BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Desa merupakan daerah otonom paling tua, keberadaan desa sendiri sudah
dikenal sejak masa kolonial. Pada masa itu desa memiliki hak otonom yang penuh. Kekuasaannya tidak saja berkaitan dengan pemerintahan dalam arti kata yang sempit, akan tetapi juga berisikan pemerintahan dalam arti luas. Desa memiliki hak otonom karena kepala desa atau Lurah, berkuasa atas pengadilan, kepolisian, perundang- undangan, dan pertanahan (Kartohadikoesoemo.1953:135). Di dalam sistem pemerintahan Indonesia, desa merupakan bagian dari sistem pemerintahan paling dasar. Peran mereka begitu sangat penting karena pemerintahan desa langsung berhadapan dengan masyarakat, baik itu dalam proses pembangunan ataupun proses penerapan kebijakan-kebijakan yang lahir dari pemerintah. Keberadaan desa dalam negara Indonesia terus mengalami perubahan
dari
tahun
ke
tahun dari
segi
kekuasaan
sampai
dengan
kepemimpinannya. Sebelum pemerintahan kolonial berada di Indonesia, desa merupakan sebuah tempat yang dihuni oleh sekumpulan orang yang terdiri dari beberapa kerabat. Mereka dipimpin oleh seseorang yang lebih tua atau lebih kuat di antara kelompoknya yang disebut sebagai primus interpareus. Sistem pergantian kepemimpinan pada masa itu dilakukan secara turun-temurun. Orang-orang yang
1
secara turun-temurun memimpin kelompoknya dan memperoleh banyak akses ekonomi, maka inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat elit. Baru pada masa kolonial di bawah kepemimpinan Raffles diperkenalkanlah sistem pemilihan umum untuk memilih kepala desa 1 . Artinya pergantian pemimpin tidak lagi berdasarkan garis keturunan, tetapi masyarakatlah yang menentukan pemimpinnya. Proses pemilihan dilakukan dengan berbagai cara ada yang menggunakan cara tunjuk jari, ada pula dengan cara wiwinan 2 . Model pemilihan dengan cara seperti ini memungkinan para calon melihat langs ung kesetiaan dari rakyatnya. Pada masa kolonial, kekuasaan yang dipegang oleh seorang pemimpin desa menjadi sangat presties. Pergantian kepemimpinan melalui sistem pemilihan memungkinkan terjadi persaingan yang cukup ketat dari para calon untuk mengumpulkan sua ra dengan berbagai macam cara, bahkan dengan cara kekerasan (Husken.1991). Cara-cara kekerasan akan dilakukan untuk memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan, meskipun membutuhkan kekuatan yang cukup besar, baik materi maupun non materi. Hal inilah yang membuat tidak semua orang mampu mencalonkan diri sebagai pemimpin desa, orang-orang yang mapan seperti para elit yang mampu mencalonkan diri. Oleh karena itu meskipun sistem pemilihan sudah diterapkan tetap saja pemerintahan desa dipegang oleh elit-elit desa dan kerabatnya.
1
Pemerintahan Raffles terjadi pada tahun 1811-1816 atau awal dari masa peralihan pemerintahan dari Belanda ke Inggris. Frans Husken. Kepemimpinan Jawa: Pemilihan di Desa di Jawa Tengah. 2 Proses penentuan suaranya dilakukan dengan cara rakyat duduk dibelakang calon pemimpinnya masing-masing mebentukan sebuah barisan. Barisan yang paling panjanglah yang pada akhirnya akan menang dan menjadi pemimpin desa tersebut selanjutnya.
2
Pemerintah kolonial dengan adanya pemilihan langsung ini berharap masyarakat pedesaan memperoleh seorang pemimpin sekaligus sebagai pengawas yang
mengontrol
keberlangsungan
pemimpin-pemimpinnya.
hubungan
antara
masyarakat
Tujuanannya adalah meningkatkan
dengan
kesejahteraan
masyarakat dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemimpin pribumi (elit). Sebab pada masa sebelum kolonial justru masyarakat Jawa yang tertindas, tereksploitasi, dan mengalami pembodohan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin mereka (Philpott. 2003). Pola pemilihan kepala desa melalui pemilihan langsung sebenarnya memberi peluang terbuka bagi semua lapisan masyarakat untuk masuk ke dalam ranah politik pedesaan, tidak hanya mereka yang memiliki kemampuan kuat secara finansial. Namun, nampaknya kondisinya justru tidak seperti yang diharapkan. Pemerintahan di pedesaan tidaklah jauh mengalami perbedaan. Menurut Effendi (1991) pola kepemimpinan di desa masih menggunakan pola paternalistik dan masih bersifat tradisional. Hal ini berakibat pada peluang lebih besar bagi tangan-tangan supra desa yang mempengaruhi perilaku seorang pemimpin sehingga cenderung lebih mewakili para elit desa. Pada masa postkolonial, kondisi juga tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Kond isi ini diperkuat lagi dengan ideologi politik yang dikembangkan oleh Soekarno tentang Nasakom3 , yang sangat mempengaruhi pergerakan politik
3
Nasakom adalah sebuah ideologi yang dilahirkan oleh Soekarno pada masa demokrasi terpimpin untuk menyatukan dua ideologi yang saling bertentangan, yakni Nasionalisme yang tercermin dalam partai PNI (Partai Nasional Indonesia), Komunis yang tercermin dalam partai PKI (Partai Komunis Indonesia), dan dan Agama yang tercermin dalam partai Masyumi.
