BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tiga dekade terakhir, muncul istilah realisme magis dalam pembahasan sastra sebagai sebuah genre yang menarik sekaligus problematik. Menarik berarti bahwa genre ini memiliki daya tarik yang luar biasa, sehingga mempengaruhi beberapa benua. Sementara itu, problematik dalam artian genre ini oleh beberapa kalangan dianggap masih sulit untuk dipahami. Di Amerika Latin dipakai istilah marvellus realism tahun 1940 sebagai sebuah ekspresi percampuran dari pandangan realis dan magis dari kehidupan dalam konteks perbedaan kultur yang diekspresikan melalui seni dan sastra (Bowers, 2004: 21). Dalam sejarah sastra di Barat, realisme magis berkembang dari kombinasi realisme dan surealis. Aspek surealisme diasosiasikan bukan dengan realitas material tetapi dengan imajinasi, sebuah pikiran dan mencoba mengekspresikan sebuah inner life dan psikologi manusia melalui seni (Bowers, 2004: 22). Wendy B. Faris, pada tahun 2004 menerbitkan buku yang berjudul Ordinary Enchantment and The Remistification of Narrative. Dalam buku tersebut Faris menawarkan cara menentukan apakah suatu teks sastra bisa dikatakan sebagai karya realisme magis atau tidak dan menawarkan teknik narasi yang digunakan dalam karya realisme magis. Di tahun itu juga, bukan saja Faris, tetapi Bowers juga menulis buku yang berjudul Magical Realism. Dalam bukunya ia menjelaskan
tentang sumber dari realisme magis, batas definisinya, lokasi keberadaan realisme magis, varian-varian realisme magis, perannya dalam produksi kultural dan bahkan membahas masa depan realisme magis. Aldea (2011) dalam bukunya yang berjudul Magical Realism and Deleuze menyebutkan bahwa realisme magis muncul sebagai sesuatu yang real dengan tepat, karena merefleksikan sesuatu yang memusat (convergent), diatur struktur dari hal-hal yang aktual, hal-hal yang sekarang, sedangkan yang magis muncul sebagai perbedaan karena divergencenya dari struktur. Beberapa figur penulis yang diketahui memakai genre realisme magis pada awal-awal kemunculannya antara lain Gabriel Garica Marquez, Miguel Angel Asturias, dan Alejo Capentier. Mereka merupakan penulis-penulis dari Amerika Selatan. Akan tetapi, dalam perjalanannya, muncul nama-nama non-Amerika Latin, seperti Salman Rushdie yang memiliki darah Asia Barat dan Toni Morrison yang berasal dari Amerika Serikat. Realisme magis sebagai yang dianggap sebagai trend kontemporer dan bahkan fenomena global dalam dunia fiksi international tidak cepat direspon oleh akademisi sastra di Indonesia. Perkembangan yang terjadi kemudian bahwa teksteks sastra yang dianggap sebagai karya realisme magis banyak ditemukan dalam koran dan majalah seperti Kompas. Dalam sebuah diskusi kesusastraan pada Januari 2014 Halim HD mengatakan bahwa Danarto dengan cepat merespon apa yang disebut kajian realisme magis kalaupun secara ilmiah belum diperiksa apakah karyanya bisa dikatakan realisme magis atau tidak. Karena sejauh ini belum diteliti secara serius. Di akhir September 2016, Halim HD, yang juga Kurator Mimbar
Teater Indonesia dalam Mimbar Teater Indonesia (MTI) ke-V 2016 menyebutkan bahwa Danarto sebagai sastrawan besar di era 1970-an. Tema realisme magis dari kumpulan cerpen-cerpen Danarto dari buku Godlob dan Adam Ma’rifat dipentaskan dalam bentuk monolog, menurut Halim HD pementasan monolog cerpen-cerpen Danarto itu mampu memberikan warna baru terhadap karya sastra tersebut. Karya sastra realisme magis juga memberi pengaruh pada sejumlah karya sastra Indonesia. Dimunculkannya kembali mitos, dongeng dan legenda sebagai yang magis dan tradisional ke dalam realitas atau dunia modern dapat dipandang sebagai indikasi karya realisme magis. Seperti karya sastra Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan cerpennya seperti Negeri Kabut (1996), Sepotong Senja untuk Pacarku (2002) dan kumpulan cerpen Saksi Mata (1994), Triyanto Triwikromo dalam kumpulan cerpennya Sayap Anjing (2003), Ular di Mangkuk Nabi (2009), dan Sayap Kabut Sultan Ngamid (2013), Eka Kurniawan dalam novelnya Cantik Itu Luka (2015), dan A.S. Laksana dalam cerpen Dongeng Cinta yang Dungu (2013) dapat dikatakan menunjukkan pengaruh tersebut dengan menampilkan penarasian yang berbeda atas realitas dengan memunculkan peristiwa, gambaran yang magis, mistis, dan tidak rasional serta menghidupkan kembali cerita yang bersumber dari mitos, dongeng, dan legenda yang hidup secara tradisional di masyarakat. Beberapa kajian yang memperlihatkan pengaruh realisme magis terhadap prosa Indonesia telah dilakukan, baik yang berupa novel maupun cerpen (Andalas, 2015: 2).
Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan dalam definisi administrasi lebih luas, pun Bugis-Makassar dalam teritori kebudayaan, punya tradisi panjang tentang literasi. Dari sana lahir epos Sureq La Galigo dan aksara Lontara’. Seperti dikemukakan oleh Pelras (2006), kesusastraan lisan Bugis pasti jauh lebih dahulu ada daripada bentuk sastra tulis, dan mungkin tetap bertahan sebagai satu-satunya bentuk kesusastraan selama jangka waktu tertentu, bahkan setelah orang Bugis mengenal tulisan. Kesusastraan Bugis tidak memiliki istilah umum untuk kategori tersebut, walau dalam sastra tulis dibedakan antara lontara’ (karya tulis biasa) dengan sure’ (kitab). Lontara’ pada umumnya merujuk pada karya berbentuk prosa (tanpa metrum) dan bersifat informative seperti kronik sejarah, hukum adat, catatan berisi petunjuk praktis, dan sebagainya (Pelras, 2006: 234-235). Oleh karena itu, banyak lontara’ merupakan semacam bunga rampai berbagai macam tulisan. Namun demikian, terdapat pula naskah panjang yang mirip dengan apa yang kita kenal sebagai “karya tulis”. Misalnya, La Toa (“Nenek Moyang”), berisi petunjuk bagi raja-raja mengenai tata cara berperilaku baik, yang banyaknya salinannya menunjukkan pengaruh besar karya tersebut dalam kehidupan orang Bugis hingga abad ke-19, dan sampai sekarang masih dihargai oleh para cendikiawan Bugis seperti Mattulada (Pelras, 2006: 246). La Galigo sebagai karya besar dalam dunia sastra di Nusantara, tentu saja memiliki daya tarik besar dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam ranah budaya di Sulawesi Selatan. Nilai-nilai penting dan daya tariknya sebagai karya sastra terus menggoda orang untuk mengkajinya hingga mementaskannya (Ilham, 2012). Sebagai naskah, La Galigo merupakan karya sastra Bugis Kuno berbentuk
puisi yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Para peneliti memprediksi, naskah La Galigo memiliki panjang sekitar 300.000 baris, dua kali lebih panjang dibandingkan karya sastra klasik dunia lain seperti Mahabharata dan Odyssey. Pementasan La Galigo pada 13 September 2014 di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Jakarta ini terdiri dari dua bagian kisah. Bagian pertama yang dianggap sangat sakral menceritakaan penciptaan langit dan bumi, asal usul kehadiran manusia dan nenek moyang. Bagian kedua menceritakan kehidupan tokoh utama Sariwegading dan I La Galigo. Sebelum sukses dipentaskan di negeri sendiri, karya agung ini telah sukses lebih dulu diwujudkan dalam bentuk seni pertunjukan kolosal di berbagai negara 1. Seperti misalnya, pada tahun 2004, seorang sutradara terkemuka dunia yang berasal dari Amerika, yaitu Robert Wilson mementaskan cerita tentang naskah La Galigo dalam bentuk teater dan membawanya berkeliling dunia, namun pertama kali dipentaskan di Gedung Esplanade Theatres Singapore pada 12-13 Maret 2004 dan terakhir dipentaskan di Benteng Rotterdam Makassar pada 23-24 April 2011. La Galigo pada 2011 mendapat penghargaan khusus dari UNESCO dan menetapkan naskah klasik tersebut sebagai warisan dunia dan diberi anugerah Memory of The World (MoW) (Kambie, 2004: 117-118). Hal inilah yang menjadi dasar penulis untuk meneliti dengan latar Bugis-Makassar salah satunya karena adanya epos sureq La Galigo
1
Yudasmoro. 2014. Mengangkat Sastra Bugis di Jantung Jakarta. Dikutip dari https://yudasmoro.net/2014/09/14/mengangkat-sastra-bugis-di-jantung-jakarta/ diakses pada 6 Oktober 2016
dan aksara lontara’ yang berisi tentang berbagai cerita mitos masyarakat BugisMakassar dahulu kala. Kecenderungan menghadirkan kembali mitos, dongeng dan legenda yang magis ke tengah dunia real dan modern ditemukan dalam sejumlah cerpen dan novel Indonesia. Dalam zaman yang modern ini mitos kembali bergaung, namun kali ini melalui sastra-sastra yang modern, mitos-mitos dalam Bugis-Makassar Sulawesi Selatan ini dikemas dalam karya sastra menjadi sebuah novel ataupun cerpen. Kisah cerita yang berlatar Indonesia Timur khususnya Bugis-Makassar tidak sebanyak kisah cerita yang berlatar Sumatera dan Jawa. Hal ini yang kemudian memunculkan kesadaran untuk memperkaya khazanah sastra Indonesia Timur yang diangkat oleh beberapa sastrawan Bugis-Makassar. Seperti novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul Rahman, novel I La Galigo jilid 1 dan 2 karya Dul Abdul Rahman, Novel Galigo karya Idwar Anwar jilid 1 sampai dengan jilid 4, novel Pulau karya Aspar Paturusi, kumpulan cerpen Parakang karya Anwar Nasyaruddin, kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara, dan cerpen Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon karya Faisal Oddang, semua novel dan cerpen tersebut mengangkat latar Sulawesi Selatan, budaya, adat, dan mitos-mitos yang menanungi masyarakat Bugis, Makassar, dan Toraja. Sebuah fiksi yang memandang mitos dari padangan dunia yang baru tentang bagaimana memberlakukan sebuah tradisi dan mitos dalam ranah kesusastraan Indonesia mutakhir (Kadir, 2014: 8). Kecenderungan yang sama dapat ditemukan salah satunya pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara. Khrisna Pabichara dipilih karena
Khrisna mengangkat kembali citraan realisme magis yang dipandang irrasional seperti mitos-mitos, legenda, dan dongeng tertentu, bahkan terkadang hal yang bersifat mistik sebagai bentuk-bentuk tradisional dari kebudayaan Bugis-Makassar. Kemudian totalitas Khrisna dalam mengangkat tradisi Bugis Makassar di awal dekade 2010-an terasa lebih kental jika dibandingkan dengan beberapa penulis di Sulawesi Selatan seperti, Dee Dee Sabrina (Antologi Fiksi, 2013), Aan Mansyur (Kukila, 2012), Anis K. Alsyari (Ingin Kukecingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum, 2003), Rahmat Hidayat (Perempuan yang Mencintai Still Got the Blues, 2005), Chali Mustang (Buku Hitam Ayah, 2010), Bouraq Cambuq (Kupukupu dalam Kotak Kaca, 2005). Selain kecenderungan tersebut, karya Khrisna dipilih karena fenomena Khrisna sendiri di awal dekade 2010-an. Khrisna tiba-tiba muncul dengan sejumlah karya-karyanya yang dikenal luas seperti novelnya Sepatu Dahlan, 2012 dan Surat Dahlan, 2012 (Asga, 2014: 3), dan novel terbaru Khrisna berjudul Natisha, terbit Mei 2016. Kumpulan cerpen Gadis Pakarena ini pernah masuk dalam 10 besar nominasi Khatulistiwa Literary Award 2012 (Margaretha, 2012: 13). Dalam kumpulan cerpen Gadis Pakarena tersebut, dipilihlah cerpen “Pembunuh Parakang” sebagai objek penelitian, karena mengangkat isu tentang sebuah mitos yang dikenal dalam kultur Bugis-Makassar yakni makhluk jadi-jadian salah satunya yang parakang2. Di Indonesia sendiri mitos makhluk jadi-jadian sering kita ketahui, seperti Jenglot, hewan bertubuh tak lazim atau makhluk aneh
2
Makhluk jadi-jadian asal Sulawesi Selatan yang gemar mengincar orang sekarat.
menyerupai hewan sering ditemukan di berbagai tempat di Indonesia. Kehadiran mereka sulit sekali dijelaskan secara ilmiah atau logika, meskipun terkadang tidak bisa diterima dengan akal sehat. Ternyata penemuan makhluk makhluk yang ternyata menarik perhatian warga tersebut bukanlah sekedar cerita fiksi 3. Cerita tentang jenglot ini adalah bagian kecil dari cerita mistis mahluk jadi-jadian di Tanah Air. Masyarakat Bali misalnya, selama ini mereka familiar dengan kisah leak. Demikian juga masyarakat Sumatera Utara dengan kisah Begu. Ada juga sebagian masyarakat Jawa yang familiar dengan manusia jadi-jadian yang menjelma sebagai babi ngepet yang tugasnya untuk mencari pesugihan (Khumaini, Anwar: 2012). Dengan latar belakang tersebut, cerpen “Pembunuh Parakang” menjadi titik tolak untuk meneliti kadar realisme magis. Kehadiran elemen-elemen magis dan real akan diteliti berdasarkan lima karakter yang dirumuskan oleh Wendy B. Faris. Hasil atau temuan tersebut akan menentukan sejauh mana penarasian kembali atas yang magis dan yang real dalam “Pembunuh Parakang” mencirikan cerpen ini sebagai karya realisme magis. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, masalah-masalah penelitian ini akan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
3
Dikutip dari: http://www.asliindonesia.net/2015/05/7-makhluk-aneh-yang-pernah-ditemukan-di.html. Diakses 2 Oktober 2016
1.
a.) Bagaimana yang magis dan yang real dinarasikan dalam cerpen “Pembunuh Parakang” berdasarkan elemen-elemen karakteristik realisme magis Wendy B. Faris? b.) Bagaimana hubungan antarelemen dan fungsi struktur elemen serta kadar realisme magis dalam cerpen “Pembunuh Parakang”?
