BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson1 pada akhir tahun 2012 dalam website resminya http://thelearningcurve. pearson.com2, sistem pendidikan di Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. Berita tersebut tertulis dalam website resmi BBC Indonesia http:// www.bbc.co.uk3. Dalam website tersebut, masukan yang dapat diberikan untuk meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia adalah dengan rekrutmen guru yang berkualifikasi tinggi. Namun demikian, tidak hanya kualifikasi saja yang seharusnya menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia. Ada hal yang tak kalah pentingnya untuk ditingkatkan yakni pembangunan dialetika antara guru dengan murid dalam proses pembelajaran di sekolah. Bila diamati, kebanyakan sistem pendidikan di Indonesia memberlakukan metode di mana pendidik ditempatkan menjadi subyek aktif sementara anak didik menjadi obyek pasif yang harus mau menerima apapun yang keluar dari pendidik. Metode pendidikan yang menempatkan guru sebagai subjek aktif dan murid sebagai objek pasif disebut Freire sebagai metode banking. Metode banking adalah metode pendidikan di mana guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh
1
Pearson adalah perusahaan multinasional terkemuka di Inggris yang berfokus pada penerbitan dan pendidikan dengan salah satu program unggulannya adalah Analisis Sistem Sekolah di dunia dalam konteks global. Tujuan utamanya adalah mencapai pendidikan efektif dengan menyediakan data dan analisis untuk membantu para peneliti di bidang pendidikan. 2 http://thelearningcurve. pearson.com/index/ index-ranking diakses pada 28 Oktober 2013 14.17 WIB 3 http:// www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2012/11/121127_education_ ranks.shtml diakses pada 28 Oktober 2013 14.32 WIB
1
para murid (Freire, 1991:50). Ruang gerak yang disediakan bagi murid terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Seperti menyimpan uang dalam bank, murid-murid ini diasumsikan akan mendatangkan hasil berlipat ganda di masa depan. Dengan para guru sebagai investornya, mereka mengabaikan fakta bahwa murid hakikatnya adalah makhluk yang bergerak dan berfikir. Di Indonesia, pendidikan di ranah formal seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan perguruan tinggi masih banyak yang menganut metode banking. Dalam prakteknya, guru atau dosen berlaku sebagai pusat informasi dan murid atau mahasiswa harus mendengar dan menghafal apa yang disampaikan oleh guru atau dosen. Pemberlakuan metode banking membuat murid cenderung kurang terbuka dalam menyampaikan ide-ide mereka. Hal ini dikarenakan kurangnya ruang publik yang disediakan di sekolah sebagai tempat belajar mereka untuk tempat berdiskusi dan mengungkapkan ide. Padahal, proses belajar adalah tentang memahami sebuah ide dengan menjadi pelaku aktif dalam pencarian jawaban. Dengan kata lain, proses belajar seharusnya dihayati sebagai proses yang melibatkan murid sebagai subjek yang aktif dalam pencarian dan pemahaman informasi. Sebagai akibat dari metode banking, komunikasi antara murid dan guru tidak terjadi secara dinamis. Model komunikasi yang tercipta dalam metode banking cenderung bersifat satu arah (linear). Komunikasi model linear meyakini bahwa proses komunikasi terjadi searah di mana satu orang berbicara kepada orang lain yang bersifat pasif. Model komunikasi inilah yang telah bertahun-tahun dipaksakan di dalam sistem pendidikan di Indonesia di mana murid „dipaksa‟ untuk menjadi objek pasif dengan dijejali berbagai macam informasi oleh guru dan dibatasi ruang berpikir kreatifnya. Sebagai evaluasi dari metode pendidikan yang melahirkan “manusia robot”, diciptakanlah sebuah alternatif pendidikan formal yang meninggalkan konsep formal-konvensional pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan dengan 2
format pendidikan formal berbasis sekolah alam. Alternatif pendidikan formal ini berdiri pada asumsi bahwa sekolah adalah lebih dari sekedar mengisi “bejanabejana kosong” murid oleh guru seperti dituturkan Lendo Novo, mantan staf ahli Menteri Negara BUMN, yang merupakan penggagas sekolah alam. Dalam wawancaranya
dengan
Wimar
Witoelar
yang
tertuang
dalam
