BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Dalam penciptaan karya sastra, sering terdapat hubungan yang erat antara
kepribadian dan kehidupan pengarang dengan karya sastra yang dihasilkannya. Karya sastra tak jarang diciptakan untuk mewakili suasana hati pengarang terkait dengan pemikiran dan perasaan yang dirasakan pada saat karya tersebut diciptakannya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap biografi pengarang dan pendekatan di luar teks sastra (ekstrinsik) menjadi hal yang penting dan memudahkan pembaca untuk memahami maksud tertentu yang disembunyikan pengarang dalam karya sastranya. Karya Sastra dan Kesusastraan memiliki sifat dan batas jangkauan kajian yang universal dan tidak terbatas. Hal tersebut senada dengan penjelasan Semi (dalam Siswantoro, 2008), bahwa sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah kemanusiaan, dan semesta. Darma (dalam Siswantoro, 2008: 67) menjelaskan keterkaitan antara sastrawan dan karya sastranya, sbb: …sastrawan dapat dianggap sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup; sedangkan sastra adalah kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani pembacanya. Terkait
pembahasan
tentang
komunikasi
antara
sastrawan
dengan
pembacanya, dijelaskan Abrams (Siswantoro, 2008: 179) bahwa terdapat situasi
Universitas Sumatera Utara
sastra secara menyeluruh (the total situation of work of art) yang terdiri atas (1) karya sastra (work), (2) sastrawan (artist), (3) semesta (universe), dan (4) pembaca (audience). Demikian halnya dengan jenis pendekatan dalam kajian sastra, yakni (1) pendekatan obyektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik. Dalam kajian Kesusastraaan Inggris, terdapat suatu periode kesusastraan yang disebut sebagai Periode Romantik atau Romantisme (terjadi pada akhir abad ke-18-19 di Eropa). Kesusastraan Romantik ditandai dengan penyertaan unsur ekspresif pengarangnya, yakni penggambaran alur cerita dan penokohan yang mengikuti suasana hati dan sisi psikologis pengarangnya. Oleh karena itu, untuk meneliti kesusastraan jenis ini, seyogyanya dilakukan pendekatan yang bersifat ekspresif. Selden (Siswantoro, 2008: 1) menyebutkan bahwa karya sastra Inggris pada periode Romantik dianggap sebagai anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang. Hal senada dijelaskan oleh Klarer (1999) bahwa karya sastra tidak akan hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga dapat dikatakan bahwa karya sastra dianggap sangat penting kedudukannya. Siswantoro (2008: 143) menjelaskan bahwa penokohan dalam karya sastra dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni tokoh dinamis dan tokoh statis. Tokoh statis merupakan ciri penokohan yang sangat umum dalam karya sastra, yakni jenis penokohan yang jarang mengalami perubahan perwatakan, dan hanya memainkan satu peran yang monoton. Sementara tokoh dinamis, adalah tokoh yang memiliki perwatakan kompleks dan bersifat dinamis (berubah-ubah sifatnya).
Universitas Sumatera Utara
Memasuki akhir abad ke-18, dunia Kesusastraan Inggris digemparkan oleh munculnya jenis perwatakan dinamis yang sangat berbeda penggambarannya. Jenis perwatakan baru tersebut dikenal dengan sebutan Byronic Hero, yakni suatu ciri khas penokohan dalam karya-karya Lord Byron (1788-1824). Byron adalah penyair berkebangsaan Inggris yang menggambarkan Byronic Hero tersebut dengan ciri perwatakannya yang kompleks, yakni banyak mengalami perubahan suasana hati (mood) dan cenderung kontroversial; sehingga cukup sulit untuk menentukan apakah tokoh tersebut termasuk dalam kategori tokoh protagonis atau tokoh antagonis. Lord Byron kerap menggambarkan Byronic Hero dengan sosok Gotik, melankolis, moody, misterius, sinis, sedikit arogan, pemberani, pemberontak, serta dibayangi oleh masa lalu yang kelam; namun di lain sisi ia juga terpelajar, karismatik, baik hati, dan bersahaja (Gross, 2001). Jenis penokohan tersebut dianggap sangat berbeda, menarik, dan dianggap sebagai suatu nafas baru dalam Kesusastraan Inggris. Sebagai akibatnya, Byronic Hero mulai diadaptasikan dan dikembangkan oleh beberapa pengarang lainnya seperti Edgar Allen Poe, Robert Louise Stevenson, Percy Bysshe Shelley, dan Mary Shelley. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, salah satu penggambaran penokohan Byronic Hero yang paling sempurna sepanjang sejarah Kesusastraan Inggris adalah Victor Frankenstein, yakni tokoh fiksional karangan Mary Shelley (1797-1851) dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Dalam cerita, Victor digambarkan sebagai seorang fisikawan muda yang berambisi untuk menciptakan makhluk hidup dengan cara menghidupkan monster yang terdiri dari potongan tubuh
Universitas Sumatera Utara
manusia melalui serangkaian eksperimen sains yang bersifat tidak lazim; sebagai suatu reaksi dari keputusasaan dalam menjalani kehidupannya. Pengangkatan cerita dengan penyertaan perwatakan Byronic Hero menjadi sangat populer di Inggris, terutama ketika era Romantik sedang berlangsung di Eropa. Aliran Romantik tersebut ditandai dengan sering digunakannya unsur-unsur seperti imajinasi, kebebasan mengeluarkan pendapat (berekspresi), dan idealisme. Menurut Thorslev Jr. (1962: 16), aliran Romantik juga diketahui sering mengangkat tema-tema seperti liberalisme, eksotisme, supernaturalisme, dan pandangan tentang alam. Beberapa tema tertentu juga berkaitan dengan suasana hati. Gerakan sastrawan Romantik tersebut kemudian dikenal secara luas di Eropa sebagai Romantisme (akhir abad ke-18-19). Kemunculan Romantisme itu sendiri merupakan suatu reaksi protes terhadap Era Revolusi Industri (1800-1850), yang mengeksploitasi teknologi dan sains yang dibawa oleh Era Pencerahan (Enlightment) pada pertengahan dan akhir abad ke-17 (1650-1800) di Eropa. Romantisme juga menentang norma politik dan norma sosial yang diwariskan oleh kaum gerejawan dan kaum aristokrat semenjak Era Absolutisme (1500-1650), yang mana masih dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat Eropa ketika terjadinya Era Revolusi Industri. Dengan demikian, maka Era Revolusi Industri dapat dikatakan sebagai era transisi yang dipengaruhi oleh kedua era sebelumnya; yakni terjadinya kapitalisme, eksploitasi teknologi, mekanisasi, kesenjangan sosial, sekaligus terjadinya pengungkungan pendapat oleh kaum gerejawan. Sebagai akibatnya, Pengarang Romantik pun berhenti bercerita tentang
Universitas Sumatera Utara
keindahan alam dan mulai menyuarakan protes terhadap kekuasaan, yang disuarakan melalui Romansa Gotik (Gothic Romance), yakni Sastra Romantik yang dipadukan dengan elemen horor dan teror khas Sastra Gotik. Salah satu akibat dari gerakan Romantisme tersebut, terutama dalam ranah Kesusastraan Inggris, adalah maraknya penggunaan penokohan Byronic Hero setelah Lord Byron. Penokohan tersebut difungsikan Byron dalam karya-karyanya sebagai perlambang penolakan terhadap kekuasaan kaum industrialis pada abad ke-18, yang mana menceritakan tentang gambaran perilaku dan pemikiran manusia yang tidak dapat ditebak secara matematis dan akurat dikarenakan dimilikinya perasaan dan suasana hati; terlepas dari keharusan bersikap rasional. Setelah keberhasilan Lord Byron mencapai puncaknya, penokohan Byronic Hero tersebut kemudian dilanjutkan dan dipopulerkan oleh Mary Shelley dalam karya-karyanya. Shelley menggunakan jenis perwatakan ini sebagai sindiran (satire) sekaligus perlambang terhadap perilaku masyarakat abad ke-18, yang mana diperbudak oleh teknologi, dan berperilaku layaknya mesin (Thorslev Jr., 1962). Untuk mengetahui dorongan yang menyebabkan Shelley mengangkat tema tersebut, lebih lanjut dijelaskan Wellek dan Warren (dalam Siswanto, 2008: 13) bahwa sebuah karya sastra merupakan kompensasi perasaan pengarangnya. Terkait dengan penjelasan tersebut, maka Mary Shelley dapat dikatakan mengalami gangguan emosi sebagai reaksi dari keadaan sosial, ekonomi, kebijakan politik, dan budaya masyarakat yang dilihat dan dirasakannya.