2. Bagaimana konteks sosial dan budaya dari cerpen “Pembunuh Parakang” sesuai dengan lokasi geografis karya itu berasal? 1.3 Tujuan Penelitian Secara garis besar, penelitian ini diharapkan untuk dapat mencapai dua tujuan pokok yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. 1. Tujuan Teoritis Berdasarkan lima konsep karakteristik realisme magis oleh Wendy B. Faris, maka penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar realisme magis dalam cerpen “Pembunuh Parakang” karya Khrisna Pabichara dengan memanfaatkan konsep tersebut. 2. Tujuan Praktis Tujuan praktis yang ingin dicapai adalah membantu pembaca sastra untuk memperoleh pengetahuan mengenai: pertama, kadar realisme magis dalam cerpen “Pembunuh Parakang” karya Khrisna Pabichara. Kedua, konteks wacana cerpen “Pembunuh Parakang” dibandingkan dengan konteks sosial dan budaya serta ideologis di daerah asalnya.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap objek material ini yakni cerpen “Pembunuh Parakang” sepanjang penelusuran penulis, belum pernah dilakukan sebelumnya baik dalam pendekatan apapun dalam menelaah cerpen ini. Namun kajian terhadap cerpen lain dalam kumpulan cerpen Gadis Pakarena ini telah ada, seperti cerpen Arajang. Cerpen ini diteliti oleh Hasbi Asga pada tahun 2014 sebagai tesis Program Pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gadjah Mada, dengan judul “Realisme Magis Dalam Cerpen Arajang Karya Khrisna Pabichara Konsep Karakteristik Realisme Magis Wendy B. Faris”. Hasbi dalam penelitian ini mengungkapkan fenomena realisme magis dalam cerpen Indonesia modern yang berangkat dari adanya saling keterkaitan antara sastra Indonesia dan sastra Barat sebagai efek dari interaksi antara sastra Indonesia dengan sastra dunia secara terus-menerus. Hal itu berdampak pada kecenderungan cerpen Indonesia mengangkat kembali suara-suara yang termajinalkan dalam perspektif empirisme barat. Dengan segala citraan karya realisme magis yang dipandang irrasional yaitu mitos, legenda hidup, dongeng-dongeng tertentu, serta hal-hal bersifat mistik dari sebuah tradisi masyarakat. Khrisna Pabichara adalah salah satu cerpenis Indonesia yang mengangkat kembali suara-suara marginal dari kebudayaan Bugis-Makassar melalui cerpennya Arajang. Respon Khrisna terhadap isu-isu dalam konteks sosial, ideologis, dan diskursif diekspresikan melalui teknik naratif realisme magis.
Raden Sayidatun Fajarrosi dari Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2013 meneliti karya Khirsna Pabichara dengan judul skripsi “Mekanisme Pertahanan Ego (Das Ich) Pada Tokoh Dalam Cerpen “Mengawini Ibu”, “Lebang dan Hatinya”, dan “Hati Perempuan Sunyi” Kajian Psikosastra dan Teori Psikoanalisis”. Fajarrosi mengungkapkan bahwa cerpen-cerpen Khirsna Pabichara tersebut mengangkat konflik-konflik kejiwaan melalui tokoh-tokohnya. Selain itu, cerpen tersebut tidak lepas dari kultur Bugis Makassar dengan mengangkat wacana tentang patriarkis, poligami, kawin paksa dan balas dendam. Hasil penelitian Fajarrosi ini menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan ego (das ich) yang dilakukan oleh tokoh merupakan perasaan beralih untuk mencari objek pengganti ketika seorang berada dalam kondisi tertekan. Mekanisme pertahanan yang terjadi dalam karya sastra merupakan representasi dari kehidupan manusia yang dapat ditemuakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain dari kumpulan cerpen Gadis Pakarena, karya-karya Khrisna beberapa diantaranya telah diteliti. Misalnya Verdiana Indah Hapsari pada tahun 2013 dalam skripsinya di Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul “Analisis Sturktural dan Unsur Kearifan Lokal Pada Kumpulan Cerpen Mengawini Ibu Karya Khrisna Pabichara”. Verdiana mengungkapkan cerpen sebagai salah satu hasil karya sastra yang bersifat fiksi, tentu memiliki latar atau setting tertentu sebagai gambaran masyarakat di sekitar
pengarang, sekaligus tanda yang
menunjukkan situasi dan kondisi lingkungan pengarang, karena sebagai anggota masyarakat, pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra mencerminkan
kondisi masyarakatnya yang ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya. Salah satunya dalam kumpulan cerpen Mengawini Ibu karya Khrisna Pabichara yang mengangkat kearifan lokal masyarakat Bugis Makassar beserta kompleksitas permasalahan yang melingkupinya. Penelitian terhadap kumpulan cerpen Mengawini Ibu karya Khrisna Pabichara ini bertujuan untuk mengungkap unsur kearifan lokal masyarakat Makassar melalui pendekatan sosiologi sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, dengan teknis analisis isi yaitu mengungkap dan kemudian mendeskripsikan unsur ekstrinsiknya, apa dan unsur kearifan lokal yang dikandung dalam kumpulan cerpen tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa kearifan lokal yang ada dalam cerpen "Gadis Pakarena" terletak pada budaya masyarakat Makassar yang tidak menerima perkawinan dengan budaya kaum asing. Kearifan lokal tentang nilai bissu yang ada dalam masyarakat Makassar pada cerpen "Arajang". Kearifan lokal pada cerpen "Rumah Panggung di kaki Bukit" terletak pada adat perkawinan yang disebut dengan pammole cera. Kearifan lokal pada cerpen "Haji Baso" terlihat pada batu hitam bertuah atau yang disebut dengan kulau bassi. Jimat ini bagi orang Makassar jimat untuk kekebalan tubuh. Perbedaan kasta (Adat Perkawinan) dalam kearifan lokal cerpen "Silariang”. Senjata tradisional Makassar yaitu badik dalam kearifan lokal pada cerpen "Ulu Badik Ulu Hati". Badik dipergunakan bukan hanya untuk membela diri atau berburu, tetapi juga merupakan suatu identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.