www.perspektifbaru.com4, Lendo Novo sangat memercayai bahwa sekolah adalah tempat untuk dialektika, kebudayaan, membangun peradaban, dan sebagainya. Baginya, cara belajar di kelas berupa guru mengajar dan murid mencatat tidaklah dialogis karena bersifat satu arah, padahal inti dari proses pendidikan sebetulnya adalah dialektika antara guru dan murid. Aplikasi dari temuan Lendo Novo dan rekan-rekannya ini diwujudkan dalam pembangunan sekolah alam yang dirintis sejak 1989. Di Yogyakarta, terdapat sekolah alam yang mengaplikasikan dialektika antara guru dan murid dalam proses belajarnya, yakni sekolah alam SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta. Perbedaan paling menonjol yang dapat diamati antara sekolah alam dengan sekolah lain adalah pada aplikasi metode pembelajaran “experiental
learning”
dan
“problem
solving
based
learning”
yang
mengedepankan pembelajaran langsung di lapangan –bukan sebatas mengerti teori. Dalam aplikasi metode ini, guru berperan sebagai fasilitator yang memberi wacana pada murid-murid sementara murid-murid akan diarahkan untuk mendiskusikan apa yang mereka terima dari praktek belajar yang mereka hadapi secara langsung di lapangan. Kajian sebelumnya membahas tentang model hubungan dan komunikasi yang ditulis oleh Aminatuz Zuhriyah (2011), menyentuh hubungan dan komunikasi antara guru dan orang tua dalam ranah pendidikan. Sementara kajian mengenai sekolah alam sebelumnya telah dilakukan oleh Shalina Nur Hanna (2009) yang berfokus pada konsep pendidikan dalam perspektif sekolah Islam.
4
diakses pada 25 April 2013, 17.25 WIB.
3
Jika dilihat dari penelitian sebelumnya, belum ada kajian yang dilakukan terhadap model komunikasi antara guru dan murid sebagai pelaku komunikasi utama dalam sistem pendidikan di Indonesia. Di samping itu, kajian mengenai pendidikan di sekolah alam masih jarang diangkat di dalam ranah penelitian sehingga peneliti merasa penelitian ini penting dilakukan untuk melihat model komunikasi yang terjadi di sekolah alam terutama di SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana model komunikasi antara guru dan murid di SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk: 1. Mengetahui model komunikasi yang terjadi dalam proses belajar di SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta. 2. Mengetahui kaitan model komunikasi dengan intensi belajar-mengajar guru dan murid dalam kegiatan-kegiatan di SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk melengkapi perbendaharaan kepustakaan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti lain maupun pemerhati pendidikan sebagai bahan referensi dan informasi dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia.
4
2. Bagi Praktisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau bahan pertimbangan bagi tim pengajar SMP IT Alam Nurul Islam dalam mengembangkan metode belajar dalam proses pengajaran di SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta.
E. Kerangka Pemikiran 1. Pendidikan di Indonesia Sejak dulu hingga di masa depan nanti, sistem pendidikan akan selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan sosial-budaya dan perkembangan iptek. Hal tersebut terjadi karena kelompok manusia terdahulu dihadapkan pada generasi penerusnya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari pendahulunya. Hal tersebut menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran baru dalam mengembangkan sistem pendidikan di suatu negara. Dalam Tirtarahardja dan La Sulo (2005), pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan pendidikan itu disebut aliran-aliran pendidikan. Di Indonesia, sistem persekolahan diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun sebenarnya, sebelum itu pendidikan di Indonesia telah dilakukan terutama oleh keluarga dan oleh masyarakat melalui kelompok belajar/padepokan, lembaga keagamaan/ pesantren, dan lain-lain. Hingga kini, perkembangannya telah mencapai pada tingkat gerakan baru yang pada proses perkembangannya banyak dipengaruhi oleh aliran barat. a. Sejarah Singkat Aliran Pendidikan di Indonesia i. Aliran Pendidikan oleh Keluarga dan Masyarakat Pendidikan oleh keluarga dan masyarakat dalam konteks ini diasosiasikan dengan pendidikan di pondok pesantren (sistem asrama). Hal ini karena pada umumnya, pondok pesantren adalah milik kyai atau sekelompok keluarga. Tak jarang pondok pesantren didirikan atas prakarsa penguasa, rajaraja, atau orang kaya lain. Pondok pesantren sebagai lembaga 5
bagi pendidikan dan penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan Islam di Indonesia. Dalam jurnal Suyoto (1974), Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa sistem pondok pesantren adalah sistem nasional yang dalam prakteknya, pengajaran dan pendidikan selalu berhubungan karena hubungan guru dan murid berlangsung terus menerus, siang dan malam. Dalam sistem pondok
pesantren,
terjadi
adanya
perpaduan
suasana
