1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada tahun 1997 Perekonomian Indonesia mengalami pasang surut hingga mencapai krisis multidimensi. Sehingga berdampak kepada stabilitas perekonomian negara, mengubah tatanan politik dan bernegara, stabilitas keamanan serta berbagai masalah sosial.. Salah satu sektor kegiatan ekonomi yang penting dan mengalami revolusi seiring pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah industri. Seperti yang dikemukan Pangestu dan Aswicahyono dalam Tumbuan (2001 : 76), adalah sebagai berikut : ‘Kemajuan teknologi menyebabkan menurunnya biaya transportasi dan komunikasi. Perkembangan tersebut telah mendorong perdagangan antar negara/proses internasionalisasi produksi barang dan jasa,s erta pemasaran dan pemyalurannya. Kemajuan teknologi juga meningakatkan spesialisasi dan pembagian produksi antarnegara berdasarkan jenis produk dan proses produksinya.’ Berdasarkan kutipan tersebut, kemajuan teknologi berdampak pada industri. Dimana dianggap lebih mampu membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga yang menganggur, mendorong pertumbuhan teknologi yang berguna bagi kehidupan manusia, menumbuhkan berbagai kegiatan yang saling berkaitan dalam jaringan industri sehingga mampu berfungsi sebagai pendorong pembangunan. Salah satu kenyataan menunjukan dimana ada penduduk, maka disitu ada kegiatan industri. Lebih dari 30
2
penduduk dunia dan lebih dari 10 dari seluruh jumlah tenaga kerja di dunia bekerja di bidang industri. Industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi manusia yang penting, dimana mampu menghasilkan berbagai kebutuhan hidup manusia dari mulai makanan, minuman, pakaian, dan perlengkapan rumah tangga. Pentingnya industri telah disadari sejak awal periode pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama, yang memprioritaskan pada pembangunan bidang ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri. Hal ini telah menjadi suatu sasaran pokok pemerintah bahwa keberadaan industri diharapkan mampu menciptakan sektor ekonomi yang seimbang. Sebagai bagian dari system pembangunan nasional, pembangunan industri harus diarahkan pada upaya-upaya untuk meningkatkan kesejaterahan masyarakat. Hal ini sesuai dengan manfaat dari kegiatan industri itu sendiri yaitu meningkatkan pendapatan masyarakat yang mendorong peningkatan pendapatan regional maupun nasional. Meningkatkan pendapatan masyarakat secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pembangunan industri dan pengembangan industri saat ini, harus disesuaikan dengan potensi daerah dengan memperhatikan segala masalah yang ada pada daerah yang bersangkutan, sebagai suatu upaya untuk mensejahterakan masyarakat dan daerah yang bersangkutan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sumaatmadja (1988:183) bahwa :
“Pembangunan industri (industrialisasi) yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan nasional dan kesejahteraan penduduk, juga harus sejalan dengan pemecahan masalah-masalah lainnya dan sedapat mungkin
3
tidak menimbulkan masalah baru yang lebih gawat. Oleh karena itu, baik potensi pengembangan industri maupun masalah yang sedang dijalani masyarakat dan negara, harus diteliti secara sungguh-sungguh. Potensi berbagai daerah dengan segala masalah yang ada pada daerah yang bersangkutan, harus diintergrasikan sebagai suatu upaya untuk mensejahterakan masyarakat dan daerah yang bersangkutan”. Dengan demikian, adanya perkembangan teknologi mendorong perubahan dan perkembangan, khususnya dalam perindustrian. Pada masyarakat yang masih berpola hidup agraris, kemudian industri masuk sejak adanya revolusi industri sehingga dengan sendirinya teknologi pun berperan. Dengan demikian teknologi, dipercaya sebagai penggerak adanya perubahan tersebut. Industri pada umumnya masih bersifat “home industry”. Makin tinggi tingkat teknologi, home industry atau industri kecil berubah menjadi industri menengah kemudian “Big industry”. Keberadaan industri dapat dilihat dari aspek keruangan atau lokasi. Pemilihan lokasi yang stategis untuk penempatan suatu industri memiliki nilai tersendiri untuk perkembangan industri tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Abdulrachmat (1997 : 47) bahwa : “pemilihan lokasi industri mempunyai arti yang penting sekali sebab akan mempengaruhi perkembangan dan kontinuitas proses dan kegiatan industri”. Hal ini berkaitan dengan penyebaran lokasi industri dan penyebaran lokasi pemasaran. Dengan demikian berdasarkan aspek di atas dapat diperoleh gambaran karakteristik dan potensi industri itu sendiri. Salah satu industri yang berkembang dan menjadi primadona adalah industri rotan. Sentra industri rotan berada di Bekasi, Cirebon, Solo, Pasuruan dan Bali. Sementara yang paling banyak pengrajinnya berada di kabuapten Cirebon, yakni
4