Selain dua cerpen Khrisna di atas, karya lain dari Khrisna Pabichara dalam bentuk novel tidak luput dari beberapa penelitian, misalnya, Tari Prastiyawati dalam Tesisnya di Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berjudul “Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara (Sebuah Kajian Psikologi Sastra Dan Nilai Pendidikan)”. Tari mendeskripsikan: (1) Unsur-unsur intrinsik; (2) Aspek kejiwaan tokoh novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara; (3) Fenomena kejiwaan pengarang dalam penciptaan novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara; (4) Nilai-nilai pendidikan yang digunakan pengarang dalam novel Sepatu Dahlan; dan (5) Kesesuaian penggunaan novel Sepatu Dahlan sebagai bahan ajar pembelajaran analisis novel di SMP. Reny Handayani pada tahun 2014 dalam skripsinya di Universitas Lampung berjudul “Pengaluran dan Penokohan Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMA”. Reny mengungkapkan dalam analisisnya adalah pengaluran dan penokohan dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaluran dan penokohan dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara dan bahan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Fitri Kartikasari tahun 2014 dalam Skripsinya yang berjudul “Nilai Edukatif Novel Surat Dahlan Karya Khrisna Pabichara dan Implementasinya Dalam
Pembelajaran Sastra Indonesia di Kelas VIII SMP N 1 Surakarta (Tinjauan Semiotik)” di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Fitri mengungkapkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk 1) memaparkan latar sosio-historis pengarang novel Surat Dahlan, 2) memaparkan struktur novel Surat Dahlan, 3) memaparkan nilai edukatif novel Surat Dahlan, dan 4) mendeskripsikan hasil implementasi nilai edukatif dalam novel Surat Dahlan karya Khrisna Pabichara dalam pembelajaran sastra Indonesia. Data penelitian ini adalah kata-kata, kalimat, dan paragraf yang terdapat dalam novel Surat Dahlan karya Khrisna Pabichara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan semiotik versi Saussurre. Riyani Hernayanti A. Pada tahun 2015 meneliti novel Surat Dahlan karya Khrisna Pabichara dengan judul “Majas Dalam Novel Surat Dahlan Karya Khrisna Pabichara”. Pada penelitian ini, Riyani mengungkapkan majas apa saja yang digunakan dalam teks novel Surat Dahlan karya Khirsna Pabichara. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa majas yang terdapat dalam novel Surat Dahlan karya Khrisna Pabichara adalah (1) majas pertentangan meliputi majas antithesis dan majas paradox; (2) majas perbandingan meliputi majas metafora, majas simile, majas metonimia, majas hiperbola, majas personifikasi, dan majas sinekdoke pars pro toto; (3) majas penegasan meliputi majas repetisi. Helli Aisyah tahun 2014 dalam skripsinya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berjudul “Pendidikan Etos Kerja Pribadi dalam Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara dan Releansinya dengan Pendidikan Akhlak” mengungkapkan tentang pendidikan etos kerja pribadi dalam novel Sepatu Dahlan
karya Khrisna Pabichara dan mengetahui relevansinya pendidikan etos kerja pribadi dalam novel Sepatu Dahlan dengan pendidikan akhlak. Hasil penelitian Helli menunjukkan bahwa 1) pendidikan etos kerja pribadi yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan yaitu memiliki jiwa kepemimpinan, selalu berhitung, menghargai waktu, tidak pernah puas berbuat kebaikan, hidup hemat dan efisien, memiliki jiwa wiraswasta, memiliki insting bertanding dan bersaing. 2) relevansi pendidikan etos kerja pribadi dalam novel Sepatu Dahlan dengan pendidikan akhlak terdapat dalam akhlak pribadi, yaitu Shidiq, Amanah, Istiqomah, mujahadah, dan syaja’ah. Leni Cahyani pada tahun 2013 dalam skripsinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “Pencritraan Dalam Novel Sepatu Dahlan (Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara”. Leni mengungkapkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui wacana pencitraan Dahlan Iskan dari segi teks, kognisi sosial dan konteks sosial dalam novel Sepatu Dahlan karya Khirsna Pabichara. Dari hasil analisisnya, Leni menemukan melalui analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk dengan tiga level analisis, yakni, 1) Novel Sepatu Dahlan yang diteliti ini menunjukkan adanya pencitraan dengan mengidentifikasikan kisah pengalaman hidup Dahlan Iskan dengan penekanan makna dan pemilihan kata atau kalimat yang ditonjolkan mengenai sosok Dahlan Iskan. 2) Dari segi Kognisi Sosial, Khrisna Pabichara memahami bahwa terlepas dari tipisnya perbedaan antara fakta dan fiksi, tidak ada kisah hidup Dahlan Iskan yang dilebihkan dan dikurangkan. 3) Dari segi konteks sosial, melihat maraknya fenomena tindakan politik pencitraan akhir-akhir ini di masyarakat Indonesia
banyak tokoh publik yang melakukan pencitraan dalam pertarungan di dunia politik melalui media massa cetak. Azman tahun 2014 dalam skripsinya di Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang berjudul “Analisis Watak Tokoh Novel Sepatu Dahlan Karya Khirsna Pabichara” mengungkapkan dalam penelitiannya membahas tentang Analisis watak tokoh novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Watak tokoh adalah tingkah laku yang diperankan oleh tokoh dalam karya sastra yang di ceritakan pengarang melalui data wawancara maupun imajinasi. Menurut Kamus Istilah sastra watak adalah sikap dan prilaku tokoh yang menjadi dasar penampilan tokoh dalam cerita rekaan dan drama. Watak merujuk kepada kualitas nalar dan jiwa tokoh. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui watak tokoh novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan metode deskriptif dengan teknik analisis isi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa watak tokoh sangat lah berpengaruh dalam isi cerita sehingga memberikan gaya tarik bagi pembaca untuk mengambil pesan yang bermanfaat yang ingin di sampaikan penulis kepada pembaca atau masyarakat. Ni Luh Lina Agustini Dewi pada tahun 2014 dalam skripsinya di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja dengan judul “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara dan Relevansinya Terhadap Pengajaran Pendidikan Karakter Sekolah di Indonesia”. Lina mengungkapkan dalam penelitiannya bertujuan (1) mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Sepatu Dahlan karya Khirsna Pabichara (2) mengetahui relevansi novel Sepatu Dahlan terhadap pengajaran pendidikan
karakter sekolah di Indonesia. Jenis penelitian yang tergolong penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan data apa adanya dan menjelaskan data tersebut dengan kalimat-kalimat kualitatif. Subyek penelitian adalah novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, sedangkan objeknya adalah nilai-niai pendidikan karakter dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara serta relevansi novel Sepatu Dahlan terhadap pengajaran pendidikan karakter sekolah di Indonesia. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) nilai-nilai karakter yang terkandung dalam novel Sepatu Dahlan ada 14 yaitu, nilai karakter religius, toleransi,