perguruan, kepemudaan, dan kekeluargaan sekaligus. Keadaan ini memungkinkan terjadinya proses pembentukan kepribadian yang lebih besar. Dalam sistem pondok pesantren pula, anak dapat berkompetisi lebih realistis. Anak-anak dapat berlomba tidak hanya dalam prestasi tetapi juga dalam prosesnya mencapai prestasi tersebut. Selain itu, solidaritas sosial mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan sikap keterbukaan makin berkembang. ii. Aliran Klasik Dalam Tirtarahardja dan La Sulo (2005) disebutkan, pada dasarnya, baik aliran klasik maupun aliran gerakan baru yang terdapat di Indonesia berasal dari Eropa dan Amerika. Di awal beredarnya, aliran-aliran pendidikan klasik mulai dikenal di Indonesia
melalui
upaya-upaya
pendidikan,
utamanya
persekolahan, dari penguasa penjajah Belanda dan juga orangorang Indonesia yang berlajar di sana pada masa penjajahan. Penjajah Belanda pada masa itu tidak hanya menghegemoni secara langsung melalui kebijakannya namun juga melalui buku bacaan, koran, dan sejenisnya. Seiring waktu berlalu, persebaran media cetak dan hubungan internasional oleh 6
pemerintahan yang terjadi dengan negara-negara di Eropa dan Amerika kemudian menjadi acuan dalam penetapan kebijakan di bidang pendidikan di Indonesia. Aliran-aliran
klasik
yang
berkembang
di
bidang
pendidikan meliputi aliran empirisme, nativisme, naturalism, dan konvergensi. Aliran-aliran tersebut mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan dari yang paling pesimis (menganggap pendidikan dapat merusak bakat anak) hingga yang optimis (menganggap anak adalah tanah liat yang dapat dibentuk dengan pendidikan). Aliran empirisme dirintis oleh seorang filsuf Inggris John Locke yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar
dalam
menentukan
perkembangan
anak
(dalam
Tirtarahardja dan La Sulo, 2005:194). Penganut aliran ini memercayai bahwa anak adalah makhluk pasif yang tidak berdaya dalam menerima pesan yang disampaikan ke mereka. Sebaliknya,
aliran
nativisme
meyakini
bahwa
faktor
lingkungan tidak memengaruhi perkembangan anak. Salah satu penganut aliran ini, seorang filsuf Jerman Schopenhauer berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan buruk; bahwa tiap individu terdapat suatu inti pribadi yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. Aliran yang ketiga yakni aliran naturalisme yang dipelopori
oleh
filsuf
Prancis
JJ.
Rousseau
(dalam
Tirtarahardja dan La Sulo, 2005:197), meyakini bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan buruk 7
karena dipengaruhi oleh lingkungannya. Rousseau berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan oleh orang dewasa justru merusak pembawaan anak sehingga anak seharusnya dibiarkan pertumbuhannya pada alam. Sementara aliran yang terakhir yaitu aliran konvergensi, dirintis oleh ahli pendidikan bangsa Jerman William Stern yang meyakini bahwa anak lahir disertai pembawaan baik dan buruk (dalam Tirtarahardja dan La Sulo, 2005:198). Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, pembawaan diri dan pengaruh lingkungan sama-sama berperan dalam mendidik anak. Keempat aliran klasik tersebut banyak diadopsi dalam mengatur sistem pendidikan di sekolah-sekolah di berbagai negara termasuk Indonesia. Aliran-aliran tersebut memiliki kecenderungan untuk mengemukakan satu faktor dominan saja dalam mengembangkan manusia. Sebagai hasilnya, penganut aliran klasik, sebagaimana kebanyakan sekolah formal yang ada di Indonesia, belum mampu untuk mensinergikan yang dididik dengan lingkungannya serta memposisikan yang dididik menjadi subyek pendidik juga, sebagaimana yang dilakukan oleh penganut aliran baru dalam pendidikan. iii. Aliran Baru Pengajaran Sekitar Hubungan pendidik dan peserta didik seyogianya adalah hubungan yang setara antara dua pribadi, meskipun yang satu lebih berkembang dari yang lain (Joni, 1983:29). Hubungan kesetaraan
dalam
interaksi
edukatif
sudah
seharusnya
diarahkan menjadi hubungan transaksional sehingga terjadi komunikasi yang multi arah dalam proses pendidikan. Suparlan (1984) menyebutkan, hal ini sesuai dengan aliran baru dalam pendidikan yang memusatkan diri pada perbaikan dan 8
peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar pada sistem persekolahan (dalam Tirtarahardja dan La Sulo, 2005:201); salah satunya adalah pengajaran alam sekitar. Aliran pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar yang dirintis oleh Fr. A. Finger dengan heimatkunde (pengajaran alam sekitar) di Jerman, J. Ligthart di Belanda dengan Het Volle Leven (kehidupan
senyatanya).
