupaten/Kota digunakan untuk menginformasikan asal Provinsi dari Kabupaten/Kota tersebut karena begitu banyaknya Kabupaten/Kota hasil pemekaran yang belum diketahui asal Provinsinya. Jika hanya itu alasannya, maka sebenarnya dalam Raperda tersebut sudah dijelaskan bahwa DIY adalah daerah provinsi (Pasal 1 angka 22 Perda Provinsi DIY Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umumketentuan Pasal tersebut tidak diubah dalam Raperda ini). Lagipula, UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Peraturan Menteri Dalam Negeri. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 menentukan dalam Pasal 1 angka 12 bahwa Peraturan Daerah yang dibentuk DPRD DIY dengan persetujuan bersama Gubernur disebut dengan Peraturan Daerah DIY (Perda DIY). Dengan adanya asas lex superiori derogat legi inferiori maka ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
124
dengan sendirinya mengesampingkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014.152
Sayangnya, Pemerintah Daerah DIY tidak pernah diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan terkat tidak dicantumkannya nomenklatur “Provinsi” dalam Raperdanya. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah memberikan rambu-rambu, bahwa dalam hal Gubernur DIY dan DPRD DIY tidak menindaklanjuti hasil evaluasi dan tetap menetapkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut menjadi Peraturan Daerah maka dilakukan pembatalan oleh Menteri Dalam Negeri. Pada saat itu, masih berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014. Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa keputusan pembatalan Perda (baik Perda Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda tersebut dengan alasan yang dapat dibenarkan
oleh
peraturan
perundang-undangan,
Kepala
Daerah
dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Risiko adanya pembatalan Perda inilah yang menjadi pertimbangan DPRD yang menginginkan Pemerintah Daerah DIY menindaklanjuti secara keseluruhan hasil evaluasi atas Raperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Hingga kemudian terjadi deadlock dalam proses pembahasan Raperda tersebut yang menyebabkan tidak tercapainya persetujuan
152
Ibid.
125
bersama sehingga Raperda tidak dapat ditetapkan menjadi Perda.153 Hal yang sama terjadi pula dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta (Raperdais DIY). Sampai dengan tahun 2014, baru satu Perdais yang dihasilkan yaitu Peraturan Daerah Istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, belum ada permasalahan terkait tidak digunakannya nomenklatur “Provinsi” dalam Perdais tersebut karena tidak melalui tahap evaluasi (Raperda yang wajib dilakukan evaluasi adalah Raperda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Namun pasca ditetapkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-1665 Tahun 2014 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum, penggunaan nomenklatur “Provinsi” menjadi permasalahan yang menyebabkan pembahasan beberapa Raperdais juga mengalami jalan buntu sehingga tidak dapat ditetapkan.154 Sejatinya, keberlakuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah mutlak-tidak dapat diganggu gugat-sepanjang tidak dilakukan pencabutan oleh pembuatnya. Sehingga apa yang diatur di dalamnya pun harus dianggap benar. Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka 11 sudah mengatur penggunaan nomenklatur Pemerintahan Daerah DIY, 153
Hasil wawancara dengan Bapak Haris Suhartono, Kepala Subbagian Peraturan Daerah Biro Hukum Setda DIY pada tanggal 25 November 2014. 154
Sebagaimana diungkapkan oleh mantan Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRD DIY, Sadar Narimo, dalam harian Radar Jogja, Selasa, 30 September 2014, hlm. 1.
126
Pemerintah DIY, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, tanpa adanya kata “Provinsi” di depannya. Demikian pula dengan penyebutan Peraturan Daerah DIY dan Peraturan Daerah Istimewa DIY, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 dan angka 13. Dengan demikian, tidak salah jika Pemda DIY tetap bersikeras untuk tidak menggunakan kata “Provinsi” di depan nama “Daerah Istimewa Yogyakarta” dalam Raperda maupun Raperdaisnya.. Hal yang perlu mendapat perhatian lebih dari Pemerintah dalam hal pengawasan produk hukum daerah, khususnya pengawasan preventif terhadap Raperda Provinsi, adalah bahwa sebelum memberikan keputusan hasil evaluasi hendaknya Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) mengundang Pemerintah Daerah Provinsi untuk mencermati poin per poin saran perbaikan dari Pemerintah. Ini diperlukan mengingat Pemerintah Daerah Provinsi adalah penyusun dari Raperda tersebut sehingga mereka mengetahui persis apa yang menjadi latar belakang disusunnya setiap norma dalam Raperda itu. Sehingga di sini akan terjadi hubungan langsung dua arah antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi, dan kedua pihak dapat memberikan argumentasinya dalam rangka penyempurnaan terhadap Raperda dimaksud. Dalam sistem negara Kesatuan, pemerintahan daerah adalah sub sistem pemerintahan negara yang tidak mungkin melepaskan sama sekali aspek sentralisasi sebagai unsur pengerat ikatan persatuan. Pengawasan merupakan salah satu instrumen penting untuk mewujudkan bekerjanya sistem tersebut. Dengan adanya pengawasan, Pemerintah dapat melakukan tindakan terhadap pemerintah daerah yang tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik.
127
Hanya saja pengawasan oleh Pemerintah semestinya berjalan secara proporsional di bawah ketentuan hukum yang konsisten antara Undang-Undang Pemerintahan Daerah dengan peraturan pelaksananya, serta Undang-Undang sektoral. Jika hanya sekedar mendasarkan pada asas lex superior derogat legi inferiori, Perda akan selalu dikalahkan walaupun secara substansial peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut belum tentu sejalan dengan paradigma desentralisasi. Oleh karena itu, sudah saatnya Pemerintah menegaskan keseluruhan bentuk pengawasan yang dapat dijalankan terhadap kebijakan daerah. Indikator untuk mengatur ketaat-asasan kebijakan daerah tidak dapat hanya diukur secara normatif, tetapi harus dilihat pada kondisi faktual masing-masing daerah dalam rangka melaksanakan otonomi luasnya.155 Dengan demikian, konsep desentralisasi yang sesungguhnya pun dapat diwujudkan secara efektif dan efisien.
155
Enny Nurbaningsih, “Berbagai Bentuk Pengawasan Kebijakan Daerah Dalam Era Otonomi Luas”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23, Februari 2011, halm. 189.