3
di pedesaan. Unsur-unsur ideologi dikemas dalam percaturan politik sehingga lahirlah PKI, Masyumi, dan juga PNI. Sejak lahirnya negara peran pemerintah desa mengalami banyak perubahan. Pada masa Orde Baru misalnya, negara melalui UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menyebutkan bahwa kepala desa dan dewan desa dirancang sedemikian rupa oleh pusat (Mashad,2005:1-2). Kondisi ini mengakibatkan pemerintah desa bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat daripada kepada warga masyarakatnya. Hal ini berakibat juga pada hilangnya suara-suara rakyat di pedesaan karena tidak memiliki media untuk menyalurkan aspirasi dalam proses pembangunan. Penyaluran aspirasi rakyat seharusnya sangatlah penting di pedesaan, mengingat sebagian besar masyarakat di Indonesia hidup di lingkungan pedesaan. Begitu juga dengan keberhasilan pembangunan di pedesaan tentunya menjadi tolok ukur dari keberhasilan pembangunan nasional. Namun, pada msa Orde Baru suara-suara masyarakat desa hanya berguna ketika pemilihan umum tiba, baik itu pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat ataupun pemilihan kepala desa. Masyarakat desa yang sebagian besar masyarakat petani yang miskin dianggap tidak memiliki peran sebagai motivator pembangunan. Mereka hanya dijadikan sebagai obyek kekuasaan dengan label pembangunan nasional dengan berbagai macam program-programnya, terkecuali mereka yang dianggap sebagai para elit desa. Elit desa adalah sekolompok lain dari masyarakat desa yang memiliki akses terhadap pengetahuan, sumberdaya-sumberdaya, dan atau mandat untuk
4
memerintah orang lain (Antlov.2002:10). Penetrasi pemerintahan pusat pada masa Orde Baru memberikan dampak yang cukup besar di kalangan elit desa. Mereka tidak hanya diiming-imingi jabatan dan posisi yang strategis tetapi juga sumberdaya desa yang melimpah dengan segala kemudahannya. Tidak jarang masyarakat berebut untuk menduduki posisi sebagai elit desa khususnya menjadi kepala desa. Di pedesaan menjadi elit sangatlah penting, karena mereka memiliki peluang untuk mengakses politik dan sumberdaya ekonomi lebih besar dibandingkan masyarakat biasa. Memperebutkan posisi menjadi kepala desa di wilayah pedesaan memang cukup banyak diperbincangkan dalam hubungan mengenai politik lokal. Pada masa Orde Baru arena politik yang terjadi pada tataran lokal sangat dipengaruhi oleh suasana politik di tingkat pusat. Pemerintah pusat mencoba untuk mempenetrasikan kehendak penguasa demi kepentingan mereka di level lokal. Pemilihan kepala desa pun tidak lepas dari pengawasan pemerintah pusat, sehingga sangat tergantung pada pemerintah pusat melalui kecamatan dan juga partai Golkar. Kondisi ini mengakibatkan oligarki partai di tingkat Desa, masyarakat lebih memilih kader-kader partai Golkar untuk menjadi pemimpin mereka. Hal ini mengakibatkan munculnya persaingan di level atas atau yang dinamakan sebagai “politik dalam ruangan” (Agustino.2009:13). Politik semacam ini juga memicu tumbuh kembangnya politik uang baik itu di tingkat daerah untuk mencapai kemenangan dalam pemilihan pemimpin di kalangan masyarakat. Hal ini wajar jika di beberapa wilayah elit penguasa masa lalu lebih senang mudur dari kancah perpolitikan, karena politik uang
5
mengakibatkan biaya politik semakin besar dan tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh sebagai kepala desa. Namun, hal seperti itu tidak terjadi di semua wilayah Jawa, masih banyak kalangan elit desa yang ingin tetap melanjutkan keturunannya sebagai penguasa. Mereka kemudian tidak hanya memanfaatkan finansial yang mereka miliki. Elitelit desa ini berpolitik memanfaatkan jaringan-jaringan sosial seperti kekerabatan “trah” yang sudah mengakar di wilayahnya untuk masuk ke dalam wilayahwilayah partai Golkar yang kala itu menjadi partai penguasa. Oleh karena itu penguasaan akses akan pemerintahan desa tetap terjaga di kalangan para elit melalui kerabat-kerabatnya. Hal ini juga memungkinkan adanya persaingan antar elit di wilayah pedesaan untuk mempertahankan ataupun mengambil alih kekuasaan sebagai pemimpin desa. Persaingan tersebut bisa juga berlanjut dari generasi ke generasi sampai dengan masa reformasi sekarang ini. Setahun setelah Reformasi bergulir istilah otonomi daerah dalam pemerintahan. Sistem ini memberikan dampak yang sangat jauh di wilayah pedesaan, kepala desa kini memiliki hak untuk mengembangkan wilayah desa masing- masing. Secara otomatis jabatan kepala desa bertanggungjawab langsung kepada masyarakat dalam membangun dan mensejahterakan wilayahnya. Hal ini berbeda dengan pada masa Orde Baru, jabatan kepala desa memiliki tanggung jawab langsung kepada atasan. Orientasi kerja dan kehidupan kepala desa menjadi sangat tergantung dengan program-program kecamatan ataupun kabupaten, sehingga mereka cenderung mengabaikan masyarakat di sekitarnya.