disiplin,
kerja
keras,
kreatif,
menghargai
prestasi,
bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, jujur, mandiri, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab , (2) terdapat relevansi atau hubungan yang terkait antara nilai-nilai pendidikan karakter novel Sepatu Dahlan terhadap pengajaran pendidikan karakter sekolah di Indonesia. Jadi dalam novel Sepatu Dahlan terdapat nilai-nilai karakter yang dapat dikaitkan dengan pengajaran pendidikan karakter sekolah di Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas, terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaan tersebut mencakup objek formal dan objek material yang dipilih, teori yang digunakan serta permasalahan yang diangkat. Cerpen “Pembunuh Parakang” karya Khrisna Pabichara, sepengetahuan penulis belum pernah diteliti dengan menggunakan teori
realisme magis Wendy B Faris. Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini penting untuk dilakukan. 1.5. Landasan Teori Landasan teori dilihat dalam dua garis besar sesuai dengan kepentingan penelitian ini yang menggunakan teori relaisme magis yang dirumuskan oleh Faris. Pertama, melihat secara umum realisme magis dalam pandangan ahli, dan yang kedua melihat secara khusus konsep realisme magis dalam pandangan Faris. 1.5.1 Realisme Magis Pada penelitian kali ini, penulis akan menggunakan teori realisme magis untuk mengidentifikasi kadar realisme magis yang terdapat di dalam cerpen Pembunuh Parakang. Bermula dari tema seni lukis, realisme magis memiliki tempat tersendiri di dunia sastra. Karya-karya sastra realisme magis berupaya memunculkan unsur magis berupa tahayul, kepercayaan masyarakat, folklor, dan agama yang berada di luar nalar manusia ke dalam realitas kehidupan keseharian. Bentuk magis itu menyatu dalam adat dan budaya masyarakat yang tidak tertolak. Realisme magis merupakan sebuah istilah yang pertama kali digunakan oleh Franzh Roh pada tahun 1925 untuk mengategorikan kecenderungan lukisan yang dibuat oleh para pelukis-pelukis Jerman di awal abad ke 20. Seperti yang dikatakan Nadeem di dalam sebuah essai berjudul “Magis-Realism and Marquez”, bahwa dalam seni melukis, istilah realisme magis digunakan untuk merujuk kepada bentuk lukisan dengan tema fantasi, sosok asing, karakter nyata seperti yang ada di dunia mimpi, sebagai subjek lukisan. (1) Pengertian realisme magis di dalam lukisan
menurut Nadeem, merujuk pada tema lukisan yang menggambarkan karakter fantasia atau bisa disebut yang tidak real sebagai karakter lukisan. Di era sekarang, istilah realisme magis banyak digunakan di dalam karya sastra kemudian juga digunakan pada kritik sastra. Pada tahun 1980, Nadeem menyebutkan bahwa istilah realisme magis menjadi label yang digunakan untuk menamai bentuk kepenulisan di dalam karya sastra. Bentuk kepenulisan yang dimaksud adalah kepenulisan yang di dalamnya terdapat karakteristik seperti, “the mingling and juxtaposition of the realistic and fantastic or strange, skillful time shifts, convoluted and even labyrinthine narratives and plots, miscellaneous use of dreams, myths and fairy stories expressionistic and even surrealistic descriptions, arcane, the element of surprise or abrupt shock, the horrific and The inexplicable”. (1). Percampuran dan pensejajaran unsur realis dan unsur fantasi atau ganjil, kemampuan merubah waktu, cerita yang berbelit-belit bahkan membingungkan, menggunakan berbagai macam khayalan, mitos dan cerita-cerita misteri dimunculkan bahkan juga memunculkan unsur surrealis, banyak terdapat hal yang mengagetkan atau goncangan yang datang tiba-tiba, juga hal yang mengerikan dan tidak dapat dijelaskan. Karakteristik yang disebutkan oleh Nadeem tersebut, merupakan karakteristik yang biasanya dimunculkan di dalam karya sastra yang digolongkan kepada karya sastra realisme magis. Menurut bahasa, defenisi realisme magis di dalam karya sastra bersandar pada pemahaman atas apa yang dimaksud dengan ‘realisme’ dan yang dimaksud dengan ‘magis’. Di dalam buku berjudul Magic(al) Realism, Ann Bowers menjelaskan bahwa “realism is......allows the writer to present many details that
contribute to a realistic impression (20). Realisme di dalam karya sastra, yang digunakan penulis untuk menghadirkan unsur-unsur yang merujuk kepada hal yang realistis. Sedangkan magis, menurut Ann Bowers adalah “refers to any extraordinary occurrence and particularly to anything spiritual or unaccountable by rational science” (19), merujuk kepada peristiwa yang luar biasa dan terutama merujuk kepada sesuatu yang bersifat spiritual atau tidak dapat dilacak oleh pengetahuan rasional. Pengertian realisme magis yang disimpulkan oleh Ann Bowers, “characterized by two conflicting perpectives, one based on a rational view of reality and the other on the acceptance of The supernatural as prosaic reality (20) dikarakteristikkan ke dalam dua sudut pandang, yang satu berdasarkan sudut pandang yang rasional dan yang satu lagi menerima hal supernatural (luar biasa) untuk menggantikan kenyataan yang membosankan. Kenyataan yang membosankan yang dimaksud oleh Bowers disini adalah batasan realis yang selama ini dibuat berdasarkan pola pikir realis. Di dalam buku Magic(al) Realism, Ann Bowers kembali menambahkan bahwa “Magical realism or magic realism are terms which many people have heard and yet very few readers have a clear idea of what they may include and imply (2) realisme magis ataupun magical realisme merupakan istilah yang sudah banyak didengar oleh beberapa pembaca namun sedikit dari mereka yang mengetahui apa yang disembunyikan di dalam cerita tersebut, apa yang menjadi tema besar sehingga karya tersebut dapat dikategorikan sebagai karya sastra realisme magis. Tema besar yang biasanya terdapat didalam karya sastra realisme magis menurut pendapat Ann Bowers adalah: “the idea of terror overwhelms the possibility of rejuvenation in magical realism. Time is
another conspicuous theme, which is frequently displayed as a cyclical instead of linear. What happens once is destined to happen again. Irony and paradox stay rooted in recurring social and political aspiration. (2) teror sering muncul dan menjadi tema utama di dalam realisme magis. Waktu merupakan tema berikutnya, di mana waktu biasanya dimunculkan secara berputar daripada linear. Apa yang telah terjadi di masa lampau ditakdirkan untuk terulang kembali dimasa yang akan datang. Ironi dan paradoks banyak digunakan sebagai bentuk aspirasi terhadap dunia sosial dan politik. Berdasarkan kutipan diatas, tema yang biasanya di hadirkan di dalam karya sastra realisme magis adalah dimana “teror” menjadi ide yang muncul di dalam cerita. Selain itu waktu yang biasanya disajikan dalam bentuk yang berulang dimana satu kejadian yang muncul di masa lalu, akan muncul kembali di masa yang akan datang. Selain itu gaya bahasa dengan majas seperti ironi dan paradoks, banyak digunakan sebagai bentuk aspirasi terhadap dunia politik dan sosial.
