BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah pelacuran bukanlah menjadi hal yang baru di Indonesia. Pelacuran sendiri merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri (Kartono, 1997). Koentjoro (2004) mengatakan bahwa pelacuran di Indonesia sudah terjadi sejak zaman Mojopahit. Fenomena tersebut kemudian berlanjut di dalam kurun waktu antara 1942-1945, pada masa penjajahan Jepang banyak wanita Indonesia yang dijadikan sebagai seorang pelacur yang disebut sebagai Jugun Ian Fu. Fenomena pelacuran tersebut berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana di kota Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan bisa diibaratkan sebagai lokasi strategis untuk menemukan sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar hampir di setiap sudut kota dari kalangan bawah sampai ke kalangan atas (Emka, 2005). Tidak berbeda jauh dengan kota Jakarta khususnya di kota Medan, dalam segi pelacuran, eksploitasi perempuan hiburan malam memiliki cerita tersendiri dan hampir menyerupai Jakarta. Kawasan diseputar jalan Nibung Raya, pusat perbelanjaan Medan Mall, Thamrin Plaza dan Deli Plaza sudah terkenal sebagai transaksi masalah pelacuran (Sabili, 2003). Pertumbuhan kota Medan yang berpenduduk kurang-lebih 2.006.142 jiwa ini (Data BPS dalam Popular, 2005) ternyata diikuti dengan berkembangnya tempat hiburan malam. Tidak heran bila kemudian kota yang memiliki luas
Universitas Sumatera Utara
26.510 hektar atau 265,10 km² ini dikenal sebagai salah satu barometer hiburan malam dan pelacuran untuk wilayah Sumatera (Popular, 2005). Definisi pelacuran sendiri merupakan suatu bentuk transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai suatu yang bersifat jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam (Perkins & Bannet dalam Koentjoro 2004). Pihak-pihak yang terlibat adalah pelacur dengan pihak lain yaitu pelanggan. Pelacur sendiri menurut Fieldman dan Mac Cullah (dalam Koentjoro 2004) adalah seseorang yang menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk menjual seks dalam satuan harga tertentu. Taber dan Pheterson (dalam Koentjoro 2004) menggolongkan pelacuran sebagai suatu jenis perburuhan seks perempuan yang membentuk suatu kontinum dari mulai pertukaran jangka pendek, uang dan seks, barang dan seks hingga pertukaran jangka panjang seks dengan pelayanan domestik dan reproduksi seperti dalam pernikahan. Istilah pelacur mengacu kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks, merupakan sebuah status sosial yang sudah terstigmatisasi dan bersifat kriminal (Pheterson, 1996). Kemudian berkembang istilah WTS (wanita tuna susila) untuk pelacur wanita dan pekerja seks komersil atau PSK (Koentjoro, 2004). Istilah pelacur pada dasarnya sudah terstigmatisasi dan bersifat kriminal, namun Kartono (1997) mengatakan bahwa tidak ada undang-undang yang melarang pelacuran di Indonesia, dan juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan hubungan seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
Banyak hal dan peristiwa sosial yang menyebabkan timbulnya pelacuran. Kurangnya lapangan pekerjaan untuk wanita, meningkatnya persaingan dalam mencari pekerjaan, tekanan ekonomi, faktor kemiskinan dan petimbanganpertimbangan lain, juga peristiwa urbanisasi tanpa adanya jalan keluar menyebabkan tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan kesempatan kerja bagi wanita kecuali dengan menjadi seorang pelacur (Kartono, 1997). Hal itu juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial bagi wanita yang menjadi seorang pelacur (Hoigard & Finstad dalam Phoenix, 2000). Kebanyakan dari wanita tersebut melacurkan diri dan memilih profesi tersebut dalam keadaan sadar dan suka rela. Hwang (2003) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian yang ia lakukan, terdapat sekitar 82% alasan seseorang menjadi pelacur adalah karena keinginannya dan pilihannya sendiri. Pilihan-pilihan tersebut berdasarkan kepada motivasi-motivasi tertentu yang berbeda pada setiap pelacur (Kartono, 1997). Hull (1997) mengatakan bahwa secara umum masuknya para wanita ke dalam industri seks ini di dorong oleh hasrat untuk memperoleh penghasilan yang relatif lebih besar dalam jangka waktu yang singkat (instant money). Daya tarik kemakmuran yang diperoleh dengan mudah seiring dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi tetap merupakan faktor penggerak utama untuk masuk dan bekerja seseorang ke dalam industri seks. Hal senada juga diungkapkan oleh Hwang (2003). Penelitian yang ia lakukan di Taiwan mengatakan bahwa seorang wanita muda yang bernama Finny telah masuk kedalam dunia pelacuran karena melihat temannya yang memperoleh