6
Reformasi pada tahun 1998 membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat Indonesia dalam kehidupan sosial politik, pemerintahan dan ketatanegaraan. Dampak dalam segi ketatanegaraan ataupun politik adalah lahirnya otonomi daerah. Ketetapan mengenai otonomi daerah ini kemudian diperkuat UU No 22 thn 1999 tentang pemerintahan daerah yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan sendiri, begitu juga dengan peraturan–peraturan dapat disesuaikan menurut wilayah masingmasing. Hal ini diharapkan setelah periode otoritarian yang sentralistik, kehidupan yang demokratis di Indonesia dapat terwujud dengan sangat baik. Pada masa Reformasi ini diharapkan Indonesia dapat mewujudkan demokrasi sebagai kehendak rakyat, serta memfasilitasi rakyatnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik Demokratis sendiri menurut Schumpeter (1947) dibagi menjadi dua pandangan, pertama demokrasi sebagai kehendak rakyat. Artinya kekuasaan berada ditangan rakyat, sehingga jika kekuasaan tidak berjalan dengan baik maka kekuasaan dari pemimpin dapat diambil alih oleh pemegang kedaulatan tertinggi yakni rakyat. Sedangkan pengertian demokrasi yang kedua adalah demokrasi sebagai kebaikan bersama. Artinya adalah pembentukan sebuah negara sebagai puncak kehendak kolektif warga dan kondisi ini dapat dicapai melalui kontrak-kontrak sosial (Agustino.2009:40). Proses demokrasi di era reformasi ini mengidikasikan penyediaan ruang partisipasi secara luas dan otonom bagi individu. Partisipasi tersebut berkaitan erat dengan kontrol dan pengawasan (Agustino.2009: 39-58). Setelah reformasi, masyarakat lebih terbuka untuk berpartisipasi mengawasi jalannya pemerintahan.
7
Kondisi ini menyebabkan ruang politik menjadi terbuka bagi siapa saja, masyarakat lebih berani mengeluarkan aspirasi politik mereka dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan politik dan pemerintahan. Dampak dari keterbukaan ruang tersebut juga berpengaruh dalam pergerakan para elit-elit politik di pedesaan. Pergerakan elit di pedesaan yang cukup terbatas wilayahnya membuat gesekan persaingan atau kompetisi semakin keras. Di wilayah pedesaan, pemimpin desa masih dikuasai oleh golongan elit pada masa lalu, pengaruh keluarga besar elit “trah” masih begitu sangat kuat tertanam di wilayah pedesaan. Mereka masih tetap bertahan meskipun terjadi banyak perubahan dalam sistem pemerintahan desa. Hal tersebut terwujud dalam pelaksanaan pilkades, beberapa pemimpin ataupun calon pemimpin saat ini merupakan keturunan dari elit-elit pada masa lalu. Reformasi juga membawa perubahan pada masa jabatan kepala desa dari 8 tahun menjadi 6 tahun. Hal ini membuat peluang dari keluarga elit lainnya lebih terbuka 4 , dampak lainnya adalah penguasaan akses akan politik tidak lagi dikuasai oleh satu keluarga dalam waktu yang cukup lama seperti di masa lalu. Berbeda dengan jabatan kepala desa pada masa lalu yang tidak memiliki batasan, sehingga memungkinkan terjadinya korupsi di kalangan pejabat-pejabat desa dan menguasai sumberdaya desa cukup lama.
4
Masa Jabatan kepala desa pada masa orde baru melalui perda atau Peraturan Daerah berlangsung selama 8 tahun (Husken, 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Deferensisi Sosial di Jawa 1830-1980)). Kemudian melalui PP atau Peraturan Pemerintah juga pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi 6 tahun masa jabatan.
8
B.
Tinjauan Pusataka Banyak studi mengenai pedesaan digambarkan sebagai masyarakat yang
harmonis jauh dari kesan persaingan dan konflik. Namun, di satu sisi terdapat pula penggambaran mengenai pedesaan yang penuh dengan persaingan. Persaingan pada umumnya terjadi antara para elit penguasa yang dibantu oleh jaringanjaringan sosial, terutama jaringan kekerabatan dan juga persaingan antara elit desa lama dengan pendatang yang sering menjadi elit desa baru. Kondisi ini tidak lantas menurun dengan masuknya institusi negara, justru keberadaan dari negara inilah yang kemudian dimanfaatkan elit untuk tetap mempertahankan posisinya. Gambaran mengenai persaingan politik di tingkat desa diuraikan oleh Husken (1998) melalui buku “Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Deferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980”. Di bidang politik terjadi persaingan yang kuat antara para elit desa melalui jaringan kekerabatan yang disebut dengan istilah “trah”. Dua trah yang berpengaruh di sepanjang pemilihan kepala desa Gondosari, yang selalu bersaing ketat. Salah satu dari jaringan kekerabatan “trah” tersebut menguasai desa hampir satu abad. Sebagai penguasa tentu saja tidak hanya sekedar finansial yang akan mereka dapatkan, tetapi dari segi sosial mereka juga memiliki posisi di mata masyarakat. Tidak mengherankan jika posisi menjadi kepala desa atau pemimpin desa menjadi hal yang sangat berharga baik untuk individu maupun para kerabatnya. Digambarkan pula masa berakhirnya penguasa desa yang telah menguasai hampir satu abad tersebut bukanlah oleh faktor keberadaan negara tetapi lebih pada keretakan dari jaringan kekerabatan itu sendiri, sehingga posisi mereka digantikan oleh trah pesaing utamanya.