1.5.2 Realisme Magis dalam Perspektif Faris Penelitian ini akan menggunakan teori realisme magis yang diperkenalkan oleh Wendy B Faris. Di dalam bukunya yang berjudul Ordinary Enchantments Magical Realism and the Remystification of Narrative, Faris mendefinisikan realisme magis sebagai: “the term magical realism, coined in the early twentieth century to describe a fiction, now designates perhaps the most important contemporary trend in international fiction". (2004: 1)
Istilah yang muncul di awal abad ke-20 yang digunakan untuk menggambarkan sebuah karya sastra, yang saat ini mungkin menjadi salah satu trend di dalam karya sastra internasional. Di dalam buku ini, Faris mengimplikasikan bahwa istilah realisme magis yang muncul diawal abad ke-20 untuk menggambarkan karya sastra yang mengandung unsur magis dan realis. Faris juga menambahkan bahwa jenis karya sastra realisme magis ini, telah menjadi tren yang sangat penting di dalam karya sastra internasional. “magical realism has become so important as a mode of expressiom worldwide, because it has provided the literary ground for significant cultural work; within its texts, marginal voices, submerged traditions, and emergent literatures have developed and created masterpieces". (2004:1) Realisme magis menjadi penting sebagai ungkapan yang mendunia, karena realisme magis menampilkan bentuk dasar dari kesusasteraan dimana menampilkan ide-ide kebudayaan; yang terdapat di dalam teks, suara-suara marginal, tradisi yang hilang, dan kemunculan karya-karya sastra yang telah berkembang dan menghasilkan masterpiece. Ide-ide kebudayaan yang muncul di dalam teks, menurut Faris menjadi menarik karena di dalam teknik penceritaan realisme magis ini, suara-suara yang selama ini di marginalkan ataupun dihilangkan, kembali dimunculkan di dalam penceritaan realisme magis. Karya sastra yang selama ini didominasi oleh perspektive realisme barat, di dalam realisme magis menjadi sama dengan hadirnya unsur magis yang diwakili oleh kebudayaan timur yang selama ini tenggelam oleh dominasi realis budaya barat. Faris juga menambahkan di dalam bukunya bahwa teknik penceritaan realisme magis ini, selain digunakan untuk
memunculkan kembali suara-suara marginal yang selama ini hilang oleh dominasi kebudayaan barat, juga digunakan untuk “magical realism radically modifies and replenishes the dominant mode of realism in the west, challenging its basis of representation from within (2004: 1) Memodifikasi dan memelengkapi pola dominasi realisme barat, menantang kembali dominasi tersebut. Tekhnik penceritaan yang dipakai di dalam realisme magis ini, menurut Faris adalah dengan memodifikasi pola dominan barat dan menantang dominasi tersebut. dengan kata lain, tekhnik ini digunakan untuk mempertanyakan kembali struktur realisme yang selama ini telah disusun oleh perspektive barat, dan memunculkan perlawanan/tantangan terhadap struktur realis tersebut yang juga hadir/muncul dari dalam struktur realis tersebut. Pemahaman yang dibangun oleh Faris disini adalah bagaimana suara-suara marginal yang selama ini tenggelam, kemudian muncul dari dalam unsur-unsur dominan yang selama ini memenuhi ruang yang dianggap realis. Lebih rinci ditambahkan oleh Faris bahwa “magical realism combines realism and the fantastic so that the marvelous seems to grow organically within the ordinary, blurring the distinction between them (2004: 1), Realisme magis mengkombinasikan realisme dan fantasi sehingga hal-hal yang luar biasa tampak hadir secara wajar dan tampak biasa, mengaburkan perbedaan diantara keduanya. Pada kutipan sebelumnya Faris mengimplikasikan bahwa suara-suara yang selama ini hilang, kemudian muncul kembali melalui suara
yang selama ini memenuhi ruang. Kemudian pada kutipan diatas, dijelaskan kembali bahwa realisme magis merupakan penggabungan antara realisme dan fantasi, dimana di dalam penggabungan ini perbedaan diantara kedua unsur tersebut terlihat pudar sehingga hal-hal yang selama ini dianggap luar biasa terlihat wajar dan biasa karena teknik penceritaannya menggunakan teknik penceritaan realis yang di dalamnya mengandung unsur magis. Karena di dalam karya sastra realisme magis menunjukkan kontradiksi antara satu unsur dengan unsur yang lain; dimana unsur magis muncul di dalam unsur realis, maka Faris mendefinisikan bahwa “magical realism has also contributed to the growth of a postmodern literary sensibility (2004: 1). Realisme magis berkontribusi terhadap berkembangnya karya sastra postmodern. Dengan kata lain karya sastra realisme magis, digolongkan ke dalam karya
sastra
postmodern.
Karena
di
dalam
realisme
magis,
terdapat
ketidaksambungan antara unsur realis dan magis yang muncul dalam satu ruang. Teori realisme yang diperkenalkan oleh Faris ini, ditujukan untuk mengupas karya sastra realisme magis. Dimana Faris menekankan bahwa penceritaan di dalam realisme magis, digunakan oleh pengarangnya untuk memunculkan unsur-unsur yang selama ini terpendam dan tidak berhasil muncul ke dalam karya sastra karena dominasi yang dihadirkan oleh perspektive realisme yang diwakili barat. Untuk itu teknik penceritaan realisme magis hadir untuk memodifikasi dominasi tersebut, bahwa ada unsur lain di dalam kehidupan yaitu unsur magis yang selama ini disangkal oleh dominasi realisme tersebut. “it also represents innovation and the re-emergence of submerged narrative traditions in metropolitan centers. (2004: 2).
Realisme magis juga merepresentasikan inovasi dan menghadirkan kembali tradisi penceritaan yang selama ini dipendam ke dalam pusat metropolitan. Dengan kata lain, Faris mencoba menarik kesimpulan pada teori yang disusunnya bahwa teknik penceritaan realisme magis ini mencoba memunculkan tradisi yang dianggap tidak penting oleh dominasi realis, dan unsur yang dianggap tidak penting tadi justru kemudian dihadirkan di dalam pusat metropolis. Hal yang selama ini fix dianggap real, kemudian digoncang dengan kehadiran unsur yang selama ini dimarginalkan (magis). Berdasarkan dengan pemaparan Faris tersebut, penggunaan teori khususnya konsep karakteristik karya realisme magis yang menurut Faris fiksi realisme magis memiliki lima ciri yang terkandung didalamnya yaitu The Irreducible Elements, The Phenomenal World, Merging Realms, The Unsettling Doubts, dan Disruptions of Time, Space and Identity. Sejalan dengan konsep tersebut, maka sangat penting untuk mengukur kadar realisme magis dalam cerpen “Pembunuh Parakang”. Tentang lima konsep tersebut, mula-mula Faris menjelaskan elemen yang berisikan tokoh dan peristiwa magis di dalamnya, yaitu the irreducible elements. Elemen yang tak tereduksi (the irreducible element) adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan menurut hukum alam sebagaimana diformulasikan dalam wacana empirisme Barat, yakni berdasarkan logika, pengetahuan umum, atau kepercayaan yang ada. Oleh karenanya, pembaca kesulitan menyusun bukti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang status peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh dalam sebuah karya. The “irreducible element” is something we cannot explain according to the laws of the universe as they have been formulated in Western empirically
based discourse, that is, according to “logic, familiar knowledge, or received belief,” asDavid Young and Keith Hollaman describe it. (2004: 7) Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan tersebut disampaikan dengan cara yang biasa sehingga terasa menjadi sesuatu yang seperti (juga) nyata. Di sisi lain, yang magis tetap terlihat walaupun digiring melalui narasi sebagai sesuatu yang seolaholah biasa, dengan cara penggambaran yang jelas, mendetail, dan konkret. Penggambaran yang demikian tampak seperti butiran pasir di dalam kerang realisme. In short, the magic in these texts refuses to be entirely assimilated into their realism; it does not brutally shock but neither does it melt away, so that it is like a grain of sand in the oyster of that realism. (2004: 9-10) Sebagai imbas dari keganjilan yang tidak dapat dibantahkan tersebut, maka konsep-konsep logika empiris yang familiar dalam sudut pandang pembaca pada umumnya mengalami gangguan. Selama masa gangguan ini kemudian, maka pembaca kemudian mencoba mengisi kembali ruang logika yang terganggu tersebut dan mencoba menerjemahkan dan menyesuaikan bentuk logika yang baru tersebut dengan alam logika yang selama ini menghegemoninya. Dengan demikian maka pembaca memiliki peran yang aktif dalam penciptaan writerly text. And because it disrupts reading habits, that irreducible grain increases the participation of readers, contributing to the postmodern proliferation of writerly texts, texts co-created by their readers. (2004: 9-10)
Faris mengatakan bahwa elemen-elemen magis yang digunakan dalam fiksi realisme magis biasanya menyoroti isu sentral dalam teks. Isu sentral yang menjadi sorotan dapat terlihat dalam konteks-konteks fenomena yang terjadi di luar teks karya sastra itu sendiri. Ia berkaitan dengan semangat kritik dekonstruktif yang seringkali menjadi misi fiksi-fiksi realisme magis. In the course of highlighting such issues, irreducible magic frequently disrupts the ordinary logic of cause and effect. (2004: 10) Dalam menyoroti isu sentral, sering kali mengganggu logika sebab-akibat. Untuk mengacaukan logika sebab akibat tersebut, maka unsur-unsur magis yang terkait tampak diabaikan sehingga hubungan sebab-akibat tersebut pun seolah-olah memiliki derajat yang sama dengan fenomena yang magis. Sebaliknya, fenomena nyata justru tampak menjadi menakjubkan dan konyol karena ketakjuban narator maupun tokoh-tokohnya atas fenomena tersebut. Menurut Faris salah satu sisi dalam realisme magis adalah sisi realismenya yang ia sebut sebagai The Phenomenal World. Dunia ini adalah bagian yang real (aliran realisme) dari realisme magis yang mencegah fiksi tersebut agar tidak menjadi bentuk fiksi fantasi yang melambung meninggalkan alam real secara total. Hal inilah yang membedakan realisme magis dari karyakarya sastra prosa dalam bentuk fantasi dan alegori yang lain. Menurut Faris, dalam bagian phenomenal worlds ini, penggambaran terhadap dunia diegenesis diadopsi dengan cara meniru dunia real secara detail yang luas.
