1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1966, Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) muncul atas prakarsa Susilomurti, yang tergabung dengan sanggar seni rupa ―Sanggar Bambu‖ pimpinan Sunarto P.R.. Organisasi itu pada akhirnya tidak mampu benar-benar mewadahi seluruh sastrawan Jawa, sebagai organisasi nasional yang mengurusi sastrawan Jawa secara nasional, meskipun juga sudah dibentuk tiga komisariat, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah (termasuk D.I.Y), dan Jawa Timur
(Widati,
1999:41). Ketidakmampuan tersebut dikarenakan wilayah jangkauannya terlalu luas, yaitu nasional, dengan mengingat sarana telekomunikasi dan transportasi yang belum begitu berkembang pada masa itu. Daerah di masing-masing komisariat akhirnya membentuk komunitaskomunitas sastra Jawa secara mandiri karena menunggu kegiatan dari pusat memang belum juga ada. Keberadaan OPSJ Pusat dengan sebagian besar pengurus inti di kota Yogyakarta itu secara tidak langsung mempengaruhi dinamika kepengarangan dan kesastraan Yogyakarta. Hal itu didukung kota Yogyakarta terkenal sebagai kota pelajar dan kota budaya yang dimungkinkan turut memacu kehidupan budaya di kota itu. Demikianlah, meskipun di Yogyakarta telah ada organisasi resmi untuk sastra Jawa, sebenarnya di Yogyakarta juga telah berdiri kelompok pengarang sastra Indonesia, yaitu Grup Studi Sastra Persada di bawah pimpinan Umbu 1
2
Landu Paranggi (Widati, 1999:41). Grup tersebut lebih fokus pada sastra Indonesia. Namun, di tengah kegiatan mereka juga terdapat beberapa pengarang atau peminat sastra Jawa, misalnya Suwarno Pragolapati, Utomo D.S. dan A.Y. Suharyono. Hal itu, jika dilihat secara umum tentang keberadaan sanggar-sanggar sastra Jawa, setidaknya ada belasan sanggar yang peneliti temukan yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Beberapa sanggar-sanggar sastra Jawa tersebut seperti di bawah ini. Pada kawasan Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta terdapat sanggar sastra Jawa Brayan Mudha (Sabda) yang pernah eksis. Sanggar ini berdiri setelah OPSJ pada tahun 1976 di Yogyakarta yang diprakarsai oleh Utomo DS, seorang redaktur mingguan Kembang Brayan. Melalui inisiatif Utomo D.S. AY. Suharyono, dan kawan-kawan yang minat dengan sastra Jawa, diarahkan menjadi pengarang berbahasa Jawa di dalam mingguan Kembang Brayan yang diasuhnya, hingga pada tahun 1976 berdirilah grup pecinta sastra Jawa di bawah naungan Kembang Brayan, dengan mengambil nama ―Paguyuban Pengarang Muda (Prada)‖ selanjutnya berubah menjadi ―Sabda‖ atau ―Sanggar Sastra Brayan Muda‖ (Widati, 1999:42). Tujuan didirikannya sanggar adalah untuk mengembangkan bakat para penulis muda sastra Jawa yang berada di Yogyakarta, terutama yang menulis pada rubrik mingguan Kembang Brayan. Anggotanya juga berasal dari Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi. Nama kelompok Brayan Mudha tersebut menyarankan kepada siapa pengayomnya, yaitu Kembang Brayan.
3
Kegiatannya diarahkan pada keterampilan menulis fiksi cerkak, esai dan geguritan. Hampir semua rubrik sastra diisi oleh karya-karya para anggota sanggar tersebut. Majalah tersebut berperan sebagai penyandang dana tunggal yang mengatur honorarium pengarang dan naskah anggota yang dimuat. Keterkaitan yang mengarah ketergantungan antara sanggar dengan majalah tersebut, konsekuensinya ketika Kembang Brayan mati pada tahun 1979, sanggar Brayan Mudha juga ikut mati. Sanggar Sastra Jawa Rorojonggrang (SSJR) merupakan kelompok sastra dengan pusat kegiatannya di Terban, Yogyakarta dan berdiri pada tahun 1982. Pencetusnya ialah mahasiswa UGM Andrik Purwasito yang kemudian menjadi ketua sanggar tersebut. Anggotanya merupakan mahasiswa pecinta sastra Jawa di Yogyakarta. Tujuan didirikannya untuk mengembangkan olah cipta sastra Jawa Modern, dengan secara khusus menekuni kreativitas sastra Jawa. SSJR juga menerbitkan majalah periodik bernama Rara Jonggrang sebagai wadah publikasi kreativitas para anggotanya, sebelum disebarkan melalui media berbahasa Jawa yang sudah mapan. SSJR hanya mampu bertahan 1 tahun, karena Andrik pindah bekerja di Surakarta. Sanggar Sastra Gurit Gumuruh (SSGG) pada mulanya bernama Sanggar Gurit Gurnita didirikan pada tahun 1988 di Godean Yogyakarta. Pencetusnya adalah Moh. Yamin seorang guru SD dan diketuai oleh RPA Suryanto Sastroatmojo. Sanggar tersebut mengawali kerjanya dengan mengumpulkan murid-murid sekolah dan para remaja disekitar desa. Fokus aktivitasnya selain penciptaan sastra Jawa adalah pembacaan karya tersebut. Hasil karyanya banyak
4
dimuat di Djaka Lodang. Mereka mengembangkan diri dengan mengikuti lomba di mana-mana dengan corak gaya yang unik dalam pembacaan karyanya, misal pembacaan cerkak dengan iringan musik gamelan. Sanggar tersebut bergantung dengan sosok Moh. Yamin, sehingga ketika Moh. Yamin meninggal, sanggar tersebut ikut mati. Selanjutnya, tercatat pula Kelompok Sastra Jawa Gunung Muria (Kudus dan Jepara), Grup Diskusi Sastra Blora, Sanggar Bening Keluarga PMS (Penulis Muda Semarang),
Bengkel Sastra Sasonomulyo, Sanggar Sastra Nur Praba,
Sanggar Sastra Tabloid Tegal-Tegal, Sanggar Kalimasada yang memiliki nasib yang sama, yaitu mati atau mati suri karena ditinggal pendirinya. Matinya pengayom, pindah domisili dari pendiri, pendanaan, dan mereka beralih menjadi sanggar dengan fokus campur (sastra Jawa-Indonesia, kebudayaan Jawa umum). Dari belasan sanggar di atas, yang masih aktif dan dapat dikatakan sehat se-Jawa ialah Sanggar Sastra Triwida, Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), dan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) (Riyadi, 1996:5; Budiman, 2011:10). Dengan rincian keberadaan organisasi, 3 (Triwida, PSJB, lan PPSJS) di Jawa Timur, dan satu (SSJY) di Yogyakarta. Keempat sanggar tersebut masih ada gaung suaranya di kancah
sastra
memprihatinkan,
Jawa.
