BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pancasila sebagai Philosophie of
Grondslag menjadi pandangan dan
pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila lahir sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur yang mendarah daging dalam kehidupan rakyat Indonesia, kemudian dituangkan dalam lima butir sila yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Ibarat bangunan maka Pancasila berbentuk piramid, sebagai lantai dasarnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. 4 Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama mengamanatkan pengakuan bangsa Indonesia akan eksistensi Tuhan sebagai pencipta dunia dengan segala isinya. Oleh karena itu sebagai umat yang mengakui Tuhan, warga negara Indonesia harus taat kepada perintah Tuhannya. Bagi orang-orang yang dianggap mampu, 5 Tuhan memerintahkan untuk melaksanakan perkawinan sebagai upaya membentengi diri dari segala hal-hal yang negatif dan mengundang dosa. Sebagai suatu perintah Tuhan, tentunya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan rohani/agama. Selain itu, perkawinan mengandung unsur lahir/jasmani karena melalui menikah 4
Sila Pertama Pancasila Sebagai Fondamen Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Thamrin Dahlan m.kompasiana.com/post/read/467933/3/sila-pertama-pancasila-sebagaifondamen-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara.html, (diakses Rabu 3 Desember 2014 pukul 15.43 WIB). 5 Mampu mengandung arti memiliki kemampuan melakukan hubungan kelamin dan kemampuan untuk memenuhi biaya hidup perkawinan. Kedua hal ini merupakan persayaratan suatu perkawinan. Lihat, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, Kencana, 2007), h.44, definisi mampu dapat dilihat juga dalam Pasal 5 UUP 1/1974 mengenai permohonan poligami bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami adalah apabila suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, juga di dalam Pasal 55 KHI beristri lebih dari seorang hanya dapat dilakukan apabila suami mampu berlaku adil.
1
2
manusiadapat
memperoleh keturunan sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur rohani/agama tetapi juga memiliki unsur lahir/jasmani. 6 Perkawinan juga sangat erat kaitannya dengan status manusia sebagai makhluk sosial. “A human being is zoon politicon, in other words is social being.” 7(setiap manusia adalah zoon politicon, dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial).Kutipan tersebut merupakan salah satu pendapat dari seorang filsuf Yunani,Aristoteles, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia lainnya. Zoon politicon merupakan panggilan dasar manusia, bahwa manusia pada hakikatnya selalu memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Lebih lanjut lagi, seorang ahli sosiologi Indonesia Nana Supriatna mengatakan “Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang memiliki kecenderungan menyukai dan membutuhkan kehadiran sesamanya sebagai kebutuhan dasar yang disebut kebutuhan sosial (social needs).” 8 Kecenderungan tersebut lahir karena secara kodrati manusia tidak dapat hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan manusia lain. Untuk itulah manusia membutuhkan lembaga perkawinan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup baik rohani maupun jasmani di samping juga untuk memenuhi naluri sosial
6
Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1966), h.2. 7 Lihat Aristoteles, Politics, dalam John Berseth, Dover Publication, New York : 2000. Aristoteles tidak memisahkan politik dan masyarakat. Meskipun, zoon politicon diartikan masyarakat berada diantara kedua hubungan politik dan sosial. 8 Pengertian dan Definisi Makhluk Sosial Menurut Para Ahli http://carapedia.com/ pengertian_definisi mahluk_sosial_menurut_para_ahli_info960.html(diakses 4 Desember 2014 pukul 16.43 WIB).ss
3
bagi manusia itu sendiri. Hal tersebut telah tertuang di dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 21 yang artinya adalah sebagai berikut : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir.” Perkawinan sebagai salah satu kebutuhan manusia harus diatur agar tercapai ketertiban dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu sebagai suatu organisasi yang berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, negara harus membuat rangkaian peraturan yang dapat menjamin terwujudnya ketertiban tersebut, termasuk mengenai perkawinan. 9 Hal ini sejalan dengan Teori Perjanjian Masyarakat yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes bahwa, “sekelompok manusia yang tadinya hidup sendiri diadakan perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan dan menertibkan kehidupan bersama sehingga terbentuklah negara”. 10 Negara hadir untuk melindungi hak asasi manusia dan memenuhi segala kepentingan rakyatnya yang dilakukan melalui alat-alat negara yaitu pemerintah. Negara Indonesia sebagai negara yang menerapkan gagasan negara kesejahteraan (wellfare state), sebagaimana tertuang didalam pembukaan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada alinea ke-IV terdapat salah satu visi negara yang mengekspresikan gagasan negara 9
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17940/5/Abstract.pdf(diakses Oktober 2014 pukul 15.45 WIB) 10 M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung, Mandar Maju, 2007), h.26.
