1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Perkembangan perbankan di Indonesia mengalami pasang surut, dimulai
dari adanya ketentuan deregulasi di bidang perbankan tahun 1988. Pemerintah memberikan kemudahan untuk mendirikan bank, cukup dengan setor modal sebesar Rp. 10 milyar saja. Pada awal tahun tahun sembilan puluhan telah berdiri 243 bank dengan jumlah kantor sekitar 9.000 kantor. pada saat itu pemilik/pengurus bank kurang memperhatikan faktor prudential banking dan pengelolaan bank yang baik. Asas good corporate governance diabaikan sama sekali, bank dijadikan kasir untuk memenuhi kepentingan pemilik, sehingga dengan seenaknya memerintahkan pengelola bank untuk mengucurkan kredit kepada kroninya atau perusahaan yang terkait tanpa memperhatikan keamanan dan kemampuan untuk menegmbalikan kreditnya. Banyak ketentuan bank yang dilanggar oleh pengurus maupun pengelola bank, sebagai contoh batasan maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada grup pemilik 10 % diberikan sampai 90 % dari total kredit, pembebanan biaya pribadi dari pengelola kepada perusahaan. Dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun mulai deregulasi pada tahun 1983 sampai saat ini, perbankan Indonesia telah mengalami berbagai perubahan yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Titik nadir perbankan sendiri terjadi menjelang krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1997 yang dikenal
2
sebagai krisis moneter. Beberapa tonggak penting perjalanan dalam kurun waktu tersebut berdasarkan berbagai sumber referensi adalah sebagai berikut: a. Paket 1 Juni 1983 merupakan salah satu tonggak penting yang mengubah arah perbankan nasional yang tadinya belum mengikuti mekanisme pasar, atau dengan kata lain, mulai diterapkannya equal treatment antara bank pemerintah dengan bank swasta. Penganut faham kapitalisme jelas mendukung kebijakan ini dengan argumentasi bahwa mekanisme pasar akan mengarah ke efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Perbankan diharapkan menjadi lokomotif dengan cara memobilisasi dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan. b. Kebijakan Oktober 1988 menjadi faktor utama terjadinya booming pendirian bank dengan memberikan kemudahan bagi para investor. Dalam kurun waktu 3 tahun sesudahnya, tercatat jumlah bank meningkat dari 111 bank pada tahun 1988 menjadi 182 bank pada pertengahan 1991. Pertumbuhan bank beserta kegiatan penyaluran dana bank yang luar biasa tersebut akhirnya berujung pada tindakan kebijakan uang ketat (Tight Money Policy) yang diambil oleh Bank Indonesia pada Tahun 1990. Kebijakan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa ternyata pertumbuhan ekonomi dan moneter yang terlalu cepat tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan sektor riil. Disini sinyalsinyal negatif mengenai ancaman terhadap integritas dan kredibilitas bank mulai terdeteksi, dan sinyal tersebut bagai bom waktu yang siap meledak di kemudian hari.