Sanggar
dengan
yang
keadaan
lainnya
sosial
memiliki
ekonomi
para
keadaan pengurus
yang dan
pengarangnya yang kurang baik (Budiman, 2006:112). Sanggar sastra Jawa sering patah tumbuh hilang berganti, apalagi yang memfokuskan diri pada sastra Jawa tidak banyak yang meminati (Endraswara,
5
2008:15). Di berbagai wilayah, sanggar sastra Jawa muncul, namun hanya sejenak tenggelam. Di antara sanggar-sanggar sastra Jawa di atas yang masih bergerak dan berskala besar di Yogyakarta adalah SSJY yang berdiri atas prakarsa para pemerhati sastra Jawa di Yogyakarta dari berbagai kalangan dan wilayah (Endraswara, 2008:30). SSJY juga telah melahirkan sekian banyak penyair, cerpenis, bahkan juga novelis Jawa. Sanggar sastra Jawa yang ada di Yogyakarta berdasarkan penelitian Widati (1996) juga menjelaskan bahwa yang mampu bertahan hingga kini adalah Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta. Sanggar yang berdiri sejak tahun 1991 setelah adanya OPSJ. Sanggar Sastra Jawa Yoyakarta (SSJY) tersebut berdiri pada tanggal 12 Januari 1991 dengan candrasangkala Tunggal Gatra Trus Nyawiji dan berlamat di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Jln. I Dewa Nyoman Oka No. 34. Kegiatan SSJY adalah pembinaan terhadap generasi muda mengenai kepenulisan geguritan dan cerkak. Pertemuan temu pengarang dan pembinaan generasi muda dilaksanakan satu bulan sekali. SSJY juga menerbitkan majalah sastra Jawa bernama Pagagan yang membahas khusus mengenai sastra Jawa. Di dalamnya terdapat cerkak, geguritan, cerita bersambung, kritik sastra Jawa, dan lain-lain. Pada penelitian ini, peneliti menitikberatkan kepada mengapa sanggarsanggar sastra Jawa cepat tumbuh dan kemudian mati. Mereka seakan numpang lewat dan menjadi pelengkap penderitaan sejarah sastra Jawa. Namun, hal itu tidak sejalan dengan kenyataan SSJY. Sanggar sastra ini mampu bertahan hingga kini di samping sanggar-sanggar sastra Jawa di Jawa Tengah dan DIY yang
6
timbul tenggelam. Terhitung dari berdirinya, yaitu pada tahun 1991-2014, berarti 23 tahun eksis dalam kancah sastra Jawa. Hal itu menjadikan peneliti tertarik untuk membahas sistem SSJY sehingga mampu bertahan hidup sampai sekarang. SSJY dipilih sebagai objek penelitian dan bukan Triwida, PSJB, atau PPSJS, dengan mempertimbangkan bahwa SSJY merupakan sanggar sastra Jawa satu-satunya yang masih mampu bertahan di Yogyakarta, terutama kefokusannya pada sastra Jawa, sehingga patut untuk diteliti. Keberadaan SSJY di Yogyakarta yang merupakan kota budaya (Jawa) dengan adanya kraton Kesultanan Yogyakartnya juga merupakan pertimbangan lebih. Sistem SSJY akan dikaji menggunakan pendekatan sosiologi Talcott Parsons yang membahas tentang prasyarat sebuah sistem jika ingin mampu bertahan hidup dalam kurun waktu yang lama.
1.2 Rumusan Masalah SSJY merupakan sanggar yang fokus pada sastra Jawa di Yogyakarta sebenarnya memiliki berbagai hal yang dapat dibahas dari berbagai sudut ruang kajian. Selanjutnya, latar belakang masalah di atas menuntun peneliti untuk membatasi masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Pada penelitian ini, peneliti merumusakan dua masalah sebagai berikut. 1) Apa faktor-faktor yang menyebabkan adanya tindakan mendirikan SSJY? 2) Bagaimana pemertahanan sistem SSJY sehingga mampu bertahan lama?
7
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini meliputi dua macam, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis dalam penelitian ini meliputi 1) penelitian ini diharapkan mampu menerapkan teori sistem sosial dari Talcott Parsons terhadap komunitas sastra, 2) memberikan alternatif teori terhadap penelitian sosiologi sastra khususnya yang berhubungan dengan suatu sistem untuk bertahan hidup. Sedangkan tujuan praktis dalam penelitian ini adalah menjelaskan dengan sedetailnya tentang cara SSJY dalam bertahan hidup dengan mempertahankan sistemnya, sehingga masyarakat yang ingin mendirikan sanggar sastra daerah atau kelompok sastra daerah dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai rujukan tentang cara mempertahankan sistem kehidupan sebuah sanggar/kelompok sastra daerah, sehingga tidak hanya mampu melahirkan kelompok sastra daerah, namun juga mampu mempertahankan keberadaannya.
1.4 Kajian Pustaka Sejauh ini, penelitian yang memfokuskan objek penelitian pada Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan menggunakan pendekatan sosiologi sastra apalagi teori sistem dari Talcott Parsons belum ada yang melakukan, sehingga kepustakaan mengenai hal ini sangat terbatas. Ada pun penelitian atau referensi yang mengungkapkan tentang SSJY diantaranya adalah sebagai berikut.