9
Gambaran mengenai politik di pedesaan lainnya juga terdapat dalam buku “Di Bawah Asap Pabrik Gula” karangan Frans Husken (1991), masih di wilayah pedesaan di Jawa Tengah. Persaingan sangat jelas digambarkan antara elit yang terjadi di desa Susukan. Dua trah yang selalu bersaing untuk memperebutkan posisi sebagai kepala desa. Tidak seperti di desa Gondosari, di desa Susukan persaingan elit desa sangatlah ketat sehingga tidak terjadi adanya penguasaan desa yang berlangsung hampir satu abad. Bahkan persaingan dua trah ini terus berlangsung hingga saat ini melalui pilkades tahun 2012. Persamaan dari kedua buku tersebut adalah membahas mengenai dinamika politik di pedesaan. Politik yang dikuasai oleh para elit desa penguasa yang masih begitu kuat di tengah lahirnya negara yang selalu mengalami perubahan. Elit-elit desa ini bersaing untuk mendapatkan posisi pemimpin desa dengan memanfaatkan jaringan kekerabatan mereka dan juga memanfaatkan peran-peran negara yang masuk di pedesaan. Perbedaannya kemudian adalah jika persaingan di desa Gondosari mengalami surut pada mas Orde Baru karena permasalahan menipisnya sumberdaya ekonomi ya ng diterima oleh pemimpin desa, maka hal itu tidak terjadi di desa Susukan karena persaingan para elit masih berlangsung sampai saat ini.
C.
Rumusan Permasalahan Kepemimpinan desa di Jawa memiliki sejarah yang cukup panjang. Masa
kolonial memperkenalkan sistem demokrasi dengan adanya pemilihan kepala desa secara langsung. Hal ini membawa dampak yakni persaingan di antara para elit
10
yang menggantungkan suara mereka terhadap masyarakat. Mereka berlombalomba untuk merebut hati masyarakat dengan berbagai cara agar memenangkan pemilihan. Kondisi ini tidak banyak berubah di masa- masa awal kemerdekaan pola yang sama masih berjalan di lingkungan pedesaan, yakni hanya beberapa orang dari keluarga elit sajalah yang mencalonkan diri sebagai pemimpin desa. Praktis masyarakat tidak memiliki banyak alternatif pilihan. Perbedaannya yang terlihat adalah ketika pemimpin tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi menggunakan kendaraan politik dan juga ideologi. Meskipun begitu dari kalangan seperti apa calon pemimpin mereka tetap tidak terjadi perubahan yang berarti, karena tetap hanya keturunan-keturunan elit desa saja yang mampu bersaing dalam ranah politik desa. Pada masa orde baru penetrasi kuasa negara atas desa begitu kuat, namun tidak lantas menggoyahkan dominasi elit dan kerabatnya di ranah politik desa. Sistem birokrasi yang begitu kuat membuat tidak banyak orang yang mampu memasuki arena politik meskipun di tingkat pedesaan. Masyarakat masih menggunakan suara mereka untuk memilih para elit desa tersebut meskipun jaman sudah berubah. Begitu juga dengan masalah ideologi tidak lagi menjadi perhitungan di masa orde baru proses pengkerdilan aktivitas politik yang kuat membuat masyarakat seakan tidak memiliki pilihan lain. Masa Orde Baru berakhir dengan lengsernya Soeharto dan digantikan dengan masa Reformasi. Pada masa reformasi ini perubahan begitu sangat terasa khususnya di pedesaan. Hampir semua lapisan masyarakat dapat berusaha atau
11
berlomba- lomba untuk menikmati peran politik mereka. Mulai dari turut serta dalam kancah politik desa hingga masuk me njadi bagian dari organisasi politik. Selain itu juga mereka berani mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan di pedesaan. Di tengah perubahan dari masa kolonial hingga reformasi dapat dilihat bahwa peta politik di pedesaan tidak terlalu banyak mengamati perubahan. Perubahan yang terjadi di pedesaan terjadi pada tataran sistem, namun aktor-aktor di dalamnya hanya sedikit sekali yang berubah. Masa reformasi ini juga semakin memperkuat dominasi politik uang dan transasksi politik, sehingga hanya orangorang menengah ke atas saja yang mampu bermain dalam politik. Padahal adanya reformasi membuka peluang bagi golongan masyarakat manapun untuk maju dan masuk ke dalam ranah pemerintahan dan politik di pedesaan. Kondisi ini menjadi sebuah pertanyaan mengenai bagaimana peran jaringan kekerabatan atau ‘trah” dimanfaatkan oleh masyarakat pedesaan untuk meraih posisi sebagai pemimpin desa, ditengah maraknya politik uang, transaksi politik dan juga keterbukaan informasi?
D.