3
c. Pakfeb 1991, yang bertujuan untuk mengembangkan dunia perbankan menjadi lembaga keuangan yang sehat, kuat, dan tangguh serta lebih dipercaya baik dalam tingkat nasional maupun global. Sistem penilaian kesehatan bank dengan CAMEL mulai diterapkan oleh Bank Indonesia, termasuk penetapan nilai CAR sebesar 8 persen yang harus dipenuhi mulai tahun 1993. Tetapi ternyata tujuan tersebut tidak tercapai, bahkan kepercayaan terhadap perbankan nasional rontok dan mencapai titik nadir mulai tahun 1997. d. Bom waktu perbankan pun akhirnya meledak, dan tidak tanggung-tanggung berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Pada November 1997 sejumlah bank mulai rontok yang diawali dengan ditutupnya 16 bank yang akhirnya menyeret Indonesia ke krisis moneter yang tak terlupakan dalam sejarah perekonomian Indonesia. e. Pada tahun 1998 dibentuk BPPN sebagai lembaga yang berusaha untuk menyelamatkan wajah perbankan Indonesia. BPPN lahir sebagai salah satu butir dalam serangkaian Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF, dengan LOI pertamanya ditandatangani pada 1 November 1997. Pembentukan BPPN ini dianggap sebagai awal proses rehabilitasi terhadap industri perbankan. Pada tahun 1988, dari 55 bank yang dirawat oleh BPPN ternyata 10 bank tidak tertolong (dilikuidasi), 4 bank harus direkapitalisasi, dan sisanya masih terus dirawat intensif. Pada maret 1999 38 bank kembali tak tertolong, 9 bank direkapitalisasi, dan 7 bank diambil alih. Program rehabilitasi ternyata memakan korban yang banyak dengan biaya rehabilitasi
4
yang tidak sedikit yaitu sekitar 439 Triliun. (Pangestu dan Habir, 2003), termasuk meminta bantuan asing yang dipimpin oleh IMF. Kilas balik yang penuh gejolak tersebut tidak menghalangi peranan perbankan sebagai pelaku ekonomi yang paling sentral peranannya dalam memobilisasi dana masyarakat. Mengacu pada laporan Bank Indonesia, sampai dengan bulan Maret 2006, jumlah yang beroperasi di Indonesia tercatat sebanyak 131 bank umum dan 2066 BPR. Totasl asset perbankan nasional adalah Rp. 1.465,3 triliun dengan total dana DPK (Dana Pihak Ketiga) yang dihimpun perbankan telah mencapai Rp. 1.270,6 triliun. Jumlah dana tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih menaruh kepercayaan terhadap perbankan sebagai alternatif investasi dan sebagai institusi penyimpanan dana. Perkembangan perbankan Indonesia pada 6 tahun terakhir dilihat DPK, kredit yang disalurkan dan perkembangan jumlah kantornya disajikan pada Gambar dibawah ini.
Sumber: www.bi.go.id,
Grafik 1.1 Perkembangan DPK, Kredit dan Jumlah Kantor (Bank Indonesia, 2006).
5
Bank-bank yang telah menyalurkan kreditnya kepada masyarakat diharuskan secara periodik melaporkan segala kegiatannya kepada Bank Indonesia. Ini suatu upaya agar dapat diminimalisasi resiko adanya kredit macet. Sekalipun telah ditetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk mengurangi timbulnya kredit macet, akan tetapi data Bank Indonesia dari tahun ke tahun setelah tahun 1992 merupakan puncak akumulasi penderitaan bank yang dililit kredit macet menunjukkan kecenderungan yang semakin meninggkat. Bank ”plat merah” merupakan kelompok yang menggembol kredit macet yang paling besar dari total kredit macet senilai Rp. 9,028 triliun, Rp. 6,328 triliun (70,7%) diantaranya merupakan kredit macet yang ada di bank pemerintah (Neraca, 12/8/1996). Para ahli berpendapat bahwa bank pasti menghadapi kredit macet, bank tanpa kredit macet merupakan hal yang aneh (kecuali terhadap bank-bank baru). Membicarakan kredit macet, sesungguhnya memberikan resiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit, dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa bank tidak mungkin terhindar dari kredit macet. Kredit macet merupakan hal biasa dalam bisnis perbankan. Belakangan masalah kredit macet mulai menghangat kembali, semenjak dilansirnya berita tentang penghapusbukuan kredit macet yang terkenal dengan istilah write-off oleh bank sebagai upaya untuk memperbaiki kinerja industri perbankan sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat sesuai dengan UU No. 7 tahun 1992. Selain daripada itu para ahli juga berpendapat apabila dana yang digenjot dalam hal ini dana yang ditarik dari masyarakat diterima secara banyak, maka kemungkinan untuk digunakan dana itu
6
kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit akan meningkat pula. Hal tersebut akan berdampak terhadap tingkat kredit bermasalah pula yang akan mengalami peningkatan. Faktor-faktor penyebab terjadinya kredit non lancar yang potensi menjadi kredit macet yakni faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal bank sendiri misalnya analisa kredit yang tidak tepat, sistem informasi dan administrasi yang kurang baik, pengaruh dari pemilik bank dalam keputusan pemberian kredit dan kualitas manajemen bank. Sedangkan faktor eksternalnya adalah situasi perekonomian yang tidak mendukung baik dalam negeri maupun luar negeri serta terlambatnya debitur bank mengkonsultasikan permasalahan yang timbul pada bank. Seiring dengan krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah menghancurkan sendi-sendi ekonomi termasuk pada sektor perbankan. Krisis moneter yang terus menerus mengakibatkan krisis kepercayaan, akibatnya banyak bank yang lumpuh karena dihantam kredit macet. Dalam beberapa seminar menegenai Restrukturisasi perbankan di Jakarta pada tahun 1998 disimpulkan beberapa penyebab menurunnya kinerja bank, antara lain (1) semakin meningkatnya kredit bermasalah perbankan, (2) dampak likuidasi bank-bank 1 November 1997 yang mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan pemerintah, sehingga memicu penarikan dana secara besar-besaran, (3) semakin menurunnya permodalan bankbank, (4) banyak bank-bank tidak mampu melunasi kewajibannya karena menurunnya nilai tukar rupiah, (5) manajemen tidak professional.