Realistic descriptions create a fictional world that resembles the one we live in, often by extensive use of detail. (2004: 14) Selain itu, kehadiran dunia fenomenal adalah demi menjaga agar rasa yang magis tumbuh dari dalam yang real, bukan sebagai sesuatu yang betul-betul fantastis seperti halnya yang terjadi dalam karya-karya fiksi fantastis dan alegoris yang mengalihkan dunia pembaca dari tataran dunia real menuju dunia yang dipenuhi dengan fantasi semata. Magis yang hadir dalam dunia real bukanlah sesuatu yang fantastis yang muncul entah darimana, namun ia adalah unsur misterius yang bergetar dibalik dunia fenomenal. Dunia fenomenal yang menjadi latar bagi unsur-unsur magis tersebut terbagi kedalam dua jenis, yaitu: {1} kenyataan (yang real) didalam teks dan {2} kenyataan yang berlandaskan pada sejarah. Bila mengacu pada referensi, kenyataan (sejarah) menjadi unik, kadang menawarkan kenyataan alternatif. Kenyataan, baik jenis yang pertama maupun yang kedua, menjadi jangkar bagi yang magis agar tidak terbang menjadi cerita fantastis. Bagian selanjutnya adalah interaksi antar kedua unsur tersebut, yang menciptakan ruang liminal antar yang magis dan real yang disebut oleh Faris sebagai Unsettling Doubts. Dunia liminal ini mengundang keraguan yang hadir ketika pembaca mengalami dua pemahaman yang kontradiktif (magis dan real) atas peristiwa. A third quality of magical realism is that before categorizing the irreducible element as irreducible, the reader may hesitate between two contradictory
understandings of events, and hence experience some unsettling doubts. (2004: 17) Keraguan yang hadir ini terikat pada konteks budaya pembaca, apakah ia akrab dengan budaya logis yang empirik yang mengasingkannya dengan logika magis, atau sebaliknya, bila ia lebih dekat dengan budaya logika magis dan mitis, maka ia juga tidak akan merasa janggal dengan kehadiran magis yang hadir dalam fiksi tersebut. Terutama bagi para pembaca yang akrab dengan dunia empirik, maka keraguan hadir karena yang magis (tradisional) dinarasikan dengan perspektif (empirik) dan model realisme. Menurut Faris, keraguan yang terjadi sering kali dipicu oleh sistem kepercayaan yang berbeda yang dipertemukan dalam realisme magis. The question of belief is central here, this hesitation frequently stemming from the implicit clash of cultural systems within the narrative, which moves toward belief in extrasensory phenomena but narrates from the postEnlightenment perspective and in the realistic mode that traditionally exclude them.(2004: 17) Keraguan dapat mengaburkan irreducible element, sehingga menjadikannya tidak selalu mudah untuk dilihat sebagaimana demikian. Teks sering mengacaukan sifat magis atau real suatu fenomena dengan cara memancing pembaca untuk mengkooptasinya sebagai sebuah ilusi dan kemudian mencegah kooptasi tersebut dengan narasi-narasi argumentatif yang seakan-akan menyokong kemagisan tersebut. Hal ini dapat berlangsung secara silih berganti sehingga pembaca
terlempar kesana-kemari antara mengkooptasi fenomena tersebut sebagai bagian dari dunia real atau menerimanya sebagai elemen magis. Magical realist scenes may seem dreamlike, but they are not dreams, and the text may both tempt us to co-opt them by categorizing them as dreams and forbid that co-option. (2004: 17) Keraguan dapat mengaburkan the irreducible element, seperti halnya dalam adegan mimpi. Adegan realisme magis dapat tampak seperti sebuah adegan mimpi, namun juga meragukan sebagai sebuah mimpi karena properti mimpi-mimpi tersebut yang luar biasa. Seperti yang diketahui bahwa pada sistem budaya tertentu, mimpi sering dianggap sebagai bagian dari fenomena magis, entah itu pewahyuan, firasat atau sebuah peramalan terhadap suatu peristiwa yang akan terjadi. Kita sering digiring oleh teks untuk ragu, namun kita juga bisa ragu karena propertinya yang mengagumkan dan jenis even tersebut apakah suatu unsur yang magis atau fenomena real. Dalam karakteristik realisme magis yang selanjutnya, pembaca dapat merasakan kedekatan dan nyaris bersatunya dua dunia. Dari sudut pandang sejarah kultural, sering menyatukan dunia tradisional dan modern. Secara ontologi, Merging Realms dalam realisme magis menyatukan dunia magis dan material. Dan dilihat dari pemaduan kata realisme dan magis dalam genre ini, maka teknik naratif ini dapat dilihat sebagai teknik yang mempertemukan dunia sisi dunia yang berlawanan, yaitu menggabungkan elemen kenyataan dan fantastis.