Tujuan Penelitian Beragam sistem dijalankan dalam proses pemilihan kepala desa, mulai dari
sistem wiwinan (Husken.1991:268) hingga sistem pemilihan gambar calon-calon pemimpin mereka. Peluang yang besar bagi masyarakat pada masa reformasi menjadi tantangan untuk siapa saja meraih jabatan pemimpin, tidak terkecuali di ranah pedesaan. Meskipun begitu pada kenyataannya baik pada kolonial, orde
12
lama, orde baru dan masa reformasi peluang para elit tradisional justru semakin kuat dengan mengandalkan jaringan kekerabatan. Studi ini melihat bahwa perilaku politik masyarakat terutama para elit desa yang mengandalkan jaringan kekerabatan di tengah dominasi politik uang untuk meraih kekuasaan ataupun mempertahankan kekuasaan. Pada masa kolonial hingga awal kemerdekaan kekuasaan berdasarkan jaringan kekerabatan masih berjalan. Pada masa Orde Baru pemerintah dengan sangat ketat mengawasi semua aktivitas politik. Pemerintahan Orde Baru memonopoli administrasi dan kontrol politik yang terpusat, peraturan-peraturan yang ketat terhadap aktivitas organisasi-organisasi non-pemerintahan, dan keterlibatan aktif angkatan bersenjata di dalam masyarakat (Antlov.2002:5). Kondisi sangat berubah ketika lahirnya Reformasi. Pada masa ini politik yang sifatnya lebih terbuka, sehingga aspirasi masyarakat dapat tersalurkan. Belum lagi dengan semangat otonomi daerah membuat peluang sebagian besar wilayah di seluruh Indonesia semakin berkembang secara mandiri. Semangat otonomi daerah memberikan kesempatan bagi masyarakat khususnya dalam menyalurkan aspirasi lokal. Desa tidak lagi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, sebab desa dapat memiliki hak menolak program pemerintah yang tidak disertai dana, prasarana dan personel, serta dapat membuat peraturan sendiri (Antlov.2002:366). Perubahan pada sistem pemerintahan berimbas juga pada pemerintahan dan perilaku politik masyarakat pedesaan. Kini mereka lebih kritis dalam mengawasi jalannya pembangunan di desa. Perubahan
13
pada tata pemerintahan berakibat juga pada semakin lebarnya peluang bagi masyarakat yang memenuhi syarat untuk masuk sebagai pimpinan tertinggi desa. Peluang yang terbuka bagi banyak orang untuk berada pada posisi teratas membuat persaingan di tingkat elit semakin meruncing. Persaingan tidak lagi sejajar antara kaum elit tradisional pedesaan tetapi juga para masyarakat lain yang lebih maju khususnya di bidang pendidikan untuk turut serta untuk menjadi pemimpin desa. Kondisi ini tentu saja akan semakin berat, dengan berbagai cara akan dilakukan baik itu antara para elit tradisional ataupun para elit baru dalam menggalang suara agar dapat memilih mereka sebagai pemimpin desa. Tujuan dari penelitian ini selanjutnya adalah melihat dan menggambarkan tentang pertahanan keluarga elit tradisional atau elit lama dalam mempertahankan pengaruhnya terhadap masyarakat desa di tengah persaingan politik yang semakin kuat. Bagi para pemimpin ini ekonomi bukalah lagi tujuan utama, karena keuntungan sebagai kepala desa sebenarnya sudah tidak sebanding dengan pekerjaan yang akan mereka lakukan. Kondisi semacam ini bukan tanpa alasan, karena saat ini siapa saja mampu mencalo nkan diri menjadi pemimpin khususnya di pedesaan selama mereka mampu memenuhi syarat. Meskipun begitu pada kenyataannya budaya paternalistik yang terjadi dalam masyarakat masih belum mengalami perubahan yang berarti. Kita dapat melihat dari pandangan menjadi seorang pemimpin bangsa di kalangan mahasiswa diawal reformasi yakni menyangkut soal 1) agama, jenis kelamin, 2) keturunan, suku bangsa, dan asal daerah, 3) kharisma, 4) power, 5) dukungan massa dan partai, 6) dukungan ABRI, 7) sikap kenegarawan, 8) latar
14
belakang intelektual (Sujito dan Hudayana. 2001:73). Berdasarkan kriteria ini saja memperlihatkan posisi keturunan ataupun silsilah keluarga masih menjadi perhitungan yang utama dibandingkan latar belakang intelektual dari calon pemimpin tersebut.
E.
Kerangka Pemikiran Dalam struktur masyarakat lampau maupun modern, kita mengenal adanya
konsep jaringan kekerabatan yang berakar pada hubungan genealogis dan perkawinan dalam menjelaskan kehidupan masyarakat. Studi jaringan kekerabatan kali ini saya akan menggunakan konsep jaringan kekerabatan menurut Sairin (1992) mengenai Jaringan kekerabatan dalam masyarakat Jawa sering disebut sebagai “trah”. Trah adalah sebuah organisasi yang di dasari pada faktor hubungan genealogis. Di jelaskan lebih lanjut bahwa jaringan kekerabatan atau trah berperan dalam hubungan sosial ekonomi, berkaitan dengan perubahan status pada para anggotannya (Sairin.1992:2-4). Bahkan jaringan kekerabatan ini juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Di dalamnya juga memiliki sistem klasifikasi berdasarkan pada senioritas dan juga jenis kelamin (Sairin.1992:15). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh bahwa jaringan kekerabatan ini juga biasanya terjalin karena adanya hubungan pernikahan di antara masing- masing kerabat. (Ahimsa-Putra.2007:137-138). Terjadinya hubungan pernikahan inilah yang mengakibatkan semakin besarnya jaringan kekerabatan yang dimiliki oleh seseorang.