8
Pada tahun 1999 terdapat penelitian dengan judul Sanggar-Sanggar Sastra Jawa Modern di Jawa Tengah dan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada penelitian tersebut membahas tentang kondisi secara umum, kemunculan sanggarsanggar sastra Jawa yang berada di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, tempat berkumpulnya, berupa kegiatan-kegiatan di dalamnya, sifat keorganisasian, produk sanggar, anggotanya, motivasi dan tujuan didirikan, cara kerjanya secara mendalam dan mencatat kemajuan yang tercapai begitu juga hambatan-hambatan yang dialami serta catatan mengenai kematiannya (Widati, 1999). SSJY merupakan salah satu sanggar sastra Jawa yang dibahas dalam penelitian di atas. Peneliti menjelaskan bahwa SSJY merupakan sanggar yang terakhir berdiri, yaitu berdiri pada 12 Januari 1991. Penelitian tersebut juga mengungkap simbol SSJY, alamat SSJY, latar belakang berdirinya SSJY, sejarah berdirinya, adanya AD/ART di SSJY, pendanaan, kegiatan yang dilaksanakan, seperti: diskusi karya-karya pengarang, diskusi umum tentang sastra budaya, penerbitan majalah Pagagan, lokakarya/workshop penulisan cerkak-geguritan, bengkel sastra, parade cerkak-geguritan, namun belum menyentuh bagaimana SSJY mampu bertahan hidup (Widati, 1999:47). Pada tahun 2008 terbit buku dengan judul Sanggar Sastra: Wadah Pembelajaran dan Pengembangan Sastra. Jika dilihat dari judul memang seakan membahas sanggar secara umum, namun ketika membaca keseluruhannya, maka akan dapat disimpulkan bahwa penulis menggunakan topik sanggar sastra Jawa dan dengan objek SSJY sebagai percontohannya.
9
Dalam bukunya tersebut, penulis menjelaskan seluk beluk sanggar sastra khusunya Jawa, eksistensi sanggar sastra di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, aktivitas kreatif sanggar sastra, sanggar sebagai kantong sastra, strategi pelaksanaan sanggar sastra, sanggar sastra: membaca puisi, penata laku dalam sanggar sastra, menulis puisi: pengembaraan liar, pembacaan cerpen sebagai pertunjukkan, sanggar sastra inovasi pembelajaran sastra, belajar menjadi pendongeng, teks puisi kolaborasi, dan teks pentas drama, dan prosa. Penulis memaparkan, sanggar sastra Jawa sering patah tumbuh hilang berganti. Di berbagai wilayah, sanggar sastra Jawa muncul, namun hanya sejenak tenggelam. Namun, dalam buku tersebut ia menyebutkan bahwa SSJY merupakan sanggar sastra yang terbilang eksis. Diantara sanggar-sanggar sastra Jawa di atas yang masih bergerak dan berskala besar adalah SSJY yang berdiri atas prakarsa para pemerhati sasta Jawa di Yogyakarta dari berbagai kalangan dan wilayah. SSJY telah melahirkan sekian banyak penyair, cerpenis, bahkan juga novelis Jawa (Endraswara, 2008:30). Sesuai judul bukunya, buku tesebut lebih membahas pada ―Wadah Pembelajaran dan Pengembangan Sastra‖ khususnya sastra Jawa, tidak menawarkan bagaimana cara sanggar untuk mampu bertahan hidup lama. Pada tahun 2001 dan 2011 terdapat makalah yang berjudul ―Sanggar, Ajang Penggemblengan Pengarang Berbahasa Jawa: Upaya Orang Muda Jawa ‗Membina‘ Bahasa dan Sastra Jawa‖ dalam Kongres Bahasa Jawa III serta Wigatine ―Wong Gendheng‖ Sajroning Sanggar Sastra Jawa dalam Proseding Kongres Basa Jawa V. Makalah-makalahnya tersebut membahas jika sebuah sanggar memiliki program dan konsep yang matang, maka para penulis akan lebih
10
leluasa berkiprah. Sanggarlah yang menjadi wadah kegiatan terbaik untuk menunjang segala kreativitas kepengarangan. Di dalam sanggar hak dan kewajiban dibina dan membina dengan metode yang cocok, saling melatih, mengasah pena dan menggelar kegiatan-kegiatan. Budiman Sunarko juga sekilas membahas tentang SSJY, bahwa sanggar tersebut satu-satunya yang tetap eksis di Yogyakarta (Budiman Sunarko, 2001; 2011). Tulisan tersebut lebih menekankan program dan konsep yang matang dalam sanggar agar para penulis akan lebih leluasa berkiprah. Meskipun ketiga tulisan di atas tidak membahas mendalam mengenai SSJY, namun tetap digunakan peneliti untuk dijadikan catatan awal dan data sekunder yang berupa tulisan yang mendukung penelitian ini. Hasil penelitian Sri Widati menjadi referensi utama, karena selain sebagai peneliti, ia merupakan ketua SSJY pertama, sehingga hasil penelitiannya patut untuk dipertimbangkan. Selanjutnya, sesuai dengan sifat akademik yang berkesinambungan dalam hal penelitian.