dimulai sejak abad XIV, di mana masyarakat Cirebon telah mengenal kerajinan rotan dengan jenis dan produksi barang-barang anyaman yang masih sederhana seperti keranjang dan mebel. Kemudian baru pada tahun 1975, industri ini berkembang dengan jenis produksi yang lebih bervariatif dan inovatif namun prosesnya masih mengandalkan sistem manual dan belum menggunakan mesin. Pada tahun 1979, UPT mulai diperkenalkan. Baru pada tahun 1982, proses produksi barang jadi rotan sudang mengandalkan tenaga mesih hingga finishing. Bahan baku yang diperoleh pada saat itu berupa seuti, seel (sejenis rotan lokal khas Cirebon). Kemudian setelah kerajinan rotan berubah bentuk menjadi industri dan mulai dikomersilkan. Seiring dengan perkembangan pasar barang jadi maka kebutuhan rotan sebagai bahan baku telah disuplay dari luar daerah termasuk dari luar Jawa. Rotan tumbuh subur di daerah yang beriklim tropis, salah satunya adalah Indonesia, dimana merupakan negara penghasil rotan terbaik di dunia, diperkirakan 80% bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dihasilkan oleh Negara lain seperti : Philippina, Vietnam, negara-negara Eropa seperti Brazil. Daerah penghasil rotan di Indonesia terutama yaitu P. Kalimantan, P. Sumatera, P. Sulawesi dan P. Papua dengan potensi rotan Indonesia sekitar 622.000 ton/tahun. Keberadaan industri rotan di Kabupaten Cirebon, berawal dari masyarakat Desa Tegalwangi yang dulu terkenal dengan sebutan Tegalmantra. Salah satu tokoh yang merupakan pencetus dan orang pertama pengrajin rotan bernama Samaun. Akibat perkembangan rotan semakin meningkat, yakni dengan jenis produk yang lebih
5
bervariatif dan inovatif. Usaha tersebut akhirnya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan akhirnya diikuti oleh warga yang lain, yakni masyarakat sekitar desa Tegalwangi. Sejak tahun 1995 hingga tahun 2002, baik produksi, ekspor maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan mengalami peningkatan, khususnya di Kabupaten Cirebon. Secara fluktuatif, peningkatan ini terjadi diakarenakan volume permintaan produk mebel rotan meningkat. Kebijakan tersebut, menguntungkan produsen barang jadi rotan. Fenomena ini, mengakibatkan penyerapan tenaga kerja besar-besaran. Kenyataannya, industri rotan mampu mensejahterakan masyarakat pada waktu itu. Karena tenaga kerja, berasal dari daerah sekitar. Seperti kecamatan Weru dan kecamatan Plumbon. Kebijakan ini juga, berdampak pada, masuknya investor-investor asing yang berasal dari Taiwan, Jepang, China, Eropa dan Philipina. Oleh sebab itu, pemasaran produk mulai merambah ke luar negeri. Kenyataanya, perkembangan itu terus meningkat hingga tahun 2002, terlihat dari banyaknya unit usaha, banyaknya tenaga kerja, permintaan konsumen banyak serta volume produksinya hingga yang pada awalnya hanya sebuah industri kecil, dapat menjadi industri besar dengan omset penjualan yang tinggi. Sebelum tahun 2005 ekspor rotan dibebaskan, selanjutnya ekspor rotan diperbolehkan dengan catatan masih tetap diawasi. Dan di tahun 2006, industri rotan ini mulai mengalami penurunan, ditambah dengan pengaruh kurs dolar yang turun naik,
6
Desa Tegalwangi, merupakan desa yang berada di Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon. Walaupun pada awalnya, pengrajin dan berdirinya industri rotan berasal dari desa ini. Namun semenjak jenis produk jadi rotan lebih bervariatif dan inovatif dan pemasarannya sampai ke luar negeri . Banyak desa disekitar desa Tegalwangi yang ikut tertular untuk mendirikan industri sendiri. Salah satunya adalah kecamatan Plumbon. Kecamatan Plumbon adalah kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan Weru. Lokasinya yang strategis, karena menjadi gerbang masuk pintu tol Palimanan-Kanci. Dilihat dari tabel 1.1 industri rotan termasuk kelompok industri yang beragam dari mulai industri kecil, industri menengah, hingga industri besar Pengolahan rotan itu sendiri berasal dari pengrajin yang kemudian dikemas menjadi barang jadi rotan seperti furniture dan keranjang (basket). Tabel 1.1 Industri Rotan Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon
Kelompok Banyaknya Industri Industri Industri Besar 34 unit Industri Menengah 57 unit Industri Kecil 176 unit Jumlah 267 unit Sumber : Disperindag Kab. Cirebon. 2008
Jmlh Tenaga Kerja 3.758 orang 3.534 orang 2.112 orang 9.404 orang
Volume Produksi 14.260 ton 5.890 ton 6.610 ton 26.760
Adapun profil industri rotan tersebut pada awalnya bersifat tradisional, terdapat di rumah-rumah (home industry) dan termasuk industri kecil. Suatu usaha yang berskala kecil tentunya akan memiliki potensi tersendiri untuk terus bertahan bahkan berkembang menuju ke skala yang lebih besar. Pada kenyataannya keberadaan
7
industri rotan di Kecamatan Plumbon, merupakan suatu eksistensi perkembangan industri rotan itu sendiri. Dimana sejak Industri rotan berdiri, kemudian mengalami peningkatan produksi dan pada akhirnya terjadi keadaan yang
memprihatinkan.