15
Sistem pemilihan yang dibawa oleh pemerintahan kolonial memberikan perubahan politik dan ekonomi, serta demografi mampu mempengaruhi hubungan kekuasaan di pedesaan. Hubungan-hubungan tersebut juga berpengaruh pada struktur yang berlaku dalam masyarakat. Adanya peluang yang semakin luas bagi masyarakat untuk mendapatkan posisi tertinggi. Secara hierarki desa pertanian, lapisan teratas biasanya dipegang oleh pemilik tanah, pamong desa seperti kepala desa, sebagai penguasa tanah. Masyarakat pedesaan cukup mengandalkan kehidupan melalui pertanian, oleh karenanya sumber daya lahan menjadi hal yang sangat penting. Namun, saat ini dengan jumlah lahan pertanian yang semakin sempit dengan biaya hidup yang semakin meningkat membuat masyarakat petani kecil tidak lagi mampu untuk berupaya memiliki lahan pertanian. Kondisi tersebut mengakibatkan lahan- lahan pertanian hanya dimiliki mereka yang memiliki modal lebih ataupun yang stabil secara ekonomi. Mereka yang memiliki kestabilan secara ekonomi adalah petani golongan kaya. Dominasi petani kaya di pedesaan sebenarnya tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, tetapi juga dibidang lainnya. Salah satunya adalah dengan melakukan aktivitas politik di pedesaan, dengan melakukan politik desa para petani kaya akan semakin mudah dan luas dalam mengakses sumberdaya ekonomi khususnya lahan. Keberadaan peran mereka dalam politik dimungkinkan untuk semakin memperbesar akses mereka terhadap sumber daya ekonomi. Menurut Hagopian “political power is the golden road to status and wealth” (Hangopian.1975 via Suharso.2002:19). Bagaimanapun juga di pedesaan keberadaan akan kepemilikan
16
tanah menjadi salah satu ukuran bagi masyarakat untuk menentukan posisi mereka, hal ini merupakan salah satu bentuk perilaku politik yang dilakukan oleh elit desa. Perilaku politik adalah suatu tindakan yang dilakukan baik itu oleh masyarakat maupun pemerintah yang berupaya untuk dapat mempengaruhi pembuatan atau pelaksanaan keputusan politik oleh pemerintah sesuai dengan kepentingannya (Sastroatmodjo.1995:10). Salah satu yang mempengaruhi perilaku politik dalam masyarakat adalah peran-peran aktor politik yang berada dalam masyarakat tersebut. Faktor lain yang memiliki pengaruh dalam perilaku masyarakat adalah budaya politik. Menurut Sastroatmodjo (1995) kebudayaan politik bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh hubungan yang sering disebut sebagai “bapak-anak buah”, lebih halus dib andingkan dengan model “patronklient” yang cenderung lebih menitikberatkan pada hubungan melalui aspek ekonomi. Meskipun begitu sebenarnya hubungan patron-klien ini tidak hanya merujuk pada aspek ekonomi saja tetapi juga aspek politik. Patron-klient secara umum terjadi karena ketidakmerataan akan sumberdaya ekonomi. Sang klient berada pada posisi yang tidak aman karena keterbatasan sumberdaya. Keterbatasan yang berada pada bagian sisi klien membuat mereka harus mampu menjalin hubungan agar dapat bertahan ataupun mendapatkan akses akan sumberdaya yang lebih besar. Kondisi ini dapat kita temui pada hubungan patron-klient yang dilandasi pada hal- hal yang lebih bersifat ekonomi. Uraian di atas jelas mengenai motivasi hubungan antara patron-klient yang sering menitikberatkan pada pihak klient. Menurut Legg (1983) hal ini disebut sebagai
17
“lumbung nilai”, tempat dimana sang patron menyimpan pinjaman-pinjaman sosial yang nantinya akan dikembalikan oleh para klient pada waktu tertentu, atau ketika sang patron membutuhkan mereka 5 . Hal ini dapat diamati ketika akan terjadi pemilihan kepala desa di wilayah Susukan ketika tahapan sosialisasi pencalonan sudah berlangsung satu hingga dua tahun sebelum proses pemilu dilaksanakan. Selama masa sosialisasi tersebut sang calon kades mencoba untuk menjalin hubungan dengan masyarakat di sekitar wilayahnya. Mulai dari menjalin kedekatan dengan berdialog dengan warga hingga memberikan sumbangan kepada masyarakat. Persaingan dalam pilkades dalam bentuk seperti ini tentunya membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit, apalagi dengan adanya politik uang. Kondisi ini membuat hanya golongan tertentu saja yang mampu mencalonkan diri sebagai kepala desa. Memang dari sebagian besar wilayah di pedesaan Jawa hanya masyarakat dari golongan elit yang mamp u mencalonkan diri sebagai kepala desa. Kekuasaan para elit desa ini tentu saja sudah terjadi cukup lama, semakin lama mereka membentuk sebuah dinasti kecil yang ditopang oleh jaringan kekerabatan dan finansial yang cukup. Oleh karena itu peran jaringan kekerbatan masih menjadi suatu hal yang sangat penting di tengah lahirnya politik uang yang semakin terbuka. Jabatan kepala desa secara ekonomi-politik bertujuan juga untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan di mata masyarakat. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan oleh keluarga inti tetapi juga menjalin hubungan dengan kerabat-kerabat yang lainnya. Jika dalam kajian tertentu menyampaikan
5
Dalam Tuan, Hamba, dan Politisi. 1983
18