1.5 Landasan Teori 1.5.1 Teori Sosiologi Talcott Parsons Struktural fungsional berpandangan bahwa masyarakat terbangun dari sistem yang kompleks, dan setiap bagian dari sistem tersebut bekerja sama untuk memelihara kestabilan (Meinarno, 2011:264). Masyarakat tersebut terdiri atas struktur sosial, yang selanjutnya stuktur sosial tersebut dipahami sebagai pola tingkah laku sosial yang relatif stabil. Inti masyarakat adalah jalinan makna,
11
kepercayaan, dan nilai yang dianut bersama. Kepecayaan dan nilai suatu masyarakat
dapat
membentuk
stuktur
cara-cara
dasar
mereka
dalam
mengorganisasikan kehidupan sosialnya (Sanderson, 1993:6). …kesemuanya menjadi stabil dan berkelanjutan melalui suatu tradisi sosial yang hidup yang menunjukkan suatu fungsi yang sangat penting dalam penggabungan kelompok-kelompok sosial dan dalam menstabilkan orientasi individu-individu di dalamnya (Parsons, 1985:150). Kita dapat merasakan dan mengalami struktur sosial dalam institusi sosial, seperti keluarga, sekolah, tempat kerja, begitu juga sanggar. Misalnya di dalam sanggar, menurut struktural fungsional, kehidupan di dalam sanggar memiliki pola-pola tertentu yang relatif stabil, dapat dirasakan, dan relatif tetap. Artinya, kehidupan masyarakat di dalamnya terbentuk dari struktur sosial. Selanjutnya, setiap bagian dari struktur sosial itu memiliki fungsi, yaitu konsekuensi dari pola sosial terhadap bekerjanya masyarakat secara keseluruhan. Stratifikasi berperan penting bagi Parsons karena mengakibatkan masyarakat dapat mengatasi ketebatasan-ketebatasan mereka (Sanderson, 1993:157). Teori sosial Talcott Parsons, struktural fungsional, sekitar tahun 1950-an sampai pada tahun 1960-an menjadi landasan pengembangan teori modernisasi. Teori ini paling populer, berkembang, dan dominan di era itu (Hoogvelt 1985:81). Ia merupakan tokoh kunci perspektif stuktural fungsional yang selama kurang lebih 40 tahun mendominasi sosiologi Amerika melalui dua bukunya The Structure of Social Action (1937) dan The Social System (1951) (Meinarno, 2011:264). Parsons mengemukakan minatnya untuk menjawab dua permasalahan mendasar tentang masyarakat, (1) permasalahan tentang aksi sosial: mangapa
12
manusia bertindak dengan cara tertentu? Seberapa jauh tindakan manusia dibentuk oleh pengaruh eksternal, serta apa konsekuensinya dari tindakan tersebut, baik yang disengaja maupun tidak disengaja? (2) permasalahan pengaturan sosial: bagaimana tindakan sosial dapat diperbanyak, sehingga menghasilkan pola sosial yang terkoordinasi? Sejauh mana pola sosial tersebut dipengaruhi oleh kekuatan atau dorongan atau konsensus? Dalam analisis struktural fungsional, Parsons (dalam Meinarno, 2011:264265) berpendapat bahwa masyarakat terdiri atas jejaring yang sangat besar, saling tehubung, dan setiap bagiannya membantu memelihara sistem secara keseluruhan. Individu-individu beperan sebagai pembawa aturan sosial yang biasanya diinternalisasikan dalam kepribadian dan proses-proses reproduksi sosial. Tujuan dari aturan sosial yang dibawa individu tersebut adalah mencapai konsensus sosial atau integrasi sosial. Aturan sosial akan dipertahankan jika dapat membantu memelihara eksistensi dan kestabilan masyarakat. Namun jika tidak, maka aturan sosial tidak akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sistem sosial terdiri dari berbagai macam aktor dan berbagai macam kepentingan yang dibangun berdasarkan sistem norma atau nilai yang telah disepakati. Dalam fungsionalisme struktural, Parsons memperlakukan sistem sosial sebagai sebuah fenomena ilmiah. The interaction of individual actors, that is, takes place under such conditions that it is possible to treat such process of interaction as a system in the scientific sense and subject it to the same order of theoretical analysis which has been successfully applied to other types of systems in other sciences (Parsons, 1991: 1). Parsons memperlakukan interaksi yang terjadi antara individu-individu sebagai sebuah sistem sehingga sangat mungkin untuk diteliti secara ilmiah
13
karena memiliki struktur dengan bagian dan fungsi yang jelas dari masing-masing bagian. Sistem ini terdiri atas aktor-aktor yang bertindak berdasarkan kondisi tertentu sehingga proses interaksi adalah kesatuan perilaku berbagai individu dalam sebuah sistem. Sistem sosial dari tindakan dilihat oleh Parsons sebagai suatu yang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi kalau mau hidup, dan sejumlah bagian-bagian yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan itu (Craib, 1994:58). Semua sistem yang hidup dilihat sebagai sesuatu yang cenderung mengarah kepada keseimbangan, suatu hubungan yang stabil dan seimbang. 1.5.2 Tindakan Sosial Menurut Parsons, sebuah tindakan dapat terjadi apabila memiliki faktorfaktor yang dapat mendukung terjadinya tindakan. Ada empat faktor yang dikemukakan Parsons (1966: 44): In this sense then, an "act" involves logically the following: (1) It implies an agent, an "actor." (2) For purposes of definition the act must have an "end," a future state of affairs toward which the process of action is oriented. (3) It must be initiated in a "situation" of which the trends of development differ in one or more important respects from the state of affairs to which the action is oriented, the end. This situation is in turn analyzable into two elements: those over which the actor has no control, that is which he cannot alter, or prevent from being altered, in conformity with his end, and those over which he has such control The former may be termed the "conditions" of action, the latter the "means." Finally (4) there is inherent in the conception of this unit, in its analytical uses, a certain mode of relationship between these elements. That is, in the choice of alternative means to the end, in so far as the situation allows alternatives, there is a "normative orientation" of action. 1) agen atau aktor, sebutan orang yang melakukan tindakan, maksudnya adanya ‗tindakan‘ berarti mengisyaratkan adanya pelaku. 2) ―akhir‖, atau dalam
14