From a metafictional perspective, if fiction is exhausted in this world, then perhaps these texts create another contiguous one into which it spills over, so that it continues life beyond the grave, so to speak. (2004: 22) Dalam proses penyatuan ke dua dunia tersebut, maka visi realisme magis terlihat berada pada ruang antara dua dunia yang diperluas dan bukan lagi merupakan masalah mana yang real maupun imajiner namun lebih kepada sisi lain dari realitas yang tampak. Dari segi metafiksional, hal ini dapat dipahami sebagai wujud fiksi mengalir dari dunia ini menuju ke dunia yang lain dan berlanjut kemudian berlanjut disana. Dalam proses penyatuan atau pemindahan antar dunia tersebut, realisme magis memburamkan batas antara yang fakta dan fiksi dengan cara menghilangkan mediasi antara kenyataan yang berbeda. Bagian terakhir yang merupakan ciri realisme magis menurut Faris adalah Disruptions of Time, Space, and Identity. Dalam bahasa Indonesia konsep ini bisa diterjemahkan sebagai Gangguan terhadap Waktu, Ruang dan Identitas. Pada bagian ini, Faris membuka argumennya dengan mengutip Jameson yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk spasial dan temporal tradisional tererosi oleh homogenitas yang dibawa oleh realisme. As Fredric Jameson sets out the project of realism, one thing itachieves is “the emergence of a new space and a new temporality” because realism’s spatial homogeneity abolishes the older forms of sacred space. Likewise the newly measuring clock and measurable routine replace “older forms of ritual, sacred, or cyclical time.” Even as we read Jameson’s description,
we sense the erosion of this program by magical realist texts—and by other modern and postmodern ones as well. (2004: 24) Dan bila hitungan-hitungan temporal modern yang menjadi sasaran bagi visi realisme magis untuk menghadirkan kembali bentuk-bentuk hitungan temporal yang magis yang dibuang oleh paham modern seperti tersebut diatas, maka bentukbentuk spasial yang juga diasingkan oleh konsep tata ruang modern juga kembali dihadirkan melalui teknik naratif ini. Dalam realisme magis, batasbatas spasial magis yang semestinya terbuang terpisah dari spasial real, mengalami kebocoran ke seluruh bagian teks dan sebaliknya. Like their nineteenth-century Gothic predecessors, many magical realist fictions delineate near-sacred or ritual enclosures, but these sacred spaces are not watertight; they leak their magical narrative waters over the rest of the texts and the worlds they describe, just as that exterior reality permeates them. (2004: 24) Dalam penggambaran tentang identitas individu, sifat multivokal naratif dan hibriditas kultural merasuk kedalam identitas karakter-karakter. Sifat-sifat ini bahkan dapat mewujud kedalam karakter fisik tokoh-tokohnya. Identitas yang dipahami dalam dunia modern sebagai suatu entitas tunggal yang berada dalam diri seseorang dan membedakan dirinya dengan entitas lainnya, mengalami disrupsi sehingga tampak bentuk yang berlipat-lipat dalam diri seorang individu. Dengan demikian ciri akhir ini merusak tatanan yang dikenal dalam dunia modern dan
menampilkan bentuk-bentuk lain yang termarjinalkan dalam modernisme, sesuai dengan yang dikatakan Faris: The multivocal nature of the narrative and the cultural hybridity that characterize magical realism extends to its characters, which tend toward a radical multiplicity. (2004: 25) Bertolak dari lima karakteristik tersebut yang mendefinisikan karya fiksi realisme magis sebagai sebuah teknik naratif yang mempertemukan unsur-unsur magis dan teknik naratif realisme di dalam dirinya. Maka akan terlihat ciri karya realisme magis secara garis besar yang meliputi hubungan relasional di antara keduanya seperti hubungan saling tumpang-tindih antar unsur, bentuk liminal dari pertemuan dua unsur-unsur tersebut, disraptions sebagai akibat interaksi unsurunsur magis terhadap konsep-konsep realisme, kemudian dapat disimpulkan hubungan hierarkis berupa gradasi antar unsur-unsur magis dan real secara keseluruhan di dalam karya fiksi realisme magis tersebut. 1.6 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan pada latar belakang masalah, rumusan masalah, dan landasan teori bahwa teknik naratif karya realisme magis adalah mempertemukan unsur-unsur realisme dan unsur-unsur magis. Magis hadir secara halus dalam realisme, diibaratkan balon udara yang terikat pada suatu benda di bumi sehingga tidak terbang kemana-mana, hal ini menjauhkan magis dari kesan alegori ataupun fantasi yang akan menjadikan magis terasing dalam dunia real, karena magis hadir tetap pada poros yang real. Dalam
ranah kontekstual, karya realisme magis hadir untuk menyuarakan kembali persoalan-persoalan yang selama ini termarginalkan, menjadi media untuk menyampaikan kritik terhadap fenomena-fenomena sosial maupun tatanan diskursif yang hegemonik baik dalam ranah lokal maupun global. Berdasarkan halhal tersebut, maka Khrisna Pabichara dalam cerpennya yang berjudul “Pembunuh Parakang”, tidak dapat melepaskan diri dari ikatan ideologis dengan budaya Bugis Makassar. Secara kontekstual, cerpen “Pembunuh Parakang” memiliki keterkaitan yang kuat dengan konteks sosial dan budaya Bugis Makassar di Sulawesi Selatan.
1.7 Metode Penelitian Metode penelitian ini meliputi dua tahapan sebagai cara kerja yang diterapkan guna tercapainya tujuan penelitian ini, yaitu pengumpulan data dan analisis data. 1.7.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data berasal dari dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer adalah satuan-satuan tekstual yang berasal dari cerpen “Pembunuh Parakang” karya Khrisna Pabichara berupa satuan-satuan kata, tanda baca, frase, baris, bait maupun rangkaian peristiwa yang terkait dengan tujuan
penelitian dan teori Naratif Realisme Magis Wendy B. Faris dalam bukunya Ordinary Enchantments Magical Realism and Remystifiction of Narratives. Data sekunder berasal dari teks-teks yang berada di luar cerpen “Pembunuh Parakang” yang dianggap meiliki keterkaitan rumusan masalah dan asumsi yang diajukan tentang konteks sosial dan budaya serta ideologis dari cerpen “Pembunuh Parakang”. Teks-teks tersebut dapat berupa teks-teks tradisional, ataupun sumbersumber penelitian ilmiah lainnya seperti jurnal, artikel serta buku yang dianggap mampu menjelaskan kondisi dan situasi sosial dan budaya serta ideologis yang menjadi konteks cerpen “Pembunuh Parakang”. 1.7.2 Analisis Data Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah, maka diperlukan analisis data yang meliputi tiga bagian. Pertama, Membuat klasifikasi data berdasarkan konsep Faris dalam dua konsep besar (realisme dan magis). Kedua, Mencari hubungan antara data-data realisme dengan data-data magis untuk melihat kemungkinan adanya irreducible element, the phenomenal world, unsettling doubts, merging realms, dan disruption. Hubungan itu ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah logika, apakah terdapat kontradiksi ketumpang tindihan antara yang real dan yang magis. Dalam rangka mengungkap gradasi, mengungkap hubungan hierarkis diantara keduanya. Hubungan Logis, hubungan kontradiksi, overlapping, dan hubungan dominasi atau hubungan hierarkis, hubungan ideologis. Ketiga, mencari hubungan antara teks dan konteks dengan melihat persoalan-
persoalan yang muncul dalam teks dengan persoalan-persoalan sosial, ideologi, dan diskursif yang ada di masyarakat lokal atau nasional yang terkait. 1.8 Sistematika Penyajian Sistematika dari laporan penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab I berupa pengantar yang berisi: 1.1. latar belakang, 1.2. rumusan masalah, 1.3. tujuan penelitian, 1.4. tinjauan pustaka, 1.5. landasan teori, 1.6. hipotesis, 1.7. metode penelitian, dan 1.8. sistematika penyajian. Bab II berupa Karakteristik dan Kadar Realisme Magis dalam cerpen “Pembunuh Parakang”, berisi beberapa bagian yaitu: 2.1 Karakteristik realisme magis cerpen “Pembunuh Parakang”; 2.2 Relasi Antar Elemen dan; 2.3 Kadar Realisme Magis cerpen “Pembunuh Parakang”. Bab III berupa konteks sosial cerpen “Pembunuh Parakang” yang berisi perbandingan konteks wacana dalam cerpen dengan konteks sosial dan budaya serta ideologis di Sulawesi Selatan. Bab IV berisi kesimpulan.