Universitas Sumatera Utara
Mary Shelley adalah seorang sastrawan berkebangsaan Inggris yang lahir pada tanggal 30 Agustus 1797 di London. Ia cenderung menulis tentang bahasan yang berkaitan dengan elemen otobiografi, simpati, gender, Romantisme, dan politik. Selain itu, Shelley juga dikenal kritikus sastra inggris sebagai pengarang yang menggambarkan penokohan Byronic Hero yang jauh lebih baik daripada penciptanya sendiri. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Mary Shelley dan suaminya, Percy Bysshe Shelley (1792-1822), adalah teman dekat Lord Byron. Untuk mengetahui keterkaitan dan kesamaan ide Shelley dengan Byron, peneliti mengacu kepada penjelasan Wellek dan Warren dalam Siswanto (2008: 2), yakni peneliti hendaknya mengetahui dan mempelajari hubungan erat antara sastrawan dan karya sastranya; persahabatan sastrawan dengan sastrawan lain; perjalanannya, serta daerah-daerah yang pernah dikunjungi dan ditinggalkannya. Perkenalan Mary Shelley dengan Lord Byron terjadi pada Mei 1816, yakni ketika Shelley dan suaminya belibur musim panas bersama Byron dan beberapa teman dekatnya di Genewa, Switzerland (Brewer, 1994). Dari pertemuan tersebut, Mary Shelley kemudian akrab dengan Lord Byron, dan mulai berbagi ide dan wawasan. Suatu ketika, Byron menantang Shelley untuk mengarang cerita horor dengan versi masing-masing. Tantangan tersebut diterima oleh Shelley, dan dituangkan ke dalam cerita Mary Shelley Frankenstein, yang konon merupakan interpretasi Shelley tentang perpaduan pengalaman masa kecilnya sebagai seorang piatu dan manifestasi semu dari perwatakan suaminya, Percy Bysshe Shelley.
Universitas Sumatera Utara
Semenjak penerbitan pertama novel pada tahun 1818 dengan judul asli Mary Shelley: Frankenstein or The Modern Prometheus, karya sastra tersebut sudah menjadi best seller dan terjual lebih dari ratusan juta cetakan di seluruh dunia hingga saat ini. Seiring perkembangannya, tokoh Sang Monster dan gambaran cerita novel juga banyak mengalami adaptasi dan dijadikan inspirasi oleh pengarang lainnya. Namun sangat disayangkan bahwa sebagian penikmat karya sastra terbukti gagal menangkap esensi yang berusaha disuarakan oleh Mary Shelley dalam novel tersebut. Hal tersebut diakibatkan karena sebagian besar pembaca dan kritikus sastra hanya membahas novel dari segi intrinsiknya; sementara inti pembahasan yang sebenarnya terletak pada segi ekstrinsiknya. Alasan peneliti mengangkat novel Mary Shelley Frankenstein sebagai tesis adalah untuk memperkenalkan penokohan Byronic Hero sebagai representasi tema perlawanan sosial dalam karya sastra. Selain hal tersebut, peneliti juga akan berusaha untuk melakukan pembongkaran makna yang berkaitan dengan realitas sosial, yang tersirat dalam dialog dan monolog penokohannya.
1.2
Perumusan Masalah Tesis ini akan difokuskan terhadap pertanyaan-pertanyaan spesifik, sbb:
1.
Bagaimanakah gambaran Byronic Hero dalam novel Mary Shelley Frankenstein?
2.
Bagaimanakah representasi realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein?
Universitas Sumatera Utara
3.
Bagaimanakah cara Mary Shelley mengungkapkan realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein?
4.
Bagaimanakah pengaruh Romansa Gotik terhadap peradaban masyarakat barat?
5.
Kontribusi apakah yang terkandung dalam novel Mary Shelley Frankenstein?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian tesis adalah, sbb:
1.
Mendeskripsikan Byronic Hero dalam novel Mary Shelley Frankenstein.
2.
Menganalisis representasi realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein.
3.
Mendeskripsikan cara Mary Shelley mengungkapkan realitas sosial masyarakat barat abad ke-19 dalam novel Mary Shelley Frankenstein.
4.
Menjelaskan pengaruh Romansa Gotik terhadap peradaban masyarakat barat.
5.
Menyingkap kontribusi yang terkandung dalam novel Mary Shelley Frankenstein.
Universitas Sumatera Utara
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian antara lain, sebagai berikut: 1.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan penelitian mengenai Kesusastraan Inggris, dan selanjutnya dapat membantu penelitianpenelitian yang berhubungan dengan pembahasan tentang Sastra Romantik, Sastra Gotik, Sastra Posmoderen, dan novel-novel Mary Shelley.
2.
Diharapkan mampu berkontribusi dalam ilmu pengetahuan, yakni yang memperkaya khazanah Kesusastraan Indonesia, terutama dalam hal pengadaptasian penokohan Byronic Hero kreasi Lord Byron dan Mary Shelley.
3.
Penelitian ini diharapkan mampu mengilhami sastrawan dan pengarang Indonesia untuk mengangkat tema-tema yang menceritakan tentang realitas sosial masyarakat sebagai media perlawanan.
Universitas Sumatera Utara
10
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian antara lain, sebagai berikut: 1.
Memberikan edukasi publik untuk memahami bagaimana isu-isu sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang digambarkan dalam sebuah novel dapat bertujuan emansipatoris demi meningkatkan mutu kehidupan manusia.
2.
Memperluas pengetahuan tentang ciri khas Kesusastraan Inggris, terutama mengenai Kesusastraan Gotik, Kesusastraan Romantik, dan Romansa Gotik.
3.
Menstimulasi dan memperkaya khazanah Kesusastraan Indonesia.
Universitas Sumatera Utara