hal ini bisa disebut sebagai orientasi atau tujuan dari tindakan yang dilakukan, suatu kondisi masa depan yang akan dikejar oleh tindakan tersebut. 3) situasi yang membuat aktor bertindak, yang dalam hal ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu situasi di mana aktor tidak memiliki kontrol yang berimbas pada ketidakmampuan dia untuk berubah (kondisi) dan situasi di mana aktor memiliki kontrol sehingga ia dapat berubah (cara), secara lebih mudahnya, tindakan harus dimulai dalam sebuah ‗situasi‘, baik situasi yang bisa diubahnya maupun situasi yang tidak bisa diubah, yang memungkinkan si aktor mencapai tujuannya. 4) ‗sarana-sarana’ alternatif pilihan yang menyediakan kesempatan bagi aktor untuk memilih dalam kondisi tertentu. Sarana alternatif dapat juga dipahami sebagai alat-alat yang berbeda-beda yang memungkinkan tujuan itu bisa tercapai, dengan aktor harus memilih diantaranya (Craib, 1994:57). Tindakan juga melibatkan ‗sarana-sarana‘ yang dengannya si aktor bisa dengan lebih mudah melakukan tindakan-tindakan. Dalam hal kontrol dari aktor, sarana yang dipakai tidak dapat dipilih secara acak atau hanya tergantung pada kondisi tindakan, namun harus tunduk pada pengaruh suatu aktor independen yang selektif (Hamilton, 1990:74). Jadi unit tindakan dapat terjadi oleh adanya pelaku, sarana dan alat-alat, tujuan-tujuan, dan situasi. Situasi, suatu lingkungan yang terdiri dari objek-objek fisik dan sosial, begitu juga norma-norma dan nilai-nilai. Parsons tidak hanya tertarik pada tindakan individual saja, namun juga memperhatikan sistem-sistem tindakan dan idenya tentang konsepsi sebuah sistem sosial (Craib, 1994:61-62). Di dalam lingkungan sosial, para pelaku memperlakukan pelaku lainnya sebagai objek-objek sosial, dan bagi Parsons suatu
15
sistem tindakan terbentuk dari hubungan-hubungan antar pelaku. Penekanan Parsons bergeser dari voluntarisme yang menekankan kepada pilihan para pelaku secara individual menuju pada caranya sistem-sistem tindakan yang membatasi dan menentukan pilihan-pilihan individu. Parsons membangun ide tentang unit tindakan menuju kepada sebuah konsepsi mengenai sistem sosial. Hal ini terbentuk sekitar norma-norma dan nilainilai, bersama dengan para pelaku lainnya, membuat bagian dari lingkungan pelaku. Parsons mengasumsikan bahwa setiap pelaku bermaksud untuk mencapai daya tarik yang maksimal dalam suatu interaksi yang lain dan kalau ia mendapatkan daya tarik itu, tindakan itu akan diulang. Setiap pelaku akan mengaharapkan tanggapan-tanggapan tertentu dari yang lain dan demikian peraturan-peraturan sosial atau norma-norma akan berkembang bersama nilai-nilai yang diterima secara umum yang membantu untuk menjamin tanggapantanggapan (Craib, 1994:61-62). Sebuah sistem dari peranan status (status roles) membangun suatu jaringan posisi-posisi yang menjadi tempat kaitan dari harapan-harapan tingkah lakunya (dan ganjaran-ganjaran serta sangsi-sangi untuk pemenuhan atau tindak terpenuhinya harapan-harapan itu). Proses itu disebut institusionalisasi, suatu penyatuan hubungan-hubungan yang berlangsung dalam cara yang sedemikian sehingga tingkah-laku yang sedemikian berkaitan dengan setiap peran status yang tetap (constant), siapapun yang melakukannya (Craib, 1994:63). Masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan institusi-institusi yang berbeda dalam masyarakat,
16
bisa dipandang sebagai suatu jaringan dari peran status, yang masing-masing diatur oleh norma-norma dan nilai-nilai yang mapan. Nilai dan norma harus selalu dikaitkan dengan setiap proses dalam interaksi sosial (Parsons, 1961: 43). Artinya, ia melihat dunia sosial dalam hubungan dengan ide-ide masyarakat, terutama pada norma dan nilai-nilai (Craib, 1994:57). Dalam sistem sosial yang kompleks, analisis terhadap nilai dan norma menjadi penting. Analisis tentang norma dan nilai digunakan untuk menjawab pertanyaan utama dalam sistem sosial, yaitu bagaimana proses integrasi bisa terjadi dalam sebuah sistem yang terdiri dari jumlah populasi dan perbedaan yang cukup besar. Komponen norma menentukan ekspetasi tindakan yang diharapkan dari unit-unit yang berbeda yang menjadi anggota dari sebuah sistem, baik itu kolektivitas mau pun peran (Parsons, 1961: 43-44). Norma-norma memberikan berbagai peraturan yang secara sosial diterima dan berguna dalam mengambil atau memutuskan tindakan-tindakan (Craib, 1994:57). Jika di dalam sebuah sistem sosial terjadi penyimpangan atau ketidakteraturan dari norma, maka sistem akan berusaha menyesuaikan diri dan mencoba untuk kembali ke keadaan semula (Narwoko, 2006:126). Nilai adalah pola-pola normatif yang menentukan pola-pola orientasi sebuah sistem secara keseluruhan. (Parsons, 1961: 43-44). Nilai tersebut dapat dilukiskan sebagai kepercayaan-kepercayaan dan memiliki pengaruh yang menentukan terhadap tindakan aktor (Craib, 1994:57).
17
Persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Parsons tertarik pada cara mengalihkan nilai dan norma sistem sosial kepada aktor di dalam sistem sosial itu. Dalam proses sosial yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan (internalized), artinya nilai dan norma tersebut kemudian menjadi bagian dari kesadaran aktor (Parsons
dalam
Ritzer,
2007:124-125).
Akibatnya,
dalam
mengerjakan
kepentingan mereka itu sendiri, aktor sebenarnya mengabdi kepada kepentingan sistem sebagai satu kesatuan atau nilai dan norma tesebut menuntun dan mengatur tingkah laku (Poloma, 1987:171). Ciri-ciri struktural disatukan dengan komitmen kolektif tehadap nilai untuk perkembangan suatu bentuk tindakan sosial tetentu. 1.5.3
Kategori dalam Struktur Sosial Dalam menganalisis tingkah laku dari individu-individu dalam sistem
sosial, Parsons berfokus pada orientasi normatif. Ketika bertindak, individu menghasilkan apa yang dinamakan sebagai unit tindakan. Unit tindakan ini berhubungan dengan unit tindakan yang lain dan menjadi sebuah sistem tindakan. Setiap unit tindakan akan berlangsung dalam konteks sosial yang memberikan norma dan perilaku yang diharapkan oleh setiap aktor. Masing-masing aktor memiliki peran yang ditentukan oleh kondisi dan norma sosialnya. Keputusan individu dalam melakukan sebuah tindakan berkaitan dengan kategori-kategori yang ada dalam stuktur sosial. Individu mempertimbangkan posisinya dalam ranah sosial sebelum memutuskan sebuah tindakan. Selain nilai dan norma, Parsons (1961:43) berpendapat bahwa ada dua unsur lain yang mempengaruhi seorang individu dalam bertindak, yaitu peran dan kolektivitas.