7
Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Tbk berencana menggenjot pencapaian total aset sebesar Rp40 triliun untuk lima tahun ke depan menyusul telah diakuisisinya sebagian saham persoroan itu oleh investor asing. Komisaris utama Bank BTPN Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengatakan dalam kurun dua tahun terakhir persoroan ini telah mampu menunjukkan kinerja yang cukup signifikan. Sampai pada posisi Akhir Desember 2007 total asetnya mencapai Rp 11 triliun dan menyamai posisi aset Bank DKI. Jika pemilik baru yang didalamnya terdapat sembilan investor asing mampu bekerja optimal, Dorodjatun optimis posisi aset perseroan yang 71,6% sahamnya dikuasai TPG Nusantara akan menyamai Bank Niaga. "Setidaknya untuk lima tahun ke depan kami menargetkan pencapaian total aset hingga Rp40 triliun," ujarnya di sela-sela peresmian kantor cabang baru Bank BTPN di Surabaya. Menurut dia potensi pasar menengah di Indonesia akan semakin besar seiring dengan perbaikan iklim politik dan ekonomi. Bahkan mengutip analisa dari Nomura Institut akan ada sekitar 30 juta golongan ekonomi menengah baru di Indonesia. Tentu peluang yang besar bagi perbankan untuk dapat menggenjot pertumbuhan dana pihak ketiga. BTPN sendiri, tambahnya tidak akan menyianyiakan peluang tersebut. Karena itu ke depan bank umum ini akan memperluas jaringannya hingga ke seluruh daerah di Indonesia. Sementara fokus marketnya yang selama ini hanya bertumpu pada pensiunan PNS, TNI dan Polri akan diperluas hingga ke sektor usaha mikro kecil dan menengah. Dorodjatun mengatakan pada 2007 total penghimpunan dana BTPN telah mencapai Rp8,8 triliun naik 71,2% dibanding posisi akhir 2006 sebesar RP5,12 triliun.
8
Sedangkan penyaluran kreditnya tercatat Rp7,8 triliun naik 58,8% dibanding 2006 yang hanya mencapai Rp4,9 triliun. Paulus Wiranata, dirut Bank BTPN membenarkan hampir 90% ekspansi kreditnya masih terfokus pada sektor konsumtif. Pasalnya sebagian besar nasabahnya masih didominasi para pensiunan. Kebanyakan dari mereka melakukan pinjaman untuk perbaikan rumah. Namun belakangan ini sudah mulai ada fenomena baru yakni kredit investasi human seperti dana pembiayaan anak sekolah. Paulus berharap kedepan penyaluran kredit BTPN akan lebih bervariasi menyusul perubahan persoroan itu menjadi bank Tbk. Apalagi mulai tahun ini juga bank ini akan menggarap bisnis syariah. Tingkat kesehatan bank dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah satu indikator utama yang dijadikan dasar penilaian adalah laporan keuangan bank yang bersangkutan. Berdasarkan laporan keuangan akan dapat dihitung sejumlah rasio keuangan yang lazim dijadikan dasar penilaian tingkat kesehatan bank. Analisis rasio keuangan memungkinkan manajemen untuk mengidentifikasikan perubahan-perubahan pokok pada trend jumlah, dan hubungan serta alasan perubahan
tersebut.
