BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Prestasi olahraga Indonesia mengalami keadaan pasang dan surut. Pada tiga periode SEA Games berturut-turut, yaitu tahun 2007, 2009, dan 2011, peringkat perolehan medali Tim Nasional (TIMNAS) Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan ini terjadi setelah TIMNAS Indonesia bersaing ketat dengan atlet dari Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Indonesia menjadi juara umum satu pada SEA Games XXVI 2011 (Kompas 2009a, 2009b, 2011). Kemenangan tersebut merupakan kemenangan kolektif sehingga tidak mempresentasikan suatu prestasi di setiap cabang olahraga. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian prestasi pada setiap cabang olahraga. Salah satunya adalah cabang olahraga pencak silat. Prestasi cabang olahraga pencak silat tanding kurang memuaskan. TIMNAS Pencak Silat Indonesia mewakilkan delapan dari lima belas kelas yang dipertandingkan. Namun, TIMNAS Indonesia hanya mampu meraih tiga medali emas (Humas Satlak PRIMA (Program Indonesia Emas), 2011). Kondisi tersebut tertinggal dengan perolehan medali emas tim Vietnam dan Malaysia, yaitu enam dan tiga emas (Anonim, 2011). Pencak silat adalah beladiri tradisional Indonesia yang berakar dari budaya Melayu (Gunawan, 2007). Pencak silat ditemukan di seluruh wilayah Indonesia. Cabang olahraga ini dipertandingkan di tingkat nasional dan internasional (Nenggala, 2006). Dengan demikian, sudah seharusnya peningkatan prestasi cabang olahraga pencak silat terus dilakukan. Upaya peningkatan prestasi tersebut
1
2
dapat dilakukan dengan “pembibitan” atlet yang baik dan bertahap dari tingkat daerah, serta pengkajian mengenai performa atlet pencak silat. Performa atlet dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor genetik, motivasi, latihan, nutrisi, status kesehatan, somatotype, dan kebugaran (Sport Medicine Manual, 2000; Carter, 2002; Dorfman, 2008). Guna membantu peningkatan performa, perlu digunakan adanya penilaian status gizi atlet secara berkala. Dalam penilaian status gizi terdapat 2 macam pengukuran, yaitu pengukuran secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung diukur dengan antropometri dan tidak langsung dengan penilaian asupan makanan. Akurasi data yang dihasilkan dari penilaian tersebut, dapat mencerminkan performa atlet. Hal tersebut terjadi karena terdapat hubungan antara asupan energi dengan kebugaran seseorang (Supariasa, 2002; Irianto, 2007; Robbert et al., 2011). Di sisi lain, performa atlet juga erat hubungannya dengan perawakan tubuh. Setiap atlet pada cabang olahraga tertentu memiliki lemak tubuh yang spesifik. Perawakan tubuh yang sesuai dengan cabang olahraga yang digeluti juga diperlukan untuk mendukung performa (Rahmawati, 1996; Fatmah and Ruhayati, 2010). Pengaturan diet atlet harus tepat dari sebelum, saat, dan sesudah masa kompetisi. Pemenuhan energi pada masa tersebut sangat penting untuk mengetahui performa atlet. Lemak digunakan pada olahraga dengan intensitas rendah dan durasi lama, seperti: lari maraton dan triatlon. Pembatasan asupan energi berdampak pada kekuatan otot, ketahanan otot, juga kebugaran kardiovaskular. Latihan berat tanpa disertai pemenuhan kebutuhan energi akan sia-sia (Jansen, 1993; Irianto, 2007; Kushartanti, 2009; Widiastuti, 2009; Genton, 2010). Akan tetapi,
3
pemenuhan energi yang tidak tepat dari jumlah dan jenisnya banyak ditemukan (Widiastuti, 2009; Ghloum dan Hajji, 2011). Tingginya konsumsi lemak pada atlet berkorelasi positif dengan lemak tubuh pada studi populasi (Abernethy et al., 2004). Timbunan lemak tubuh akan meningkatkan berat badan atlet. Kondisi tersebut didukung tanpa adanya aktivitas fisik yang dapat meningkatkan timbunan lemak tubuh dan mempengaruhi perawakan tubuh manusia. Timbunan lemak tidak berkontribusi pada produksi energi. Hal tersebut akan berdampak sangat merugikan bagi cabang olahraga dengan klasifikasi berat badan, seperti pencak silat. Atlet pencak silat cenderung memaksimalkan massa otot dan meminimalkan lemak tubuh (Tooth, 2007; Fatmah and Ruhayati, 2010). Semakin tinggi persentase lemak tubuh dan semakin endomorphy tubuh seorang atlet, akan menyebabkan percepatan pergerakan berkurang (Norton et al., 2004). Gerakan fisik dalam olahraga dikaitkan dengan skill related fitness atau kebugaran berkaitan dengan keterampilan (Fatmah and Ruhayati, 2010). Kelincahan merupakan salah satu komponen biomotor skill related fitness yang penting dalam pencak silat (Lubis, 2004). Kelincahan memberikan sumbangan 20 persen dari bobot kondisi fisik seorang pesilat (Dikpora, 2005). Tanpa memiliki kombinasi kecepatan, keseimbangan, dan kelincahan, pesilat kesulitan dalam melakukan serangan maupun belaan dengan akurat dan cepat (Hariono, 2006). Penelitian dan publikasi mengenai pemenuhan energi, komposisi lemak tubuh, somatotype, dan kebugaran umumnya berdiri sendiri. Publikasi yang sudah ada, meliputi: profil asupan energi, status gizi, kondisi fisik, dan komposisi tubuh (Gholum, 2011; Dizon and Somers, 2012); pola makan dengan kebugaran aerobik
4
(Widiastuti, 2009); lemak tubuh, somatotype, dengan kelincahan (Morazuki and Amran, 2009); serta dominansi somatotype dengan puncak kemampuan fisik (Bolonchuk et al., 2000). Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara asupan lemak, persentase lemak tubuh, somatotype dengan kelincahan pada atlet pencak silat tanding pelatihan daerah (PELATDA) Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian tersebut dilakukan dengan harapan menjadi suatu kajian terhadap keberhasilan atau prestasi atlet ditingkat daerah dan dapat dipertimbangkan hingga tingkat nasional.