Universitas Sumatera Utara
uang yang cukup banyak dalam waktu yang singkat dengan cara menjadi seorang pelacur tanpa memerlukan kerja keras dan pengalaman dalam bekerja. Jumlah pelacur dengan latar belakang seperti ini berkisar antara 13% dari beberapa pelacur yang ada di Taiwan. Fenomena tersebut sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia, untuk menjadi seorang pelacur tidak memerlukan kerja keras dan pendidikan yang tinggi. Hull(1997) mengatakan bahwa studi tentang pelacuran di Indonesia secara konsisten menunjukkan bahwa pendapatan pelacur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja pada jabatan jenis lain yang banyak di dominasi oleh tenaga kerja perempuan. Sesuai dengan jenis kelompok pekerjaan yang lain, pelacur juga memiliki keragaman. Fieldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa pelacuran terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Pelacur jalanan (low class) dan gadis panggilan (high class) memiliki ciri-ciri yang berbeda. Ciri-ciri tersebut dapat berupa usia, lokasi, daya tarik, tingkat pendidikan dan motivasi. Untuk pelacur low class usia mereka berkisar antara 1115 tahun (Kartono, 1997) dengan lokasi praktek pelacuran di daerah-daerah kumuh seperti pasar, kuburan, di sepanjang rel kereta api yang berbahaya dan sulit dijangkau (Hull, 1997). Berdasarkan tingkat pendidikan, pelacur low class memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Umumnya mereka memiliki tingkat pendidikan di bawah SMU (Kartono, 2003) dan motivasi mereka ketika menjadi seorang pelacur adalah untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya (Mudjiono, 2005). Seperti yang diungkapkan oleh seorang pelacur low class kepada peneliti,
Universitas Sumatera Utara
” Aku ini perlunya duit...ini lah karna perut sejengkal ini. Duit dari mana aku kalo nggak jual ini (menunjuk kemaluan), nggak mungkin la aku pilihpilih yang mana yang mau make’ aku. Yaa nggak makan-makan la...” (Komunikasi personal, 21 Mei 2008) Berdasarkan wawancara diatas, dapat di gambarkan bahwa kebanyakan para pelacur low class masuk kedunia pelacuran karena memiliki kebutuhan mendesak akan uang yang akan mereka pergunakan untuk membeli kebutuhan primer mereka seperti kebutuhan untuk membeli makanan dan lain sebagainya. Bahkan menurut penelitian Hwang (2003) yang ia lakukan di China, beberapa pelacur low class menggunakan penghasilan mereka untuk membayar hutang keluarga. Berbeda dengan ciri-ciri pelacur low class yang telah dijabarkan diatas, pelacur high class memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan pelacur low class. Berdasarkan usia, pelacur high class umumnya berkisar antara 17-25 tahun. Pelacur high class selalu beroperasi di daerah yang tidak menunjukkan adanya lokasi yang terbuka seperti yang biasanya dilakukan oleh pelacur low class (Mudjiono, 2005). Koentjoro (2004) juga menambahkan bahwa pelacur high class sangat mengutamakan kerahasiaan, sehingga mereka tidak dapat di kunjungi langsung oleh pelanggan. Pelacur jenis high class seperti ini bahkan sering digunakan sebagai alat untuk memperlacar dan untuk mempermudah transaksi dalam dunia bisnis dan politik (Mudjiono, 2005). Berdasarkan tingkat pendidikan, pelacur high class umumnya memiliki tingkat pendidikan setara dengan perguruan tinggi dan mempunyai keterampian tertentu (Kartono, 1997). Hal inilah yang menyebabkan pelacur high class memiliki harga yang jauh lebih mahal dari pelacur biasa, ini disebabkan karena