Hasil
analisis
laporan
keuangan
akan
membantu
menginterpretasikan berbagai hubungan kunci serta kecenderungan yang dapat memberikan dasar pertimbangan menegenai potensi keberhasilan perusahaan dimasa mendatang. Untuk menilai kinerja perusahaan perbankan umumnya digunakan lima aspek penilaian, yaitu: (1) capital, (2) assets, (3) management, (4) earnings, dan (5) liquidity yang biasa disebut CAMEL. Aspek-aspek tersebut menggunakan rasio keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa rasio keuangan dapat digunakan
9
untuk menilai tingkat kesehatan bank. Rasio CAMEL adalah menggambarkan suatu hubungan atau perbandingan antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain. Dengan analisis rasio dapat diperoleh gambaran baik buruknya keadaan atau posisi suatu bank. Dengan melihat kondisi yang dialami oleh perkembangan beberapa Bank di Indonesia maupun terhadap tingkat penerimaan dana dari pihak luar seperti Giro, Deposito serta Tabungan maka akan dilakukan analisis mengenai penilaian tingkat rasio keuangan dengan menggunakan metode Loan To Deposit Ratio pengaruhnya terhadap besarnya kolektibilitas kredit pada rasio Non Performing Loan. Perhitungan Loan To Deposit Ratio hanya fokus pada penerimaan dana pihak ketiga tersebut digunakan untuk menilai tingkat kesehatan suatu bank serta tingkat penyaluran kredit. Dalam hal ini bank yang akan dilakukan penelitian adalah suatu bank swasta yang bergerak pada bidang kredit pensiun. Bank tersebut adalah Bank BTPN (Bank Tabungan Pensiunan Nasional), bank ini merupakan suatu lembaga perbankan yang bergerak lebih fokus pada pembayaran gaji para pensiun serta penyaluran kredit kepada para nasabah pensiun. . Berdasarkan pada rasio keuangan tersebut maka akan dilakukan penilaian mengenai tingkat kesehatan bank tersebut juga akan menganalisis tingkat kemampuan kolektibilitas kredit atau dengan kata lain pengembalian kredit dari hasil setoran cicilan kredit dari para nasabah. Perlu dipahami bahwa sumber dana perbankan yang dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut bukan dana milik bank sendiri. Karena modal perbankan juga sangat terbatas, tetapi merupakan dana-dana masyarakat yang disimpan pada bank tersebut,
10
sehingga perbankan berusaha dan berlomba-lomba menarik dan mengumpulkan dana masyarakat agar bersedia menyimpan dananya pada bank dengan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh bank dengan tujuan agar masyarakat dapat menyimpan dana tersebut dengan jangka waktu yang sangat lama. Hal tersebut merupakan salah satu sumber utama bagi bank dalam menyalurkan kembali danadana kepada pihak masyarakat yang memerlukan dalam bentuk pinjaman. Didalam ketetapan yang telah diputuskan oleh Bank Indonesia mengenai tingkat kolektibilitas pembayaran serta penagihan kredit, dimasukan kedalam beberapa kategori sesuai dengan jangka waktu pembayaran yaitu kategori lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet. Oleh karena itu penulis akan melakukan penelitian mengenai tingkat penagihan kredit bermasalah dengan judul
ANALISIS LOAN TO DEPOSIT RATIO DALAM
PENGARUHNYA TERHADAP
TINGKAT NON PERFORMING LOAN
(Suatu Studi Pada PT.BANK TABUNGAN PENSIUNAN NASIONAL Wilayah Kantor Cabang Bandung Periode 2003-2008) ”.
1.2
Identifikasi Masalah Dikarenakan oleh faktor yang sangat luas, serta agar penulisan ini lebih
terarah dan jelas, maka perlu dilakukan identifikasi masalah yang akan disajikan adalah data laporan keuangan Kantor Cabang Bandung periode tahun 2003-2008. Data laporan keuangan yang diperoleh dan akan dilakukan perhitungan rasio hanya berkisar pada penghimpunan dana bank tersebut yaitu Giro, Tabungan serta Deposito. Data laporan keuangan periode tahun 2003-2008 merupakan data yang
11
telah terjadi pada tahun tersebut serta telah dilakukan penilaian dan pengawasan oleh Kantor Pusat Bank BTPN. Bertitik tolak dari masalah tersebut, maka perumusan masalah yang dikemukakan pada penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana penilaian rasio keuangan pada tingkat loan to deposit ratio periode 2003-2008 di Bank BTPN.