18
Peran, adalah awal penting dari terjadinya interaksi antara dua individu. Agar memiliki sebuah kestabilan, peran serta tindakan harus memiliki arti tertentu yang diatur oleh sebuah aturan yang disepakati bersama. Peran menentukan tujuan dan konsekuensi yang harus dihadapi seorang pelaku ketika berhadapan dengan sebuah situasi di mana ia harus menentukan pilihannya. Namun, peran tidak menentukan jenis tindakan yang akan diambil oleh pelaku. Tindakan bergantung dari kemampuan pelaku dalam memanfaatkan situasi. Jadi, peran dapat didefiniskan sebagai sebuah struktur yang mengatur partisipasi seorang individu dalam interaksi sosial. Kolektivitas, Ketika individu saling berinteraksi dengan didasari normanorma budaya dan sepanjang tingkah laku mereka dapat dibedakan dari individu lain lewat partisipasi mereka dalam sistem sosial, individu-individu tersebut telah membentuk sesuatu yang dinamakan kolekivitas. Komponen kolektivitas adalah budaya normatif yang menentukan nilai, norma, orientasi tujuan, dan hierarki peran dalam sebuah sistem interaksi konkret antar individu. Perbedaan antara peran serta kolektivitas dan nilai serta norma ada pada cakupannya. Dalam setiap sistem, konsep peran dan kolektivitas adalah sesuatu yang sangat khas. Peran mengacu pada tugas tertentu dari seorang individu dalam sebuah sistem masyarakat. Kolektivitas juga memiliki anggota-anggota tertentu dalam masyarakat yang bertindak berdasarkan karakteristik tertentu. Sebaliknya, konsep norma selalu dipandang secara universal, baik dalam universalitas peran atau kolektivitas. Norma yang dianut masyarakat Amerika sebagai contoh, bisa juga mempengaruhi kolektivitas lain yang berbeda. Sama halnya dengan nilai.
19
Ketika sebuah masyarakat dianggap memiliki nilai yang baik, anggapan tersebut bisa juga diberikan oleh masyarakat yang lain (Parsons, 1961: 43). Jadi, setiap tindakan yang dilakukan individu sebagai bagian dari kolektivitas selalu ditentukan oleh norma dan nilai yang mengatur bagaimana setiap kolektivitas harus bertindak sesuai dengan perannya dalam sebuah sistem sosial (Parsons, 1961: 44). 1.5.4 Prasyarat Fungsional Konsep-konsep Parsons (unit tindakan, peran-peran status, sistem sosial) merupakan abstraksi-abstraksi dan terdapat tingkat-tingkat abstraksi yang berbeda. Parsons mengatakan bahawa setiap sistem, entah pada tingkat mana pun, harus memuaskan empat kebutuhan atau tuntutan kalau tingakatn itu mau bertahan hidup, dan dalam setiap hal suatu sub-sistem yang khusus dibangun untuk menemukan tuntutannya masing-masing. Parsons mengatakan bahwa ada dua dimensi dalam analisa sistem yang hidup, yaitu adanya saling kaitan bagian-bagian yang merupakan sistem itu dan mencakup pertukaran antara sistem dengan lingkungan, dan mempunyai ciri umum, yaitu prasyarat dan functional imperative. Prasons mengatakan ada empat kebutuhan fungsional, yaitu latent pattern-maintenance (l), integration (i), goal attainment (g), adaptation (a), sebagai mana dalam bagan berikut:
Gambar 1. Skema Parsons dan Platt (1972:12 dalam Poloma, 1987:183)
20
(1) adaptation (a): setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara umum, fungsi ini menyangkut kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya. Sebuah sistem harus mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul, bahkan yang gawat sekalipun. Ini berarti bahwa sebuah sistem harus bisa melakukan penyesuaian dengan lingkungan dan alam di mana ia berada. Termasuk di antaranya adalah mengumpulkan sumber-sumber kehidupan dan menghasilkan komoditas untuk redistribusi sosial demi mencapai tujuan. Fungsi imperatif adaptasi berhubungan dengan tindakan organisme perilaku yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternal. Adaptation is another consequence of goal plurality. A system has only so many set, scarce resources, and when goals are many, often one goal must be sacrificed so the resources may be used to attain another goal. This means that the system loses the benefits of the sacrificed goal. The sacrificed goal is chosen through the function of goal-attainment (Parsons, 1961: 40). Proses adaptasi muncul sebagai konsekuensi dari terlalu banyaknya tujuan yang ingin dicapai oleh anggota-anggota dari sebuah sistem. Padahal sebuah sistem hanya memiliki sarana dan sumber daya yang terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa tujuan harus dikorbankan demi mencapai tujuan yang lain. Memang hal ini berimbas pada hilangnya salah satu keuntungan yang bisa didapatkan. Namun, tujuan yang dikorbankan dapat dimunculkan kembali lewat fungsi pencapaian (goal-attainment). Dapat ditarik kesimpulan bahwa adaptasi memiliki tujuannya sendiri, yaitu melakukan penyesuaian sebaik-baiknya dengan lingkungan. Dalam menyikapi
21
berbagai macam tujuan yang terdapat dalam sistem sosial, harus diperhatikan perbedaan dari fungsi pencapaian (goal-attainment) dan fungsi adaptasi. Dalam konteks ini Parsons juga membahas perubahan sistem sosial dengan pemahaman perubahan itu seperti evolusi biologis. Artinya, perubahan tersebut dapat terjadi, namun bukan serta merta melainkan berjalan dengan lambat seperti evolusi. Evolusi sosio-kultural, sepeti evolusi biologis, berkembang menurut cara-cara sendiri mulai dari bentuk yang sederhana sampai ke bentuk yang lebih kompleks. Berbeda dengan konsepi awal, evolusi tidak bergerak dari satu jalur tunggal yang dapat diketahui, tetapi disetiap tingkat tedapat beragam tipe serta bentuk yang bebeda (Parsons 1977: 24 dalam Poloma, 1987:168). Teori ini mudah diterima di negara yang sedang berkembang karena untuk mencapai tingkat sosial-ekonomi yang lebih tinggi tidak harus melalui perubahanperubahan yang radikal. Sedangkan teori perubahan radikal tidak akan mudah diterima oleh elit yang menjadi pusat pengambilan keputusan (Hoogvelt,1985:84). (2) goal attainment (g): setiap sistem harus memiliki suatu alat untuk memobilisasi sumbernya supaya dapat mencapai tujuan-tujuannya dan dengan demikian mencapai gratifikasi. Fungsi ini mengatur hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem kepribadian. Fungsi ini tercermin dalam bentuk penyusunan skala prioritas dari segala tujuan yang hendak dicapai dan penentuan bagaimana suatu sistem memobilisasi sumber daya serta tenaga yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut. Sebuah sistem harus dapat merumuskan, mendefinisikan, dan mencapai tujuan utamanya. Goal-attainment, or goal- orientation is thus, by contrast with pattern maintenance, tied to a specific situation. A system can have one or more