Melihat setelah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/per/6/2005 dibuka kembali untuk kelompok rotan asalan dengan system kuota. Kebijakan tersebut sebenarnya dapat memperburuk kondisi industri barang jadi rotan didalam negeri, khususnya di Kecamatan Plumbon. Namun sejak kebijakan tersebut keluar, hingga tahun 2008, industri rotan masih tetap berdiri, walaupun ada sebagian yang gulung tikar. Sehingga kondisi ini, mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Terutama masyarakat pengrajin rotan pada umunya. Proses perubahan ini tidak terjadi begitu saja, akan tetapi dalam rentan waktu yang mengalami dinamika terus-menerus. Seperti halnya, kondisi sosial ekonomi pengrajin rotan di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon. Dimana pada saat rotan sedang berjaya (sebelum tahun 2005, dimana kebijakan ekspor bahan baku dilarang) tingkat pendapatan masyarakat meningkat. Berdasarkan gambaran perkembangan industri rotan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan meneliti perkembangan industri rotan di Kecamatan Plumbon, dengan judul penelitian “Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi Pengrajin Industri Rotan Sebelum dan Sesudah Tahun 2005 di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon”
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian karakteristik yang tercover dalam latar belakang diatas menunjukan bahwa Industri Rotan di Kecamatan Plumbon mengalami pasang surut. Untuk memperjelas permasalahn ini, penulis membatasi masalah sehingga permasalahan tersebut menjadi lebih spesifik. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah : 1. Bagaimanakah karakteristik industri rotan sebelum dan sesudah tahun 2005 di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon? 2. Adakah perbedaan perubahan kondisi sosial ekonomi pengrajin rotan sebelum dengan sesudah tahun 2005 di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari peneltian ini adalah : 1. Menganalisis karakteristik industri rotan sebelum dan sesudah tahun 2005 di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon. 2. Mengukur sejauh mana perbedaan perubahan sosial ekonomi pengrajin rotan sebelum dengan sesudah tahun 2005 di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
9
1. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan atau pedoman bagi peneliti selanjutnya dalam hal perkembangan industri dan pengaruhya terhadap kondisi sosial ekonomi pengrajin. 2. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah setempat, kelompok pengrajin, atau organisasi terkait dengan karakteristik industri. 3. Memberikan rekomendasi kepada masyarakat terhadap pengembangan usaha. 4. Sebagai pengembangan dari ilmu geografi yang didapat penulis selama berada di bangku kuliah.
E. Definisi Operasional Definisi operasional memberikan sebuah definisi dari judul yang dibuat agar tidak terjadi kekeliruan. Judul yang dibahas dalam penelitian ini adalah “Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi Pengrajin Industri Rotan Sebelum dan Sesudah Tahun 2005 di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon”. Untuk memperjelas judul maka penulis akan menjelaskan beberapa definisi dalam penelitian ini, yakni: 1. Perubahan : Menurut Atkinson dalam Nurhidiyah (2003 : 1) defenisi perubahan yaitu: merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi
10
2. Kondisi Sosial Ekonomi: suatu keadaan dimana faktor sosial dan faktor ekonomi menjadi alasan. Faktor sosial disini seperti pendidikan, kesehatan. Sedangkan faktor ekonomi disini adalah pendapatan. 3. Pengrajin : Pengrajin pada dasarnya merupakan pelaku industri yang menuangkan ide dan gagasan untuk mengolah bahan baku menjadi barang hasil produksi. 4. Sebelum tahun 2005 : faktor – faktor pendukung keberadaan industri rotan, seperti bahan baku, modal, tenaga kerja, pemasaran, teknologi. Dimana pada tahun sebelum 2005, faktor-faktor tersebut mengalami peningkatan 5. Sesudah tahun 2005 : faktor – faktor pendukung keberadaan industri rotan, seperti bahan baku, modal, tenaga kerja, pemasaran, teknologi. Dimana pada tahun sesudah 2005, faktor-faktor tersebut mengalami penurunan.