B. RUMUSAN MASALAH 1.
Bagaimanakah profil asupan lemak, persentase lemak tubuh, somatotype, dan kelincahan atlet pencak silat PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta?
2.
Bagaimanakah hubungan antara asupan lemak dengan persentase lemak tubuh atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta?
3.
Bagaimanakah hubungan antara asupan lemak, persentase lemak tubuh dengan somatotype atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta?
4.
Bagaimanakah hubungan antara asupan lemak, persentase lemak tubuh, somatotype dengan kelincahan atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta?
5
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara asupan energi, komposisi tubuh, dan somatotype dengan skill related fitness atlet pencak silat tanding pelatihan daerah (PELATDA) Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi asupan lemak, persentase lemak tubuh, somatotype, dan kelincahan atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta. b. Mengetahui hubungan antara asupan lemak dengan persentase lemak tubuh atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Mengetahui hubungan antara asupan lemak, persentase lemak tubuh dengan somatotype atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta. d. Mengetahui hubungan antara asupan lemak, persentase lemak tubuh, somatotype dengan kelincahan atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Peneliti a. Mendapatkan pendekatan standar somatotype atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta.
6
b. Memberikan informasi mengenai status gizi atlet dan performa atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Bagi Atlet Memberikan motivasi dalam pengaturan pola makan dan latihan agar memiliki persentase lemak tubuh, somatotype, dan kelincahan yang optimal. 3. Bagi Pelatih a. Memberi acuan pada skrining awal dalam proses penyeleksian atlet. b. Memberi informasi pemilihan, pemberian jenis dan frekuensi latihan. c. Memberi informasi mengenai pemilihan makanan bagi atlet. 4. Bagi Masyarakat Memberikan informasi pemilihan cabang olahraga yang akan ditekuni. 5. Bagi Institusi a. Memberi informasi mengenai salah satu acuan yang digunakan dalam pengambilan kebijakan pada pembibitan atlet junior. b. Memberi informasi dalam acuan penatalaksanaan peningkatan performa yang mendukung prestasi atlet.
E. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh asupan lemak, persentase lemak tubuh, somatotype terhadap kelincahan atlet pencak silat tanding PELATDA Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian yang relevan antara lain adalah
7
a.
Penelitian dari Widiastuti et al. (2009) dengan judul “Pola Makan dan Kebugaran Jasmani Atlet Pencak Silat selama Pelatihan Daerah Olahraga Nasional XVII Provinsi Bali”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengidentifikasi dukungan pola makan pada latihan fisik dari atlet pencak silat pelatihan daerah PON (Pekan Olahraga Nasional) tahun 2008 Provinsi Bali. Metode yang
digunakan
adalah
cross-sectional.
Hasilnya
menunjukkan bahwa: (1) mayoritas asupan atlet adalah rendah karbohidrat, tinggi lemak dan protein, (2) ada korelasi positif efek dari asupan vitamin c dan Fe terhadap VO2 maks, (3) ada korelasi positif efek asupan karbohidrat dengan persentase lemak tubuh, serta (4) asupan protein mempengaruhi tingkatan hemoglobin atlet. Persamaan dengan penelitian ini adalah: (1) pengukuran asupan lemak, (2) persentase lemak tubuh, (3) kelincahan dan (4) subjek atlet pencak silat. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penggunaan pengukuran pola makan dan kebugaran aerobik. Selain itu, terdapat perbedaan pada populasi subjek, yaitu atlet pencak silat PON Bali. b.