22
than one goals (Parsons, 1961: 39). Sebuah sistem bisa memiliki lebih dari satu tujuan atau target pencapaian. Apabila sebuah sistem memiliki banyak target pencapaian, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengaturnya. Pertama, beberapa target pencapaian harus disusun berdasarkan urgensinya. Aktor-aktor dalam sebuah sistem sosial harus lebih berfokus dalam memberikan kontribusi untuk menjamin berlangsungnya sistem sosial tersebut. Sistem kepribadian berperan dalam melaksanakan fungsi pencapaian dengan cara menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. (3) integration (i): setiap sistem harus mempertahankan koordinasi internal dari bagian-bagiannya dan membangun cara-cara yang berpautan dengan deviasi, dengan kata lain harus mempertahankan kesatuannya. Fungsi ini mencakup koordinasi yang diperlukan antar unit-unit yang menjadi bagian dari suatu sistem sosial, khususnya berkaitan dengan kontribusi unit-unit terhadap keseluruhan sistem. Sebuah sistem harus dapat mengatur pola hubungan dengan komponenkomponen atau subsistem-subsistem yang membentuknya. Harmonisasi antar komponen ini dapat terjadi apabila telah ada kesepakatan mengenai nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat yang harus dipatuhi. Ia juga harus mampu untuk mengelola hubungan antara dan dengan tiga fungsi lainnya (adaptasi, pencapaian, dan pemeliharaan pola). Sistem sosial berperan dalam fungsi ini. In the control hierarchy, integration stands between the functions of pattern-maintennce and goal-attainment. The functional problem of integration concerns the mutual adjustments of segmented units or subsystems from the point of view of their contributions to the effective functioning of the system as a whole. In a highly
23
differentiated society, the primary focus of the integrative mechanism is found in the system of legal norms and the associated legal system (Parsons, 1961: 40). Dalam hierarki kontrol, posisi integrasi berada di antara fungsi pemeliharaan pola dan fungsi pencapaian. Fokus integrasi ada pada usaha penyesuaian mutual antara unit-unit dan subsistem-subsistem yang berbeda dalam suatu sistem dan bagaimana semuanya nantinya bisa berkontribusi dalam keseluruhan sistem. Dalam sebuah masyarakat yang memiliki banyak perbedaan, fokus utama dari mekanisme integrasi dapat memperhatikan sistem norma dan aturan yang disepakati. (4) latent pattern-maintenance (l): setiap sistem harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan seimbang. Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem kultural. Fungsi ini mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat sambil menyediakan dasar dalam berperilaku menuju realitas tertinggi. Fungsi ini sesuai dengan namanya latent, yakni suatu sistem untuk memelihara agar para aktor atau unit-unit dalam suatu sistem menampilkan kualitas, keahlian, dan kualitas lainnya yang tepat guna sehingga konflik dan ketegangan internal tidak sampai berkembang ke tingkat yang dapat merusak keutuhan sistem. Sebuah sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaiki motivasi individual dan juga pola-pola kultural yang mendorong dan menopang motivasi tersebut. Pola-pola kultural yang dimaksud bisa dalam bentuk budaya, norma, aturan, dan sebagainya. Fungsi dari pemeliharaan pola adalah mempertahankan kestabilan pola-pola kultural yang membentuk suatu sistem. Dalam hal ini yang
24
berperan dalam fungsi ini adalah sistem kultural yang menyediakan norma dan nilai yang memotivasi aktor untuk bertindak. The function of pattern maintenance refers to the imperative of maintaining the stability of patterns of institutionalized culture defining the structure of the system. There are two distinct aspects of this function. The first concerns the character of the normative pattern itself; the focus lies in the structural category of values. The second concerns its state of institutionalization, which concerns the motivational commitment of the individual (Parsons, 1961: 38). Dalam mempertahankan kestabilan pola-pola kultural, terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam fungsi pemeliharaan pola. Pertama adalah polapola normatif itu sendiri. Aspek ini ada pada kategori struktural dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. Aspek kedua fokusnya ada pada institusionalisasi yang memperhatikan komitmen dan motivasi dari tiap individu dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan budaya, nilai, dan norma dalam masyarakatnya. Pembentukan suatu tindakan oleh individu erat kaitannya dengan motivasi individu tersebut untuk melakukan sesuatu. Adaptasi dan pencapaian berfokus pada orientasi rasional dari individu. Ini berarti bahwa individu tersebut bertindak berdasarkan kondisi aktual yang sedang ia hadapi, sedangkan integrasi dan pemeliharaan pola berhubungan dengan faktor-faktor nonrasional yang berlaku dalam nilai dan norma yang ada dalam masyarakat (Parsons, 1961: 35).