27
4
kesejahteraan yaitu “...untuk mewujudkan kesejahteraan umum...”.Kesejahteraan umum tersebut didefinisikan sebagai “kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan
diri,
sehingga
dapat
melaksanakan
fungsi
sosialnya”. 11Perkawinan sebagai suatu bentuk pemenuhan kesejahteraan spiritual kemudian diejawantahkan ke dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Oleh karena itu sudah seharusnya negara melalui pemerintah sebagai aktor utama pengakselerasi kesejahteraan sosial, mengatur dan mengakomodir kebutuhan perkawinan bagi warga negara Indonesia. Bentuk tanggung jawab negara dalam mengatur segala kebutuhan rakyatnya terkhusus dalam bidang perkawinan terbukti dengan dilahirkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UUP 1/1974) dengan segala aturan terkait. Dengan lahirnya UUP 1/1974 maka diadakanlah suatu bentuk unifikasi hukum perkawinan di Indonesia di mana sebelumnya masing-masing golongan penduduk di Indonesia memiliki pengaturan tersendiri dalam melaksanakan perkawinan. 12 Salah satu semangat penting yang diusung dalam pembentukan UUP 1/1974 adalah menempatkan
11
pencatatan
mengenai pencatatan perkawinan yang
perkawinan tidak hanya sebagai suatu hal yang
Artikel Dinamika Konsep Negara Kesejahteraan Indonesia Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Muhammad Tavip, hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/Jurnal-Tavip.docx, (diakses Rabu 3 Desember 2014 pukul 14.09 WIB). 12 M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, (Medan, Zahir Trading, 1975), h.4.(selanjutnya disebut buku I)
5
penting, tetapi juga menjelaskan bagaimana suatu pencatatan perkawinan dilaksanakan. 13 Pasal 2 ayat (2) UUP 1/1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Bahkan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adanya suatu perkawinanhanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Lebih lanjut ditegaskan, akta perkawinan merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan.Pencatatan perkawinan merupakan upaya adminisratif yang harus dilakukan agar suatu perkawinan menjadi sah di mata hukum. Masing-masing pasangan suami istri setelah melakukan pencatatan perkawinan akan mendapatkan buku nikah dan secara otomatis mendapatkan legalitas, perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas perkawinan mereka termasukterhadap akibat yang timbul kemudian, seperti hak dan kewajibanantara suami dan istri secara timbal balik, harta bersama (gono-gini), status anak, dan sebagainya. 14 Maksud dan tujuan utama peraturan perundang-undangan mengatur tentang perkawinan harus tercatat adalah demi mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan politik hukum negara yang bersifat preventifuntuk mengkoordinir masyarakat demi terwujudnya 13
Amiur Nazaruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/ 1974 sampai KHI, (Jakarta, Kencana, 2006), h.122. 14 Artikel Urgensi Pencatatan Perkawinan Dalam Prespektif Filsafat Hukum, http://badilag.net/data/ARTIKEL/URGENSI%20PENCATATAN%20PERKAWINAN%20DALA M%20PERSPEKTIF%20FILSAFAT%20HUKUM.pdf (diakses 23 Desember 2014 pukul 20.05 WIB).
6
ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah perkawinan yang diyakini tidak luput dari berbagai macam konflik. 15 Suatu kenyataan yang masih sering dijumpai dalam realita kehidupan masyarakat adalahmasih banyak yang melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi bagi selain Islam) dengan berbagai alasan. 16Beberapa alasan tersebut antara lain ketidakmampuan dalam membayar biaya pencatatan nikah, secara sengaja melakukan penyelundupan hukum, kurangnya kesadaran akan pentingnya fungsi akta nikah, sudah merasa cukup dengan sahnya menikah secara agama, kelalaian petugas pencatat nikah, kurang ketatnya pengaturan pencatatan nikah dan lain sebagainya. Dalam hukum perkawinan
Islam, pencatatan perkawinan merupakan
suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat secara defacto atau dalam bentuk konkrit tidak tercatatnya perkawinan melahirkan dampak yang tidak sederhana. Karena perkawinan merupakan perbuatan yang bersentuhan secara langsung dengan aspek sosial, ekonomi, kultur dan tentu saja hukum. Selain itu, menurut T.Jafizham dalam Islam perkawinan bukanlah suatu hubungan yang terjadi secara diam-diam. Perkawinan menurut Islam harus diumumkan secara terbuka, bahkan dibenarkan adanya pelaksanaan upacara perkawinan. 17
15
Muchsin, “Problematika Perkawinan Tidak Tercatat Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”, Materi Rakernas Perdata AgamaMahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, h.3. 16 Abdil Baril Basith, “Pihak-Pihak dalam Permohonan Pengesahan Nikah”, Jurnal Pengadilan Agama Muara Labuh, h.3. 17 T.Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta, Mestika, 2006),h.272.