Penelitian dari Morazuki and Amran (2010) berjudul “Somatotype, Persentase Lemak, dan Ketangkasan di Kalangan Atlet Karate Tingkat Universitas”. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi somatotype atlet karate laki-laki dan perempuan dan (2) membandingkan tingkat ketangkasan dengan persentase lemak atlet karate menurut kelompok somatotype.
Metode
yang
digunakan
adalah
cross-sectional
dan
observasional. Hasil yang diperoleh adalah: (1) empat atlet pria dan dua atlet wanita memiliki somatotype endomorphic mesomorph, sedangkan dua
8
atlet yang lain memiliki somatotype mesomorph-endomorph; (2) persentase lemak pria secara umum pada tingkat ideal sedangkan perempuan berada pada tingkat kurang; serta (3) saat uji ketangkasan enam atlet berada pada tingkat sedang dan dua pada tingkat lemah. Subjek yang berada pada tingkat lemah memiliki persentase lemak yang lebih tinggi. Persamaan penelitian ini adalah pengukuran somatotype pada atlet cabang olahraga beladiri. Perbedaan penelitian ini adalah: (1) asupan lemak tidak diukur, (2) level kompetisi atlet berbeda (mahasiswa dengan atlet daerah), serta (3) populasi penelitian berada di Malaysia. c.
Penelitian dari Pieter and Luigi (2009) berjudul “Somatotype of National Elite
Combative
Sport
Athletes” bertujuan
untuk
mengetahui
dan
membandingkan somatotype atlet beladiri dewasa TIMNAS Filipina. Metode yang digunakan adalah cross sectional dan observasional. Persamaan yang dimiliki adalah: pengukuran somatotype dan subjek atlet pencak silat. Perbedaan dengan penelitian ini adalah: (1) adanya perbandingan somatotype atlet dari dua cabang olahraga pertarungan; (2) tidak mengukur pemenuhan zat gizi, persentase lemak tubuh dan kelincahan atlet, serta (3) level kompetisi pada penelitian ini adalah atlet nasional. d.
Penelitian dari Bolonchuk et al. (2000) berjudul “Association of Dominant Somatotype of Men With Body Structure, Function During Exercise, and Nutritional Assessment” bertujuan untuk: (1) mengetahui hubungan antara struktur tubuh dengan respon fungsional tubuh pada puncak latihan, dan (2)
9
mengetahui peran nutrisi pada laki-laki yang memperlihatkan dominansi somatotype tertentu. Metode penelitian ini adalah cross-sectional dan observational. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya respon metabolisme yang berbeda pada peak power karena kekurangan fat free weight (FFW) dan body cell mass (BCM). Ectomorphy menunjukkan konsentrasi laktat plasma darah tinggi dan peak oxygen uptake rendah. Ectomorphy berkaitan dengan peningkatan metabolisme glikolisis. FFW, TBK dan BCM pada ectomorphy lebih rendah dibandingkan dengan endomorphy dan mesomorphy. Pada penelitian ini terdapat hubungan antara somatotype dengan komposisi tubuh, total body cholesterol, status gizi, sirkulasi lipid dan lipoprotein. Diet dan asupan mineral mempengaruhi performa fisik. Biokimia darah menunjukkan bahwa mineral (Fe, Zn, Mg) tidak berpengaruh pada dominasi somatotype. Seseorang dengan dominan endomorphy mempunyai nilai HDL berkurang. Asupan lemak secara langsung
dan
signifikan
berpengaruh
terhadap
endomorphy.
Persamaannya adalah pengukuran asupan lemak, komposisi tubuh, dan somatotype.
Perbedaannya
adalah:
(1)
komponen
performa
yang
digunakan adalah peak oksigen uptake menggunakan ergometer, (2) pengukuran TBK, BCM, FFW, dan komponen biokimia; serta (3) subjek penelitian adalah laki-laki bukan atlet. e.
Penelitian dari Genton et al. (2010) dengan judul “Clinical Energy and Macronutrient Requirements for Physical Fitness in Exercising Subjects” bertujuan untuk mengetahui efek asupan energi dan makronutrien dikaitkan
10
dengan latihan atau aktivitas fisik pada kebugaran berkaitan dengan kesehatan dan keterampilan olahraga. Metode yang digunakan adalah cross-sectional
dan
observasional.
Hasil
menunjukkan
bahwa:
(1)
pembatasan energi berkaitan dengan aktivitas fisik dapat meningkatkan fat free mass, kekuatan otot, dan kapasitas kardiorespirasi; serta (2) suplementasi energi dan latihan daya tahan meningkatkan fat free mass pada atlet. Persamaannya adalah mengukur asupan zat gizi dan komponen kebugaran. Perbedaan adalah tidak mengukur komponen lemak tubuh, somatotype, dan kelincahan.