Prinsip
yang
dianut
dalam
guru
dapat
heimatkunde yakni: 1. Dalam
pengajaran
alam
sekitar,
memeragakan secara langsung. 2. Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak berpartisipasi aktif. 3. Pengajaran
alam
sekitar
memungkinkan
untuk
diberlakukan pengajaran totalitas dengan ciri segala bahan pengajaran berhubung-hubungan satu sama lain. 4. Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak verbalistis. 5. Pengajaran
alam
sekitar
memberikan
apersepsi
emosional terhadap anak didik. (dalam Tirtarahardja dan La Sulo, 2005:201) Sementara Het Volle Leven memiliki prinsip sebagai berikut: 1. Pengajaran alam sekitar mengajarkan anak untuk mengetahui
barangnya
terlebih
dahulu
sebelum
mendengar namanya.
9
2. Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas pengajaran itu. 3. Harus diadakan perjalanan memasuki hidup agar murid paham akan hubungan
antara bermacam-macam
lapangan dalam hidupnya. (dalam Tirtarahardja dan La Sulo, 2005:202) Sementara itu, di Indonesia sejak tahun 1989 telah dirilis alternatif pendidikan yang mengarah pada pengajaran alam sekitar oleh Lendo Novo, mantan staf ahli Menteri Negara BUMN. Lendo Novo mengaplikasikan aliran pengajaran alam sekitar di Indonesia dengan menggagas sekolah alam, yaitu sekolah yang memiliki basis prinsip bahwa sekolah adalah tempat untuk dialektika, kebudayaan, membangun peradaban, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dalam wawancaranya dengan Wimar
Witoelar
yang
tertuang
dalam
website
www.perspektifbaru.com5, ia menyebutkan bahwa inti dari proses pendidikan sebetulnya adalah dialektika antara guru dan murid yang dapat terwujud melalui aplikasi sekolah alam. b. Strategi Kegiatan Belajar dan Mengajar di Indonesia Dalam proses penyelenggaraan pendidikan, diperlukan strategi pembelajaran agar kegiatan belajar menjadi efektif dan efisien. Dalam aliran pendidikan apapun, strategi pembelajaran digunakan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, strategi bermakna sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Strategi dapat diartikan pula sebagai upaya untuk mensiasati agar tujuan suatu kegiatan dapat
5
diakses pada 25 April 2013, 17.25 WIB.
10
tercapai. Dalam Ahmadi dkk. (2011:16), strategi pembelajaran diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: i.
Strategi Pembelajaran Langsung Strategi
pembelajaran
langsung
merupakan
pembelajaran yang banyak diarahkan oleh guru (teachercentred). Strategi ini efektif untuk menentukan informasi atau
membangun
Pembelajaran
keterampilan
langsung
tahap
biasanya
demi
bersifat
tahap. deduktif.
Kelemahannya, peserta didik tidak bisa mengembangkan sikap dan pemikiran kritis. Pembelajaran jenis inilah yang banyak terjadi pada proses pembelajaran di Indonesia. ii.