Universitas Sumatera Utara
pelacur high class dianggap lebih bergengsi (Koentjoro, 2004). Mereka yang tergabung dalam kelompok high class umumnya terdiri dari mahasiswi, pegawai wanita, istri-istri simpanan dan yang lainnya (Kartono, 1997). Pelacur high class memiliki motivasi berbeda dalam menjalankan perannya sebagai seorang pelacur, jika pelacur low class mengatakan bahwa motivasi utama mereka ketika bekerja sebagai seorang pelacur adalah untuk memenuhi kebutuhan primer, maka untuk seorang pelacur high class, materi bukanlah merupakan satu-satunya alasan utama. Seorang pelacur high class yang bernama Cindy (nama samaran), berdasarkan komunikasi personal kepada peneliti mengungkapkan bahwa, ”Sebenernya ni gara-gara keadaan juga. Orang tua aku tuh uda sama sekali gak peduli sama aku..aku adik-adik aku ditelantarin gitu aja..sebenarnya aku Cuma mau cari perhatian mereka aja, karena orang tua ku itu udah sibuk sama urusannya masing-masing...” (Komunikasi personal, 22 Mei 2008) Berdasarkan pengakuan diatas, seorang pelacur high class yang bernama Cindy mengatakan bahwa motivasi utamanya masuk kedalam dunia pelacuran adalah sebagai pelarian atas masalah yang sedang dihadapinya di keluarganya. Cindy berusaha untuk mencari perhatian orang tuanya dengan menjadi seorang pelacur. Dengan menjadi seorang pelacur Cindy berharap kedua orangtuanya kembali menyayanginya. Uang dan kekayaan merupakan alasan kedua Cindy untuk menjadi seorang pelacur. Pada dasarnya uang dan penghasilan yang diperoleh seorang pelacur high class hanya untuk berfoya-foya, namun kenyataannya terdapat beberapa pelacur yang menyisihkan sebahagian uang yang ia peroleh sebagai tabungan di masa
Universitas Sumatera Utara
yang akan datang (Monto, 2001). Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh seorang pelacur high class kepada peneliti, ”Aku sekarang lagi nabung, begini-begini aku inget nabung juga lho...aku pengen beli rumah yang besar buat aku dan keluarga ku. Tapi aku nggak tau kapan itu terjadi, punya rumah, punya keluarga..entahlah....” (Komunikasi personal, 8 Juni 2008) Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa pelacur high class juga menginginkan perubahan dalam hidupnya. Walaupun pada dasarnya pelacur high class selalu hidup dengan materi yang berlimpah namun tidak menjamin bahwa hidup para pelacur high class tersebut akan bahagia. Hal ini juga dialami oleh pelacur high class yang bernama Maria (dalam Emka, 2005), ” Hidup ini semu, aku nggak pernah tau gimana rasanya cinta sejati. Pria yang pernah membuat aku jatuh cinta pergi begitu aja menelantarkan aku sia-sia. Aku sekarang easy going dan enjoy aja nikmatin hidup. Duit itu seakan ngak ada artinya karena aku sebenarnya butuh kasih sayang dan cinta sejati dari seorang lelaki.” Maria yang juga merupakan seorang pelacur high class menganggap bahwa hidup yang ia jalani saat ini adalah merupakan hidup yang semu. Ia tidak pernah mengetahui kebahagiaan yang sejati itu seperti apa. Namun ia tidak berusaha untuk mencarinya mencari tahu kebahagiaan sejati tersebut. Hal itulah yang membuatnya menjadi sosok yang apatis dalam hidup. Ia tidak memperdulikan akan kemana ia
membawa hidupnya. Dalam berhubungan
dengan pelanggannya, ia terlihat begitu tegar dan percaya diri..Perilaku yang dialami oleh Maria muncul karena adanya rasa penyesalan pada seorang pelacur yang pada dasarnya mereka juga menginginkan kehidupan yang normal dengan memiliki keluarga yang utuh di kemudian hari (Kartono, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Perilaku ini menurut Bastaman (1996) merupakan salah satu komponen dalam pencarian makna hidup. Komponen ini disebut dengan pemahaman diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik lagi. Mereka berupaya untuk merubah hidupnya dengan cara menabung untuk membeli rumah agar mendapatkan masa depan yang lebih cerah walaupun mereka tidak memastikan kapan mereka bisa merubah hidup mereka. Berbeda dengan Cindy dan Maria, Sarah salah seorang pelacur high class lain yang peneliti temui mengungkapkan bahwa,
.