7
Perlunya pencatatan perkawinan juga ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang intinya bahwa instansi pelaksana yang melaksanakan urusan administrasi kependudukan termasuk Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki kewenangan dalam memperoleh data-data mengenai peristiwa kependudukan, peristiwa penting yang dialami penduduk terkait mengenai pencatatan nikah, talak, cerai dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam. Pentingnya pencatatan nikah tidak sekadar pernyataan bahwa perkawinan telah sah dimata hukum, akan tetapi keberadaannya akan berimplikasi pada status anak, istri dan harta selama perkawinan. Bagi perkawinan yang belum dicatatkan atau belum tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), berdasarkan Pasal 7 ayat (2) KHI dapat ditempuh solusi hukum yaitu dengan mengajukan permohonan pengesahan perkawinan (itsbat nikah) untuk menghindari dampak negatif atas perkawinan tidak tercatat tersebut. Permohonan dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada wilayah di mana mereka bertempat tinggal atau tempat di mana mereka melangsungkan perkawinan. Pengajuan itsbat nikah memiliki esensi bahwa pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan diakui oleh negara serta memiliki kekuatan hukum. 18 Dikabulkan atau ditolaknya permohonan itsbat nikah menjadi penentu sebagai gerbang utama terbukanya data-data administratif lainnya seperti akta nikah, akta kelahiran anak, hak waris dan lain sebagainya. Itsbat nikah pada hakikatnya hanya untuk perkawinan yang diadakan sebelum lahirnya UUP 18
Prosedur Pengesahan Pernikahan Sirri, http://irmadevita.com/2013/prosedurpengesahan-pernikahan-siri/ (diakses 23 Desember 2014 pukul 12.08 WIB).
8
1/1974, namun pengaturan ini dikecualikan oleh Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di mana perkawinan sesudah lahirnya UUP dapat juga dimintakan itsbatnya ke Pengadilan Agama. Pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa permohonanitsbat nikah. Hal ini tertuang dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan dalam penjelasan Pasal 49 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama Kelas I-A Medan menempati urutan ketiga terbanyak diajukan setelah cerai talak dan cerai gugat dan kuantitas permohonan yang masuk tidaklah dapat dikatakan sedikit. Pada tahun 2014 misalnya, jumlah permohonan yang masuk hingga penghujung tahun mencapai 96 (sembilan puluh enam) kasus. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa di Kota Medan masih banyak perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dan keinginan masyarakat untuk mengesahkan perkawinan tersebut sangat besar. Menjadi suatu hal yang dilematis bagi pengadilan agama dalam memeriksa permohonan ini. Di satu sisi, hakim demi melindungi hak-hak yang tercederai sebagai akibat tidak tercatatnya suatu perkawinan harus mengabulkan permohonan para pelaku
pelanggaran administrasi yang dimungkinkan
melakukan penyelundupan hukum. Indikasi upaya penyelundupan hukum ini memaksa hakim untuk terus berhati-hati agar jangan sampai melegalkan perkawinan yang tidak sah secara hukum negara. Di sisi lain itsbat nikah sebagai cara negara untuk mengakui lembaga perkawinan, perlu diambil langkah yang
9
lebih mempermudah sebagai upaya memberi pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan itsbat nikah merupakan satu-satunya upaya legal untuk mencatatkan perkawinan. Kemudahan pelayanan tersebut ditandai dengan lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Tatacara Pelayanan dan Pemeriksaan Perkara Voluntair Itsbat Nikah Dalam Pelayanan Terpadu, yang ditujukan kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan agama se-Indonesia. Penentuan dikabulkan atau ditolaknya permohonan tersebut sangat ditentukan
pada proses pembuktian di pengadilan agama. Ketika berbicara
mengenai itsbat nikah, hakim dihadapkan pada model pembuktian yang sama untuk semua alasan permohonan yaitu keyakinan hakim harus bermuara pada suatu kepastian sah atau tidaknya perkawinan yang pernah dilakukan yaitu apakah rukun dan syarat perkawinan pada saat pelaksanaannya sudah terpenuhi atau tidak dan meyakini bahwa perkawinan tersebut tidak memiliki halangan perkawinan. Dengan alasan permohonan para pihak yang bermacam-macam akan menuju suatu kesimpulan nikah tersebut sah secara agama atau tidak. Untuk itulah, penelitian ini mencoba membahas dan membandingkan model-model pembuktian dan cara pemeriksaan dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan selama tahun 2014 dan 2013 dengan berbagai alasan permohonannya. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat sejauh mana peran hakim dalam memberikan pelayanan dalam permohonan itsbat nikah.