2.
Bagaimana penilaian tingkat non performing loan periode 2003-2008 di Bank BTPN.
3.
Seberapa besar loan to deposit ratio yang diperoleh bank BTPN pengaruhnya terhadap tingkat non performing loan pada tahun 2003-2008 di Bank BTPN.
1.3
Maksud dan Tujuan 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah mengetahui secara keseluruhan
pengaruh dari nilai non performing loan yang nilainya dipengaruhi oleh tingkat loan to deposit ratio dalam memprediksi tingkat kesehatan suatu bank. 1.3.2. Tujuan Penelitian Berdasar pada perumusan masalah yang sudah peneliti uraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui penilaian rasio keuangan pada tingkat loan to deposit ratio periode 2003-2008 di Bank BTPN.
12
2.
Untuk mengetahui penilaian tingkat non performing loan periode 20032008 di Bank BTPN
3.
Untuk mengetahui seberapa besar tingkat loan to deposit ratio yang diperoleh bank BTPN pengaruhnya terhadap tingkat non performing loan pada tahun 2003-2008 di Bank BTPN.
1.4
Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi ilmu
pengetahuan khususnya dalam ilmu akuntansi keuangan terfokus pada permasalahan kredit perbankan serta dapat menambah data dan informasi sebagai masukan mata kuliah yang bersangkutan dan menambah literatur di perpustakaan Universitas Pasundan Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. 1.4.2. a.
Kegunaan Praktis
Perusahaan - Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang berguna dan sebagai masukan bagi pihak manajemen perusahaan didalam mengambil keputusan. - Sebagai masukan bagi pihak pengembang perusahaan untuk menilai didalam penyelamatan aktiva produktif. - Meningkatkan kinerja perusahaan didalam melakukan penagihan kredit baik lancar maupun tidak lancar
b.
Debitur/peminjam kredit
13
Sebagai informasi bagi debitur atau peminjam kredit pensiun, baik pemula maupun lanjutan untuk melihat tindakan yang akan ditempuh perusahaan apabila debitur wanprestasi terhadap kewajiban, sehingga meningkatkan perilaku debitur agar melakukan kewajibannya secara baik. c.
Pemerintah Pemerintah dalam hal ini pihak Bank Indonesia sebagai pengawas
penyaluran kredit kepada masyarakat. Pengawasan yang diberikan akan menghindari penyimpangan didalam menyelesaikan kredit. Dimana pemerintah akan mengeluarkan suatu kebijakan atau ketentuan mengenai kesehatan bank komersial. d.
Penulis 1.
Merupakan pengimplementasian ilmu, pengembangan wawasan dan pengetahuan penulis khususnya dalam bidang akuntansi keuangan, sehingga dapat membandingkan ilmu yang diterapkan dibangku kuliah dengan kenyataan yang ada dilapangan
2.
Untuk menambah pengetahuan dan gambaran lebih jelas mengenai kondisi keuangan didalam dunia perbankan khususnya pada sektor kredit
1.5
Kerangka Pemikiran 1.5.1. Landasan Teoritis Di indonesia, bank sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana
masyarakat memiliki fungsi konvensional yaitu sebagai agent of development
14
dalam rangka meningkatkan trilogi pembangunan. Sebagai agen pembangunan, bank-bank di indonesia ditugasi antara lain menghimpun dana dan menyalurkan dalam bentuk kredit kepada masyarakat serta ikut menjaga stabilitas moneter bersama-sama dengan lembaga keuangan lain. Kredit bank pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak saling menolong untuk pencapaian kebutuhan, baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapat kredit harus menunjukkan prestasi yang lebih tinggi dari kemajuan usahanya itu sendiri, atau mendapatkan pemenuhan kebutuhannya. Bagi pihak pemberi kredit, secara material dia harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit dan secara spiritual mendapatkan kepuasan dengan dapat membantu pihak lain mencapai kemajuan. Suatu kredit dikatakan mencapai fungsinya, jika secara sosial, ekonomis, baik bagi debitur, kreditur maupun masyarakat membawa pengaruh yang baik. Bagi debitur dan kreditur, mereka akan memperoleh keuntungan ekonomis, sedangkan bagi negara akan memperoleh tambahan penerimaan negara dari sektor pajak sebagai sarana pembiayaan pembangunan. Mengingat begitu pentingnya peranan kredit perbankan bagi kehidupan perekonomian, maka UU No. 7 tahun 1992 pada pasal 8 menyatakan bahwa : Menggariskan pendekatan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit perbankan kepada masyarakat. Berbagai kebijakan telah ditetapkan Bank Indonesia selaku pengawas bankbank di indonesia dengan menciptakan sistem perkreditan yang sehat. Kebijaksanaan tersebut antara lain mengenai suku bunga kredit dan sektor-sektor ekonomi yang perlu dibantu dengan fasilitas kredit, dengan selalu mengutamakan prinsip kehati-hatian.