Strategi Pembelajaran Tak Langsung Strategi pembelajaran tak langsung sering disebut inkuiri,
induktif,
pemecahan
masalah,
pengambilan
keputusan dan penemuan. Strategi ini umumnya berpusat pada peserta didik (students-centred). Dalam prakteknya, peranan guru bergeser dari seorang penceramah menjadi fasilitator sementara murid berperan aktif mengemukakan pendapat. iii.
Interaktif Pembelajaran interaktif menekankan pada diskusi dan sharing di antara peserta didik. Diskusi dan sharing memberi kesempatan peserta didik untuk bereaksi terhadap gagasan, pengalaman,
pendekatan
dan
pengetahuan
guru
atau
temannya dan untuk membangun cara alternatif untuk berfikir dan merasakan. iv.
Mandiri melalui Pengalaman Pembelajaran
empirik
berorientasi
pada
kegiatan
induktif, berpusat pada peserta didik, dan berbasis aktivitas. 11
Refleksi
pribadi
tentang
pengalaman
dan
formulasi
perencanaan menuju penerapan pada konteks yang lain merupakan faktor kritis dalam pembelajaran empirik yang efektif. Penggunaan strategi dalam proses penyelanggaraan pendidikan bisa jadi merupakan kombinasi dari beberapa strategi. Namun demikian, umumnya aliran pendidikan memiliki strategi yang diunggulkan atau kerap digunakan dalam praktek penyelenggaraan kegiatan belajar dan mengajarnya. 2. Model-model Komunikasi Dasar Model
seringkali
digunakan
sebagai
alat
bantu
dalam
memvisualisasikan ide, struktur maupun proses kejadian yang berlangsung baik di masa lalu, sekarang, maupun di masa mendatang. Deutsch (1952) menyatakan bahwa model adalah “struktur simbol dan aturan kerja yang diharapkan selaras dengan serangkaian poin yang relevan dalam struktur atau proses yang ada.” Dalam kehidupan sehari-hari, model biasa digunakan dalam kegiatan berorganisasi, membuat kerangka presentasi, pemecahan masalah, maupun memprediksi suatu kejadian. Menurut Deutsch (1952:360-361), model memiliki empat fungsi yakni: mengorganisasi, heuristik, prediktif, dan mengukur (dalam Severin dan Tankard, 2005:54). Fungsi mengorganisasi terlihat pada kemampuannya mengatur dan menghubungkan data serta menunjukkan kesamaan dan hubungan data yang tak terlihat sebelumnya. Adapun fungsi heuristik terjadi saat model mampu membawa peneliti pada fakta dan metode baru yang belum dikenal. Fungsi prediktif pada model terimplikasi apabila materi yang dimodelkan belum bisa dipahami. Sementara fungsi mengukur teraplikasi pada proses pengukuran fenomena yang diminati peneliti. Dalam Dani (2004:113), Windahl dan McQuail mengemukakan bahwa model komunikasi diterjemahkan sebagai representasi fenomena komunikasi 12
dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting guna memahami suatu proses komunikasi. Dalam West & Turner (2010:11-14), dijelaskan lebih jauh mengenai tiga model komunikasi yang paling menonjol yakni: (a) model komunikasi linear/satu arah (komunikasi sebagai aksi), (b) model komunikasi interaksional (komunikasi sebagai interaksi), dan (c) model komunikasi transaksional (komunikasi sebagai transaksi). a.
Model komunikasi linear (satu arah) diturunkan oleh ahli yang banyak mengkaji komunikasi massa. Model ini didasarkan pada paradigma Stimulus – Respon (S – R). Menurut Shannon & Weaver, komunikasi model linear melibatkan beberapa elemen saja: a source, or transmitter of a message, sends a message to a receiver, the recipient of the message. The receiver is the person who makes sense out of the message (West & Turner, 2010:11). Menurut paradigma ini, komunikan akan memberikan respon sesuai dengan stimulus yang diterimanya
dari
komunikator.
Dalam
paradigma
ini,
komunikan dianggap sebagai makhluk pasif yang menerima apapun yang disampaikan oleh komunikator. Tabel 1. Model Komunikasi Linear
b.