10
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan dibahas antara lain sebagai berikut : 1. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan? 2. Bagaimanakah prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan? 3. Bagaimanakah implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak anak?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan, adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu: 1) Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan. 2) Untuk mengetahui prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan. 3) Untuk mengetahui implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak anak.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
11
a. Manfaat teoritis Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penelitian hukum yang bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu: 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta hukum perdata mengenai pembuktian dalam permohonan itsbat nikah. 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang pembuktian dalam permohonan itsbat nikah. 3) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. b. Manfaat praktis Manfaat praktis yaitu manfaat dari penelitian hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu: 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam membuat regulasi mengenai itsbat nikah terkhusus mengenai masalah pembuktiannya. 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat, khususnya bagi para pihak yang ingin mengajukan permohonan itsbat nikah.
E. Keaslian Penelitian Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak dalam Permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama sengaja diangkat sebagai judul skripsi karena telah diperiksa
12
dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tema di atas didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, fakta yang terjadi di masyarakat, referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Pengelompokkanjenis-jenis penelitian tergantungpada pedoman dari sudut pandang mana pengelompokkan itu ditinjau, ini berkaitan dengan sifat data dan cara atau teknik analisis data yang digunakan. Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang langsung bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang model pembuktian dan proses pemeriksaan dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan 2. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridisnormatif.
Pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan masalah dengan
melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundangundangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis
13
pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti. 19 3. Lokasi Penelitian Pengadilan Agama Kelas I-A Medan sebagai Pengadilan di wilayah Kota Medan sepanjang tahun 2014 menerima 96 permohonan itsbat nikah dengan hasil penetapan hakim berupa permohonan ditolak dan dikabulkan. Banyaknya permohonan tersebut maka peneliti memilih lokasi Pengadilan Agama Kelas I-A Medan untuk dijadikan lokasi penelitian. 4. Sumber Data Data yang diolah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Data Primer Data primer adalah data yang diambil langsung dari subjek penelitian dan berhubungan langsung dengan objek yang diteliti. Sumber data primer ini berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak atau instansi-instansi terkait dengan objek yang diteliti secara langsung, hal ini dimaksudkan untuk lebih memahami maksud, tujuan dan dan arti dari data sekunder yang ada. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari wawancara Hakim Pengadilan Agama kelas I-A Medan yang memeriksa dan memberikan penetapan atas permohonan itsbat nikah. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Adapun Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan yang menjadi narasumber dalam penelitian ini yaitu :
19
Abdulkadir bakti,2004) h.112.