15
Belakangan, masalah kredit macet mulai menghangat kembali, semenjak dilansirnya berita penghapusbukuan kredit macet yang terkenal dengan istilah write-off oleh bank sebagai upaya untuk memperbaiki kinerja industri perbankan sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat sesuai dengan UU No. 7 tahun 1992 yaitu : Write-off akan berdampak pada pengurangan pemasukan negara dari sektor pajak, karena fiskus terhalang oleh peraturan kerahasiaan bank sehingga tidak dapat memperoleh data tentang debitur yang kredit macetnya dihapusbukukan oleh bank yang bersangkutan. Bank-bank yang telah menyalurkan kreditnya kepada masyarakat diharuskan secara periodik melaporkan segala kegiatannya kepada Bank Indonesia. Ini satu upaya agar dapat meminimalisasi resiko adanya kredit macet, akan tetapi data Bank Indonesia dari tahun ketahun setelah tahun 1992 merupakan puncak
akumulasi
penderitaan
yang
dililit
kredit
macet
menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat. Terdapat laporan keuangan Neraca pemerintah (Neraca, 12 Agustus 1996) yang menyatakan bahwa : Bank ”plat merah” merupakan kelompok yang menggembol kredit macet yang paling besar dari total kredit macet senilai Rp. 9.028 triliun, Rp. 6.328 triliun (70,7%) diantaranya merupakan kredit macet yang ada di bank pemerintah. Perlu diketahui pula bahwa dana yang dimiliki oleh suatu bank dihimpun berdasarkan penerimaan dana yang lebih besar pada sentral giro, deposito dan tabungan. Ketiga komponen tersebut itulah yang menjadikan suatu bank dapat berdiri dan dapat melakukan kegiatan operasional bank. Demi kelangsungan suatu bank ketiga komponen penerimaan dana pihak ketiga tersebut kemudian
16
disalurkan dalam bentuk kredit. Besaran porsi atau kapasitas penyaluran kredit didasarkan pada besaran penerimaan dana pihak ketiga. Ada juga yang beranggapan bahwa suatu bank berdiri karena penyaluran kredit yang lebih besar dibandingkan dengan dana pihak ketiga, karena apabila bisa menyalurkan kredit maka akan dapat menjalankan aktivitas operasional lainnya. Oleh karena itu maka penelitian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar tingkat pengaruhnya dana pihak ketiga dalam hal ini penerimaan Giro, Tabungan serta Deposito terhadap besarnya penyaluran kredit terutama suatu bank yang hanya fokus pada kredit pensiun. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Loan to Deposit Ratio pengaruhnya terhadap rasio Non Performing Loan. Adapun bentuk atau yang termasuk dalam rasio keuangan baik LDR maupun NPL adalah sebagai berikut : LDR adalah Rasio yang digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank yang dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendahnya kemampuan likiditas bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar. Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain sedangkan untuk dana pihak ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, sertifikat deposito.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai
berikut (SE BI No. 3/30 DPNP tgl 14 Desember 2001): LDR
=
Total Kredit Total dana pihak ketiga
X
100%
17
Sedangkan NPL adalah Rasio yang menunjukkan bahwa kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Sehingga semakin tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar. Kredit dalam hal ini adalah kredit yang disalurkan kepada pihak ketiga tidak termasuk kredit kepada bank lain. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (SE BI No. 3/30 DPNP tgl 14 Desember 2001): NPL