”hmm...aku sih emang suka aja kerja kayak beginian, emang sih dulu awanya aku pernah sebel sama cowok aku. Dia yang jerumusin aku ke pekerjaan ini, tapi aku ngak nyesel juga.Soalnya lama-lama kerja beginian enak sih. Udah dapat duit banyak terus bisa puas lagi ...” (Komunikasi personal, 23 April 2008) Jika dilihat dari kasus yang dialami oleh Sarah, masuknya ia ke dalam
dunia pelacuran adalah karena kebutuhannya akan berhubungan seks yang cukup tinggi. Pada awalnya Sarah merasa marah karena dijerumuskan ke dunia malam oleh kekasihnya. Namun lama-kelamaan Sarah menjadi menikmati pekerjaan ini, karena pada dasarnya ia juga memiliki kebutuhan seksual yang harus dipenuhi. Hal yang sama juga di dukung dengan pengakuan yang dilakukan oleh Cindy kepada peneliti, ” kamu tau lah kalo anak-anak malam ini mereka tuh jadi pelacur kalo ngga karna di tinggal laki pasti nafsu seks nya tinggi..semua temen-temen kakak pasti penyakitnya itu..makanya mereka jadi kerja yang beginian..macem-macem lah..ada juga yang di perkosa sama pacarnya...” (Komunikasi personal, 11 Mei 2008)
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan yang diungkapkan oleh Cindy turut menguatkan yang telah dialami oleh Sarah. Sarah merupakan salah seorang pelacur high class yang menganggap bahwa pekerjaan sebagai seorang pelacur merupakan sebuah hiburan untuknya. Ia tidak menganggap masuknya ia kedalam dunia pelacuran karena sebuah penderitaan. Selain itu uang yang ia peroleh juga ia pergunakan sebagai pemasukan tambahan dan untuk memenuhi segala kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Mudjiono (2005), ia mengatakan bahwa hiburan juga merupakan salah satu motivasi seseorang ketika masuk kedalam dunia pelacuran. Bahkan beberapa diantara pelacur high class yang kemudian di jadikan sebagai istri simpanan yang di ”simpan” di daerah pinggiran kota atau di daerah peristirahatan dengan fasilitas rumah mewah, lengkap dengan perabotan dan juga mobil (Kartono, 1997). Fasilitas rumah mewah dan lain sebagainya merupakan sebagian dari kesenangan yang di miliki oleh pelacur high class. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sarah, yang merupakan seorang pelacur high class kepada peneliti, ”Nyantai aja lah dulu...hidup ini musti dinikmati say...aku ngga perduli orang-orang pada ngomong apa. Yang penting aku have fun..sekarang ya sekarang, nanti ya nanti...bener ga...” (Komunikasi personal, 11 Mei 2008 ) Berdasarkan ungkapan diatas, dapat digambarkan bahwa Cindy belum menyadari pentingnya memiliki tujuan hidup dalam dirinya. Pada saat itu ia belum memiliki kehendak untuk hidup bermakna. Ia kemudian memunculkan perilaku apatis dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi pada dirinya di masa yang akan datang. Namun ungkapan Cindy di atas bisa juga bermakna lain
Universitas Sumatera Utara
bahwa pada saat itu Cindy memang telah menemukan makna hidupnya. Karena pada saat itu Cindy menikmati hidupnya dengan bekerja sebagai seorang pelacur. Ia tidak memperdulikan apa yang di katakan oleh orang lain mengenai dirinya karena ia menyukai dan menikmati pekerjaaannya sebagai seorang pelacur. Crumbaugh dan Maholich (Koeswara dalam Bukhori, 2006) mengatakan bahwa ciri-ciri kebermaknaan hidup adalah memiliki tujuan hidup, kepuasan hidup, kebebasan memilih, gairah hidup, dan tanggung jawab. Mereka yang memiliki kebermaknaan hidup akan memiliki tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Kegiatan mereka menjadi terarah dan mereka juga merasakan sendiri kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai (Bukhori, 2006). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Savolaine & Granello (2002), mereka mengatakan bahwa dengan adanya makna didalam hidup maka makna tersebut akan mempengaruhi perilaku individu menjadi kearah yang lebih baik dan lebih positif. Individu yang tidak berhasil dalam menghayati makna hidup biasanya akan menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tidak berarti serta bosan dan apatis (Koeswara, 1992). Kebermakaan hidup itu sendiri dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas dan negara bahkan umat manusia (Ancok dalam Frankl, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Anggriani (dalam Bukhori, 2006) mengatakan bahwa makna hidup berarti penghayatan seseorang mengenai kualitas, tujuan dan harapan dalam hidupnya agar dapat berarti bagi diri sendiri dan sesamanya. Pendapat ini didukung oleh penelitian Reker dan Butler (dalam Bee, 1996) bahwa individu yang mempunyai misi dan arah, memiliki tujuan dalam hidupnya lebih sehat secara mental dan psikologis dari pada individu yang makna hidupnya tidak jelas. Untuk dapat berhasil menghayati hidup bermakna, sebelumnya individu harus dapat menemukan suatu makna kehidupannya. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa seorang yang bekerja sebagai pelacur high class walaupun memiliki pekerjaan yang sama antara satu dengan lainnya, ketika memutuskan untuk masuk ke dalam pekerjaan tersebut tentunya masing-masing memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda. Karena pada dasarnya setiap individu juga bervariasi dalam mencari dan menemukan makna hidupnya. Schultz (1991) mengatakan bahwa makna hidup bisa berbeda-beda antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dan berbeda setiap hari bahkan jam. Hal ini sesuai dengan karakteristik makna hidup itu sendiri yaitu unik dan personal, tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus ditemukan sendiri. Apa yang dianggap penting dan berharga bagi seseorang belum tentu penting dan berharga bagi orang lain (Bastaman, 1996). Orang lain hanya sekedar menunjukkan berbagai sumber kebermaknaan hidup, tetapi pada akhirnya terpulang kepada orang yang ditunjuki untuk menentukan sendiri apa yang dianggap dan dirasakan bermakna bagi dirinya (Bastaman dalam Bukhari, 2006). Ada orang yang tidak dapat melihat adanya makna hidup mereka dalam keadaan
Universitas Sumatera Utara
mereka yang buruk, padahal makna hidup itu sendiri tetap ada. Hal itu tergantung kepada kesadaran individu akan makna. Akan tetapi tidak semua individu langsung berhasil menemukan makna hidupnya. Ada kalanya individu tidak berhasil menemukan makna hidupnya karena dia memang tidak segera menyadari makna tersebut dan menyadari panggilan tersebut. Maka individu merasakan hidupnya hampa dan tidak bermakna (Frankl, 1984) Berdasarkan permasalahan yang dijabarkan di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana makna hidup bagi seorang pelacur high class di Indonesia, dan bagaimana proses dari penemuan makna hidup jika dilihat berdasarkan kepada tahap-tahap dalam penemuan makna hidup tersebut. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah makna hidup bagi seorang pelacur high class? 2. Bagaimanakah proses pencarian makna hidup bagi seorang pelacur high class dan bagaimana mereka menemukannya? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan makna hidup pada seorang pelacur high class dan menjelaskan bagaimana proses pencarian dan pemenuhan makna hidup dilihat dari tahap-tahap menemukan makna hidup itu sendiri. D. Manfaat Penelitian
Universitas Sumatera Utara
1. Manfaat Teoritis Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu psikologis, khususnya dibidang Psikologi Klinis dalam rangka perluasan teori, terutama berkenaan dengan makna hidup pada pelacur high class dan dapat digunakan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi para pelacur high class lainnya yaitu sebagai media inspiratif, dimana diharapkan dengan membaca penelitian ini dapat memberi masukan para pelacur high class lainnya untuk melihat pengalaman dari pelacur high class yang menjadi partisipan dalam penelitian ini bagaimana cara mereka dalam menemukan makna hidupnya. Selain itu penelitian ini memberikan wacana bagi masyarakat umum untuk mengetahui motivasi-motivasi atau hal-hal apa saja yang bisa mempengaruhi seseorang untuk mejadi seorang pelacur high class. E. Sistematika Penulisan Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : BAB I
: Pendahuluan Berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
:Landasan Teori Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah.
BAB III
:Metode Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh
peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif,
metode pengumpulan data, responden dan lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data. Selain itu juga memuat teknik pengambilan subjek/ responden yang akan digunakan dalam penelitian. BAB IV
: Hasil dan Analisis Hasil Penelitian Berisi uraian singkat hasil penelitian dan interpretasi data.
BAB V
: Kesimpulan, Diskusi dan Saran Berisi tentang kesimpulan dari hasil yang diperoleh, diskusi tentang hal yang terkait dengan hasil penelitian dan saran yang berhubungan dengan hasil penelitian dan penelitian lanjutan
Universitas Sumatera Utara