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang menyajikan satu gambar yang terperinci tentang suatu
25
hal (Silalahi, 2012:27-28). Selain menggambarkan secara cermat karakteristik suatu gejala atau masalah yang diteliti, penelitian ini juga fokus pada pertanyaan dasar ―bagaimana‖ dengan berusaha mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti, dan lengkap. Deskriptif tidak hanya mengetahui apa yang tejadi, namun juga menungkap bagaimana hal itu dapat terjadi. Pada penelitian ini mengamati kegiatan dalam SSJY dengan detail dan cermat. Dari hal tersebut akan ditemukan bagaimana SSJY didirikan dan bagaimana SSJY mampu bertahan dalam waktu yang lama. 1.6.1
Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu objek
formal dan objek material. Objek material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian, sedangkan objek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu (Faruk, 2012:23). Objek formal terkait dengan masalah atau asumsi yang mendasari dilakukannya penelitian ini, sedangkan objek material merupakan sumber data penelitian. Objek formal dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi Talcott Parsons dengan prasyarat fungsional AGIL. Di sisi lain, objek material dalam penelitian ini adalah Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) yang berdiri pada tanggal 12 Januari 1991 dan berlamat di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Jln. I Dewa Nyoman Oka No. 34.
26
1.6.2
Data dan Sumber Data Data disajikan dalam bentuk verbal, bukan dalam bentuk angka. Data
dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti, sedangkan data sekunder merupakan data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam bentuk dokumen atau publikasi (Adi, 2004:57). Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui studi lapangan pada seluruh kegiatan SSJY. Data inilah yang mengarahkan pada penemuan AGIL dalam kegiatan tersebut. Namun, data ini belum cukup untuk mendapatkan AGIL, sehingga perlu adanya data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui buku, artikel, web internet, laporan-laporan penelitian, notulen, serta media massa yang ada kaitannya dengan masalah penelitian ini. 1.6.3
Pengumpulan Data Setelah menentukan objek material dan objek formal, serta data dan
sumber data penelitian, tahap selanjutnya adalah mengumpulkan data-data tersebut. Pengumpulan data ini menggunakan teknik wawancara dan observasi langsung ke lapangan yang bersifat non-obtusif. Non-obtusif maksudnya, pengamatan yang dilakukan secara tidak mencolok (Massey dalam Chadwick, 1991:89-90), sehingga subjek manusia yang diamati tetap berperilaku seperti apa adanya. Peneliti terjun langsung ke lapangan dengan berposisi sebagai anggota pengurus dan penulis dalam SSJY. Teknik ini disebut juga sebagai participant observer technique, peneliti ikut serta dalam kehidupan sehari-hari objek yang
27
diteliti. Peneliti melihat dan memperhatikan secara langsung kegiatan, pelatihan penulisan sastra Jawa, dan sebagainya di SSJY. Selanjutnya, melakukan wawancara dengan para pengurus atau orang-orang yang berkecimpung di dalam objek tersebut. Dengan demikian data yang diperoleh akan lebih baik, begitu juga dalam wawancara. Wawancara dilakukan secara formal dan informal, maksudnya formal ialah mewawancarai person dengan sadar secara mendalam tentang tujuan penelitian, sedangkan nonformal ialah person tidak mengetahui jika sedang diwawancarai melalui perbincangan sehari-hari (Moleong, 1989:148-149). Selanjutnya, mencari data-data sekunder melalui buku, artikel, web internet, laporan-laporan penelitian, notulen, serta media massa yang ada kaitan dengan masalah penelitian. Kemudian, membaca cermat data-data tersebut untuk mendukung data primer yang sudah didapat. Seluruh hasil pengamatan dan wawancara diklasifikasi berdasar aspekaspeknya, selanjutnya diolah sesuai dengan teori yang digunakan, dan hasil akhirnya disusun ke dalam laporan yang disusun secara deskriptif. 1.6.4
Analisis Data Data yang sudah diperoleh, akan dihubungkan satu dengan yang lainnya
dalam sebuah proses yaitu, analisis data. Data-data yang diperoleh berupa data verbal sehingga dilakukan analisis melalui pembacaan cermat. Analisis data tersebut dilakukan setelah semua data terkumpul, dengan didahului membandingkan antara data yang satu dengan data yang lain, selanjutnya
dianalisis
menggunakan
pendekatan
teori
sosiologi
yang
28
dikembangkan Talcott Parsons. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mengenai teori tindakan dan keempat prasyarat fungsional yaitu, adaptation, goal, integration, dan laten pattern maintenance. Hasil dari analisis data disajikan secara deskriptif. 1.6.5
Sistematika Penyajian Setelah melalui proses pengumpulan data dan analisis data, penelitin ini
dakan dilanjutkan dengan panyajian hasil. Dalam bentuk pendeskripsian sejelas mungkin, dengan melibatkan bebagai aspek pendukung, sehingga terjawab pertanyaan dari rumusan masalah, bagaimana SSJY didirikan dan bagaimana SSJY dapat mempertahankan sistemnya sehingga mampu bertahan. Ada empat bab yang diuraikan dalam penelitian ini. Keempat bab tersebut antara lain 1) Bab I Pendahuluan, berisi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, objek penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. 2) Bab II, Tindakan Mendirikan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta, berisi penjelasan tentang alasanalasan sanggar tersebut didirikan. 3) Bab III, Pemertahanan Sistem Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta, berisi urain pembahasan mengenai cara mengorganisir dengan menggunakan AGIL untuk mempertahankan keberadaan sanggar tersebut. 4) Bab IV Penutup, bab ini berisi kesimpulan penelitian. Pada bagian akhir penelitian dilampirkan foto-foto kegiatan SSJY beserta keterlibatan peneliti dalam penelitian dan kegiatan SSJY.