bahwa adanya sistem ekonomi yang baru menciptakan deferensiasi ataupun ketidakpastian ekonomi mengakibatkan menurunnya hubungan kekerabatan, maka hal ini tidak terjadi di desa Susukan6 . Hal ini juga terjadi di desa Susukan, para calon kades memiliki begitu kuat jaringan kekerabatannya. Berdasarkan pengamatan sekaligus wawancara dengan beberapa warga desa, dari keempat calon kepala desa tersebut terdapat dua yang bersaing ketat, keduanya merupakan keturunan dari para elit desa sebelumnya. Pertama dari trah Mertojoyo yang merupakan trah yang cukup besar dan paling lama berkuasa di desa Susukan dan kedua adalah trah Singodimerto yang tergolong masih merupakan trah yang kuat di desa Susukan. Kedua keluarga ini dahulu masing- masing pernah menjabat sebagai penguasa desa Susukan. Trah Mertojoyo misalkan mereka masih solid dalam mempertaha nkan posisi mereka sebagai elit desa, jaringan keluarga mereka juga masih tergolong kuat terutama dari segi finansial. Pengaruh dan kekuasaan dari para calon-calon yang berasal dari trah penguasa masa lalu ini masih begitu kuat. Para pecut
7
berlomba- lomba untuk
memperoleh suara dari masyarakat mulai dari identifikasi nama-nama pemilih hingga pemberian uang kepada calon pemilih (politik uang). Berdasarkan empat
6
Berdasarkan buku Patron-Clien mengutarakan bahwa hubungan vertikal yang terjalin sejak masa pra-kolonial menjadi semakin penting dalam masa kolonial dan sesudahnya. Hal ini didorong adanya pertumbuhan komersialisasi dan pertumbuhan pasar. Kesatuan keluarga sebagai kesatuan kelompok semakin terdesak oleh adanya struktur-struktur baru serta ketidakpastian yang mengiringi sejak kolonial masuk. Menurunnya uni kekerabatan mempercepat perubahan politik pada masa kolonial dan sesudahnya terutama pada bentuk sistem atau pola desa yang tradisional (Scott.1972 via Ahimsa Putra. 2007: 137-138 dalam Buku Patron dan Klien di Sulawesi Selatan). 7 Pecut adalah orang-orang yang menjaring suara atau mengunpulkan suara untuk memiliki calon yang mereka patronkan. Pecut juga dapat dikatakan sebagai seorang makelar suara, karena merekalah yang berperan aktif dalam mencari dukungan serta memastikan dukungan langsung seseorang terhadap calon kepala desa yang mereka patronkan.
19
calon yang akan bertanding di arena politik tanggal 4 November tersebut, hanya dua yang terlihat begitu dominan dalam usaha untuk menggalang suara di masyarakat yakni mereka yang masih termasuk dalam trah golongan penguasa lama desa. Meskipun saat ini politik uang marak terjadi, namun dapat kita amati bahwa masyarakat masih cenderung untuk memilih calon-calon pemimpin mereka yang berasal dari trah golongan penguasa desa lama 8 . Hal ini karena perilaku politik masyarakat desa yang belum mengalami perubahan. Perilaku politik seperti yang sebelumnya disamp aikan dipengaruhi oleh beberpa faktor, di sini saya lebih menekankan pada faktor aktor politik dan budaya politik dalam masyarakat Jawa. Aktor dalam hal politik menjadi sangat penting karena merekalah figur yang kelak akan memimpin masyarakat desa. Pemilihan aktor sebagai pemimpin masyarakat juga tidak terlepas dari budaya dalam masyarakat Jawa mengenai pandangan sebagai seorang pemimpin. Budaya politik yang berkembang di masyarakat tidak terlepas dari pola asuh yang dilakukan dalam organisasi sosial dari mulai yang paling dasar yakni keluarga. Fungsi keluarga yang pertama adalah mengajarkan mengenai dunia moralitas yang ada dalam mayarakat, mengembangkan nilai solidaritas. Dalam hal ini keluarga mendidik menjadi seorang pemimpin harus memiliki kualitas sebagai penunjuk jalan, pengasuh, memimpin dan mendidik. Contoh yang demikian ini merupakan ciri kepemimpinan yang dipegang oleh seorang bapak kepada anak 8
Desa Susukan berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Fran Husken hampir 80% dari pemimpin desa merupakan kerabat dari kepala desa sebelumnya. Perubahan hanya terjadi pada tataran trah apa yang berkuasa. Selama kurun waktu dari tahun 1900an-2012 bergonta-ganti posisi antara dari trah Mertojoyo, dan trah dari Singodimerto. Kesemuanya merupakan trah dari golongan elit desa sebagai penguas a sebagian sumberdaya di desa Susukan.
20
dan keluarganya (Murder.2001:84) 9 . Seorang bapak sebagai pelindung yang harus dihormati dan diteladani, yang perilakunya dan keinginannya merupakan perintah, dan menaruh perhatiannya kepada anak buahnya. Kondisi ini sudah mengakar sehingga proses pelaksanaannya tidak hanya pada tataran keluarga saja tetapi juga ada tataran masyarakat. Masyarakat memerlukan
seorang
pemimpin
sebagai
pelindung
untuk
melindungi
kehidupannya. Mereka adalah para penguasa yang memiliki banyak akal dan juga sumberdaya. Hal ini menjadikan seorang patron sifat yang hierarkis dan mengikat orang dalam hal ini klien dengan nilai- nilai moral seperti yang tercermin dalam keluarga. Seorang anak tidak boleh melawan ataupun bertentangan dengan seorang bapak yang merupakan figus seorang pemimpin. Nilai- nilai moral ini juga terdapat pada mereka yang tergolong klien dimana mereka harus dapat menghormati dan menghargai seorang pemimpin Namun, hal itu bukan berarti seorang klien tidak mampu memutuskan hubungan dengan patron. Pandangan patron-klien dalam politik mengelamai perubahan yakni lebih berdasarkan pada pengambilan keput usan baik itu yang berasal dari patron maupun dari klien. Klien akan bersikap tidak menyenangkan bahkan terkesan meninggalkan sang patron jika sang pemimpin tersebut dirasakan oleh masyarakatnya tidak lagi memiliki kehormatan karena perbuatannya 10 .