Model komunikasi interaksional menempatkan komunikator dan komunikan secara setara. Model ini diperkenalkan oleh Schramm (1954) yang mengkonseptualisasikan model ini
13
sebagai proses komunikasi
dua arah oleh dua (atau lebih)
komunikator. The interactional view illustrates that a person can perform the role of either sender or receiver during an interaction, but not both roles simultaneously (West & Turner, 2010:12). Model komunikasi ini berasumsi bahwa bagaimana cara komunikator berkomunikasi tergantung pada latar belakang pengalaman mereka. Tabel 2. Model Komunikasi Interaksional
c.
Sementara komunikasi dalam model komunikasi interaksional tidak bersifat simultan, model komunikasi transaksional adalah model yang menekankan pada pengiriman dan penerimaan pesan yang simultan. To say that communication is transactional means that the process is cooperative, the sender and the receiver are mutually responsible for the effect and the effectiveness of communication (West & Turner, 2010:14). Model komunikasi transaksional menghendaki komunikator untuk memahami pengaruh dari komunikasi yang ditimbulkan karena pesan yang dikirimkan akan memberi dampak pada pesan-pesan berikutnya.
14
Tabel 3. Model Komunikasi Transaksional
3. Model Komunikasi antara Guru dan Murid di Sekolah Proses belajar adalah tentang memahami sebuah ide dengan menjadi pelaku aktif dalam pencarian jawaban sebagaimana diungkapkan oleh Freire, bahwa belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating), dan penulisan ulang (rewriting), dan ini merupakan tugas seorang subjek, bukan objek (Freire, 2007:29). Di Indonesia, pendidikan diasosiasikan dengan penimbaan ilmu di sekolah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekolah didefinisikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Di dalamnya terjadi proses belajar mengajar yang dilakukan oleh murid dan guru yang dapat disebut sebagai proses interaksi edukatif atau biasa disebut pola interaksi. Dalam kaitannya dengan model komunikasi, komunikasi sebagai aksi menempatkan guru sebagai pemberi aksi dan murid sebagai penerima aksi. Kegiatan belajar dipandang sebagai kegiatan menyampaikan bahan pelajaran di mana guru berperan aktif sementara murid menjadi obyek pasif. Sementara dalam komunikasi sebagai interaksi, guru dan murid sama-sama memiliki peran sebagai pemberi dan penerima aksi. Dalam proses belajar di sekolah, antara guru dan murid terjadi dialog. Kemudian dalam komunikasi sebagai transaksi, 15
komunikasi tidak hanya terjadi antara guru dan murid saja tetapi juga antar murid. Murid dituntut lebih aktif daripada guru dan sebagaimana guru, murid dapat berfungsi sebagai narasumber dalam proses belajar di sekolah. Menurut Lindgren (1976), terdapat empat jenis interaksi dalam kegiatan belajar dan mengajar, yaitu: Tabel 4. Jenis-jenis Interaksi dalam Belajar-Mengajar (Lindgren, 1976)
Keempat jenis interaksi di atas mengimplementasikan model komunikasi dasar yang telah dijelasan dalam West & Turner (2010:11-14). Model komunikasi satu arah menunjukkan komunikasi linear Shannon & Weaver sementara komunikasi dua arah, di mana terdapat timbal balik dalam proses komunikasi guru dan murid, merupakan jenis interaksi dengan model interaksional Schramm. Model komunikasi interaksional adalah model yang menempatkan komunikator dan komunikan secara setara. Adapun jenis interaksi multiarah antara guru dengan murid dan sebaliknya, serta antar
16
murid termasuk dalam komunikasi transaksional di mana komunikasi yang terjadi menekankan pada pengiriman dan penerimaan pesan yang simultan. 4. Jalur Komunikasi SMPIT Alam Nurul Islam Yogyakarta Secara umum, jalur komunikasi dapat dibedakan atas dua bagian yaitu: (i) jalur komunikasi formal dan (ii) jalur komunikasi informal. Komunikasi formal adalah komunikasi yang terjadi di antara para anggota yang secara tegas telah direncanakan dan ditentukan dalam struktur organisasi formal. Komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya tidak pada organisasinya sendiri, tetapi lebih pada para anggotanya secara individual tanpa memerhatikan posisi/kedudukan mereka dalam organisasi (De Vito, 1997:340). Informasi dalam komunikasi informal mengalir secara vertikal maupun horizontal. Komunikasi informal biasanya terjadi jika komunikasi formal kurang memuaskan anggota akan informasi yang diperlukan. Komunikasi informal ini biasa disebut grapevine atau desasdesus yang cenderung mengarah pada laporan rahasia mengenai orang atau kejadian di luar informasi yang mengalir secara resmi.