=
Kredit Bermasalah Total Kredit
x
100%
1.5.2. Landasan Empiris Penelitian ini pernah dilakukan pada suatu bank BUMN yaitu bank BRI dimana kegiatan perkreditan cakupannya lebih luas pada penyaluran kredit, yaitu kredit karyawan, kredit umum, kredit mikro usaha kecil dan menengah, kredit tanpa agunan dan lain sebagainya. Penelitian tersebut mempunyai implikasi yang kuat bahwa dana pihak ketiga digunakan untuk memprediksi dalam mengelola penyaluran kredit. Sedangkan penelitian ini untuk melihat apakah dana pihak ketiga berpengaruh terhadap prediksi pengolahan penyaluran kredit dimana bank tersebut hanya lebih fokus pada sektor pensiun. Berdasarkan pada rasio keuangan tersebut maka akan dilakukan penilaian mengenai tingkat kesehatan bank tersebut juga akan menganalisis tingkat
18
kemampuan penyaluran kredit. Perlu dipahami bahwa sumber dana perbankan yang dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut bukan dana milik bank sendiri. Karena modal perbankan juga sangat terbatas, tetapi merupakan dana-dana masyarakat yang disimpan pada bank tersebut, sehingga perbankan berusaha dan berlomba-lomba menarik dan mengumpulkan dana masyarakat agar bersedia menyimpan dananya pada bank dengan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh bank dengan tujuan agar masyarakat dapat menyimpan dana tersebut dengan jangka waktu yang sangat lama. Hal tersebut merupakan salah satu sumber utama bagi bank dalam menyalurkan kembali danadana kepada pihak masyarakat yang memerlukan dalam bentuk pinjaman. Selain daripada itu, penelitian ini juga dilakukan untuk melihat seberapa besar hubungan antara nilai NPL dengan nilai LDR, yang kebanyakan dari penelitian itu memperlihatkan hubungan negatif antara rasio LDR dengan rasio NPL, yang berarti bahwa LDR dan NPL memiliki hubungan yang berlawanan. Oleh karena penelitian terdahulu tersebut, maka dilakukanlah penelitian terhadap Bank BTPN untuk melihat seberapa besar adanya hubungan ataupun berlawanan negative tersebut. Secara empiris tingkat kegagalan bisnis dan kebangkrutan bank dengan menggunakan rasio-rasio keuangan model CAMEL dapat digunakan sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu (1) Thomson (1991) (dalam Wilopo 2001) yang menguji manfaat rasio keuangan CAMEL dalam memprediksi kegagalan bank di USA pada tahun 1980an dengan menggunakan alat statistik regresi, (2) Whalen dan Thomson (1988) (dalam Wilopo 2001) yang menemukan
19
bahwa rasio keuangan CAMEL cukup akurat dalam menyusun rating bank, dan (3) Surifah (1999) yang menguji manfaat rasio keuangan dalam memprediksi kebangkrutan bank dengan menggunakan model CAMEL. Berdasarkan pada landasan tema tersebut, penulis menarik kesimpulan sementara yaitu : “ Terdapat pengaruh Loan to Deposit Ratio terhadap nilai Non Performing Loan.” Secara sistematis uraian diatas dapat dilihat dalam bagan kerangka pemikiran berikut ini:
RASIO CAMEL
NPL (Non Performing Loan)
LDR (Loan to Deposit Ratio)
Dana Pihak Ketiga : 1. Giro 2. Deposito 3. Tabungan
Tingkat Penyaluran Kredit Pensiun
Gambar 1.1 Skema Kerangka Pemikiran
20
1.6
Lokasi dan Waktu Penelitian 1.6.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian bertempat di PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional
wilayah Kantor Cabang Bandung yang berada di Jl. Lengkong Besar No. 38 Bandung 40281. 1.6.2. Waktu Penelitian waktu penelitian digunakan pada bulan Maret 2009 sampai dengan bulan Mei 2009.