Muhammad,Hukum
dan
Penelitian
Hukum,(Bandung,Citra
aditya
14
1) Drs. H. Darmansyah Hasibuan, SH, MH; 2) Drs. M. Yusuf Abdullah; 3) Drs. Abdurrakhman, SH, MH; 4) Drs. Bachtiar. b. Data Sekunder Data sekunder sebagai data utama dalam penelitian ini didapat melalui penelitian kepustakaan yaitu dengan membaca, mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Bahan hukum primer terdiri dari UUD 1945, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, beserta aturan pelaksananya, Undang-Undang No.7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jis Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Hukum acara yang berlaku di pengadilan agama beserta peraturan pelaksana lainnya. Selanjutnya dibutuhkan ijtihad dan fatwa ulama mengenai perkawinan yang relevan dengan penelitian ini. Selain itu untuk melihat model pembuktian dalam permohonan itsbat nikah, dalam penelitian ini juga dianalisis permohonan itsbat nikah oleh HakimHakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan. Permohonan yang diteliti adalah permohonan sepanjang tahun 2013 dan 2014 dan sebagai samplenya diambil 7 (tujuh) buah permohonan berupa 6 (enam) permohonan yang dikabulkan
15
dan 1 (satu) permohonan yang ditolak. Sedangkan jenis permohonan tersebut yaitu 6 (enam) berjenis voluntair dan 1 (satu) berjenis konstituir. 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum berupa publikasi tentang hukum yang isinya menjelaskan dan menganalisis bahan hukum primer.20 Kagunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah. 21
Buku, artikel,
rancangan undang-undang, jurnal, hasil penelitian terdahulu digunakan sebagai bahan hukum sekunder dalam penelitian ini. 3) Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 22 Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum. 5. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam sebuah penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Studi lapangan (field research). Studi lapangan adalah salah satu proses kegiatan observasi pengungkapan fakta –fakta dalam proses memperoleh keterangan atau data dengan cara terjun langsung ke lapangan. Studi lapangan
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta,Kencana, 2008), h.140. Ibid. h.155. 22 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), h.32. 21
16
adalah. Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan melalui wawancara. b. Studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. 23 Studi kepustakaan dipergunakan untuk memperolah data sekunder dalam penelitian ini. 6. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpul data menentukan kualitas data dan kualitas data menentukan kualitas penelitian, karena itu, alat pengumpul data harus mendapat penggarapan yang cermat. 24 Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yang dilakukan berdasarkan pedoman wawancara. 7. Analisa Data Menurut Lexy J. Moleong, analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa data secara kualitatif. Data semacam ini diperoleh melalui penelitian yang 23
StudiKepustakaan, http://repository.usu.ac.id/ bitstream/ Chapter% 20II.pdf (diakses14 Januari 2015 pukul 20.05 WIB). 24 Amiruddin dan Zainal Asikin, Op Cit, h.66.
123456789/33144/3/
17
menggunakan pendekatan kualitatif, atau penilaian kualitatif. Keberadaan data bermuatan kualitatif adalah catatan lapangan yang berupa catatan atau rekaman kata-kata, kalimat, atau paragraf yang diperoleh dari wawancara menggunakan pertanyaan terbuka, atau pemaknaan peneliti terhadap teori. 25
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini didasarkan pada penelitian data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis serta hasilnya digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka akan dibuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang keseluruhannya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan di antara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab. Adapun gambaran ini atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut: Bab I tentang pendahuluan. Pada bab ini diuraikan pokok permasalahan skripsi yang mencakup mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga membuatnya dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap itsbat nikah dan pembuktiannya di pengadilan agama.
25
Vita Naurina, Analisis Data, (Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, 2010), h.4-5.
18
Bab II tentang tinjauan umum terhadap hukum perkawinan di Indonesia. Pada bab ini diuraikan materi pokok mengenai hukum perkawinan di Indonesia, yang meliputi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat-syarat sahnya perkawinan dan akibat hukum perkawinan baik menurut UUP 1/1974 maupun menurut KHI. Bab III tentang ketentuan umum tentang itsbat nikah. Pada bab ini diuraikan materi tentang pencatatan perkawinan meliputi urgensi pencatatan perkawinan yang ditinjau lebih jauh dalam hal dasar hukum, prosedur, tujuan dan akibat hukum pencatatan perkawinan. Selanjutnya juga diuraikan pengertian itsbat nikah, penyebab pengajuan itsbat nikah, pihak-pihak yang dapat mengajukan beserta prosedur pengajuan itsbat nikah. Bab IV tentang pembuktian oleh para pihak dalam permohonan itsbat nikah di pengadilan agama. Pada bab ini diuraikan analisis mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, serta implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak anak dan hak ibu. Bab V yang merupakan penutup dari penelitian.Pada bab ini memuat tentang kesimpulan terhadap keseluruhan isi dari penelitian ini. Dalam bab ini ditarik beberapa kesimpulan dari pembahasan bab-bab terdahulu sehubungan tentang aspek pembuktian itsbat nikah di pengadilan agama dan mencoba memberi saran-saran yang dianggap penting dan bermanfaat.