F. Metodologi Penelitian 1. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah guru dan murid SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta. a. Guru yang diteliti adalah guru yang mengajar murid kelas VIII. b. Murid yang menjadi obyek penelitian adalah seluruh murid kelas VIII dengan
pertimbangan
telah
melalui
proses
adaptasi
proses
pembelajaran selama setahun di kelas VII serta menganut kurikulum utuh (tidak dikombinasi dengan kurikulum persiapan Ujian Nasional).
17
2. Metode Penelitian Untuk menjawab rumusan permasalahan di atas, penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode studi kasus. Kriyantono (2009:65) menjelaskan bahwa studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi, atau peristiwa secara sistematis. Menurut Yin (1989:13), studi kasus sesuai untuk meneliti kebijakan, organisasi dan manajemen. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, artinya hasil analisis data nantinya akan dituangkan dalam bentuk penjabaran fakta – fakta sehingga memperoleh penggambaran realitas yang utuh. Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2008) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sedangkan menurut Lindolf dan Taylor (2002) peran peneliti dalam penelitian kualitatif adalah “qualitative researchers seek to preserve and analyze the situated form, content, and experience of social action, rather than subject it to mathematical or other formal transformations”. 3. Sumber Data Ada dua sumber data utama yang digunakan yaitu sumber data utama dan sumber data pelengkap. Data utama merupakan sumber data yang akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis data lainnya. Dalam penelitian ini sumber data utama berasal dari pengamatan dan wawancara. Jenis data keduanya dipilih guna menyelaraskan hasil wawancara dengan fenomena yang diteliti. Adapun data pelengkap didapat melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan digunakan untuk memperkaya data terkait isu penelitian. Dalam konteks penelitian ini, akan digunakan berbagai literatur terkait perkembangan
18
sekolah alam di Indonesia. Literatur ini diharapkan dapat menjadi data komplementer bagi data yang didapat di lapangan melalui observasi partisipatoris dan wawancara. 4. Teknik Pengumpulan Data Ada dua cara yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a. Observasi Partisipatoris Peneliti akan melakukan pengamatan di SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta dalam periode tertentu dan mengamati model komunikasi yang terjadi dalam proses belajar di sana. b. Wawancara Peneliti melakukan wawancara kepada guru dan murid SMP IT Alam Nurul Islam Yogyakarta dalam rangka mencari informasi tentang latar belakang terjadinya komunikasi antara kedua belah pihak. 5. Teknik Analisis data Setelah semua data terkumpul, peneliti melakukan analisis data. Dalam menganalisis data, peneliti kualitatif melakukan tiga tahapan, yaitu
data
management, data reduction, dan conceptual development (Lindolf dan Taylor, 2002). Data management adalah tahap pengelompokan data. Peneliti mulai mengategorikan data-data berdasarkan komunikasi yang terjadi di sekolah berdasarkan jalur komunikasinya. Beberapa data yang dianggap belum cukup mampu membedah permasalahan kembali dikaji dari informan. Tahap data reduction adalah identifikasi dan pemilahan data. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data dengan observasi langsung dan wawancara murid dan guru kelas VIII di SMP IT Alam Nurul Islam. Dari pengamatan dan data yang diperolah, peneliti kemudian memilah mana data yang diperlukan untuk kemudian dikelompokkan dan dikaji, serta mana data yang tidak memiliki urgensi dan disimpan. Kemudian, pada tahap conceptual development peneliti menghubungkan konsep, teori, dan data yang 19
diperolehnya. Dalam hal ini peneliti menggunakan model komunikasi searah, dua arah, dan multiarah milik Lindgren. Dari temuan yang dilakukan, peneliti kemudian menginterpretasikan data-data sehingga melahirkan temuan-temuan terhadap realita yang dikaji. Dalam tahap ini, kemudian akan diberlakukan adanya pattern matching terhadap teori Yamamoto (1969) tentang intensi guru dan murid dalam proses pembelajaran. Tabel 5. Intensi Guru-Murid dalam Kegiatan Belajar-Mengajar (Yamamoto, 1969)
20