9
Buku Kepemimpinan Jawa: Ideologi Kepemimpinan Jawa oleh Niels Murder 10 Hal ini juga terjadi pada masyarakat Susukan, digambarkan oleh Frans Husken dalam buku Di Bawah Asap Pabrik Gula mengenai kesinambungan politik. Di sana di gambarkan bahwa seorang pemimpin desa Susukan yang bernama Ardi Mertojoyo merupakan kepala desa yang memimpin desa dengan tangan besi dan tidak ragu-ragu menggunakan kekerasan untuk mengintimidasi masyarakat yang menentangnya. Selama masa revolusi kepala desa ini diculik oleh para pemuda dan posisinya digantikan oleh keluarga trah lawannya. Ardi Mertojoyo
kembali berkuasa setelah Belanda menduduki Indonesia kembali pada tahun 1948. 21
Begitu juga sebaliknya jika sang patron masih dirasa mampu melindungi dan mengayomi sang klien maka dengan senang hati klien akan setia terhadap patron. Hal ini pula lah yang mendasari peta politik masyarakat Jawa yang masih paternalistik, selain juga menganut patron-klien. Sistem politik masyarakat Jawa yang paternalistik dan patron klient inilah yang mengakibatkan posisi para elit desa sebelumnya masih bertahan kokoh diposisinya. Sebab sistem politik ini mengakibatkan pada peluang lebih besar bagi tangan-tangan supra desa yang mempengaruhi perilaku seorang pemimpin sehingga cenderung lebih mewakili para elit desa. Selama ini kepala desa mereka adalah para elit lama, cenderung kerabat-kerabat pemimpin desalah yang akan memiliki jabatan-jabatan tertentu. Hal ini akan membawa dampak pada sulitnya merubah tatanan birokrasi desa menjadi sistem yang benar-benar demokrasi.
F.
Metode Penelitian Penelitian mengenai politik desa ini dilaksanakan di desa Susukan,
kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan ole h Frans Husken (1996) mengenai ”Perubahan Politik dan Kesinambungan Politik” dalam buku “Di Bawah Asap Pabrik Gula”. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat perubahan yang terjadi pada masyarakat Susukan setelah tahun 1980 khususnya mengenai politik desa. Pada tahun 2012 berlangsung pemilihan kepala desa yang diikuti oleh calon-calon baru (non-incombent). Hal ini karena kepala desa sebelumnya sudah menjabat selama dua periode dan menurut undang-undang
22
pencalonan diri seorang kepala desa hanya dapat dilakukan maksimal 2 kali periode. Penelitian ini dimulai pada tanggal 25 Agustus-30 September ketika proses seleksi calon kepala desa sedang berlangsung. Penelitian di lakukan melalui metode observasi langsung atau observasi pastisipasi. Yakni metode ilmiah yang diterapkan dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan ilmiah mengenai kegiatan manusia dalam hubungannya antar manusia satu sama lain serta masalah yang ditimbulkannya (Koentjaraningrat, 1985: 110). Penelitian dilakukan dengan cara observasi mengenai kondisi masyarakat pra-pemilu. Observasi bertujuan untuk melihat seberapa jauh masyarakat ini memaknai pemilu kades tahun 2012 tersebut, selain itu juga melihat seberapa jauh masyarakat mengetahui calon-calon kepala desa yang akan bertarung di pilkades 2012. Melalui observasi kita juga dapat melihat seberapa jauh calon-calon dalam pemilu kades 2012 melakukan sosialisasi kepada masyarakat, meskipun pelaksanaan kampanye sebenarnya hanya satu hari yakni sehari sebelum proses pemilu kades berlangsung. Observasi
selanjutnya
dilakukan menjelang pemilu.
Pemilu
kades
berlangsung pada tanggal 4 November 2012 bertempat di lapangan Tunggul. Pada proses observasi yang kedua peneliti melihat proses pelaksanaan Pilkades secara langsung. Pada agenda bulan ini adalah melakukan observasi sekaligus wawancara kepada para informan. Metode lain yang digunakan selain metode observasi adalah metode wawancara, metode ini dilakukan bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian
23
mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi (Koentjaraningrat, 1985: 129). Te rdapat tahapan untuk melaksanakan wawancara, pertama adalah seleksi individu untuk diwawancara, kedua pendekatan orang yang telah diseleksi untuk diwawancara, dan terakhir pengembangan suasana lancar dalam wawancara (Koentjaraningrat, 1985: 130). Pelaksanaan wawancara dilaksanakan dengan metode wawancara yang berfokus, wawancara berfokus adalah wawancara yang terdiri dari pertanyaan yang tidak berstruktur tetapi selalu terpusat pada pokok-pokok penelitian (Koentjaraningrat, 1985: 139). Pedoman wawancara ini menggunakan pertanyaan bersifat terbuka sehingga memungkinkan informan menjawab pertanyaan dengan keterangan-keterangan dan cerita-cerita yang panjang. Jawaban dari pertanyaan dapat dikembangkan sesuai dengan keperluan atau situasi yang dihadapi di lapangan. Selanjutnya adalah dengan menggunakan metode studi pustaka, studi pustaka adalah metode penelitian dengan menggunakan bahan-bahan tertulis seperti media cetak, makalah, ataupun juga hasil- hasil riset yang telah dilaksanakan sebelum penelitian ini dilaksanakan.
24